Anda di halaman 1dari 77

Naskah Akademik

Rancangan Peraturan Daerah


Kabupaten Cilacap
Tentang
DESA WISATA

Kerjasama

SEKRETARIAT DPRD
KABUPATEN CILACAP

Dengan

LEMBAGA PENELITIAN DAN


PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT
(LPPM) IAIN PURWOKERTO
KATA PENGANTAR

Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat
dan hidayah-Nya kepada kita semua, mudah-mudahan kita menjadi bagian
dari umat yang pandai bersyukur. Amin.
Naskah Akademik Raperda tentang Desa Wisata dan Strategi
Pengembangan Pariwisata di Kabupaten Cilacap memiliki 3 (tiga) gagasan
utama, yaitu pertama memberi ruang inisiatif yang luas kepada desa untuk
memformulasikan konsep ―desa membangun‖. Masyarakat desa memiliki
hak penuh untuk berpartisipasi membangun desanya. Pemerintah Desa
berkewajiban memfasilitasi proses partisipasi tersebut melalui penyediaan
ruang dan konsep-konsep alternatif bagi perencanaan percepatan
pembangunan. Selain itu, dokumen perencanaan yang dimiliki desa baik
RPJM Desa ataupun RKP Desa harus mencerminkan aspirasi warga yang
disusun secara partisipatif.
Kedua, Desa dituntut untuk lebih kreatis pasca diundangkannya UU
No. 6 Tahun 2014 tentang desa beserta aturan-aturan operasionalnya.
Desa memiliki peluang yang besar untuk meningkatkan pembangunannya
baik dari sisi kuantitas dan kualitasnya dengan orientasi utama
kesejahteraan warga. Akselerasi pembangunan modern tidak lagi
mendasarkan pada kegiatan yang dampaknya tunggal atau terbatas.
Pembangunan modern berorientasi menciptakan sebanyak mungkin
dampak sosio-ekonomisnya sehingga kegiatan pembangunan bernilai
efektif dan efisien. Desa wisata merupakan salah satu kegiatan
pembangunan yang memberi efek luas bagi masyarakat secara ekonomi
dan sosial.
Ketiga, Pemerintah Daerah tidak lepas tangan setelah Desa memiliki
otonomi dalam kerangka UU No. 6 Tahun 2014. Pemerintah Daerah justeru
menjadi salah satu mitra strategis bagi desa dalam percepatan
pembangunan. Namun dengan adanya pembatasan kewenangan, perlu
dicari format agar kolaborasi dan sinergi antara Pemerintah Daerah dan
Pemerintah Desa tidak melanggar konstitusi.
Penyusunan Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah
tentang Desa Wisata dan Strategi Pengembangan Pariwisata di Kabupaten
Cilacap tersusun atas bantuan dan partisipasi banyak pihak, antara lain:
1. DPRD Kabupaten Cilacap yang telah memberikan kepercayaan kepada
Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) IAIN
Purwokerto.
2. Badan Legislasi Daerah (BALEGDA) DPRD Kabupaten Cilacap yang
secara inten bermitra dan berdiskusi selama proses penyusunan
Naskah Akademik.
3. Para narasumber yang telah bersedia memberikan informasi dan
diskusi dengan tim penyusun naskah akademik.
4. Pihak-pihak lain yang tidak disebut satu persatu.

Kami menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya, semoga


kerjasam yang baik ini dapat berlanjut dalam bidang-bidang lain demi
memajukan kehidupan masyarakat yang lebih sejahtera.
Naskah Akademik ini sangat kami sadari banyak kekurangan baik
dari sisi teknis maupun substansi. Untuk itu kami berharap masukan dan
kritikan dari berbagai pihak untuk memperbaiki dan melengkapi informasi
atau cakupan yang belum tercover. Atas nama Tim Ahli LPPM IAIN
Purwokerto kami mohon maaf dan terima kasih.

Purwokerto, 29 Juli 2016


Koordinator,

Dr. Hj. Nita Triana, M.Si


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pasca diundangkannya Undang-Undang Nomor 6 Tahun
2014 tentang desa beserta peraturan-peraturan yang
mengoperasionalkan-nya, desa dituntut untuk lebih kreatif
mewujudkan kemandirian dalam rangka meningkatkan
kesejahteraan warganya. Kreatifitas ini penting mengingat UU
tersebut memberi ruang dan mandat yang relatif lebih luas
kepada desa untuk mengelola dan mengoptimalkan potensi-
potensi yang dimilikinya.
Perubahan mendasar dalam UU No. 6 Tahun 201 adalah
terkait status desa yang bergeser dari sebatas pelaksana tugas-
tugas pembantuan sebagai institusi mandiri yang memiliki
kewenangan dalam mengelola pemerintahan di level terbawah.
Walaupun demikian, tugas pembantuan oleh desa tidak hilang
sebagai konsekuensi dari model pemerintahan yang bersifat
kesatuan. Implikasinya adalah desa memiliki hak atas anggaran
negara sebagai instrumen mengelola pemerintahan dan
meningkatkan kesejahteraan warga.
Salah satu point penting dalam UU No. 6 Tahun 2014
adalah desa memiliki hak-hak lokal berskala desa. Artinya
sumberdaya-sumberdaya yang berada dalam area lokal dan
berkaitan dengan kehidupan masyarakat desa diserahkan hak
pengeloaannya secara mandiri kepada pemerintah desa. Kondisi
ini berbeda dengan sebelumnya di mana institusi pemerintahan
yang terendah adalah Kabupaten/Kota. Desa sebagai hal yang
defacto eksis dalam kehidupan masyarakat dicovel sebatas
pelaksana tugas pembantuan. Perubahan status yang
berimplikasi terhadap bertambahnya kewenangan memberi
peluang besar bagi desa untuk mengembangkan diri.
Penerjemahan hak-hak lokal berskala desa yang
didelegasikan kepada desa meliputi pembangunan Desa,
kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan masyarakat Desa.
Terkait dengan hak pembangunan desa, pemerintah desa
memiliki kewenangan untuk mengembangkan potensi ekonomi
lokal desa yang salah satu bentuknya adalah mengelola wisata di
desa yang berada di luar arah pengembangan Rencana Induk
Pengembangan pariwisata daerah (Permendesa No. 1 Tahun
2015).
Dalam konteks pengembangan dan pengelolaan potensi
wisata di desa inilah, Pemerintah Desa dapat membangun
kerjasama dengan pihak lain di luarnya sebagai inovasi bagi
optimalisasi potensi desa. Salah satu pihak yang bisa diajak

1
kerjasama adalah Pemerintah Daerah yang secara status berada
di atas Pemerintah Desa dan berfungsi sebagai pembina. Bentuk
kerjasama yang mungkin di lakukan adalah melalui pembentukan
kawasan perdesaan.
Pembentukan kawasan perdesaan merupakan domain
Pemerintah Daerah sebagai bentuk strategi ―pembangunan desa‖
yang bersifat top down. Strategi ini dipertemukan dengan strategi
―desa membangun‖ yang bersifat bottom up. Dengan pertemuan 2
(dua) konsep ini, Pemerintah Desa melalui strategi ―desa
membangun‖ berinisiatif membangun kerjasama dengan
pengelolaan potensi wisata di desa dan disinergikan dengan
strategi ―pembangunan desa‖ Pemerintah Daerah melalui
pembangunan kawasan perdesaan.
Kolaborasi 2 (dua) strategi di atas dalam konteks
pengelolaan potensi wisata desa yang menjadi hak-hak lokal
berskala desa melahirkan terminologi ―desa wisata‖. Prinsip desa
wisata adalah integrasi antara daya tarik wisata (destinasi)
dengan akomodasi, fasilitas, dan tata atau pola kehidupan
masyarakat desa. Untuk mewujudkan integrasi beberapa bidang
dalam desa wisata, hal penting yang harus dilakukan adalah
membangun komunikasi dan interaksi antarbidang yang menjadi
satu kesatuan wisata. oleh karena itu, dalam rangka mewujdukan
integrasi antarbidang dibutuhkan kerjasama dan sharing
antarlembaga yang terlibat dalam rangka mewujudkan dan
menyelenggarakan desa wisata, yaitu Pemerintah Desa,
Pemerintah Daerah, pihak ketiga, dan masyarakat desa.
Dalam rangka mewujudkan desa wisata, terdapat beberapa
hal yang menjadi persoalan saat ini, yaitu fasilitas dan komodasi
yang terbatas, destinasi wisata yang relatif belu terkemas secara
baik, kesadaran masyarakat atas nilai strategis wisata,
kelembagaan wisata di desa yang masih konvensional, serta
belum adanya keterpaduan antarbidang penyelenggaraan
kehidupan masyarakat desa.

Kreatifitas Desa
Terdapat reduksi pemaknaan bahwa desa yang memiliki
progres yang bagus adalah yang mampu meningkatkan jumlah
Pendapatan Asli Desa (PADes) yang tinggi. Reduksi makna ini
kemudian dipahami secara sporadis dengan misalnya
meningkatakan retribusi desa secara eksesif yang dalam banyak
hal menambah beban warga. Pada titik tertentu apabila hal ini
tidak terkendali akan memunculkan sikap-sikap resisten dari
warga. Kondisi ini tentu saja tidak strategis bagi desa dalam
rangka melakukan akselerasi pembangunan.
Oleh karena itu, desa dituntut untuk lebih kreatif untuk
meningkatkan kemampuan desa baik dalam konteks

2
meningkatkan pendapatan atau memunculkan ruang-ruang baru
yang dimanfaatkan sebagai ajang ekonomi masyarakat. Terlebih
saat ini, miniatur desa belum terlalu berubah, yaitu tingkat
urbanisasi yang tinggi serta pengelolaan potensi-potensi ekonomi
tradisional desa seperti pertanian, perkebunan, dan perikanan
yang masih konvensional. Artinya ketika potensi-potensi
ekonomis tradisional tersebut masih konvensional maka tidak
memberikan dampak sustainabilitas terhadap sektor ekonomi
yang lain.
Inisiatif membangun desa wisata sesungguhnya diarahkan
untuk meningkatkan nilai ekonomis dari sektor-sektor produktif
tradisional di desa. Melalui pendekatan wisata, sektor-sektor
produktif tersebut dikelola menjadi daya tarik yang diintegrasikan
dengan destinasi, akomodasi, dan fasilitas lainnya sehingga
menimbulkan sensasi wisata bagi pengunjung. Melalui konsep ini
maka desa akan memiliki peningkatan mobilitas manusia yang
secara tidak langsung akan menggerakkan ekonomi. Dari sinilah
nilai ekonomi akan bertambah.

B. Identifikasi Masalah
Berdasar latar belakang di atas, beberapa hal yang
teridentifikasi menjadi masalah pembangunan desa wisata di
Kabupaten Cilacap adalah sebagai berikut:
1. Praktik desa wisata yang telah ditetapkan di kabupaten
Cilacap saat ini belum mengacu pada konsep genuin tentang
desa wisata di mana integrasi menjadi hal yang strategis.
Praktik saat ini lebih menekankan pada upaya
mengoptimalisasikan potensi atau destinasi wisata yang
berlokasi di beberapa desa. Penyelenggaraan wisata bukan
dalam rangka mengintegrasikan destinasi wisata dengan
unsur-unsur lain sebagai sebuah kesatuan kehidupan di desa
melainkan meningkatkan kunjungan wisata ke obyek-obyek
wisata yang ada di desa. Praktik pengeloaan wisata di desa
―hanya‖ menambah pendapatan desa melalui kegiatan
―tourisme‖. Dalam konteks praktik lokal ini, persoalan yang
teridentifikasi menjadi hal yang harus diselesaikan melalui
Peraturan Daerah ini adalah revitalisasi konsep desa wisata
pada desa-desa yang telah ditetapkan oleh Bupati.
2. Belum adanya konsep desa wisata yang masuk dalam
perencanaan strategis pembangunan desa. Pada prinsipnya,
desa wisata merupakan strategi alternatif yang bisa digunakan
oleh desa untuk mengakselerasi pembangunan. Sebagai hal
yang strategis, desa wisata secara konsep harus didukung oleh
stakeholders desa yang salah satu bentuknya adalah menjadi
perencanaan strategis dalam dokumen-dokumen perencanaan
desa. Secara eksplisit, dokumen perencanaan desa terwujud

3
dalam Rencana Jangka Menengah Desa (RPJMDes) yang
proses penyusunannya dilakukan secara partisipatif oleh
Pemerintah Desa, BPD, dan unsur-unsur lain dalam
masyarakat desa. Dengan masuknya konsep desa wisata
dalam perencanaan desa maka ia diposisikan secara strategis
dalam pencapaian dan peningkatan pembangunan desa.
Persoalan saat ini di Kabupaten Cilacap secara umum tidak
ada desa yang memasukkan konsep desa wisata dalam
perencanaan pembangunannya. Tanpa masuk dalam
perencanaan, maka desa wisata dilaksanakan secara sporadis
dan tidak terukur untuk mngurai atau mencapai tujuan yang
diharapkan.
3. Insfrastruktur yang menunjang kegiatan kepariwisataan di
desa masih sangat minim. Keberadaan destinasi wisata di desa
selama ini hanya dimanfaatkan sebagai tujuan wisata yang
konvensional dan belum dikelola secara profesional. Artinya
wisata belum menjadi hal yang strategis bagi desa yang bisa
dimanfaatkan untuk mendorong pembangunan secara lebih
cepat. Implikasinya adalah potensi wisata tidak memperoleh
apresiasi baik dari sisi sosial, keuangan, dan proyeksi
pembangunan. Sementara itu, kegiatan kepariwisataan
membutuhkan infrastruktur yang memadai sehingga
pengunjung atau turis dapat melaksanakan kegiatan
kepariwisataan secara representatif. Membangun infrastruktur
kepariwisataan membutuhkan biaya yang relatif besar. Hal ini
tentu saja memberi beban tambahan kepada desa yang sedang
mengusahakan penyelenggaraan kegiatan kepariwisataan
dalam kerangka desa wisata. untuk itu dibutuhkan kerjasam
lintas instnasi dan sektor untuk memenuhi kebutuhan
infrastruktur dasar kegiatan kepariwisataan.
4. Kesadaran kepariwisataan di tingkat stakeholders desa belum
menjadi arus utama (mainstream). Dalam banyak hal, kegiatan
wisata tidak dianggap dapat memberikan keuntungan
signifikan secara langsung. Karenanya kepariwisataan
diselenggarakan secara ―sambilan‖ dan lebih terfokus pada
produksi yang dianggap memberikan profit langsung.
Persoalan kemudian produksi jenis ini mengalami
keterbatasan baik dari sisi lahan (basis produksi), sumbedaya
pengelola, teknologi, biaya, dll. Pada saat sumberdaya tersebut
dikelola eksesif maka akan mengalami penurunan
produktifitas. Pada kondisi inilah kemampuan menghasilkan
profit mengalami penurunan. Kepariwisataan dianggap tidak
praktis menghasilkan profit karena melibatkan banyak pihak
serta membutuhkan pengaturan yang relatif ―njlimet‖. Dengan
kondisi ini, masyarakat belum menempatkan kepariwisataan

4
dalam kerangka desa wisata sebagai mainstream
pembangunan desa.
5. Pengeloaan informasi di desa yang masih sederhana dan
terbatas pada layanan-layanan tertentu. Sementara
pemanfaatan teknologi informasi untuk kepentingan
pengembangan pasar dan jaringan kerja masih relatif terbatas.
2 (dua) hal yang menyebabkan ini terjadi adalah keterbatasan
sumberdaya manusia di desa dan alokasi pembiayaan yang
tidak memadai untuk mendukung kerja-kerja penyebaran
informasi. Informasi di desa sangat beragam yang penting
untuk didesiminasikan kepada pihak-pihak luar secara luas.
Persoalan kemudian bahwa informasi tersebut perlu dikemas
melalui bahasa-bahasa informatif yang representatif. Untuk
membangun bahasa informasi yang baik dibutuhkan
kemampuan tertentu yang dimiliki para pelaku di desa. Selain
itu juga dibutuhkan perangkat keras (hardware) yang
compatible untuk mendukung akses informasi yang cepat. 2
(dua) hal ini seringkali masih dianggap sebagai barang yang
mahal sehingga alokasi terhadap keduanya seringkali
dihilangkan.

C. Tujuan dan Manfaat Naskah Akademik


Tujuan penyusunan naskah akademik Rancangan
Peraturan Daerah Desa Wisata dan Strategi Pengembangan
Pariwisata di Kabupaten Cilacap adalah:
1. Memberi ruang kepada Pemerintah Desa dan Pemerintah
Daerah membangun kolaborasi dan sinergi untuk
mempercepat pembangunan desa melalui strategis
pengembangan desa wisata.
2. Mendorong pemerintah desa berinisiatif membangun strategi
alternatif pembangunan desa melalui integrasi potensi-potensi
desa menjadi satu kesatuan daya tarik wisata.
3. Menetapkan landasan filosofis, sosiologis, dan yuridis bagi
desa untuk mengembangkan pembangunan di desa dengan
mendasarkan pada potensi integratif yang berwawasan
lingkungan.
4. Meningkatkan sentra-sentra produksi masyarakat desa melalui
penciptaan ruang-ruang ekonomi lokal baru.

Manfaat penyusunan naskah akademik ini adalah sebagai


berikut:
1. Memberi landasan filosofis, sosiologis, dan yuridis bagi
pengambil kebijakan tingkap pemerintah daerah dalam
mempercepat pembangunan di desa dan meningkatkan
kesejahteraan masyarakat.

5
2. Mengembangkan alternatif percepatan pembangunan desa
berbasis teori-teori pemberdayaan dan pembangunan
partisipatif.
3. Menjadi pedoman praktis penyusunan Rancangan Peraturan
Daerah tentang Desa Wisata dan Strategi Pegembangan
Pariwisata Kabupaten di Cilacap.

D. Metode
1. Waktu dan Tempat
Kegiatan penyusunan Naskah Akademik Pembangunan
Desa Wisata dan Strategi Pengembangan Pariwisata Kabupaten
Cilacap dilaksanakan selama 1 (satu) bulan dari bulan Juni –
Juli 2016. Tempat dilaksanakan penyusunan naskah dari
proses hingga pencetakan di Cilacap dan Purwokerto.

2. Sumber Data
a. Sumber Primer
Sumber primer merupakan sumber utama yang
digunakan sebagai dasar penyusunan materi-materi naskah
akademik. Dalam penyusunan naskah akademik ini, data
primer yang digunakan adalah jumlah desa wisata di
Cilacap, peta potensi wisata, jumlah desa, RPJP dan RPJMD
Kab. Cilacap, dan beberapa regulasi yang terkait dengan
kepariwisataan.
Selain data tersebut, sumber lain ya ng menjadi
acuan penyusunan naskah adalah pokok-pokok pikiran
DPRD Kab. Cilacap serta informasi terkait dari dinas /
instansi di wilayah Kabupaten Cilacap yang membidangi
desa dan pariwisata.
b. Sumber Skunder
Sumber skunder merupakan data pendukung yang
digunakan untuk melengkapi atau memperkaya konsep
pembangunan desa wisata. Sumber skunder ini diperoleh
dari informasi dan media-media yang terakses oleh
penyusun baik berupa media cetak maupun elektronik.
Sumber skunder umumnya digunakan untuk
mengkonstruksi serta memformulasi konsep-konsep
mendasar desa wisata dan kepariwisataan yang bersumber
dari teori atau konsep-konsep standar yang berlaku di
Indonesia. Beberapa sumber skunder yang dijadikan
referensi adalah konsepsi desa wisata, pola kolaborasi
Pemerintah Desa dengan pihak-pihak lain di luarnya, serta
bentuk-bentuk kerjasama antara Pemerintah Daerah dan
Pemerintah Desa dalam membangun desa wisata.
3. Metode Pengumpulan Data

6
a. Observasi; merupakan metode pengumpulan data yang
mengandalkan kemampuan panca indera. Metode ini
digunakan untuk mengambil gambaran umum atas sebuah
peristiwa sosial yang menjadi objek kajian. Dalam konteks
desa wisata, observasi dilakukan untuk melakukan
pengamatan terhadap praktik pengelolaan desa wisata serta
tingkat kunjungan turis dan aktifitasnya dalam desa wisata.
b. Dokumentasi; merupakan metode untuk mengumpulkan
data-data yang telah diproduksi oleh lembaga dan institusi
lain yang telah dipublikasikan atau tercetak. Dokumentasi
ini digunakan untuk mendasari kajian tanpa mengulang
materi sebagaimana telah dilakukan oleh pihak lain.
Dokumentasi digunakan untuk melihat data base terkait
desa wisata dan kepariwisataan seperti jumlah desa dan
desa wisata, jumlah kunjungan, kontribusi kepariwisataan
bagi pendapatan daerah dan desa, peta keuangan desa,
peta wisata kabupaten dan beberapa yang terkait dengan
program-program yang dilakukan oleh pemerintah atau
pihak lain dalam rangka meningkatkan kapasitas
masyarakat atau kelompok sadar wisata (Kopdarwis).
c. Wawancara; merupakan metode untuk mengumpulkan data
yang bersifat persepsional. Oleh karena itu, penggalian data
dilakukan secara tatap muka langsung (face to face) antara
pewawancara dengan subjek sumber informasi. Namun
demikian, proses wawancara tidak harus dilakukan secara
formal, tetapi juga informal dalam suasana yang rileks.
Data yang diperoleh wawancara dalam kerangka dewa
wisata antara lain terkait persepsi tentang peningkatan
pembangunan desa, arah pembangunan desa, posisi desa
dalam pembangunan daerah, dan data terkait upaya-upaya
yang memungkinkan dilakukan dalam rangka membangun
desa wisata.
d. Brainstorming; merupakan metode penggalian data yang
diarahkan untuk mempertajam analisis dan
mempertimbangkan beberapa alternatif atas konsep-konsep
yang akan dipilih. Braistorming digunakan terutama pada
konsep atau formula yang memungkinkan melahirkan
penafsiran yang beragam sehingga memunculkan
kontroversi dan silang pendapat. Dalam konteks
penyusunan Raperda Desa Wisata, data yang diperoleh
melalui brainstorming adalah terkait dengan strategi desa
wisata, strategi pengembangan pariwisata, hubungan
antara Pemerintah Desa dengan Pemerintah Daerah,
pendelegasian wewenang serta formula atau desain Desa
Wisata di daerah.

7
e. Public Hearing; merupakan metode untuk menggali aspirasi
dari stakeholders terkait dengan tema atau pokok
persoalan. Melalui metode ini, stakeholders memiliki ruang
yang representatif untuk menyampaikan aspirasi pada
rencana kebijakan yang akan disusun. Dalam kerangka
Desa Wisata, stakeholders yang terkait adalah Pemerintah
Desa (termasuk BPD), masyarakat atau kelompok sadar
wisata, pengelola wisata di desa, SKPD meliputi Bapermas,
Dinas Pariwisata, Kecamatan, dan pelaku-pelaku kegiatan
kepariwisataan daerah.

4. Analisis Data
a. Legal formal
Penegakan hukum merupakan suatu usaha untuk
mewujudkan ide-ide keadilan, kepastian hukum dan
kemanfaatan sosial menjadi kenyataan. Jadi penegakan
hukum pada hakikatnya adalah proses perwujudan ide-ide.
Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya
tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara
nyata sebagai pedoman pelaku dalam interaksi atau
hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan
bermasyarakat dan bernegara. Penegakan hukum
merupakan usaha untuk mewujudkan ide-ide dan konsep-
konsep hukum yang diharapakan masyarakat menjadi
kenyataan.
Penegakan hukum merupakan suatu proses yang
melibatkan banyak hal. Penegakan hukum adalah kegiatan
menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan
didalam kaidah-kaidah/pandangan nilai yang mantap dan
mengejewantah dan sikap tindak sebagai rangkaian
penjabaran nilai tahap akhir untuk menciptakan,
memelihara dan mempertahankan kedamaian pergaulan
hidup. Penegakan hukum secara konkret adalah
berlakunya hukum positif dalam praktik sebagaimana
seharusnya patut dipatuhi. Oleh karena itu, memberikan
keadilan dalam suatu perkara berarti memutuskan hukum
in concreto dalam mempertahankan dan menjamin di
taatinya hukum materiil dengan menggunakan cara
prosedural yang ditetapkan oleh hukum formal.
Data-data yang diperoleh berdasar metode yang
digunakan kemudian dianalisis melalui gugus tema legal
formal yang mengarah pada pembentukan hukum-hukum
positif. Dalam konteks Perda, gugus tema terkait dengan
Hak dan Kewajiban, Prosedur, Sanksi, dan Pengawasan.
b. Law Enforcement (penegakan hukum)

8
Kepastian adalah perihal (keadaan) yang pasti,
ketentuan atau ketetapan. Hukum secara hakiki harus
pasti dan adil. Pasti sebagai pedoman kelakuan dan adil
karena pedoman kelakuan itu harus menunjang suatu
tatanan yang dinilai wajar. Hanya karena bersifat adil dan
dilaksanakan dengan pasti hukum dapat menjalankan
fungsinya. Menurutnya, kepastian dan keadilan bukanlah
sekedar tuntutan moral, melainkan secara faktual
mencirikan hukum. Suatu hukum yang tidak pasti dan
tidak mau adil bukan sekedar hukum yang buruk,
melinkan bukan hukum sama sekali. Kedua sifat itu
termasuk paham hukum itu sendiri (den begriff des Rechts).
Hukum adalah kumpulan peraturan-peraturan atau
kaidah-kaidah dalam suatu kehidupan bersama,
keseluruhan peraturan tentang tingkah laku yang berlaku
dalam suatu kehidupan bersama, yang dapat dipaksakan
pelaksanaanya dengan suatu sanksi. Kepastian hukum
merupakan ciri yang tidak dapat dipisahkan dari hukum,
terutama untuk norma hukum tertulis. Hukum tanpa nilai
kepastian akan kehilangan makna karena tidak lagi dapat
dijadikan pedoman perilaku bagi semua orang. Ubi jus
incertum, ibi jus nullum (di mana tiada kepastian hukum, di
situ tidak ada hukum).
Kepastian hukum mempunyai dua segi. Pertama,
mengenai soal dapat ditentukannya
(bepaalbaarheid) hukum dalam hal-hal konkret. Kedua,
kepastian hukum berarti keamanan hukum. Artinya,
perlindungan bagi para pihak terhadap kesewenangan.
Kepastian hukum yang sesungguhnya memang lebih
berdimensi yuridis, yaitu (a) tersedia aturan-aturan yang
jelas (jernih), konsisten dan mudah diperoleh (accessible),
diterbitkan oleh dan diakui karena (kekuasaan) negara; (b)
Instansi-instansi penguasa (pemerintahan) menerapkan
aturan-aturan hukum tersebut secara konsisten dan juga
tunduk dan taat kepadanya; (c) warga secara prinsipil
menyesuaikan prilaku mereka terhadap aturan-aturan
tersebut; (d) hakim-hakim (peradilan) yang mandiri dan
tidak berpihak menerapkan aturan-aturan hukum tersebut
secara konsisten sewaktu mereka menyelesaikan sengketa
hukum, dan; (e) keputusan peradilan secara konkrit
dilaksanakan.
Dalam konteks desa wisata, data yang diperoleh
kemudian diformula menjadi diktum-diktum ketentuan
yang dapat ditegakkan secara konsisten. Pilihan kata dan
pendelagian terhadap subjek penegakkan menjadi poin
yang mendasar.

9
c. Kepastian Hukum
Hukum memberikan kepastian atas beberapa
alternatif yang memungkinkan memunculkan alternatif.
Melalui kepastian ini maka kemungkinan tidak adanya
penafsiran atas suatu ketentuan dapat dilakukan. Melalui
kepastian ini, pihak-pihak yang terdelegasi atau terikat
dalam Peraturan Daerah memperoleh kepastian atas
tindakan hukum yang akan dilakukan.
Kepastian hukum ini penting terutama bagi
Pemerintah Desa untuk memperoleh konsekuensi atas
Peraturan Daerah yang ditetapkan. Misalnya anggaran atau
fasilitas lain yang diperoleh dalam rangka membangun desa
wisata.
d. Mudah dioperasionalkan
Sebagai ketentuan yang menjadi panduan dalam
melakukan suatu tindakan, ketentuan-ketentuan hukum
harus mudah dioperasionalkan. Salah satu bentuk hukum
mudah dioperasionalkan adalah dengan menggunakan kata
yang mudah dipahami, subyek dan obyek yang jelas, serta
konsekuensi yang akan diterimanya.
Melalui pendekatan itu, ketentuan hukum dalam satu
struktur yang utuh dapat dilaksanakan secara komplit.
Subyek hukum memiliki kemudahan untuk melaksanakan
setiap ketentuan dengan tidak ada keraguan melakukan
kekeliruan. Ketentuan dalam Raperda diarahkan
menggunakan bahasa sederhana dan pendelegasian yang
jelas dan terukur.

10
BAB II
KAJIAN TEORETIS DAN PRAKTIK EMPIRIS

A. Kajian Teoretis
Pembahasan mengenai pengembangan desa wisata akan
dikaji menggunakan beberapa kerangka teori mengenai
pembangunan desa dan kawasan perdesaan, pengembangan
pariwisata daerah, pembangunan desa wisata sebagai strategi
pengembangan pariwisata daerah berbasis potensi
lokal,pendekatan dan strategi pengembangan desa wisata.

1. Pembangunan Desa
Pembangunan desa merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dan sinergis dalam kerangka pembangunan
daerah dan pembangunan nasional. Rogers menjelaskan
pembangunan sebagai suatu proses perubahan sosial dengan
partisipatori yang luas dalam suatu masyarakat yang
dimaksudkan untuk kemajuan sosial dan material (termasuk
bertambah besarnya kebebasan, keadilan dan kualitas lainnya
yang dihargai) untuk mayoritas rakyat melalui kontrol yang
lebih besar yang mereka peroleh terhadap lingkungan mereka.
Definisi ini menempatkan partispasi masyarakat sebagai kunci
dalam pembangunan.
Sejalan dengan itu Ahmadi (2001:222) menjelaskan
pembangunan merupakan perpaduan yang serasi antara
partisipasi masyarakat dan kegiatan pemerintah dalam rangka
meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan masyarakat
desa.Dalam konteks pembangunan desa, masyarakat desa
dengan demikian merupakan mitra pemerintah desa dalam
pembangunan, dimana keberhasilannya akan ditentukan dari
keterpaduankeinginan masyarakat, dukungan dan proses yang
dijalankannya bersama dengan pemerintah.
Partisipasi demokratis masyarakat dalam proses
pembangunan di desa menjadi hal yang makin krusial di era
pembangunan dewasa ini yang paradigmanyatelah berubah
arah dengan menjadikan desa sebagai basis pembangunan
nasional. Perubahan paradigma pembangunan ini didasarkan
pada dua asas pokok yaitu asas Rekognisi dan Subsidiaritas.
Asas Rekognisi adalah asas yang terkait soal hak asal
usul atas kehadiran desa. Asas rekognisi memberikan
pengakuan dan penghormatan kepada desa terhadapidentitas
desa, adat istiadat yang berlaku, kebiasaan pengelolaan desa,
sistem pranata sosial dan kearifan lokal yang berkembang dan
tumbuh di desa. Asas ini memberikan jaminan atas keragaman
desa, kedudukan dan kewenangan desa dalam mengatur
jalanya pemerintahan desa.,

11
Asas rekognisi terkait erat dengan keadilan, kewargaan
dan kebangsaan, serta selaras dengan isu desentralisasi yang
telah berkembang. Desa kini bukan lagi sekedar kepanjangan
tangan negara dalam melaksanakan pembangunan, melainkan
menjadi entitas yang dapat mengatur dirinya sendiri, menjadi
pilar bagi bangsa untuk bangkit dan berdaya mandiri.
Pengakuan atas desa dan pemberian kewenangan yang
sedemikian luas kepada desa menjadi tonggak penting bagi
pembaharuan pembangunan berbasis desa.
Pengakuan atas entitas desa melalui asas Rekognisi juga
diikuti dengan asas Subsidiaritas yang memiliki kaitan
erat. Asas Subsidiaritas berarti pemberian kewenangan
kepada desa untuk mengatur, mengelola dan menyelesaikan
permasalahan desa secara lokal. Dengan asas ini desa bisa
tentukan arah dan kebijakan pembangunan dengan
perencanaan sendiri termasuk anggaran pendanaannya.
Dengan kewenangan yang luas,desa sebagai suatu
sistem sosial mendapat peluang untuk mengembangkan
aspirasi, ide dan cara-cara baru guna mendorong kualitas
hidup dan kesejahteraannya. Sebagai entitas sosial budaya
yang telah diakui keberadaannya, desa dapat mengembangkan
potensi kehidupan sosial budayanya sebagai atraksi yang
membangkitkan perekonomian desa, mendorong aktivitas
produksi dan penciptaan nilai tambah bagi masyarakat desa.

2. Pembangunan Kawasan Perdesaan


Kawasan perdesaan merupakan wilayah yang
mempunyai kegiatan utama pertanian, termasuk pengelolaan
sumber daya alam dengan susunan fungsi kawasan sebagai
tempat permukiman perdesaan pelayanan jasa,pemerintahan,
pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi(wikipedia). Dalam
undang-undang no 6 tahun 2014 tentang Desa disebutkan
bahwa pembangunan kawasan perdesaan merupakan
pembangunan antar desadalam satu kabupaten atau kota.
Pembangunan kawasan perdesaan bertujuan untuk
mempercepat pembangunan desa dari sisi fisik maupun sosial
melalui meningkatkan kualitas pelayanan dan pemberdayaan
masyarakat desa. Jika pembangunan desa menempatkan desa
sebagai subyek pembangunan, maka pembangunan perdesaan
menjadi tanggung jawab pemerintah dan pemerintah daerah
(pemda).
Meski merupakan domain pemerintah daerah,
peranpemerintah desa dan masyarakat desa menjadi bagian
integral dalam proses perencanaan dan pelaksanaan
pembangunan perdesaan. Hal ini tidak terlepas dari asas
Rekognisi dan Subsidiaritas serta asas Partisipatif yang

12
mendasari paradigma baru pembangunan nasional. Sinergitas
ini dimaksudkan untuk menyatukan seluruh program
pembangunan pemerintah dalam kerangka membangun desa.
Dengan demikian akan tercipta keselarasan arah dan gerak
pembangunan desa dan pembangunan daerah yang
mendorong efektivitas pencapaian tujuan pembangunan.
3. Membangun Desa melalui Desa Wisata
Pariwisata adalah suatu kegiatan yang secara langsung
menyentuh dan melibatkan masyarakat sehingga membawa
berbagai dampak terhadap masyarakat setempat, bahkan
pariwisata dikatakan mempunyai efek bangkitan ekonomi yang
luar biasa. Hal ini mengingat pariwisata merupakan salah satu
jenis industri padat karya yang mampu menyediakan banyak
lapangan kerja, mendorong peningkatan penghasilan, standar
hidup dan menstimulasi sektor-sektor produksi lainnya
sehingga berdampak pada pembangunan ekonomi.
Dari sudut ekonomi, sedikitnya terdapat delapan
keuntungan pengembangan pariwisata yaitu peningkatan
kesempatan usaha, kesempatan kerja, peningkatan
penerimaan pajak, penerimaan pendapatan, percepatan
pemerataan pendapatan, peningkatan nilai tambah produk
kebudayaan, memperluas pasar produk, meningkatkan
dampak multiplier effect dalam perekonomian akibat
pengeluaran wisatawan, investor maupun perdagangan keluar
negeri (Yoeti, 2008).
Salah satu strategi pembangunan ekonomi melalui
kepariwisataan adalah melalui pengembangan desa
wisata.Pengembangan desa wisata tersebut adalah
pengembangan perekonomian masyarakat yang diangkat
melalui kegiatan pariwisata, dimana pariwisata dikembangkan
berdasarkan unsur-unsur kegiatan yang telah ada serta ciri
khas budaya setempat.
Menurut Putra dan Pitana (2010) pengembangan desa
wisata bertujuan untukmelibatkan masyarakat dalam
pengembangan kepariwisataan sehinggamasyarakat dengan
kebudayaannya tidak hanya menjadi objek pariwisatanamun
masyarakat desalah yang harus sadar dan mau memperbaiki
dirinyadengan menggunakan kepariwisataan sebagai alat baik
untuk peningkatankesejahteraan maupun pelestarian nilai-
nilai budaya serta adat setempat.
Desa wisatabiasanya berupa kawasan pedesaan yang
memiliki beberapa karakteristik khusus yang layak untuk
menjadi daerah tujuan wisata. Di kawasan ini, penduduknya
masih memiliki tradisi dan budaya yang relatif masih
asli.Selain itu, beberapa faktor pendukung seperti makanan
khas, sistem pertanian dan sistem sosial turut mewarnai

13
sebuah kawasan desa wisata.Di luar faktor-faktor tersebut,
sumberdayaalam dan lingkungan alam yang masih asli dan
terjaga merupakan salah satu faktor penting dari sebuah
kawasan desa wisata.
Adanya karakter asli kehidupan sosial budaya yang
menyehari dan dinikmati wisatawan menjadi pembeda konsep
desa wisata dengan konsep wisata desa. Wisata desa pada
dasarnya hanya kunjungan yang dilakukan ke
daerahperdesaan, namun wisatawan tidakmenginap di desa
tersebut. Masalah―menginap di desa‖ inilah yang
dijadikanadanya perbedaan antara wisata desadengan desa
wisata.Menginap di desamenjadi suatu hal yang penting,
karenasampai saat ini lama tinggal (length ofstay) masih
menjadi acuan untukmengukur keberhasilan suatu objek
wisata.
Pengembangan desa wisata sebagai strategi
pembangunan desa mempunyai manfaat yang sangat luas baik
di bidang ekonomi, sosial, budaya, lingkungan dan lain-lain.
Secara ekonomi, pembangunan desa wisata mampu
meningkatkan perekonomian nasional, regional, dan
masyarakat lokal, di bidang sosial mampu membuka lapangan
kerja dan lapangan berusaha bagi masyarakat di desa. Selain
itu di bidang pendidikan, keberadaan desa wisata mampu
memperluas wawasan dan cara berfikir orang-orang desa,
mendidik cara hidup bersih dan sehat serta meningkatkan
ilmu dan teknologi bidang kepariwisataan.
Dalam kehidupan sosial budaya, pembangunan desa
wisata merupakan bentuk usaha pelestarian keunikan
kehidupan sosial budaya yang telah mengakar di
perdesaan.Pembangunan desa wisata juga merupakan bentuk
kesadaran industri yang berorientasi lingkungan karena
dianggap mampu menggugah kesadaran masyarakat akan arti
pentingnya memelihara dan melestarikan lingkungan bagi
kehidupan manusia kini dan di masa datang.

4. Strategi Pengembangan Desa Wisata


Untuk mendorong pembangunan desa melalui desa
wisata, selain menggali potensi lokal desa berupa keunikan
kehidupan sosial budaya yang sudah berjalan alami sebagai
suatu atraksi, didalamnya juga harus terpenuhi aspek
akomodasi dan fasilitasi yang terintegrasi, disajikan dalam
suatu struktur kehidupan masyarakat yang menyatu dengan
tata cara dan tradisi yang berlaku di desa tersebut.
Adanya akomodasi dan berbagai fasilitas di desa wisata
akan memudahkan para pengunjung desa wisata dalam
melakukan kegiatan wisata. Untuk sarana akomodasi, desa

14
wisata dapat menyediakan sarana penginapan berupa pondok-
pondok wisata (home stay) yang menyatu dengan keseharian
hidup keluarga di desa sehingga para pengunjung dapat
merasakan suasana pedesaan yang masih asli. Adapun
fasilitas-fasilitas yang seyogyanya ada di suatu kawasan desa
wisata antara lain: sarana transportasi, telekomunikasi, dan
kesehatan.
Dalam perencanaan desa wisatahal pertama yang perlu
diperhatikan adalah melihat kondisi dan potensi desa, apakah
memiliki kesesuaian dengan karakteristik-karakteristik sebagai
desa wisata.Dalam prosesnya, pembangunan desa wisata juga
perlu menggunakan pendekatan-pendekatan yang berbasis
partisipatif, keswadayaan, dan berkelanjutan.
Pendekatan partisipatif memungkinkan berbagai elemen
dalam masyarakat terlibat seluas-luasnya untuk turut serta
dalam perencanaan kegiatan desa wisata termasuk menggali
sumber-sumber dan pembiayaannya. Asas keswadayaan
menempatkan masyarakat sebagai aktor utama dalam
keberhasilan pembangunan sekaligus penerima manfaat
terbesar dari kegiatan desa wisata. Hal ini diwujudkan melalui
keterlibatan dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan
dan pemeliharaan kegiatan serta pemanfaatan hasil-hasil desa
wisata.
Pembangunan desa wisata merupakan bagian dari
pembangunan pariwisata daerah dan nasional yang menganut
pendekatan berkelanjutan (sustainable). Dalam Piagam
Pariwisata Berkelanjutan dijelaskan sebagai pembangunan
yang dapat didukung secara ekologis sekaligus layak secara
ekonomi, juga adil secara etika dan sosial terhadap
masyarakat.
Pembangunan berkelanjutan adalah upaya terpadu dan
terorganisasi untuk mengembangkan kualitas hidup dengan
cara mengatur penyediaan, pengembangan, pemanfaatan, dan
pemeliharaan sumber daya secara berkelanjutan.Dengan
demikian, pembangunan berkelanjutan tidak saja terkait
dengan isu-isu lingkungan, tetapi juga isu demokrasi, hak
asasi manusia, dan isu lain yang lebih luas.
Pembangunan pariwisata yang berkelanjutanjuga
memperhatikan aspek kepemilikan lokal, penggunaan sumber
daya secara berkelanjutan, mewadahi tujuan-tujuan
masyarakat, perhatian terhadap daya dukung, monitor dan
evaluasi, akuntabilitas, pelatihan serta promosi.
Berbagai pendekatan dalam pembangunan desa wisata
tersebut dapat diwujudkan melalui adanya tata kelola yang
baik (good governance) yang melibatkan partisipasi aktif dan
seimbang antara pemerintah, swasta, dan masyarakat.Sebagai

15
bagian dari pembangunan kawasan perdesaan yang
merupakan domain pemerintah, maka tugas pemerintah
daerah adalah memastikan prinsip-prinsip tata kelola yang
baik dalam pembangunan desa wisata dapat
diimplementasikan.
Untuk mendukung pembangunan desa wisata yang
berkelanjutan dan berorientasi pada kesejahteraan
masyarakat, aspek sumber daya akan sangat menentukan.
Oleh karena itu pemerintah daerah perlu mempersiapkan dan
melakukan penguatan kapasitas kelembagaan dari masyarakat
desa. Upaya ini dapat ditempuh melalui meningkatkan
kemampuan lembaga keswadayaan masyarakat dan kelompok
masyarakat dalam pengelolaan desa wisata.
Selain pembangunan sumber daya manusia, strategi
non-fisik yang dapat ditempuh pemerintah untuk mendorong
pengembangan desa wisata adalah melalui promosi,
mendorong kemitraaan desa dengan pihak ketiga serta
kerjasama dengan universitas dalam hal riset dan
pendampingan.

B. Praktik Empiris
1. Kesesuaian Kriteria Desa Wisata
Praktik desa wisata sebenarnya sudah ada cukup lama.
Pengembangan desa menjadi desa wisata mulai muncul
diinisiasi oleh Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat
(PNPM) Mandiri Pariwisata pada kisar tahun 2005. Dengan
diundangkannya UU Desa nomor 6 tahun 2014, gaung
pengembangan pariwisata berkonsep desa wisata saat ini
semakin banyak dilirik oleh pemerintah daerah, tak terkecuali
oleh pemerintah daerah kabupaten Cilacap.
Menurut kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan
(Disparbud) Kabupaten Cilacap bidang promosi,
pengembangan desa wisata merupakan salah satu strategi
yang diterapkan untuk mendongkrak pendapatan asli daerah
(PAD) dari sektor pariwisata sekaligus pemberdayaan ekonomi
masyarakat Cilacap.
Saat ini di kabupaten Cilacap telah memiliki 4 (empat)
desa wisata yaitu desa Karangbanar kecamatan Jetis, desa
Gentasari kecamatan Kroya, desa Karangbenda kecamatan
Adipala dan desa Dayeuhluhur. Dalam beberapa kurun waktu
terakhir ini juga di beberapa desa lainnya tengah dirintis
pengembangan menjadi desa wisata seperti beberapa desa
kecamatan Adipala, Binangun, Dayeuhluhur dan Cipari.

16
Menilik keberadan desa wisata maupun desa yang
tengah dirintis sebagai desa wisata, nampak bahwa penetapan
desa wisata di kabupaten Cilacap belum memenuhi
karakteristik sebagaimana konsep desa wisata yang
diteorikan. Hal ini ditandai dengan belum terintegrasinya
kehidupan keseharian masyarakat desa yang unik sebagai
bagian dari atraksi. Atraksi sosial budaya yang
dipertunjukkan lebih merupakan atraksi yang diada-adakan
semata temporer untuk melayani kunjungan atau menarik
wisatawan.
Mengacu kepada konsep yang ada, apa yang oleh
pemerintah daerah disebut sebagai desa wisata pada dasarnya
baru sebatas destinasi wisata desa, yang mengeksplorasi
keunikan alam ataupun tradisi tertentu yang bersifat
insidental dan bukan merupakan cerminan kehidupan sosial
dari seluruh elemen masyarakat di desa tersebut.
Situasi ini diakui sendiri oleh camat Nusawungu, yang
menyatakan bahwa di kabupaten Cilacap belum ada desa
wisata yang betul-betul memenuhi standar kriteria sebagai
desa wisata yang sesungguhnya. Berangkat dari kenyataan
ini, untuk mengembalikan esensi desa wisata dan
mengarahkan pembangunan desa wisata secara benar dan
efektif, maka pemerintah daerah perlu melakukan evaluasi
atas penetapan status desa wisata berdasarkan kriteria-
kriteria tertentu yang ditetapkan melalui peraturan daerah.
Bagi desa-desa yang mengajukan usul penetapan sebagai desa
wisata, pemerintah daerah perlu melakukan verifikasi atas
usulan tersebut.
2. Tantangan Internal: Kesiapan Desa dan Masyarakat
Era otonomi desa memberikan peluang dan keleluasaan
kepada desa untuk mengajukan rencana pembangunan,
termasuk usulan sebagai desa wisata. Namun nampaknya
minat desa untuk menjadi desa wisata tidak didasari dengan
pemetaan potensi lokal dan studi kelayakan yang memadai.
Hal ini yang membuat banyak desa gagal memahami apakah
memang memenuhi karakteristik sebagai desa wisata atau
lebih sebagai wisata desa saja.
Pemahaman dan kesadaran masyarakat desa mengenai
desa wisata juga masih harus ditingkatkan. Dukungan aktif
masyarakat merupakan kunci keberhasilan desa wisata,
karena masyarakatlah yang akan menentukan sebagai tuan
rumah yang baik, menyediakan sesuatu yang terbaik sesuai
kemampuan, ikut menjaga keamanan, ketentraman,
keindahan dan kebersihan lingkungan, memberikan kenangan
dan kesan yang baik bagi wisatawan.Kurangnya kesadaran

17
masyarakat ini menjadi hal yang juga dikeluhkan pengelola
desa wisata Welahan Wetan.
Peran masyarakat dalam melestarikan keunikan
kehidupan sosial budaya juga belum optimal. Gaya dan cara
hidup masyarakat desa kini tidak ubahnya dengan
masyarakat kota yang cenderung pragmatis dan individualis
sehingga tidak lagi menggambarkan kehidupan sosial yang
unik khas desa sebagaimana di masa-masa lampau.
Di beberapa desa telah dikembangkan homestay.Namun
demikian konsep homestay yang ada tidak menyatu dengan
kehidupan nyata keluarga di desa yang ada. Homestay yang
ada lebih merupakan pondok berkonsep cottage yang terpisah
dari aktivitas keseharian anggota keluarga pemiliknya yang
seharusnya menjadi bagian dari atraksi dalam konsep desa
wisata itu sendiri.
Pembangunan desa wisata menggunakan pendekatan
partisipatif, dimana masyarakat terlibat aktif dari sejak
perencanaan hingga pelaksanaan dan pengawasan melalui
wadah kelembagaan masyarakat. Hal ini menuntut kesiapan
dan kemampuan masyarakat desa mengorganisir diri untuk
mengelolanya melalui kelembagaan masyarakat. Nampaknya
kemampuan ini juga masih perlu terus ditingkatkan karena
selama ini pengelolaannya lebih banyak ditangani oleh aparat
desa, atau jika tidak justru oleh kelompok masyarakat
tertentu yang mendominasi. Bahkan camat Widara Payung
menuturkan bahwa pengelolaan wisata oleh desa dan
masyarakat terkendala premanisme oleh sekelompok orang,
sehingga pendapatan dari wisatakurang bisa dikelola secara
optimal untuk mengembangkan kesejahteraan masyarakat
dalam arti luas.

3. Peran Pemerintah Daerah


Di sisi lain pemerintah daerah juga makin melihat
peluang desa wisata sebagai strategi untuk mendorong
peningkatan pendapatan daerah. Untuk itu pemerintah
daerah mulai melakukan langkah-langkah untuk
pengembangan desa wisata diantaranya dengan memfasilitasi
pengembangan sumber daya manusia (SDM) di sekitar lokasi
wisata dan pembentukan kelembagaan yang bebadan
hukum.Dinbudpar juga melakukan survei terhadap rumah-
rumah penduduk yang akan dijadikan sebagai penginapan.
Melihat kondisi desa wisata yang ada di kabupaten
Cilacap saat ini dan permasalahan yang ada menunjukkan
masih banyaknya pekerjaan rumah yang harus dilakukan
pemerintah daerah jika memang sungguh-sungguh ingin
mendorong pembangunan desa wisata. Upaya yang dilakukan

18
pemerintah daerah dalam pengembangan desa wisata yang
telah dilakukan selama ini nampaknya belum tertata rapi dan
terintegrasi.
Salah satu aspek yang banyak disorot adalah dukungan
promosi yang masih kurang dari pemerintah daerah.
Sebagaimana diungkap oleh pengelola desa wisata Gentasari
Kroya, minat wisatawan untuk berkunjung ke desa wisata
masih kurang. Padahal pihak desa sudah berupaya cukup
baik dengan mempromosikan melalui internet. Pemerintah
perlu mengevaluasi dan mengembangkan aktivitas promosi
dengan pertimbangan yang lebih jeli mengenai berbagai aspek
seperti jangkauan, media, konten serta kemasan promosi.
Selain aspek promosi, dukungan fasilitas infrastruktur
oleh pemerintah khususnya akses jalan yang nyaman juga
perlu ditingkatkan. Umumnya jalan-jalan akses ke desa
wisata masih berupa jalan desa yang kurang memadai.
Sementara kebutuhan pendanaan untuk membangun jalan
cukup besar. Para camat dan pengelola desa wisata banyak
menyampaikan bahwa jika hal ini harus dipenuhi seluruhnya
dengan dana desa maka akan menyita habis dana yang
dimiliki desa.
Di lapangan ditemui kendala dalam desa
mengembangkan wisata termasuk desa wisata adalah karena
status kepemilikan lahan wisata yang bukan milik desa
melainkan instansi lain (TNI) dan individu. Hal ini terkait
dengan legalitas pengelolaan oleh desa. Di sisi lain
penguasaan sekelompok orang yang mengatasnamakan
masyarakat desa juga menjadi kendala tersendiri bagi desa.
Benturan kepentingan dan konflik pengelolaan seringkali
terjadi, terutama dipicu oleh pembagian hasil pengelolaan
yang dinilai tidak adil.
Berbagai kenyataan ini menggambarkan bahwa tata
kelola terkait pariwisata desa belum berjalan dengan baik.
Perlu dukungan pemerintah daerah untuk menfasilitasi
adanya MoU antar para stakeholder pembangunan desa
wisata/pariwisata desa. Tata kelola yang baik juga
mensyaratkan adanya pengawasan dan pembinaan oleh
pemerintah daerah agar proses pembangunan wisata dan desa
wisata itu bisa berkelanjutan, memberikan benefit yang
optimal dan dapat dinikmati secara adil.

19
BAB III
EVALUASI DAN ANALISIS
PERATURAN PERUNDANG – UNDANGAN TERKAIT

Peraturan Daerah merupakan media bagi Pemerintahan


Daerah untuk menuangkan usulan-usulan, kebijakan-kebijakan
dan/atau aspirasi-aspirasi masyarakat untuk tujuan pembangunan
daerah. Peraturan Daerah tersebut diharapkan mampu menunjang
pembangunan daerah ke arah yang lebih baik dan lebih maju.
Dalam menjalankan kewenangan di daerah, pembentukan
perundang-undangan Daerah merupakan instrumen dalam
penyelenggaraan Pemerintahan di Daerah. Pemerintah Daerah
berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain
untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan (pasal 18 ayat
(6) UUD 1945. Pada tataran implementasinya, sebuah peraturan
daerah harus tepat sasaran sesuai dengan apa yang diinginkan oleh
masyarakat, dan yang lebih penting lagi adalah membawa manfaat
bagi masyarakat. Dalam praktik, sering ditemukan bahwa para
perancang peraturan perundang-undangan belum mampu
menerjemahkan kebijakan yang telah disusun ke dalam bentuk
peraturan daerah yang dapat diterapkan secara efektif. Karena
itulah, dalam membentuk Peraturan Daerah tentang Desa Wisata
perlu dilakukan evaluasi dan analisis terhadap beberapa peraturan
perundang-undangan yang terkait.

1. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang


(Lembaran Negara Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 4725);
Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan
Ruang mengandung norma yang harus diambil untuk memayungi
semua kaidah-kaidah pengaturan penataan ruang. Tujuan
penataan ruang menurut Pasal 3 Undang-undang Nomor 26
Tahun 2007 adalah untuk mewujudkan ruang wilayah nasional
yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan berlandaskan
Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional dengan
terwujudnya keharmonisan antara lingkungan alam dan
lingkungan buatan, terwujudnya keterpaduan dalam penggunaan
sumber daya alam dan sumber daya buatan dengan
memperhatikan sumber daya manusia, dan terwujudnya
pelindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif
terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang.
Dalam Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 26 Tahun
2007 disebutkan bahwa penyelenggaraan penataan ruang adalah
kegiatan yang meliputi pengaturan, pembinaan, pelaksanaan dan
pengawasan penataan ruang, dan dalam Pasal 1 angka 9
disebutkan bahwa pengaturan penataan ruang adalah upaya

20
pembentukan landasan hukum bagi pemerintah, pemerintah
daerah, dan masyarakat dalam penataan ruang. Dengan
demikian, pengaturan tata ruang adalah bagian dari pelaksanaan
tugas dan fungsi pemerintahan dalam mengatur dan mengelola
sebuah kawasan. Sebagai bagian dari penyelenggaraan tugas dan
fungsi pemerintahan maka diperlukan prinsip-prinsip tata
pemerintahan yang baik (good governance).
Untuk mewujudkan tata pemerintahan yang baik (good
governance) dan merealisasikan ruang wilayah yang aman,
nyaman, produktif dan berkelanjutan berlandaskan Wawasan
Nusantara dan Kesatuan Nasional serta sejalan dengan kebijakan
otonomi daerah yang nyata, luas, dan bertanggung jawab, maka
penataan ruang menuntut kejelasan pendekatan dalam proses
perencanaannya demi menjaga keselarasan, keserasian,
keseimbangan, dan keterpaduan antar daerah, antara pusat dan
daerah, antar sektor dan antar pemangku kepentingan.
Berkaitan dengan kebijakan otonomi daerah tersebut,
wewenang penyelenggaraan penataan ruang oleh pemerintah dan
pemerintah daerah, yang mencakup kegiatan pengaturan,
pembinaan, pelaksanaan, dan pengawasan penataan ruang
didasarkan pada pendekatan wilayah dengan batas wilayah
administratif. Sejalan denga kebijakan otonomi daerah, maka
daerah provinsi dan kabupaten/kota berhak melakukan suatu
perencanaan tata ruang sesuai dengan kebijakan-kebijakan yang
dibuat oleh masing-masing pemerintah daerah.
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 menentukan
kewenangan-kewenangan yang dimiliki oleh setiap tingkatan
pemerintahan. Dalam Undang-Undang tersebut, kewenangan
pemerintah kabupaten/kota dalam penataan ruang terdapat
dalam Pasal 11, yang terdiri dari enam ayat. Pemerintah daerah
dalam melaksanakan kewenangannya tersebut harus melakukan
suatu langkah konkret berupa sikap dan tindak administrasi
negara dalam bentuk kebijakan, salah satunya adalah dalam
bentuk peraturan daerah.

2. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan


(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 11,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4966);
Pariwisata merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
kehidupan masyarakat terutama menyangkut kegiatan sosial dan
ekonomi sehingga perlu diatur dalam perundang-undangan.
Kebijakan penyelenggaraan kepariwisataan pada prinsipnya
diarahkan untuk peningkatan kesejahteraan dan kemakmuran
rakyat dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur
melalui peningkatan pendapatan nasional, perluasan dan
pemerataan kesempatan usaha dan lapangan kerja. Huruf c

21
konsideran Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 menegaskan
bahwa kepariwisataan merupakan bagian integral dari
pembangunan nasional yang dilakukkan secara sistematis,
terencana, terpadu, berkelanjutan dan bertanggung jawab dengan
tetap memberikan perlindungan terhadap nilai-nilai agama,
budaya yang hidup dalam masyarakat, kelestarian dan mutu
lingkungan hidup serta kepentingan nasional. Demikian juga
dengan Pasal 6 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2009
menjelaskan bahwa pembangunan kepariwisataan diwujudkan
melalui pelaksanaan rencana pembangunan kepariwisataan
dengan memperhatikan keanekaragaman, keunikan dan
kekhasan budaya dan alam, serta kebutuhan manusia untuk
berwisata.
Selain itu, di dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun
2009 dijelaskan bahwa kawasan strategis pariwisata adalah
kawasan yang memiliki potensi untuk pengembangan pariwisata
yang mempunyai pengaruh penting dalam satu atau lebih aspek,
seperti pertumbuhan ekonomi, sosial dan budaya, pemberdayaan
sumber daya alam, daya dukung lingkungan hidup, serta
pertahanan dan keamanan. Pemerintah mempunyai kewenangan
untuk menetapkan kawasan strategis pariwisata baik yang
nasional maupun kabupaten/kota. Setiap kawasan strategis
tersebut ditetapkan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi,
dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Dengan demikian, di
dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 2009 ini disebutkan
keterlibatan dari pemangku kepentingan seperti Pemerintah,
Pemerintah Daerah, dunia usaha, dan masyarakat itu sendiri.
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 menyebutkan
keterlibatan pemangku kepentingan, terutama adalah Pemerintah
Daerah, dalam mengimplementasikan sistem perencanaan
pemerintah, baik yang berdimensi jangka panjang, terpadu, dan
yang berkelanjutan.
Pasal 29 dan 30 menjelaskan kewenangan–kewenangan
yang dimiliki oleh Pemerintah Provinsi dan Pemerintah
Kabupaten/Kota untuk pengembangan dan pemeliharaan aset–
aset pariwisata di masing–masing kawasan strategis pariwisata.
Selain itu, Pasal 33 sampai dengan Pasal 35 juga memberikan
kekuatan hukum bagi Pemerintah untuk melakukan koordinasi
strategis lintas sektor pada tataran kebijakan, program maupun
kegiatan kepariwisataan.
Ketentuan di atas memberi isyarat bahwa Daerah memiliki
kewenangan menyelenggarakan kepariwisataan yang diatur
dengan Peraturan Daerah, termasuk penetapan suatu desa
sebagai kawasan desa wisata.

22
3. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5234);
Dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) dinyatakan bahwa
Negara Indonesia adalah negara hukum. Negara hukum
bertalian erat dengan wibawa hukum yang amat diperlukan bagi
pembangunan dan pembaharuan masyarakat. Hukum berwibawa
apabila hukum itu merupakan kekuatan sosial yang ditaati. Salah
satu dari fondasi kekuatan suatu Negara adalah adanya
peraturan yang baik dengan tujuan untuk ketertiban masyarakat.
Dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 ini yang
terutama adalah letak susunan Peraturan Daerah di antara
peraturan perundangan lainnya. Sebagaimana yang dicantumkan
dalam Pasal 7 ayat (1) undang-undang ini, yaitu Jenis dan
Hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945;
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang;
d. Peraturan Pemerintah;
e. Peraturan Presiden;
f. Peraturan Daerah Provinsi; dan
g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Kemudian dalam Pasal 7 ayat (2) dikatakan bahwa
Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan sesuai dengan
hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Dalam ketentuan
ini yang dimaksud dengan ―hierarki‖ adalah penjenjangan setiap
jenis Peraturan Perundang-undangan yang didasarkan pada asas
bahwa Peraturan Perundang-undangan yang lebih rendah tidak
boleh bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang
lebih tinggi.

4. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (Lembaran


Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 7, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5495);
Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa
(Undang-Undang Desa) ini menjelaskan bahwa desa memiliki hak
tradisional dan memiliki hak untuk mengatur masyarakat dalam
mengembangkan desa agar lebih maju dan mandiri. Undang-
Undang ini juga menjelaskan tentang pembentukan Pemerintahan
Desa yang profesional, efisien dan efektif, terbuka, serta
bertanggung jawab meningkatkan pelayanan publik bagi warga
masyarakat Desa guna mempercepat perwujudan kesejahteraan

23
umum dan meningkatkan ketahanan sosial budaya masyarakat
Desa. Pemerintahan Desa harus dapat memelihara kesatuan
sosial sebagai bagian dari ketahanan nasional dalam memajukan
perekonomian masyarakat Desa serta mengatasi kesenjangan
pembangunan nasional.
Dalam Pasal 1 ayat (1) dijelaskan bahwa Desa adalah
kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang
berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan,
kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa
masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui
dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Prinsip dasar konstruksi Undang-Undang
Desa adalah menggabungkan fungsi self-governing community dan
local self-government. Self-governing community yaitu menjalankan
kewenangan pemerintahan desa berdasar pada asal-usul dan
kewenangan lokal berskala desa. Sementara local self-government
yaitu kewenangan yang ditugaskan oleh Pemerintah, Pemerintah
Daerah Provinsi, atau Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Dan
juga kewenangan lain yang ditugaskan oleh Pemerintah,
Pemerintah Daerah Provinsi, atau Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan. Maka ada empat kewenangan utama yang dimiliki
desa, Kewenangan ini harus dijalankan secara demokratis,
berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan adat
istiadat Desa, yaitu: Penyelenggaraan Pemerintahan Desa,
Pelaksanaan Pembangunan Desa, Pembinaan kemasyarakatan
Desa, dan Pemberdayaan masyarakat Desa.
Dalam pandangan ketatanegaraan, Indonesia memiliki
hierarkhi struktural pemerintahan yang diatur secara tertulis
dalam undang-undang, sehingga dalam urutan hierarkhi itu desa
merupakan bagian terendah dari pelaksana pemerintahan. Desa
secara status diakui sebagai bagian dari pemerintahan dan
memiliki otoritas kebijakan (hak otonomi baku) dalam Undang-
Undang Nomor 6 Tahun 2014. Karena itulah, Undang-Undang
Desa tersebut mengamanahkan pembangunan desa sebagai cara
untuk mengembalikan kedaulatan desa.
Undang-Undang Desa mempertegas bahwa desa
sebenarnya membutuhkan kewenangan lebih yang sudah
seharusnya didapatkan sesuai dengan hak otonominya,
kewenangan yang dibutuhkan oleh desa adalah kewenangan
dalam menyelenggarakan pemerintahannya dan kewenangan
dalam mengelola aset desa dalam mewujudkan kemandirian desa,
sebagaimana telah tercantum dalam Pasal 18 sampai Pasal 22
Undang-Undang Desa.
Kemandirian desa dapat tercapai melalui pembangunan
desa yang optimal dengan mengedepankan potensi yang dimiliki

24
desa tersebut. Pasal 78 Undang-Undang Desa menyatakan bahwa
pembangunan Desa bertujuan meningkatkan kesejahteraan
masyarakat Desa dan kualitas hidup manusia serta
penanggulangan kemiskinan melalui pemenuhan kebutuhan
dasar, pembangunan sarana dan prasarana Desa, pengembangan
potensi ekonomi lokal, serta pemanfaatan sumber daya alam dan
lingkungan secara berkelanjutan.
Salah satu bentuk pembangunan desa dalam rangka
mewujudkan kemandirian desa adalah pengembangan kawasan
desa wisata sesuai dengan potensi alam yang dimiliki desa
dimaksud. Pembangunan desa wisata melalui penetapan oleh
kepala daerah tingkat kabupaten merupakan salah satu bentuk
upaya pembangunan kawasan pedesaan sebagaimana yang
dimaksud dalam Pasal 84 Undang-Undang Desa: ―Pembangunan
Kawasan Perdesaan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah
Provinsi, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, dan/atau pihak
ketiga yang terkait dengan pemanfaatan Aset Desa dan tata ruang
Desa wajib melibatkan Pemerintah Desa.‖

5. Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan


Pelaksanaan UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, dan
Peraturan Pemerintah Nomor 47 tahun 2015 tentang Perubahan
PP Nomor 43 tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan UU
Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa
Sebagai kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai
susunan asli berdasarkan hak istimewa, desa dapat melakukan
perbuatan hukum baik hukum publik maupun hukum perdata,
memiliki kekayaan, harta benda serta dapat dituntut dan
menuntut di muka pengadilan. Karena itulah desa memiliki hak
otonomi asli berdasarkan hukum adat, dapat menentukan
susunan pemerintahan, mengatur dan mengurus rumah tangga,
serta memiliki kekayaan dan aset. Peraturan Pemerintah Nomor
43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa menegaskan eksistensi desa
dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat desa.
Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 dikeluarkan
untuk melaksanakan sejumlah ketentuan dalam Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, serta untuk mengoptimalkan
penyelenggaraan pemerintahan Desa. Peraturan Pemerintah
Nomor 43 Tahun 2014 tersebut memuat sejumlah aturan, antara
lain mengenai Penataan Desa, Kewenangan, Pemerintahan Desa,
Tata Cara Penyusunan Peraturan Desa, Keuangan dan Kekayaan
Desa, Pembangunan Desa dan Pembangunan Kawasan
Perdesaan, Badan Usaha Milik Desa, Kerjasama Desa, Lembaga
Kemasyarakatan Desa dan Lembaga Adat Desa, dan Pembinaan
dan Pengawasan Desa oleh Camat atau sebutan lain.

25
Terkait dengan penetapan desa wisata, maka ketentuan
kewenangan desa dalam Peraturan Pemerintah tersebut menjadi
bagian yang penting untuk diperhatikan. Pasal 33 Peraturan
Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 menyebutkan bahwa
kewenangan Desa meliputi:
1. Kewenangan berdasarkan hak asal usul;
2. Kewenangan lokal berskala Desa;
3. Kewenangan yang ditugaskan oleh Pemerintah, pemerintah
daerah provinsi, atau pemerintah daerah kabupaten/kota; dan
4. Kewenangan lain yang ditugaskan oleh Pemerintah,
pemerintah daerah provinsi, atau pemerintah daerah
kabupaten/kota sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Poin 3 dan 4 di atas secara tegas menetapkan bahwa Desa
dapat diberi kewenangan melaksanakan tugas dan amanat yang
diberikan oleh pemerintah kabupaten/kota. Hal ini penting
diperhatikan terkait dengan penetapan desa wisata oleh
pemerintah kabupaten terhadap suatu desa tertentu. Adapun
anggaran untuk menyelenggarakan kewenangan Desa yang
didapat atau ditugaskan oleh Pemerintah Daerah akan didanai
dengan APBD dari Propinsi, dan Kabupaten atau Kota. Hal ini
sesuai dengan ketentuan Pasal 90 ayat (5) Peraturan Pemerintah
Nomor 43 Tahun 2014, yaitu ―Penyelenggaraan kewenangan Desa
yang ditugaskan oleh pemerintah daerah didanai oleh anggaran
pendapatan dan belanja daerah.‖
Selain itu, Pasal 122 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor
43 Tahun 2014 menetapkan bahwa ―Pemerintah, pemerintah
daerah provinsi, dan pemerintah daerah kabupaten/kota
menyelenggarakan program sektoral dan program daerah yang
masuk ke Desa.‖ Demikian juga Pasal 123 ayat (1) menentukan
bahwa ―Pembangunan kawasan perdesaan merupakan perpaduan
pembangunan antar-Desa yang dilaksanakan dalam upaya
mempercepat dan meningkatkan kualitas pelayanan,
pembangunan, dan pemberdayaan masyarakat Desa melalui
pendekatan pembangunan partisipatif.‖ Pasal 124 ayat (1) juga
menegaskan bahwa ―Pembangunan kawasan perdesaan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 123 dilaksanakan di lokasi
yang telah ditetapkan oleh bupati/walikota.‖
Berdasarkan ketentuan di atas, pemerintah kabupaten
dapat menetapkan suatu peraturan daerah untuk membuat
program pembangunan kawasan perdesaan, termasuk desa
wisata sebagai program pemerintah kabupaten, dalam rangka
mempercepat dan meningkatkan kualitas pembangunan dan
pemberdayaan masyarakat desa.

26
6. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah, sebagaimana telah di ubah dengan Undang-Undang
Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah;
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah ini mengatur tentang pemberian otonomi
yang seluas-luasnya kepada Daerah dengan tujuan untuk
mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui
peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta
masyarakat. Daerah sebagai satu kesatuan masyarakat hukum
yang mempunyai otonomi berwenang mengatur dan mengurus
Daerahnya sesuai aspirasi dan kepentingan masyarakatnya
sepanjang tidak bertentangan dengan tatanan hukum nasional
dan kepentingan umum. Selain memperhatikan kepentingan
nasional, dalam rangka mengatur dan mengurus kehidupan
warganya, Pemerintah Daerah membentuk kebijakan dengan
memperhatikan dan mengutamakan kearifan lokal.
Dalam Pasal 11 ayat (1) disebutkan bahwa urusan
pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah terdiri atas
Urusan Pemerintahan Wajib dan Urusan Pemerintahan Pilihan.
Urusan Pemerintahan Wajib berkaitan dengan Pelayanan Dasar
yang meliputi pendidikan, kesehatan, pekerjaan umum dan
penataan ruang, perumahan rakyat dan kawasan permukiman,
ketenteraman, ketertiban umum dan pelindungan masyarakat,
serta sertah hal-hal yang terkait dengan kehidupan sosial.
Adapun Urusan Pemerintahan Pilihan meliputi kelautan dan
perikanan, pariwisata, pertanian, kehutanan, energi dan sumber
daya mineral, perdagangan, perindustrian, dan transmigrasi.
Dalam pasal 13 ayat (4) huruf f dijelaskan salah satu
urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan Daerah
kabupaten/kota adalah (a) Urusan Pemerintahan yang lokasinya
dalam Daerah kabupaten/kota; (b) Urusan Pemerintahan yang
penggunanya dalam Daerah kabupaten/kota; (c) Urusan
Pemerintahan yang manfaat atau dampak negatifnya hanya dalam
Daerah kabupaten/kota; dan/atau (d) Urusan Pemerintahan yang
penggunaan sumber dayanya lebih efisien apabila dilakukan oleh
Daerah kabupaten/kota.
Ketentuan tentang urusan wajib dan urusan pilihan di
atas dapat diartikan bahwa pemerintah Daerah kabupaten/kota
berwenangan untuk menentukan sendiri sumber daya alam dan
sumberdaya manusia yang potensial untuk dikembangkan di
tempat-tempat yang dianggap sesuai, termasuk juga dengan
penetapan desa wisata dan peluang adanya tenaga kerja
kepariwisataan terkait dengan desa wisata tersebut.
Begitu pula pada pasal 31 ayat (2) huruf b disebutkan
bahwa penataan daerah ditujukan untuk mempercepat

27
peningkatan kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian,
urusan pemerintahan daerah yang bersifat nyata ada dan
berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai
dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang
bersangkutan dapat dikembangkan oleh Daerah tersebut. Hal ini
dapat diartikan bahwa Daerah kabupaten/kota memiliki
kewenangan sendiri untuk mengurus hal-hal yang menyangkut
kesejahteraan masyarakat yang juga mencakup kepariwisataan
atau desa wisata.
Terhadap kewenangan-kewenangan di atas pemerintah
daerah perlu membentuk peraturan daerah yang melegitimasi
kewenangan tersebut, yang salah satunya adalah terkait dengan
desa wisata.

28
BAB IV
LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS DAN YURIDIS

A. Landasan Filosofis
Negara Republik Indonesia adalah suatu wilayah negara
kepulauan besar yang terdiri dari ribuan pulau dan diapit oleh
dua samudra dan dua benua, serta didiami oleh ratusan juta
penduduk. Disamping itu Indonesia memiliki keanekaragaman
budaya dan adat istiadat yang berlainan satu sama lain, dan
tercemin dalam satu ikatan kesatuan yang terkenal dengan
sebutan Bhinneka Tunggal Ika. Mengingat keberadaan tersebut
dan demi menjaga penyelenggara tertib pemerintah yang baik dan
efisien, maka kekuasaan negara tentu tidak dapat dipusatkan
dalam satu tangan kekuasaan saja. Oleh sebab itu penyebaran
kekuasaan haruslah dijalankan secara efektif untuk mencapai
cita-cita dan tujuan akhir negara sebagaimana disebutkan dalam
pembukaan UUD 45. Sebagai konsekuensinya, maka wilayah
negara kesatuan republik Indonesia haruslah dibagi atas
beberapa daerah, baik besar maupun kecil.
Amanat konstitusi diatas implementasinya diatur oleh
peraturan perundang-undangan tentang pemerintahan daerah
yang terakhir diatur dalam UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah, sistem pemerintahan di Indonesia
memberikan keleluasaan yang sangat luas kepada daerah untuk
menyelenggarakan otonomi daerah. Daerah otonom, selanjutnya
disebut daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang
mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus
urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut
prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Kebijakan otonomi daerah yang demikian itu merupakan kebijakan
Negara yang mendasari penyelenggaraan organisasi dan manajemen
pemerintahan daerah. Artinya, seluruh kebijakan dan kegiatan
pemerintahan serta kebijakan dan kegiatan pembangunan di daerah
dilaksanakan menurut arah kebijakan yang ditetapkan dalam
kebijakan Negara tersebut. Dalam menyelenggarakan otonomi
daerah lembaga yang berwenang menjalankan fungsi kekuasaan yang
dimiliki. Kekuasaan yang dimaksud yaitu: kekuasaan untuk
membuat keputusan, memerintah, dan melimpahkan tanggung jawab
kepada orang lain.
Berkaitan dengan kebijakan otonomi daerah , saat ini telah lahir
Undang-Undang No.6 Tahun 2014 Tentang Desa. Desa memiliki hak
otonomi asli berdasarkan hukum adat, dapat menentukan
susunan pemerintahan, mengatur dan mengurus rumah tangga,
serta memiliki kekayaan dan aset. oleh karena itu, eksistensi desa
perlu ditegaskan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat

29
desa. Deregulasi dan penataan desa pasca beberapa kali
amandemen terhadap konstitusi negara serta peraturan
perundangannya menimbulkan perspektif baru tentang
pengaturan desa di Indonesia. Dengan di undangkannya Undang-
Undang No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa , sebagai sebuah
kawasan yang otonom memang diberikan hak-hak istimewa,
diantaranya adalah terkait pengelolaan keuangan dan alokasi
dana desa, pemilihan kepala desa serta proses pembangunan
desa .
Otonomi desa merupakan otonomi asli, bulat, dan utuh
serta bukan merupakan pemberian dari pemerintah. Sebaliknya
pemerintah berkewajiban menghormati otonomi asli yang dimiliki
oleh desa tersebut. Sebagai kesatuan masyarakat hukum yang
mempunyai susunan asli berdasarkan hak istimewa, desa dapat
melakukan perbuatan hukum baik hukum publik maupun
hukum perdata, memiliki kekayaan, harta benda serta dapat
dituntut dan menuntut di muka pengadilan. Bagi desa, otonomi
yang dimiliki berbeda dengan otonomi yang dimiliki oleh daerah
propinsi maupun daerah kabupaten dan daerah kota.
Otonomi yang dimiliki oleh desa adalah berdasarkan asal-
usul dan adat istiadatnya, bukan berdasarkan penyerahan
wewenang dari pemerintah. Desa atau nama lainnya, yang
selanjutnya disebut desa adalah kesatuan masyarakat hukum
yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan
adat-istiadat setempat yang diakui dalam sistem pemerintahan
nasional dan berada di daerah kabupaten. Landasan pemikiran
yang perlu dikembangkan saat ini adalah keanekaragaman,
partisipasi, otonomi asli, demokrasi, dan pemberdayaan
masyarakat.
Namun harus selalu diingat bahwa tiada hak tanpa
kewajiban, tiada kewenangan tanpa tanggungjawab dan tiada
kebebasan tanpa batas. Oleh karena itu, dalam pelaksanaan hak,
kewenangan dan kebebasan dalam penyelenggaraan otonomi desa
harus tetap menjunjung nilai-nilai tanggungjawab terhadap
Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan menekankan bahwa
desa adalah bagian yang tidak terpisahkan dari bangsa dan
negara Indonesia. Pelaksanaan hak, wewenang dan kebebasan
otonomi desa menuntut tanggungjawab untuk memelihara
integritas, persatuan dan kesatuan bangsa dalam ikatan Negara
Kesatuan Republik Indonesia dan tanggungjawab untuk
mewujudkan kesejahteraan rakyat yang dilaksanakan dalam
koridor peraturan perundang-undangan yang berlaku .
Menurut Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa
Pasal 18 kewenangan desa meliputi kewenangan di bidang
penyelenggaraan pemerintahan desa, pelaksanaan pembangunan

30
desa, pembinaan kemasyarakatan desa, dan pemberdayaan
masyarakat desa berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal
usul, dan adat istiadat desa. Dan menurut Pasal 19 Undang-
Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa kewenangan desa
meliputi:
1. kewenangan berdasarkan hak asal usul;
2. kewenangan lokal berskala Desa;
3. kewenangan yang ditugaskan oleh Pemerintah, Pemerintah
Daerah Provinsi, atau Pemerintah Daerah
4. Kabupaten/Kota; dan
5. kewenangan lain yang ditugaskan oleh Pemerintah,
Pemerintah Daerah Provinsi, atau Pemerintah
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah menyatakan bahwa desa di
kabupaten/kota memiliki kewenangan-kewenangan yang dapat
diatur secara bersama antara pemerintah desa dan BPD yang
dimaksudkan untuk meningkatkan pelayananan kepada
masyarakat. Penyelenggaraan desa yang otonom dengan
kewenangan yang dilimpahkan tersebut pada dasarnya
merupakan proses yang terjadi secara simultan dan
berkesinambungan yang memerlukan pengetahuan aparatur
daerah tentang kewenangan mereka, potensi daerah dan
menjaring aspirasi masyarakat di wilayahnya.
Kewenangan menurut George R.Terry, menjelaskan bahwa
wewenang merupaka hak jabatan yang sah untuk memerintahkan
orang lain bertindak dan untuk memaksa pelaksanaannya.
Dengan wewenang, seseorang dapat mempengaruhi aktifitas atau
tingkah laku perorangan dan grup. Sedangkan Mac Iver
R.M, wewenang merupakan suatu hak yang didasarkan pada
suatu pengaturan social, yang berfungsi untuk menetapkan
kebijakan, keputusan, dan permasalahan penting dalam
masyarakat. Soerjono Soekanto, bila orang-orang membicarakan
tentang wewenang, maka yang dimaksud adalah hak yang dimiliki
seseorang atau sekelompok orang. Max weber, wewenang adalah
sebagai kekuasaan yang sah.
Berdasarkan amanah kewenangan tersebut , maka Pemerintah
Daerah memiliki kewenangan untuk mengelola Pariwisata di
Kabupaten Cilacap, yang sebagian pengelolaannya diserahkan
kepada desa-desa yang bersangkutan dengan tetap dalam lingkup
pembinaan pemerintah daerah.
Tujuan awal adanya pengaturan tentang Desa Wisata terutama
untuk melakukan peningkatan dalam aspek kepariwisataan yang
dikelola secara integratif oleh Desa. Desa wisata adalah suatu
bentuk integrasi antara atraksi, akomodasi dan fasilitas lainnya
yang disajikan dalam suatu struktur kehidupan masyarakat yang
menyatu dengan tata cara dan tradisi yang berlaku. Saat

31
ini, pariwisata menjadi salah satu bidang yang mencerminkan
keadaan suatu daerah sebagai suatu kesatuan dengan
masyarakatnya. Dunia pariwisata secara umumnya berperan sebagai agen
promosi yang membawa gambaran kepada dunia lainnya tentang
daerahnya. Selain itu juga sebagai sumber pendapatan daerah. Sehingga
dalam hal ini pemerintah daerah perlu agar daerah membangun
infrastruktur kepariwisataan menjadi lebih baik dan dapat dibanggakan
sebagai basis dari perkenalan wilayah ke ajang yang lebih luas.
Situasi inilah yang kemudian membawa peraturan daerah
tentang Desa Wisata. Penyusunan Peraturan Daerah tentang
Desa Wisata ini pada prinsipnya didasarkan pada asas-asas yang
menjadi landasan filosofis penyusunan peraturan perundang-
undangan pada umumnya yaitu diantaranya : 1. Asas Pengayoman,
bahwa materi muatan peraturan daerah berfungsi untuk memberikan
perlindungan dalam rangka menciptakan ketentramanmasyarakat; 2.
Asas kemanusiaan, dimana peraturan daerah ini dimaksudkan untuk
memberikan perlindungan hak-hak asasi manusia serta harkat
dan martabat setiap warga masyarakat secara proporsional; 3. Asas
Keadilan, dimana ketentuan-ketentuan dalam peraturan daerah
ini adalah untuk memberikan keadilan secara proporsional bagi setiap
warga masyarakat tanpa kecuali serta; 4. Asas ketertiban, dan
kepastian hukum dimana salah satu tujuan utama
dari peraturan daerah ini adalah untuk menciptakan ketertiban
dalam masyarakat melalui jaminan adanya kepastian hukum.

B. Landasan Sosiologis
Suatu peraturan perundang-undangan dinilai memilki
landasan sosiologis secara benar jika peraturan daerah tersebut
dibentuk berdasarkan pada realitas dan kebutuhan masyarakat.
Munculnya penolakan terhadap diberlakukannya suatu peraturan
daerah merupakan indikasi bahwa peraturan daerah yang
bersangkutan tidak memilki landasan sosiologis yang baik.
Idealnya, suatu peraturan daerah harus sesuai dengan keadaan
masyarakat yang akan dikenai peraturan tersebut agar tidak
terjadi keresahan dan ketidakpuasan.
Sebagai penyelenggara pemerintahan maka pemerintah
daerah dituntut unutk memahami dan mengerti tentang keadaan
masyarakat yang diperintahnya. Pemerintah daerah sebagai
pemegang kekuasaan tidak hanya harus memahami dan mengerti
tentang keadaan masyarakat tetapi lebih jauh dari itu adalah
mempertimbangkan dukungan (support) dan tuntutan (demand)
yang ada di dalam masyarakatnya. Oleh karena itu sebelum
pemerintah daerah mengajukan prakarsa pembuatan perda,
pemerintah daerah mempunyai fungsi yang sangat penting untuk
bisa mempelajari situasi dan kondisi secara tepat.

32
Bagi masyarakat yang akan mendukung dan menjalankan
kebijakan publik tersebut memperoleh informasi tentang
perkiraan resiko dan dampak yang dipersepsikan, baik luas
maupun bentuknya, serta konsep sementara yang ditawarkan
berkenaan dengan langkah-langkah yang dinilai perlu diambil
untuk mengatasinya. Keterbukaan pada tahapan ini
memungkinkan masyrakat mempersiapkan diri untuk
menghadapinya, membantu merumuskan usulan alternatif lain,
atau menolaknya. Penolakan terhadap kebijakan pemerintah
secara terbuka atau terselubung pada umumnya disebabkan oleh
minimnya komunikasi oleh birokrasi atau ketidaksiapan, atau
ketidaksiapan masyarakat memikul resiko dan dampak yang
dipersepsikan.
Sikap budaya lama dari ―pamong‖ (birokrasi) yang merasa
memonopoli informasi acapkali muncul kepermukaan dalam
bentuk yang dituduhkan sebagai ―kecongkaan kekuasaan‖.
Hampir semua masalah yang kita hadapi dewasa ini dapat
ditelusuri kembali kepada akar masalahnya, yaitu karena
tiadanya komunikasi yang sehat, atau bahkan karena ―salah
komunikasi‖. Semuanya berlatar belakang karena ketidaksediaan
berbagi privilese, berbagi informasi dengan pihak lain.
Berkaitan komunikasi dan suara masyarakat tersebut,
masyarakat kabupaten Cilacap memerlukan pengaturan
terhadap pariwisata , khususnya tentang Desa Wisata. beberapa
alasan mengapa peraturan daerah Cilacap ini penting untuk
diterbitkan, beberapa alasan sosilogis empiris dapat dikemukakan
disini, diantaranya adalah sebagai berikut: Beberapa Desa di
Kabupaten Cilacap memiliki beragam lansekap yang muncul
karena keragaman dan karakter masyarakatnya. Ada lansekap
budaya (cultural lanscape). suatu kawasan geografis yang
menampilkan ekspresi lansekap sebagai akibat suatu pola budaya
tertentu seperti yang terdapat di kawasan kampung laut
kabupaten Cilacap.
Lansekap sejarah (historical lanscape)—-suatu kawasan
geografis yang merupakan setting suatu peristiwa (tata
perkebunan, lubang buaya, candi borobudur, dan lain
sebagainya). Di kabupaten Cilacap ada Goa Pendem, Sejarah
tentang penjajahan Belanda, Selain itu juga ada Lansekap alam
(natural lanscape)—suatu kawasan geomorfologis dari berbagai
rupa bumi (lembah, sungai, danau, gunung, dan lain sebagainya)
di kabupaten Cilacap ada pantai yang sangat indah alami seperti
Teluk Penyu.
Lansekap-lansekap tersebut banyak yang belum di
optimalkan sehingga belum begitu berpengaruh secara signifikan
terhadap kehidupan ekonomi masyarakat. Problematika belum
optimalnya masalah Desa wisata harus segera diperbaiki, seperti

33
kondisi prasarana di sekitar kawasan wisata perlu di perhatikan
agar wisatawan dapat mengetahui dengan benar,karena
berkembang tidaknya suatu obyek wisata tergantung pada produk
industri dari pariwisata tersebut, yang meliputi daya tarik,
prasarana serta kemudahan dalam menuju obyek wisata yang
ada. Daya tarik wisata merupakan segala sesuatu yang
mendorong wisatawan untuk berkunjung dan singgah di daerah
tujuan wisata yang bersangkutan. Misalnya jenis obyek wisata,
seni dan budaya, keramahan penduduk, keamanan, kebersihan
dan kenyamanan. Daya tarik ini dapat timbul dari keadaan alam
maupun obyek buatan manusia.
Selain hal tersebut perlu juga diperhatikan tentang
prasarana wisata yang merupakan semua konstruksi di atas dan
di bawah yang ada pada suatu wilayah yang meliputi sistem
pengairan, jaringan telekomunikasi, fasilitas kesehatan, terminal,
sumber listrik, jalan raya dan pembuangan limbah ( Spiliane,
1994). Unsur pengadaan dalam pengembangan prasarana obyek
wisata dapat berupa akomodasi, transportasi, dan fasilitas
pelayanan.
Sampai saat ini regulasi tentang wisata yang berada di
Desa-Desa di kabupaten Cilacap sebagai payung hukum tentang
pembentukan Desa Wisata tersebut belum ada. Sehingga
dianggap sangat penting untuk segera menyusun raperda tentang
Desa Wisata di kabupaten Cilacap.

C. Landasan Yuridis
Kajian yuridis mengenai Desa Wisata tidak dapat lepas dari aspek
yang berkaitan dengan pembentukan peraturan perundangan
sebagai landasan yuridis yang mengikat dan menjadi dasar
pengaturan. Penyelenggaraan asas desentralisasi oleh pemerintah
adalah otonomi daerah yang berlangsung dan diselenggarakan
oleh daerah otonom baik dalam konsep yang mengandung
wewenang (fungsi), mengatur (regelend), ataupun mengatur
(bestuur). Berdasarkan analisa mengenai peraturan perundang-undangan
yang relevan, maka pembentukan peraturan daerah Cilacap tentang
Desa Wisata mempunyai landasan yuridis sebagaimana berikut:

1. Undang –Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun


1945- Pasal 18 ayat (6)
Berdasarkan pasal 18 UUD 1945 dibentuknya daerah
otonom tujuannya adalah untuk meningkatkan daya guna
dan hasil guna penyelenggaraan pemerintah dalam rangka
pelayanan terhadap masyarakat dalam pelaksanaan
pembangunan, yang berbunyi sebagai berikut: (1). Negara

34
Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah- daerah
provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan
kota, yang tiap- tiap provinsi, kabupaten dan kota mempunyai
pemerintahan daerah yang diatur dengan undang- undang.
(2). Pemerintahan daerah provinsi,daerah kabupaten dan kota
mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan
menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. (3).
Pemerintahan daerah provinsi,daerah kabupaten dan kota
memiliki Dewan Perwakilan Rakyat daerah yang anggotanya
dipilih melalui pemilihan umum. (4). Gubernur, Bupati, dan
Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah
provinsi,kabupaten dan kota dipilih secara demokratis. (5).
Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya,
kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang
ditentukan sebagai urusan pemerintah pusat. (6). Pemerintah
Daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan –
peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas
pembantuan. (7). Susunan dan tata cara penyelenggaraan
pemerintahan daerah diatur dalam undang- undang.
Agar dapat berfungsi dan dicapai tujuan
pembentukannya sesuai dengan pasal 18 UUD 1945 maka
kepada daerah diberikan wewenang- wewenang untuk
melaksanakan berbagai urusan rumah tangganya. Oleh karena
itu, setiap pembentukan Daerah Otonom Tingkat I ataupun II
harus selalu memperhatikan syarat- syarat kemampuan
ekonomi, jumlah penduduk,luas daerah pertahanan dan
keamanan yang memungkinkan daerah otonom melaksanakan
otonomi yang nyata dan bertanggung jawab.

2. Undang-Undang No.26 Tahun 2007 Tentang Penataan


Ruang
Tujuan penataan ruang menurut Undang-undang Nomor
26 Tahun 2007 adalah: Penyelenggaraan penataan ruang
bertujuan untuk mewujudkan ruang wilayah nasional yang
aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan berlandaskan
Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional dengan: a.
terwujudnya keharmonisan antara lingkungan alam dan
lingkungan buatan; b. terwujudnya keterpaduan dalam
penggunaan sumber daya alam dan sumber daya buatan
dengan memperhatikan sumber daya manusia; dan c.
terwujudnya pelindungan fungsi ruang dan pencegahan
dampak negatif terhadap lingkungan akibat pemanfaatan
ruang (Pasal 3). Dari pasal tersebut dapat dipahami bahwa
rumusan tujuan (pengaturan penataan ruang) merupakan
penerapan bagaimana konsep asas-asas penyelenggaran

35
penataan ruang mengendalikan arah dan sasaran yang hendak
dituju oleh suatu pengaturan UU Penataan Ruang ini.
Selanjutnya pasal yang berkaitan dengan Desa Wisata
dalam Undang-undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan
Ruang adalah klasifikasi penataan ruang sebagai berikut,
Pasal 4: Penataan ruang diklasifikasikan berdasarkan sistem,
fungsi utama kawasan, wilayah administratif, kegiatan
kawasan, dan nilai strategis kawasan. Pasal 5 (1) Penataan
ruang berdasarkan sistem terdiri atas sistem wilayah dan
sistem internal perkotaan. (2) Penataan ruang berdasarkan
fungsi utama kawasan terdiri atas kawasan lindung dan
kawasan budi daya. (3) Penataan ruang berdasarkan wilayah
administratif terdiri atas penataan ruang wilayah nasional,
penataan ruang wilayah provinsi, dan penataan ruang wilayah
kabupaten/kota. (4) Penataan ruang berdasarkan kegiatan
kawasan terdiri atas penataan ruang kawasan perkotaan dan
penataan ruang kawasan perdesaan. (5) Penataan ruang
berdasarkan nilai strategis kawasan terdiri atas penataan
ruang kawasan strategis nasional, penataan ruang kawasan
strategis provinsi, dan penataan ruang kawasan strategis
kabupaten/kota.
Pasal 6 (1) Penataan ruang diselenggarakan dengan
memperhatikan: a. kondisi fisik wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang rentan terhadap bencana; b. potensi
sumber daya alam, sumber daya manusia, dan sumber daya
buatan; kondisi ekonomi, sosial, budaya, politik, hukum,
pertahanan keamanan, lingkungan hidup, serta ilmu
pengetahuan dan teknologi sebagai satu kesatuan; dan c.
geostrategi, geopolitik, dan geoekonomi. (2) Penataan ruang
wilayah nasional, penataan ruang wilayah provinsi, dan
penataan ruang wilayah kabupaten/kota dilakukan secara
berjenjang dan komplementer. (3) Penataan ruang wilayah
nasional meliputi ruang wilayah yurisdiksi dan wilayah
kedaulatan nasional yang mencakup ruang darat, ruang laut,
dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu
kesatuan. (4) Penataan ruang wilayah provinsi dan
kabupaten/kota meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang
udara, termasuk ruang di dalam bumi sesuai dengan
ketentuan peraturan perundangundangan. (5) Ruang laut dan
ruang udara, pengelolaannya diatur dengan undang-undang
tersendiri. Dari pasal-pasal tersebut telah jelas klasifikasi
penataan ruang baik berdasarkan sistem, fungsi utama
kawasan-kawasan, wilayah administratif, kegiatan kawasan,
dan nilai strategi kawasan.
Makin tinggi taraf hidup manusia, makin bertambah
pula macam dan ragam kebutuhannya. Hal ini ditambah pula

36
dengan tersedianya ilmu dan teknologi yang memungkinkan
ragam dan macam kebutuhan itu dipenuhi. Upaya untuk
memenuhi kebutuhan di atas dilakukan dengan
memanfaatkan berbagai sumber daya alam yang tersedia di
sekitarnya dengan melakukan berbagai macam kegiatan, baik
langsung maupun tidak. Kegiatan tersebut memerlukan ruang
atau tempat. Pada umumnya, suatu ruang tertentu dapat
digunakan untuk berbagai alternatif kegiatan, seperti
pemukiman, industri, pertanian dan sebagainya. Apabila suatu
kegiatan tertentu telah dilakukan di suatu ruang tertentu,
pada waktu yang sama tidak dapat dilakukan suatu kegiatan
lain. Karena itu, dapat terjadi persaingan. Bahkan, terjadi
konflik dalam pemanfaatan ruang antara berbagai macam
kegiatan, yang dapat menghambat kelancaran kegiatan itu.
Hak guna usaha, misalnya kegiatan pertanian, yang terdapat
dalam suatu ruang dapat terjadi tumpang tindih dengan
kegiatan pertambangan berdasarkan hak kuasa
pertambangan. Di samping itu, suatu kegiatan dapat
mengganggu atau merugikan kegiatan lain yang berada di
dekatnya, seperti pengaruh kebisingan, asap tebal dan debu
pada tempat kediaman/pemukiman. Bahkan, suatu kegiatan
wilayah meskipun jaraknya cukup jauh, misalnya pengaruh
industri di hulu sungai terhadap pemukiman atau
penggundulan hutan terhadap pemukiman di bawahnya
karena erosi dan menurunnya air bawah tanah. Perubahan
terhadap peruntukan lahan yang tidak disertai dengan
perencanaan yang matang dapat menimbulkan dampak yang
merugikan dan konflik-konflik yang mengganggu lancarnya
kegiatan pembangunan. Sebagai contoh konkret mengena hal
ini timbulnya masalah tata ruang di kawasan Puncak. Sebagai
objek wisata yang banyak dikunjungi orang, di daerah ini
banyak pembangunan fasilitas seperti bungalau, restoran yang
tidak cocok untuk itu. Hal ini tidak saja menimbulkan konflik-
konflik dalam berbagai pemanfaatan yang berbeda, tetapi juga
dapat mengancam rusaknya keindahan alam yang menjadi
objek utama dari para wisatawan.

3. Undang-Undang No.10 Tahun 2009 Tentang


Kepariwisataan
Dalam undang-undang yang menjadi payung utama dalam
menyelenggarakan kepariwisataan ini telah dijelaskan dalam
pasal 14 Undang-undang ini bahwa terdapat beberapa usaha
pariwisata yang dapat diselenggarakan yaitu:
a. daya tarik wisata;
b. kawasan pariwisata;
c. jasa transportasi wisata;

37
d. jasa perjalanan wisata;
e. jasa makanan dan minuman;
f. penyediaan akomodasi;
g. penyelenggaraan kegiatan hiburan dan rekreasi;
h. penyelenggaraan pertemuan, perjalanan insentif,
konferensi, dan pameran;
i. jasa informasi pariwisata;
j. jasa konsultan pariwisata;
k. jasa pramuwisata;
l. wisata tirta; dan
m. Spa.
Kemudian dalam pasal selanjutnya pasal 15 ayat (1)
disebutkan bahwa untuk dapat menyelenggarakan usaha
pariwisata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14,
pengusaha pariwisata wajib mendaftarkan usahanya terlebih
dahulu kepada Pemerintah atau Pemerintah Daerah yang
kemudian dilanjutkan oleh pasal 16. Pasal ini menyatakan bahwa
Pemerintah atau Pemerintah Daerah dapat menunda atau meninjau
kembali pendaftaran usaha pariwisata apabila tidak sesuai
dengan ketentuan. Dari sini dapat diperhatikan bahwa pemerintah
daerah memiliki kewenangan untuk ikut intervensi dalam suatu
perizinan usaha pariwisata yang selanjutnya dapat dituangkan
dalam suatu peraturan daerah tersendiri yang mencakup
terutama pengaturan, standar, pembinaan, dan pengawasan
pariwisata tersebut.

4. Undang-Undang No.28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah


dan Retribusi Daerah
UU PDRD ini mempunyai tujuan sebagai berikut: (1).
Memberikan kewenangan yang lebih besar kepada daerah
dalam perpajakan dan retribusi sejalan dengan semakin
besarnya tanggung jawab Daerah dalam penyelenggaraan
pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat; (2).
Meningkatkan akuntabilitas daerah dalam penyediaan layanan
dan penyelenggaraan pemerintahan dan sekaligus
memperkuat otonomi daerah; (3). Memberikan kepastian bagi
dunia usaha mengenai jenis-jenis pungutan daerah dan
sekaligus memperkuat dasar hukum pemungutan pajak
daerah dan retribusi daerah.
Ada beberapa prinsip pengaturan pajak daerah dan
retribusi daerah yang dipergunakan dalam Undang-Undang
ini, yaitu: (1). Pemberian kewenangan pemungutan pajak
daerah dan retribusi daerah tidak terlalu membebani rakyat
dan relatif netral terhadap fiskal nasional. (2). Jenis pajak dan
retribusi yang dapat dipungut oleh daerah hanya yang
ditetapkan dalam Undang-undang (Closed-List). (3). Pemberian

38
kewenangan kepada daerah untuk menetapkan tarif pajak
daerah dalam batas tarif minimum dan maksimum yang
ditetapkan dalam Undang-undang. (4). Pemerintah daerah
dapat tidak memungut jenis pajak dan retribusi yang
tercantum dalam undang-undang sesuai kebijakan
pemerintahan daerah. (5). Pengawasan pemungutan pajak
daerah dan retribusi daerah dilakukan secara preventif dan
korektif.
Rancangan Peraturan Daerah yang mengatur pajak dan
retribusi harus mendapat persetujuan Pemerintah sebelum
ditetapkan menjadi Perda. Pelanggaran terhadap aturan
tersebut dikenakan sanksi.
Materi yang diatur dalam UU PDRD adalah sebagai
berikut: Penambahan jenis pajak daerah: Terdapat
penambahan 4 jenis pajak daerah, yaitu 1 jenis pajak
provinsi dan 3 jenis pajak kabupaten/kota. Dengan tambahan
tersebut, secara keseluruhan terdapat 16 jenis pajak daerah,
yaitu 5 jenis pajak provinsi dan 11 jenis pajak
kabupaten/kota. Jenis pajak provinsi yang baru adalah Pajak
Rokok, sedangkan 3 jenis pajak kabupaten/kota yang baru
adalah PBB Perdesaan dan Perkotaan, BPHTB, dan Pajak
Sarang Burung Walet. Sebagai catatan, untuk kabupaten/kota
ada penambahan 1 jenis pajak yaitu Pajak Air Tanah yang
sebelumnya merupakan pajak provinsi.
Perluasan Basis Pajak Daerah dengan Desa Wisata ,
antara lain adalah: 1. PKB dan BBNKB, termasuk kendaraan
pemerintah,2. Pajak Hotel, mencakup seluruh persewaan di
hotel, dan 3. Pajak Restoran, termasuk katering/jasa boga.4.
Perluasan Basis Retribusi Daerah Perluasan basis retribusi
daerah dilakukan dengan mengoptimalkan pengenaan
Retribusi Izin Gangguan, sehingga mencakup berbagai
retribusi yang berkaitan dengan lingkungan yang selama ini
telah dipungut, seperti Retribusi Izin Pembuangan Limbah
Cair, Retribusi AMDAL, serta Retribusi Pemeriksaan Kesehatan
dan Keselamatan Kerja.

5. Undang-Undang No.12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan


Peraturan PerUndang-Undangan
Dalam undang-undang ini yang terutama adalah letak
susunan Peraturan Daerah diantara peraturan perundangan
lainnya. Sebagaimana yang dicantumkan dalam pasal 7 undang-
undang ini, yaitu Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-
undangan terdiri atas:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945;
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;

39
c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang;
d. Peraturan Pemerintah;
e. Peraturan Presiden;
f. Peraturan Daerah Provinsi; dan
g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Kemudian pada pasal (2) dikatakan bahwa Kekuatan hukum
Peraturan Perundang-undangan sesuai dengan hierarki sebagaimana
dimaksud pada ayat (1). Kaitannya dengan pembentukan perda Desa
Wisata , maka perda ini tidak boleh bertentangan dengan peraturan-
peraturan diatasnya, lex superior derogat lex inferior (Jika ada Undang-
Undang secara substansial bertentangan, maka peraturan yang lebih
tinggi dapat mengabaikan peraturan yang ada di bawahnya). Untuk itu
pembentukan perda Desa Wisata ini selalu mengacu kepada Undang-
Undang yang berkaitan yang telah ada sebelumnya, baik yang lebih
tinggi tingkatannya maupun yang sejajar.

6. Undang-Undang No.6 Tahun 2014 Tentang Desa


Desa mempunyai sumber pendapatan Desa yang terdiri
atas pendapatan asli Desa, bagi hasil pajak daerah dan
retribusi daerah Kabupaten/Kota, bagian dari dana
perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diterima oleh
Kabupaten/Kota, alokasi anggaran dari Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara, bantuan keuangan dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi dan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota, serta hibah
dan sumbangan yang tidak mengikat dari pihak ketiga.
Bantuan keuangan dari Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah Provinsi dan Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah Kabupaten/Kota kepada Desa diberikan sesuai
dengan kemampuan keuangan Pemerintah Daerah yang
bersangkutan. Bantuan tersebut diarahkan untuk percepatan
Pembangunan Desa. Sumber pendapatan lain yang dapat
diusahakan oleh Desa berasal dari Badan Usaha Milik Desa,
pengelolaan pasar Desa, pengelolaan kawasan wisata skala
Desa, pengelolaan tambang mineral bukan logam dan tambang
batuan dengan tidak menggunakan alat berat, serta sumber
lainnya dan tidak untuk dijualbelikan. Bagian dari dana
perimbangan yang diterima Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota paling sedikit 10% (sepuluh perseratus)
setelah dikurangi Dana Alokasi Khusus yang selanjutnya
disebut Alokasi Dana Desa. Alokasi anggaran untuk Desa yang
bersumber dari Belanja Pusat dilakukan dengan
mengefektifkan program yang berbasis Desa secara merata dan
berkeadilan.

40
Pembangunan Desa dan Kawasan Perdesaan
Pembangunan Desa bertujuan meningkatkan kesejahteraan
masyarakat Desa dan kualitas hidup manusia serta
penanggulangan kemiskinan melalui penyediaan pemenuhan
kebutuhan dasar, pembangunan sarana dan prasarana,
pengembangan potensi ekonomi lokal, serta pemanfaatan
sumber daya alam dan lingkungan secara berkelanjutan.
Untuk itu, Undang-Undang ini menggunakan 2 (dua)
pendekatan, yaitu ‗Desa membangun‘ dan ‗membangun Desa‘
yang diintegrasikan dalam perencanaan Pembangunan Desa.
Sebagai konsekuensinya, Desa menyusun perencanaan
pembangunan sesuai dengan kewenangannya dengan
mengacu pada perencanaan pembangunan Kabupaten/Kota.
Dokumen rencana Pembangunan Desa merupakan satu-
satunya dokumen perencanaan di Desa dan sebagai dasar
penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa.
Perencanaan Pembangunan Desa diselenggarakan dengan
mengikutsertakan masyarakat Desa melalui Musyawarah
Perencanaan Pembangunan Desa. Musyawarah Perencanaan
Pembangunan Desa menetapkan prioritas, program, kegiatan,
dan kebutuhan Pembangunan Desa yang didanai oleh
Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa, swadaya masyarakat
Desa, dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
Kabupaten/Kota berdasarkan penilaian terhadap kebutuhan
masyarakat Desa.
Pembangunan Desa dilaksanakan oleh Pemerintah Desa
dan masyarakat Desa dengan semangat gotong royong serta
memanfaatkan kearifan lokal dan sumber daya alam Desa.
Pelaksanaan program sektor yang masuk ke Desa
diinformasikan kepada Pemerintah Desa dan diintegrasikan
dengan rencana Pembangunan Desa. Masyarakat Desa berhak
mendapatkan informasi dan melakukan pemantauan
mengenai rencana dan pelaksanaan Pembangunan Desa.
Selanjutnya Pemerintah Daerah dapat ikut serta dalam
pengelolaan Desa-Desa yang ada dalam wilayahnya, salah
satunya dengan mengoptimalkan potensi Desa untuk sama
sama dikelola sebagai Desa Wisata, sebagaimana terdapat
dalam Pasal 7 , Sebagai berikut:
Pasal 7
(1) Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah
Daerah Kabupaten/Kota dapat melakukan penataan Desa.
(2) Penataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan
hasil evaluasi tingkat perkembangan Pemerintahan Desa
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Penataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan:

41
a. mewujudkan efektivitas penyelenggaraan Pemerintahan
Desa;
b. mempercepat peningkatan kesejahteraan masyarakat
Desa;
c. mempercepat peningkatan kualitas pelayanan publik;
d. meningkatkan kualitas tata kelola Pemerintahan Desa;
dan
e. meningkatkan daya saing Desa.

7. Undang-Undang No.23 Tahun 2014 Tentang Pemerintah Daerah


Dalam pasal 12 ayat (2) telah dijelaskan salah satu
urusan wajib yang tidak berkaitan dengan pelayanan dasar
menjadi kewenangan pemerintahan daerah merupakan urusan dalam
skala daerah kabupaten yang meliputi penyelenggaraan pendidikan
dan alokasi sumber daya manusia potensial, termasuk juga budaya
dan penanaman modal yang bisa diartikan sebagai pemerintah
daerah berwenangan untuk menentukan sendiri sumber daya
manusia yang potensial ditempat-tempat yang dianggap sesuai,
menentukan budaya dari desa mana yang dapat dijadikan unggulan
daerah sehingga salah satunya dapat dijadikan Desa Wisata .
Begitu pula pada pasal yang sama ayat (2) yaitu Urusan
pemerintahan pemerintah daerah yang bersifat pilihan
meliputi urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan
berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai
dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang
bersangkutan. Hal ini bisa diartikan bahwa daerah memiliki
kewenangan sendiri untuk mengurus hal-hal yang menyangkut
kesejahteraan masyarakat yang dimana juga mencakup
kepariwisataan. Selanjutnya juga disebutkan, bahwa dalam
menyelenggarakan otonomi, daerah mempunyai kewajiban
menyediakan fasilitas sosial dan fasilitas umum yang layak yang mana
mencakup fasilitas dan sarana hiburan dalam kepariwisataan.
Dalam pasal yang sama untuk mengembangkan sumber
daya produktif di daerah juga dapat mencakup sumber daya
kepariwisataan untuk dikembangkan dan diatur sendiri oleh
pemerintah daerah. Kemudian juga disebutkan untuk
melestarikan nilai sosial budaya yang harus direfleksikan dalam
tindakan para pramuwisata terutama dalam melayani para wisatawan
baik yang berasal dari dalam negeri maupun dari luar. Terhadap
kewenangan-kewenangan diatas tersebut pemerintah daerah
perlu membentuk peraturan daerah yang melegitimasi kewengan
tersebut.

8. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang


Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah Pusat
dan Pemerintah Daerah

42
Dalam PP ini terutama mengatur hubungan antara pemerintah
pusat dan pemerintah daerah. Dalam salah satu pasalnya yaitu
pasal 7 disebutkan bahwa kepariwisataan termasuk salah satu
urusan pemerintahan yang dapat diatur oleh pemerintah
daerah. Pariwisata menjadi salah satu urusan pilihan yaitu
urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi
untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan
kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan
(pasal 7 ayat (3)) yang kemudian pada ayat berikutnya dijabarkan
bahwa urusan pilihan itu meliputi:
a. kelautan dan perikanan;
b. pertanian;
c. kehutanan;
d. energi dan sumber daya mineral; dan
e. pariwisata .

9. Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2011 Tentang


Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Nasional
Peraturan Pemerintah ini dibentuk dengan dimaksudkan
adanya suatu rencana induk yang berlaku secara umum tentang
pembangunan pariwisata yang berkelanjutan dan
berkualitas baik. Salah satu bagian dari PP ini mengatur
tentang peningkatan daya saing produk pariwisata yang diatur
dengan tujuan untuk meningkatkan etik kerja masing-masing
daerah pariwisata dalam memperbaiki kualitasnya. Daya saing
ini kemudian meliputi hal-hal yang diatur dalam pasal 44
yaitu: daya saing Daya Tarik Wisata; daya saing Fasilitas
Pariwisata, dan daya saing Aksesibilitas. Daya Tarik Wisata
kemudian dijelaskan pada pasal 46 meliputi memperbaiki kualitas
interpretasi (pasal 46 huruf b).
Berdasarkan Penjelasan PP ini, yang dimaksud dengan
―kualitas interpretasi‖ adalah kualitas kemampuan manusia, segala
bentuk media dan/atau alat yang berfungsi mentransformasikan
nilai kemenarikan Daya Tarik Wisata kepada wisatawan.
Sebagai contoh, kemampuan mengkomunikasikan nilai kemenarikan
suatu daya tarik oleh masyarakat desa setempat atau
pramuwisata, audio visual, termasuk deskripsi/penjelas dan
penanda dari benda-benda koleksi dalam museum.
Dalam rangka melakukan peningkatan Daya Tarik Wisata inilah
produk hukum berupa perda yang mengatur lebih lanjut tentang
Desa Wisata dapat dijustifikasi. Pemberlakuan standar
minimal, pembinaa, dan pengawasan dapat memberikan akses
lebih baik bagi pemerintah untuk melakukan pengembangan
tentang kualitas Desa termasuk keadaan fasilitas dan masyarakatnya
yang pada akhirnya dapat meningkatkan kualitas pariwisata.

43
10. Peraturan Pemerintah No.27 Tahun 2014 Tentang
Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah
Pemerintah menerbitkan PP Nomor 27 Tahun 2014
untuk menggantikan PP Nomor 6 Tahun 2006 dan PP Nomor
38 Tahun 2008. Pada PP Nomor 27 Tahun 2014, pemerintah
melakukan beberapa penyempurnaan atas peraturan
sebelumnya. Pokok-pokok penyempurnaan tersebut adalah:
(1). Penyempurnaan Siklus Pengelolaan BMN/D. (2).
Harmonisasi dengan peraturan perundang-undangan lain (3).
Penguatan dasar hukum pengaturan (4). Penyederhanaan
birokrasi. (5). Pengembangan manajemen aset negara. (6).
Penyelesaian kasus yang telah terlanjur terjadi Dengan
perubahan tersebut, diharapkan PP Nomor 27 Tahun 2014
mampu mengakomodir dinamika pengelolaan BMN/D;
meminimalisir multitafsir atas pengelolaan BMN/D;
mempertegas hak, kewajiban, tanggung jawab, & kewenangan
Pengguna dan Pengelola; harmonisasi dengan peraturan
terkait.
Hal-hal yang berkaitan dengan penguasaan atas
pengelolaan barang dalam Peraturan Pemerintah ini
terdapat dalam Pasal 5 (1) Gubernur/Bupati/Walikota adalah
pemegang kekuasaan pengelolaan Barang Milik Daerah. (2).
Pemegang kekuasaan pengelolaan Barang Milik Daerah
berwenang dan bertanggung jawab: a. menetapkan kebijakan
pengelolaan Barang Milik Daerah; b.menetapkan Penggunaan,
Pemanfaatan, atau Pemindahtanganan Barang Milik Daerah
berupa tanah dan/atau bangunan; c. menetapkan kebijakan
pengamanan dan pemeliharaan Barang Milik Daerah; d.
menetapkan pejabat yang mengurus dan menyimpan Barang
Milik Daerah; e. mengajukan usul Pemindahtanganan Barang
Milik Daerah yang memerlukan persetujuan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah; f. menyetujui usul
Pemindahtanganan, Pemusnahan, dan Penghapusan Barang
Milik Daerah sesuai batas kewenangannya; g. menyetujui usul
Pemanfaatan Barang Milik Daerah berupa sebagian tanah
dan/atau bangunan dan selain tanah dan/atau bangunan;
dan h. menyetujui usul Pemanfaatan Barang Milik Daerah
dalam bentuk Kerja Sama Penyediaan Infrastruktur. (3)
Sekretaris Daerah adalah Pengelola Barang Milik Daerah. Dst.
Berkaitan dengan pengelolaan Desa Wisata yang
berkaitan dengan pengadaan barang dan jasa, maka
pelaksanaannya mengacu pada peraturan pemerintah ini.
Masalah-masalah teknis selanjutnya diatur dalam Peraturan
Bupati mengingat bahwa penguasaan pengelolaan barang milik
daerah adalah kepala daerah dalam hal ini di kabupaten
Cilacap adalah Bupati.

44
11. Peraturan Pemerintah No.43 Tahun 2014 Tentang
Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang No.6 Tahun 2014
Tentang Desa
Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang
Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014
tentang Desa berisi 91 halaman termasuk penjelasan.
Peraturan Pelaksanaan UU Desa ini didalamnya mengatur
tentang Penataan Desa, Kewenangan, Pemerintahan Desa,
Tata Cara Penyusunan Peraturan Desa, Keuangan dan
Kekayaan Desa, Pembangunan Desa dan Pembangunan
Kawasan Perdesaan, Badan Usaha Milik Desa, Kerjasama
Desa, Lembaga Kemasyarakatan Desa dan Lembaga Adat desa,
dan Pembinaan dan Pengawasan Desa oleh Camat atau
sebutan yang lainnya.
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014
tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6
Tahun 2014 tentang Desa menyebutkan bahwa kewenangan
Desa meliputi: (1). Kewenangan berdasarkan hak asal usul; (2).
Kewenangan lokal berskala Desa; (3). Kewenangan yang
ditugaskan oleh Pemerintah, pemerintah daerah provinsi, atau
pemerintah daerah kabupaten/kota; dan; (4). Kewenangan lain
yang ditugaskan oleh Pemerintah, pemerintah daerah provinsi,
atau pemerintah daerah kabupaten/kota sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Kewenangan Desa tersebut dalam PP Desa sedikitnya
terdiri atas: (1). Sistem organisasi masyarakat adat; (2).
Pembinaan kelembagaan masyarakat; (3). Pembinaan lembaga
hukum adat; (4). Pengelolaan tanah kas desa; dan
Pengembangan peran masyarakat desa.
Kewenangan lokal berskala desa paling sedikit di
antaranya meliputi: (1). Pengelolaan tambatan perahu; (2).
Pengelolaan Pasar Desa; (3). Pengelolaan tempat pemandian
umum; (4). Pengelolaan jaringan irigrasi; (5). Pengelolaan
lingkungan permukiman masyarakat desa; (6). Pembinaan
kesehatan masyarakat dan pengelolaan pos pelayanan
terpadu; (7). Pengelolaan Embung Desa; (8). Pengelolaan air
minum berskala desa; dan Pembuatan jalan desa
antarpermukiman ke wilayah pertanian. Selain kewenangan
sebagaimana hal diatas. Menteri dapat menetapkan jenis
kewenangan Desa sesuai dengan situasi, kondisi dan
kebutuhan lokal. (menurut Pasal 34 ayat 3 PP Desa).
Berkaitan dengan kewenangan pengelolaan Desa Wisata,
mengingat Desa wisata tersebut merupakan integrasi dari
berbagai pengelolaan sumber daya yang ada di desa, maka
desa dapat mengelola desa wisata secara swakelola dengan

45
tujuan untuk memanfaatkan potensi desa secara optimal
sehingga tercapai peningkatan kesejahteraan masyarakat desa.

12. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah No.6 Tahun 2010


Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Jawa
Tengah Tahun 2009-2029
Bab II Ruang Lingkup: Pasal 2 Ruang lingkup RTRW
Provinsi Jawa Tengah mencakup: a. tujuan, kebijakan dan
strategi penataan ruang wilayah Provinsi; b. rencana struktur
ruang wilayah Provinsi; c. rencana pola ruang wilayah Provinsi;
d. penetapankawasan strategis Provinsi; e. arahan
pemanfaatan ruang wilayah Provinsi; f. arahanpengendalian
pemanfaatan ruang wilayah Provinsi.
Pasal 3 RTRW Provinsi Jawa Tengah menjadi pedoman
untuk : a. pembangunan dan rujukan bagi penyusunan
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah dan Rencana
Pembangunan Jangka Menegah Daerah; b. perumusan
kebijaksanaan pokok pemanfaatan ruang di wilayah Provinsi ;
c. mewujudkan keterpaduan, keterkaitan, dan keseimbangan
perkembangan wilayah Provinsi serta keserasian antar sektor;
d. pengarahan lokasi investasi yang dilaksanakan Pemerintah
Daerah dan/atau masyarakat ; e. pengawasan terhadap
perizinan lokasi pembangunan; f. penyusunan Rencana Tata
Ruang Wilayah Kabupaten/Kota; g. rujukan bagi penyusunan
rencana penanggulangan bencana;dan h.penyusunan
rencanaperlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
Berlandaskan kepada Peraturan Daerah Provinsi Jawa
Tengah ini, maka pengelolaan Desa Wisata di kabupaten
Cilacap, harus berpedoman kepada Peraturan ini baik dalam
penyusunan rencana maupun pelaksanaannya. Sehingga
Desa Wisata yang ada di kabupaten Cilacap terintegrasi
dengan desa-desa lainnya yang ada di Jawa tengah baik dalam
segi tata ruang maupun peruntukannya sebagai wilayah
/ruang pariwisata untuk tercapainya Tata ruang yang nyaman
dan lestari.

13. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah No.10 Tahun 2012


Tentang Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan
Provinsi Jawa Tengah Tahun 2012-2027
Pasal 2 (1) Pembangunan kepariwisataan Provinsi
meliputi: a. Destinasi pariwisata; b. pemasaran pariwisata; c.
industri pariwisata; dan d. kelembagaan kepariwisataan. (2)
Pembangunan kepariwisataan Provinsi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan RIPPARPROV. (3)
RIPPARPROV sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memuat: a.
visi; b. misi; c. tujuan; d. sasaran; dan e. arah pembangunan

46
kepariwisataan Provinsi dalam kurun waktu Tahun 2012
sampai dengan Tahun 2027.
(4) Visi pembangunan kepariwisataan Provinsi
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a adalah
Terwujudnya Jawa Tengah Sebagai Destinasi Pariwisata
Utama.
(5) Dalam mewujudkan visi pembangunan
kepariwisataan Provinsisebagaimana dimaksud pada ayat (4)
ditempuh melalui 4 (empat) misi pembangunan kepariwisataan
Provinsi dengan mengembangkan: a. destinasi pariwisata yang
mempunyai keunikan lokal, aman, nyaman, menarik, mudah
dicapai, berwawasan lingkungan, meningkatkan pendapatan
masyarakat dan daerah; b. pemasaran pariwisata yang efektif,
sinergis, dan bertanggungjawab untuk meningkatkan
kunjungan wisatawan nusantara dan mancanegara; c. industri
pariwisata yang berdaya saing, menggerakkan kemitraan
usaha, bertanggungjawab terhadap pelestarian lingkungan
alam dan sosial budaya;d.organisasi Pemerintah Daerah,
swasta dan masyarakat, sumber daya manusia, regulasi,
optimalisasi pelayanan dan mekanisme operasional yang
efektif dan efisien dalam rangka mendorong terwujudnya
pembangunan kepariwisataan yang berkelanjutan.
(6) Tujuan pembangunan kepariwisataan
Provinsisebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c adalah:
a.meningkatkan kualitas dan kuantitas destinasi pariwisata;
b.mengkomunikasikan DPP dengan menggunakan media
pemasaran secara efektif, efisien dan bertanggungjawab;
c.mewujudkanindustri pariwisata yang mampu menggerakkan
perekonomian nasional; dan d.mengembangkan lembaga
kepariwisataan dan tata kelola pariwisata yang mampu
mensinergikan pembangunan destinasi pariwisata, pemasaran
pariwisata, dan industri pariwisata secara profesional.
(7) Sasaran pembangunan kepariwisataan
Provinsisebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf d adalah
peningkatan: a.kunjungan wisatawan nusantara; b.kunjungan
wisatawan mancanegara; c.pengeluaran wisatawan nusantara;
d.penerimaan devisa dari wisatawan mancanegara; dan e.
produk domestik regional bruto di bidang kepariwisataan.
(8) Arah pembangunan kepariwisataan Provinsi
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf e meliputi
pembangunan kepariwisataan Provinsi dilaksanakandengan:
a. berdasarkan prinsip pembangunan kepariwisataan yang
ber-kelanjutan; b. berorientasi pada upayapeningkatan
kesempatan kerja, pengurangan kemiskinan, peningkatan
pertumbuhan serta pelestarian lingkungan; c. tata kelola yang

47
baik; d. Cara terpadu, lintas sektor, lintas daerah, dan lintas
pelaku; dan e. mendorong kemitraan sektor publik dan privat.
Berkaitan dengan Desa Wisata, maka pengelolaan
pariwisata Desa Wisata kabupaten Cilacap tetap berpedoman
kepada Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah , sehingga visi
dan misi dari Desa Wisata di Kabupaten Cilacap sesuai dan
mendukung visi misi Pariwisata di Provinsi Jawa Tengah.
Pengelolaan Desa Wisata ini juga harus terintegrasi dengan
pengelolaan pariwisata provinsi Jawa Tengah sesuai dengan
arah pembangunan pariwisata Jawa Tengah yang terpadu,
lintas sektor dan lintas daerah.

14. Peraturan Daerah Kabupaten Cilacap No.9 Tahun 2011


Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Cilacap
Tahun 2011-2031
Strategi Penataan Ruang Wilayah Pasal 4 (1)
Pengembangan dan pemantapan pusat pelayanan secara
merata dan seimbang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
huruf a. Terdiri atas: a. memperkuat fungsi dan peran PKN; b.
meningkatkan peran PKL; c. meningkatkan PPK menjadi PKLp;
d. memperkuat fungsi dan peran PPK; e. memperkuat fungsi
dan peran PPL; dan f. menguatkan kegiatan ekonomi di
wilayah perkotaan dengan perdesaan secara sinergis. (2).
Pengembangan fungsi kawasan agropolitan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 huruf b terdiri atas: a.
Mengembangkan lumbung desa modern; b. mengembangkan
prasarana dan sarana agropolitan; dan c. Mempertahankan
luasan lahan pertanian...dst...
(7) Pengembangan kawasan pariwisata berwawasan
lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf g
terdiri atas: a. mengembangkan kawasan wisata; dan b.
mengembangkan pusat promosi dan pemasaran wisata.
Peraturan Tentang RT/RW Daerah Kabupaten ini,
menjadi pedoman pelaksanaa Desa Wisata yang terintegrasi
dengan tata ruang di kabupaten Cilacap.

48
BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
Rancangan Peraturan Daerah tentang Desa Wisata dan
Pengembangan Strategi Pariwisata di Kabupaten Cilacap didesain
menjawab persoalan-persoalan sebagai berikut:
1. Tata kelola desa pasca UU No. 6 tahun 2014 memberi peluang
sekaligus tantangan yang relatif besar. Peluang mengingat
dana yang masuk dan dikelola desa relatif besar. Selain itu,
desa bertransformasi dari pelaksana tugas-tugas pembantuan
menjadi pengelola kegiatan melalui ketentuan hak-hak lokal
berskala desa. Namun demikian, dana yang relatif besar serta
wewenang yang bertambah tidak lantas memberberi jaminan
penyelenggaraan kehidupan masyarakat desa sejahtera. Hal ini
karena kebutuhan pembiayaan kehidupan ―berdesa‖ cukup
besar. Untuk itu, berbekal dana yang bertambah dan
wewenang yang ada, desa dituntuk memiliki kreatifitas tinggi
memperoleh pendapatan melalui pengelolaan potensi-
potensinya secara berkelanjutan, ramah lingkungan, dan
berorientasi kepada kesejahteraan ekonomi dan sosial
warganya. Konsep desa wisata menjadi inovasi secara
produktif memanfaatkan dana desa yang bertambah dan
kewenangan mengelola potensi loka berskala desa secara
produktif.
2. Praktik ekonomi di desa pada umumnya bersifat parsial atau
tidak saling berinteraksi satu sama lainnya. Akibatnya
implikasi ekonomis yang muncul terbatas pada bidang garap
yang dilakukan. Model ekonomi seperti ini saat ini tidak efisien
mengingat biaya produksi semakin tinggi. Oleh karena itu,
model produksi (mode of production) eonomi modern yang
dikembangkan adalah yang mampu menciptakan peningkatan
penerimaan manfaat yang tinggi (multyplayer effects). Model
produksi ini tidak ada pilihan lain kecuali masing-masing
pengelola bidang garap ekonomi saling berinteraksi dan
bersinergi. Desa wisata dengan konsep integrasi bidang-bidang
garap ekonomi di desa menjadi satu kesatuan yang saling
berhubungan dan bergatung satu sama lainnya. Melalui
integrasi ini, produksi ekonomi di desa meningkat baik dari
sisi volume maupun nilai ekonomisnya.
3. Tuntutan untuk berintegrasi antarpelaku ekonomi di desa
secara tidak langsung memaksa pelaku-pelaku tersebut
memiliki kohesifitas sosial yang tinggi. Kerjasama menjadi titik
penting dalam proses membangun kohesifitas sosial. Desa
wisata menjadi strategi menciptakan solidaritas, kesatuan, dan
produktifitas secara kolektif. Dengan desa wisata, konflik-

49
konflik sosial yang timbul akibat kompetisi yang tidak sehat
atau ketimpangan dapat diminimalisasi. Kondisi ini terjadi
karena desa wisata hanya akan bisa terwujud apabila masing-
masing pemangku kepentingan di desa terhubung dalam
ikatan-ikatan kerjasama dan berbagi peran serta
tanggungjawab.

B. Kata Penutup
Kami dari Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada
Masyarakat (LPPM) Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Purwokerto
menyadari banyak kekurangan bahkan kesalahan dalam Naskah
Akademik Raperda tentang Desa Wisata dan Pengembangan
Strategi Pariwisata di Kabupaten Cilacap. Untuk itu kami
berharap masukan, saran, dan kritik dari pihak-pihak terkait
agar naskah akademik ini mampu merepresentasikan keinginan
dan aspirasi masyarakat terutama desa untuk meningkatkan
kualitas kehidupannya.
Naskah akademik ini tersusun atas bantuan dan kontribusi
banyak pihak. Untuk itu kami menyampaikan terima kasih yang
sebesar-besarnya dengan harapan semoga kerjasama yang baik
ini dapat dilanjutkan dalam kegiatan lain. Kemudian atas
kekurangan naskah akademik ini, kami mohon maaf dan
beberapa hal yang belum memberikan kejelasan akan kami
klarifikasi secukupnya.

Purwokerto, 29 Juli 2016


Koordinator,

Dr. Hj. Nita Triana, M.Si

50
RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN CILACAP
NOMOR : .......... TAHUN 2016

TENTANG

DESA WISATA DAN STRATEGI PENGEMBANGAN PARIWISATA


DI KABUPATEN CILACAP

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI CILACAP,

Menimbang : a. Bahwa keanekaragaman, kekhasan dan keunikan


tradisi budaya beserta cagar alam dan cagar budaya
merupakan bagian dari kekayaan, potensi dan sumber
daya yang perlu dilestarikan dan dikelola demi
meningkatkan kemandirian dan kesejahteraan
masyarakat;
b. bahwa bentuk peningkatan kemandirian dan
kesejahteraan sebagaimana dimaksud dalam huruf a,
meliputi pengembangan desa wisata dan strategi
pengembangannya demi mendukung pemberdayaan
ekonomi kreatif dan produktif masyarakat;
c. bahwa desa membutuhkan regulasi yang mengatur
secara jelas upaya pemanfaatan potensi sumberdaya
yang dimiliki berbasis kepariwisataan untuk
mewujudkan kemandirian masyarakat;
d. bahwa berdasar pertimbangan sebagaimana dimaksud
pada huruf a, b, dan c, perlu dibuat Peraturan Daerah
tentang Desa Wisata dan Strategi Pengembangan
Pariwisata Di Kabupaten Cilacap;

Mengingat : 1. Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara


Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1950 tentang
Pembentukan Daerah-daerah Kabupaten dalam
Lingkungan Propinsi Jawa Tengah (Berita Negara
tanggal 8 Agustus 1950);
3. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang
Penataan Ruang (Lembaran Negara Tahun 2007 Nomor
68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4725);
4. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang
Kepariwisataan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 11, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4966);
5. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak

51
Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 130,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5049);
6. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011
Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5234);
7. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014
Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5495);
8. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Tahun 2014
Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5587)
sebagaimana telah di ubah dua kali terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran
Negara Tahun 2015 Nomor 58, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 5679);
9. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang
Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah,
Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan
Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737);
10. Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2011 tentang
Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan
Nasional Tahun 2010-2025 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 125,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4562);
11. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 tentang
Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 92,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 5533);
12. Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 Tentang
Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6
Tahun 2014 Tentang Desa (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 123, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5539)
sebagaimana yang telah diubah dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 47 Tahun 2015 Tentang Perubahan
atas Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014

52
tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa (Lembaran Ne-gara
Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 157,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5717);
13. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor 6
Tahun 2010 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah
Provinsi Jawa Tengah Tahun 2009-2029 (Lembaran
Daerah Provinsi Jawa Tengah Tahun 2010 Nomor 6);
14. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor 10
Tahun 2012 Tentang Rencana Induk Pembangunan
Kepariwisataan Provinsi Jawa Tengah Tahun 2012-
2027 (Lembaran Daerah Provinsi Jawa Tengah Tahun
2012 Nomor 10);
15. Peraturan Daerah Kabupaten Cilacap Nomor 9 Tahun
2011 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten
Cilacap Tahun 2011-2031 (Lembaran Daerah
Kabupaten Cilacap Nomor 9 Tahun 2011, Tambahan
Lembaran Daerah Kabupaten Cilacap Nomor 63 Tahun
2011);
16. Peraturan Daerah Kabupaten Cilacap Nomor 24 Tahun
2012 Tentang Perijinan Usaha Kepariwisataan Dan
Perijinan Pengusahaan Objek Dan Daya Tarik Wisata
Di Kabupaten Cilacap (Lembaran Daerah Kabupaten
Cilacap Nomor 24 Tahun 2012, Tambahan Lembaran
Daerah Kabupaten Cilacap Nomor 91 Tahun 2012);
17. Peraturan Daerah Kabupaten Cilacap Nomor 5 Tahun
2013 Tentang Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Daerah Kabupaten Cilacap 2012-2017
(Lembaran Daerah Kabupaten Cilacap Nomor 13
Tahun 2013, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten
Cilacap Nomor 96);
18. Peraturan Daerah Kabupaten Cilacap Nomor 2 Tahun
2014 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup (Lembaran Daerah Kabupaten
Cilacap Nomor 2 Tahun 2014, Tambahan Lembaran
Daerah Kabupaten Cilacap Nomor 105 Tahun 2014);

Dengan Persetujuan Bersama:

DEWAN PEWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN CILACAP

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : PERATURAN DAERAH TENTANG DESA WISATA DAN


STRATEGI PENGEMBANGAN PARIWISATA DI

53
KABUPATEN CILACAP

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

1. Daerah adalah Kabupaten Cilacap.


2. Pemerintah Daerah adalah Pemerintah Kabupaten Cilacap.
3. Bupati adalah Bupati Cilacap.
4. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disingkat
DPRD adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten
Cilacap.
5. Wisata adalah kegiatan perjalanan yang dilakukan oleh seseorang
atau sekelompok orang dengan mengunjungi tempat tertentu
untuk tujuan rekreasi, pengembangan pribadi, atau mempelajari
keunikan daya tarik wisata yang dikunjungi dalam jangka waktu
sementara.
6. Wisatawan adalah orang yang melakukan kegiatan wisata.
7. Desa Wisata adalah adalah suatu bentuk integrasi antara atraksi,
akomodasi dan fasilitas lainnya yang disajikan dalam suatu
struktur kehidupan masyarakat yang menyatu dengan tata cara
dan tradisi yang berlaku.
8. Pariwisata adalah berbagai macam kegiatan wisata dan didukung
berbagai fasilitas serta layanan yang disediakan oleh masyarakat,
pengusaha, pemerintah, dan pemerintah daerah.
9. Kepariwisataan adalah keseluruhan kegiatan yang terkait dengan
pariwisata dan bersifat multidimensi serta multidisiplin yang
muncul sebagai wujud kebutuhan setiap orang dan negara serta
interaksi antara wisatawan, pemerintah, pemerintah daerah, dan
pengusaha.
10. Strategi pengembangan pariwisata adalah pendekatan
menyeluruh yang berfungsi sebagai dasar dalam perumusan
rencana dan program pembangunan kepariwisataan di
Kabupaten Cilacap.
11. Daya Tarik Wisata adalah segala sesuatu yang memiliki
keunikan, keindahan, dan nilai yang berupa keanekaragaman
kekayaan alam, budaya, dan hasil buatan manusia yang menjadi
sasaran atau tujuan kunjungan wisatawan.
12. Daerah tujuan pariwisata yang selanjutnya disebut destinasi
pariwisata adalah kawasan geografis yang berada dalam satu
atau lebih wilayah administratif yang di dalamnya terdapat daya
tarik wisata, fasilitas umum, fasilitas pariwisata, aksesibilitas,
serta masyarakat yang saling terkait dan melengkapi terwujudnya
kepariwisataan.

54
13. Usaha pariwisata adalah usaha yang menyediakan barang
dan/atau jasa bagi pemenuhan kebutuhan wisatawan dan
penyelenggaraan pariwisata.
14. Pengusaha pariwisata adalah orang atau sekelompok orang yang
melakukan kegiatan usaha pariwisata.
15. Industri pariwisata adalah kumpulan usaha pariwisata yang
saling terkait dalam rangka menghasilkan barang dan/atau jasa
bagi pemenuhan kebutuhan wisatawan dalam penyelenggaraan
pariwisata.
16. Kawasan strategis pariwisata daerah adalah kawasan yang
memiliki fungsi utama pariwisata atau memiliki potensi untuk
pengembangan pariwisata yang mempunyai pengaruh penting
dalam satu atau lebih aspek, seperti pertumbuhan ekonomi,
sosial dan budaya, daya dukung lingkungan hidup, serta
pertahanan dan keamanan.
17. Kawasan pariwisata daerah adalah kawasan dengan luas tertentu
yang dibangun atau disediakan untuk memenuhi kebutuhan
pariwisata.
18. Infrastruktur Pariwisata adalah semua fasilitas yang
memungkinkan semua proses dan kegiatan kepariwisataan dapat
berjalan dengan lancar sedemikian rupa, sehingga dapat
memudahkan wisatawan memenuhi kebutuhannya.
19. Pemberdayaan Masyarakat adalah upaya untuk meningkatkan
kesadaran, kapasitas, akses, dan peran masyarakat, baik secara
individu maupun kelompok, dalam memajukan kualitas hidup,
kemandirian, dan kesejahteraan melalui kegiatan kepariwisataan.
20. Pemasaran pariwisata adalah serangkaian proses untuk
menciptakan, mengkomunikasikan, menyampaikan Daya Tarik
Wisata dan mengelola relasi dengan wisatawan untuk
mengembangkan kepariwisataan dan seluruh pemangku
kepentingannya.
21. Kelembagaan Kepariwisataan adalah kesatuan unsur beserta
jaringannya yang dikembangkan secara terorganisasi, meliputi
Pemerintah, Pemerintah Daerah, pelaku usaha dan masyarakat,
sumber daya manusia, regulasi dan mekanisme operasional, yang
secara berkesinambungan guna menghasilkan perubahan ke
arah pencapaian tujuan di bidang kepariwisataan.
22. Desa Budaya adalah wahana sekelompok manusia yang
melakukan aktivitas budaya yang mengekspresikan sistem
kepercayaan, religi, sistem kesenian, sistem mata pencaharian,
sistem teknologi, sistem komunikasi, sistem sosial, dan sistem
lingkungan, tata ruang, dan arsitektur dengan
mengaktualisasikan kekayaan potensinya dan
mengkonservasinya dengan seksama atas kekayaan budaya yang
dimilikinya, terutama yang tampak pada adat dan tradisi, seni
pertunjukan, kerajinan, dan tata ruang dan arsitektural.

55
23. Prasarana Umum, Fasilitas Umum, dan Fasilitas Pariwisata yang
selanjutnya disebut Fasilitas Kepariwisataan adalah kelengkapan
dasar fisik suatu lingkungan yang pengadaannya memungkinkan
suatu lingkungan dapat beroperasi dan berfungsi sebagaimana
semestinya, sarana pelayanan dasar fisik suatu lingkungan yang
diperuntukkan bagi masyarakat umum dalam melakukan
aktivitas kehidupan keseharian dan semua jenis sarana yang
secara khusus ditujukan untuk mendukung penciptaan
kemudahan, kenyamanan, keselamatan wisatawan dalam
melakukan kunjungan ke destinasi pariwisata.
24. Aksesibilitas Pariwisata adalah semua jenis sarana dan prasarana
informasi dan transportasi yang mendukung pergerakan
wisatawan dari wilayah asal wisatawan ke destinasi pariwisata
maupun pergerakan di dalam wilayah destinasi pariwisata dalam
kaitan dengan motivasi kunjungan wisata.

BAB II
TUJUAN DAN RUANG LINGKUP

Pasal 2

Tujuan Peraturan Daerah Desa Wisata dan Strategi Pengembangan


Pariswisata di Kabupaten Cilacap adalah:
a. memberi kepastian hukum bagi pengembangan desa wisata di
kabupaten Cilacap;
b. mempertegas peran dan tanggungjawab para pihak yang terkait
dalam pengembangan desa wisata di kabupaten Cilacap;
c. mengoptimalkan pengelolaan potensi dan sumberdaya desa
melalui pendekatan kepariwisataan; dan
d. pemberdayaan masyarakat desa melalui pengembangan ekonomi
lokal dan penetapan desa wisata.

Pasal 3

Ruang lingkup Peraturan Daerah Desa Wisata dan Strategi


Pengembangan Pariwisata di Kabupaten Cilacap adalah:
a. pembangunan Desa Wisata; dan
b. strategi pengembangan Desa Wisata.

BAB III
PEMBANGUNAN DESA WISATA

Bagian Satu
Penetapan Desa Wisata

Pasal 4

56
(1) Desa wisata merupakan bagian dari pembangunan kawasan
perdesaan.
(2) Pembangunan kawasan perdesaan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) dilaksanakan di lokasi yang telah ditetapkan oleh bupati.
(3) Desa wisata ditetapkan oleh Bupati.

Pasal 5

(1) Desa wisata merupakan keterpaduan dalam 1 (satu) kawasan dari


komponen-komponen sebagai berikut:
a. atraksi wisata;
b. akomodasi wisata; dan
c. fasilitas wisata.
(2) Komponen desa wisata sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
diorganisasikan oleh sebuah lembaga yang ditunjuk oleh desa dan
atau beberapa desa yang ditetapkan sebagai desa wisata.
(3) Penetapan desa wisata mempertimbangkan aspek geografis, daya
tarik wisata, sosial-budaya, dan ekonomi.

Pasal 6

(1) Aspek geografis sebagaimana dimaksud Pasal 5 ayat (3) adalah:


a. berada dalam satu atau beberapa desa dalam satu atau lebih
kecamatan di wilayah Kabupaten Cilacap;
b. keadaan lahan stabil dan bukan lokasi rawan bencana; dan
c. memiliki jalur dan/atau infrastruktur transportasi yang
terjangkau.
(2) Aspek daya tarik wisata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
ayat (3) adalah sebagai berikut:
a. memiliki potensi wisata alam, budaya, dan/atau buatan;
b. memiliki suasana khas pedesaan yang spesifik;
c. memiliki akomodasi penyelenggaraan wisata;
d. menyediakan ruang partisipasi bagi wisatawan dalam
keseharian penduduk; dan
e. memiliki organisasi yang melembagakan kegiatan wisata.
(3) Aspek sosial-budaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat
(3) adalah sebagai berikut:
a. tingginya angka partisipasi masyarakat setempat dalam
penyelenggaraan dan pelembagaan wisata;
b. memiliki kebudayaan yang terintegrasi dan saling mendukung
dengan potensi wisata; dan
c. tidak terdapat konflik sosial.
(4) Aspek ekonomi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3)
adalah sebagai berikut:
a. menambah pelaku ekonomi baru di desa;

57
b. menumbuhkan ekonomi di desa:
c. meningkatkan skala produksi ekonomi desa;
d. menambah nilai ekonomi desa; dan
e. meningkatkan investasi.

Pasal 7

Desa wisata ditetapkan berdasar kriteria sebagai berikut:


a. memiliki sumber daya pariwisata potensial untuk menjadi daya
tarik wisata dan memiliki citra yang sudah dikenal;
b. memiliki potensi pasar dalam skala lokal, nasional, dan
internasional;
c. memiliki fungsi dan peran strategis dalam menjaga fungsi dan
daya dukung lingkungan hidup;
d. memiliki fungsi dan peran strategis dalam usaha pelestarian dan
pemanfaatan aset budaya;
e. memiliki kesiapan dan dukungan masyarakat;
f. memiliki kekhususan dari wilayah;
g. memiliki potensi trend daya tarik wisata masa depan; dan
h. telah memiliki RPJM Desa.

Bagian Kedua
Tahap dan Mekanisme Penetapan Desa Wisata

Pasal 8

(1) Tahapan penetapan desa wisata sebagai berikut:


a. pengajuan dan kajian usulan penetapan desa wisata;
b. verifikasi usulan desa wisata;
c. penilaian usulan desa wisata; dan
d. penetapan desa wisata.
(2) Penetapan desa wisata dilaksanakan dengan mekanisme:
a. Pemerintah Desa melakukan inventarisasi dan identifikasi
mengenai wilayah, potensi wisata, mobilitas penduduk, serta
sarana dan prasarana Desa sebagai usulan penetapan Desa
sebagai lokasi pembangunan desa wisata;
b. usulan penetapan Desa sebagai lokasi pembangunan desa
wisata disampaikan oleh Kepala Desa kepada Bupati;
c. Bupati melakukan kajian dan verifikasi atas usulan untuk
disesuaikan dengan rencana dan program pembangunan
kabupaten;
d. berdasarkan hasil kajian dan verifikasi, Bupati menetapkan
usulan desa wisata; dan
(3) Dalam melaksanakan kajian dan verifikasi usulan desa wisata,
Bupati menunjuk tim koordinasi yang terdiri dari SKPD terkait.

58
(4) Tata cara pengusulan desa wisata diatur lebih lanjut melalui
Peraturan Bupati.

Pasal 9

(1) Usulan desa wisata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1)
huruf a disertai dokumen sebagai berikut:
a. proposal penetapan desa wisata;
b. hasil kajian potensi daya tarik wisata; dan
c. perencanaan pengembangan dan pengelolaan desa wisata;
(2) Kajian usulan penetapan desa sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8 ayat (2) huruf c, Bupati membentuk tim yang terdiri dari
beberapa SKPD yang terkait.
(3) Tugas tim sebagaimana dimaksud ayat (2) ditetapkan oleh Bupati.

Pasal 10

(1) Status desa wisata dievaluasi paling lama 5 (lima) tahun sejak
penetapan.
(2) Status desa wisata sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat
dicabut dan/atau diperpanjang.
(3) Dalam hal kondisi mendesak, evaluasi status desa wisata dapat
dilakukan segera tanpa menunggu ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
(4) Tata cara evaluasi desa wisata diatur lebih lanjut oleh Peraturan
Bupati.

Bagian Ketiga
Hak dan Kewajiban

Pasal 11

(1) Pemerintah Daerah berhak:


a. memperoleh bagi hasil retribusi kegiatan kepariwisataan desa
wisata;
b. berpartisipasi mengembangkan desa wisata;
c. mengevaluasi status desa wisata; dan
d. menetapkan dan/atau mencabut status desa wisata.
(2) Pemerintah Desa berhak:
a. mengelola kegiatan kepariwisataan desa wisata;
b. membentuk lembaga pengelola desa wisata;
c. memungut retribusi kegiatan kepariwisataan di desa wisata;
(3) Masyarakat berhak:
a. memperoleh manfaat ekonomi dan sosial desa wisata;
b. berpartisipasi dalam perencanaan pengembangan desa wisata;

59
c. berinvestasi dalam pengembangan desa wisata; dan
d. menyelenggarakan kegiatan dalam rangka atraksi desa wisata.
(4) Ketentuan bagi hasil atas retribusi kegiatan kepariwisataan desa
wisata diatur lebih lanjut melaui Peraturan Bupati.

Pasal 12

(1) Dalam penyelenggaraan desa wisata, Pemerintah Daerah wajib:


a. mengembangkan pasar desa wisata;
b. mengembangkan fisik desa wisata; dan
c. melakukan pemberdayaan masyarakat.
(2) Mengembangkan pasar desa wisata sebagaimana dimaksud ayat
(1) huruf a adalah memperluas informasi dan promosi yang
bertujuan menarik wisatawan domestik dan mancanegara.
(3) Mengembangkan fisik desa wisata sebagaimana dimaksud ayat (1)
huruf b adalah melengkapi dan merehabilitasi infrastruktur
dasar wisata.

Pasal 13

Dalam penyelenggaraan desa wisata, Pemerintah Desa wajib:


a. melindungi dan melestarikan lingkungan serta habitatnya;
b. menyebarluaskan informasi dan promosi desa wisata untuk
meningkatkan jumlah kunjungan wisatawan;
c. mengelola desa wisata secara partisipatif, transparan, profesional,
dan akuntabel;
d. mengembangkan fisik desa wisata dengan melengkapi fasilitas
dasar wisata; dan
e. mengelola partisipasi dan membina masyarakat desa dengan
membentuk kelompok sadar wisata.

Pasal 14

Dalam penyelenggaraan desa wisata, masyarakat wajib:


a. melindungi dan melestarikan lingkungan serta habitatnya ; dan
b. berpartisipasi meningkatkan daya tarik wisata;
c. menjaga infrastruktur dan fasilitas wisata;
d. mengembangkan bentuk-bentuk akomodasi desa wisata; dan
e. melindungi dan melestarikan peninggalan sejarah kebudayaan
masyarakat desa.

BAB IV
PENDEKATAN DAN STRATEGI PEMBANGUNAN DESA WISATA

Pasal 15

60
Pembangunan desa wisata diselenggarakan dengan pendekatan:
a. pemberdayaan masyarakat;
b. desentralisasi;
c. partisipatif;
d. keadilan dan kesetaraan gender;
e. keswadayaan;
f. penguatan kapasitas kelembagaan; dan
g. pembangunan pariwisata berkelanjutan.

Pasal 16

Desa wisata dikembangkan dengan strategi sebagai berikut:


a. pembangunan fisik; dan
b. pembangunan non fisik

Pasal 17

(1) Strategi pembangunan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal


16 huruf a meliputi:
a. mengembangkan sarana dan prasarana pendukung untuk
meningkatkan akses dan jaringan keterkaitan antara desa
penyangga dengan desa wisata;
b. mengonservasi sejumlah bangunan yang memiliki nilai seni,
budaya, sejarah dan arsitektur lokal yang tinggi dengan tetap
mempertahankan nilai keasliannya;
c. mengubah fungsi bangunan untuk meningkatkan kontribusi
bagi pengembangan kegiatan desa wisata;
d. mengembangkan bentuk-bentuk penginapan di dalam wilayah
desa wisata yang dioperasikan oleh penduduk desa;
e. mengembangkan usaha-usaha terkait dengan jasa
kepariwisataan; dan
f. pembagian zona.
(2) Strategi pembangunan non fisik sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 16 huru b meliputi:
a. pengemasan desa wisata;
b. promosi;
c. peningkatan kapasitas sumberdaya manusia;
d. pelestarian kearifan lokal, budaya, dan karakteristik desa
wisata; dan
e. mengembangkan sistem keamanan berbasis masyarakat lokal.

BAB V
PEMBIAYAAN

Pasal 18

61
(1) Pembiayaan pengembangan desa wisata bersumber dari:
a. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;
b. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah;
c. Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa;
d. swadaya masyarakat; dan
e. sumber lain yang sah dan tidak mengikat.
(2) Pendanaan pengembangan desa wisata yang berasal dari
Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa merupakan penyertaan
modal dari Pemerintah Desa yang dapat berupa pembiayaan dan
atau kekayaan Desa yang diserahkan untuk dikelola sebagai
bagian dari usaha Badan Usaha Milik Desa.
(3) Pendanaan Pengembangan Desa Wisata yang berasal dari
pinjaman merupakan pinjaman lembaga keuangan atau
pemerintah daerah;
(4) Pendanaan Pengembangan Desa Wisata yang berasal dari
kerjasama usaha dapat diperoleh dari pihak swasta dan/atau
masyarakat.

Pasal 19

(1) Pemerintah Daerah wajib mengalokasikan Anggaran Pendapatan


dan Belanja Daerah untuk kegiatan pengembangan fisik dan non
fisik desa wisata yang telah ditetapkan.
(2) Pengembangan fisik desa wisata sebagaimana dimaksud ayat (1)
diprioritaskan untuk peningkatan infrastruktur dasar
kepariwisataan di desa wisata.
(3) Infrastruktur dasar pariwisata sebagaimana dimaksud ayat (2)
meliputi jalan dan/atau jembatan akses menuju desa wisata dan
bangunan fasilitas pendukung desa wisata.
(4) Pengembangan non fisik desa wisata sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) adalah promosi desa wisata dan pemberdayaan
masyarakat desa wisata.
(5) Pemberdayaan masyarakat desa wisata sebagaimana dimaksud
ayat (4) meliputi pendidikan dan pelatihan kelompok sadar
wisata, pelatihan manajemen desa wisata, asistensi pembuatan
profil dan promosi desa wisata.

Pasal 20

(1) Pemerintah Desa (desa yang ditetapkan) wajib mengalokasikan


Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa untuk kegiatan desa
wisata.
(2) Kegiatan desa wisata sebagaimana dimaksud ayat (1) meliputi:
a. peningkatan daya tarik wisata;
b. melengkapi akomodasi desa wisata;
c. promosi;

62
d. pemberdayaan kelompok sadar wisata; dan
e. melengkapi fasilitas kepariwisataan.
(3) Pemerintah Desa dapat bermitra dengan pihak ketiga untuk
pembiayaan dalam rangka mengembangkan desa wisata.
(4) Pembiayaan yang bersumber dari APBN, APBD Provinsi, APBD
Kabupaten, dan APB Desa diarahkan pada kegiatan yang
menghasilkan aset tetap.
(5) Pembiayaan yang bersumber dari pihak ketiga sebagai bagian dari
kerjasama diarahkan untuk kegiatan yang berkaitan dengan
peningkatan daya tarik wisata, peningkatan kapasitas
masyarakat, promosi, dan pengelolaan kegiatan kepariwisataan
desa wisata.
(6) Ketentuan lebih lanjut kemitraan usaha Pemerintah Desa dengan
pihak ketiga sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

BAB VI
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN

Pasal 21

(1) Pembinaan dan pengawasan merupakan tanggung jawab


Pemerintah Daerah melalui SKPD terkait dan Camat.
(2) Pembinaan dan Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
oleh Pemerintah Daerah meliputi:
a. perencanaan desa wisata;
b. pengelolaan kegiatan dan keuangan desa wisata;
c. pengembangan partisipasi masyarakat dan pembinaan
kelompok sadar wisata; dan
d. kerjasama dengan pihak ke tiga oleh desa wisata.
(3) Pembinaan dan pengawasan sebagaimana pada ayat (1) dilakukan
melalui:
a. fasilitasi penyusunan Peraturan Desa tentang Pengelolaan
desa wisata;
b. fasilitasi administrasi tata pemerintahan, pengelolaan
keuangan dan pendayagunaan asset desa wisata;
c. fasilitasi peningkatan kapasitas kelompok sadar wisata;
d. fasilitasi program peningkatan daya tarik wisata;
e. fasilitasi program promosi dan pemasaran desa wisata; dan
f. monitoring dan evaluasi kegiatan-kegiatan pengembangan desa
wisata.

BAB VII
SANKSI

Pasal 22

63
(1) Pemerintah Desa yang tidak melaksanakan ketentuan pasal 20
ayat (1) dikenakan sanksi administrasi.
(2) Pemerintah Desa yang tidak melaksanakan ketentuan pasal 13
huruf a dan c dikenakan sanksi sesuai peraturan yang berlaku.
(3) Masyarakat yang tidak melaksanakan ketentuan pasal 14 huruf
a, c, dan e dikenakan sanksi sesuai peraturan yang berlaku.

BAB IX
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 23

(1) Semua kebijakan daerah yang terkait dengan desa wisata


menyesuaiakn dengan ketentuan-ketentan dalam Peraturan
Daerah ini.
(2) Pada saat Peraturan Daerah ini berlaku, status desa wisata yang
telah ditetapkan ditinjau ulang dan dievaluasi oleh tim koordinasi.
(3) Desa wisata yang telah ditinjau ulang dan dievaluasi selanjutnya
mengikuti ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Daerah ini.

Pasal 24

Pemerintah Daerah wajib menerbitkan Peraturan Bupati paling lama


...... (contoh 1 tahun) sejak Peraturan Daerah ini ditetapkan.

BAB X
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 26

Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan


Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran
Daerah Kabupaten Cilacap.

Ditetapkan di Cilacap
pada tanggal 2016
BUPATI CILACAP,

Ttd

TATTO SUWARTO PAMUJI

64
Diundangkan di .........................
pada tanggal .....
SEKRETARIS DAERAH
KABUPATEN CILACAP

ttd

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN CILACAP TAHUN 2016 NOMOR


....

65
PENJELASAN ATAS
PERATURAN DAERAH KABUPATEN CILACAP
NOMOR ……. TAHUN 2016

TENTANG

DESA WISATA DAN STRATEGI PENGEMBANGAN PARIWISATA


DI KABUPATEN CILACAP

UMUM
Rancangan Peraturan Daeran tentang desa Wisata dan Strategi
Pengembangan Pariwisata di Kabupaten Cilacap merupakan
kelanjutan dari Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa
dan beberapa aturan operasionalnya. Point penting dari amanat
undang-undang dan peraturan tersebut adalah bahwa Desa memiliki
hak-hak lokal berskala desa. Hak-hak ini didelegasikan secara
langsung kepada Pemerintah Desa untuk dikelola dan sebesar-
besarnya untuk meningkatkan pembangunan dan kesejahteraan
warga.
Satu hal penting dalam hak-hak lokal berskala desa adalah
bahwa Desa berhak mengelola potensi ekonomi berskala desa di
mana potensi wisata menjadi subnya. Artinya desa yang memiliki
potensi wisata bisa dikembangkan secara otonom untuk
meningkatkan pendapatan desa. Persoalan kemudian adalah terkait
dengan definisi potensi wisata yang selama ini dipahami secara
mainstream sebagai obyek wisata. Dengan pengertian ini maka tidak
semua desa memilikinya dan dalam konteks Cilacap jumlahnya
terbatas. Namun apabila potensi wisata dipahami sebagai sebuah
kerangka berpikir kepariwisataan, maka segala sesuatu bisa
dijadikan sebagai destinasi wisata tergantung dengan manajemen
dan pengemasan sebagai daya tark wisata. dalam pengertian kedua,
semua desa relatif bisa memanfaatkan potensi desanya menjadi daya
tarik wisata.
Wisata menjadi pendekatan pembangunan desa. Pendekatan
ini menjadi alternatif mengingat praktik produksi yang mendasarkan
pada lahan memiliki keterbatasan baik dari sisi volume maupun
daya dukung fisiknya. Melalui pendekatan kepariwisataan, proses
produksi ekonomi di desa berlangsung sustainable dan ramah
lingkungan mengingat hal yang dimanfaatkan adalah dampak sosial
dan ekonomi dari mobilitas manusia, produksi pengetahuan, dan
unsur-unsur kehidupan lain yang bersifat relaksatif.
Desa wisata dengan prinsip utama integrasi destinasi wisata
dengan akomodasi, fasilitas, dan tata pola kehidupan masyarakat
desa memberi alternatif produksi ekonoi baru di desa. Untuk
mewujudkan integrasi tersebut dibutuhkan beberapa hal penting,
yaitu; (1) tata kelola ruang wilayah desa yang melingkupi pengaturan

66
akomodasi, fasilitas, dan penyelenggaraan tata kehidupan sosial
yang terintegrasi dengan destinasi wisata. (2) kesadaran sosial dan
kognitif masyarakat terkait dengan penyelenggaraan kepariwisataan.
Perubahan mental dan sikap terhadap pengunjung menjadi kunci
eberhasilan desa wisata. (3) kolaborasi antar-stakeholders desa
meliputi Pemerintah Desa, Pemerintah Kabupaten, masyarakat, dan
pihak ketiga dalam rangka membangun desa wisata.
Atas dasar beberapa hal di atas, Peraturan Daerah ini
mengatur tentang bagaimana prosedur desa wisata ditetapkan, hak
dan kewajiban pihak-pihak yang terlibat, pembiayaan desa wisata,
dan pengawasan. Selain hal tersebut, Peraturan Daerah ii juga
dimaksudkan untuk merevitalisasi beberapa desa di Kabupaten
Cilacap yang telah ditetapkan statusnya sebagai desa wisata. Upaya
revitalisasi ini dilakukan untuk meningkatkan efektifitas dan
efisiensi desa wisata sehingga selain meningkatkan pendapatan desa,
integrasi berbagai unsur kehidupan desa sebagai gagasan utama
desa wisata bisa dijadikan sebagai intrumen membangun kohesifitas
masyarakat desa. Dengan pola ini, desa wisata menjadi salah satu
strategi pembangunan pariwisata sekaligus pembangunan ekonomi
dan sosial.

PASAL DEMI PASAL

Pasal 1
Cukup jelas

Pasal 2
Cukup jelas

Pasal 3
Cukup jelas

Pasal 4
Cukup jelas

Pasal 5
Ayat (1)
Huruf a
Atraksi wisata atau juga dikenal dengan daya tarik
wisata, yaitu seluruh kehidupan keseharian
penduduk setempat beserta kondisi fisik lokasi
desa yang memungkinkan wisatawan
berpartisipasi aktif seperti: kursus tari, bahasa
dan lain-lain yang spesifik.

Huruf b

67
Akomodasi wisata adalah fasilitas yang
dimanfaatkan untuk tempat tinggal wisatawan.
Akomodasi ini dapat memanfaatkan sebagian dari
tempat tinggal para penduduk setempat dan atau
unit-unit yang dibangun sesuai konsep tempat
tinggal penduduk.

Huruf c
Fasilitas wisata adalah fasilitas yang dimanfaatkan
untuk tempat tinggal wisatawan. Akomodasi ini
dapat memanfaatkan sebagian dari tempat tinggal
para penduduk setempat dan atau unit-unit yang
dibangun sesuai konsep tempat tinggal penduduk).

Pasal 6
Cukup jelas

Pasal 7
Huruf a
Daya tarik wisata terdiri dari:
1. Daya tarik alam, adalah bentukan-bentukan alam
seperti bukit-bukit, hutan, sungai, dan sebagainya
yang memungkinkan untuk dijadikan tempat untuk
melakukan berbagai aktivitas wisata.
2. Daya tarik budaya, adalah hasil-hasil kehidupan
manusia, berupa adat istiadat, norma-norma,
kepercayaan masyarakat, kebiasaan sehari-hari yang
dapat dikemas menjadi daya tarik budaya tanpa
menghilangkan. nilai-nilai yang terkandung di
dalamnya. Kegiatan bercocok tanam, kesenian
daerah, upacara adat, dan sebagainya merupakan
contoh-contoh hasil kebudayaan manusia yang dapat
dijadikan daya tarik budaya dimana wisatawan dapat
berpartisipasi aktif dalam aktivitas-aktivitas tersebut.
3. Daya tarik buatan, merupakan sesuatu yang sengaja
dibuat untuk menarik kunjungan wisatawan.
Bentuknya seperti kuliner.

Huruf b
Cukup jelas

Huruf c
Cukup jelas

Huruf d
Cukup jelas

68
Huruf e
Masyarakat desa sekurang-kurangnya memiliki salah
satu aktivitas pendukung seperti kegiatan kesenian,
kuliner dan bahan baku untuk kuliner, produksi
kerajinan, pemandu wisata, dan transportasi lokal)

Huruf f
Cukup jelas

Huruf g
Cukup jelas

Huruf h
Desa wisata telah ditetapkan menjadi perencanaan desa
yang dituangkan dalam dokumen RPJM Desa.

Pasal 8
Cukup jelas

Pasal 9
Cukup jelas

Pasal 10
Cukup jelas

Pasal 11
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas

Huruf b
Badan Usaha Milik Desa (BUMDES) dapat
berbentuk koperasi desa, CV, PT, dan lain-lain.

Huruf c
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Ayat (4)
Cukup jelas

69
Pasal 12
Cukup jelas

Pasal 13
Cukup jelas

Pasal 14
Huruf a
Cukup jelas

Huruf b
Partisipasi masyarakat meningkatkan daya tarik wisata
dapat dilakukan dengan menyelenggaraakan kursus
bahasa lokal, demo atau menampilkan secara natural
praktik ekonomi matapencaharian lokal, produksi
ekonomi lokal, ritual adat dan keagamaan, dan
sejenisnya yang berkembang dan menjadi identitas
masyarakat desa setempat.

Huruf c
Cukup jelas

Huruf d
Bentuk akomodasi desa wisata yang dapat
dikembangkan oleh masyarakat misalnya warung
makanan/kuliner khas, membangun tempat tinggal
khas pedesaan, menyediakan alat transportasi lokal, dan
sejenisnya.

Huruf e
Cukup jelas

Pasal 15
Huruf a
Cukup jelas

Huruf b
Yang dimaksud dengan desentralisasi adalah
memberikan ruang yang luas kepada masyarakat untuk
mengelola dan mengembangkan kegiatan pembangunan
kepariwisataan di desanya dengan menggunakan dana
dari berbagai sumber.

Huruf c

70
Yang dimaksud partisipatif adalah masyarakat terlibat
secara aktif dalam kegiatan mulai dari proses
perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pemeliharaan
dan pemanfaatan, dengan memberikan kesempatan
secara luas dari kelompok perempuan.

Huruf d
Yang dimaksud keadilan dan kesetaraan gender adalah
masyarakat baik laki-laki dan perempuan mempunyai
peran dan hak yang sama dalam pelaksanaan
pembangunan desa wisata. Desa wisata menjadi
pendorong peningkatan peran dan partisipasi
perempuan serta menumbuhkembangkan ekonomi
kreatif pendukung bidang kepariwisataan di desa wisata.

Huruf e
Yang dimaksud keswadayaan adalah masyarakat
menjadi aktor utama dalam keberhasilan pembangunan,
melalui keterlibatan dalam perencanaan, pelaksanaan,
pengawasan dan pemeliharaan kegiatan.
Huruf f
Penguatan kapasitas kelembagaan adalah meningkatkan
kemampuan lembaga keswadayaan masyarakat dan
kelompok masyarakat dalam pengelolaan kelembagaan
untuk mewujudkan pembangunan desa wisata
berkelanjutan dan berorientasi pada kesejahteraan
masyarakat.

Huruf g
Berkelanjutan adalah praktik dalam setiap pengambilan
keputusan harus mempertimbangkan kelestarian dan
pengembangan program pada waktu-waktu yang akan
datang. Dengan demikian pasca pelaksanaan program,
masyarakat dan instansi terkait masih dapat
memanfaatkan, mengembangkan dan
mendayagunakannya untuk kesejahteraan.

Pasal 16
Cukup jelas

Pasal 17
Ayat (1)
Huruf a
Mengembangkan sarana yang mendukung
pariwisata misalnya membangun daya tarik
wisata, tempat tinggal, sanggar seni, praktik mata

71
pencahariaan lokal, dan jenis kegiatan unik lain
yang menjadi ciri khas desa wisata.

Huruf b
Cukup jelas

Huruf c
Cukup jelas

Huruf d
Cukup jelas

Huruf e
Cukup jelas

Huruf f
Pembagian zona adalah pengelompokan area
dalam beberapa zona yang sesuai dengan tata
guna lahan. Pembagian zona memiliki fungsi
untuk memudahkan pembangunan dan
mendukung kerapihan pengelolaan Desa Wisata.
Pembagian zona dapat dilakukan dengan membagi
zona berdasarkan fungsinya, misalnya zona
atraksi, zona fasilitas, zona akomodasi, dan zona
asli, yaitu zona yang tidak dibangun untuk
kepentingan pariwisata.

Ayat (2)
Huruf a
Pengemasan desa wisata adalah sebuah metode yang
dilakukan untuk menarik minat wisatawan untuk
menikmati produk wisata yang ditawarkan secara lebih
beragam, sehingga wisatawan akan merasa untung
dengan paket yang ditawarkan dan akan merasa puas
dengan pilihan yang diberikan. Pengemasan bisa
dilakukan dengan membuat paket wisata.

Huruf b
Bentuk promosi berbentuk bekerjasama dengan:
1. industri pariwisata dengan meningkatkan kualitas
materi promosi dalam bentuk leflet, brosur, booklet,
CD dan website.
2. Bekerjasama dengan Agen perjalanan

Huruf c

72
Peningkatan kapasitas sumberdaya manusia dilakukan
dengan cara:
1. melakukan penyuluhan dan pelatihan kepada
masyarakat tentang pariwisata dan manfaatnya serta
pengembangan potensi wisata.
2. melakukan pembinaan sadar wisata kepada
masyarakat dengan membentuk kelompok sadar
wisata untuk selanjutnya dibina agar dapat
mendukung program pengembangan pariwisata.
3. mengembangkan jaringan pendidikan, baik formal
maupun informal yang menekankan pada
profesionalisme sehingga dapat menghasilkan tenaga
kerja yang berkualitas, cakap dan memliki skill serta
profesional yang nantinya mampu bersaing dalam
mengembangkan dan membangun desa wisata.

Huruf d
Cukup jelas

Huruf e
Cukup jelas

Pasal 18
Cukup jelas

Pasal 19
Cukup jelas
Pasal 20
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Ayat (4)
Aset tetap adalah aset berwujud yang dimiliki untuk
digunakan dalam produksi atau penyediaan barang atau
jasa, untuk direntalkan kepada pihak lain, atau untuk
tujuan administratif; dan diharapkan untuk digunakan
selama lebih dari satu periode atau berjangka
panjang. Jenis aset tetap digunakan untuk operasi dan
tidak dimaksudkan untuk dijual kembali. Contoh aset
tetap antara lain adalah properti, bangunan, pabrik,

73
alat-alat produksi, mesin, kendaraan bermotor, furnitur,
perlengkapan kantor, komputer, dan lain-lain.

Ayat (5)
Cukup jelas

Ayat (6)
Cukup jelas

Pasal 21
Cukup jelas

Pasal 22
Cukup jelas

Pasal 23
Cukup jelas

Pasal 24
Cukup jelas

Pasal 25
Cukup jelas

Pasal 26
Cukup jelas

TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH KABUPATEN CILACAP NOMOR


…......

74

Anda mungkin juga menyukai