Anda di halaman 1dari 10

Jurnal EKSPONENSIAL Volume 9, Nomor 2, Nopember 2018 ISSN 2085-7829

Pemodelan Generalized Space Time Autoregressive (GSTAR) Pada Data Inflasi


di Kota Samarinda dan Kota Balikpapan

Modeling Generalized Space Time Autoregressive (GSTAR) On Inflation Data


In Samarinda And Balikpapan

Riska Handayani1, Sri Wahyuningsih2, dan Desi Yuniarti3


1,2
Laboratorium Statistika Terapan Jurusan Matematika FMIPA Universitas Mulawarman
3
Laboratorium Statistika Ekonomi dan Bisnis Jurusan Matematika FMIPA Universitas Mulawarman
E-mail: riskahandayani100595@gmail.com

Abstract

One of the macroeconomic indicators used in the preparation of government’s economicpolicy is inflation.
Inflation is a data time series monthly that also is influenced by location effects. Generalized Space Time
Autoregressive (GSTAR) is a time series methode that combines time and location effects. The case study is
applied of GSTAR for forecasting inflation in two cities in East Kalimantan namely Samarinda and
Balikpapan. This research aims to implement GSTAR model to gain forecasting model for inflation data in
Samarinda city and Balikpapan city by using method of cross-correlation normalization. The resulting
model is GSTAR model GSTAR (2,1) and GSTAR (3,1). The model obtained is not feasible to be used for
forecasting, because it does not meet the white noise assumption.

Keywords: GSTAR, inflation, cross-correlation normalization, space time, time series

Pendahuluan mempengaruhi ketersediaan barang dan jasa pada


Menurut Sudarso (1991), salah satu wilayah lain yang tidak dapat memproduksi
indikator ekonomi makro yang digunakan untuk barang dan jasa sendiri sehingga berdampak pada
melihat/mengukur stabilitas (keseimbangan) biaya dan harga antar wilayah.
perekonomi suatu negara adalah inflasi. Inflasi Perkembangan inflasi di Kalimantan Timur
adalah suatu proses atau peristiwa kenaikan dipantau melalui perkembangan perekonomian di
tingkat harga umum. Menurut Sukirno (2000), dua kota diantaranya, Kota Samarinda dan Kota
akibat buruk yang paling nyata dari inflasi adalah Balikpapan. Pemodelan data yang melibatkan
kemerosotan pendapatan riil yang diterima ruang dan waktu adalah Space Time
masyarakat. Selain itu dapat menimbulkan Autoregressive (STAR) yang diperkenalkan oleh
ketidakstabilan, pertumbuhan yang lambat, dan Pfeifer dan Deutsch (1980). Model STAR
pengangguran yang semakin meningkat, serta merupakan model yang menekankan efek waktu
mengurangi daya beli masyarakat. yang diamati pada beberapa lokasi. Namun,
Perkembangan metode statistik khususnya model STAR memiliki kelemahan yaitu model ini
pada data time series tidak hanya didasarkan pada mengasumsikan parameter ruang waktu bernilai
keterkaitan waktu namun sudah melibatkan faktor sama pada semua lokasi. Kelemahan dari model
keterkaitan antar lokasi. Dalam hukum pertama STAR telah direvisi dan dikembangkan oleh
tentang geografi yang dikemukakan oleh Tolber Ruchjana (2002) yang dikenal dengan model
(1979) dalam Anselin (1988), menyatakan bahwa Generalized Space Time Autoregressive
: “Everything is related to everything else, but (GSTAR). Model GSTAR mengasumsikan
near thing are more related than distant things”. parameter ruang waktu bernilai berbeda untuk
Segala sesuatu saling berhubungan satu dengan setiap lokasi.
yang lainnya, tetapi sesuatu yang dekat lebih Penelitian terdahulu yang menjadi acuan
mempunyai pengaruh dari pada sesuatu yang dalam penelitian ini, diantaranya yaitu penelitian
jauh. Hukum itulah yang menjadi pilar tentang Talungke, Nainggolan dan Hatidja (2015) yang
kajian sains regional. Adanya efek spasial menganalisis model GSTAR data inflasi di tiga
merupakan hal yang lazim terjadi antara satu lokasi dan didapatkan hasil bahwa model GSTAR
region dengan region yang lain. Seperti diketahui yang diperoleh cukup baik untuk meramalkan
inflasi dihitung berdasarkan pada IHK, sedangkan data inflasi di tiga kota tersebut. Penelitian Gama
di sisi lain IHK antar kota yang berdekatan (2017) yang membandingkan model STAR dan
dimungkinkan memiliki keterkaitan antar lokasi GSTAR untuk peramalan inflasi Dumai,
(Hasbullah, 2012). Keterkaitan tersebut Pekanbaru, dan Batam dan didapatkan model
dicerminkan adanya hubungan saling STAR (1,1) dan GSTAR (1,1) yang mana hasil
ketergantungan dalam memenuhi kebutuhan perhitungan MAE dan RMSE menunjukkan
barang dan jasa. Keterbatasan infrastruktur dan bahwa peramalan inflasi Kota Dumai dan
kondisi geografis pada suatu wilayah akan Pekanbaru lebih baik menggunakan GSTAR

Program Studi Statistika FMIPA Universitas Mulawarman 153


Jurnal EKSPONENSIAL Volume 9, Nomor 2, Nopember 2018 ISSN 2085-7829

bobot normalisasi korelasi silang sedangkan Autocorrelation Function


peramalan inflasi Kota Batam lebih baik Fungsi autokorelasi adalah korelasi antara
menggunakan STAR bobot normalisasi korelasi nilai-nilai suatu deret waktu yang sama dengan
silang dan penelitian Wutsqa, Suhartono dan selesai waktu (time lag) 0,1,2 periode atau lebih
Sutijo (2012) yang mengaplikasikan model ACF digunakan untuk mengidentifikasi model
GSTAR untuk mendapatkan model peramalan MA. Persamaan fungsi autokorelasi dapat
data pencemaran udara di Kota Surabaya dan dirumuskan sebagai berikut :
𝑛
model yang dihasilkan merupakan model GSTAR 𝑟 𝑘 = 1+𝑘 𝑍 𝑡 −𝑍 (𝑍 𝑡−𝑘 −𝑍 )
(2)
𝑛 (𝑍 𝑡 −𝑍 )2
dengan orde autoregresif 3 dan orde spasial 1 𝑡=1
dengan orde pembedaan 1. Model yang diperoleh dengan :
menunjukkan adanya kecendrungan hubungan 𝑟 𝑘 = nilai dari fungsi autokorelasi (ACF) pada
antar waktu dan hubungan spasial antara stasiun 1 lag waktu ke-k
dan stasiun 3. 𝑍 𝑡 = nilai deret waktu ke-t
Penelitian ini dibatasi pada data inflasi 𝑍 = rata-rata data pengamatan
bulanan di dua lokasi yaitu Kota Samarinda dan
Kota Balikpapan pada periode bulan Januari 2012 Partial Autocorrelation Function
– Mei 2017. Pemodelan yang digunakan yaitu Fungsi autokorelasi parsial digunakan untuk
Generalized Space Time Autoregressive dengan mengukur derajat asosiasi antara nilai deret waktu
pembobot normalisasi korelasi silang. Adapun ke- t (𝑍 𝑡 ) dengan nilai deret waktu pada k
tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui waktu sebelum t (𝑍 𝑡 ), ketika efek dari rentang
model model GSTAR dengan bobot normalisasi atau jangka waktu (time lag) dihilangkan. PACF
korelasi silang pada data inflasi bulanan di Kota digunakan untuk mengidentifikasi model AR.
Samarinda dan Kota Balikpapan pada periode Persamaan fungsi parsial autokorelasi dapat
bulan Januari 2012 sampai dengan bulan Mei dirumuskan sebagai berikut:
2017 serta mengetahui apakah model GSTAR 𝑟 𝑘 = ϕ1 𝑟 𝑘 − 1 + ϕ2 𝑟 𝑘 − 2 + ⋯ + ϕ𝑝 𝑟 𝑘 − 𝑝
yang diperoleh memenuhi syarat kelayakan
sebagai model peramalan (3)
dengan :
Model Generalized Space Time Autoregressive 𝑟 𝑘 = nilai dari fungsi autokorelasi (ACF) pada
(GSTAR) lag waktu ke-k
Model generalized space time 𝑝 = ordo autoregressive
autoregressive (GSTAR) merupakan ϕ𝑝 = nilai dari fungsi autokorelasi parsial
pengembangan dari model STAR. Perbedaan (PACF) pada Ar ordo ke-p
mendasar antara keduanya adalah pengasumsian
parameternya. Pada STAR parameternya tidak
bergantung pada lokasi, sehingga model STAR Kestasioneran Data
hanya sesuai untuk lokasi-lokasi yang homogen. Dalam analisis deret waktu, pembentukan
Sedangkan pada model GSTAR, parameter model model analisis deret waktu ditentukan dengan
berubah-ubah untuk setiap lokasi. Model GSTAR asumsi bahwa data dalam keadaan stasioner.
orde p dirumuskan sebagai berikut : Stasioneritas berarti bahwa tidak terdapat
𝑝 perubahan yang drastis pada data. Fluktuasi data
𝐙(𝑡) = 𝑘=1[𝛟𝑘0 + 𝛟𝑘1 𝐖]𝐙 𝑡 − 𝑘 + 𝐞(𝑡) (1)
berada di sekitar suatu nilai rata-rata yang
di mana :
konstan, tidak tergantung pada waktu dan variansi
𝑘 = lag waktu (1,2,..,p)
dari fluktuasi tersebut. Makridakis menyatakan
𝛟𝑘0 = diag (ϕ1𝑘0 , … , ϕ𝑛𝑘0 ) yaitu, matriks bentuk visual dari suatu plot data time series
diagonal parameter autoregressive seringkali cukup untuk meyakinkan bahwa data
pada
tersebut adalah stasioner atau tidak stasioner.
lag waktu ke-k dan lag spasial ke-0
Akan tetapi, secara formal untuk mengidentifikasi
𝛟𝑘1 = diag ϕ1𝑘1 , … , ϕ𝑛𝑘1 yaitu, matriks kestasioneran data dilakukan dengan uji
diagonal parameter autoregressive pada Augmented Dickey Fuller (ADF) jika data belum
lag waktu ke-k dan lag spasial ke-1 stasioner terhadap mean perlu dilakukan
differencing atau pembedaan. Sebaliknya, jika
𝐞(𝑡) = vektor sisaan berukuran (𝑛 × 𝑙) pada data belum stasioner pada varian jika nilai atas
waktu ke-t dan bawah pada lambda kurang dari nol, sehingga
𝐙(𝑡) = vektor data deret waktu ukuran (𝑛 × 𝑙) perlu dilakukan transformasi Box Cox agar data
pada waktu ke-t stasioner (Makridakis, 1999).
𝐖 = matriks bobot ukuran (𝑛 × 𝑛) pada lag
spasial l Uji Augmented Dickey Fuller
(Suhartono dan Subanar, 2006) Uji Augmented Dickey Fuller (ADF)
merupakan pengujian stasioner dengan
menentukan apakah data deret waktu (time series)

154 Program Studi Statistika FMIPA Universitas Mulawarman


Jurnal EKSPONENSIAL Volume 9, Nomor 2, Nopember 2018 ISSN 2085-7829

mengandung akar unit (unit root). Rumusan Pemilihan Bobot Lokasi Model GSTAR
hipotesis untuk uji akar unit ADF adalah : Pada pemodelan GSTAR permasalahan yang
𝐻0 ∶ 𝛾 = 0 (tidak stasioner) sering terjadi yaitu terletak pada pemilihan atau
𝐻1 ∶ 𝛾 ≠ 0 (stasioner) penentuan bobot lokasi. Pada penelitian ini, bobot
Prosedur untuk menentukan apakah data lokasi yang digunakan yaitu bobot lokasi
stasioner atau tidak dengan cara membandingkan normalisasi korelasi silang. Metode ini
antara nilai statistik uji t yang disimbolkan dengan menggunakan nilai korelasi antar lokasi yang
𝜏 yaitu : telah dinormalisasi sebagai pembobot. Sehingga
𝛾 besar bobot di setiap lokasi berbeda sesuai dengan
𝜏= (4)
𝑆𝐸(𝛾 ) tingkat keeratan hubungan antar lokasi tersebut.
di mana 𝛾 adalah nilai taksiran dari parameter, Taksiran dari korelasi silang ini pada data
SE(𝛾) merupakan standar error dari nilai taksiran sampel adalah :
𝛾, dengan daerah kritis pengujian ini adalah 𝑛
𝑡=𝑘+1 𝑍 𝑖 𝑡 −𝑍 𝑖 [𝑍 𝑗 𝑡−𝑘 −𝑍 𝑗 ]
menolak 𝐻0 apabila nilai statistik ADF atau 𝜏 𝑟𝑖𝑗 𝑘 = (7)
( 𝑛𝑡=1 𝑍𝑖 𝑡 −𝑍𝑖 2 )(( 𝑛𝑡=1[𝑍𝑗 𝑡 −𝑍𝑗 ]2 )
lebih besar dari pada absolut nilai kritis distribusi
di mana, koefisien 𝑟𝑖𝑗 𝑘 merupakan korelasi
statistik t yaitu 𝑡(𝛼 ;𝑑𝑓 =𝑛−𝑛 𝑝 ) , di mana 𝑛 adalah
2 silang kejadian di lokasi ke-i dan ke-j (Suhartono
banyak pengamatan dan 𝑛𝑝 adalah jumlah dan Subanar, 2006).
parameter (Gujarati, 2003). Selanjutnya, penentuan bobot lokasi dapat
dilakukan dengan normalisasi silang dari besaran
Transformasi Box Cox korelasi silang antar lokasi pada waktu yang
Transformasi Box Cox adalah transformasi bersesuaian. Proses ini secara umum
pangkat pada respon. Box Cox menghasilkan bobot lokasi sebagai berikut :
mempertimbangkan kelas transformasi 𝑟 𝑖𝑗 𝑘
𝑊𝑖𝑗 (𝑘) = ,𝑖 ≠ 𝑗, 𝑘 = 1, … , 𝑝 (8)
berparameter tunggal yaitu 𝜆 yang dipangkatkan 𝐾 ≠𝑖 𝑟 𝑖𝐾 𝑘
pada variabel respon Zt, sehingga transformasinya Bobot-bobot lokasi dengan menggunakan
menjadi 𝑍𝑡𝜆 . 𝜆 adalah parameter yang perlu normalisasi dari korelasi silang antar lokasi pada
diduga. lag waktu yang bersesuaian ini memungkinkan
Cryer dan Kung-Sik (2008), mendefinisikan adanya kemungkinan hubungan antar lokasi.
Transformasi Box Cox sebagai berikut: Bobot ini juga memberikan fleksibilitas pada
𝑍𝑡 𝜆 −1 besar dan tanda hubungan antar lokasi yang bisa
𝑍𝑡 (𝜆) = ; 𝑢𝑛𝑡𝑢𝑘 𝜆 ≠ 0
𝑇 𝑍𝑡 = 𝜆 (5) berlainan yaitu positif dan negatif (Wutsqa,
log 𝑍𝑡 ; 𝑢𝑛𝑡𝑢𝑘 𝜆 = 0 Suhartono dan Sutijo, 2012).
di mana λ merupakan parameter transformasi.
Pendugaan Parameter Model GSTAR
Pemilihan Orde Model GSTAR Pendugaan parameter model GSTAR
Menurut Wutsqa, Suhartono dan Sutijo dilakukan pada bobot lokasi dengan
(2012), pemilihan orde spasial model GSTAR menggunakan Metode Kuadrat Terkecil dilakukan
pada umumnya dibatasi pada orde 1, karena orde dengan meminimumkan jumlah kuadrat error nya
yang lebih tinggi akan sulit untuk (Borovkova, Lopuhaa dan Ruchjana, 2008).
diinterpretasikan. Sedangkan untuk orde waktu 𝒀𝑖 = 𝑿𝑖 𝛃𝑖 + 𝒆𝑖 (9)
(autoregressive) dapat ditentukan dengan melihat dengan 𝑌𝑖 (𝑡) merupakan banyaknya pengamatan
plot PACF yang terputus setelah lag ke-p dan ke-t (t = 0,1,…,T) untuk lokasi ke-i (i = 1,2,…,N),
dapat kita tentukan ordenya dari nilai akaike dan 𝛃𝑖 = (𝜙101 , 𝜙111 ). Jika diketahui 𝑉𝑖 𝑡 =
information criterian (AIC) yang terkecil. 𝑁
𝑗 ≠𝑖 𝑊𝑖𝑗 𝑍𝑗 𝑡 maka persamaan (9) dapat
Perhitungan AIC sebagaimana menurut Akaike
dijabarkan dalam bentuk matriks sebagai berikut :
(1974) dalam Lutkephol (2005) yaitu : 𝑍𝑖 1 𝑍𝑖 0 𝑉𝑖 0 𝑒𝑖 1
2𝐾 2 𝑍𝑖 2 𝑍𝑖 1 𝑉𝑖 1 𝜙101 𝑒𝑖 2
𝐴𝐼𝐶 𝑝 = In ~𝑢 (𝑝) + (6) 𝑌𝑖 =

, 𝑋𝑖 =
⋮ ⋮
,𝛽 = , 𝑒𝑖 =

𝑇 𝜙111
~ −1 𝑇 ′
𝑢 𝑝 = 𝑇 𝑡=1 𝑢𝑡 𝑢𝑡 adalah
di mana 𝑍𝑖 𝑇 𝑍𝑖 𝑇 − 1 𝑉𝑖 𝑇 − 1 𝑒𝑖 𝑇
matriks taksiran kovarian residual dari model Estimasi dengan metode least square
vector autoregressive (p), T merupakan jumlah sebagai berikut :
residual dan K merupakan jumlah variabel. 𝜷 = [𝑿′ 𝑿]−𝟏 𝑿′ 𝒀 (10)
Jika didapatkan lag dalam model yang besar
maka dipertimbangkan dengan menggunakan Pemeriksaan Diagnostik Model GSTAR
principle of parsimony. Principle of parsimony Pemeriksaan diagnostik dilakukan untuk
sendiri merupakan suatu prinsip yang menyatakan melihat kelayakan model. Yang termasuk di
bahwa semakin sederhana sebuah model statistik dalam tahapan pemeriksaan diagnostik ini antara
dengan jumlah variabel dependen (yang lain adalah pengujian signifikansi parameter
dipengaruhi) cukup informatif untuk menjelaskan model dan pengujian kesesuaian model, di mana
model, semakin baik pula model statistik tersebut. untuk pengujian kesesuaian model ada suatu

Program Studi Statistika FMIPA Universitas Mulawarman 155


Jurnal EKSPONENSIAL Volume 9, Nomor 2, Nopember 2018 ISSN 2085-7829

asumsi dasar yang harus dipenuhi yaitu residual kenormalan ini adalah uji Kolmogorov-Smirnov.
bersifat white noise dan berdistribusi normal Uji Kolmogorov-Smirnov adalah suatu tes
(Wei, 1990). goodness of fit, artinya yang diperhatikan adalah
tingkat kesesuaian antara distribusi serangkaian
Uji Signifikansi Parameter data observasi dengan suatu distribusi teoristis
Uji signifikansi parameter dimana 𝜃 adalah tertentu.
nilai taksiran dari parameter tersebut, serta 𝑆𝐸(𝜃 ) Tahapan dalam pengujian kenormalan
adalah standar error dari nilai taksiran 𝜃, maka residual adalah sebagai berikut :
dapat dilakukan dengan tahapan sebagai berikut : Hipotesis
Hipotesis 𝐻0 ∶ 𝜀𝑖 ~𝑁 0, 𝜎 2 , 𝑖 = 1,2, … , 𝑛
𝐻0 : 𝜃 = 0 (Residual berdistribusi normal)
(parameter model tidak signifikan) 𝐻1 ∶ 𝜀𝑖 ≁ 𝑁 0, 𝜎 2 , 𝑖 = 1,2, … , 𝑛
𝐻1 : 𝜃 ≠ 0 (Residual tidak berdistribusi normal)
(parameter model signifikan) Statistik uji
D = maksimum 𝐹0 𝑋 − 𝑆𝑛 (𝑋) (13)
Statistik Uji di mana :
𝜃 𝐹0 𝑋 = distribusi frekuensi kumulatif teoritis
𝑡𝑕𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 = (11) 𝑆𝑛 (𝑋) = distribusi frekuensi kumulatif yang
𝑆𝐸(𝜃 )
Daerah Penolakan diobservasi
Tolak 𝐻0 jika 𝑡𝑕𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 > 𝑡(𝛼 ;𝑑𝑓 =𝑛−𝑛 𝑝 ) , Daerah Penolakan
2
Menolak 𝐻0 jika 𝐷 > 𝐷(𝛼;𝑛) atau 𝐻0 ditolak
dimana 𝑛 adalah banyaknya pengamatan dan
𝑛𝑝 adalah jumlah parameter atau dengan apabila p-value < 𝛼.
(Siegel, 1988)
menggunakan p-value, yakni tolak 𝐻0 jika p-
value < α.
Hasil dan Pembahasan
(Aswi dan Sukarna, 2006)
Data yang akan digunakan dalam penelitian
ini adalah data inflasi bulanan di Kota Samarinda
Uji Kesesuaian Model
dan Kota Balikpapan pada bulan Januari 2012
Menurut Wei (1990) ada dua asumsi dasar
sampai dengan bulan Mei 2017.
yang harus dipenuhi dalam uji kesesuaian model
yaitu residual model bersifat white noise dan
berdistribusi normal. Asumsi residual yang
pertama yaitu bersifat white noise model dapat
ditulis sebagai berikut.
Hipotesis
𝐻0 ∶ 𝜌1 = 𝜌2 = ⋯ = 𝜌𝑝 = 0, 𝑘 = 1,2, … , 𝑝
Tidak terdapat autokorelasi antar residual Gambar 1. Inflasi Kota Samarinda dan Kota
(residual memenuhi syarat white noise) Balikpapan bulan Januari 2012 – Mei 2017
𝐻1 : Minimal ada satu 𝜌𝑘 ≠ 0
Terdapat autokorelasi antar residual Pada Gambar 1. data inflasi Kota Samarinda
(residual tidak memenuhi syarat white dan Kota Balikpapan bulan Januari 2012 – Mei
noise) 2017 mengalami kenaikan dan penurunan harga
Statistik uji, yaitu statistik uji Ljung-Box : yang tidak jauh berbeda, terlihat dari letak titik
𝑝 𝜌 𝑘2 data masing-masing kota di tiap bulannya yang
𝑄 ∗ = 𝑛(𝑛 + 2) 𝑘=1 (𝑛−𝑘) (12) cukup berdekatan. Inflasi Kota Samarinda
di mana, 𝑘 = lag 1,2,…, p tertinggi pada bulan ke-19 yaitu bulan Juli tahun
𝑛 = jumlah residual 2013 sebesar 4,1 % dan terendah pada bulan ke-
𝜌𝑘 = autokorelasi residual 21 yaitu bulan September tahun 2013 sebesar -
Daerah Penolakan 0,67 %. Sedangkan inflasi Kota Balikpapan
2
Menolak 𝐻0 jika 𝑄 ∗ > 𝜒(𝛼 ;𝑑𝑓 =𝑘−𝑚 ) , s berarti
tertinggi pada bulan ke-19 yaitu bulan Juli tahun
pada lag s dan m adalah jumlah parameter 2013 sebesar 3,75 % dan terendah pada bulan ke-
yang ditaksir dalam model atau dengan 21 yaitu bulan September tahun 2013 sebesar -
menggunakan p-value, yakni menolak 𝐻0 jika 1,33 %.
p-value < 𝛼.
(Aswi dan Sukarna, 2006) Kestasioneran Data
Asumsi yang kedua yaitu, uji asumsi Untuk melihat stasioner dalam variansi
residual berdistribusi normal ini bertujuan untuk menggunakan Box-Cox plot, sedangkan untuk
mengetahui apakah data telah memenuhi asumsi stasioner dalam rata-rata menggunakan uji
kenormalan atau belum. Salah satu cara yang Augmented Dickey Fuller (ADF).
dapat ditempuh untuk melakukan uji asumsi

156 Program Studi Statistika FMIPA Universitas Mulawarman


Jurnal EKSPONENSIAL Volume 9, Nomor 2, Nopember 2018 ISSN 2085-7829

Kota Samarinda

Gambar 5. Time Series Plot data


Gambar 2. Box Cox data transformasi inflasi Kota transformasi inflasi Kota Balikpapan bulan
Samarinda bulan Januari 2012 – Mei 2017 Januari 2012 – Mei 2017

Pada Gambar 2, setelah data awal Pada Gambar 5. terlihat bahwa data yang
telah ditransformasi menunjukkan fluktuasi data
ditransformasi dengan 𝑍1 −0,42 dan diperoleh nilai
yang berada di sekitar nilai rata-rata yang konstan.
𝜆 berada di sekitaran nilai 1. Hal ini
Sehingga dapat dikatakan data inflasi Kota
menunjukkan bahwa data sudah stasioner dalam
Balikpapan bulan Januari 2012 - Mei 2017 yang
variansi. Selanjutnya membuat time series plot
telah ditransformasi sudah stasioner dalam rata-
data yang telah ditransformasi sebagai berikut :
rata. Stasioneritas data dalam rata-rata pada
penelitian ini dapat juga dilihat dengan
menggunakan uji Augmented Dickey Fuller
(ADF).
Didapatkan nilai 𝜏 = 7,12 < 𝑡(0,025 ;64)=
1,99, maka diputuskan menolak H 0 dan
disimpulkan bahwa data inflasi Kota Balikpapan
Gambar 3. Time Series Plot data transformasi bulan Januari 2012 - Mei 2017 sudah stasioner
inflasi Kota Samarinda bulan Januari 2012 – dalam rata-rata.
Mei 2017
Pemilihan Orde Model GSTAR
Pada Gambar 3. terlihat bahwa data yang Orde yang akan ditentukan dalam
telah ditransformasi menunjukkan fluktuasi data pemodelan ini adalah orde spasial dan orde waktu.
yang berada di sekitar nilai rata-rata yang konstan. Orde spasial pada umumnya terbatas pada orde 1,
Sehingga dapat dikatakan data inflasi Kota karena untuk orde yang lebih tinggi akan sulit
Samarinda bulan Januari 2012 - Mei 2017 yang untuk diinterpretasikan. Sedangkan untuk orde
telah ditransformasi sudah stasioner dalam rata- waktu (autoregressive) dapat ditentukan dengan
rata. Stasioneritas data dalam rata-rata pada melihat nilai AIC terkecil pada lag PACF yang
penelitian ini dapat juga dilihat dengan cut off , sebagai berikut :
menggunakan uji Augmented Dickey Fuller
(ADF).
Didapatkan nilai 𝜏 = 7,35 < 𝑡(0,025 ;64) =
1,99, maka diputuskan menolak H 0 dan
disimpulkan bahwa data inflasi Kota Samarinda
bulan Januari 2012 - Mei 2017 sudah stasioner
dalam rata-rata.

Kota Balikpapan

Gambar 4. Box Cox data transformasi inflasi Kota


Balikpapan bulan Januari 2012 – Mei 2017
Pada Gambar 4. setelah data awal
ditransformasi dengan 𝑍2 0,52 dan diperoleh nilai 𝜆 Gambar 6. Grafik PACF data transformasi inflasi
berada di sekitaran nilai 1. Hal ini menunjukkan Kota Samarinda dan Kota Balikpapan bulan
bahwa data sudah stasioner dalam variansi. Januari 2012 - Mei 2017
Selanjutnya membuat time series plot data yang
telah ditransformasi sebagai berikut :

Program Studi Statistika FMIPA Universitas Mulawarman 157


Jurnal EKSPONENSIAL Volume 9, Nomor 2, Nopember 2018 ISSN 2085-7829

Berdasarkan prinsip parsimony grafik PACF GSTAR pada Kota Samarinda dan Kota
pada Gambar 6. yang terlihat bahwa nilai PACF Balikpapan terdapat pada Tabel 4, Tabel 5 dan
cut off pada lag 2,3, dan 4. Hal ini merujuk pada Tabel 6.
model AR(2), AR(3), dan AR(4), sehingga
Tabel 3. Hasil Estimasi Parameter Model GSTAR
kombinasi model GSTAR yang memungkinkan
pada peramalan inflasi Kota Samarinda dan Kota Notasi Nilai Notasi Nilai
Balikpapan adalah GSTAR (2,1), GSTAR (3,1), Parameter Taksiran Parameter Taksiran
(1) (2)
dan GSTAR (4,1). 𝜙10 0,5871 𝜙10 0,4189
GSTAR
(1) (2)
Tabel 1. Nilai AIC (2,1) 𝜙11 -0,1133 𝜙11 -0,3757
(1) (2)
𝜙20 -0,0546 𝜙20 -0,1112
Orde Nilai AIC (1) (2)
𝜙21 0,1483 𝜙21 0,8597
AR (2) 56,88
(1) (2)
AR (3) 52,31 𝜙10 0,5371 𝜙10 0,3302
(1) (2)
AR (4) 46,27 𝜙11 -0,1350 𝜙11 -0,5833
(1) (2)
GSTAR 𝜙20 0,0257 𝜙20 -0,1077
Pada Tabel 1. diketahui bahwa nilai AIC (3,1) (1) (2)
terkecil berada pada orde keempat yaitu sebesar 𝜙21 0,1477 𝜙21 0,5344
(1) (2)
46,27. Namun karena pertimbangan lag yang 𝜙30 -0,1374 𝜙30 -0,1578
(1) (2)
cukup besar maka akan tetap dilakukan pengujian 𝜙31 0,0377 𝜙31 0,5591
untuk GSTAR (3,1) dan GSTAR (2,1). (1)
𝜙10 0,4722 (2)
𝜙10 0,2973
(1) (2)
𝜙11 -0,1652 𝜙11 -0,6536
Perhitungan Bobot Lokasi Model GSTAR (1) (2)
Pemodelan dengan menggunakan bobot 𝜙20 -0,0557 𝜙20 -0,1338
(1) (2)
normalisasi korelasi silang mempunyai asumsi GSTAR 𝜙21 0,1806 𝜙21 0,7349
(4,1) (1) (2)
bahwa keterikatan inflasi antara lokasi 𝜙30 -0,0509 𝜙30 -0,1135
dipengaruhi oleh tinggi rendahnya korelasi antara (1)
𝜙31 0,0425 (2)
𝜙31 0,6551
inflasi di lokasi satu dengan inflasi di lokasi (1) (2)
𝜙40 -0,2200 𝜙40 -0,2194
lainnya. Perhitungan bobot normalisasi korelasi (1) (2)
silang diperoleh melalui normalisasi dari nilai- 𝜙41 0,0871 𝜙41 0,0477
nilai korelasi antara lokasi pada lag yang
bersesuaian. Tabel 4. Nilai Uji Signifikansi Parameter Model
GSTAR (2,1)
Tabel 2. Nilai Korelasi Silang antar Lokasi
Nilai Standar
Notasi Nilai Notasi Nilai Variabel Parameter thitung
Taksiran Error
Korelasi Korelasi Korelasi Korelasi (1)
𝜙10 0,5871 0,0938 6,2577
Silang Silang Silang Silang (1)
𝑟12 (1) -0,1758 𝑟21 (1) -0,1977 𝜙11 -0,1133 0,1298 -0,8734
Z1* (1)
𝑟12 (2) 0,4017 𝑟21 (2) 0,2553 𝜙20 -0,0546 0,0945 -0,5775
𝑟12 (3) 0,2747 𝑟21 (3) 0,4549 (1)
𝜙21 0,1483 0,1307 1,1342
𝑟12 (4) 0,1944 𝑟21 (4) 0,1711 (2)
𝜙10 0,4189 0,1690 2,4786
Dari nilai korelasi silang tersebut didapatkan (2)
𝜙11 -0,3757 0,6041 -0,6218
bobot korelasi silang sebagai berikut : Z2* (2)
𝜙20 -0,1112 0,1713 -0,6491
(1) 0 −1 (2) 0 1
𝑾𝑖𝑗 = 𝑾𝑖𝑗 = (2)
𝜙21 0,8597 0,6065 1,1342
−1 0 1 0
(3) 0 1 (4) 0 1
𝑾𝑖𝑗 = 𝑾𝑖𝑗 =
1 0 1 0 dengan daerah penolakan menolak 𝐻0 jika
𝑡 > 𝑡0,025 ;63 = 1,99.
Estimasi Parameter Model GSTAR
Estimasi parameter model GSTAR Tabel 5. Nilai Uji Signifikansi Parameter Model
dilakukan pada bobot lokasi dengan GSTAR (3,1)
menggunakan metode kuadrat terkecil dengan
cara meminimumkan jumlah kuadrat Nilai Standar
Variabel Parameter thitung
simpangannya. Dengan rumus untuk mencari Taksiran Error
(1)
estimasi parameter kuadrat terkecil dengan 𝜙10 0,5371 0,0915 5,8674
(1)
menggunakan persamaan 𝛃 = (𝐗′𝐗)−1 . Hasil 𝜙11 -0,1350 0,1282 -1,0532
Z1* (1)
estimasi parameter terdapat pada Tabel 3. 𝜙10 0,5371 0,0915 5,8674
(1)
Uji Signifikansi Parameter 𝜙20 0,0257 0,0923 0,2791
Untuk mengetahui model terbaik, maka
perlu dilakukan pengujian signifikansi parameter.
Pengujian signifikansi parameter untuk model

158 Program Studi Statistika FMIPA Universitas Mulawarman


Jurnal EKSPONENSIAL Volume 9, Nomor 2, Nopember 2018 ISSN 2085-7829

Tabel 5. Nilai Uji Signifikansi Parameter Model Tabel 7. Hasil Seleksi Uji Signifikansi Parameter
GSTAR (3,1) (Lanjutan) Model GSTAR
Nilai Standar Para Nilai Standar
Variabel Parameter thitung Variabel thitung
Taksiran Error meter Taksiran Error
(1) GSTAR
𝜙21 0,1477 0,1291 1,1440 (1)
𝜙10 0,9852 0,1275 7,7261
* (1) * (2,1)
Z1 𝜙30 -0,1374 0,0930 -1,4763 Z1
GSTAR (1)
(1)
𝜙31 0,0377 0,1300 0,2899 (3,1) 𝜙10 0,9852 0,1275 7,7261
(2) (1)
𝜙10 0,3302 0,1600 2,0640 GSTAR 𝜙10 0,8909 0,1285 6,9301
(2) Z1* (1)
𝜙11 -0,5833 0,5878 -0,9924 (4,1) 𝜙40 0,0551 0,0865 0,6374
(2) GSTAR
𝜙20 -0,1077 0,1622 -0,6644 (2)
𝜙10 0,9522 0,1703 5,5901
Z2* (2) (2,1)
𝜙21 0,5344 0,5901 0,9056 Z2*
(2)
GSTAR (2)
𝜙30 -0,1578 0,1643 -0,9606 (3,1) 𝜙10 0,9522 0,1612 5,5901
(2)
𝜙31 0,5591 0,5925 0,9435
Dengan demikian model GSTAR untuk data
dengan daerah penolakan menolak 𝐻0 jika inflasi Kota Samarinda dan Kota Balikpapan
𝑡 > 𝑡0,025 ;62 = 1,99. adalah sebagai berikut :
GSTAR (2,1)
Tabel 6. Nilai Uji Signifikansi Parameter Model
GSTAR (4,1) untuk i = 1 yaitu Kota Samarinda
𝑍1 ∗ 𝑡 = 𝜙101 𝑍1 ∗ 𝑡 − 1 +𝑒1 (𝑡)
Nilai Standar
Variabel Parameter
Taksiran Error
thitung = 0,9852 𝑍1 ∗ 𝑡 − 1 +𝑒1 (𝑡)
(1) untuk i = 2 yaitu Kota Balikpapan
𝜙10 0,4722 0,0843 5,5963 (2)
(1) - 𝑍2 ∗ 𝑡 = 𝜙10 𝑍2 ∗ 𝑡 − 1 + 𝑒2 (𝑡)
𝜙11 -0,1652 0,1231
1,3422 = 0,9522 𝑍2 ∗ 𝑡 − 1 + 𝑒2 (𝑡)
(1)
𝜙20 -0,0557 0,0857 0,6497 GSTAR (3,1)
(1)
𝜙21 0,1806 0,1240 1,4571
Z1* untuk i = 1 yaitu Kota Samarinda
(1) - (1)
𝜙30 -0,0509 0,0857
0,5941 𝑍1 ∗ 𝑡 = 𝜙10 𝑍1 ∗ 𝑡 − 1 +𝑒1 (𝑡)
(1)
𝜙31 0,0425 0,1245 0,3416 = 0,9852 𝑍1 ∗ 𝑡 − 1 +𝑒1 (𝑡)
(1) - untuk i = 2 yaitu Kota Balikpapan
𝜙40 -0,2200 0,0865 (2)
2,5438 𝑍2 ∗ 𝑡 = 𝜙10 𝑍2 ∗ 𝑡 − 1 + 𝑒2 (𝑡)
(1)
𝜙41 0,0871 0,1262 0,6905 = 0,9522 𝑍2 ∗ 𝑡 − 1 + 𝑒2 (𝑡)
(2)
𝜙10 0,2973 0,1555 1,9121
Model tersebut menunjukkan bahwa pada
(2) - inflasi Kota Samarinda data inflasi dipengaruhi
𝜙11 -0,6536 0,5772
1,1322
oleh data satu lag sebelumnya, sedangkan tidak
(2) -
𝜙20 -0,1338 0,15762
0,8489
ada data lag sebelumnya yang mempengaruhi
(2) hubungannya dengan inflasi Kota Balikpapan.
𝜙21 0,7349 0,5796 1,2680
Z2* Begitu pula pada inflasi Kota Balikpapan data
(2) -
𝜙30 -0,1135 0,1597 inflasi dipengaruhi oleh data satu lag sebelumnya,
0,7107
(2) sedangkan tidak ada data lag sebelumnya yang
𝜙31 0,6551 0,5819 1,1256
mempengaruhi hubungannya dengan inflasi Kota
(2) - Samarinda.
𝜙40 -0,2194 0,1627
1,3482
(2)
𝜙41 0,0477 0,5847 0,0816 Uji Kesesuaian Model
Setelah model yang signifikan didapat maka
dengan daerah penolakan menolak 𝐻0 jika dilanjutkan uji kesesuaian model pada data
𝑡 > 𝑡0,025 ;61 = 1,99. residual model GSTAR (2,1) dan model GSTAR
Hasil seleksi parameter untuk menghasilkan (3,1) masing-masing terdapat pada Tabel 8 dan
model terbaik dan memenuhi uji signifikansi Tabel 9.
parameter terdapat pada Tabel 7. Berdasarkan Berdasarkan Tabel 8. dan 9. model GSTAR
Tabel 7. didapatkan model pada masing masing (2,1) dan GSTAR (3,1) terlihat bahwa untuk
lokasi, hanya saja untuk model GSTAR (4,1) pada variabel Z1*dan Z2* pada model GSTAR (2,1) dan
lokasi Kota Balikpapan tidak terdapat parameter GSTAR (3,1) terdapat nilai p-value < 𝛼 (0,05)
yang signifikan sehingga GSTAR (4,1) maka diputuskan menolak 𝐻0 . Dengan taraf
ditiadakan. kepercayaan 95% maka disimpulkan bahwa
residual variabel Z1*dan Z2* pada model GSTAR

Program Studi Statistika FMIPA Universitas Mulawarman 159


Jurnal EKSPONENSIAL Volume 9, Nomor 2, Nopember 2018 ISSN 2085-7829

(2,1) dan GSTAR (3,1) tidak memenuhi syarat Kesimpulan


white noise. Berdasarkan analisis yang telah dilakukan,
maka dapat diperoleh kesimpulan bahwa model
Tabel 8. Statistik Uji White Noise GSTAR (2,1)
yang diperoleh yaitu model GSTAR (2,1) dan
Varia GSTAR (3,1) untuk data inflasi Kota Samarinda
Ljung-Box
bel dan Kota Balikpapan diperoleh secara berturut-
Lag 12 24 36 48 turut sebagai berikut :
Z1* Q 37,293 48,751 56,272 62,356 GSTAR (2,1)
P-value 0,0002 0,0020 0,0168 0,0797 𝑍1 ∗ 𝑡 = 0,9852 𝑍1 ∗ 𝑡 − 1
Lag 12 24 36 48 𝑍2 ∗ 𝑡 = 0,9522 𝑍2 ∗ 𝑡 − 1
Z2* Q 19,41 37,717 46,008 49,94
GSTAR (3,1)
P-value 0,0791 0,0370 0,1226 0,3962
𝑍1 ∗ 𝑡 = 0,9852 𝑍1 ∗ 𝑡 − 1
𝑍2 ∗ 𝑡 = 0,9522 𝑍2 ∗ 𝑡 − 1
Tabel 9. Statistik Uji White Noise GSTAR (3,1)
dimana 𝑍1 𝑡 = 𝑍1 ∗ 𝑡 1/−0,42 − 1,5 dan
Varia
Ljung-Box 𝑍2 𝑡 = 𝑍2 ∗ 𝑡 1/0,52 − 1,5.
bel
Model GSTAR (2,1) dan GSTAR (3,1) tidak
Lag 12 24 36 48
layak digunakan untuk peramalan karena tidak
Z1* Q 37,293 48,751 56,272 62,356
P-value 0,0002 0,0020 0,0168 0,0797 memenuhi asumsi white noise.
Lag 12 24 36 48
Z2* Q 19,41 37,717 46,008 49,94 Daftar Pustaka
P-value 0,0791 0,0370 0,1226 0,3962 Anselin, L. (1998). Spatial Econometrics :
Methods and Models. The Netherlands:
Pengujian kenormalan residual model model Kluwer Academic Publishers.
GSTAR (2,1) dan GSTAR (3,1) masing-masing Aswi and Sukarna. (2006). Analisis Deret Waktu
terdapat pada Tabel 10 dan Tabel 11. dan Aplikasi. Makasar : Andira Publisher.
Borovkova, S., Lopuhaa, H.P., dan Ruchjana,
Tabel 10. Nilai Dhitung Pengujian Kenormalan B.N. (2008). Consistency and Asymptotic
Residual GSTAR (2,1) Normality of Least Square Estimators in
Variabel Dhitung Generalized STAR Models. Journal
Z1* 0,3853 Compilation Statistica Nederlandica.
Z2* 0,2262 Cryer, J.D., and Kung-Sik, C. (2008). Time Series
Analysis with Application in R Second
Tabel 11. Nilai Dhitung Pengujian Kenormalan Edition. University of Lowa : Departemen of
Residual GSTAR (3,1) Statistics and Actuarial Science.
Gama, P.D.S. (2017). Perbandingan Model STAR
Variabel Dhitung dan GSTAR Untuk Peramalan Inflasi
Z1* 0,3853
Dumai, Pekanbaru, Dan Batam. Statistika,
Z2* 0,2262
Vol. 5, No. 1, Mei 2017.
Pada Tabel 10. dan 11. model GSTAR (2,1) Gujarati, D. N. (2003). Basic Econometrics. Now
dan GSTAR (3,1) terlihat bahwa untuk variabel York : McGraw-Hill.
Z1*dan Z2* memiliki nilai Dhitung > 𝐷(0,05;62) Hasbullah, J. (2012). Tangguh Dengan Statistik.
(0,17) maka diputuskan H gagal ditolak, maka Jakarta: Nuansa Cendikia.
0
Lutkepohl, Helmut. (2005). New Indroduction to
disimpulkan bahwa residual variabel Z1*dan Z2* Multiple Time Series Analysis. New York :
pada model GSTAR (2,1) dan GSTAR (3,1) Springer.
berdistribusi normal. Makridakis, S. (1999). Metode dan Aplikasi
Berdasarkan uji kelayakan model tersebut, Peramalan. Edisi Kedua Jilid I. Untung Sus
syarat white noise tidak terpenuhi untuk model Andriyanto dan Abdul Basith, Penerjemah.
GSTAR (2,1) dan GSTAR (3,1). Dengan Jakarta : Penerbit Erlangga. Terjemahan dari
demikian model GSTAR (2,1) dan GSTAR (3,1) : Forecasting, 2nd Edition.
tersebut tidak dapat digunakan untuk peramalan Pfeifer P.E. and Deutsch S.J. (1980). A three
data periode selanjutnya. Pada Gambar 6. terdapat stage iterative procedure for space-time
cut off pada grafik PACF dan grafik ACF, modeling. Technometrics. Vol. 22, No. 1.
sehingga dimungkinkan model yang tepat untuk Ruchjana, B.N. (2002). Pemodelan Kurva
data ini adalah model yang menggabungkan AR Produksi Minyak Bumi menggunakan Model
dan MA atau GSTARMA (Generalized Space Generalisasi STAR. Forum Statistika
Time Autoregressive Moving Average). Komputasi. Bogor : IPB.
Siegel, S. (1988). Statistik Non Parametrik.
Jakarta : PT Gramedia.

160 Program Studi Statistika FMIPA Universitas Mulawarman


Jurnal EKSPONENSIAL Volume 9, Nomor 2, Nopember 2018 ISSN 2085-7829

Sudarso. (1991). Pengantar Ekonomi Makro. Autoregressive (GSTAR) dengan Analisis


Jakarta : Rineke Cipta. Data Menggunakan Software R. JdC. Vol. 4,
Suhartono and Subanar. (2006). The Optimal No. 2.
Determination of Space Weight in GSTAR Wutsqa, U.D., Suhartono, and Sutijo, B. (2012).
Model by using Cross-correlation Inference. Aplikasi Model Generalized Space Time
Journal Of Quantitative Methods : Journal Autoregressive Pada Data Pencemaran
Devoted to The Mathematical and Statistical Udara Di Kota Surabaya. Phytagoras. Vol.
Application in Various Fields. Vol. 2, No. 2. 7, No. 2.
Sukirno S. (2000). Makroekonomi Modern Wei, W.S.S. (1990). Time Series Analysis
Perkembangan Pemikiran dari Klasik Univariate and Multivariate Methods.
hingga Keynesian Baru. Jakarta : PT Raja California : Addison- Wesley Publishing
Grafindo Persada. Company, Inc.
Talungke, Y., Nainggolan, and N., Hatidja, D.
(2015). Model Generalized Space Time

Program Studi Statistika FMIPA Universitas Mulawarman 161


Jurnal EKSPONENSIAL Volume 9, Nomor 2, Nopember 2018 ISSN 2085-7829

162 Program Studi Statistika FMIPA Universitas Mulawarman

Anda mungkin juga menyukai