LBP Kelompok e
LBP Kelompok e
PEMBIMBING :
Reni Hendrarati, dr., Sp.KFR-K
2
A. Definisi Low Back Pain
Low back pain (LBP) merupakan rasa nyeri yang dirasakan pada punggung
bawah yang sumbernya adalah tulang belakang daerah spinal (punggung
bawah), otot, saraf, atau struktur lainnya di sekitar daerah tersebut. Low back
pain (LBP) dapat disebabkan oleh penyakit atau kelainan yang berasal dari luar
punggung bawah misalnya penyakit atau kelainan pada testis atau ovarium
(Suma’mur, 2009).
Menurut Suma’mur (2009), Low back pain (LBP) berhubungan dengan
faktor risiko seperti usia, obesitas (kegemukan), kebiasaan merokok atau
kurangnya kesegaran/kebugaran jasmani, selain itu suma’mur juga
mengatakan bahwa pada umumnya pekerjaan mengangkat, membawa, menarik
atau mendorong beban berat atau yang dilakukan dengan posisi tubuh yang
tidak alami/dipaksakan lebih rentan mengalami keluhan Low back pain (LBP).
Low back pain (LBP) umumnya akan memberikan rasa nyeri pada
seseorang yang mengalaminya. Rasa nyeri dapat digambarkan sebagai sensasi
tidak menyenangkan yang terjadi bila mengalami cedera atau kerusakan pada
tubuh. Nyeri dapat terasa panas, gemetar, kesemutan/tertusuk, atau ditikam.
Nyeri akan menjadi suatu masalah gangguan kesehatan dikarenakan dapat
menganggu aktivitas yang akan dilakukan (Eleanor Bull dkk, 2007 dalam Heru
Septiawan, 2012).
3
3. Nyeri punggung bawah Vaskulogenik
Nyeri yang disebabkan karena kelainan pembuluh darah, misalnya
anerisma, dan gangguan peredaran darah.
4. Nyeri punggung bawah Psikogenik
Nyeri yang disebabkan karena gangguan psikis seperti neurosis,
ansietas, dandepresi. Nyeri ini tidak menghasilkan definisi yang jelas, juga
tidak menimbulkan gangguan anatomi dari akar saraf atau saraf tepi. Nyeri
ini superficial tetapi dapat juga dirasakan pada bagian dalam secara nyata
atau tidak nyata, radikuler maupun non radikuler, berat atau ringan. Lama
keluhan tidak mempunyai pola yang jelas, dapat dirasakan sebentar ataupun
bertahun– tahun (Ir.Eko Nurmianto, 2008).
4
diatas terdapat juga klasifikasi patologi yang klasik yang juga dapat
dikaitkan dengan Low back pain (LBP). Klasifikasi tersebut adalah:
a. Trauma
b. Infeksi
c. Neoplasma
d. Degenerasi
e. Kongenital
D. Etiologi
Etiologi nyeri punggung bermacam – macam, yang paling banyak
adalah penyebab sistem neuromuskuloskeletal. Disamping itu LBP dapat
merupakan nyeri rujukan dari gangguan sistem gastrointestinal, sistem
genitorinaria atau sistem kardiovaskuler. Proses infeksi, neoplasma dan
inflasi daerah panggul dapat juga menimbulkan LBP. Penyebab sistem
neuromuskuloskeletal dapat diakibatkan beberapa faktor, ialah (a) otot, (b)
discus intervertebralis, (c) sendi apofiseal, anterior, sakroiliaka, (d)
kompresi saraf / radiks, (e) metabolik, (f) psikogenik, (g) umur (Dachlan,
2009).
Nyeri punggung dapat disebabkan oleh berbagai kelaianan yang
terjadi pada tulang belakang, otot, discus intervertebralis, sendi, maupun
struktur lain yang menyokong tulang belakang. Kelainan tersebut antara
lain: (1) kelainan kongenital / kelainan perkembangan, seperti spondylosis
dan spondilolistesis, kiposcoliosis, spina bifida, ganggguan korda spinalis,
(2) trauma minor, seperti regangan, cedera whiplash, (3) fraktur, seperti
traumatik misalnya jatuh, atraumatik misalnya osteoporosis, infiltrasi
neoplastik, steroid eksogen, (4) hernia discus intervertebralis, (5)
degeneratif kompleks diskus misalnya osteofit, gangguan discus internal,
stenosis spinalis dengan klaudikasio neurogenik, gangguan sendi vertebra,
gangguan sendi atlantoaksial misalnya arthritis reumatoid, (6) arthritis
spondylosis, seperti artropati facet atau sacroiliaka, autoimun misalnya
ankylosing spondilitis, sindrom reiter, (7) neoplasma, seperti metastasisi,
hematologic, tumor tulang primer, (8) infeksi / inflamasi, seperti
osteomyelitis vertebral, abses epidural, sepsis discus, meningitis,
5
arachnoiditis lumbal. (9) metabolik osteoporosis – hiperparatiroid, (10)
vaskuler aneurisma aorta abdominalis, diseksi arteri vertebral, (11) lainnya,
seperti nyeri alih dari gangguan visceral, sikap tubuh, psikiatrik, sindrom
nyeri kronik (Dachlan, 2009).
E. Diagnosa Banding
6
Hernia nucleus pulposus (HNP) kebanyakan juga disebabkan oleh
karena adanya suatu trauma derajat sedang yang berulang mengenai discus
intervertebralis sehingga menimbulkan robeknya annulus fibrosus. Pada
kebanyakan pasien gejala trauma bersifat singkat, dan gejala ini disebabkan
oleh cidera pada diskus yang tidak terlihat selama beberapa bulan atau
bahkan dalam beberapa tahun. Kemudian pada generasi diskus kapsulnya
mendorong ke arah medulla spinalis, atau mungkin ruptur dan
memungkinkan nucleus pulposus terdorong terhadap sakus doral atau
terhadap saraf spinal saat muncul dari kolumna spinal (Moore dan Agur,
2013).
Manifestasi klinis utama yang muncul adalah rasa nyeri di punggung
bawah disertai otot-otot sekitar lesi dan nyeri tekan. HNP terbagi atas HNP
sentral dan lateral. HNP sentral akan menimbulkan paraparesis flasid,
parestesia dan retensi urine. Sedangkan HNP lateral bermanifestasi pada
rasa nyeri dan nyeri tekan yang terletak pada punggung bawah, di tengah-
tengah area bokong dan betis, belakang tumit, dan telapak kaki. Kekuatan
ekstensi jari kelima kaki berkurang dan reflex achiller negative. Pada HNP
lateral L5-S1 rasa nyeri dan nyeri tekan didapatkan di punggung bawah,
bagian lateral pantat, tungkai bawah bagian lateral, dan di dorsum pedis.
Kelemahan m. gastrocnemius (plantar fleksi pergelangan kaki), m.
ekstensor halusis longus (ekstensi ibu jari kaki). Gangguan reflex Achilles,
defisit sensorik pada malleolus lateralis dan bagian lateral pedis
(Setyanegara, 2014).
Berdasarkan MRI, klasifikasi HNP dibedakan berdasarkan 5 stadium :
7
Grade HNP :
8
Gambar 2.3. Spondylolistesis (Sumber: Devlin, 2012).
Gejala yang paling umum dari spondylolistesis adalah nyeri
punggung bawah hingga kedua belah paha belakang. Apabila dilihat dari
struktur anatomi, dapat dijumpai patologi segmental berupa kerusakan
prosesus artikularis, yang akan menyebabkan terjadinya lisis sehingga tidak
mampu menahan beban geser ke anterior dan akan menyebabkan nyeri.
Ligamen laxity yang menyebabkan instabil pada facet, terjadi peregangan
kapsul yang menyebabkan cedera kapsul dan akan menyebabkan nyeri.
Pada otot akan terjadi reaksi protektif berupa guarding spasme yang akan
menimbulkan nyeri. Dari uraian tersebut, spondilolistesis lumbalis yang
diakibatkan karena pergeseran korpus vertebralis, menyebabkan struktur
lumbalis akan berubah sehingga akan menimbulkan nyeri. Dimana fungsi
otot sebagai stabilisator aktif sendi terganggu, dan otot akan menjadi lemah.
Keluhan pada pasien spondilolistesis akan bertambah pada posisi duduk
yang lama atau berjalan dengan jarak yang jauh, serta jika melakukan
gerakan ekstensi pada pinggang (Devlin, 2012).
Etiologi spondilolistesis adalah multifaktorial. Predisposisi
kongenital tampak pada spondilolistesis tipe 1 dan tipe 2, dan postur,
gravitasi, tekanan rotasional dan stres/tekanan kosentrasi tinggi pada sumbu
tubuh berperan penting dalam terjadinya pergeseran tersebut. Terdapat lima
tipe utama spondilolistesis (Apsari,2013):
a. Tipe I disebut dengan spondilolistesis displastik dan terjadi sekunder
akibat kelainankongenital pada permukaan sacral superior dan
permukaan L5 inferior atau keduanya dengan pergeseran vertebra L5.
b. Tipe II, isthmic atau spondilolitik, dimana lesi terletak pada bagian
isthmus atau parsinterartikularis, mempunyai angka kepentingan
9
klinis yang bermakna pada individu dibawah 50 tahun. Jika defeknya
pada pars interartikularis tanpa adanya pergeseran tulang, keadaan ini
disebut dengan spondilolisis. Jika satu vertebra mengalami pergeseran
kedepan dari vertebra yang lain, kelainan ini disebut dengan
spondilolistesis.Tipe II dapat dibagi kedalam tiga subkategori:
1) Tipe IIA yang kadang-kadang disebut dengan lytic atau stress
spondilolisthesis dan umumnya diakibatkan oleh mikro-fraktiur
rekuren yang disebabkan oleh hiperketensi. Juga disebut dengan
stress fracture pars interarticularis dan paling sering terjadi pada
pria.
2) Tipe IIB umumnya juga terjadi akibat mikro-fraktur pada pars
interartikularis.Meskipun demikian, berlawanan dengan tipe IIA,
pars interartikularis masih tetapintak akan tetapi meregang
dimana fraktur mengisinya dengan tulang baru.
3) Tipe IIC sangat jarang terjadi dan disebabkan oleh fraktur akut
pada bagian parsinterartikularis. Pencitraan radioisotope
diperlukan dalam menegakkan diagnosis kelainan ini.
c. Tipe III, merupakan spondilolistesis degeneratif, dan terjadi sebagai
akibat degenerasi permukaan sendi lumbal. Perubahan pada
permukaan sendi tersebut akan mengakibatkan pergeseran vertebra ke
depan atau ke belakang. Tipe spondilolistesis ini sering dijumpai pada
orang tua. Pada tipe III, spondilolistesis degeneratif tidak terdapatnya
defek dan pergeseran vertebra tidak melebihi 30%.
d. Tipe IV, spondilolistesis traumatik, berhubungan dengan fraktur akut
pada elemenposterior (pedikel, lamina atau permukaan/facet)
dibandingkan dengan fraktur padabagian pars interartikularis.
e. Tipe V, spondilolistesis patologik, terjadi karena kelemahan struktur
tulang sekunder akibat proses penyakit seperti tumor atau penyakit
tulang lainnya.
Grading
Sistem pembagian/grading untuk spondilolistesis yang umum dipakai
adalah sistem grading Meyerding untuk menilai beratnya pergeseran.
10
Kategori tersebut didasarkan pengukuran jarak dari pinggir posterior dari
korpus vertebra superior hingga pinggir posterior korpus vertebra inferior
yang terletak berdekatan dengannya pada foto x ray lateral. Jarak tersebut
kemudian dilaporkan sebagai panjang korpus vertebra superior total
(Apsari, 2013) :
a. Grade 1 adalah 0-25%
b. Grade 2 adalah 25-50%
c. Grade 3 adalah 50-75%
d. Grade 4 adalah 75-100%
e. Spondiloptosis- lebih dari 100%
3. Ankilosing Spondilitis
Ankylosing spondylitis adalah bentuk artritis langka yang
menyebabkan peradangan pada tulang belakang dan sendi-sendi sakroiliaka.
Kondisi ini ditandai dengan kekakuan progresif dari sekelompok sendi dan
ligament di tulang belakang, menyebabkan rasa sakit kronis dan gangguan
mobilitas tulang belakang. Ketika tulang belakang pasien menjadi lebih
kaku, beberapa fraktur stress kecil dapat berkembang dan patah tulang ini
dapat sangat lebih nyeri. Jika parah, ankylosing spondylitis juga dapat
menyebabkan fusi (penggabungan) ligamen tulang belakang dengan
cakram/diskus antar vertebra (Klippel, 2001).
11
Gambar 2.4. Ankylosing spondylitis (Klippel, 2001).
Gejala tersering adalah low back pain biasanya pada pertengahan
sacrum menjalar ke inguinal, dan turun kekaki. Penderita juga mengeluhkan
kekakuan sendi pada pagi hari. Semakin progresif penyakit akan
mempengaruhi rongga dada dimana ekspansi dari dada menjadi terbatas
dengan terlibatnya sendi costovertebra. Ankylosing pada servikal terjadi
belakangan, dan akhirnya terjadinya tulang belakang yang kaku dan
hilangnya lengkungan dan pergerakan (Klippel, 2001).
Pada Pemeriksaan fisik biasanya didapatkan, hilangnya fleksi lateral
dari vertebra lumbal. Kondisi kronik pada spine dapat menurunkan ROM
dan terjadi fusi pada bodi vertebra, terkenanya servikal dan upper thorakal
dapat menyebabkan fusi pada leher dan menyebabkan posisi fleksi sehingga
penderita terbatas pergerakan lehernya dan tidak dapat melihat lurus
kedepan (Klippel, 2001).
Manifestasi ekstraartikular diperiksa dengan pemeriksaan spesifik (
misal: ophtalmologi, kardio, dan GIT). Akut anterior uveitis terjadi pada 20-
30 % dari penderita dengan AS, gejalanya unilateral dan terdiri dari nyeri,
kemerahan, photophobia, peningkatan lakrimasi dan pandangan kabur.
Penyakit kardiovaskular terjadi kira-kira 10 % penderita AS, terdiri dari
aortitis dan fibrosis. Inflamatory bowel disease sering terjadi pada penderita
AS. Test khusus dapat dilakukan seperti touching toe, schober test dan
pengukuran ekspansi dada, wall test (Klippel, 2001).
12
Pada pemeriksaan radiologi : Pada proses inflamasi terjadi
perubahan pada SI joint dan spine. Sakroiliitis bilateral terjadi erosi tulang
dan sklerosing dari joint. Fibrosis, osifikasi, terjadi jembatan
syndesmophyte. Sedangkan pada MRI, Dilakukannya MRI pada penderita
bila berkembang menjadi bowel dan blader disfungsi untuk menilai
terjadinya secondary syndrome spinal stenosis (Klippel, 2001).
Kriteria diagnostik:
Kriteria spesifik untuk mendiagnosa AS dikembangkan pada
konfrensi rematik disease di Rome dan New York dan dihasilkan kriteria
Rome (1963) dan kriteria New York (1968). Walaupun keseluruhan kriteria
dapat di pergunakan, tetapi keterbatasan dalam pengenalan dan overlapping
antara klinik dan radiologi dari variasi seronegatif spondyloarthropathy
dapat mempengaruhi diagnose (Klippel, 2001).
Kriteria Rome (1963) : Ankylosing Spondylitis didiagnosa jika terjadi
bilateral sakroiliitis bersama dengan sekurang-kurangnya salah satu kriteria
berikut :
- Low back pain dan stiffness lebih dari 3 bulan.
- Nyeri dan stiffness pada daerah thoraks.
- Terbatasnya gerakan pada daerah lumbal.
- Anamnesa adanya bukti dari iritis atau sequelenya.
Kriteria New York (1968) : Ankylosing Spondylitis didiagnosa bila
terjadi grade 3-4 bilateral sakroiliitis bersama dengan sekurangnya 1 dari
kriteria klinik atau jika grade 3-4 unilateral atau grade 2 bilateral sakroiliitis
bersama dengan 1 kriteria klinik atau dengan kriteria klinik 2 dan 3.
Mungkin suatu AS jika grade 3-4 bilateral sakroiliitis tanpa satu kriteria
dibawah :
- Keterbatasan pergerakan dari lumbal spine dalam fleksi anterior, fleksi
lateral, dan ekstensi.
- Riwayat nyeri atau adanya nyeri pada hubungan thorakolumbal atau
dalam lumbal spine.
- Keterbatasan dari ekspansi dada 1 inchi atau kurang (Klippel, 2001).
13
4. Low Back Pain karena Trauma
Trauma dan gangguan mekanis merupakan penyebab utama LBP
(Bimariotejo, 2009). Pada orang-orang yang tidak biasa melakukan
pekerjaan otot atau melakukan aktivitas dengan beban yang berat dapat
menderita nyeri pingga ng bawah yang akut. Gerakan bagian punggung
belakang yang kurang baik dapat menyebabkan kekakuan dan spasme yang
tiba-tiba pada otot punggung, mengakibatkan terjadinya trauma punggung
sehingga menimbulkan nyeri. Kekakuan otot cenderung dapat sembuh
dengan sendirinya dalam jangka waktu tertentu. Namun pada kasus-kasus
yang berat memerlukan pertolongan medis agar tidak mengakibatkan
gangguan yang lebih lanjut (Idyan, 2008).
Kekakuan otot cenderung dapat sembuh dengan sendirinya dalam
jangka waktu tertentu. Namun pada kasus-kasus yang berat memerlukan
pertolongan medis agar tidak mengakibatkan gangguan yang lebih lanjut
(Idyan, 2008).
14
f. Riwayat Trauma, perlu dijelaskan trauma yang tak langsung kepada
penderita misalnya mendorong mobil mogok, memindahkan almari
yang cukup berat, mencabut singkong, dan sebagainya.
g. Proses terjadinya nyeri dan perkembangannya, bersifat akut, perlahan,
menyelinap sehingga penderita tidak tahu pasti kapan rasa sakit mulai
timbul, hilang timbul, makin lama makin nyeri, dan sebagainya.
h. Obat – obat analgetik yang diminum, menelusuri jenis analgetik apa
saja yang pernah diminum.
i. Kemungkinan adanya proses keganasan.
j. Riwayat menstruasi, beberapa wanita saat menstruasi akan mengalami
LBP yang cukup mengganggu pekerjaan sehari – hari. Hamil muda,
dalam trimester pertama, khususnya bagi wanita yang dapat mengalami
LBP berat.
k. Kondisi mental/emosional, meskipun pada umumnya penderita akan
menolak bila kita langsung menanyakan tentang “banyak pikiran” atau
“pikiran sedang ruwet” dan sebagainya. Lebih bijaksana apabila kita
menanyakan kemungkinan adanya ketidakseimbangan mental tadi
secara tidak langsung, dengancara penderita secara tidak sadar mau
berbicara mengenai faktor stress yang menimpanya.
2) Pemeriksaan umum
a. Pemeriksaan fisik umum
1. GCS
2. Vital sign meliputi (nadi, RR, tensi dan suhu)
3. Pemeriksaan fisik (Head to toe) inspeks, palpasi, perkusi, dan
auskultasi (Sandella, 2012).
b. Pemeriksan khusus
1. Inspeksi
Inspeksi pertama kali dilakukan dengan posisi pasien berdiri
dan diamati dari tiga posisi yaitu depan, samping dan belakang. Pada
posisi ini diamati apakah tulang belakang simetris atau terjadi
skoliosis, lordosis atau kifosis. Selain itu perlu diperhatikan juga
adanya deformitas atau lekukan kulit yang abnormal, atrofi otot, atau
15
pola rambut tubuh yang tidak normal. Selanjutnya dilakukan dengan
posisi pasien duduk untuk mengamati simetrisitas panggul.
Selanjutnya posisikan pasien untuk berbaring dengan kaki lurus
untuk menilai simetrisitas panjang kaki kanan dan kiri (Sandella,
2012)
2. Palpasi
Palpasi dilakukan untuk mengetahui apakah ada nyeri tekan,
massa, deformitas, kelainan struktur tulang dan kekakuan otot.
Palpasi dilakukan dengan cara meletakkan kedua permukaan tangan
dari bagian processus spinosus dan meraba sambil menekan
perlahan ke arah tubuh bagian bawah atau lumbar vertebrae
(Sandella, 2012).
c. Pemeriksaan neurologik
1. Motorik:
Perlu di perhatikan bentuk otot, tonus otot, dan kekuatan
ototnya, bentuk otot dapat dilihat mengalami hipertrofi atau
hipotrofi. Melihat tonus otot yaitu dengan flexi dan ekstensikan
sendi siku dan lutut dilihat hipertonus atau hypotonus. Kekuatan otot
dilakukan satu arah gerakan saja dan dinilai dalam bentuk angka
(Lumbantobing, SM, 2008):
5 = normal
4 = mampu lawan gravitasi dan tahanan ringan
3 = mampu lawan gravitasi dan tidak tahanan ringan
2 = gerakan di sendi, tak mampu melawan gravitasi
1 = gerakan (-), kontraksi otot terasa atau teraba
0 = tidak ada kontraksi sama sekali
2. Sensorik
Pemeriksaan sensorik ini meliputi pemeriksaan raba rabaan,
rasa sakit, rasa suhu, rasa dalam dan rasa getar. Bila ada kelainan
16
maka tentukanlah batasnya sehingga segmen yang terganggu dapat
diketahui dan dermatome mana yang mengalami gangguan
(Lumbantobing, SM, 2008).
3. Refleks fisiologis;
Diperiksa refleks patella (L3-L4) dan Achilles (L5-S1). Nilai
reflek = 0, +1, +2. Reflex tendon akan menurun pada lesi LMN
17
(Lower Motor Neuron) dan meningkat pada lesi UMN (Upper Motor
Neuron)
18
Gambar 3.4. refleks Babinski , reflek chaddock , reflek oppenheim , reflek gordon
(Sumber: Lumbantobing, SM, 2008)
a. Tes Lasegue
Cara: Mengangkat tungkai dalam keadaan ekstensi. Positif
bila pasien tidak dapat mengangkat tungkai kurang dari 60° dan
nyeri sepanjang nervus ischiadicus. Rasa nyeri dan terbatasnya
gerakan sering menyertai radikulopati, terutama pada herniasi discus
lumbalis / lumbo-sacralis (Lumbantobing, SM, 2008).
19
Gambar 3.6. Tes Bragard (Sumber: Lumbantobing, SM, 2008)
c. Tes Patrick dan anti-patrick
Fleksi-abduksi-eksternal rotation-ekstensi sendi panggul.
Positif jika gerakan diluar kemauan terbatas, sering disertai dengan
rasa nyeri. Positif pada penyakit sendi panggul, negative pada
ischialgia (Lumbantobing, SM, 2008).
20
d. Pengukuran nyeri
Pengukuran pada LBP diukur menggunakan VAS (Visual Analogue
Scale). Pengukuran nyeri dilakukan dengan cara pasien diminta untuk
menandai sepanjang garis tersebut untuk mengekspresikan nyeri yang
dirasakan. Nilai VAS antara 0-4 dianggap sebagai nyeri rendag, VAS
>4 dianggap nyeri sedang menuju berat. Kemudian dievaluasi
kemajuan dari interven rehabilitasi yang sudah dilakukan
(Lumbantobing, SM, 2008).
21
Tabel 3.1. Range of Motion for Adult (Sumber: American Academy
of Orthopedic Surgeon)
Range of Motion for Adult
Joint/Motion Range (in degrees)
Flexion 0-45
Extension 0-45
Cervical spine
lateral flexion 0-45
Rotation 0-60
Flexion 0-180
Extension 0-60
Abduction 0-180
Shoulder
internal rotation 0-70
external rotation 0-90
horizontal adduction 0-135
Elbow Flexion 0-150
Pronation 0-80
radioulnar
Supination 0-80
Flexion 0-80
Extension 0-70
Wrist
radial deviation 0-20
ulnar deviation 0-30
Flexion 0-80 (or 4 inches)
Extension 0-(20-30)
Thoracolumbar/lumbosacral
lateral flex 0-35
Rotation 0-45
Flexion 0-120
Extension 0-30
Hip Abduction 0-45
Adduction 0-30
internal rotation 0-45
22
external rotation 0-45
Knee Flexion 0-135
plantarflexion 0-50
Ankle
dorsiflexion 0-20
Inversion 0-35
Subtalar
Eversion 0-15
f. Pemeriksaan Penunjang
1. Foto Polos Lumbosacral
Pemeriksaan foto polos lumbosacral adalah tes pencitraan
untuk membantu dokter melihat penyebab penyakit punggung
seperti adanya patah tulang, degenerasi, dan penyempitan DIV. Pada
foto lumbosacral akan terlihat susunan tulang belakang yang terdiri
dari lima ruas tulang belakang, sacrum dan tulang ekor (Lateef &
Patel, 2009).
23
ringan dan penyempitan DIV 25-50%. Pada kasus LBP sedang
gambaran yang mungkin terlihat antara lain spondylolisthesis 3-5
mm, osteophyte 2-4 mm, subcondral sclerosis sedang, fraktur pada
satu tulang dan penyempitan DIV 50-75%. Sedangkan gambaran
foto polos lumbosacral AP/lateral pada pasien LBP berat akan
terlihat spondylolisthesis > 5 mm, osteophyte > 4 mm, adanya
kompresi tulang vertebra, subcondral sclerosis berat, multiple
fraktur dan penyempitan DIV 75-100% (Ofiram,
Garvey&Wroblewski, 2009).
Kelemahan pada pemeriksaan radiologi foto polos adalah
pada paparan radiasi yang ditimbulkan, terutama pada foto oblique.
Kelemahan lain adalah pada identifikasi gambaran abnormalitas
sendi, skoliosis ringan dan penonjolan dari DIV (herniated disc).
Untuk mengamati lebih jelas pada kelainan tersebut perlu dilakukan
pemeriksaan CT scan dan MRI (Lateef & Patel, 2009).
2. MRI & CT-SCAN
Magnetic Resonance Imaging (MRI) dan Computed
Tornografi Scan (CT scan) direkomendasikan pada pasien dengan
kondisi yang serius atau defisit neurologis yang progresif, seperti
infeksi tulang, cauda equina syndrome atau kanker dengan
penyempitan vertebra. Pada kondisi tersebut keterlambatan dalam
diagnosis dapat mengakibatkan dampak yang buruk (Lateef & Patel,
2009).
24
Magnetic Resonance Imaging tidak menimbulkan radiasi
dan memiliki hasil gambaran yang lebih akurat pada jaringan lunak,
kanal tulang belakang dan pada keluhan neurologi, oleh karena itu
MRI lebih disukai daripada CT scan. Namun pada CT scan memiliki
gambaran tulang kortikal yang lebih baik dibandingkan MRI. Jadi
ketika pemeriksaan pada struktur tulang menjadi fokus utama,
pemeriksaan yang dipilih adalah CT scan (Lateef & Patel, 2009).
Pada pasien dengan nyeri punggung akut dengan tandatanda
atau gejala herniated disc atau penyakit sistemik lain, CT scan dan
MRI jarang dilakukan kecuali pada pasien dengan kecurigaan
kanker, infeksi atau cauda aquina syndrome dalam pemeriksaan
awalnya (Lateef & Patel, 2009).
3. Electromyography (EMG) dan Nerve Conduction Studies (NCS)
Pemeriksaan EMG dan NCS sangat membantu dalam
mengevaluasi gejala neurologis dan/atau defisit neurologis yang 29
terlihat selama pemeriksaan fisik. Pada pasien LBP dengan gejala
atau tanda neurologis, pemeriksaan EMG dan NCS dapat membantu
untuk melihat adanya lumbosacral radiculopathy, peripheral
polyneuropathy, myopathyatau peripheral nerve entrapment (Lateef
& Patel, 2009).
25
DAFTAR PUSTAKA
Amer, M dan Yousef, A. 2015. Transforaminal Lumbar Interbody Fusion for the
Treatment of Spondylolisthesis and Degenerative Segmental Instability;
Surgical and Radiological Outcome. Egyptian Journal of
Neurosurgery.Volume 30.
American Academy of Orthopaedic Surgeons. 2008. Average Ranges of Motion for
Adult.
Apsari, PIB., Suyasa, IK., Maliawan, S., dan Kawiyana, S. 2013. Lumbar Spinal
Canal Stenosis: Diagnosis dan Tatalaksana. E-Jurnal Medika Udayana.
Volume 2. Nomor 9.
Dachlan, L. M. 2009. Pengaruh Back Exercise pada Nyeri Punggung Bawah.
Surakarta: Universitas Sebelas Maret
Devlin, V.J. 2012. Spine Secret Plus. 2 nd ed. United States : Elsevier Mosby
Dokter, taufiq. 2010. Shalat dalam prespektif kesehatan. Dikutip pada laman:
https://taufiqdokter.wordpress.com/2010/02/09/shalat-dalam-perspektif-
kesehatan/Hr. ibnu majah
Huldani D. 2012. Nyeri Punggung. J Kedokt Univ Lambung Mangkurat.
Klippel J H,. 2001. Seronegative Spondyloarthropathies, Ankylosing Spondylitis in
Primer on The Rheumatic Desease : Arthritis Fondation.
Lateef, H., & Patel, D. 2009. What is the role of imaging in acute low back pain?
Pubmed Medical Journal. Diakses 16 April 2014, dari
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2697333/#!po=27.7778
Lee JW, Myung JS, Park KW, et al. 2010. Fluoroscopically guided caudal epidural
steroid injection for management of degenera- tive lumbar spinal stenosis:
short-term and long-term results. Skeletal Radiol 39(7):691-9.
Lotke, Paul A dkk. 2008. Lippincott’s Primary Care Orthopaedics. China:
Philadelphia.
Lumbantobing, SM. 2008. Neurologi Klinik Pemeriksaan Fisik dan Mental. FK UI
Moore, Keith L dan A. M. R. Agur. 2013. Clinically Oriented Anatomy.
Philladhelpia: Lippincott Williams & Wilkins.
26
Ofiram, E., Garvey, Timothy A., & Wroblewski, Jill M. 2009. Cervical
degenerative index: a new quantitative radiographic scoring system for
cervical spondylosis with interobserver and intraobserver reliability testing.
Pubmed Medical Journal. Diakses 19 April 2014, dari
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2657349/#!po=35.0000
Sandella, Bradley J. 2012. Examination of Low Back Pain Technique. Medscape.
Diakses 16 April 2014, dari http://emedicine.medscape.com/article/2092651-
technique#aw2aab6b4b7
Setyanegara dkk. 2014. Ilmu Bedah Saraf. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Setyanegara dkk. 2014. Ilmu Bedah Saraf. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Suma’mur. 2009. Higiene Perusahaan Dan Kesehatan Kerja (Hiperkes). Jakarta:
CV. Sagung Seto
27