La Udu dari Bau-bau, Sulawesi Tenggara, adalah potret kemiskinan di era yang
katanya sudah milenial. Pemimpin negeri ini telah berganti-ganti, namun masalah
klasik kemiskinan tak kunjung selesai. Berbagai kebijakan dilakukan, namun
hasilnya nihil. Bahkan rekomendasi dari lembaga internasional tak mempan lagi
untuk mengobati masalah kemiskinan yang demikian akut.
Yang terbaru, Bank Dunia merilis laporan bertajuk “Aspiring Indonesia, Expanding
the Middle Class” pada akhir pekan lalu (30/1/2020). Dalam riset itu, 115 juta
masyarakat Indonesia dinilai rentan miskin. Tingkat kemiskinan di Indonesia saat ini
di bawah 10% dari total penduduk. Namun, 115 juta orang atau 45% penduduk
Indonesia belum mencapai pendapatan yang aman. Alhasil, mereka rentan kembali
miskin.
Lagi-lagi Pajak
Rekomendasi Bank Dunia terkait kesejahteraan guru, layanan kesehatan dan dana
desa bukanlah hal baru di Indonesia. Selama ini kebijakan tersebut sudah
dilaksanakan pemerintah. Namun, kemiskinan tetap menjadi masalah tak kunjung
usai.
Program sertifikasi sudah dijalankan sejak lama, namun tidak berkorelasi langsung
pada kualitas output pendidikan. Dana desa sudah lama digulirkan sebesar Rp1
miliar per desa per tahun. Namun yang terjadi justru desentralisasi korupsi hingga
pelosok negeri.
Di sisi lain, peningkatan anggaran kesehatan tidak akan banyak berpengaruh jika
layanan ala BPJS-K masih dipertahankan. Kenaikan iuran BPJS-K telah
mengakibatkan rakyat makin terhimpit secara ekonomi. Peserta kelas II banyak yang
turun kelas. Ini menandakan kondisi ekonomi yang makin menurun. Maka
penambahan anggaran sia-sia saja jika kesehatan masih dikelola ala asuransi.
Perluasan basis pajak menunjukkan bahwa makin banyak rakyat yang dipajaki. Hal
ini justru akan makin menurunkan taraf hidup rakyat, bukan meningkatkannya.
Demikianlah, pajak selalu dijadikan instrumen oleh pemerintahan neolib untuk
mewujudkan kesejahteraan.
Ini membuktikan negara berlepas tangan dari tugasnya melayani. Rakyat dipaksa
untuk menghidupi negara dengan pajak, sementara kekayaan alam dirampok oleh
korporasi atas restu penguasa. Sungguh tak adil.
Pertama: Secara individual, Allah SWT memerintahkan setiap Muslim yang mampu
untuk bekerja mencari nafkah untuk dirinya dan keluarga yang menjadi
tanggungannya (Lihat: QS al-Baqarah [2]: 233).
Kedua: Secara jama’i (kolektif) Allah SWT memerintahkan kaum Muslim untuk saling
memperhatikan saudaranya yang kekurangan dan membutuhkan pertolongan.
Rasulullah saw. bersabda,
Penduduk negeri mana saja yang di tengah-tengah mereka ada seseorang yang
kelaparan (yang mereka biarkan) maka jaminan (perlindungan) Allah terlepas dari
diri mereka (HR Ahmad dan Ibnu Abi Syaibah).
Ketiga: Allah SWT memerintahkan penguasa untuk bertanggung jawab atas seluruh
urusan rakyatnya, termasuk tentu menjamin kebutuhan pokok mereka. Rasulullah
saw. bersabda,
Pemimpin atas manusia adalah pengurus dan ia bertanggung jawab atas rakyat
yang dia urus (HR al-Bukhari, Muslim, dan Ahmad).
Khalifah Umar bin Abdul Aziz membuat kebijakan pemberian insentif untuk
membiayai pernikahan para pemuda yang kekurangan uang. Pada masa
Kekhalifahan Abbasiyah dibangun rumah sakit-rumah sakit lengkap dan canggih
pada masanya yang melayani rakyat dengan cuma-cuma.