Anda di halaman 1dari 16

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan atas kehadirat Allah SWT, dengan berkat dan rahmatNya
penulis dapat menyelesaikan tugas kelompok makalah yang berjudul “ PERKAWINAN DI
BAWAH UMUR ”, yang merupakan salah satu syarat proses belajar mengajar Universitas
Sriwijaya khususnya Fakultas Hukum.

Mengingat kemampuan dan pengetahuan dari penulis yang masih terbatas, penulis
menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih terdapat banyak kekurangan dan ketidak
sempurnaan yang ditemui. Oleh karena itu, dengan hati terbuka dan lapang dada, (kami) penulis
mengharapkan saran atau kritik yang sifatnya positif terhadap tulisan ini bagi para dosen
pengajar dan maupun mahasiswa, guna peningkatan kemampuan penulis di masa mendatang dan
kemajuan ilmu pengetahuan, khususnya dalam bidang hokum. Pada kesempatan ini penulis ingin
menyampaikan rasa hormat dan terimakasih kepada Dosen, yang telah memberi kesempatan
untuk menyelesaikan tugas makalah ini.

Akhirnya dengan segala kerendahan hati, kami sebagai penulis sampaikan tulisan ini
dengan harapan semoga dapat mendatangkan manfaat dan kegunaan bagi kita semua.

Indralaya, 4 Februari 2019

Penulis

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR…………………………………………………….……………………1

DAFTAR ISI……………………………………………………………………………………2

BAB I PENDAHULUAN………………………………………………….…………….……..3

A. Latar Belakang……………………………………………………..………………...3

B. Rumusan Masalah………………………………………………….………….……..4

C. Tujuan……………………………………………………………………….……….4

BAB II KASUS PERKAWINAN DI BAWAH UMUR…………………………..………….5

BAB III PEMBAHASAN……………………………………………………………………...6

A. Sejarah Suku Madura………………………………………………………………..6

B. Adat Istiadat Suku Madura…………………………………………………….…….8

C. Strata Solial Madura…………………………………………………………..……10

D. Hukum Adat Madura…………………………………………………………..…...11

ANALISA KASUS PERKAWINAN DI BAWAH UMUR……………………………...…13

BAB IV PENUTUP……………………………………………………………………...…...15

A. Kesimpulan…………………………………………………….……………......….15

B. Saran………………………………………………………………….……...……..15

DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………………...16

2
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Setiap bangsa atau peradaban dunia memiliki karakter keberagaman masing –masing
yang unik. Karakter dan keberagaman tersebut terbentuk berdasarkan sejarah dan perkembangan
budaya masyarakat se-iring dengan kemajuan peradabaan dunia yang mengalami perubahan
secara global. Dan bahkan setiap bangsa memiliki ciri khas karakter dan kualitas kebudayaan
tradisi tersendiri yang secara instrinsiknya ada, tidak ada ataupun yang bersifat superior satu
sama lainnya.

Seperti dalam hal pembentukan sistem hukum yang memiliki keterkaitan erat dengan
budaya masyarakatnya. Seperti yang dikatakan Von Savigny, sistem hukum adalah bagian dari
budaya masyarakat. Hukum tidak lahir dari suatu tindakan yang bebas (arbitrary act of a
legislator ), tetapi dibangun dan dapat di temukan di dalam jiwa masyarakat. Secara hipotesis
hukum dapat dikatakan berasal dari kebiasaan dan selanjutnya di buat melalui suatu aktivitas
hukum (juristic activity ).Seperti akar dari ketatanegaraan suatu negara dapat dilihat dan
demikian bisa dilacak dari sejarah bangsa itu sendiri. karakteristik dan identitas suatu bangsa
sangat menentukan dasar-dasar kebangsaan dan kenegaraan di dalam konstitusi, yaitu
kesepakatan tentang tujuan atau cita-cita bersama.
Seperti yang terjadi dalam perjalanan sejarah hukum nasional indonesia, istilah yang di
kenal hukum adat (adatrecht) pertama kali di perkenalkan oleh seorang ahli hukum kebangsaan
belanda bernama Snouck Hurgronje dalam bukunya yang berjudul “De Atjehers”. Namun,
sejak Van Vallenhoven memperkenalkan serta memopulerkan adatrecht dalam bukunya ,“Het
Adatrecht Van Nederland-Indie”. Hukum adat merupakan bagian dari hukum kebiasaan yang
memuat suatu sebab akibat terjadi nya suatu perbuatan atau peristiwa hukum yang dimana
perbuatan tersebut apabila melanggar ketentuan –ketentuan kaidah-kaidah akan mempunyai
akibat hukum.
Sebaliknya kaidah-kaidah tersebut mempunyai akibat yang sama seperti akibat-akibat
hukum di Negeri Belanda, meskipun wujudnya berbeda-beda di kalangan orang indonesia
sendiri,kaidah –kaidah yang mengatur hidup bersama disebut”Adat”.

Madura adalah nama pulau yang terletak di sebelah timur laut Jawa Timur. Pulau Madura
besarnya kurang lebih 5.168 kilometer persegi, lebih kecil dari pada pulau Bali, dengan
penduduk hampir 4 juta jiwa. Dengan demikian musim kemarau di daerah ini relatif panjang.
Pulau Madura bentuknya seakan mirip badan Sapi, terdiri dari empat kabupaten, yaitu
Bangkalan, Sampang, Pamekasan dan Sumenep.1

1
Ensiklopedia Wikipedia Berbahasa Indonesia Online, Madura. Artikel diakses melalui
http://id.wikipedia.org/wiki/Pulau_Madura pada 12 April 2015.

3
Pulau Madura didiami oleh suku Madura yang merupakan salah satu etnis suku dengan
populasi besar di Indonesia, jumlahnya sekitar 20 juta jiwa. Mereka berasal dari Pulau Madura
dan pulau-pulau sekitarnya, seperti Gili Raja, Sapudi, Raas, dan Kangean. Selain itu, orang
Madura banyak tinggal di bagian timur Jawa Timur, biasa disebut wilayah Tapal Kuda, dari
Pasuruan sampai utara Banyuwangi. Orang Madura yang berada di Situbondo dan Bondowoso,
serta timur Probolinggo, Jember, jumlahnya paling banyak dan jarang yang bisa berbahasa Jawa,
juga termasuk Surabaya Utara, serta sebagian Malang. Bagi kehidupan masyarakat Madura,
harga diri adalah symbol penting yang harus dijaga. Hal itu diperkuat dengan falsafah Madura
yang berbunyi “Lebbi bagus pote tollang, atembang pote mata.” Artinya, lebih baik mati (putih
tulang) daripada malu (putih mata).2

Pepatah yang dipegang teguh masyarakat Madura itu membuktikan bahwa Suku Madura
unik dan adat istiadatnya masih terjaga hingga saat ini. Jika adat istiadat di suatu kehidupan
masyarakat masih cukup kental, maka dapat dipastikan ada ketentuan-ketentuan adat yang
masih berlaku. Atas dasar tersebutlah makalah bertema hukum adat Madura ini disusun.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas, maka masalah-masalah yang akan dikaji dapat
dirumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimanakah sejarah dan adat istiadat suku Madura itu ?


2. Adat istiadat apa sajakah yang masih terpelihara dan berlaku bagi masyarakat Madura
hingga saat ini ?
3. Menganalisa Kasus Perkawinan di Bawah Umur di kabupaten Madura ?

C. Tujuan

Berdasarkan perumusan masalah di atas, penulis dapat menjelaskan mengenai tujuan dari
pembuatan makalah ini sebagai berikut:

1. Mengetahui dan memahami sejarah dan adat istiadat suku Madura.


2. Mengetahui dan memahami hukum adat suku Madura yang masih
terpelihara hingga saat ini secara mendalam.
3. Mengetahui dan mengurai Kasus Perkawinan di Bawah Umur di kabupaten Madura

2
Ensiklopedia Wikipedia Berbahasa Indonesia Online, Suku Madura. Artikel diakses melalui
http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Madura pada 12 April 2015

4
BAB II
KASUS PERKAWINAN DI BAWAH UMUR

Pada tahun 2006, SR, seorang perempuan berusia 13 tahun dan HR, pria berusaia 16
tahun, warga Desa Leggung Barat, Kecamatan Batang-Batang, Kabupaten Sumenep
melangsungkan pernikahan. Usai akad nikah, SR dan HR langsung hidup serumah dan pada
November 2008 lalu, mereka mempunyai seorang anak berusia anak berumur 1,5 tahun.

Pernikahan antara SR dan HR dilandasi atas kesepakatan kedua orang tuanya untuk
menikahkan. SR dan HR menikah karena dijodohkan. Meski sebenarnya SR mengaku belum
siap menjalani hidup berkeluarga. Apalagi, dia mengaku punya cita-cita yang ingin diwujudkan.
Seperti, menyelesaikan sekolah hingga jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Tapi karena sudah
tardisi dan jadi tuntutan, pernikahan itu harus dia jalani. "Mungkin itu adalah jalan yang terbaik.
Saya hanya bisa memberontak dalam hati saja," ungkapnya. Pada awalnya, SR mengaku merasa
berat untuk menjadi ibu rumah tangga. Selain usia belia, dia belum punya bekal sama sekali.
"Tapi, saya jalani saja hingga semua menjadi hal yang biasa," katanya.

Muhammad Muzak, 28, saudara SR, mengatakan, pernikahan saudara perempuannya itu
terjadi karena sudah kesepakatan dari orang tua kedua pasangan. Menurut dia, orang tua mereka
menganggap lebih cepat pernikahan dilaksanakan, maka risiko yang akan ditanggung akan lebih
kecil. "Maklum, para orang tua di daerah ini tidak menginginkan hubungan mereka menjadi
fitnah bagi mayarakat," ujarnya.

Selain itu, pernikahan di bawah umur terjadi karena sejumlah warga menganggap
pernikahan di usia dini hal yang wajar. Dalihnya, orang zaman dahulu, tak pernah memedulikan
umur. Yang penting, jika kedua pasangan sudah dianggap mampu untuk berumah tangga,
kemudian dinikahkan. Pernikahan saudara perempuannya dengan HR terjadi juga karena kedua
belah pihak menginginkan ikatan persaudaraan tambah lengket. Biasanya pula, pernikahan usia
muda terjadi pada pasangan yang masih punya hubungan kekeluargaan. Dia menyontohkan,
seorang pria kawin dengan saudara yang masih sepupunya sendiri. Alasannya, pernikahan
semacam itu dipercaya punya keistimewaan tersendiri. Menurut Muzak, meski laki-laki dan
perempuan Desa Leggung Barat banyak dinikahkan saat di bawah umur, namun rumah tangga
mereka kebanyakan langgeng. Jarang ada pasangan itu kemudian cerai. "Pernikahannya awet,"
katanya.3

3
Zaiturrahiem, Nikah Usia Dini di Desa Leggung Barat. Feature dari Surat Kabar Harian Jawa Pos yang terbit Senin,
3 November 2008 dan diakses melalui http://kabarmadura07.blogspot.com pada 13 April 2015

5
BAB III

PEMBAHASAN

A. SEJARAH SUKU MADURA

Suku Madura merupakan etnis dengan populasi besar di Indonesia, jumlahnya sekitar
20.179.356 juta jiwa. Mereka berasal dari Pulau Madura dan pulau-pulau sekitarnyaPerjalanan.
Sejarah Madura dimulai dari perjalanan Arya Wiraraja sebagai Adipati pertama di Madura pada
abad 13. Dalam kitab nagarakertagama terutama pada tembang 15, mengatakan bahwa Pulau
Madura semula bersatu dengan tanah Jawa, ini menujukkan bahwa sekitar tahun 1365 orang
Madura dan orang Jawa merupakan bagian dari komonitas budaya yang sama.

Sekitar tahun 900-1500, pulau ini berada di bawah pengaruh kekuasaan kerajaan Hindu
Jawa timur seperti Kediri, Singasari, dan Majapahit. Di antara tahun 1500 dan 1624, para
penguasa Madura pada batas tertentu bergantung pada kerajaan-kerajaan Islam di pantai utara
Jawa seperti Demak, Gresik, dan Surabaya. Pada tahun 1624, Madura ditaklukkan oleh Mataram.
Sesudah itu, pada paruh pertama abad kedelapan belas Madura berada di bawah kekuasaan
kolonial Belanda (mulai 1882), mula-mula oleh VOC, kemudian oleh pemerintah Hindia-
Belanda. Pada saat pembagian provinsi pada tahun 1920-an, Madura menjadi bagian dari
provinsi Jawa Timur. Sejarah mencatat Aria Wiraraja adalah Adipati Pertama di Madura,
diangkat oleh Raja Kertanegara dari Singosari, tanggal 31 Oktober 1269. Pemerintahannya
berpusat di Batuputih, Sumenep, merupakan keraton pertama di Madura. Pengangkatan Aria
Wiraraja sebagai Adipati I Madura pada waktu itu, diduga berlangsung dengan upacara
kebesaran kerajaan Singosari yang dibawa ke Madura. Di Batuputih yang kini menjadi sebuah
kecamatan yang berjarak kurang lebih 18 kilometer dari Kota Sumenep, terdapat peninggalan-
peninggalan keraton Batuputih, antara lain berupa tarian rakyat, tari Gambuh dan tari Satria.4

Asal Mula Nama Madura

Nama Madura, ditulis Madura, tertera tiga kali didalam Nagakertagama, terutama pada
tembang kelima belas. Di situ ditulis bahwa “Madura tidak termasuk negeri yang asing, karena
sejak semula bersatu dengan tanah Yawa.” Kutipan itu penting karena menunjukkan bahwa
orang Jawa dan orang Madura sudah merasa sebagai anggota dari komuitas budaya yang sama.
Ditulis belakangan, Pararaton, atau “Kitab Para Raja”, mencatat peristiwa yang lebih kuno sekali
dan terutama pengalaman, disekitar tahun 1271, dari seorang bernama Wiraraja, yang
“diasingkan” kemadura oleh raja Singasari, Kertanegara, sebagai adipati Sumenep karena ia
tidak lagi berkenan bagi rajanya. Wiraraja yang sama beberapa waktu kemudian memberikan

4
Ibid.

6
perlindungan kepada Raden Wijaya dan membantunya untuk mendirikan Majapahit. Ada juga
yang menuliskan bahwa nama Madura berasal ketika para penganjur agama Hindu dari India
tiba di Nusantara di abad awal millennium pertama, ada juga yang sampai pada sebuah pulau.
Kaum Brahma yang terhitung terpelajar tadi rupanya menemukan pulau yang indah, sehingga
dengan menggunakan bahasa Sansekerta dinamakanlah pulau tersebut Madura. Kata madura
dalam bahasa Sansekerta memang berarti permai, indah, molek, cantik, jelita, manis, ramah
tamah, lemah lembut. Dapatlah dimengerti jika beberapa abad kemudian Jayendradewi
Prajnaparamita, salah seorang isteri Raja Majapahit pertama Sri Kertarajasa Jayawardana, yang
melambangkan gunacaranurupita satyapara (watak yang sangat setia dan kaya akan sifat baik dan
berguna) serta memiliki anindyeng raras (kecantikan rupa tanpa cacat) dibandingkan dengan
prakarti (pekerti, watak, tabiat, kodrat) pulau Madura.

Nama Madura mungkin pula diilhami dan diambilkan dari Madura, sebutan suatu daerah
yang hampir serupa di India Selatan yang juga beriklim kering. Penamaan sedemikian bukanlah
suatu keanehan, sebab beberapa nama tempat lain di Indonesia seperti, Malabar, Narmada,
Serayu, Sunda, dan Taruma, memang persis sama dengan nama geografi di India.

Secara keratabasa (etimologi rakyat) di kalangan masyarakat awam banyak berkembang


asal usul nama Madura yang direka-reka sebagai suatu ungkapan yang dikaitkan dengan mitologi
dan lagenda setempat. Dikenal di kalangan masyarakat Madura sendiri Madura berasal dari kata
diantaranya adalah maddhunah saghara (madu segara/laut), maddhu era–ara (madu di tanah
lapang), maddhunah dara (madu darah), madara (berdarah), paddhu ara (dari dari bahasa Jawa
Kawi, yang berarti pojok tanah berair, atau tapak di pojok Jawa), dan lemah dura (dari bahasa
kawi yang berarti tanah di kejauhan). Akan tetapi tidak satu pun dintara dugaan asal usul nama
Madura bersumberkan singkatan tadi yang memiliki landasan ilmiah tak terbantahkan, karena
dulu memang bukan demikian cara orang memberi nama pada suatu tempat atau daerah.5

Manusia Pertama Madura

Sejak kapan orang Madura mendiami pulau Madura? Sampai saat ini belum ada data
sejarah yang akurat. Salah satu legenda yang bersumber dari tulisan Zainalfattah menyebutkan
bahwa “orang pertama” yang mendiami pulau Madura sekaligus awal ditemukannya pulau
Madura sekitar tahun 929 Masehi. Pada waktu itu, seorang puteri dari sebuah kerajaan di pulau
Jawa bernama Mendangkamulan tanpa sebab yang jelas diketahui telah hamil. Mengetahui
kondisi puterinya demikian sang raja marah dan menyuruh seorang patihnya bernama
Pranggulang untuk membunuh sang puteri. Tapi upaya pembunuhan itu selalu gagal sehinggga
akhirnya sang puteri melahirkan seorang bayi lakilaki yang diberi nama Raden Sagoro.
Sedangkan patih Pranggulang tidak berani kembali ke keraton dan merubah namanya menjadi
Kiyai Polèng. Menurut legenda itu, Raden Sagoro dan ibunya kemudian dihanyutkan ke tengah
laut dengan sebuah ghitèk (rangkaian kayu kecil yang berfungsi sebagai perahu). Akhirnya
5
Zaini Bakry, Asal Usul dan Arti Madura. Artikel diakses melalui Http://madurauniteds.blogspot.com pada 12 April
2015.

7
Raden Sagoro dan ibunya terdampar di sebuah daratan yang ternyata kelak dikenal dengan nama
gunung Gegger (wilayah kabupaten Bangkalan). Daratan ini disebut “madu oro” yang
mempunyai arti pojok di ara-ara atau pojok menuju ke arah yang luas. Dari kata “madu oro”
inilah konon asal mula kata Madura. Raden Sagoro dan ibunya disebut dalam legenda itu sebagai
penghuni pertama pulau Madura.

Terlepas dari akurat tidaknya tentang asal usul nama sebuah pulau yaitu Madura, yang
pasti pulau tersebut punya bahasa khas tersendiri yang menjadi identitas suatu masyarakat
Madura dengan lainnya yaitu bahasa Madura. Penelitian ilmiah berusaha menemukan fakta
tentang asal usul nama Madura. Sedangkan mitos, atau legenda yang beredar dimasyarakat
madura itu sendiri tidak bisa dinafikan adanya. Orang mendiami suatu pulau yang kemudian
dikenal dengan nama orang madura sudah ada di pulau tersebut sejak lama. Tidak bisa
ditentukan secara pasti sejak kapan. Namun, orang madura tersebut sudah lama mendiami dan
berinteraksi dengan alamnya sehingga membentuk kebiasaan tersendiri, karakter dan budaya
dimana tidak terdapat atau dimiliki oleh orang di luar pulau tersebut. Penamaan pulau Madura
dan orang madura yang pasti merujuk pada apa-apa yang ada dipulau tersebut.

Namun, bila kita bandingkan dengan benua Amerika atau Australia, mereka disebut
orang Amerika atau Australia walau pada dasarnya mereka kebanyakan berasal dari Inggris.
Kemudian membentuk budaya dan peradabannya sendiri menjadi Amerika atau Australia. Suku
aborigin dan indian tidaklah menjadi identitas kedua benua tersebut. Berbeda dengan pulau dan
orang Madura. Pulau dan orang Madura adalah pulau tersendiri dan orang madura sendiri yang
menjadi sesuatu yang disebut madura. Bila Madura juga terwarnai oleh orang india, jawa, bugis
dan mungkin suku-suku lainnya hal ini dapat terjadi. Mereka hanya mewarnai dan memperkaya
madura yang sudah ada. Oleh karena madura memeiliki beberapa karakter dan perbedaan logat
bahasa dari setiap kabupaten yang ada.6

B. ADAT ISTIADAT SUKU MADURA

Suku Madura terkenal karena gaya bicaranya yang blak-blakan serta sifatnya yang keras
dan mudah tersinggung, tetapi mereka juga dikenal hemat, disiplin dan rajin bekerja. Untuk naik
haji, orang Madura sekalipun miskin pasti menyisihkan sedikit penghasilannya Selain itu orang
Madura dikenal mempunyai tradisi Islam yang kuat bahkan Prof. Dr. Deliar Noer menyebutkan:
Madura adalah benteng Islam di Indonesia sebab kekentalan agamis masyarakat dan akar faham
yang sangat kuat sekalipun kadang melakukan ritual Pethik Laut atau Rokat Tasse (sama dengan
Larung Sesaji)

Jadi tidak perlu heran Jika Aceh dikenal sebagai Serambi Mekkah, maka Madura adalah
Serambi Madinah-nya. Tak banyak daerah yang mendapat kehormatan dilekati label istimewa
ini. Dari kedua atribut tersebut dengan mudah terlihat posisi dan kultur yang khas, yakni
kelekatannya dengan tradisi keislaman, bahkan menurut Rasul Junaidy suku madura memiliki

6
Ibid.

8
tiga nilai yang sangat menjadi acuan berpikir dan bertindak, ketiga nilai tersebut dituangkan
kedalam unsur–unsur prilaku kehidupan sehari-hari yaitu :

Kesopanan

Walau orang di luar Madura menilai mereka sangat kasar, namun penghormatan terhadap
nilai-nilai kesopanan sangat tinggi sekali. Betapa pentingnya nilai kesopanan ini nampak dari
ungkapan ta'tao batona langgar (tidak pernah merasakan lantainya langgar). Maksudnya, orang
tersebut belum pernah masuk langgar dan mengaji atau belum pernah mondok, sehingga tidak
tahu tatakrama kesopanan. Ungkapan ini untuk orang yang tidak tahu atau melanggar nilai-nilai
kesopanan. Ungkapan lain yang memberikan nasihat dan ajaran tentang keharusan bersopan
santun adalah : pa tao ajalan jalana jalane, pa tao neng ngenneng, pa tao a ca ca (yang menjadi
kewajiban harus dilaksanakan sesuai dengan aturan. Harus tahu saatnya diam, harus tahu saatnya
berbicara). Hal ini bermakna bahwa orang Madura harus selalu tahu aturan, nilai dan tatakrama
dalam setiap tindakannya.

Selain itu, setiap kewajiban harus dilaksanakan dengan mendasarkan pada aturan-aturan
tata krama yang ada. Orang dan masyarakat Madura selalu menekankan bahwa mon oreng riya
benni bagusse, tape tatakramana, sanajjan bagus tapi tatakramana jube', ma' celep ka ate (yang
penting bukan ketampanan atau kecantikan, namun utama tata kramanya). Dasar utama dari
nilai-nilai kesopanan adalah penghormatan orang Madura kepada orang lain, terutama yang lebih
tua. Nilai-nilai kesopanan ini mengatur hubungan antargenerasi, kelamin, pangkat dan posisi
social

Kehormatan

Masyarakat Madura sangat mengutamakan penghormatan dan penghargaan, apalagi


kepada yang lebih tua atau yang mempunyai kedudukan sosial yang lebih tinggi, sehingga
menjadikan nilai-nilai kesopanan menjadi sangat penting sekali dalam kehidupan bermasyarakat.
masyarakat Madura tidak mau diremehkan, namun demikian penonjolan diri juga tidak dihargai.
Contohnya ungkapan madu ben dara (madu dan darah), yang berarti bila orang Madura
diperlakukan secara baik, menjunjung tinggi nilai-nilai kesopanan dan penghormatan, maka
balasannya adalah kebaikan pula. Sebaliknya, bila ia diperlakukan secara sewenang-wenang dan
tidak adil, maka balasannya jauh lebih berat bahkan dapat menimbulkan pertumpahan darah.
Hubungan sosial masyarakat Madura selalu saling menghormati dan menghargai sebagai sesama
manusia dan menjaga untuk tidak saling menyakiti. Hal ini sangat nampak dari ajaran ja' nobi'
oreng mon aba'na e tobi' sake' (janganlah menyakiti orang lain, kalau diri-sendiri merasa sakit
jika disakiti orang). Harga diri atau martabat adalah nilai yang sangat mendasar dalam
masyarakat Madura. Harga diri harus selalu dipertahankan agar tidak diremehkan orang lain.
Dasar utama dari harga diri adalah rasa malu (rasa malo atau todus). Orang Madura selalu
menekankan bahwa tambana todus mate' (obatnya malu adalah mati). Lebbi bagos apote tolang

9
etembang apote mata (lebih baik mati daripada malu tidak dapat mempertahankan harga diri).
Nilai nilai harga diri bagi masyarakat Madura selain berkaitan dengan ego, wanita dan agama
juga berkait erat dengan masalah tanah dan air

Agama

Simbol keagamaan yang seringkali digunakan adalah kyai. Itulah yang menyebabkan
lapisan atas pada stratifikasi sosial ditempati oleh para kiai. Mereka bukan hanya sebagai
pemuka agama namun juga sebagai pemimpin masyarakat. Para kyai dipandang memiliki
kendali legitimasi dan otoritas kharismatis, sehingga buah pikirannya mudah sekali untuk
disepakati. Kepemimpinan yang disandang para kyai adalah bersifat berpengaruh penting dalam
beberapa bidang sekaligus. Bukan hanya dalam bidang keagamaan, melainkan juga dalam
kegiatan sosial, bahkan mungkin juga politik.7

C. STRATA SOSIAL MADURA

Di lingkungan masyarakat Madura masih mengenal yang namanya strata sosial. Berikut
adalah istilah dan definisinya :

Oreng Kene’ / Dume’

Oreng kene’/dume’ adalah orang-orang yang berada di lapisan terbawah, yaitu masyarakat yang
biasanya kebanyakan bekerja sebagai petani, nelayan, pengrajin dan orang yang tidak mpunya
mata pencaharian tetap.

Ponggaba

Penggoba adalah mereka yang bekerja di kantoran atau sebagai abdi negara, misalnya sebagai
pegawai negeri sipil yang bekerja di kantor pemerintahan.

Parjaji

Parjaji, merupakan golonga orang yang berada di lapisan paling atas. Parjaji ada dua macam
pengertiannya :

1. Orang-orang yang masih keturunan raja di Madura pada saat itu. Biasanya tingkatan
Gelar Ke Bangsawanan nya seperti raden mas, raden ayu, raden roro.
2. Orang-orang berpangkat menengah sampai dengan tinggi pada saat pemerintahan
Belanda, seperti asisten wedana (camat) – wedana patih - kanjeng / bupati, dan
sebagainya.

Di lingkungan masyarakat agamis atau kehidupan pesantran, strata sosialnya berbeda lagi dan
ada empat tingkat, yakni :
7
Dimitriev Indraena, Adat Istiadat dan Stratifikasi Social Suku Madura. Artikel diakses melalui
http://bangkalanmemory.blogspot.com pada 12 April 2015.

10
Keyae

Keyae adalah seseorang yang dikenal sebagai pemuka Agama (Ulama) karena menguasai banyak
Ilmu Agama Islam. Selain berfungsi sebagai pembina ummat juga sebagai penerus / pengajar
ajaran para nabi pada santri-santrinya.

Bindarah

Bindarah adalah orang – orang yang telah menyelesaikan pendidikannya di pondok pesantren,
dan mereka telah memiliki pengetahuan keagamaan yang cukup banyak tetapi belum setara
dengan pengetahuan Keyae. Ada pula Bindarah yang sudah banyak didatangi orang untuk nyabis
terutama di desa dan dusun yang agak jauh dari seorang Keyae.

Santre

Santre, yakni orang-orang yang masih sedang menuntut Ilmu keagamaan di sebuah pondok
pesantren. Banne Santre Banne Santre, sebutan bagi mereka yang tidak pernah Mondok/tidak
pernah menuntut Ilmu keagamaan di sebuah Pondok Pesantren.8

D. HUKUM ADAT MADURA

Dalam terminologi hukum di Indonesia, hukum adat mengacu pada peraturan-peraturan


tidak tertulis yang yang tumbuh dan berkembang dan dipertahankan dengan kesadaran hukum
masyarakatnya. Karena peraturan-peraturan ini tidak tertulis dan tumbuh kembang, maka hukum
adat memiliki kemampuan menyesuaikan diri dan elastis. Selain itu dikenal pula masyarakat
hukum adat yaitu sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga
bersama suatu persekutuan hukum karena kesamaan tempat tinggal ataupun atas dasar
keturunan.9 Indonesia mengakui hukum adat dalam berbagai ketentuan perundang-undangan, di
antaranya yang secara tegas disebut di Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi: “Negara
mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak
tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip
Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.”10

Bagi Suku Madura, beberapa hukum adat yang dikenal masih berlaku hingga sekarang
adalah carok dan pernikahan.

Carok

8
Ibid
9
Portal Ensiklopedia Wikipedia Berbahasa Indonesia Online, Hukum Adat. Diakses melalui http://id.wikipedia.org
pada 13 April 2015.
10
Ilman Hadi, S.H., Kekuatan Hukum Putusan Adat. Diakses melalui http://www.hukumonline.com pada 13 April
2015. Lihat juga Hadin Muhjad, Peran dan Fungsi Hukum Adat Dalam Sistem Hukum Nasional Dalam Rangka
Penguatan Dan Pelestarian Nilai-Nilai Istiadat Di Daerah. Diakses melalui portal Pemerintah Kabupaten Gunung
Mas. http://www.gunungmaskab.go.id/ pada 13 April 2015.

11
Pepatah etambang pote mata lebih bagus pote tolangi yang berarti dari pada hidup
menanggung malu, mending mati berkalang tanah, adalah pepatah yang paling dikenal
masyarakat Madura. Karena pepatah ini erat kaitannya dengan tradisi carok.

Carok adalah sebuah pembelaan harga diri ketika diinjak-injak oleh orang lain, yang
berhubungan dengan harta, tahta, dan, wanita. Intinya adalah demi kehormatan. Semua kasus
Carok diawali oleh konflik, meskipun konflik tersebut dilatarbelakangi oleh permasalahan
berbeda (kasus masalah perempuan, kasus lainnya tuduhan mencuri, perebutan warisan,
pembalasan dendam), semuanya mengacu pada akar yang sama, yaitu perasaan malo (malu)
karena pelecehan harga diri (martabat). Untuk memulihkan harga diri yang dilecehkan, mereka
melekukan carok, yang ternyata selalu mendapat dukungan dari lingkungan sosial. Apapun cara
carok yang dilakukan, semua pelaku carok yang berhasil membunuh musuhnya menunjukkan
perasaan lega, puas, dan bangga. Pengertian harga diri (martabat) dalam kaitannya dengan
perasaan malo yang ditimbulkannya ketika terjadi pelecehan, kedua hal ini merupakan faktor
pemicu utama orang Madura melakukan carok, selain faktor lainnya.11

Namun demikian, tradisi carok saat ini banyak diplesetkan. Dalan sejarahnya, carok
merupakan perang tanding dengan memberitahu penguasa setempat. Kedua pihak bertanding
dengan dilihat orang banyak dalam sebuah arena. Sekarang ini, carok justru dinilai sebagai suatu
tindakan keji dan bertentangan dengan ajaran agama meski suku Madura sendiri kental dengan
agama Islam.12 Carok yang jika dipadankan dengan bahasa Indonesia berarti ‘bertarung dengan
kehormatan’ sebenarnya merupakan jalan terakhir yang di tempuh oleh masyarakat suku Madura
dalam menyelesaikan suatu masalah. Carok biasanya terjadi jika menyangkut masalah-masalah
yang menyangkut kehormatan/harga diri bagi orang Madura (sebagian besar karena masalah
perselingkuhan dan harkat martabat/kehormatan keluarga).13

Pernikahan

Ada yang unik dalam tradisi pernikahan masyarakat Madura, yakni budaya nikah muda.
Pada dasarnya, tradisi adalah adat kebiasaan turun temurun (dari nenek moyang) yang masih
dijalankan dalam kehidupan bermasyarakat. Begitu juga dengan tradisi perjodohan dalam
masyarakat Madura. Karena tradisi perjodohan dalam masyarakat Madura dapat menentukan ke
arah pernikahan. Oleh karena itu, konstruksi yang terjadi dalam pembentukan tradisi perjodohan
adalah konstruksi sejarah, konstruksi sosial budaya, dan konstruksi ekonomi.14

11
Virgiana Rystanti, Hukum Adat Carok . Artikel diakses melalui http://rystanti.blogspot.com pada 13 April 2015.
12
Henry Arianto, Krishna, Tradisi Carok Pada Masyarakat Adat Madura. Artikel diakses melalui
http://www.esaunggul.ac.id pada 13 April 2015.
13
A. Sulaiman Sadik, Harga Diri dalam Keluarga Madura Tradisional. Diakses melalui
https://jawatimuran.wordpress.com pada 13 April 2015.
14
Sofia Sari, Tradisi Pernikahan Muda di Pulau Madura. Diakses melalui http://sosbud.kompasiana.com pada 13
April 2015.

12
Konstruksi sejarah membentuk logika ketakutan dan logika perlindungan dalam
kehidupan bermasyarakat orang Madura. Logika mengacu pada pengalaman kehidupan
masyarakat Madura tersebut dalam menjalani sebuah perilaku sosial kehidupan. Pertama, logika
ketakutan, yang pada sejarahnya kekerasan dan tindak kejahatan masih sering terjadi pada
masyarakat Madura. Hal tersebut menimbulkan rasa tidak percaya terhadap satu sama lain.
Lantas, muncul sikap ketakutan dalam diri masyarakat Madura terhadap oreng luar (orang lain),
sehingga perjodohan muncul sebagai sikap kepercayaan terhadap keluarga lain yang menjadi
calon jodoh putra putri mereka. Kedua, logika perlindungan. Adanya rasa ketakutan tersebut,
muncul rasa ingin melindungi antar anggota keluarga, terlebih pada anggota keluarga
perempuan. Hingga pada akhirnya lahirlah pola pemukiman taneyan lanjhang yang pada
sejarahnya memang sering dipakai oleh keluarga yang memiliki banyak anak perempuan.
Sedangkan konstruksi sosial budaya pada tradisi, agama, mitos perawan tua, serta pandangan
parabhen dalam masyarakat Madura.15

ANALISA KASUS PERKAWINAN DI BAWAH UMUR

Seperti yang terjadi Desa Leggung Barat, Kecamatan Batang-Batang, Kabupaten


Sumenep, pasangan yang menikah muda hingga usia perkawinannya sekitar dua tahun, masih
menjalaninya dengan baik dan bahkan dikaruniai seorang anak.

Nikah muda terjadi karena perjodohan, meskipun pasangan sama-sama tidak menyukai,
tetapi mereka hanya bisa menolaknya di dalam hati.

Pernikahan muda tidak dapat ditolak oleh remaja di desa tersebut karena faktor tradisi
dan perintah orang tua.

Penilaian bahwa nikah muda dapat menimbulkan dampak buruk, akan dinafikan dengan
melihat kasus pernikahan antara HR dan SR.

Jika menilik Undang-Undang No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, maka


tradisi memaksakan pernikahan di usia dini dilarang. Namun dalam kasus ini, masyarakat
cenderung memakai hukum adat Islam.

Dalam perspektif Islam, pernikahan dengan anak di bawah umur sering disandarkan pada
sunnah Muhammad, Rasulullah SAW saat menikah dengan Syaidah Aisyah. Akad pernikahan
antara Rasul dengan Sayidah Aisyah yang kala itu baru berusia sekitar 10 tahun. Namun hal
tersebut menjadi khilafiah di antara para ulama.Berdasarkan penelusuran penulis, nikah muda
bagi masyarakat Madura atas dasar perjodohan, belum pernah ada yang sampai di bawa ke meja
hijau atas perkara pelanggaran ketentuan perlindungan anak.

15
Rifi Hamdani, Tradisi Perjodohan Dalam Masyarakat Madura Migran di Kecamatan Depok, Sleman, Daerah
Istimewa Yogyakarta. Skripsi diakses melalui http://digilib.uin-suka.ac.id pada 13 April 2015.

13
Dalam kasus ini juga tersangkut pada UU Perkawinan BAB II “Syarat-syarat
Perkawinan” pada pasal 6 ayat (2)16. Mahkamah Konstitusi (MK) pernah menggelar sidang
gugatan judicial review tentang batasan usia menikah. Saat ini, MK juga menerima gugatan yang
sama. Gugatan pemohon terkait Pasal 7 ayat (1)17 dan ayat (2)18 UU Perkawinan. Yayasan
Kesehatan Perempuan (YKP) mengajukan gugatan karena menilai batas usia minimal perempuan
menikah dalam UU Perkawinan rentan terhadap kesehatan reproduksi dan tingkat kemiskinan.

YKP berpandangan organ reproduksi perempuan usia tersebut belum siap. Hal itu lalu
dikaitkan dengan angka kematian ibu melahirkan yang sangat tinggi. YKP menjadikan Pasal 28B
ayat (2) UUD 1945 sebagai batu ujinya, "Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh,
dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi."

Majelis Hakim MK menolak gugatan tersebut. Majelis beralasan penetapan usia


perkawinan dalam UU Perkawinan merupakan pilihan kebijakan open legal policy pembentuk
undang-undang, sehingga batasan umur tersebut bukanlah merupakan persoalan
konstitusionalitas norma, melainkan lebih merupakan pilihan kebijakan dari pembentuk undang-
undang.

Selanjutnya, menurut Majelis, penetapan usia perkawinan dalam UU Perkawinan telah


sesuai dengan nilai-nilai agama. Sesuai hukum agama, memang tidak ditentukan sampai pada
batas minimal berapa sesorang diizinkan melakukan perkawinan. Dalam hukum agama misalnya
Islam, hanya diatur dalam soal baligh, di mana seorang mulai dibebani atau ditaklif dengan
beberapa hukum syara'.

Dalam ilmu hukum, terdapat asas lex specialist derogat legi generali, yaitu adanya aturan
khusus mengesampingkan aturan yang bersifat umum. Dalam perkawinan di Indonesia, maka
yang menjadi aturan khususnya adalah UU Perkawinan. Sehingga ketika dihadapkan dengan
aturan yang bersifat umum, maka kedudukan UU Perkawinan lebih kuat untuk dijadikan dasar
hukum dalam pelaksanaan perkawinan. Apalagi dalam aturan yang bersifat umum tersebut tidak
ada satu pasal pun yang secara tegas melarang perkawinan anak.

16
Pasal 6 ayat (2) yang berbunyi Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21
(duapuluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua.
17
Pasal 7 ayat (1) yang berbunyi Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan
belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun.
18
Pasal 7 ayat (2) yang berbunyi Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi
kepada Pengadilan atau Pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita.

14
BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Sejarah adat istiadat suku Madura, termasuk istilah nama madura terdapat beberapa versi.
Tidak ada kepastian tentang makna dan sejarah awal mula suku Madura.

Nikah muda masih menjadi hukum adat di daerah Madura hingga sekarang dan itu
diperbolehkan dengan syarat-syarat tertentu dan tidak dibebankan dengan hukum pidana di
Indonesia. Hal ini juga dilihat dari kehendak yang bersangkutan untuk melakukan pernikahan
dengan catatan agar terhindar dari zina.

Pernikahan dini diperbolehkan dalam agama. Hal ini karena apabila si remaja tidak bias menahan
nafsu, jadi lebih bai dinikahkan

B. Saran

Apabila tidak bias menahan nafsu, dan khawatir melakukan seks bebas , maka ia
diperbolehkan menikah walaupun itu pernikahan dini.

15
DAFTAR PUSTAKA

Literatur :

Bisri Ilhami, 2012, Sistem Hukum Indonesia : Prinsip-prinsip dan Implementasi Hukum di

Indonesia

Soerjono Soekanto, 1983. Hukum Adat Indonesia, Jakarta : Rajawali.

Soerjono Soekanto dan Soleman B. Taneko, 1983 Soleman B. Taneko, Hukum Adat Indonesia,

Jakarta : Rajawali

Surojo Wignjodipoero, 1985. Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, Jakarta: CV.Haji Mas

Agung.

Soleman B. Taneko, Dasar-dasar Hukum Adat dan Ilmu Hukum Adat, Bandung : Alumni.

Undang – Undang :

Undang-Undang No 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

Internet :

http://kabarmadura07.blogspot.com/2008/11/nikah-dini-di-desa-leggung-barat.html

https://id.wikipedia.org/wiki/Carok

https://id.wikipedia.org/wiki/Hukum_adat

16

Anda mungkin juga menyukai