Anda di halaman 1dari 11

PENDAHULUAN

Pendapatan pemerintah pusat sebagaimana tertuang dalam anggaran negara dan belanja
negara (APBN) terbagi dalam dua jenis yaitu penerimaan dalam negeri dan hibah. Penerimaan
dalam negeri dirinci lagi ke dalam berbagai jenis penerimaan. Berbagai macam penerimaan
dalam negeri dikelompokkan dalam dua kelompok besar yaitu: penerimaan perpajakan dan
penerimaan negara bukan pajak (PNBP).
Pembagian atas penerimaan perpajakan dan PNBP berdasarkan jenis pendapatan.
Penerimaan perpajakan merupakan penerimaan dari segala jenis pajak. Definisi pajak menurut
Soemitro (dalam Waluyo, 2000) adalah:
Iuran rakyat untuk kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan)
dengan tidak mendapat jasa timbal (kontraprestasi), yang langsung dapat ditunjukkan dan
yang dapat digunakan untuk membayar pengeluaran umum.

PNBP adalah seluruh penerimaan pemerintahan pusat yang tidak berasal dari
penerimaan perpajakan. Definisi ini sesuai dengan bunyi Pasal 1 Undang-Undang Nomor 20
Tahun 1999 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak. Dalam APBN jumlah penerimaan
perpajakan jauh lebih besar bila dibandingkan dengan PNBP. Sebagai contoh dapat dilihat pada
Rancangan APBN (RAPBN) Tahun 2016, yaitu di bagian penerimaan dalam negeri, porsi
penerimaan perpajakan mencapai kurang lebih 84,82%, sedangkan PNBP kurang lebih hanya
15,18%. Bila dibandingkan dengan total penerimaan APBN, penerimaan perpajakan
menyumbang kurang lebih 84,72%. Jelas sekali perpajakan merupakan sumber utama dalam
APBN. Untuk dapat melihat perkembangan proporsi penerimaan perpajakan dan PNBP sejak
tahun 2012-2016 dapat dilihat pada Tabel 4.1.

Tabel 4.1 Pendapatan Negara dan Hibah, Tahun 2012-2016 (dalam rupiah rupiah)
Data dalam Tabel 4.1 untuk tahun 2012 sampai dengan 2014 merupakan data realisasi
APBN; data tahun 2015 adalah data APBN setelah adanya perubahan (APBN-P); dan data tahun
2016 adalah data RAPBN. Oleh karena adanya perbedaan jenis data yakni untuk tahun 2012
sampai dengan tahun 2014 adalah data realisasi APBN sedangkan data dua tahun terakhir adalah
data anggaran, maka sebenarnya angka-angka tersebut tidak dapat diperbandingkan dengan
tahun per tahun. Namun demikian penulis hanya ingin memberikan gambaran besar tentang
bagaimana perkembangan proporsi pendapatan dalam APBN dari tahun ke tahun. Pada Tabel
4.1, sumber pendapatan negara dan hibah yang sangat dominan adalah penerimaan dalam
negeri. Penerimaan dalam negeri terbagi dalam dua jenis yaitu penerimaan perpajakan dan
PNBP. Dari dua jenis penerimaan tersebut, porsi penerimaan perpajakan jauh lebih besar dari
PNBP.
Perbandingan penerimaan perpajakan dengan PNBP tergambar dalam Gambar 4.1 berikut
ini.
Gambar 4.1 Perbandingan Penerimaan Perpajakan dengan PNBP
Tahun 2012-2016
1,800,000

1,600,000

1,400,000

1,200,000

1,000,000
penerimaan perpajakan
800,000 PNBP

600,000

400,000

200,000

0
2012 2013 2014 2015 2016

Kita dapat melihat grafik dalam Gambar 4.1. bahwa penerimaan perpajakan jauh lebih
besar dari PNBP. Dari tahun 2012 hingga 2014 penerimaan perpajakan meningkat, sebaliknya
PNBP jumlahnya relatif konstan dari tahun ke tahun bahkan sempat mengalami penurunan.
Uraian di atas menggambarkan bahwa penerimaan perpajakan menjadi tulang punggung APBN.
Pengelolaan keuangan sektor publik sama dengan pengelolaan APBN. Komponen terbesar dari
pendapatan dalam APBN adalah penerimaan perpajakan dalam pengelolaan keuangan sektor
publik, khusus pengelolaan pendapatan, yang paling utama adalah pengelolaan penerimaan
perpajakan.

Salah satu indikator yang dapat digunakan untuk melihat sejauah mana tingkat kepatuhan
pembayar pajak dan potensi pajak di suatu negara adalah rasio pajak (tax ratio). Rasio pajak
merupakan perbandingan antara jum penerimaan pajak dengan produk bruto (PDB) suatu
negara. Apabila pembayar pajak makin patuh atau makin tinggi penerimaan pajak maka pajak
akan makin tinggi.
Menurut data dari portal Wikipedia HYPERLINK http://en.wikipedia.org
(http://en.wikipedia.org). Rasio pajak di negara maju mencapai lebih dari 30%, rasio pajak
negara-negara berkembang seharusnya lebih dari 20. Negara-negara tetangga dari Indonesia
memiliki rasio pajak berkisar kuran lebih dari 15%. Menteri Keuangan RI, Agus Martowardoyo,
dalam keterangan pers seputar pembangunan ekonomi makro dan kondisi fiscal tahun 2011
dan 2012 mengatakan rasio pajak Indonesia pada tahun 2011 mencapai 12,3% (sumber:
HYPERLINK http: //www.pajak. Go.id). Sementara itu dilansir dalam infobanknews.com bahwa
menurut Dirjen Pajak saat ini yaitu Sigit Priadi Pramudito, rasio pajak Indonesia hanya 11,9%
lebih tinggi dibandingkan Singapura 14%, Filipina 12,9%, Thailand 16,5%. dan Malaysia
16,1%. Rendahnya rasio pajak di Indonesia menunjukkan bahwa Wajib Pajak belum sepenuhnya
patuh dan masih adanya potensi untuk meningkatkan penerimaan pajak.

INTENSIFIKASI DAN EKSTENSIFIKASI


Manajemen keuangan APBN secara umum meliputi bagaimana cara mendapatkan dana
(how to get the fund) dan bagaimana cara menggunakan atau mengalokasikan dana tersebut
(how to allocate the fund ). Dalam APBN, bagaimana cara mendapatkan dana berkaitan dengan
sisi pendapatan dan pembiayaan, sedangkan bagaimana mengalokasikan dana berkaitan dengan
sisi pembelanjaan.
Manajemen keuangan sektor publik yang akan dibahas dalam bagian ini adalah
manajemen keuangan APBN khususnya penerimaan pajak dalam negri. Dengan demikian akan
dibahas hal-hal mengenai bagaimana mendapatkan dana atau bagaimana meningkatkan
penerimaan pajak.
Penerimaan pajak dalam negeri di APBN terdiri dari berbagai kategori sesuai dengan
sumber penerimaannya yaitu: pajak pendapatan; pajak pertambahan nilai; pajak bumi dan
bangunan; bea perolehan hak atas tanah dan bangunan BPHTB); cukai; dan pajak lainnya.
Secara umum, peningkatan penerimaan dilakukan dengan dua cara yaitu ekstensifikasi dan
intensifikasi. Kegiatan ekstensifikasi terkait dengan upaya menambah atau meningkatkan
jumlah Wajib Pajak terdaftar, sedangkan kegiatan intensifikasi dilakukan dengan
mengoptimalkan penerimaan pajak dari Wajib Pajak yang telah terdaftar (memiliki Nomor
Pokok Wajib Pajak-NPWP).
Dalam hal intensifikasi terdapat tiga hal yang penting untuk dilaksanaka yaitu:
a. profiling atau pembuatan profil;
Masing-masing Wajib Pajak dibuatkan profil untuk memantau kepatuhan Wajib
Pajak dalam membayar pajak.
b. Benchmarking atau pembandingan;
Pembayaran pajak yang dilakukan oleh Wajib Pajak dibandingkan dengan
pembayaran oleh Wajib Pajak lain yang memiliki profil sama.
c. Mapping atau pemetaan;
Mapping adalah Pemetaan yang menggambarkan potensi perpajakan yang
mengelompokkan Wajib Pajak berdasarkan wilayah, sektor, subjek, jenis,
mengelompokkan Wajib Pajak sesuai dengan kebutuhan atau keunggulan yang
ada di wilayah kerja. Tujuannya adalah untuk mendapatkan gambaran umum
tentang potensi perpajakan dan keunggulan fiskal di masing-masing wilayah.
Tiga kegiatan di atas ini telah dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementrian
Keuangan Republik Indonesia secara terintegrasi untuk mengetahui tingkat kepatuhan Wajib
Pajak dan untuk mengetahui potensi pajak yang masih dapat direalisasikan.

Reformasi Perpajakan
Reformasi perpajakan merupakan upaya intensifikasi dan ekstensifikasi penerimaan
perpajakan yang telah dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Republik
Indonesia. Reformasi perpajakan terbagi dalam dua periode: periode pertama yaitu tahun 2002
sampai dengan 2009 (Reformasi Perpajakan Jilid 1) dan periode berikutnya adalah tahun 2009
hingga tahun 2013 (Reformasi Perpajakan Jilid 2).
Menurut siaran pers DJP pada tanggal 22 Juni 2009, Reformasi Perpajakan Jilid 1
memuat tiga kegiatan utama, yaitu:
a. Pembaharuan dan pemutakhiran administrasi perpajakan termasuk di dalamnya
adalah: perombakan struktur oganisasi DJP; e-filling; e-SPT; e-registration; dan
pembentukan call center untuk layanan informasi dan pengaduan;
b. Reformasi kebijakan melalui amandemen undang-undang tentang perpajakan;
dan
c. intensifikasi dan ekstensifikasi.
Reformasi Perpajakan Jilid 2 dicanangkan pada tanggal 22 Juni 2009. Pencanangan ini
dilakukan oleh Menteri Keuangan RI pada saat itu adalah Sri Mulyani Indrawati. Reformasi
Perpajakan Jilid 2 merupakan kelanjutan dari proses Reformasi Perpajakan Jilid 1 yang berakhir
pada bulan Februari 2009 dan diakhiri dengan program penghapusan sanksi pajak (sunset
policy). Reformasi Perpajakan Jilid 2 terdiri atas beberapa kegiatan, yaitu:
a. pengembangan SDM melalui peningkatan kapasitas dan kompetensi pegawai;
b. kegiatan mapping, profiling, dan benchmarking yang terotomatisasi; dan .
c. Penyempurnaan layanan pembayaran dan kegiatan perbaikan yang meliputi aspek
bisnis utama (core business) DJP melalui program yang disebut Project for
Indonesian Tax Administration Reform(PINTAR).

Ketiga UU tersebut mengalami perubahan guna mangakomodasi perkembangan


perekonomian. Penyesuaian-penyesuaian dilakukan agar tujuan pengenaan pajak tercapai.
Tujuan pemungutan pajak yang utama adalah sebagai sumber penerimaan negara dan digunakan
untuk membiayai pengeluaran negara dan pembangunan, sedangkan tujuan lainnya yang ingin
dicapai adalah sebagai fungsi mengatur perekonomian.
Tulisan ini menyoroti perubahan UU tentang Pajak Penghasilan (PPh) karena di dalam
UU inilah segala sesuatu yang berkenaan dengan Pajak Penghasilan diatur termasuk tariff pajak
yang mengalami perubahan. Selain itu, karena penerimaan pajak penghasilan lebih besar dari
penerimaan pajak pertambahan nilai.
Ada beberapa poin penting dalam perubahan UU PPh yaitu:
a. penurunan tarif PPh;
b. pembebasan biaya fiskal ke luar negeri;
c. Peningkatan penghasilan tidak kena pajak (PTKP); dan
d. menerapkan tarif PPh lebih tinggi pada Wajib Pajak yang tidak memiliki NPWP.
Penurunan tarif PPh dimaksudkan untuk menyesuaikan tarif PPh yang berlaku di negara
tetangga yang relative lebih rendah (untuk meningkatkan daya saing) dan meningkatkan
kepatuhan Wajib Pajak. Salah satu alasan penurunan tarif ini adalah untuk meningkatkan
pendapatan setelah pajak Wajib Pajak. Peningkatan Pendapatan ini diharapkan dapat mendorong
kegiatan produksi dan investasi serta mendorong tingkat kepatuhan Wajib Pajak yang biasanya
cenderung tidak patuh jika tariff pajak tinggi.
Menurunkan tarif PPh tersebut adalah:
a. bagi Wajib Pajak pribadi, tarif tertinggi diturunkan dari 35% menjadi 30%;
b. bagi Wajib Pajak badan, tarif yang semula progresif tiga tingkat dengan tarif
tertinggi 30% diturunkan menjadi tarif tunggal 28% di tahun 2009 dan 25% tahun
2010 serta berikutnya; dan
c. bagi Wajib Pajak badan berpenghasilan rendah sampai dengan Rp4,8 miliar,
mendapatkan insentif berupa pengurangan tariff sebesar 50% dari tarif normal
yang berlaku.

Peningkatan kepatuhan pajak yang diharapkan dapat meningkatkan penerimaan pajak


dalam jangka panjang. Harapan ini sesuai dengan teori dalam kurva Laffer. Dalam kurva Laffer
dapat diketahui bahwa pada suatu titik, kenaikan tarif pajak justru akan mengurangi penerimaan
pajak. Dengan demikian apabila tariff pajak diturunkan maka penerimaan pajak akan
meningkat.

Gambar 4.2 Kurva Laffer


Dari kurva Laffer di atas, kita dapat melihat yaitu pada saat tarif pajak 0 dan 100%, maka
penerimaan pajak juga akan 0 (nihil). Pada titik tertentu (t*), saat tarif pajak di antara 0 dan
100%, maka penerimaan pajak akan maksimal.
Biaya fiscal ke luar negeri atau fiscal tax adalah pajak yang dibebankan pada orang
pribadi yang akan berangkat ke luar negeri. Pembayaran fiscal tax dapat diperhitungkan dengan
perhitungan PPh tahunan. Penghapusan pajak fiskal dimaksudkan untuk mendorong Wajib Pajak
memiliki NPWP. Kebijakan ini senada dengan pengenaan tarif PPh yang lebih tinggi untuk
Wajib Pajak yang tidak memiliki NPWP. Tujuannya adalah sebagai dperluasan basis pajak
(ekstensifikasi pajak).

Program Penghapusan Sanksi Pajak (Sunset Policy)


Program penghapusan sanksi pajak (sunset policy) merupakan fasilitas penghapusan
sanksi pajak penghasilan orang pribadi atau badan berupa bunga atas kekurangan pembayaran
pajak yang dapat dinikmati oleh masyarakat yang belum memiliki NPWP maupun yang telah
memiliki NPWP pada tanggal 1 Januari 2008. Program sunset policy ini hanya berlaku dalam
tahun 2008. Program ini dilaksanakan di bawah kabinet Susilo Bambang Yudhoyono sebagai
salah satu paket kebijakan yang dikeluarkan akibat adanya keleluasaan ekonomi.
Ketentuan tentang sunset policy diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007
tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum
dan Tata Cara Perpajakan pada Pasal 37A yang berbunyi:
1) Wajib Pajak yang menyampaikan pembetulan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan sebelum tahun pajak 2007, yang mengakibatkan pajak yang masih harus
dibayar menjadi lebih besar dan dilakukan paling lama dalam jangka waktu 1(satu) tahun
setelah berlakunya UU ini, dapat diberikan pengurangan atau penghapusan sanksi
administrasi berupa bunga atas keterlambatan pelunasan kekurangan pembayaran pajak
yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan peraturan mentri keuangan.
2) Wajib Pajak orang pribadi yang necara sukarela mendaftarkan diri untuk mendapatkan
NPWP paling lama 1 (satu) tahun setelah berlakunya UU ini diberikan penghapusan
sanksi administrasi atas pajak yang tidak atau kurang dibayar untuk tahun pajak sebelum
diperoleh NPWP dan tidak dilakukan pemeriksaan pajak, kecuali terdapat data atau
keterangan yang menyatakan bahwa Surat Pemberitahuan yang disampaikan Wajib Pajak
tidak benar atau menyatakan lebih bayar.

Ketentuan dalam pasal ini memberikan fasilitas kepada Wajib Pajak yang berupa
penghapusan sanksi administrasi apabila Wajib Pajak menyampaikan pembetulan SPT sebelum
tahun pajak 2007 yang mengakibatkan pajak yang masih harus dibayar menjadi lebih besar .
penghapusan sanksi administrasi juga diberikan kepada Wajib Pajak orang pribadi yang dengan
sukarela mendaftarkan diri untuk mendapatkan NPWP serta dibebaskan dari pemeriksaan pajak.
Sunset pilicy ini salah satunya bertujuan untuk mendorong Wajib Pajak agar lebih jujur
dalam memenuhi kewajibannya. Selain itu, untuk meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak secara
sukarela dan menambah jumlah Wajib Pajak. Dalam jangka panjang diharapkan kebijakan ini
dapat meningkatkan jumlah penerimaan pajak.
Tahun 2015 pemerintah Indonesia mengeluarkan paket kebijakan sunset policy yang
sebelumnya pernah dilakukan pada tahun 2008 di bawah pemerintahan SBY. Pemerintah
mengeluarkan kebijakan ini salah satunya untuk meningkatkan jumlah WP yang mau melunasi
pajaknya. Menteri Keuangan Bambang Brojonegoro menyatakan bahwa kebijakan tersebut akan
memberikan dampak yang positif yaitu berupa naiknya penerimaan pajak sehingga dapat
memperbaiki kinerja pemerintah pajak kuartal I 2015 yang jauh dari target.
Pemerintah Indonesia memutuskan tahun 2015 sebagai tahun pembebasan wajib pajak di
mana pemerintah mengeluarkan kebijakan sunset policy yang memberikan banyak keringanan
untuk WP, pemerintah juga mengeluarkan kebijakan tax amnesti. Kebijakan ini tentu saja
berbeda dengan kebijakan sunset policy. Tax amnesti bisa diartikan sebagai pengampunan
sanksi pajak bagi seluruh warga negara agar masyarakat mau mendaftarkan diri menjadi WP.
Kebijakan tax amnesti diterapkan berbeda-beda tergantung dengan strategi vang diambil oleh
pemerintah. Tax amnesty yang diberikan pemerintah yaitu dengan melakukan penghapusan
denda administrasi sebesar 2% per bulan sesuai dengan PMK Nomor 29 2015. sedangkan sunset
policy mulai berlaku tanggal 1 Mei 2015 hingga 31 Desember 2015.
Sunset policy yang dilaksanakan tahun 2015 ini berbeda dengan sunset policy 2008. Hal
ini dikarenakan peraturan yang melandasinya pun berbeda. Ketentuan mengenai sunset policy
jilid dua ini diatur dalam UU KUP pasal 36 ayat 1 serta PMK Nomor 91 / PMK.03 / 2015 dan
PMK Nomor 29/PMK.03 / 2015. Pemerintah melalui www.pajak.go.id menjelaskan bahwa UU
KUP lebih terbuka daripada UU sebelumnya, sehingga kebijakan sunset policy jilid dua ini
memberikan kelebihan tersendiri yaitu:
1. Insentif yang diberikan kepada seluruh jenis pajak.
2. Insentif diberikan untuk WP baru atau SPT pembetulan.
3. Insentif diberikan atas keterlambatan pembayaran maupun keterlambatan
pelaporan SPT yang dilakukan pada tahun 2015.

Pelaksanaan Sensus Pajak Nasional


Sensus pajak nasional merupakan kegiatan dalam rangka menyempurnakan data atau
dasar perpajakan yang lebih baik. Sensus pajak nasional dilaksanakan secara serentak dan
berkesinambungan dengan skala prioritas yaitu di sentra-sentra bisnis atau kawasan ekonomi,
gedung-gedung perkantoran (high rise building), maupun di kawasan pemukiman.
Sensus pajak nasional ini bukanlah merupakan sesuatu yang baru melainkan merupakan
penyempurnaan dari kegiatan yang selama ini telah dijalankan oleh DJP yang disebut dengan
penyisiran (canvassing). Pelaksanaan sensus menjadi sangat penting agar kepatuhan masyarakat
atau Wajib Pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya bisa berjalan dengan baik dan
lancar.
Menteri Keuangan Agus Martowardoyo dalam acara peluncuran sensus pajak nasional
memaparkan bahwa tingkat kepatuhan masyarakat membayar masih rendah, yaitu Wajib Pajak
pribadi yang menyerahkan SPT baru sebesar 7,73%, yaitu 8,5 juta dari 110 juta penduduk
Indonesia yang aktif bekerja; dan. untuk Wajib Pajak badan tingkat kepatuhannya lebih rendah,
yaitu 3,6% atau 446 ribu badan usaha dari 12 juta lebih badan usaha aktif yang berdomisil
(sumber: HYPERLINK http://www.tempo.co).
Rendahnya tingkat kepatuhan tersebut mengindikasikan bahwa Wajib Pajak masih
kurang disiplin dalam pemenuhan kewajibannya untuk membaya pajak, dan di sisi lain
mengindikasikan bahwa penerimaan perpajakan masih dapat ditingkatkan. Dengan adanya data
dari sensus pajak nasional nantinya, maka diharapkan dapat menjadi masukan (input) untuk DJP
sehingga akan adanya kebijakan-kebijakan atau terobosan-terobosan untuk dapat neningkatkan
kepatuhan Wajib Pajak sehingga penerimaan perpajakan juga akan meningkat.

Anda mungkin juga menyukai