Referat Trauma Abdomen PDF
Referat Trauma Abdomen PDF
DAFTAR ISI
2.1 DEFINISI
Trauma merupakan kekerasan fisik yang mengakibatkan cedera. Trauma
abdomen adalah trauma yang menyebabkan terjadinya kerusakan pada organ
abdomen yang dapat menyebabkan perubahan fisiologi sehingga terjadi gangguan
metabolisme, kelainan immunologi dan gangguan faal berbagai organ
2.2 EPIDEMIOLOGI
Pada tahun 1990, sekitar 5 juta orang meninggal di seluruh dunia karena
cedera (trauma). Resiko kematian karena trauma sangat bervariasi tergantung dari
daerah, usia, dan jenis kelamin. Kematian karena trauma sekitar 12,5% dari
seluruh kematian pada laki-laki dan pada perempuan hanya 7,4%. Pada tahun
2020, diperkirakan angka kematian di dunia akibat trauma akan mencapai 8,4
miliar dan salah satu penyebab tersebut adalah kecelakaan lalu lintas.
National Pediatric Trauma Registry (2000) di Amerika Serikat
melaporkan 8% pasien (total 25.301 pasien) mengalami trauma abdomen.
Delapan puluh tiga persen (83%) dari trauma tersebut adalah karena trauma
tumpul dan 59% dari trauma tumpul tersebut diakibatkan oleh cedera karena
kecelakaan kendaraan. Penelitian yang serupa dari database trauma pasien dewasa
menunjukkan bahwa trauma tumpul merupakan penyebab utama cedera
intraabdomen dan kecelakaan kendaraan bermotor merupakan penyebab utama
dari cedera tersebut. Trauma tumpul didapatkan sekitar 2/3 dari seluruh trauma
tersebut.
Dari seluruh kasus trauma abdomen di RSCM, trauma tembus akibat luka
tusuk menempati tempat teratas (65%) diikuti oleh trauma tumpul. Lebih dari
50% trauma tumpul disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas, biasanya disertai
dengan trauma pada bagian tubuh lainnya. Di negara-negara yang mengharuskan
penggunaan sabuk pengaman pada kendaraan, dikenal trauma tumpul yang
disebabkan oleh sabuk pengaman ini yang disebut seat-belt syndrome. Trauma
tumpul terutama terjadi di daerah pedesaan, sementara trauma tembus lebih sering
terjadi di daerah perkotaan.
2.3 ANATOMI
2.3.1 Anatomi Luar
a. Abdomen depan
Abdomen depan merupakan bidang yang dibatasi di bagian cranial oleh
garis intermammaria, caudal oleh kedua ligamentum inguinale dan simfisis pubis
serta di lateral oleh kedua linea axillaris anterior
b. Pinggang
Merupakan daerah yang berada di antara linea axillaris anterior dan linea
axillaris posterior, dari sela iga ke VI sampai crista iliaca. Di lokasi ini ada
dinding otot yang tebal, berlainan dengan dinding otot yang tipis di bagian depan,
menjadi pelindung terutama terhadap luka tusuk.
c. Punggung
Daerah ini berada di posterior dari linea axillaris posterior, dari ujung
caudal scapula sampai crista iliaca. Otot-otot punggung dan otot paraspinal
menjadi pelindung terhadap trauma tajam.
2.3.2 Anatomi dalam
a. Rongga peritoneum
Peritoneum merupakan membran serosa tipis yang melapisi dinding
cavitas abdominis dan cavitas pelvis serta meliputi visera abdomen dan pelvis.
Peritoneum parietale melapisi dinding cavitas abdominis dan cavitas pelvis,
sedangkan peritoneum visceral meliputi organ-organ. Rongga potensial di antara
peritoneum parietalis dan visceralis disebut cavitas peritonealis.
b. Rongga pelvis
Merupakan ruangan yang terletak diantara aperture pelvis superior dan
aperture pelvis inferior. Biasanya cavitas pelvis dibagi oleh diafragma pelvis
yang terletak di atas dan perineum dibawahnya. Rongga ini terutama berisi organ
urogenitalia.
c. Rongga retroperitoneum
Rongga potensial yang berada di belakang dinding peritoneum yang
melapisi abdomen. Cedera pada organ dalam retroperitoneum sulit dikenali
karena daerah ini jauh dari jangkauan pemeriksaan fisik dan biasanya cedera
awalnya tidak akan menimbulkan gejala peritonitis. Rongga ini termasuk dalam
bagian yang diperiksa sampelnya pada diagnostic peritoneal lavage (DPL).
Ada dua macam cara pembagian topografi abdomen yang umum dipakai
untuk menentukan lokalisasi kelainan, yaitu:
1. Pembagian atas empat kuadran, dengan membuat garis vertikal dan horizontal
melalui umbilikus, sehingga terdapat daerah kuadran kanan atas, kiri atas,
kanan bawah, dan kiri bawah.
2. Pembagian atas sembilan daerah, dengan membuat dua garis horizontal dan
dua garis vertikal.
a. Garis horizontal pertama dibuat melalui tepi bawah tulang rawan iga
kesepuluh dan yang kedua dibuat melalui titik spina iliaka anteriorsuperior
(SIAS).
b. Garis vertikal dibuat masing-masing melalui titik pertengahan antara SIAS
dan mid-line abdomen.
c. Terbentuklah daerah hipokondrium kanan, epigastrium, hipokondrium
kiri,lumbal kanan, umbilical, lumbal kiri, iliaka kanan, hipogastrium atau
suprapubik, dan iliaka kiri.
Sumber:www.wikipedia.com
2.4 KLASIFIKASI
Trauma pada abdomen disebabkan oleh dua mekanisme yang merusak,
yaitu: (1) trauma tumpul: merupakan trauma abdomen tanpa penetrasi ke dalam
rongga peitonium. Luka tumpul pada abdomen bisa disebabkan oleh jatuh,
kekerasan fisik atau pukulan, keselakaan kendaraan bermotor, cedera akibat
berolah raga, benturan, ledakan, deselerasi, kompresi atau sabuk pengaman. Lebih
dari 50% disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas. (2) Trauma tembus: merupakan
trauma abdomen dengan penetrasi ke dalam rongga peritoneum. Luka tembus
pada abdomen disebabkan oleh tusukan benda tajam atau luka tembak.
Berdasarkan organ yang terkena trauma abdomen dapat dibagi menjadi
dua: (1) Trauma pada organ padat, seperti hepar, limpa (lien) dengan gejala utama
perdarahan. (2) Trauma pada organ padat berongga seperti usus, saluran empedu
dengan gejala utama adalah peritonitis.
Trauma tumpul kadang tidak memberikan kelainan yang jelas pada
permukaan tubuh tetapi dapat mengakibatkan kontusio atau laserasi jaringan atau
organ dibawahnya. Trauma tumpul dapat berupa benda tumpul, perlambatan
(deselerasi), dan kompresi. Benturan benda tumpul pada abdomen dapat
menimbulkan cedera pada organ berongga berupa perforasi dan organ padat
berupa laserasi.
Trauma tembus dibagi menjadi luka tusuk dan luka tembak. Trauma
tembus akibat peluru dibedakan antara jenis kecepatan rendah (low-velocity)
dengan kecepatan tingg (high-velocity). Trauma tembus akibat peluru dengan
kecepatan tinggi menimbulkan kerusakan yang lebih besar. Hampir selalu luka
tembus akibat peluru mengakibatkan kerusakan pada organ-organ dalam
abdomen. Bahkan luka peluru yang tangensial tanpa memasuki rongga abdomen
dapat menimbulkan kerusakan organ-organ dalam abdomen akibat efek ledakan.
2.5 ETIOLOGI
Berdasarkan penyebabnya trauma tumpul dibagi menjadai tiga yaitu:
benturan karena benda tumpul, cedera kompresi, dan cedera perlambatan
(deselerasi). Benturan karena benda tumpul dapat mengakibatkan perforasi pada
organ visera berongga dan perdarahan pada organ visera padat. Pada cedera
kompresi dapat mengakibatkan robekan dan hematoma pada organ visera padat.
Selain itu cedera kompresi juga dapat mengakibatkan ruptur pada organ berongga
karena peningkatan tekanan intraluminer. Peregangan dan ruptur pada jaringan
ikat atau penyokong diakibatkan karena perlambatan atau deselerasi.
Trauma akibat kecelakaan kendaraan sampai saat ini merupakan penyebab
utama trauma tumpul abdomen pada populasi masyarakat. Kecelakaan antar
kendaraan dan kendaraan dengan pejalan kaki menjadi penyebab pada 50-75%
kasus. Penyebab yang jarang dari trauma tumpul abdomen antara lain trauma
iatrogenic selama resusitasi cardiopulmonal, melakukan dorongan secara manual
untuk membersihkan jalan napas, dan maneuver Heimlich.
Trauma tembus dapat desebabkan oleh luka akibat terkena tembakan, luka
akibat tikaman benda tajam dan luka akibat tusukan. Luka tembus karena
tembakan kecepatan rendah dapat mengakibatkan kerusakan jaringan, laserasi,
dan putus. Sedangkan luka tembak kecepatan tinggi dapat mengakibatkan
hancurnya organ dalam.
Luka akibat tembakan senjata, dimana mempunyai energi yang lebih besar
dibandingkan luka tusuk, biasanya menyababkan kerusakan yang lebih besar.
Luka akibat tembakan senjata yang menembus peritoneum dan mengakibatkan
kerusakan yang berarti terhadap struktur intraabdomen yang penting didapatkan
pada lebih dari 90% kasus.
2.6 PATOFISIOLOGI
Pada trauma tumpul abdomen cedera pada struktur dalam rongga abdomen
dapat diklasifikasikan menjadi dua mekanisme cedera yaitu kekuatan kompresi
dan kekuatan perlambatan (deselerasi).
Kekuatan kompresi dapat ditemukan pada pukulan secara langsung atau
kompresi luar yang melawan benda yang memfiksasi organ tersebut misalnya lap
belt dan spinal column. Umumnya kekuatan yang merusak menyebabkan robek
dan timbulnya hematoma subkapsular dari organ visera yang padat. Kekuatan
tersebut juga menyebabkan perubahan bentuk pada organ berongga dan
menyebabkan peningkatan tekanan intraluminal sementara sehingga dapat
menimbulkan robekan. Peningkatan tekanan sementara ini biasanya terjadi pada
usus kecil.
Kekuatan deselerasi menyebabkan peregangan (stretching) dan memotong
(shearing) secara linier bagian organ yang relatif terfiksir dengan bagian yang
bergerak bebas. Kekuatan memotong secara longitudinal cenderung menyebabkan
ruptur dari struktu penyokong pada daerah hubungan antara dua segmen yang
bergerak bebas dan terfiksir. Cedera deselerasi yang klasik termasuk robeknya
hepar sepanjang ligamentum teres dan trauma lapisan intima dari arteri renalis.
Hal serupa juga dapat menyebabkan kolon terlepas dari perlekatannya dengan
mesenterium, trombosis dan robekan mesenterik serta dapat juga ditemukan
cedera pada arteri splanikus.
Pada luka tusuk, kerusakan organ adalah akibat langsung dari alat
penusuk. Kerusakan dapat berupa perdarahan bila mengenai pembuluh darah atau
organ yang padat. Bila mengenai organ yang berongga, isinya akan keluar ke
dalam rongga abdomen dan menimbulkan iritasi pada peritoneum. Luka tembak
akan menimbul kerusakan pada organ yang dilalui peluru. Organ padat akan
mengalami kerusakan yang lebih luas akibat energi yang ditimbulkan oleh peluru
tipe high velocity.
2.9 DIAGNOSIS
a. Anamnesis
Dapatkan keterangan mengenai perlukaannya, bila mungkin dari
penderitanya sendiri, orang sekitar korban, pembawa ambulans, polisi, atau saksi-
saksi lainnya, sesegera mungkin, bersamaan dengan usaha resusitasi.
b. Pemeriksaan Fisik
Untuk pemeriksaan fisik lakukan inspeksi, auskultasi, perkusi dan baru
palpasi. Untuk inspeksi lihat mulai dari keadaan umum klien, ekspresi wajah,
tanda dehidrasi, perdarahan, dan tanda-tanda syok. Pada trauma abdomen
biasanya ditemukan kontusio, abrasio, lacerasi dan echimosis. Echimosis
merupakan indikasi adanya perdarahan di intraabdomen. Terdapat Echimosis pada
daerah umbilikal biasa kita sebut Cullen’s Sign sedangkan echimosis yang
ditemukan pada salah satu panggul disebut sebagai Turner’s Sign. Terkadang
ditemukan adanya eviserasi yaitu menonjolnya organ abdomen keluar seperti
usus, kolon yang terjadi pada trauma tembus atau tajam.
Untuk auskultasi selain suara bising usus yang diperiksa di empat kuadran
dimana adanya ekstravasasi darah menyebabkan hilangnya bunyi bising usus, juga
perlu didengarkan adanya bunyi bruits dari arteri renalis, bunyi bruits pada
umbilical merupakan indikasi adanya trauma pada arteri renalis. Perkusi untuk
melihat apakah ada nyeri ketok. Salah satu pemeriksaan perkusi adalah uji perkusi
tinju dengan meletakkan tangan kiri pada sisi dinding thoraks pertengahan antara
spina iliaka anterior superior kemudian tinju dengan tangan yang lain sehingga
terjadi getaran di dalam karena benturan ringan bila ada nyeri merupakan tanda
adanya radang atau abses di ruang subfrenik antara hati dan diafraghma.
Selain itu bisa ditemukan adanya bunyi timpani bila dilatasi lambung akut
di kuadran atas atau bunyi redup bila ada hemoperitoneum. Pada waktu perkusi
bila ditemukan balance sign dimana bunyi resonan yang lebih keras pada panggul
kanan ketika klien berbaring ke samping kiri merupakan tanda adanya rupture
limpe. Sedangkan bila bunyi resonan lebih keras pada hati menandakan adanya
udara bebas yang masuk.
Adanya darah atau cairan usus dalam rongga peritoneum akan
memberikan tanda-tanda rangsangan peritoneum berupa nyeri tekan, nyeri ketok,
nyeri lepas dan kekakuan (rigidity) dinding abdomen. Kekakuan dinding abdomen
dapat pula diakibatkan oleh hematoma pada dinding abdomen. Adanya darah
dalam rongga abdomen dapat ditentukan dengan shifting dullness, sedangkan
udara bebas ditentukan dengan pekak hati yang beranjak atau menghilang. Bising
usus biasanya melemah atau hilang sama sekali. Bising usus yang normal belum
berarti bahwa tidak ada apa-apa dalam rongga abdomen. Trauma abdomen disertai
ranggsangan peritoneum dapat memberikan gejala berupa nyeri pada daerah bahu
terutama yang sebelah kiri. Gejala ini dikenal sebagai referred pain yang dapat
membantu menegakkan diagnosis.
Pemeriksaan lain yang perlu dilakukan: pemeriksaan rektum, adanya darah
menunjukkan kelainan pada usus besar: kuldosentesis, kemungkinan adanya darah
dalam lambung; dan kateterisasi, adanya darah menunjukkan lesi pada saluran
kencing.
c. Pemeriksaan Laboratorium
Secara rutin diperiksa hemoglobin, hematokrit, hitung jenis leukosit, dan
urinalisis. Nilai-nilai amilase urine dan serum dapat membantu untuk menentukan
adanya perlukaan pankreas atau perforsi usus.
1. Darah lengkap
Hemoglobin dan hematokrit normal ditemukan jika tidak terjadi
perdarahan. Pasien yang mengalami perdarahan dapat dilakukan transfusi dengan
cairan kristaloid. Transfusi trombosit diperlukan jika terjadi trombositopenia
(plateler count < 50.000/ml) dan perdarahan aktif.
2. Kimia serum
Pemeriksaan kimia serum penting dilakukan untuk mengatahui adanya
ketidakseimbangan elektrolit. Pemeriksaan gula darah sewaktu juga penting
digunakan untuk mengetahui status mental pasien.
3. Lever funection test (LFT)
LFT mungkin dapat digunakan pada pasien dengan trauma tumpul
abdomen untuk mengetahui alasan insiden seperti pada alcohol abuse.
Peningkatan kadar aspartate aminotransferase (AST) atau alanin
aminotransferase (ALT) lebih dari 130µ berhubungan dengan cedera hepar yang
signifikan. Kadar lactate dehydrogenase (LDH) dan bilirubun merupakan indikasi
non spesifik untuk cedera hepar.
4. Pengukuran amilase
pemeriksaan amilase merupakan test yang sensitif non spesifik untuk
cedera pankreas. Namun peningkatan kadar amilase setelah 3 – 6 jam setelah
trauma memiliki akuransi yang cukup besar.
5. Urinalisis
Indikasi untuk dilakukan urinalisis antara lain trauma yang cukup parah
pada abdomen dan flank, gross hematuri, microscop hematuri pada pasien
hipotensi, dan mekanisme deselerasi yang parah.
6. Coagulation profile
Pemeriksaan PT dan PTT dilakukan pada pasien yang memiliki riwayat
blood dyscrasias (hemophilia), gangguan sintesis (cirrhosis), atau yang sedang
dalam terapi obat-obatan (warfarin dan heparin).
7. Golongan darah, screen, dan crossmatch
Pemeriksaan ini dilakukan pada pasien yang mengalami trauma abdomen
dengan tujuan untuk menghemat waktu crossmatch sehingga dapat dipersiapkan
darah utnuk transfusi dengan segera.
8. Pengukuran gas darah arteri
Pemeriksaan ini penting untuk memberikan informasi tentang kadar
oksigen (PO2, SaO2) dan ventilasi (PCO2). Pemeriksaan ini juga dapat mendeteksi
asidosis metabolik yang sering menyertai keadaan syok.
9. Skrining obat dan alkohol
Pemeriksaan skrining terhadap pemakaian obat dan alkohol dapat berguna
untuk menilai kesadaran pasien.
d. Pemeriksaan Radiologi
Bila indikasi untuk melakukan laparatomi sudah ditentukan tidak perlu
lagi dilakukan pemeriksaan radiologi, lebih-lebih pada penderita dalam keadaan
syok. Pemeriksaan radiologi hanya akan memperburuk keadaan penderita bahkan
dapat berakhir dengan kematian di atas meja rontgen.
Pemeriksaan radiologi untuk skrining adalah Ro-Cervical lateral, thorak
anterior-posterior, dan pelvis anterior-posterior dilakukan pada pasien trauma
tumpul dengan multi trauma. Rontgen foto abdomen 3 posisi (terlentang, setengah
duduk, dan lateral dekubitus) berguna untuk melihat adanya udara bebas di bawah
diafragma ataupun udara di luar lumen di retroperitoneum yang menjadi petunjuk
untuk dilakukannya laparotomi. Hilangnya bayangan psoas menunjukkan
kemungkinan cedera retroperitoneal. IVP atau sistogram hanya dilakukan bila ada
kecurigaan terhadap trauma saluran kencing.
e. Parasentesis Perut
Pada trauma tumpul sulit untuk melihat setiap bagian intraperitoneum dari
traktus gastrointestinal dengan diagnosis laparoskopi. Teknik ini tidak
memungkinkan untuk melihat secara adekuat bagian retroperitoneum. Cara ini
mungkin mampu menilai adanya cedera hepar atau limpa dan terapi kejadian
cedera minor, namun cara tersebut sulit untuk menentukan rencana terapi.
f. Lavase Peritoneal
Lavase peritoneal berguna untuk mengetahui adanya perdarahan
intraabdomen pada suatu trauma tumpul bila dengan pemeriksaan fisik dan
radiologik, diagnosa masih diragukan. Test ini tidak boleh dilakukan pada
penderita yang tidak kooperatif, melawan, dan yang memerlukan operasi abdomen
segera. Kandung kemih harus dikosongkan terlebih dahulu. Posisi penderita
terlentang, kulit bagian bawah disiapkan dengan jodium tinktur dan infiltrasi
anestesi lokal di garis tengah diantara umblikus dan pubis, kemudan dibuat insisi
kecil. Kateter dialisa peritoneal dimasukkan ke dalam rongga peritoneal. Bila pada
pengisapan tidak keluar darah atau cairan, dimasukkan cairan garam fisiologis
sampai 1000 ml yang kemudian dikeluarkan kembali. Hasil dikatakan positif bila:
cairan yang keluar berwarna kemerahan, adanya empedu, ditemukannya bacteria
atau sel darah lebih dari 100.000/mm3, sel darah putih lebih dari 500/mm3,
amylase lebih dari 100 u/100 ml.
2.10 PENATALAKSANAAN
a. Trauma Tumpul
Tindakan awal yang dilakukan pertama kali adalah primary survey untuk
mengidentifikasi permasalahan yang mengancam dengan segera. Stabilisasi ABCs
(Airway, Brething, Circulation) dilakukan secara simultan. Pasien dengan
permasalahan jalan nafas atau yang memiliki potensi mengancam dilakukan
pemasangan endotracheal tube. Atasi pasien yang mengalami apnea atau
hipoventilasi serta pasien yang mengalami takipnea dengan memberikan oksigen.
Menurunnya suara nafas mungkin ditemukan pada hemothoraks atau
pneumothoraks sehingga perlu dilakukan dekompresi. Identifikasi hipovolemi dan
tanda shok dan mencari sumber perdarahan. Atasi segera dengan pemberian cairan
intravena. Setelah tertangani semua lakukan pemeriksaan fisik lengkap mulai dari
kepala sampai ke kaki dengan memfokuskan pada daerah yang mengalami
trauma. Setelah melakukan primery survey dan resusitasi awal, segera lengkapi
dengan secondary survey untuk mengidentifikasi semua potensi yang
memungkinkan menimbulkan cedera. Bedside ultrasonography merupakan salah
satu protokol untuk menilai adanya perdarahan intraperitoneum. Jika hasil
penilaian negatif atau meragukan, DPL bisa dilakukan pada pasien yang
hemodinamiknya tidak stabil. Pasien yang mengalami instabilisasi hemodinamik
atau ditemukan abnormalitas yang jelas pada pemeriksaan fisik dan prosedur
diagnostik memerlukan intervensi pembedahan. Penemuan yang spesifik pada
tahap diagnostik, seperti terbukti adanya cairan bebas atau cedera organ padat
pada sonogram atau CT-scan merupakan indikasi untuk dilakukan intervensi
pembedahan.
Pasien harus dimonitor secara ketat di ICU bedah setelah selesai
laparotomi. Banyak pasien akan masih diintubasi dan diberikan ventilasi.
Perhatian harus ditujukan pada suhu pasien, kelancaran resusitasi pemberian
cairan dan darah, penggantian elektrolit, dan memonitor keluaran drainage. Pada
pasien dengan adanya bukti perdarahan yang berlanjut mungkin mempunyai
keuntungan untuk dilakukan evaluasi dengan angiografi untuk mengetahui adanya
embolisasi; dan beberapa pasien memerlukan eksplorasi kembali untuk
mengontrol perdarahan. Pasien yang menjalani prosedur control kerusakan
demage-control procedures) dan/atau yang dilakukan penutupan abdomen
sementara harus dilakukan operasi kembali dalam 24-48 jam untuk perbaikan
definitive
b. Luka Tusuk
Karena tingginya frekuensi laparotomi negatif pada tindakan laparotomi
rutin, sekarang orang cenderung untuk lebih selektif dalam memutuskan tindakan
laparotomi pada luka tusuk abdomen.
Tindakan laparotomi hanya dilakukan bila: adanya tanda-tanda rangsangan
peritoneal, syok, bising usus tak terdengar, prolaps visera melalui luka tusuk,
darah dalam lambung, buli-buli, rectum, udara bebas intraperitoneal, dan lavase
peritoneal memberikan hasil positif. Selain dari itu penderita diobservasi selama
24-48 jam.
Bagian Ilmu Bedah FKUI/RSCM memakai cara penentuan terlebih dahulu
apakah luka tusuk itu menembus peritoneum dengan cara mengeksplorasi luka
tusuk. Luka tusuk yang menembus peritoneum dilanjutkan dengan tindakan
laparotomi.
c. Luka Tembak
Berbeda dengan luka tusuk abdomen yang belum tentu mengenai alat
dalam abdomen, luka tembak hampir selalu menimbulkan kerusakan pada alat
dalam perut. Dianjurkan pada luka tembak perut agar dilakukan laparotomi.
2.11 KOMPLIKASI
Komplikasi bisa terjadi pada trauma yang dapat diidentifikasi maupun
yang tidak teridentifikasi. Perdarahan intraabdomen, infeksi, sepsis, dan kematian
dapat terjadi. Delayed ruptur atau delayed hemmorage dari organ padat khususnya
limpa dapat muncul. Pada pasien yang menjalani laparatomi dan perbaikan,
komplikasi sama dengan kondisi lain yang memerlukan tindakan operasi.
Carlos et al (2005) menemukan beberapa komplikasi pasca laparotomi
pada trauma abdomen. Yang paling banyak adalah abses intraabdominal sebanyak
(12%), selanjutnya infeksi luka (7%), fistel enterokutan (4%), dan gagal ginjal
akut (3%). Selain itu komplikasi postoperasi dini meliputi perdarahan yang tetap
berlanjut, coagulopati, dan sindrom compartment abdomen. Komplikasi yang
terakhir ini diterapi dengan membuka abdomen dan menutup sementara.
Komplikasi yang lebih lambat lagi meliputi obstruksi usus halus dan hernia
insisional.
2.12 PROGNOSIS
Prognosis pasien yang menderita trauma abdomen umumnya baik. Angka
kematian pada pasien yang dirawat di rumah sakit sekitar 5-10%. Sebagian besar
kematian yang disebabkan oleh trauma abdomen dapat dicegah. Trauma abdomen
merupakan salah satu penyebab tersering dari kematian akibat suatu trauma yang
dapat dicegah.
Jika cedera abdomen tidak segera didiagnosis, suatu keadaan yang lebih
buruk dapat terjadi. Terapi yang terlambat akan menyebabkan morbiditas dan
mortalitas yang tinggi jika terjadi perforasi saluran gastrointestinal.
Angka pasien yang selamat dari trauma tembus abdomen tidak meningkat
secara nyata karena kematian dalam 24 jam pertama sebagai akibat dari syok
perdarahan irreversible dan exsangunasi. Lebih dari 80% kematian terjadi dalam
24 jam saat kedatangan di rumah dan 66,7% pada saat operasi awal karena cedera
pembuluh darah abdomen. Sebaliknya, angka pasien yang selamat dari trauma
tembus abdomen tanpa cedera pembuluh darah masih tinggi.
Distribusi puncak dari kematian pada trauma tembus abdomen sangat
berbeda dibandingkan pada trauma tumpul abdomen. Sebagian besar kematian
karena trauma tembus abdomen terjadi antara 1 – 6 jam dari saat datang di rumah
sakit, diikuti jumlah yang lebih kecil pada 6 – 24 jam setelah kedatangan.
Sebaliknya, jumlah tertinggi kematian karena trauma tumpul abdomen terjadi 72
jam setelah kedatangan di rumah sakit dan jumlah yang lebih kecil dalam jam
pertama kedatangan. Kematian karena trauma tembus abdomen lebih sering
terjadi di instlasi gawat darurat (IGD) atau ruang operasi dibandingkan dengan
trauma tumpul abdomen yang terutama terjadi di ICU.
Secara umum, kematian terjadi dalam 72 jam pertama karena hipoperfusi
dan sequelenya. Kematian di ICU dua minggu atau lebih kemudian biasanya
karena komplikasi sepsis, sindrom respon inflamasi sistemik (SIRS=systemic
inflammatory response syndrome), atau sindrom disfungsi organ multiple
(multiple organ dysfunction syndrome).
Faktor-faktor yang meningkatkan mortalitas dari trauma tembus abdomen
adalah jenis kelamin perempuan, lamanya jarak antara saat kejadian dan
dimulainya tindakan operasi, adanya syok saat datang ke rumah sakit, dan adanya
cedera kepala.
BAB III
METODE PENELITIAN
38.10%
2009
2010
4.80% 7.10%
Laki-laki Perempuan
47.62%
19.04%
14.29%
11.90%
7.15%
< 15 tahun 15-25 tahun 26-35 tahun 36-45 tahun > 45 tahun
Dari data yang terkumpul, korban trauma abdomen terbanyak berasal dari
kelompok umur 15-25 tahun sebanyak 20 orang (57,62%) diikuti oleh
kelompok umur > 45 tahun sebanyak 8 orang (19,04%), kelompok umur < 15
tahun sebanyak 6 orang (14,28 %), kelompok umur 26-35 tahun sebanyak 5
orang (11,90%), dan yang paling sedikit adalah kelompok umur 36-45 tahun
sebanyak 3 orang (7,15%). Data dari National Center for Injury Prevention
and Control (2000) bahwa 73% kasus trauma abdomen didapatkan pada usia
15-25 tahun dan pada rentang umur 25-35 tahun didapatkan angka kematian
57%. Salomone et.al menyatakan bahwa insiden puncak trauma abdomen
terjadi pada usia 14-30 tahun.
76.20%
23.80%
28.50%
28.60%
19.04% 19.04% 19.04%
9.52%
4.76%
14.20%
Dari semua jenis trauma abdomen didapatkan keadaan patologi pada organ
padat sebanyak 16 kasus (57,14%) dan organ padat berongga sebanyak 7
kasus (25%). Patologi yang terbanyak ditemukan adalah trauma hepar (tabel
4.5) yaitu 28,5% diikuti ruptur ren (ginjal), ruptur lien, masing-masing 14,3%. Pada
organ padat berongga didapatkan Patologi yaitu perforasi ileum 14,3% dan perforasi
jejunum 3,58%.
Pada taruma tumpul abdomen jenis patologi yang paling banyak ditemukan yaitu
ruptur hepar 28,60% dari 21 trauma tumpul abdomen (grafik 4.6) sedangkan pada
trauma tembus hanya didapatkan 28,60% dari 7 trauma tembus abdomen. Hal ini
menunjukkan bahwa ruptur hepar paling banyak disebabkan oleh truma tumpul.
Udeani et.al menyatakan bahwa organ padat seperti hati dan limpa merupakan
organ yang tersering mengalami kerusakan pada trauma tumpul abdomen.
Selain itu usus halus, ginjal, vesica urinaria, colorectum, diaphragma, dan
pancreas juga tidak jarang ditemukan. Peletti et al (2003) menemukan angka
kejadian ruptur lien (37%) lebih banyak dari ruptur hepar (32%) dari 110
kasus trauma abdomen sedangkan Carlos et al (2005) menemukan organ padat
yang paling banyak terkena pada trauma abdomen adalah hati (25%).
Cheng et.al menyatakan pada trauma tembus karena luka tusuk, organ yang
paling sering cedera adalah hati (40%), usus halus (30%), diaphragma (20%),
dan colon (15%). Organ intraabdomen yang paling sering cedera karena luka
tembak adalah usus halus (50%), colon (40%), hati (30%), dan struktur
pembuluh darah (25%).
66.67%
16.67% 14.28%
2.38%
10.52% 10.52%
5.27% 5.27%
40.00% 40.00%
20%
5.1 Kesimpulan
1. Angka kejadian trauma abdomen yang tercatat di RSUP NTB selama
periode 1 Januari 2009 sampai 31 Desember 2010 adalah 42 pasien dari
total 2659 kasus trauma.
2. Jumlah kasus trauma abdomen berjenis kelamin laki-laki lebih banyak bila
dibandingkan dengan perempuan yaitu sebanyak 37 orang (88,1 %) untuk
laki-laki dan 5 orang (11,9%) untuk perempuan
3. Kelompok umur yang paling banyak mengalami trauma abdomen adalah
kelompok umur 15-25 tahun sebesar 20 orang (47,62%)
4. Trauma tumpul abdomen merupakan jenis trauma abdomen terbanyak
yaitu 32 orang (76,2%) dan trauma tembus abdomen sebanyak 10 orang
(23,8%)
5. Trauma tumpul abdomen paling banyak menyebabkan cedera pada organ
padat abdomen sebanyak 16 (57,14%)
6. Cedera organ padat yang paling banyak didapatkan adalah ruptur hepar
sedangkan pada cedera organ padat berongga yang paling banyak
didapatkan adalah perforasi ileum.
5.2 Saran
1. Perlu dilakukan evaluasi dalam sistem pencatatan Rekam Medik RSUP
NTB baik Instalasi Gawat Darurat maupun Rawap Inap secara lengkap
meliputi jumlah kasus trauma abdomen pertahun, penyebab trauma
abdomen, dan angka kematian akibat trauma abdomen.
2. Untuk jangka panjang, penelitian ini sebaiknya terus dilanjutkan dan
diperluas cakupan sebagai salah satu sumber informasi kejadian trauma
abdomen.
DAFTAR PUSTAKA
1. R. Sjamsuhidajat & Wim de Jong. 2004. Trauma dan Bencana. Buku Ajar
Ilmu Bedah. Edisi I. Penerbit buku kedokteran EGC. Jakarta.
2. Udeani. 2008. Abdominal Trauma, Blunt. Department of Emergency
Medicine, Charles Drew University of Medicine and Science, University of
California, Los. Available from :
http://emedicine.medscape.com/article/433404-overview. (Accesed 2011, 7
January )
3. Ahmadsyah, Ibrahim. Abdomen Akut. Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. Bagian
Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/ Rumah Sakit Dr.
Cipto Mangunkusumo. Penerbit Binarupa Aksara. Jakarta.
4. Wikipedia. 2010. Abdominal Trauma. Available from :
http://en.wikipedia.org/wiki/Abdominal_trauma. (Accesed 2011, 7 January)
5. Maxey. 2010. Abdominal Trauma Penetrating. Department of Surgery,
Indiana University School of Medicine. Available from :
http://emedicine.medscape.com/article/433554-overview. (Accesed 2011, 7
January)
6. Cheng. 2010. Abdominal Trauma Penetrating. Department of Emergency
Medicine, New York University, Bellevue Medical Center. Available from :
http://emedicine.medscape.com/article/822099-overview. (Accesed 2011, 7
January)
7. Salomone. 2009. Abdominal Trauma, Blunt. Available from :
http://emedicine.medscape.com/article/821995-overview. (Accesed 2011, 7
January)
8. Mansjoer, Suprohaita, W.K. Wardhani, W. Setiowulan. 2000. Trauma
Abdomen. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi III, Jilid II. Penerbit Media
Aesculapius, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
9. Feliciano & Rozycki. 2003. Evaluation of Abdominal Trauma. American
College of Surgeons. Available from :
http://www.facs.org/trauma/publications/abdominal.pdf (Accesed 2011, 21
January)
10. Sabiston. 1995. Buku Ajar Bedah. Cetakan II. Penerbit EGC : Jakarta
11. Schwartz. 2000. Intisari Prinsip-prinsip Ilmu Bedah. Edisi 6. Penerbit EGC
12. Poletti et al. 2003. Blunt Abdominal Trauma:Should US Be Used to Detect
Both Free Fluid and Organ Injuries? Available from:
http://radiology.rsna.org/content/227/1/95.full.pdf+html (Accesed 2011, 30
January)
13. Carlos et al. 2005. Hemodynamically “Stable” Patients With Peritonitis After
Penetrating Abdominal Trauma. Available from:
http://highwire.stanford.edu/cgi (Accesed 2011, 30 January)
Airway, Breathing, Circulation (ABCs)
Lakukan observasi jika hasil Lakukan pemeriksaan selanjutnya jika Lakukan operasi segera jika:
pemeriksaan normal - Mekanisme trauma resiko tinggi - Peritonitis
- Kesadaran menurun - Hipotensi dengan hasil pemeriksaan DPL
- Hasil pemeriksaan abdomen dan USG didapatkan adanya perdarahan
meragukan intraabdomen
- Perdarahan yang terus berlangsung - Eviserasi
- hematuria - Fraktur pelvis terbuka
Hasil pemeriksaan
Normal Positif Negatif
abdomen meragukan
Luka tusuk bagian anterior Luka tembak Luka tusuk/tembak bagian posterior dan
regio flank yang asimptomatik
Operasi jika:
- Peritonitis Positif Laparotom
- Hipotensi i
Operasi