Anda di halaman 1dari 2

Pada 21 Februari 2005. Hujan deras turun. Seperti malam-malam sebelumnya.

Membuat
penduduk kampung Cireundeu semakin mempererat selimutnya. Dingin menyengat. Tiba-tiba
muncul suara bergemuruh. Tanda longsor. Bukan longsoran tanah, melainkan sampah yang telah
membukit. Sampah penduduk Kota Bandung, Kabupaten Bandung dan Cimahi yang dibuang dan
ditumpuk begitu saja. Sehingga ratusan penduduk meregang nyawa, tanpa sempat berteriak.

Empat belas tahun berlalu, peristiwa tragis tersebut selalu diperingati masyarakat Cireundeu
dengan menabur bunga. Pemerintah Indonesia tak tinggal diam, memperingatinya sebagai Hari
Peduli Sampah Nasional (HPSN). Serta menerbitkan Undang Undang Pengelolaan Sampah
nomor 18 tahun 2008.

Kemudian apa?

Rupanya pemerintah gagal melaksanakan amanah. Di TPS lain, pindahan TPS Leuwigajah,
sampah tetap membukit. Tak berlebihan jika pada tahun 2015, Dr. Jenna Jambeck, peneliti dari
Universitas Georgia direktur dari Center for Circular Materials Management merilis temuan
bahwa Indonesia penyumbang sampah plastik di lautan nomor 2 di dunia.

Advertisment

Walaupun KLHK menolak temuan Jambeck (sumber), pastinya data 187,2 juta ton sampah
plastik di Indonesia berakhir di samudera, bukan angka asbun. Banyak parameter yang
digunakan. Keyakinan bertambah setelah media mainstream memberitakan Kondisi Kali Pisang
Batu yang Menjadi Lautan Sampah serta kondisi Sungai Citarum terkini. Sampah tersebut akan
berakhir di lautan ketika musim hujan tiba.

sumber: bersihnegeri.id

Apa yang terjadi?


Pemerintah gagal menjalankan sistem "Kumpul, Angkut, Buang" di semua kawasan tanah air.
Ditambah gempuran produk dari produsen yang abai pencemaran, maka lengkap sudah. Warga
masyarakat bak pelanduk ditengah para gajah yang sibuk dengan kepentingannya masing-
masing.

Sementara jarum jam berdetak maju. Sebagai bagian dari masyakat, apakah kita akan memaknai
HSPN sekadar seremonial belaka? Pastinya tidak. Bumi yang diwariskan merupakan pertaruhan
besar. Pendidikan dan kesehatan yang kita siapkan untuk anak cucu menjadi tak berarti jika
kelak mereka harus hidup dalam cemaran mikroplastik.

Apa saja yang bisa kita kerjakan?


Mengurangi produksi sampah

sumber: www.lessplastic.co.uk

Merupakan cara termudah karena itu diletakkan pada awal rangkaian 3R: Reduce, Reuse,
Recycle. Bukankah lebih mudah mencuci rantang bekas makanan dibanding harus mengolah
sampah plastik bekas makanan? Bukankah lebih mudah merapikan kembali reusable
bagdibanding mengurus kantong plastik gratisan yang akan berakhir menjadi mikroplastik yang
melayang-layang sebagai cemaran, ngga hilang hingga anak cucu kita beranak pinak?

Anda mungkin juga menyukai