Abstract
One of the macroeconomic indicators used in the preparation of government’s economicpolicy is inflation.
Inflation is a data time series monthly that also is influenced by location effects. Generalized Space Time
Autoregressive (GSTAR) is a time series methode that combines time and location effects. The case study is
applied of GSTAR for forecasting inflation in two cities in East Kalimantan namely Samarinda and
Balikpapan. This research aims to implement GSTAR model to gain forecasting model for inflation data in
Samarinda city and Balikpapan city by using method of cross-correlation normalization. The resulting
model is GSTAR model GSTAR (2,1) and GSTAR (3,1). The model obtained is not feasible to be used for
forecasting, because it does not meet the white noise assumption.
mengandung akar unit (unit root). Rumusan Pemilihan Bobot Lokasi Model GSTAR
hipotesis untuk uji akar unit ADF adalah : Pada pemodelan GSTAR permasalahan yang
𝐻0 ∶ 𝛾 = 0 (tidak stasioner) sering terjadi yaitu terletak pada pemilihan atau
𝐻1 ∶ 𝛾 ≠ 0 (stasioner) penentuan bobot lokasi. Pada penelitian ini, bobot
Prosedur untuk menentukan apakah data lokasi yang digunakan yaitu bobot lokasi
stasioner atau tidak dengan cara membandingkan normalisasi korelasi silang. Metode ini
antara nilai statistik uji t yang disimbolkan dengan menggunakan nilai korelasi antar lokasi yang
𝜏 yaitu : telah dinormalisasi sebagai pembobot. Sehingga
𝛾 besar bobot di setiap lokasi berbeda sesuai dengan
𝜏= (4)
𝑆𝐸(𝛾 ) tingkat keeratan hubungan antar lokasi tersebut.
di mana 𝛾 adalah nilai taksiran dari parameter, Taksiran dari korelasi silang ini pada data
SE(𝛾) merupakan standar error dari nilai taksiran sampel adalah :
𝛾, dengan daerah kritis pengujian ini adalah 𝑛
𝑡=𝑘+1 𝑍 𝑖 𝑡 −𝑍 𝑖 [𝑍 𝑗 𝑡−𝑘 −𝑍 𝑗 ]
menolak 𝐻0 apabila nilai statistik ADF atau 𝜏 𝑟𝑖𝑗 𝑘 = (7)
( 𝑛𝑡=1 𝑍𝑖 𝑡 −𝑍𝑖 2 )(( 𝑛𝑡=1[𝑍𝑗 𝑡 −𝑍𝑗 ]2 )
lebih besar dari pada absolut nilai kritis distribusi
di mana, koefisien 𝑟𝑖𝑗 𝑘 merupakan korelasi
statistik t yaitu 𝑡(𝛼 ;𝑑𝑓 =𝑛−𝑛 𝑝 ) , di mana 𝑛 adalah
2 silang kejadian di lokasi ke-i dan ke-j (Suhartono
banyak pengamatan dan 𝑛𝑝 adalah jumlah dan Subanar, 2006).
parameter (Gujarati, 2003). Selanjutnya, penentuan bobot lokasi dapat
dilakukan dengan normalisasi silang dari besaran
Transformasi Box Cox korelasi silang antar lokasi pada waktu yang
Transformasi Box Cox adalah transformasi bersesuaian. Proses ini secara umum
pangkat pada respon. Box Cox menghasilkan bobot lokasi sebagai berikut :
mempertimbangkan kelas transformasi 𝑟 𝑖𝑗 𝑘
𝑊𝑖𝑗 (𝑘) = ,𝑖 ≠ 𝑗, 𝑘 = 1, … , 𝑝 (8)
berparameter tunggal yaitu 𝜆 yang dipangkatkan 𝐾 ≠𝑖 𝑟 𝑖𝐾 𝑘
pada variabel respon Zt, sehingga transformasinya Bobot-bobot lokasi dengan menggunakan
menjadi 𝑍𝑡𝜆 . 𝜆 adalah parameter yang perlu normalisasi dari korelasi silang antar lokasi pada
diduga. lag waktu yang bersesuaian ini memungkinkan
Cryer dan Kung-Sik (2008), mendefinisikan adanya kemungkinan hubungan antar lokasi.
Transformasi Box Cox sebagai berikut: Bobot ini juga memberikan fleksibilitas pada
𝑍𝑡 𝜆 −1 besar dan tanda hubungan antar lokasi yang bisa
𝑍𝑡 (𝜆) = ; 𝑢𝑛𝑡𝑢𝑘 𝜆 ≠ 0
𝑇 𝑍𝑡 = 𝜆 (5) berlainan yaitu positif dan negatif (Wutsqa,
log 𝑍𝑡 ; 𝑢𝑛𝑡𝑢𝑘 𝜆 = 0 Suhartono dan Sutijo, 2012).
di mana λ merupakan parameter transformasi.
Pendugaan Parameter Model GSTAR
Pemilihan Orde Model GSTAR Pendugaan parameter model GSTAR
Menurut Wutsqa, Suhartono dan Sutijo dilakukan pada bobot lokasi dengan
(2012), pemilihan orde spasial model GSTAR menggunakan Metode Kuadrat Terkecil dilakukan
pada umumnya dibatasi pada orde 1, karena orde dengan meminimumkan jumlah kuadrat error nya
yang lebih tinggi akan sulit untuk (Borovkova, Lopuhaa dan Ruchjana, 2008).
diinterpretasikan. Sedangkan untuk orde waktu 𝒀𝑖 = 𝑿𝑖 𝛃𝑖 + 𝒆𝑖 (9)
(autoregressive) dapat ditentukan dengan melihat dengan 𝑌𝑖 (𝑡) merupakan banyaknya pengamatan
plot PACF yang terputus setelah lag ke-p dan ke-t (t = 0,1,…,T) untuk lokasi ke-i (i = 1,2,…,N),
dapat kita tentukan ordenya dari nilai akaike dan 𝛃𝑖 = (𝜙101 , 𝜙111 ). Jika diketahui 𝑉𝑖 𝑡 =
information criterian (AIC) yang terkecil. 𝑁
𝑗 ≠𝑖 𝑊𝑖𝑗 𝑍𝑗 𝑡 maka persamaan (9) dapat
Perhitungan AIC sebagaimana menurut Akaike
dijabarkan dalam bentuk matriks sebagai berikut :
(1974) dalam Lutkephol (2005) yaitu : 𝑍𝑖 1 𝑍𝑖 0 𝑉𝑖 0 𝑒𝑖 1
2𝐾 2 𝑍𝑖 2 𝑍𝑖 1 𝑉𝑖 1 𝜙101 𝑒𝑖 2
𝐴𝐼𝐶 𝑝 = In ~𝑢 (𝑝) + (6) 𝑌𝑖 =
⋮
, 𝑋𝑖 =
⋮ ⋮
,𝛽 = , 𝑒𝑖 =
⋮
𝑇 𝜙111
~ −1 𝑇 ′
𝑢 𝑝 = 𝑇 𝑡=1 𝑢𝑡 𝑢𝑡 adalah
di mana 𝑍𝑖 𝑇 𝑍𝑖 𝑇 − 1 𝑉𝑖 𝑇 − 1 𝑒𝑖 𝑇
matriks taksiran kovarian residual dari model Estimasi dengan metode least square
vector autoregressive (p), T merupakan jumlah sebagai berikut :
residual dan K merupakan jumlah variabel. 𝜷 = [𝑿′ 𝑿]−𝟏 𝑿′ 𝒀 (10)
Jika didapatkan lag dalam model yang besar
maka dipertimbangkan dengan menggunakan Pemeriksaan Diagnostik Model GSTAR
principle of parsimony. Principle of parsimony Pemeriksaan diagnostik dilakukan untuk
sendiri merupakan suatu prinsip yang menyatakan melihat kelayakan model. Yang termasuk di
bahwa semakin sederhana sebuah model statistik dalam tahapan pemeriksaan diagnostik ini antara
dengan jumlah variabel dependen (yang lain adalah pengujian signifikansi parameter
dipengaruhi) cukup informatif untuk menjelaskan model dan pengujian kesesuaian model, di mana
model, semakin baik pula model statistik tersebut. untuk pengujian kesesuaian model ada suatu
asumsi dasar yang harus dipenuhi yaitu residual kenormalan ini adalah uji Kolmogorov-Smirnov.
bersifat white noise dan berdistribusi normal Uji Kolmogorov-Smirnov adalah suatu tes
(Wei, 1990). goodness of fit, artinya yang diperhatikan adalah
tingkat kesesuaian antara distribusi serangkaian
Uji Signifikansi Parameter data observasi dengan suatu distribusi teoristis
Uji signifikansi parameter dimana 𝜃 adalah tertentu.
nilai taksiran dari parameter tersebut, serta 𝑆𝐸(𝜃 ) Tahapan dalam pengujian kenormalan
adalah standar error dari nilai taksiran 𝜃, maka residual adalah sebagai berikut :
dapat dilakukan dengan tahapan sebagai berikut : Hipotesis
Hipotesis 𝐻0 ∶ 𝜀𝑖 ~𝑁 0, 𝜎 2 , 𝑖 = 1,2, … , 𝑛
𝐻0 : 𝜃 = 0 (Residual berdistribusi normal)
(parameter model tidak signifikan) 𝐻1 ∶ 𝜀𝑖 ≁ 𝑁 0, 𝜎 2 , 𝑖 = 1,2, … , 𝑛
𝐻1 : 𝜃 ≠ 0 (Residual tidak berdistribusi normal)
(parameter model signifikan) Statistik uji
D = maksimum 𝐹0 𝑋 − 𝑆𝑛 (𝑋) (13)
Statistik Uji di mana :
𝜃 𝐹0 𝑋 = distribusi frekuensi kumulatif teoritis
𝑡𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 = (11) 𝑆𝑛 (𝑋) = distribusi frekuensi kumulatif yang
𝑆𝐸(𝜃 )
Daerah Penolakan diobservasi
Tolak 𝐻0 jika 𝑡𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 > 𝑡(𝛼 ;𝑑𝑓 =𝑛−𝑛 𝑝 ) , Daerah Penolakan
2
Menolak 𝐻0 jika 𝐷 > 𝐷(𝛼;𝑛) atau 𝐻0 ditolak
dimana 𝑛 adalah banyaknya pengamatan dan
𝑛𝑝 adalah jumlah parameter atau dengan apabila p-value < 𝛼.
(Siegel, 1988)
menggunakan p-value, yakni tolak 𝐻0 jika p-
value < α.
Hasil dan Pembahasan
(Aswi dan Sukarna, 2006)
Data yang akan digunakan dalam penelitian
ini adalah data inflasi bulanan di Kota Samarinda
Uji Kesesuaian Model
dan Kota Balikpapan pada bulan Januari 2012
Menurut Wei (1990) ada dua asumsi dasar
sampai dengan bulan Mei 2017.
yang harus dipenuhi dalam uji kesesuaian model
yaitu residual model bersifat white noise dan
berdistribusi normal. Asumsi residual yang
pertama yaitu bersifat white noise model dapat
ditulis sebagai berikut.
Hipotesis
𝐻0 ∶ 𝜌1 = 𝜌2 = ⋯ = 𝜌𝑝 = 0, 𝑘 = 1,2, … , 𝑝
Tidak terdapat autokorelasi antar residual Gambar 1. Inflasi Kota Samarinda dan Kota
(residual memenuhi syarat white noise) Balikpapan bulan Januari 2012 – Mei 2017
𝐻1 : Minimal ada satu 𝜌𝑘 ≠ 0
Terdapat autokorelasi antar residual Pada Gambar 1. data inflasi Kota Samarinda
(residual tidak memenuhi syarat white dan Kota Balikpapan bulan Januari 2012 – Mei
noise) 2017 mengalami kenaikan dan penurunan harga
Statistik uji, yaitu statistik uji Ljung-Box : yang tidak jauh berbeda, terlihat dari letak titik
𝑝 𝜌 𝑘2 data masing-masing kota di tiap bulannya yang
𝑄 ∗ = 𝑛(𝑛 + 2) 𝑘=1 (𝑛−𝑘) (12) cukup berdekatan. Inflasi Kota Samarinda
di mana, 𝑘 = lag 1,2,…, p tertinggi pada bulan ke-19 yaitu bulan Juli tahun
𝑛 = jumlah residual 2013 sebesar 4,1 % dan terendah pada bulan ke-
𝜌𝑘 = autokorelasi residual 21 yaitu bulan September tahun 2013 sebesar -
Daerah Penolakan 0,67 %. Sedangkan inflasi Kota Balikpapan
2
Menolak 𝐻0 jika 𝑄 ∗ > 𝜒(𝛼 ;𝑑𝑓 =𝑘−𝑚 ) , s berarti
tertinggi pada bulan ke-19 yaitu bulan Juli tahun
pada lag s dan m adalah jumlah parameter 2013 sebesar 3,75 % dan terendah pada bulan ke-
yang ditaksir dalam model atau dengan 21 yaitu bulan September tahun 2013 sebesar -
menggunakan p-value, yakni menolak 𝐻0 jika 1,33 %.
p-value < 𝛼.
(Aswi dan Sukarna, 2006) Kestasioneran Data
Asumsi yang kedua yaitu, uji asumsi Untuk melihat stasioner dalam variansi
residual berdistribusi normal ini bertujuan untuk menggunakan Box-Cox plot, sedangkan untuk
mengetahui apakah data telah memenuhi asumsi stasioner dalam rata-rata menggunakan uji
kenormalan atau belum. Salah satu cara yang Augmented Dickey Fuller (ADF).
dapat ditempuh untuk melakukan uji asumsi
Kota Samarinda
Pada Gambar 2, setelah data awal Pada Gambar 5. terlihat bahwa data yang
telah ditransformasi menunjukkan fluktuasi data
ditransformasi dengan 𝑍1 −0,42 dan diperoleh nilai
yang berada di sekitar nilai rata-rata yang konstan.
𝜆 berada di sekitaran nilai 1. Hal ini
Sehingga dapat dikatakan data inflasi Kota
menunjukkan bahwa data sudah stasioner dalam
Balikpapan bulan Januari 2012 - Mei 2017 yang
variansi. Selanjutnya membuat time series plot
telah ditransformasi sudah stasioner dalam rata-
data yang telah ditransformasi sebagai berikut :
rata. Stasioneritas data dalam rata-rata pada
penelitian ini dapat juga dilihat dengan
menggunakan uji Augmented Dickey Fuller
(ADF).
Didapatkan nilai 𝜏 = 7,12 < 𝑡(0,025 ;64)=
1,99, maka diputuskan menolak H 0 dan
disimpulkan bahwa data inflasi Kota Balikpapan
Gambar 3. Time Series Plot data transformasi bulan Januari 2012 - Mei 2017 sudah stasioner
inflasi Kota Samarinda bulan Januari 2012 – dalam rata-rata.
Mei 2017
Pemilihan Orde Model GSTAR
Pada Gambar 3. terlihat bahwa data yang Orde yang akan ditentukan dalam
telah ditransformasi menunjukkan fluktuasi data pemodelan ini adalah orde spasial dan orde waktu.
yang berada di sekitar nilai rata-rata yang konstan. Orde spasial pada umumnya terbatas pada orde 1,
Sehingga dapat dikatakan data inflasi Kota karena untuk orde yang lebih tinggi akan sulit
Samarinda bulan Januari 2012 - Mei 2017 yang untuk diinterpretasikan. Sedangkan untuk orde
telah ditransformasi sudah stasioner dalam rata- waktu (autoregressive) dapat ditentukan dengan
rata. Stasioneritas data dalam rata-rata pada melihat nilai AIC terkecil pada lag PACF yang
penelitian ini dapat juga dilihat dengan cut off , sebagai berikut :
menggunakan uji Augmented Dickey Fuller
(ADF).
Didapatkan nilai 𝜏 = 7,35 < 𝑡(0,025 ;64) =
1,99, maka diputuskan menolak H 0 dan
disimpulkan bahwa data inflasi Kota Samarinda
bulan Januari 2012 - Mei 2017 sudah stasioner
dalam rata-rata.
Kota Balikpapan
Berdasarkan prinsip parsimony grafik PACF GSTAR pada Kota Samarinda dan Kota
pada Gambar 6. yang terlihat bahwa nilai PACF Balikpapan terdapat pada Tabel 4, Tabel 5 dan
cut off pada lag 2,3, dan 4. Hal ini merujuk pada Tabel 6.
model AR(2), AR(3), dan AR(4), sehingga
Tabel 3. Hasil Estimasi Parameter Model GSTAR
kombinasi model GSTAR yang memungkinkan
pada peramalan inflasi Kota Samarinda dan Kota Notasi Nilai Notasi Nilai
Balikpapan adalah GSTAR (2,1), GSTAR (3,1), Parameter Taksiran Parameter Taksiran
(1) (2)
dan GSTAR (4,1). 𝜙10 0,5871 𝜙10 0,4189
GSTAR
(1) (2)
Tabel 1. Nilai AIC (2,1) 𝜙11 -0,1133 𝜙11 -0,3757
(1) (2)
𝜙20 -0,0546 𝜙20 -0,1112
Orde Nilai AIC (1) (2)
𝜙21 0,1483 𝜙21 0,8597
AR (2) 56,88
(1) (2)
AR (3) 52,31 𝜙10 0,5371 𝜙10 0,3302
(1) (2)
AR (4) 46,27 𝜙11 -0,1350 𝜙11 -0,5833
(1) (2)
GSTAR 𝜙20 0,0257 𝜙20 -0,1077
Pada Tabel 1. diketahui bahwa nilai AIC (3,1) (1) (2)
terkecil berada pada orde keempat yaitu sebesar 𝜙21 0,1477 𝜙21 0,5344
(1) (2)
46,27. Namun karena pertimbangan lag yang 𝜙30 -0,1374 𝜙30 -0,1578
(1) (2)
cukup besar maka akan tetap dilakukan pengujian 𝜙31 0,0377 𝜙31 0,5591
untuk GSTAR (3,1) dan GSTAR (2,1). (1)
𝜙10 0,4722 (2)
𝜙10 0,2973
(1) (2)
𝜙11 -0,1652 𝜙11 -0,6536
Perhitungan Bobot Lokasi Model GSTAR (1) (2)
Pemodelan dengan menggunakan bobot 𝜙20 -0,0557 𝜙20 -0,1338
(1) (2)
normalisasi korelasi silang mempunyai asumsi GSTAR 𝜙21 0,1806 𝜙21 0,7349
(4,1) (1) (2)
bahwa keterikatan inflasi antara lokasi 𝜙30 -0,0509 𝜙30 -0,1135
dipengaruhi oleh tinggi rendahnya korelasi antara (1)
𝜙31 0,0425 (2)
𝜙31 0,6551
inflasi di lokasi satu dengan inflasi di lokasi (1) (2)
𝜙40 -0,2200 𝜙40 -0,2194
lainnya. Perhitungan bobot normalisasi korelasi (1) (2)
silang diperoleh melalui normalisasi dari nilai- 𝜙41 0,0871 𝜙41 0,0477
nilai korelasi antara lokasi pada lag yang
bersesuaian. Tabel 4. Nilai Uji Signifikansi Parameter Model
GSTAR (2,1)
Tabel 2. Nilai Korelasi Silang antar Lokasi
Nilai Standar
Notasi Nilai Notasi Nilai Variabel Parameter thitung
Taksiran Error
Korelasi Korelasi Korelasi Korelasi (1)
𝜙10 0,5871 0,0938 6,2577
Silang Silang Silang Silang (1)
𝑟12 (1) -0,1758 𝑟21 (1) -0,1977 𝜙11 -0,1133 0,1298 -0,8734
Z1* (1)
𝑟12 (2) 0,4017 𝑟21 (2) 0,2553 𝜙20 -0,0546 0,0945 -0,5775
𝑟12 (3) 0,2747 𝑟21 (3) 0,4549 (1)
𝜙21 0,1483 0,1307 1,1342
𝑟12 (4) 0,1944 𝑟21 (4) 0,1711 (2)
𝜙10 0,4189 0,1690 2,4786
Dari nilai korelasi silang tersebut didapatkan (2)
𝜙11 -0,3757 0,6041 -0,6218
bobot korelasi silang sebagai berikut : Z2* (2)
𝜙20 -0,1112 0,1713 -0,6491
(1) 0 −1 (2) 0 1
𝑾𝑖𝑗 = 𝑾𝑖𝑗 = (2)
𝜙21 0,8597 0,6065 1,1342
−1 0 1 0
(3) 0 1 (4) 0 1
𝑾𝑖𝑗 = 𝑾𝑖𝑗 =
1 0 1 0 dengan daerah penolakan menolak 𝐻0 jika
𝑡 > 𝑡0,025 ;63 = 1,99.
Estimasi Parameter Model GSTAR
Estimasi parameter model GSTAR Tabel 5. Nilai Uji Signifikansi Parameter Model
dilakukan pada bobot lokasi dengan GSTAR (3,1)
menggunakan metode kuadrat terkecil dengan
cara meminimumkan jumlah kuadrat Nilai Standar
Variabel Parameter thitung
simpangannya. Dengan rumus untuk mencari Taksiran Error
(1)
estimasi parameter kuadrat terkecil dengan 𝜙10 0,5371 0,0915 5,8674
(1)
menggunakan persamaan 𝛃 = (𝐗′𝐗)−1 . Hasil 𝜙11 -0,1350 0,1282 -1,0532
Z1* (1)
estimasi parameter terdapat pada Tabel 3. 𝜙10 0,5371 0,0915 5,8674
(1)
Uji Signifikansi Parameter 𝜙20 0,0257 0,0923 0,2791
Untuk mengetahui model terbaik, maka
perlu dilakukan pengujian signifikansi parameter.
Pengujian signifikansi parameter untuk model
Tabel 5. Nilai Uji Signifikansi Parameter Model Tabel 7. Hasil Seleksi Uji Signifikansi Parameter
GSTAR (3,1) (Lanjutan) Model GSTAR
Nilai Standar Para Nilai Standar
Variabel Parameter thitung Variabel thitung
Taksiran Error meter Taksiran Error
(1) GSTAR
𝜙21 0,1477 0,1291 1,1440 (1)
𝜙10 0,9852 0,1275 7,7261
* (1) * (2,1)
Z1 𝜙30 -0,1374 0,0930 -1,4763 Z1
GSTAR (1)
(1)
𝜙31 0,0377 0,1300 0,2899 (3,1) 𝜙10 0,9852 0,1275 7,7261
(2) (1)
𝜙10 0,3302 0,1600 2,0640 GSTAR 𝜙10 0,8909 0,1285 6,9301
(2) Z1* (1)
𝜙11 -0,5833 0,5878 -0,9924 (4,1) 𝜙40 0,0551 0,0865 0,6374
(2) GSTAR
𝜙20 -0,1077 0,1622 -0,6644 (2)
𝜙10 0,9522 0,1703 5,5901
Z2* (2) (2,1)
𝜙21 0,5344 0,5901 0,9056 Z2*
(2)
GSTAR (2)
𝜙30 -0,1578 0,1643 -0,9606 (3,1) 𝜙10 0,9522 0,1612 5,5901
(2)
𝜙31 0,5591 0,5925 0,9435
Dengan demikian model GSTAR untuk data
dengan daerah penolakan menolak 𝐻0 jika inflasi Kota Samarinda dan Kota Balikpapan
𝑡 > 𝑡0,025 ;62 = 1,99. adalah sebagai berikut :
GSTAR (2,1)
Tabel 6. Nilai Uji Signifikansi Parameter Model
GSTAR (4,1) untuk i = 1 yaitu Kota Samarinda
𝑍1 ∗ 𝑡 = 𝜙101 𝑍1 ∗ 𝑡 − 1 +𝑒1 (𝑡)
Nilai Standar
Variabel Parameter
Taksiran Error
thitung = 0,9852 𝑍1 ∗ 𝑡 − 1 +𝑒1 (𝑡)
(1) untuk i = 2 yaitu Kota Balikpapan
𝜙10 0,4722 0,0843 5,5963 (2)
(1) - 𝑍2 ∗ 𝑡 = 𝜙10 𝑍2 ∗ 𝑡 − 1 + 𝑒2 (𝑡)
𝜙11 -0,1652 0,1231
1,3422 = 0,9522 𝑍2 ∗ 𝑡 − 1 + 𝑒2 (𝑡)
(1)
𝜙20 -0,0557 0,0857 0,6497 GSTAR (3,1)
(1)
𝜙21 0,1806 0,1240 1,4571
Z1* untuk i = 1 yaitu Kota Samarinda
(1) - (1)
𝜙30 -0,0509 0,0857
0,5941 𝑍1 ∗ 𝑡 = 𝜙10 𝑍1 ∗ 𝑡 − 1 +𝑒1 (𝑡)
(1)
𝜙31 0,0425 0,1245 0,3416 = 0,9852 𝑍1 ∗ 𝑡 − 1 +𝑒1 (𝑡)
(1) - untuk i = 2 yaitu Kota Balikpapan
𝜙40 -0,2200 0,0865 (2)
2,5438 𝑍2 ∗ 𝑡 = 𝜙10 𝑍2 ∗ 𝑡 − 1 + 𝑒2 (𝑡)
(1)
𝜙41 0,0871 0,1262 0,6905 = 0,9522 𝑍2 ∗ 𝑡 − 1 + 𝑒2 (𝑡)
(2)
𝜙10 0,2973 0,1555 1,9121
Model tersebut menunjukkan bahwa pada
(2) - inflasi Kota Samarinda data inflasi dipengaruhi
𝜙11 -0,6536 0,5772
1,1322
oleh data satu lag sebelumnya, sedangkan tidak
(2) -
𝜙20 -0,1338 0,15762
0,8489
ada data lag sebelumnya yang mempengaruhi
(2) hubungannya dengan inflasi Kota Balikpapan.
𝜙21 0,7349 0,5796 1,2680
Z2* Begitu pula pada inflasi Kota Balikpapan data
(2) -
𝜙30 -0,1135 0,1597 inflasi dipengaruhi oleh data satu lag sebelumnya,
0,7107
(2) sedangkan tidak ada data lag sebelumnya yang
𝜙31 0,6551 0,5819 1,1256
mempengaruhi hubungannya dengan inflasi Kota
(2) - Samarinda.
𝜙40 -0,2194 0,1627
1,3482
(2)
𝜙41 0,0477 0,5847 0,0816 Uji Kesesuaian Model
Setelah model yang signifikan didapat maka
dengan daerah penolakan menolak 𝐻0 jika dilanjutkan uji kesesuaian model pada data
𝑡 > 𝑡0,025 ;61 = 1,99. residual model GSTAR (2,1) dan model GSTAR
Hasil seleksi parameter untuk menghasilkan (3,1) masing-masing terdapat pada Tabel 8 dan
model terbaik dan memenuhi uji signifikansi Tabel 9.
parameter terdapat pada Tabel 7. Berdasarkan Berdasarkan Tabel 8. dan 9. model GSTAR
Tabel 7. didapatkan model pada masing masing (2,1) dan GSTAR (3,1) terlihat bahwa untuk
lokasi, hanya saja untuk model GSTAR (4,1) pada variabel Z1*dan Z2* pada model GSTAR (2,1) dan
lokasi Kota Balikpapan tidak terdapat parameter GSTAR (3,1) terdapat nilai p-value < 𝛼 (0,05)
yang signifikan sehingga GSTAR (4,1) maka diputuskan menolak 𝐻0 . Dengan taraf
ditiadakan. kepercayaan 95% maka disimpulkan bahwa
residual variabel Z1*dan Z2* pada model GSTAR