Anda di halaman 1dari 6

Hepatoma merupakan pertumbuhan sel hati yang tidak normal yang di tandai dengan

bertambahnya jumlah sel dalam hati yang memiliki kemampuan membelah/mitosis disertai
dengan perubahan sel hati yang menjadi ganas.

Berdasarkan sudut pandang dari kesehatan masyarakat, prevalensi karsinoma hepatoseluler


merupakan jenis kanker yang menduduki peringkat kelima di seluruh dunia dan peringkat ketiga
jenis kanker yang menyebabkan kematian. Pada berbagai macam literatur menyebutkan bahwa
angka kejadian pada laki- laki lebih banyak dibandingkan dengan perempuan. Rasio angka
kejadian ini bervariasi di berbagai negara yaitu berkisar antara 2:1 sampai 5:1 atau bahkan lebih.
beberapa studi mengatakan bahwa perkembangan karsinoma hepatoseluler pada sirosis hati
terjadi lebih sering pada laki-laki. Hal ini terjadi berdasarkan keseimbangan hormon yaitu
hormone androgen yang lebih banyak pada laki-laki.

Manifestasi klinisnya sangat bervariasi dari asimtomatik hingga dengan gejala dan tandanya
yang sangat jelas disertai gagal hati. Gejala yang paling sering dikeluhkan adalah nyeri atau
perasaan tak nyaman di kuadran kanan-atas abdomen. Temuan fisis tersering pada HCC adalah
hepatomegali dengan atau tanpa ‘bruit’ hepatik, splenomegali, asites, ikterus, demam dan atrofi
otot.

Faktor risiko utama karsinoma hepatoseluler di Indonesia adalah infeksi kronik virus hepatitis B,
virus hepatitis C, alcohol dan sirosis hati

Hepatokarsinogenesis dianggap suatu proses yang berasal dari sel-sel induk hati atau berasal dari
sel hepatosit yang matang dan merupakan perkembangan dari penyakit hati kronis yang didorong
oleh stres oksidatif, inflamasi kronis dan kematian sel yang kemudian diikuti oleh proliferasi
terbatas / dibatasi oleh regenerasi, dan kemudian remodeling hati permanen. Karsinoma
hepatoseluler umumnya merupakan perkembangan dari hepatitis kronis atau sirosis di mana ada
mekanisme peradangan terus menerus dan regenerasi dari sel hepatosit. Cedera hati kronis yang
disebabkan oleh HBV, HCV, konsumsi alkohol yang kronis, steatohepatitis alkohol,
hemokromatosis genetik, sirosis bilaris primer dan adanya defisiensi α-1 antitrypsin
menyebabkan kerusakan hepatosit permanen yang diikuti dengan kompensasi besar-besaran oleh
sel proliferasi dan regenerasi dalam menanggapi stimulasi sitokin. Akhirnya, fibrosis dan sirosis
berkembang dalam pengaturan remodelling hati secara permanen, terutama didorong oleh
sintesis komponen matriks ekstraseluler dari sel-sel stellata hati.

Anamnesis

Sebagian besar penderita yang datang berobat sudah dalam fase lanjut dengan keluhan nyeri
perut kanan atas. Sifat nyeri ialah nyeri tumpul, terus-menerus, kadang- kadang terasa hebat
apabila bergerak. Di samping keluhan nyeri perut ada pula keluhan seperti benjolan di perut
kanan atas tanpa atau dengan nyeri, perut membuncit karena adanya asites dan keluhan yang
paling umum yaitu merasa badan semakin lemah, anoreksia, perasaan lekas kenyang, feses
hitam, demam, bengkak kaki, perdarahan dari dubur.

Pemeriksaan fisik
Biasanya hati terasa besar dan berbenjol-benjol, tepi tidak rata, tumpul, kadang-kadang terasa
nyeri bila ditekan. Bila letak tumor di lobus kiri maka pembesaran hati terlihat di epigastrium,
tapi bila tumor tersebut terletak di lobus kanan maka pembesaran hati terlihat di hipokhondrium
kanan .

1. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan adalah pemeriksaan Alfa- fetoprotein (AFP)
yaitu protein serum normal yang disintesis oleh sel hati fetal. Rentang normal AFP serum
adalah 0-20 ng/ml, kadar AFP meningkat pada 60%-70% pada penderita kanker hati.
(Hussodo, 2009)
2. Ultrasonografi (USG) Abdomen
Untuk meminimalkan kesalahan hasil pemeriksaan FP, pasien sirosis hati dianjurkan
menjalani pemeriksaan USG setiap tiga bulan. Untuk tumor kecil pada pasien dengan
risiko tinggi USG lebih sensitif dari pada AFP serum berulang. Sensitivitas USG untuk
neoplasma hati bekisar anatara 70%-80%. Tampilan USG yang khas untuk HCC kecil
adalah gambaran mosaik, formasi septum, bagian perifer sonolusen (ber -halo), bayangan
lateral yang dibentuk oleh pseudokapsul fibrotik, serta penyangatan eko posterior.
Berbeda dari metastasis, HCC dengan diameter kurang dari dua sentimeter mempunyai
gambaran bentuk cincin yang khas.
USG color Doppler sangat berguna untuk membedakan HCC dari tumor hepatik lain.
Tumor yang berada di bagian atas-belakang lobus kanan mungkin tidak dapat terdeteksi
oleh USG. Demikian juga yang berukuran terlalu kecil dan isoekoik. Modalitas imaging
lain seperti CT-scan, MRI dan angiografi kadang diperlukan untuk mendeteksi HCC,
namun karena beberapa kelebihannya, USG masih tetap merupakan alat diagnostik yang
paling populer dan bermanfaat (Hussodo, 2009) .

Terapi

Di samping itu kanker ini juga sering kambuh meskipun sudah menjalani reseksi bedah kuratif.
Pilihan terapi ditetapkan berdasarkan atas ada tidaknya sirosis, jumlah dan ukuran tumor, serta
derajat pemburukan hepatik. Untuk menilai status klinis, sistem skor Child-pugh menunjukkan
estimasi yang akurat mengenai kesintasan pasien. Mengenai terapi HCC menemukan sejumlah
kesulitan karena terbatasnya penelitian dengan kontrol yang membandingkan efikasi terapi bedah
atau terapi ablative lokoregion al, di samping besarnya heterogenitas kesintasan kelompok
kontrol pada berbagai penelitian individual.

Reseksi Hepatik

Untuk pasien dalam kelompok non-sirosis yang biasanya mempunyai fungsi hati normal pilihan
utama terapi adalah reseksi he patik. Namun untuk pasien sirosis diperlukan kriteria seleksi
karena operasi dapat memicu timbulnya gagal hati yang dapat menurunkan angka harapan hidup.
Parameter yang dapat digunakan untuk seleksi adalah skor Child-Pugh dan derajat hipertensi
portal atau kadar bilirubin serum dan derajat hipertensi portal saja. Subjek dengan bilirubin
normal tanpa hipertensi portal yang bermakna, harapan hidup 5 tahunnya dapat mencapai 70%.
Kontraindikasi tindakan ini adalah adanya metastasis ekstrahepatik HCC difus atau multifocal,
sirosis stadium lanjut dan penyakit penyerta yang dapat mempengaruhi ketahanan pasien
menjalani operasi

Transplantasi Hati

Bagi pasien HCC dan sirosis hati, transplantasi hati memberikan kemungkinan untuk
menyingkirkan tumor dan menggantikan parenkim hati yang mengalami disfungsi. Dilaporkan
survival analisis 3 tahun mencapai 80% bahkan dengan perbaikan seleksi pasien dan terapi
perioperatif dengan obat antiviral seperti lamivudin, ribavirin dan interferon dapat dicapai
survival analisis 5 tahun 92%. Kematian pasca transplantasi tersering disebabkan oleh rekurensi
tumor bahkan mungkin diperkuat oleh obat anti rejeksi yang harus diberikan. Tumor yang
berdiameter kurang dari 3cm lebih jarang kambuh dibandingkan dengan tumor yang diameternya
lebih dari 5cm

Ablasi Tumor Perkutan

Injeksi etanol perkutan (PEI) merupakan teknik terpilih untuk tumor kecil karena efikasinya
tinggi, efek sampingnya rendah serta relatif murah. Dasar kerjanya adalah menimbulkan
dehidrasi, nekrosis, oklusi vaskular dan fibrosis. Untuk tumor (diameter <5cm). PEI bermanfaat
untuk pasien dengan tumor kecil namun resektabilitasnya terbatas karena adanya sirosis hati non
-child A.

Radiofrequency ablation (RFA) menunjukkan angka keberhasilan yang l ebih tinggi daripada
PEI dan efikasinya tertinggi untuk tumor yang lebih besar dari 3cm, namun tetap tidak
berpengaruh terhadap harapan hidup pasien. Selain itu, RFA lebih mahal dan efek sampingnya
lebih banyak ditemukan dibandingkan dengan PEI.

Terapi Paliatif

Sebagian besar pasien HCC di diagnosis pada stadium menengah-lanjut (intermediate-advanced


stage) yang tidak ada terapi standarnya. Berdasarkan meta analisi, pada stadium ini hanya
TAE/TACE (transarterial embolization/chemo embolization) saja yang menunjukkan penurunan
pertumbuhan tumor serta dapat meningkatkan harapan hidup pasien dengan HCC yang tidak
resektabel. TACE dengan frekuensi 3 hingga 4 kali setahun dianjurkan pada pasien yang fungsi
ha tinya cukup baik (Child-Pugh) serta tumor multinodular asimtomatik tanpa invasi vascular
atau penyebaran ekstrahepatik, yang tidak dapat diterapi secara radikal. Sebaliknya bagi pasien
yang dalam keadaan gagal hati (Child-Pugh B-C), serangan iskemik akibat terapi ini dapat
mengakibatkan efek samping yang berat (Husodo, 2009).

Adapun beberapa jenis terapi lain untuk HCC yang tidak resektabel seperti imunoterapi dengan
interferon, terapi antiesterogen, antiandrogen, oktreotid, radiasi internal, kemoterapi arterial atau
sistemik masih memerlukan penelitian lebih lanjut untuk mendapatkan penilaian yang pasti

Prognosis
Pada umumnya prognosis karsinoma h epatoseluler adalah jelek. Tanpa pengobatan kematian
rata-rata terjadi sesudah 6-7 bulan setelah timbul keluhan pertama. Dengan pengobatan, hidup
penderita dapat diperpanjang sekitar 11 - 12 bulan. Bila karsinoma h epatoseluler dapat dideteksi
secara dini, usaha -usaha pengobatan seperti pembedahan dapat segera dilakukan misalnya
dengan cara sub - segmenektomi, maka masa hidup penderita dapat menjadi lebih panjang lagi.

Sebaliknya, penderita karsinoma hepatoseluler fase lanjut mempunyai masa hidup yang lebih
singkat. Kematian umumnya disebabkan oleh karena koma hepatik, hematemesis dan melena,
syok yang sebelumnya didahului dengan rasa sakit hebat karena pecahnya karsinoma
hepatoseluler.

Kolelitiasis adalah penyakit batu empedu yang dapat ditemukan di dalam kandung empedu atau
di dalam saluran empedu, atau pada kedua- duanya. Sebagian besar batu empedu, terutama batu
kolesterol, terbentuk di dalam kandung empedu.

Batu empedu bisa terbentuk di dalam saluran empedu jika empedu mengalami aliran balik
karena adanya penyempitan saluran. Batu empedu di dalam saluran empedu bisa mengakibatkan
infeksi hebat saluran empedu (kolangitis). Jika saluran empedu tersumbat, maka bakteri akan
tumbuh dan dengan segera menimbulkan infeksi di dalam saluran. Bakteri bisa menyebar
melalui aliran darah dan menyebabkan infeksi di bagian tubuh lainnya. Adanya infeksi dapat
menyebabkan kerusakan dinding kandung empedu, sehingga menyebabkan terjadinya statis dan
dengan demikian menaikkan batu empedu. Infeksi dapat disebabkan kuman yang berasal dari
makanan. Infeksi bisa merambat ke saluran empedu sampai ke kantong empedu. Penyebab
paling utama adalah infeksi di usus. Infeksi ini menjalar tanpa terasa menyebabkan peradangan
pada saluran dan kantong empedu sehingga cairan yang berada di kantong empedu mengendap
dan menimbulkan batu. Infeksi tersebut misalnya tifoid atau tifus. Kuman tifus apabila bermuara
di kantong empedu dapat menyebabkan peradangan lokal yang tidak dirasakan pasien, tanpa
gejala sakit ataupun demam. Namun, infeksi lebih sering timbul akibat dari terbentuknya batu
dibanding penyebab terbentuknya batu.

Faktor resiko untuk kolelitiasis, yaitu:

a. Usia

Risiko untuk terkena kolelitiasis meningkat sejalan dengan bertambahnya usia. Orang dengan
usia > 40 tahun lebih cenderung untuk terkena kolelitiasis dibandingkan dengan orang dengan
usia yang lebih muda. Di Amerika Serikat, 20 % wanita lebih dari 40 tahun mengidap batu
empedu. Semakin meningkat usia, prevalensi batu empedu semakin tinggi. Hal ini disebabkan:

1. Batu empedu sangat jarang mengalami disolusi spontan.


2. Meningkatnya sekresi kolesterol ke dalam empedu sesuai dengan bertambahnya usia.
3. Empedu menjadi semakin litogenik bila usia semakin bertambah.

Jenis kelamin
Wanita mempunyai risiko dua kali lipat untuk terkena kolelitiasis dibandingkan dengan pria. Ini
dikarenakan oleh hormon esterogen berpengaruh terhadap peningkatan eskresi kolesterol oleh
kandung empedu. Hingga dekade ke-6, 20 % wanita dan 10 % pria menderita batu e mped u da n
pre va le ns inya me ningkat de nga n ber ta mba hnya us ia, walaupun umumnya selalu pada
wanita.

Berat badan (BMI)


Orang dengan Body Mass Index (BMI) tinggi, mempunyai resiko lebih tinggi untuk terjadi
kolelitiasis. Ini dikarenakan dengan tingginya BMI maka kadar kolesterol dalam kandung
empedu pun tinggi, dan juga mengurasi garam empedu serta mengurangi kontraksi/pengosongan
kandung empedu.

Makanan

Konsumsi makanan yang mengandung lemak terutama lemak hewani berisiko untuk menderita
kolelitiasis. Kolesterol merupakan komponen dari lemak. Jika kadar kolesterol yang terdapat
dalam cairan empedu melebihi batas normal, cairan empedu dapat mengendap dan lama
kelamaan menjadi batu. Intake rendah klorida, kehilangan berat badan yang cepat
mengakibatkan gangguan terhadap unsur kimia dari empedu dan dapat menyebabkan penurunan
kontraksi kandung empedu.

Aktifitas fisik
Kurangnya aktifitas fisik berhubungan dengan peningkatan resiko terjadinya kolelitiasis. Ini
mungkin disebabkan oleh kandung empedu lebih sedikit berkontraksi.

Nutrisi intra-vena jangka lama

Nutrisi intra-vena jangka lama mengakibatkan kandung empedu tidak terstimulasi untuk
berkontraksi, karena tidak ada makanan/nutrisi ya ng me le wat i inte st ina l. Se hingga res iko
unt uk terbe nt uk nya bat u menjadi meningkat dalam kandung empedu.

Gambaran Klinis

Batu empedu tidak menyebabkan keluhan penderita selama batu tidak masuk ke dalam duktus
sistikus atau duktus koledokus. Bilamana batu itu masuk ke dalam ujung duktus sistikus barulah
dapat menyebabkan keluhan penderita. Apabila batu itu kecil, ada kemungkinan batu dengan
mudah dapat melewati duktus koledokus dan masuk ke duodenum.

Batu empedu mungkin tidak menimbulkan gejala selama berpuluh tahun. Gejalanya mencolok:
nyeri saluran empedu cenderung hebat, baik menetap maupun seperti kolik bilier (nyeri kolik
yang berat pada perut atas bagian kanan) jika ductus sistikus tersumbat oleh batu, sehingga
timbul rasa sakit perut yang berat dan menjalar ke punggung atau bahu. Mual dan muntah sering
kali berkaitan dengan serangan kolik biliaris. Sekali serangan kolik biliaris dimulai, serangan ini
cenderung makin meningkat frekuensi dan intensitasnya. Gejala yang lain seperti demam, nyeri
seluruh permukaan perut, perut terasa melilit, perut terasa kembung, dan lain-lain.

Anda mungkin juga menyukai