Anda di halaman 1dari 29

LAPORAN KASUS BESAR

SEORANG WANITA 23 TAHUN DENGA MATA KANAN KIRI


MIOPIA RINGAN

Diajukan Guna Memenuhi Tugas Kepaniteraan Senior

Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro

Penguji kasus : dr. Arnila Novitasari S, Sp. M

Pembimbing : dr. Mochammad Taufik Mahar

Dibacakan oleh : Aidillah Mayuda/22010113120368

Dibacakan tanggal : 21 Juni 2018

BAGIAN ILMU KESEHATAN MATA

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS DIPONEGORO

SEMARANG

2018
HALAMAN PENGESAHAN

Melaporkan kasus : Seorang Wanita 23 Tahun dengan Mata kanan Kiri Miopia
Ringan

Penguji kasus : dr. Arnila Novitasari S, Sp. M

Pembimbing : dr. Mochammmad Taufik Mahar

Dibacakan oleh : Aidillah Mayuda/22010113120368

Dibacakan tanggal : 21 Juni 2018

Diajukan guna memenuhi tugas kepaniteraan senior di bagian Ilmu Kesehatan


Mata Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro.

Semarang, 21 Juni 2018

Mengetahui,

Penguji Kasus, Pembimbing,

dr. Arnila Novitasari S, Sp. M dr. Mochammad Taufik Mahar


LAPORAN KASUS

Seorang Wanita 23 Tahun dengan Mata Kanan Kiri Miopia Ringan

Penguji kasus : dr. Arnila Novitasari S, Sp. M


Pembimbing : dr. Mochammad Taufik Mahar
Dibacakan oleh : Aidillah Mayuda/22010113120368
Dibacakan tanggal : 21 Juni 2018

1. Pendahuluan

Kelainan refraksi merupakan salah satu penyebab kebutaan dan hambatan


penglihatan saat beraktivitas. Prevalensi kelainan refraksi di di dunia
diperkirakan mencapai 34,78%. Data VISION 2020 yaitu suatu program
kerjasama antara International Agency for the Prevention of Blindness (IAPB)
dan World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa pada tahun 2006
diperoleh 153 juta penduduk dunia mengalami gangguan visus akibat kelainan
refraksi yang tidak dikoreksi. 1

Kelainan refraksi dikenal dalam bentuk miopia, hipermetropia dan


astigmatisma. Diantara kelainan refraksi tersebut yang paling sering dijumpai
adalah miopia. Kejadian miopia yang terus meningkat dalam 50 tahun
terakhir diperkirakan sudah mengenai 1,6 miliar penduduk di seluruh dunia.
Institute of Eye Research memperkirakan pada tahun 2020 jumlah penderita
miopia akan mencapai 2,5 miliar penduduk. WHO telah menetapkan miopia
sebagai salah satu prioritas utama untuk mengendalikan dan mencegah
kebutaan didunia pada tahun 2020 karena miopia menjadi penyebab utama
kebutaan. Data WHO menunjukkan bahwa 10% dari 66 juta anak usia sekolah
menderita miopia. Prevalensi miopia pada tahun 2002 sebesar 70-90% di
beberapa negara di Asia, 30-40% di Eropa dan Amerika Serikat, serta 10-20%
di Afrika. 1,2
Kelainan refraksi di Indonesia mencapai 22,1 % yang diantaranya dialami
oleh anak usia sekolah sebanyak 10%. Laporan Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas) 2013 menunjukkan prevalensi koreksi refraksi di Indonesia
sebesar 4,6%. Prevalensi miopia di Indonesia berdasarkan penelitian pada
tahun 2002 adalah sebesar 26,1%.

Faktor genetik dan faktor lingkungan merupakan faktor risiko yang


memegang peranan penting pada terjadinya kelainan refraksi. Faktor genetik
dapat menurunkan sifatkelainan refraksi ke keturunannya, baik secara
autosomaldominan maupun autosomal resesif. Anak denganorang tua yang
mengalami kelainan refraksi cenderung mengalami kelainan refraksi.
Prevalensi miopia pada anak dengan kedua orang tuanya miopia adalah 32,9 %
danberkurang sampai 18,2% pada anak dengan hanya salah satu orang tuanya
yang mengalami miopia, dan kurang dari 8,3% pada anak dengan orang tua
tanpa miopia.3

2. Identitas Penderita

Nama : Nn. A

Umur : 23 tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

No. CM : 685994 (Pasien Poli Mata RS William Booth)

Agama : Islam

Alamat : Semarang

Pekerjaan : Mahasiswa

3. Anamnesis

Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis dengan pasien pada tanggal 2


Juni 2018 pukul 10.00 WIB di Poliklinik Mata RS William Booth.

Keluhan Utama: Penglihatan kedua mata mulai kabur saat melihat jauh

Riwayat Penyakit Sekarang:


±9 bulan SMRS, pasien mulai mengeluh penglihatan kedua mata kabur
saat melihat tulisan jauh yang hurufnya kecil. Pasien masih dapat membaca
dalam jarak dekat. Keluhan mata merah (-), mata gatal (-), nyeri (-), mata
nerocos (-), silau (-), melihat kabut (-), melihat kilatan cahaya (-), penglihatan
seperti ditutup tirai (-), melihat pelangi (-). Pasien sering melakukan aktivitas
menonton tv dengan jarak dekat dan membaca dengan cahaya redup. Pasien
juga sering menggunakan Handphone dan laptop dalam waktu yang lama.

±1 minggu SMRS pasien merasa semakin tidak nyaman ketika melihat


tulisan kecil pada jarak yang jauh. Pasien juga mengeluh melihat jauh semakin
kabur saat mengendarai motor pada malam hari. Keluhan mata merah (-), mata
gatal (-), nyeri (-), mata nerocos (-), silau (-), melihat kabut (-), melihat kilatan
cahaya (-), penglihatan seperti ditutup tirai (-), melihat pelangi (-). Karena
aktivitas pasien terganggu, pasien kemudian memeriksakan diri ke RS Wiliam
Booth.

Riwayat Penyakit Dahulu

• Riwayat trauma pada mata sebelumnya disangkal


• Riwayat pemakaian kacamata disangkal
• Riwayat hipertensi disangkal
• Riwayat diabetes disangkal
• Riwayat operasi disangkal

Riwayat penyakit keluarga

Tidak Ada keluarga pasien yang menggunakan kacamata.

Riwayat Sosial Ekonomi

Pasien merupakan anak kedua dari tiga bersaudara. Pasien merupakan


seorang mahasiswa dan tinggal Semarang. Biaya pengobatan ditanggung BPJS
(Kesan ekonomi cukup)
4. Pemeriksaan

Pemeriksaan Fisik (2 Juni 2018 pukul 10.15 WIB di Poliklinik Mata RS


William Booth)

Status Praesens

Keadaan umum : Baik

Kesadaaran : Compos Mentis, GCS 15

Tanda vital : TD :110/70 mmHg RR : 18x/menit

Nadi : 80x/menit Suhu : 36,6 oC

Pemeriksaan Fisik: Kepala : Mesosefal

Thorax : Tidak ada kelainan

Abdomen : Tidak ada kelainan

Ekstremitas : Tidak ada kelainan

Gambar Klinis
Status Oftalmologis

Oculus Dexter Oculus Sinister

6/7,5 Visus dasar 6/7,5

S- 0,5D 6/6 Visus Koreksi S- 0,5D 6/6

Bebas ke segala arah Gerak bola mata Bebas ke segala arah

Tidak ada kelainan Supercilia Tidak ada kelainan

Tidak ada kelainan Cilia Tidak ada kealainan

Edema (-), spasme (-) Palpebra Edema (-), spasme (-)

Hiperemis (-), Konjungtiva Hiperemis (-),


palpebra
sekret (-), edema (-) sekret (-), edema (-)

Hiperemis (-), Konjungtiva Hiperemis (-),


forniks
sekret (-) sekret (-)

Sekret (-), Konjungtiva Sekret (-),


bulbi
injeksi konjungtiva(-), injeksi injeksi konjungtiva(-), injeksi
siliar (-) siliar (-)

Tak ada kelainan Sklera Tak ada kelainan

Jernih Kornea Jernih

Kedalaman cukup, jernih, Kamera okuli Kedalaman cukup, jernih,


anterior
Tindal Efek (-) Tindal Efek (-)

Kripte (+), sinekia anterior (-), Iris Kripte (+), sinekia anterior (-),
sinekia posterior (-), atrofi iris sinekia posterior (-),atrofi iris
(-) (-)

Bulat, sentral regular Pupil Bulat, sentral regular,

d= 3mm,reflek pupil (+)N d= 3 mm,reflek pupil (+)N

Jernih Lensa Jernih

(+) cemerlang Fundus refleks (+) cemerlang

T (digital) normal Tensio okuli T (digital) normal

Pemeriksaan Binokularitas : - Duke Elder test (-)

- Alternating Cover Test  visus balance (+)

- Distorsi (-)

5. Resume

Pasien umur usia 20 tahun mengeluh pandangan mata kanan dan kiri mulai
kabur ketika melihat tulisan kecil pada jarak yang jauh. Tidak memiliki riwayat
pemakaian kacamata sebelumnya. Riwayat keluarga dengan penggunaan
kacamata disangkal, riwayat penyakit kronis keluarga (diabetes, hipertensi)
disangkal, pemakaian obat obatan disangkal, riwayat trauma disangkal, riwayat
operasi disangkal. Hasil pemeriksaan : Palpebra superior dan inferior dalam
batas normal, konjungtiva sekret (-) hiperemis (-) hiperlakrimasi (-), kornea
sekret (-) ulkus(-) sikatrik (-) permukaan rata, COA jernih, lensa jernih, tidak
ada keluhan gatal, infeksi, kemerahan sebelumnya.

Pemeriksaan fisik : Status presens dalam batas normal


Status oftalmologis :
Oculus Dexter Oculus Sinister

6/7,5 Visus dasar 6/7,55/6

S- 0,5 D 6/6 Visus Koreksi S- 0,5 D 6/6

Pemeriksaan binokuler Visus Dexter Visus Sinister

Alternating Cover Test Visus balance (+)

Distorsion -

Duke Elder Test -

6. Diagnosis

Diagnosis Kerja: Mata kanan dan Mata Kiri Miopia Ringan

7. Penatalaksanaan Resep kacamata sesuai dengan koreksi

RS WILLIAM BOOTH RESEP KACA MATA


Jl.Letnan S.Parman 5
Telp.8411800
Semarang
Untuk Jauh
Kanan Kiri

180˚ 0˚ 180˚ 0˚

Sph Cylinder Prisma Sph Cylinder Prisma

D D as gr bas D D As gr bas

S -0,25 S -0,25

Jarak pupil ( Untuk jauh 63 mm)

Pro : Nn. A (Untuk dekat 61 mm)

Tanggal : 2 Juni 2018 Dokter

(………………………………………)
8. Prognosis

OD OS
Quo ad visam ad bonam ad bonam
Quo ad sanam Dubia ad bonam Dubia ad bonam
Quo ad vitam Ad bonam
Quo ad cosmeticam Ad bonam

9. Usul

Kontrol pemeriksaan visus setiap 6 bulan sekali

10. Edukasi

1. Menjelaskan pada pasien bahwa pasien menderita rabun jauh dan dapat
diatasi dengan menggunakan kacamata.
2. Menjelaskan tentang pentingnya memakai kacamata secara teratur dan
menjelaskan tentang komplikasi yang akan terjadi bila tidak memakai
kacamata.
3. Menjelaskan untuk tidak membaca dan menonton tv dengan jarak terlalu
dekat, terlalu lama dan menganjurkan bila melakukan aktivitas menonton
tv, menggunakan laptop dan handphone dan kegiatan yang memerlukan
penglihatan jarak dekat dalam waktu lama sebaiknya berisitirahat tiap 20
menit selama 20 detik.
4. Menjelaskan tidak boleh membaca sambil tiduran, tidak boleh membaca
ditempat remang-remang/cahaya kurang.
5. Menjelaskan kepada pasien untuk kontrol pemeriksaan mata minimal
setiap 6 bulan sekali.
11. Diskusi

A. Kelainan Refraksi
Ametropia adalah keadaan di mana pembiasan mata dengan
panjang bola mata yang tidak seimbang. Ametropia dapat disebabkan
kelengkungan kornea atau lensa yang tidak normal (ametropia kurvatur)
atau indeks bias abnormal di dalam mata (ametropia indeks). Ametropia
dapat ditemukan dalam bentuk kelainan miopia, hipermetropia,
presbiopia dan astigmatisma.4
Bentuk-bentuk ametropia:
1. Ametropia aksial
Ametropia yang terjadi akibat sumbu optik bola mata lebih
panjang atau lebih pendek sehingga bayangan benda difokuskan di
depan atau di belakang retina. Pada miopia aksial fokus akan terletak
di depan retina karena bola mata lebih panjang dan pada
hipermetropia aksial fokus bayangan terletak di belakang retina.
2. Ametropia refraktif
Ametropia akibat kelainan sistem pembiasan sinar di dalam
mata. Bila daya bias kuat, maka bayangan benda terletak di depan
retina (miopia) atau bila daya bias kurang maka bayangan benda
akan terletak di belakang retina (hipermetropia refraktif).
3. Ametropia kurvatura
Ametropia yang terjadi karena kecembungan kornea atau lensa
yang tidak normal. Pada miopia kurvatura kornea bertambah
kelengkungannya seperti pada keratokonus. Sedangkan pada
hipermetropia kurvatura lensa dan kornea lebih kecil dari kondisi
normal.
Terdapat tiga tipe kelainan refraksi yaitu:
a. Miopia
b. Hipermetropia
c. Astigmatisma5
Kelainan refraksi adalah keadaan di mana bayangan tegas tidak
terbentuk pada retina (makula lutea). Pada kelainan refraksi terjadi
ketidakseimbangan sistem optik pada mata sehingga menghasilkan
bayangan yang kabur. Pada mata normal, media refrakta akan
membelokkan sinar pada titik fokus yang tepat pada sentral retina.
Keadaan ini memerlukan susunan kornea dan lensa yang sesuai dengan
panjang bola mata. Pada kelainan refraksi, sinar dibiaskan di depan atau
di belakang makula lutea.4
Kelainan refraksi bisa diketahui dengan melakukan pemeriksaan
tajam penglihatan atau visus.
Pemeriksaan visus dengan optotipe Snellen.
Tujuannya adalah melakukan pemeriksaan refraksi secara
subyektif. Pemeriksaan refraksi secara subyektif adalah suatu tindakan
untuk memperbaiki penglihatan seseorang dengan bantuan lensa yang
ditempatkan di depan bola mata.
Alat-alat yang digunakan:
- Optotipe Snellen
- Trial lens set

Gambar 1. Optotipe Snellen Gambar 2. Trial lens set

Gambar 3- Trial frame


Prosedur pemeriksaan terdiri dari dua langkah :

1. Langkah pertama : Pemeriksaan visus


2. Langkah kedua : Koreksi visus

1. Langkah Pertama
a. Pasien duduk dengan jarak 6 meter dari optotipe Snellen, salah satu
mata pasien ditutup kemudian disuruh membaca huruf terbesar
sampai huruf terkecil.
b. Bila huruf terbesar tidak terbaca maka pasien diperiksa dengan
hitung jari. Contoh : visus = 1/60 (artinya pasien hanya dapat
menghitung jari pada jarak 1 meter, yang oleh orang normal dapat
dilihat pada jarak 60 meter)
c. Bila hitung jari tidak bisa, maka pasien diperiksa dengan lambaian
tangan pada jarak 1 m. Pasien disuruh menyebutkan arah lambaian
tangan. Hasilnya visus = 1/300
d. Bila lambaian tangan tidak bisa maka pasien diperiksa dengan
menggunakan sinar, untuk membedakan gelap-terang dan arah
datangnya sinar. Hasilnya visus = 1/~ LP (light proyeksi) baik/buruk
e. Bila tidak bisa membedakan gelap dan terang, maka visus = 0.
Pastikan dengan reflek pupil direk dan indirek.
2. Langkah Kedua
 Koreksi visus dilakukan jika pasien dapat membaca huruf Snellen.
Pemeriksaan dilakukan dengan tehnik trial and error.
 Pasang trial frame. Koreksi dilakukan bergantian, dengan cara
menutup salah satu mata.
 Pasang lensa sferis positif. Setelah diberi lensa sferis positif visus
membaik, berarti hipermetropia.
 Koreksi dilanjutkan dengan cara menambah atau mengurangi lensa
sferis sampai didapatkan visus 6/6.
 Koreksi yang diberikan pada hipermetropia adalah koreksi lensa
sferis positif terbesar yang memberikan visus sebaik-baiknya.
 Jika diberi lensa sferis positif bertambah kabur, berarti miopia. Maka
lensa diganti dengan lensa sferis negatif.
 Koreksi dilanjutkan dengan cara menambah atau mengurangi lensa
sferis sampai didapatkan visus 6/6
 Koreksi yang diberikan pada miopia adalah koreksi lensa sferis
negatif terkecil yang memberikan visus sebaik-baiknya.
 Jika visus tidak bisa mencapai 6/6, maka dicoba dengan memakai
pinhole
 Bila visus membaik setelah diberi pinhole, berarti terdapat
astigmatisma maka dilanjutkan dengan koreksi astigmatisma.
1) Uji Pinhole (Lubang Kecil)
Uji ini bertujuan untuk mengetahui apakah tajam
penglihatan yang kurang terjadi akibat kelainan refraksi atau
kelainan organik media penglihatan. Penderita duduk menghadap
kartu Snellen dengan jarak 6 meter. Penderita disuruh melihat
huruf terkecil yang masih terlihat dengan jelas. Kemudian pada
mata tersebut ditaruh lempeng berlubang kecil (pinholeatau
lubang sebesar 0.75 mm). Bila terdapat perbaikan tajam
penglihatan dengan melihat melalui lubang kecil berarti terdapat
kelainan refraksi. Bila terjadi kemunduran tajam penglihatan
berarti terdapat gangguan pada media penglihatan. Mungkin saja
ini diakibatkan kekeruhan kornea, katarak, kekeruhan badan
kaca, dan kelainan makula lutea.
2) Uji Pengkabutan (Fogging Test)
Uji pemeriksaan astigmatisma dengan memakai prinsip
mengistirahatkan akomodasi dengan memakai lensa positif.
Dengan mata istirahat pasien disuruh melihat astigmatism dial
(juring astigmatisma). Bila garis vertikal yang terlihat jelas
berarti garis ini telah terproyeksi baik pada retina sehingga
diperlukan koreksi bidang vertikal dengan memakai lensa
silinder negatif dengan sumbu 180 derajat. Penambahan
kekuatan silinder diberikan sampai garis pada juring
astigmatisma.
 Setelah visus menjadi 6/6, kemudian dilakukan pemeriksaan
binokularitas :
1) Duke elder test
Pasien disuruh melihat optotipe snellen dengan menggunakan
lensa koreksi, kemudian ditaruh lensa sferis +0,25D pada kedua
mata. Jika pasien merasa kabur berarti lensa koreksi sudah tepat,
apabila menjadi jelas berarti pasien masih berakomondasi.
2) Alternating cover test
Dilakukan dengan cara menutup kedua mata secara bergantian.
Pasien membandingkan kedua mata mana yang paling jelas.
Pada mata miopia, mata yang paling jelas koreksinya dikurangi.
Pada mata hipermetropia, mata yang paling jelas koreksinya
ditambah.
3) Distortion test
Pasien disuruh berjalan sambil memakai lensa koreksi. Jika saat
berjalan lantai tidak goyang-goyang dan tidak merasa pusing
maka koreksi sudah tepat.
4) Reading test
Untuk pasien yang berusia 40 tahun atau lebih, perlu dilakukan
test penglihatan dekat. Diberi lensa sferis positif sesuai umur
kemudian membaca kartu jaeger.
Lensa addisi untuk penglihatan dekat biasanya diberikan
berdasarkan patokan umur :
- 40 tahun : + 1,00D
- 45 tahun : + 1,50D
- 50 tahun : + 2,00D
- 55 tahun : + 2,50D
- 60 tahun : + 3,00D
 Setelah semua pemeriksaan selesai maka dibuatkan resep kaca mata
dimana sebelumnya telah diukur PD (pupil distance) dengan
penggaris.

B. Miopia
Miopia atau rabun jauh adalah kelainan refraksi suatu keadaan mata
dimana sinar-sinar sejajar dari jarak tak terhingga (tanpa akomodasi)
dibiaskan didepan retina.5

Gambar 4. Miopia
1. Klasifikasi Miopia
a. Tipe dari miopia:
i. Miopia aksial
Bertambah panjangnya diameter antero-posterior bola mata
dari normal. Pada orang dewasa penambahan panjang aksial bola
mata 1 mm akan menimbulkan perubahan refraksi sebesar 3
dioptri.
ii. Miopia refraktif
Bertambahnya indeks bias media penglihatan seperti terjadi
pada katarak intumensen dimana lensa menjadi lebih cembung
sehingga pembiasan lebih kuat. Pada miopia refraktif, menurut
Albert E. Sloane dapat terjadi karena beberapa macam sebab,
antara lain :
a) Kornea terlalu cembung (<7,7 mm)
b) Terjadinya hydrasi/penyerapan cairan pada lensa kristalina
sehingga bentuk lensa kristalina menjadi lebih cembung dan
daya biasnya meningkat. Hal ini biasanya terjadi pada
penderita katarak stadium awal (imatur)
c) Terjadi peningkatan indeks bias pada cairan bolamata
(biasanya terjadi pada penderita diabetes melitus).
b. Menurut derajat beratnya miopia dibagi dalam :
1) Miopia ringan, dimana myopia kecil daripada < 3 dioptri
2) Miopia sedang, dimana myopia lebih antara 3-6 dioptri
3) Miopia berat atau tinggi, dimana miopia lebih besar dari 6 dioptri
c. Klasifikasi miopia berdasarkan umur :
1) Congenital (sejak lahir dan menetap pada masa anak-anak)
2) Youth-onset miopia (<20 tahun)
3) Early adult-onset miopia (20-40 tahun)
4) Late adult-onset miopia (>40 tahun).
d. Menurut perjalanan miopia dikenal bentuk :
1) Miopia stasioner, miopia yang menetap setelah dewasa
2) Miopia progresif, myopia yang bertambah terus pada usia dewasa
akibat bertmbah panjangnya bola mata.
3) Miopia maligna, miopia yang berjalan progresif, yang dapat
mengakibatkan ablasi retina dan kebutaan atau sama dengan
miopia pernisiosa = miopia maligna = miopia degeneratif. Miopia
degeneratif atau myopia maligna bila miopia lebih dari 6 dioptri
disertai kelainan pada fundus okuli terbentuk stafiloma, dan pada
bagian temporal papil terdapat atrofi korioretina. Atrofi retina
berjalan kemudian setelah terjadinya atrofi sklera dan kadang-
kadang terjadi ruptur membran Bruch yang dapat menimbulkan
rangsangan untuk terjadinya neovaskularisasi subretina.6

Gambar.Fundus miopi pada miopi tinggi


e. Miopia berdasarkan klinis :
1) Miopia simpleks: merupakan miopia yang disebabkan oleh
dimensi bola mata yang terlalu panjang atau indeks bias kornea
maupun lensa kristalina yang terlalu tinggi.
2) Miopia nokturnal : merupakan miopia yang hanya terjadi pada
saat kondisi di sekeliling kurang cahaya. Sebenarnya, fokus titik
jauh mata seseorang bervariasi terhadap tahap pencahayaan yang
ada. Miopia ini dipercaya penyebabnya adalah pupil yang
membuka terlalu lebar untuk memasukkan lebih banyak cahaya,
sehingga menimbulkan aberasi dan menambah kondisi miopia.
3) Pseudomiopia: merupakan mioipia yang diakibatkan oleh
rangsangan yang berlebihan terhadap mekanisme akomodasi
sehingga terjadi kekejangan pada otot-otot siliar yang memegang
lensa kristalina. Di Indonesia, disebut dengan miopia palsu, karena
memang sifat miopia ini hanya sementara sampai kekejangan
akomodasinya dapat direlaksasikan. Untuk kasus ini, tidak boleh
terburu–buru memberikan lensa koreksi.
4) Miopia degeneratif disebut juga sebagai miopia degeneratif,
miopia maligna atau miopia progresif. Biasanya merupakan
miopia derajat tinggi dan tajam penglihatannya juga di bawah
normal meskipun telah mendapat koreksi. Miopia jenis ini
bertambah buruk dari waktu ke waktu.
5) Miopia induksi merupakan miopia yang diakibatkan oleh
pemakaian obat – obatan, naik turunnya kadar gula darah,
terjadinya sklerosis pada nukleus lensa dan sebagainya.8

2. Epidemiologi
Pada saat ini telah terjadi peningkatan prevalensi miopia di seluruh
dunia, terutama di Asia dan lebih khusus lagi pada kelompok usia anak
sekolah. Statistik di China yang merupakan salah satu negara dengan
prevalensi miopia tertinggi di dunia menunjukkan bahwa terdapat 9,7%
anak berusia 7 tahun mengalami miopia, 43,8% pada anak-anak yang
berusia 12 tahun dan 72,8% pada remaja usia 18 tahun.4
Prevalensi miopia telah meningkat pada dekade ini yang berefek pada
peningkatan jumlah penderita miopia 10-20% anak-anak yang baru saja
menamatkan bangku sekolah dasar di beberapa tempat di dunia. Hal ini
menunjukkan bahwa level dari miopia akan terus bertambah pada tahun-
tahun kedepannya dan akan mencapai angka 2,5 juta penderita pada
tahun 2020.2

3. Etiologi
Miopia disebabkan karena terlalu kuat pembiasan sinar di dalam mata
untuk panjangnya bola mata akibat : 4
1. Kornea terlalu cembung.
2. Lensa mempunyai kecembungan yang kuat sehingga bayangan
dibiaskan kuat.
3. Bola mata dan sumbu mata (jarak kornea - retina) terlalu panjang,
dinamakan miopia sumbu. Daya bias kornea, lensa atau akuos humor
terlalu kuat, dinamakan miopia pembiasan.
4. Indeks bias mata lebih tinggi dari normal, misalnya pada diabetes
mellitus. Kondisi ini disebut miopia indeks.
5. Miopi karena perubahan posisi lensa. Misal pasca operasi glaukoma
mengakibatkan posisi lensa lebih ke anterior.

Secara fisiologik sinar yang difokuskan pada retina terlalu kuat


sehingga membentuk bayangan menjadi kabur atau tidak tegas pada
makula lutea. Titik fokus sinar yang datang dari benda yang jauh terletak
di depan retina. Titik jauh (pungtum remotum) terletak lebih dekat atau
sinar datang tidak sejajar.

4. Faktor Risiko
a. Keturunan.
Orang tua dengan sumbu bolamata yang lebih panjang dari normal
akan melahirkan keturunan yang serupa..
b. Ras/etnis.
Ternyata, orang Asia memiliki kecenderungan miopia yang lebih besar
(70%-90%) dari pada orang Eropa dan Amerika (30%-40%). Paling
kecil adalah Afrika (10%-20%).
c. Perilaku.
Kebiasaan melihat jarak dekat secara terus menerus dapat
memperbesar resiko miopi. Demikian juga kebiasaan membaca
dengan penerangan yang kurang memadai.7 Aktivitas melihat dekat
jangka panjang menyebabkan miopia melalui efek fisik langsung
akibat akomodasi terus menerus sehingga tonus otot siliaris menjadi
tinggi dan lensa menjadi cembung. Namun berdasarkan teori terbaru,
aktivitas melihat dekat yang lama menyebabkan miopia melalui
terbentuknya bayangan buram di retina (retina blur) yang terjadi
selama fokus dekat. Bayangan buram di retina ini memulai proses
biokimia pada retina untuk menstimulasi perubahan biokimia dan
struktural pada sklera dan koroid yang menyebabkan elongasi aksial.
Peneliti di Singapura mengamati bahwa anak yang
menghabiskan waktunya untuk membaca, menonton tv, bermain video
game, dan menggunakan komputer lebih banyak mengalami miopia.

5. Patofisiologis
Kata miopia sendiri sebenarnya baru dikenal pada sekitar abad ke 2,
yang mana terbentuk dari dua kata meyn yang berarti menutup, dan ops
yang berarti mata. Ini memang menyiratkan salah satu ciri – ciri
penderita miopia yang suka menyipitkan matanya ketika melihat sesuatu
yang baginya tampak kurang jelas, karena dengan cara ini akan terbentuk
debth of focus di dalam bola mata sehingga titik fokus yang tadinya
berada di depan retina, akan bergeser ke belakang mendekati retina.
Sebenarnya, miopia juga dapat dikatakan merupakan keadaan di mana
panjang fokus media refrakta lebih pendek dari sumbu orbita (mudahnya,
panjang aksial bola mata jika diukur dari kornea hingga makula lutea di
retina). 10
Berdasarkan pengertian ini, maka dikenal dua jenis miopia, yaitu:
1. Miopia aksial Adalah miopia yang disebabkan oleh sumbu orbita
yang lebih panjang dibandingkan panjang fokus media refrakta.
Dalam hal ini, panjang fokus media refrakta adalah normal (± 22,6
mm) sedangkan panjang sumbu orbita > 22,6 mm.
2. Miopia refraktif Adalah bertambahnya indeks bias media
penglihatan seperti terjadi pada katarak intumesen dimana lensa
menjadi lebih cembung sehingga pembiasan lebih kuat. Pada
penderita miopia, sinar yang datang menuju mata dbiaskan dengan
tidak tepat sehingga menghasilkan bayangan yang tidak tepat pula.
Penderita yang memiliki bola mata yang terlalu panjang atau kornea
yang terlalu melengkung menyebabkan sinar yang masuk ke mata
dibiaskan tidak tepat pada retina (di depan retina) sehingga
menyebabkan penglihatan penderita menjadi kabur. Kadang-kadang
keadaan miopia pada penderita dapat menetap (stasioner) namun
dapat pula memburuk seiring bertambahnya usia penderita.

6. Manifestasi Klinis
Penderita miopia yang dikatakan sebagai rabun jauh akan mengatakan
penglihatannya kabur untuk melihat jauh dan hanya jelas pada jarak
tertentu atau dekat. Seseorang dengan miopia selalu ingin melihat dekat
dengan mendekatkan benda yang dilihat pada mata. Pasien dengan
miopia lebih dari -3.00 dioptri tidak akan melihat baik pada pekerjaannya
bila tidak menggunakan kacamata. Pasien dengan ukuran lebih dari -4.00
dioptri akan terganggu dalam pekerjaannya untuk melihat jauh. 4
Pasien dengan miopia akan memberikan keluhan sakit kepala, sering
disertai dengan juling dan celah kelopak yang sempit. Seseorang miopia
mempunyai kebiasaan mengerinyitkan matanya bila ia melihat jauh untuk
mencegah aberasi sferis atau untuk mendapatkan efek pinhole (lubang
kecil) sehingga dapat melihat jelas. Apabila terdapat miopia pada satu
mata jauh lebih tinggi dari mata yang lain, dapat terjadi ambliopia pada
mata yang miopianya lebih tinggi. Penglihatan yang baik harus jernih dan
bayangan terfokus pada kedua mata. Bila bayangan kabur pada satu mata,
atau bayangan tersebut tidak sama pada kedua mata, maka jaras
penglihatan tidak dapat berkembang dengan baik, bahkan dapat
memburuk. Bila hal ini terjadi, otak akan “mematikan” mata yang tidak
fokus dan penderita akan bergantung pada satu mata untuk melihat.
Beratnya ambliopia berhubungan dengan lamanya mengalami kurangnya
rangsangan untuk perkembangan penglihatan makula. Mata ambliopia
yang menggulir ke temporal disebut strabismus divergen (eksotropia).
Gejala subyektif :
a. Kabur bila melihat jauh.
b. Membaca atau melihat benda kecil harus dari jarak dekat
c. Lekas lelah bila membaca (karena konvergensi yang tidak sesuai
dengan akomodasi), astenovergens.4

7. Diagnosis Miopia
Untuk mendiagnosis miopia dapat dilakukan dengan beberapa
pemeriksaan pada mata, pemeriksaan tersebut adalah :
a. Refraksi Subyektif
Diagnosis miopia dapat ditegakkan dengan pemeriksaan
refraksi subyektif, seperti yang telah diterangkan sebelumnya metode
yang digunakan adalah dengan metode “trial and error” jarak
pemeriksaan 6 m dengan menggunakan kartu Snellen.
b. Refraksi Obyektif
Terdapat dua jenis pemeriksaan refraksi objektif yaitu
menggunakan retinoskopi dan autorefraktometer. Pada pemeriksaan
dengan retinoskopi, dengan lensa kerja sferis +2,00D pemeriksa
mengamati refleks fundus yang bergerak berlawanan arah dengan
arah gerakan retinoskop (against movement) kemudian dikoreksi
dengan lensa sferis negatif sampai tercapai netralisasi. Pada
pemeriksaan dengan autorefraktometer yaitu menentukan miopia atau
besarnya kelainan refraksi dengan menggunakan komputer.

Gambar 5. Visus normal, mata Miopia, dan mata miopia yang sudah dikoreksi.
8. Penanganan Miopia
Tujuan penanganan miopia adalah penglihatan binokular yang
jelas, nyaman, efisien, dan kesehatan mata yang baik bagi pasien. Pilihan
cara yang dapat mengatasi kelainan refraksi meliputi :4
a. Kacamata koreksi
Pemilihan kacamata masih merupakan metode paling aman untuk
memperbaiki refraksi.Keuntungan penggunaan kacamata yaitu lebih
murah, lebih aman bagi mata, dan membutuhkan akomodasi yang
lebih kecil daripada lensa kontak. Kerugian penggunaan kacamata
yaitu menghalangi penglihatan perifer, membatasi kegiatan tertentu,
dan mengurangi kosmetik.
b. Lensa kontak
Keuntungan pemakaian lensa kontak adalah memberikan penglihatan
yang lebih luas, tidak membatasi kegiatan, kosmetik lebih baik.
Kerugian penggunaan lensa kontak sukar dalam perawatan, mata dapat
merah dan infeksi, tidak semua orang dapat memakainya (mata alergi
dan mata kering).
c. Obat
Obat-obatan sikloplegik kadang digunakan untuk mengurangi respon
akomodasi terutama untuk mengatasi pseudomyopia. Beberapa
penelitian menyatakan bahwa atropin topikal dan cyclopentolate
mengurangi progresi miopia pada anak dengan youth onset-myopia.
Namun dilatasi pupil yang terjadi mengakibatkan silau. Selain itu
terdapat reaksi alergi, reaksi idiosinkrasi, dan toksisitas sistemik, serta
pemakaian atropin jangka panjang dapat mengakibatkan efek buruk
pada retina.
d. Orthokeratologi
Tindakan ini bertujuan untuk mendatarkan kornea perifer sehingga
sama datarnya dengan kornea sentral. Beberapa penelitian
menunjukkan orthokeratologi dapat menurunkan miopia hingga 3,00
D; dengan rata-rata penurunan 0,75 – 1,00 D.
e. Bedah refraktif
Pembedahan ini dilakukan untuk memperbaiki penglihatan akibat
gangguan pembiasan. Jenis pembedahan meliputi pembedahan di
kornea (radial keratotomi, keratektomi fotorefraktif/photorefractive
keratectomy/PRK, automated lamellar keratoplasti/ALK, LASIK) dan
lensa (implantasi lensa intra ocular, clear lens extraction).6-7

9. Komplikasi Miopia:
a. Ablatio Retina
b. Glaukoma sudut terbuka
c. Ambliopia jika kacamata koreksi tidak digunakan
d. Pasien dengan miopia akan menyatakan melihat jelas bila melihat
benda dekat dan mengeluh kabur apabila melihat jauh. Pasien juga
sering mengeluhkan sakit kepala, sering disertai juling, dan celah
kelopak mata yang sempit. Pasien biasanya juga memiliki kebiasaan
mengernyitkan mata untuk mencegah aberasi sferis atau untuk
mendapatkan efek pinhole. Pasien miopia memiliki punctum remotum
yang dekat sehingga mata selalu dalam atau berkedudukan
konvergensi yang menimbulkan keluhan astenopia konvergensi. Bila
kedudukan mata ini menetap, maka pasien akan mengeluhkan juling
atau esotropia.4
12. Analisis Kasus
Pada kasus ini pasien didiagnosis sebagai mata kanan dan kiri miopia ringan
didasarkan pada anamnesis yang telah dilakukan :

1. Pasien berumur 23 tahun seorang mahasiswa.


2. Didapatkan mata kanan dan kiri kabur ketika melihat tulisan kecil dalam
jarak jauh, tidak didapatkan tanda kelainan lain seperti infeksi, kelaian media
refrakta, dan saraf penglihatan.
3. Tidak ada riwayat pemakaian kacamata sebelumnya dan tidak ada keluarga
yang memakai kacamata.
4. Tidak didapatkan riwayat trauma, operasi, alergi dan pemakaian obat.
5. Pasien sering melakukan aktivitas seperti menonton tv dalam jarak dekat,
membaca dengan pencahayaan yang kurang dan menggunakan laptop dan
handphone dalam waktu yang lama.

Dari pemeriksaan fisik yang telah dilakukan didapatkan :

1. Pemeriksaan visus dasar didapatkan hasil visus OD: 6/7,5, OS: 6/7,5
2. Pemeriksaan visus koreksi didapatkan hasil OD: S- 0,5 D 6/6, OS: S- 0,5 D
6/6
3. Pemeriksaan binokuler tidak didapatkan kelainan
Pada kasus ini pasien disarankan memakai kacamata sferis negatif
sesuai dengan ukuran yang telah diresepkan. Pasien pada kasus ini mengalami
kelainan refraksi miopia yang digolongkan kepada miopia ringan (S -0,5 D)..
Kelainan miopia sendiri merupakan kelainan refraksi dimana bayangan benda
tidak dapat difokuskan tepat pada retina melainkan bayangan jatuh didepan
retina.
Kelainan refraksi sendiri tidak dapat di tatalaksanan dengan
medikamentosa oleh karena itu dilakukan tatalaksana dengan memberikan lensa
sferis negatif. Lensa sferis negatif merupakan lensa cekung yang mana memiliki
sifat yang dapat menyebarkan bayangan (divergensi) sehingga bayangan yang
jatuh didepan retina dapat jatuh tepat pada retina. Pada miopia sendiri untuk
lensa koreksi dipilih lensa sferis negatif yang memiliki ukuran paling rendah.

Pada pasien ini setelah dilakukan pemasangan kacamata dengan lensa


sferis negatif diharapkan dapat digunakan secara rutin ketika belajar ataupun saat
beraktivitas dan melakukan kontrol 6 bulan kemudian untuk melihat
perkembangan kelainan miopia pasien.
DAFTAR PUSTAKA

1. World Health Organization. Global Initiative for the Elimination of Avoidable


Blindness: Action Plan 2006-2011. Geneva: WHO; 2011
2. Kementrian Kesehatan RI.2014. Situasi Gangguan Penglihatan dan Kebutaan.
3. Borchert MS, Varma R, Cotter SA, et al. Risk Factor for Hyperopia and
Myopia in Preschool Children: The Multiethnic Pediatric Eye Disease and
Baltimore Pediatric Eye Disease Studies. Ophthalmology. 2011; 118(10):
1966-1973.
4. Ilyas S. Tajam Penglihatan dan Kelainan Refraksi Penglihatan Warna. Dalam
: Ilmu Penyakit Mata. Jakarta: Balai penerbit FK UI,2003.
5. Kadir, Abdul. Hubungan Faktor Pekerjaan, Perilaku, Keturunan,
Pencahayaan, dan Umur terhadap Kejadian Miopi di Jawa Tengah.
[Universitas Indonesia Eprints], 1996.
6. Vaughan DG, Taylor A, Paul R. Oftalmologi Umum. Trans Suyono J
(editor). 14th ed. Jakarta : Widya Medika,2000.
7. Ilyas S. Kelainan Refraksi dan Kacamata. Jakarta: Balai penerbit FK UI,1997.
8. American Optometric Association, 2006. Care of the Patient with Myopia.
Optometric Clinical Practice Guideline .
9. Kementrian Kesehatan RI. Riset Kesehatan Dasar. 2013. Jakarta
10. Francisco Bosh0Morell,Salvador, Amparo.2015.Myopia. Pubmed. NCBI

Anda mungkin juga menyukai