Anda di halaman 1dari 63

BAB I

PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang

Pelayanan dokter keluarga merupakan salah satu bentuk pelayanan medik di Indonesia,

yang menyelenggarakan kesehatan personal, tingkat pertama, menyeluruh, dan

berkesinambungan yang terkait dengan keluarga, komunitas serta lingkungan. Sebagai salah satu

ujung tombak dalam pelayanan kesehatan tingkat pertama, pelayanan dokter keluarga harus

senantiasa mempertahankan dan meningkatkan mutu pelayanannya, terutama di masa era

globalisasi seperti saat ini dimana kompetisi semakin ketat. Pelayanan dokter keluarga melibatkan

Dokter Keluarga sebagai penyaring di tingkat primer sebagai bagian suatu jaringan pelayanan

kesehatan terpadu yang melibatkan dokter spesialis ditingkat pelayanan sekunder dan rumah sakit

rujukan sebagai tempat pelayanan rawat inap, diselenggarakan secara komprehensif, kontinu,

integratif, holistik, koordinatif dengan mengutamakan pencegahan yang dapat dipengaruhi oleh

peran keluarga, lingkungan, dan pekerjaan. Pelayanan diberikan kepada semua pasien tanpa

memilah jenis kelamin, usia serta faktor-faktor lainnya.6

Pelayanan kesehatan untuk masyarakat merupakan hak asasi manusia yang harus

dilaksanakan oleh negara. Pemerintah harus mampu memberikan perlakuan yang sama kepada

setiap warganya dalam pelayanan kesehatan maupun pelayanan publik lainnya. Hal tersebut dapat

memberikan kesetaraan dalam pelayanan kesehatan yang menyeluruh sehingga diharapkan

menghasilkan derajat kesehatan masyarakat yang setara.6

1
Tuberculosis atau penyakit TBC adalah suatu penyakit infeksi menular yang disebabkan

oleh Mycobacterium tuberculosis, yang dapat menyerang berbagai organ tubuh, terutama paru-

paru. TBC bisa bersifat akut maupun kronis dengan ditandai pembentukan turbekel dan cenderung

meluas secara lokal. Penyakit ini bila tidak diobati atau pengobatannya tidak tuntas dapat

menimbulkan komplikasi berbahaya atau kematian.4 Penyakit TB paru dapat menyebar melalui

airborne pada waktu batuk dan bersin, sekali pasien batuk dapat menyebarkan 3000 kuman dalam

percikan dahak dan pasien tb paru yang terinfeksi dapat menularkan infeksi tb paru sebanyak 15

orang dalam satu tahun sehingga infeksi Tuberkulosis (TB) merupakan masalah kesehatan

masyarakat yang penting di dunia ini. Menurut Data yang diperoleh dari WHO secara global pada

tahun 2017 ada sekitar 10,4 juta kasus insiden TB (kisaran, 8,8 juta hingga 12,2 juta), setara

dengan 140 kasus per 100.000 penduduk dan insidensi kasus TB di dunia yaitu, wilayah Asia

Tenggara sekitar 45 %, bagian wilayah Afrika (25%), wilayah Pasifik Barat (17%), wilayah

Miditerania (7%), wilayah Eropa (3%), wilayah Amerika (3%). Terdapat 30 negara dengan beban

penyakit TB tertinggi yang menyubang sekitar 87 % penyakit TB di seluruh dunia, dan kelima

negara dengan insiden TB tertinggi yaitu India, Indonesia, China, Filipina dan Pakistan. Cina,

India dan Indonesia menyubang 45% dari total insiden diseluruh dunia. Insiden TB paru di

Indonesia sekitar 1020 per 261000 populasi, India sekitar 2790 per 1324000, Cina 895 per

1404000, Filipina 573 per 103000 populasi, Pakistan 518 per 193000 populasi.2

Terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi permasalahan kesehatan di Indonesia,

terdiri dari faktor sosial budaya, sosial ekonomi, sistem pelayanan kesehatan, penyebaran sarana

kesehatan, keterbatasan tenaga kesehatan dan lingkungan fisik. Sanitasi lingkungan yang buruk

sangat erat kaitannya dengan angka kesakitan pada jenis penyakit Tuberkulosis (TB).5

2
I.2 Tujuan

1. Tujuan Umum

Mengaplikasikan dan menerapkan konsep kedokteran keluarga pada seorang pasien

yang menderita penyakit Tuberkulosis paru.

2. Tujuan Khusus

a. Mengidentifikasi masalah kesehatan keluarga, termasuk masalah lingkungan dan

sosial ekonomi keluarga.

b. Meningkatkan kualitas kesehatan seluruh anggota keluarga.

c. Membantu seluruh anggota keluarga untuk mengenali masalah yang ada di dalam

keluarga tersebut yang akan mempengaruhi derajat kesehatan anggota keluarga.

d. Membantu keluarga untuk memahami fungsi-fungsi anggota keluarga (biologis,

psikologis, sosial, ekonomi, dan pemenuhan kebutuhan, serta penguasaan masalah dan

kemampuan beradaptasi).

e. Membentuk perilaku hidup sehat di dalam keluarga.

I.3 Manfaat

1. Bagi Penulis

Dapat menambah pengalaman dalam bekerja sebagai dokter keluarga secara langsung pada

pasien TB paru dan menambah wawasan pengetahuan tentang TB paru.

2. Bagi Pasien dan Keluarga

a. Keluarga menjadi lebih memahami mengenai masalah kesehatan yang ada dalam

lingkungan keluarga.

b. Keluarga mampu untuk mengatasi permasalahan kesehatan keluarga secara mandiri.

3
3. Bagi Tenaga Kesehatan

Sebagai bahan masukan kepada tenaga kesehatan agar dapat memberikan pelayanan kepada

pasien Tuberkulosis paru secara holistik dan komprehensif serta mempertimbangkan aspek

keluarga dalam proses kesembuhan.

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Tuberkulosis

II.1.1 Definisi

Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB

(Mycobacterium tuberculosis). Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi dapat juga

menyerang organ tubuh lainnya. Tuberkulosis paru (TB) adalah suatu penyakit infeksi kronik

yang sudah lama dikenal pada manusia. Ditandai pembentukan turbekel dan cenderung meluas

secara lokal. Selain itu, juga bersifat pulmoner maupun ekstrapulmoner dan dapat mempengaruhi

organ tubuh lainnya. Tuberkulosis paru (TB) disebabkan oleh bakteri Mycobacterium

tuberculosis. Bakteri ini berbentuk batang dan bersifat tahan asam sehingga dikenal juga sebagai

Batang Tahan Asam (BTA).3

II.1.2 Epidemiologi

Walaupun pengobatan TB yang efektif sudah tersedia tapi sampai saat ini TB paru masih

tetap menjadi problem kesehatan dunia yang utama. Pada bulan Maret 1993 WHO

mendeklarasikan TB sebagai global health emergency. TB paru dianggap sebagai masalah penting

karena lebih kurang 1/3 penduduk dunia terinfeksi oleh TB paru. Pada tahun 1998 ada 3.617.047

kasus TB yang tercatat diseluruh dunia.1

Sebagian besar dari kasus TB ini (95%) dan kematiannya (98%) terjadi dinegara-negara

yang sedang berkembang. Di antara mereka 75 % berada pada usia produktif yaitu20-49 tahun.

Karena penduduk yang padat dan tingginya prevalensi maka lebih dari 65 % dari kasus-kasus TB

yang baru dan kematian yang muncul di Asia.1


5
Alasan utama yang muncul atau meningkatnya penyakit TB global ini disebabkan :

a. Kemiskinan pada berbagai penduduk

b. Meningkatnya penduduk dunia

c. Perlindungan kesehatan yang tidak mencukupi.

d. Tidak memadainya pendidikan mengenai penyakit TB.

e. Terlantar dan kurangnya biaya pendidikan.

Jumlah pasien TB paru di Indonesia diperkirakan sekitar 10% dari total jumlah pasien TB

di dunia dan termasuk penyebab kematian utama. Hasil survei prevalensi TB paru di Indonesia

tahun 2004 menunjukkan bahwa angka prevalensi TB BTA positif secara Nasional adalah sebesar

110 per 100.000 penduduk.3

Secara regional prevalensi TB BTA positip di Indonesia dikelompokan dalam tiga wilayah

yaitu wilayah Sumatra dengan angka prevalensi TB sebesar 160 per 100.000 penduduk wilayah

Jawa dan Bali dengan angka prevalensi TB sebesar 110 per 100.000 penduduk dan wilayah

Indonesia Timur dengan angka prevalensi TB sebesar 210 per 100.000 penduduk. Khusus untuk

propinsi DIY dan Bali angka prevalensi TB adalah sebesar 68 per 100.000 penduduk (Depkes,

2008).3

II.1.3 Klasifikasi

Klasifikasi berdasarkan organ tubuh yang terkena:

1. Tuberkulosis Paru

Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan (parenkim) paru,

tidak termasuk pleura (selaput paru) dan kelenjar pada hilus.

6
2. Tuberkulosis Ekstraparu

Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya pleura,

selaput otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar lymfe, tulang, persendian, kulit,

usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dan lain-lain.

Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis, yaitu pada TB Paru:

1) Tuberkulosis paru BTA positif.

a. Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif.

b. 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks dada menunjukkan

gambaran tuberkulosis.

c. 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman TB positif.

d. 1 atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen dahak SPS pada

pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan setelah

pemberian antibiotika non OAT.

2) Tuberkulosis paru BTA negatif

Kasus yang tidak memenuhi definisi pada TB paru BTA positif. Kriteria diagnostik

TB paru BTA negatif harus meliputi:

a. Paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negative

b. Foto toraks abnormal menunjukkan gambaran tuberkulosis.

c. Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.

d. Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi pengobatan.

Klasifikasi berdasar tipe pasien :

a. Kasus Baru  Pasien yang belum pernah mendapatkan pengobatan dengan OAT

atau sudah pernah menelan OAT < 1 bulan.

7
b. Kasus Kambuh (relaps)  Pasien yang pernah mendapat pengobatan

Tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap.

c. Kasus Drop Out  Pasien yang telah menjalani pengobatan >1 bulan dan tidak

meneruskan pengobatan sampai selesai.

d. Kasus Gagal Therapi  Pasien dengan BTA (+) yang masih tetap (+) atau

kembali (+) pada akhir bulan ke V atau akhir pengobatan.

e. Kasus Kronik  Pasien dengan hasil pemeriksaan BTA masih (+) setelah selesai

pengobatan ulang dengan pengobatan kategori 2 dengan pengawasan yang baik.

f. Kasus Bekas TB  Pasien riwayat OAT (+) dan saat ini dinyatakan sudah sembuh

II.1.3 Penularan Tuberkulosis1,5

1. Cara penularan tuberkulosis adalah pasien TB BTA positif. Pada waktu batuk atau bersin,

pasien menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk percikan dahak (droplet nuclei). Sekali

batuk dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak. Selama kuman TB masuk kedalam

tubuh manusia melalui pernapasan, kuman TB tersebut dapat menyebar dari paru kebagian

tubuh lainnya, melalui sistem peredaran darah, sistem saluran linfe, saluran napas, atau

penyebaran langsung ke bagian-bagian tubuh lainnya.

2. Umumnya penularan terjadi dalam ruangan dimana percikan dahak berada dalam waktu yang

lama. Ventilasi dapat mengurangi jumlah percikan, sementara sinar matahari langsung dapat

membunuh kuman. Percikan dapat bertahan selama beberapa jam dalam keadaan yang gelap

dan lembab.

3. Daya penularan seorang pasien ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan dari

parunya. Makin tinggi derajat kepositifan hasil pemeriksaan dahak, makin menular pasien

tersebut.

8
4. Faktor yang memungkinkan seseorang terpajan kuman TB ditentukan oleh konsentrasi

percikan dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut.

Risiko penularan Tuberkulosis

Risiko tertular tergantung dari tingkat pajanan dengan percikan dahak. Pasien TB paru

dengan BTA positif memberikan kemungkinan risiko penularan lebih besar dari pasien TB paru

dengan BTA negatif. Risiko penularan setiap tahunnya di tunjukkan dengan Annual Risk of

Tuberculosis Infection (ARTI) yaitu proporsi penduduk yang berisiko terinfeksi TB selama satu

tahun. ARTI sebesar 1%, berarti 10 (sepuluh) orang diantara 1000 penduduk terinfeksi setiap

tahun. ARTI di Indonesia bervariasi antara 1-3%. Infeksi TB dibuktikan dengan perubahan reaksi

tuberkulin negatif menjadi positif.2

Risiko menjadi sakit Tuberkulosis

Hanya sekitar 10% yang terinfeksi TB akan menjadi sakit TB. Dengan ARTI

1%,diperkirakan diantara 100.000 penduduk rata-rata terjadi 1000 terinfeksi TB dan10%

diantaranya (100 orang) akan menjadi sakit TB setiap tahun. Sekitar 50 diantaranya adalah pasien

TB BTA positif.2

II.1.4 Pencegahan Penyakit TB-Paru

I.Promotif

a) Edukasi tentang penyakit TB meliputi penyebab, faktor risiko, perjalanan penyakit, gejala,

pemeriksaan terkait, pengobatan, pencegahan, dan komplikasi.

b) Edukasi untuk meningkatkan kondisi rumah menjadi rumah sehat, seperti membuka

gorden jendela agar pencahayaan baik, membuka pintu dan jendela setiap hari agar terjadi

pertukaran udara. Hal tersebut berfungsi untuk mencegah penularan penyakit


9
c) Pasien agar memeriksakan diri secara teratur ke lembaga kesehatan (puskesmas, rumah

sakit)

d) Ketekunan dan keteraturan untuk meminum obat akan mempercepat penyembuhan

2 Preventif

Tindakan pencegahan dapat dikerjakan oleh penderitaan, masyarakat dan petugas

kesehatan. Pengawasan Pederita, kontak dan lingkungan :

a. Oleh penderita, dapat dilakukan dengan menutup mulut sewaktu batuk dan membuang

dahak tidak disembarangan tempat.

b. Oleh masyarakat dapat dilakukan dengan meningkatkan dengan terhadap bayi harus

diberikan vaksinasi BCG.

c. Isolasi, pemeriksaan kepada orang orang yang terinfeksi, pengobatan khusus TBC.

d. Desinfeksi, Cuci tangan dan tata rumah tangga keberhasilan yang ketat, perlu perhatian

khusus terhadap muntahan dan ludah. Ventilasi rumah dan sinar matahari yang cukup

sangat penting dalam pencegahan penularan penyakit TB .

e. Imunisasi orang–orang kontak. Tindakan pencegahan bagi orang–orang sangat dekat

(keluarga, perawat, dokter, petugas kesehatan lain) dan lainnya yang terindikasinya

dengan vaksi BCG dan tindak lanjut bagi yang positif tertular.

f. Penyelidikan orang-orang kontak yaitu pemeriksaan pada orang-orang sekitar/keluarga

pasien

g. Pemeriksaan screening pada kelompok beresiko tinggi, seperti para emigrant,

orangorang kontak dengan penderita (keluarga pasien(, petugas dirumah sakit, s

II.1.5 Strategi Penemuan TB

1. Definisi Strategi Penemuan Tb

Strategi penemuan TB adalah suatu upaya untuk meningkatkan penemuan kasus TB dengan

meningkatkan cakupan deteksi dini TB melalui upaya memperkuat jejaring eksternal yang

10
melibatkan semua fasyankes yang ada sehingga tidak terjadi kehilangan kasus TB dari terduga

TB di fasyankes.

2. Klasifikasi Strategi Penemuan Tb

Strategi penemuan kasus TB di Indonesia dapat dilakukan secara pasif (di dalam gedung)

secara intensif (penguatan jejaring layanan dan kolaborasi layanan kesehatan) maupun secara

aktif (kegiatan di luar gedung) dan masif (cakupan seluas mungkin). Kedua upaya ini harus

didukung dengan kegiatan promosi yang aktif, sehingga semua terduga TB dapat ditemukan,

terdiagnosis, dan mendapatkan pengobatan secara tepat sedini mungkin.

a. Penemuan Kasus TB Secara Pasif-Intensif

Kegiatan penemuan yang dilaksanakan di dalam fasilitas kesehatan dengan

memperkuat jejaring layanan TB melalui kegiatan Public Private Mix (PPM) di tingkat

Kbaupaten/Kota dan memperkuat kolaborasi layanan antara layanan TB dengan layanan

kesehatan lainnya yang diselenggarakan di fasyankes.

i. Jejaring layanan

Strategi peningkatan penemuan kasus TB di fasyankes melalui kegiatan

penguatan jejaring eksternal antar fasyankes yang memberikan layanan diagnosis

TB untuk menghindari terjadinya miss opportunity yang disebabkan karena

keterbatasan sarana diagnosis yang dimiliki fasyankes yang melakukan kontak

pertama dengan pasien TB. kegiatan penguatan jejaring ini bertujuan untuk

memastikan agar semua pasien TB mendapatkan layanan diagnosis yang bermutu

dan sesuai standar.

ii. Kolaborasi layanan

Strategi peningkatan penemuan kasus TB melalui penguatan jejaring internal

antara unit-unit layanan yang mungkin akan menemukan terduga atau pasien TB

misalnya, di poliklinik umum, poloklinik paru, poliklinik penyakit dalam dan

11
poliklinik anak. Kegiatan kolaborasi layanan juga bisa berupa kegiatan integrasi dan

kolaborasi penemuan pasien TB dengan penyelenggaraan layanan kesehatan selain

TB yang ada di fasyankes, terutama di unit layanan kesehatan yang memberikan

pelayanan kesehatan kepada populasi kunci yang rentan untuk TB, misalnya HIV,

DM, Gizi, Lansia, klinik KIA dan ANC. Penguatan kolaborasi layanan TB secara

majareial juga bisa dilaksanakan dengan penerapan sistem manajemen layanan

kesehatan yang terintegrasi di fasyankes, misalnya dengan penerapan Pendekatan

Praktis Kesehatan Paru/ PPKP (PAL = Practical Approach to Lung Health),

Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS), Manajemen Terpadu Dewasa Sakit

(MTDS).

b. Penemuan Pasien TB Secara Aktif dan/atau Masif Berbasis Keluarga dan Masyarakat

Berupa kegiatan-kegiatan penemuan terduga atau pasien TB yang dilakukan di luar

fasyankes melalui beberapa upaya penjangkauan secara aktif oleh petugas kesehatan atau

potensi kesehatan masyarakat yang bertujuan untuk menemukan dan merujuk terduga TB

ke fasyankes untuk penegakan diagnosis. Upaya penemuan secara aktif di masyarakat

dilaksanakan dengan upaya jemput bola dengan mendatangkan sarana diagnostik yang

bersifat mobile ke suatu daerah dalam satu periode tertentu.

Kegiatan penemuan pasien TB secara aktif harus terintegrasi dengan Gerakan

Masyarakat dan pendekatan Keluarga Sehat. Kegiatan ini juga harus melibatkan semua

potensi kesehatan masyarakat yang ada di suatu wilayah antara lain; Kader dari UKBM

(Posyandu, Posbindu, Pos TB desa, Poskesdes dan Polindes), kader organisasi

kemasyarakatan, tokoh masyarakat, tokok agama, dan kelompok peduli TB lainnya.

Kegiatan penemuan kasus TB secara aktif berbasis keluarga dan masyarakat dapat berupa:

i. Investigasi kontak

12
Dilakukan pada paling sedikit 10 – 15 orang kontak erat dengan pasien TB. kontak

erat adalah orang yang tinggal serumah (kontak serumah) maupun orang yang berada

di ruangan yang sama dengan pasien TB aktif (detected cases/ confirm cases) yang

ternotifikasi selama satu periode tertentu, yaitu sekurang-kurangnya selama 8 jam

sehari selama satu bulan atau lebih. Pelaksanaan kegiatan investigasi kontak harus

dicatat dan dilaporkan baik dalam kartu pengobatan pasien TB maupun register

pemeriksaan kontak.

ii. Penemuan aktif pada populasi kunci di masyarakat

Penemuan aktif pada populasi kunci di masyarakat dilakukan kepada orang-orang

dengan risiko TB seperti anak usia < 5 tahun, orang dengan imunosupresif, malnutrisi,

lansia, wanita hamil, perokok dan mantan penderita TB yang mengakses layanan di

UKBM terkait, misalnya Posyandu, Polindes, Posbindu dan Poskesdes. Kegiatan ini

dilakukan di daerah-daerah berisiko tinggi untuk TB seperti di daerah KUPAT-KUMIS

(Kumuh Padat dan Kumuh Miskin) dan daerah dengan beban TB tinggi (di atas angka

estimasi insidensi TB nasional). Kegiatan ini dilaksanakan dengan dua metode, yaitu:

- Metode skrining/ penapisan gejala pada populasi kunci yang datang ke

layanan UKBM

- Metode penelusuran terhadap kondisi-kondisi tertentu yang mungkin

dipengaruhi oleh terjadinya TB, misalnya pada anak balita dengan grafik

tumbuh kembang dibawah garis merah.

iii. Penemuan di tempat khusus

Penemuan aktif yang dilakukan di tempat khusus yaitu pada lingkungan yang mudah

terjadi penularan TB yaitu Lapas/ Rutan, RS Jiwa, tempat kerja, asrama, pondok

pesantren, sekolah, panti jompo, panti sosial, tempat kerja dan tambang secara rutin

atau tahunan. Kegiatan ini membutuhkan kolaborasi dengan stake holder terkait.

13
iv. Penemuan di populasi berisiko

Kegiatan penemuan aktif yang dilakukan secara berkala pada anggota masyarakat

yang bertempat tinggal di wilayah atau tempat yang memiliki akses terbatas ke layanan

kesehatan, misalnya: tempat penampungan pengungsi, daerah kumuh dan DTPK

(Daerah Terpencil, Perbatasan dan Kepulauan). Kegiatan ini dilakukan dengan upaya

jemput bola oleh petugas kesehatan.

v. Penemuan aktif berbasis keluarga dan masyarakat

Dilaksanakan secara rutin oleh anggota keluarga maupun kader kesehatan yang

melakukan skrining gejala pengawasan batuk terhadap orang yang tinggal di

lingkungannya dan menyarankan orang dengan batuk untuk memeriksakan diri ke

fasyankles terdekat.

vi. Penemuan aktif berkala

Dilakukan oleh puskesmas pada wilayah yang teridentifikasi sebagai daerah

kantung TB. Definisi darah kantung TB adalah daerah yang memiliki jumlah pasien

yang banyak apabila dibandingkan dengan jumlah penduduk yang ada. Pada daerah

kantung ini dilakukan upaya penemuan aktif berkala dengan kegiatan skrining aktif

setiap 6 bulan sekali sampai tidak ditemukan kasus TB pada kegiatan penemuan aktif

berkala secara 2 kali berturut-turut.

vii. Skrining massal

Kegiatan penemuan aktif melalui skrining massal yang dilaksanakan sekali setahun

untuk meningkatkan penemuan pasien TB di wilayah yang penemuan kasusnya masih

sangat rendah. Dalam hal ini Puskesmas bekerja sama dengan aparat desa/ kelurahan,

kader kesehatan dan potensi masyarakat sekitar untuk skrining gejala TB secara masif

dan membawanya ke layanan kesehatan luar gedung.

14
II.1.6 Strategi Eliminasi TB di Indonesia: Tantangan Missing Cases11

A. Pencapaian Program Penanggulangan TB di Indonesia


1. Penemuan dan Keberhasilan Pengobatan
Cakupan penemuan kasus TB (case detection rate/CDR) adalah persentase jumlah
kasus TB yang telah ditemukan dan diobati serta dilaporkan kepada program dibagi dengan
jumlah perkiraan kasus yang ada di daerah tersebut.
Angka keberhasilan pengobatan pasien TB (success rate/SR) adalah persentase pasien
yang menyelesaikan pengobatannya berdasarkan kohort pengobatan. Biasanya dihitung
setelah 1 tahun, diperkirakan seluruh pasien tersebut telah menyelesaikan pengobatannya.
Baik penemuan kasus maupun angka keberhasilan pengobatan sebagai unit analisis
menggunakan tingkat kabupaten/kota. Selanjutnya provinsi menggunakan angka tersebut
untuk menghitung angka cakupan pengobatan dan angka keberhasilan pegobatan TB untuk
tingkat provinsi.
Pada 2016 dan 2017 notifikasi kasus TB kecenderungan meningkat drastis, setelah
diperkenalkannya perubahan strategi nasional yang baru terutama dalam hal penemuan
kasus TB. Dari perkiraan 1.020.000 kasus TB sebanyak 360.565 kasus TB dilaporkan ke
program menjadikan angka penemuan kasus menjadi 36% dan hal ini semakin mengurangi
missing cases dari 680.000 pada 2015 menjadi sekitar 640.000 pada 2016. Pada 2017,
terjadi peningkatan dan 401.130 kasus TB dilaporkan ke dalam SITT.

Berdasarkan hasil laporan tahun 2017, belum ada satu pun provinsi yang mencapai
kedua indikator tersebut, yaitu angka keberhasilan di atas 85% dan angka cakupan lebih
dari 70%. Tetapi banyak provinsi yang telah mencapai salah satu dari target indikator
tersebut. Angka penemuan kasus diharapkan terus meningkat, minimal lebih dari 70%.
Provinsi yang mencapai lebih dari 70% adalah DKI Jakarta (118% dari pasien yang
diperkirakan ada di wilayah DKI Jakarta). Hal ini bisa dimaklumi selain kemudahan
terhadap akses, banyak layanan yang menjadi pusat rujukan nasional juga pasien dari
wilayah sekitar, seperti Tangerang, Bekasi, Depok, dan Bogor yang lebih mudah akses ke
layanan di DKI Jakarta.

Secara umum kecenderungan penemuan kasus semakin meningkat. Pada 2016 dan
notifikasi kasus TB kecenderungan meningkat drastis, setelah diperkenalkannya perubahan
strategi nasional yang baru terutama dalam hal penemuan kasus TB danpada 2017
mencapai di atas 40%. Tingkat keberhasilan pengobatan TB nasional terus dipertahankan

15
sesuai dengan minimal target WHO, yaitu di atas 85% dan tahun 2017 mencapai di atas
87%.

2. TB Resistan Obat (RR/MDR-TB)


Estimasi WHO dalam Global Report 2017 insiden TB RO (TB resistan obat) baik
resistan Rifampisisn maupun multi resistans (RR/MDR TB) sebanyak 32.000 kasus.
Estimasi jumlah kasus TB RO diantara total pasien TB yang terlaporkan sebesar 11.000
kasus. Kasus yang dapat dikonfirmasi sejumlah 2757 dan yang memulai pengobatan
sebanyak 1931 kasus. Sekitar 30% tidak menjalankan pengobatan.

3. Memetakan Under-Reporting: Tuberculosis Inventory Study


Dari 1.020.000 kasus insiden TB di tahun 2016, hanya 35% yang ternotifikasi.
Sisanya adalah kasus yang sudah didiagnosis atau diobati tetapi tidak dilaporkan (under-
reporting) atau belum didiagnosis (under-diagnosis). Hasil sementara inventory study
memperkirakan bahwa under-reporting di fasyankes pemerintah sebesar 30,1% sedangkan
swasta 78,8%. Jumlah pasien TB yang telah dilakukan pengobatan mencapai sekitar
730.000 kasus tetapi yang terlaporkan sampai saat ini sebesar 360.000. lebih dari 50%
pasien TB yang telah diobati tidak terlaporkan. Dengan demikian mising TB cases di
Indonesia lebih banyak disebabkan oleh under-reporting. Maka program ke depan harus
mengambil strategi kepada:
 Penguatan jejaring pemerintah-swasta dalam layanan TB berbasis kabupaten/kota
(PPM berbasis kab/kota).
 Memberlakukan secara intensif dan ekstensif Notifikasi Wajib (mandatory
notification) kepada dinas kesehatan kabupaten/kota bagi seluruh layanan yang
ada di wilayahnya yang ikut melakukan pengobatan pasien TB.
 Penguatan sistem dan menyederhanakan pelaporan SITT, serta melakukan
surveilans secara proaktif terhadap semua layanan yang ikut mengobati pasien
TB.
 Intensifikasi pendekatan layanan yang terintegrasi (HIV, DM, gizi buruk,
smoking, penyakit paru, dsb.)
 Penguatan sistem rujukan dan rujuk balik ke puskesmas tetap terpantau kepatuhan
minum obatnya.

16
 Bekerja sama dengan BPJS untuk pelaporan kasus dan pembiayaan layanan serta
meregulasi pemenafaatan pembiayaan berupa insentif kapitasi maupun kalim
layanan pasien TB.
 Penguatan kerja sama dengan Koalisi Profesi yang terdiri dari 13 organisasi
profesi untuk mendudkung pelalsanaan PPM berbasis Kab/kota.

B. Peta Jalan Eliminasi TB di Indonesia


Hasil Survei Prevalensi TB Nasional 2013/2014 telah diterbitkan pada 2015 dan telah
disikapi menjadi salah satu dasar perubahan kebijakan dan strategi penanggulangan TB 2016-
2020 serta peta jalan dan milestone menuju eliminasi TB. Peta Jalan Nasional menetapkan arah
dan target yang jelas dalam mengeliminasi TB di Indonesia, sejalan dengan tujuan SDGs 2030
dan End TB Strategy 2035.

1. Milestone
Gambar 2.1 Target Milestone Eliminasi TB di Indonesia

Milestone 2016-2020
• Penguatan PPM dan penerapan penemuan aktif
• Pemanfaatan TCM dan mikroskopis
• Desentralisasi kegiatan kepada Kabupaten/kota
• Penguatan regulasi dan kepemimpinan program
• Menerapkan exit strategy ketergantungan dari donor.

17
• Penerapan kegiatan penurunan risiko penularan
• Penerapan shoterm regiment untuk MDR-TB
• Akselerasi pengobatan kasus TB mencapai 70% dan angka keberhasilan pengobatan
diatas 85%.
Milestone 2020-2025
• Mempertahankan cakupan pengobatan tetap di atas 70% dan angka kesuksesan
pengobatan di atas 85%.
• Optimalisasi desentralisasi kegiatan TB kepada kabupaten/kota.
• Mencegah pembiayaan katastropik TB
• Penguatan pengendalian faktor risiko: profilaksis dan pengobatan TB laten
• Maksimalisasi pemanfaatan diagnosis TCM dan mikroskopis
• Desentralisasi kegiatan kepada Kabupaten/kota
• Penerapan short-term regiment untuk TB sensitif
Milestone 2025-2030
• Mempertahankan cakupan pengobatan tetap di atas 80% dan angka kesuksesan
pengobatan di atas 95%.
• Menerapkan cakupan semesta untuk TB.
• Mengendalikan pembiayaan katastropik TB
• Akselerasi pengobatan profilaksis dan pengobatan TB laten
• Inovasi diagnosis TB
• Penguatan surveilans TB
• Penerapan short-term regiment untuk TB laten
• Penerapan vaksin TB

Milestone 2030-2035
• Penguatan surveilans kasus TB termasuk surveilans migrasi
• Mempertahankan cakupan pengobatan milestone tetap di atas 95% dan angka
kesuksesan pengobatan di atas 95%
• Menerapkan cakupan semesta untuk TB
• Mencegah pembiayaan katastropik TB
• Mempertahankan pengobatan profilaksis dan pengobatan TB laten tinggi
• Meningkatkan Inovasi dalam diagnosis dan pengobatan TB
• Akselerasi penggunaan vaksin TB
18
2. Formulasi Strategi Eliminasi TB
Enam strategi diformulasikan untuk diimplementasikan secara komprehensif, terpadu,
dan sinergis dalam mencapai eliminasi TB, yaitu:
1) Penguatan Kepemimpinan Program TB berbasis kabupaten/kota
 Koordinasi oleh pemerintah dengan peta jalan eliminasi yang jelas dan diperkuat
dengan regulasi.
 Kolaborasi multisektoral dan koalisi yang kuat dengan organisasi masyarakat
 Peningkatan pembiayaan, terutama dari pendanaan bersumber dalam negeri
 Koordinasi, harmonisasi, sinkronisasi dan sinergi untuk mencapai kinerja program
yang terbaik.
2) Meningkatkan akses layanan TB yang bermutu.
• Melibatkan semua penyedia layanan melalui peningkatan jaringan layanan
pemerintah swasta melalui district-based public-private mix (PPM)
• Intensifikasi penemuan kasus TB aktif melalui pendekatan kesehatan masyarakat
dan keluarga.
• Pendekatan integrasi layanan seperti TB-HIV, TB-DM, IMCI, PAL, dll.
• Inovasi diagnostik TB dengan memanfaatkan alat terbaru sesuai rekomendasi
WHO
• Meningkatkan kepatuhan pengobatan pasien dan dukungan pasien dan keluarga
• Integrasi dengan asuransi kesehatan untuk mencapai cakupan universal untuk
pengobatan TB

3) Pengendalian faktor risiko


• Promosi, lingkungan dan gaya hidup sehat
• Implementasi pencegahan dan pengendalian infeksi TB (imunisasi, pengobatan
profilaksis, pengendalian infeksi, dll.)
• Meningkatkan penemuan kasus TB dan juga mempertahankan keberhasilan
pengobatan yang tinggi
4) Penguatan kemitraan TB melalui forum koordinasi
• Pemetaan mitra potensial dalam eliminasi TB
• Peningkatan kemitraan melalui koordinasi forum TB di tingkat pusat
• Peningkatan kemitraan melalui forum koordinasi TB di tingkat provinsi/kabupaten

19
5) Peningkatan keterlibatan masyarakat dalam pengendalian TB
• Meningkatkan keterlibatan dan keterlibatan pasien TB, mantan pasien, keluarga dan
masyarakat dalam pengendalian TB
• Memperluas keterlibatan masyarakat dan keluarga dalam pengendalian TB
• Keterlibatan peran masyarakat dalam promosi TB, temuan kasus TB dan dukungan
pengobatan terhadap TB
• Pemberdayaan masyarakat melalui integrasi TB ke dalam pelayanan kesehatan
berbasis keluarga dan masyarakat
6) Memperkuat sistem kesehatan dan manajemen TB
• Sumber daya manusia yang memadai dan kompeten
• Mengelola logistik secara efektif
• Meningkatkan pembiayaan, advokasi dan peraturan
• Memperkuat sistem informasi strategis, surveilans proaktif, termasuk kewajiban
melaporkan (Mandatory Notification).
• Jaringan dalam penelitian dan pengembangan inovasi program.
3. Strategi Dunia dalam Penanggulangan TB
Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals) telah
disepakati dan diadopsi oleh semua negara anggota PBB. Tujuan yang ke tiga adalah
Ensure healthy lives and promote well-being for all at all ages, yaitu memastikan hidup
sehat dan mempromosikan kehidupan sejahtera bagi semua di semua umur.

Gambar 2.2 Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals)

20
C. Akses Layanan TB: Menuju Universal Health Coverage
Penemuan kasus dan layanan pengobatan Tuberkulosis dilakukan dengan pendekatan:
 Penemuan secara pasif, intensif berbasis fasilitas layanan kesehatan
Penemuan secara pasif dilakukan melalui jejaring kolaborasi layanan pemerintah dan
swasta dan integrasi manajemen layanan.
 Penemuan secara aktif, masif berbasis komunitas
Sementara penemuan secara aktif masif dilakukan melalui integrasi dengan pendekatan
keluarga.
Gambar 2.3 Penemuan kasus dan layanan pengobatan Tuberkulosis

II.1.7 Diagnosis6,7

Diagnosis tuberkulosis dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan

fisis/jasmani, pemeriksaan bakteriologi, radiologi dan pemeriksaan penunjang lainnya.

A. Gejala klinik

1. Gejala Lokal

 Demam: biasanya subfebril menyerupai demam influenza, tetapi kadang-kadang

panas badan dapat mencapai 40-410C, demam hilang timbul

21
 Batuk, sifat batuk dimulai dari batuk kering (non-produktif) kemudian setelah

timbul peradangan menjadi produktif (sputum). Keadaan lanjut dapat terjadi batuk

darah

 Sesak napas, sesak nafas akan ditemukan pada penyakit yang sudah lanjut, yang

infiltratnya sudah meliputi setengah bagian paru-paru

 Nyeri dada. Nyeri dada timbul bila infiltrate radang sudah sampai ke pleura

sehingga menimbulkan pleuritis

 Badan lemah, nafsu makan menurun, berat badan turun, rasa kurang enak badan

(malaise), berkeringat malam walaupun tanpa kegiatan

2. Gejala tuberkulosis ekstraparu

Gejala tuberkulosis ekstraparu tergantung dari organ yang terlibat, misalnya pada

limfadenitis tuberkulosis akan terjadi pembesaran yang lambat dan tidak nyeri dari

kelenjar getah bening, pada meningitis tuberkulosis akan terlihatgejala meningitis,

sementara pada pleuritis tuberkulosis terdapat gejala sesak napas dan kadang nyeri

dada pada sisi yang rongga pleuranya terdapat cairan.

B. Pemeriksaan Fisik

Dapat ditemukan konjungtiva anemis, demam, badan kurus, berat badan menurun.

Tempat kelainan lesi TB paru yang paling dicurigai adalah bagian apex paru, bila dicurga

adanya infiltrate yang luas, maka pada perkusi akan didapatkan suara redup, auskultasi

bronchial dan suara tambahan ronki basah, kasar, dan nyaring. Tetapi bila infiltrate diliputi

penebalan pleura maka suara nafas akan menjadi vesicular melemah. Bila terdapat kavitas

yang luas akan ditemukan perkusi hipersonor atau timpani.

22
C. Pemeriksaan Radiologis

Pada awal penyakit saat lesi masih merupakan sarang-sarang pneumonia, gambaran

radiologis berupa bercak-bercak seperti awan dan dengan batas-batas tidak tegas. Bila lesi

sudah diliputi jaringan ikat maka banyangn terlihat berupa bulatan dengan batas tegas, lesi

dikenal sebagai tuberkuloma

Pada kavitas bayangannya berupa cincin yang mula-mula berdiniding tipis. Lama-lama

dinding jadi sklerotik dan terlihat menebal. Bila terjadi fibrosis terlihat bayangan bergaris-garis.

Pada kalsifikasi bayangannya terlihat sebagai bercak-bercak pada dengan densitas tinggi.

Gambaran radiologis lain yang sering menyertai TB paru adalah penebalan pleura, efusi

pleura, empiema.

D. Diagnosis Tuberkulosis (TB)

WHO tahun 1991 memberikan criteria :

1) Tuberkulosis paru BTA positif.

 Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif.

 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks dada menunjukkan

gambaran tuberkulosis.

 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman TB positif.

2) Tuberkulosis paru BTA negatif

 Pasien yang pada pemeriksaan sputum tidak ditemukan BTA sedikitnya pada 2 x

pemeriksaan tetapi gambaran radiologis sesuai TB aktif

 Pasien yang pada pemeriksaan sputum tidak ditemukan BTA tetapi pada biakannya

positif

23
.

Gambar 2. 4 Diagnosis Tuberculosis

II.1.8 Tatalaksana 1,8

Pengobatan tuberkulosis terbagi menjadi 2 fase, yaitu fase intensif (2-3 bulan) dan fase

lanjutan 4 atau 7 bulan. Paduan obat yang digunakan terdiri dari paduan obat utama dan tambahan

Obat Anti Tuberkulosis (OAT)

PRINSIP PENGOBATAN

Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip-prinsip sebagai berikut.

a. OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam jumlah

cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Jangan gunakan OAT

24
tunggal (monoterapi). Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT) lebih

menguntungkan dan sangat dianjurkan.

b. Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan langsung

(DOT = Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas Menelan Obat

(PMO).

c. Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan.

Tahap awal (intensif)

a. Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi secara

langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat.

b. Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya pasien

menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu.

c. Sebagian besar pasien TB BTA (+) menjadi BTA (-) (konversi) dalam 2 bulan.

Tahap Lanjutan

a. Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka

waktu yang lebih lama

b. Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister sehingga mencegah

terjadinya kekambuhan.

PADUAN OAT YANG DIGUNAKAN DI INDONESIA

Pengobatan tuberkulosis dibagi menjadi:

a. TB paru (kasus baru), BTA (+) atau pada foto toraks: lesi luas paduan obat yang

dianjurkan :

25
1) 2 RHZE/4RH atau

2) 2 RHZE/4R3H3 atau

3) 2 RHZE/6HE

Paduan ini dianjurkan untuk

1) TB paru BTA (+), kasus baru

2) TB paru BTA (-), dengan gambaran radiologik lesi luas (termasuk luluh paru)

3) Pada evaluasi hasil akhir pengobatan, bila dipertimbangkan untuk

memperpanjang fase lanjutan, dapat diberikan lebih lama dari waktu yang

ditentukan. (Bila perlu dapat dirujuk ke ahli paru). Bila ada fasilitas biakan dan

uji resistensi, pengobatan disesuaikan dengan hasil uji resistensi.

b. TB paru kasus kambuh

Pada TB paru kasus kambuh menggunakan 5 macam OAT pada fase intensif selama 3

bulan (bila ada hasil uji resistensi dapat diberikan obat sesuai hasil uji resistensi). Lama

pengobatan fase lanjutan 5 bulan atau lebih, sehingga paduan obat yang diberikan : 2

RHZES/1 RHZE/5 RHE. Bila diperlukan pengobatan dapat diberikan lebih lama

tergantung dari perkembangan penyakit. Bila tidak ada/tidak dilakukan uji resistensi,

maka alternatif diberikan paduan obat : 2 RHZES/1 RHZE/5 R3H3E3 (P2 TB).

c. TB Paru kasus gagal pengobatan

Pengobatan sebaiknya berdasarkan hasil uji resistensi dengan menggunakan

minimal 5 OAT (minimal 3 OAT yang masih sensitif), seandainya H resisten tetap

diberikan. Lama pengobatan minimal selama 1-2 tahun. Sambil menunggu hasil uji

resistensi dapat diberikan obat 2 RHZES, untuk kemudian dilanjutkan sesuai uji

resistensi.

1) Bila tidak ada / tidak dilakukan uji resistensi, maka alternatif diberikan paduan

obat : 2 RHZES/1 RHZE/5 H3R3E3 (P2TB)

26
2) Dapat pula dipertimbangkan tindakan bedah untuk mendapatkan hasil yang

optimal

3) Sebaiknya kasus gagal pengobatan dirujuk ke ahli paru

d. TB Paru kasus putus berobat

Pasien TB paru kasus lalai berobat, akan dimulai pengobatan kembali sesuai

dengan kriteria sebagai berikut.

1) Pasien yang menghentikan pengobatannya <2 bulan, pengobatan OAT

dilanjutkan sesuai jadwal.

2) Pasien menghentikan pengobatannya 2 bulan:

 Berobat 4 bulan, BTA saat ini negatif, klinik dan radiologik tidak

aktif/perbaikan, pengobatan OAT STOP. Bila gambaran radiologik aktif,

lakukan analisis lebih lanjut untuk memastikan diagnosis TB dengan

mempertimbangkan juga kemungkinan penyakit paru lain. Bila terbukti TB

maka pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yang lebih kuat dan

jangka waktu pengobatan yang lebih lama. Jika telah diobati dengan kategori

II maka pengobatan kategori II diulang dari awal.

 Berobat >4 bulan, BTA saat ini positif : pengobatan dimulai dari awal

dengan paduan obat yang lebih kuat dan jangka waktu pengobatan yang lebih

lama. Jika telah diobati dengan kategori II maka pengobatan kategori II

diulang dari awal.

 Berobat <4 bulan, BTA saat ini positif atau negatif dengan klinik dan

radiologik positif : pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yang

sama. Jika memungkinkan sebaiknya diperiksa uji kepekaan (kultur

resistensi) terhadap OAT.

e. TB Paru kasus kronik

27
1) Pengobatan TB paru kasus kronik, jika belum ada hasil uji resistensi, berikan

RHZES. Jika telah ada hasil uji resistensi, sesuaikan dengan hasil uji resistensi

(minimal terdapat 3 macam OAT yang masih sensitif dengan H tetap diberikan

walaupun resisten) ditambah dengan obat lini 2 seperti kuinolon, betalaktam,

makrolid.

2) Jika tidak mampu dapat diberikan INH seumur hidup.

3) Pertimbangkan pembedahan untuk meningkatkan kemungkinan penyembuhan.

4) Kasus TB paru kronik perlu dirujuk ke ahli paru. Catatan : TB diluar paru lihat TB

dalam keadaan khusus

Paket Kombipak

Adalah paket obat lepas yang terdiri dari Isoniasid, Rifampisin, Pirazinamid dan Etambutol

yang dikemas dalam bentuk blister. Paduan OAT ini disediakan program untuk digunakan dalam

pengobatan pasien yang mengalami efek samping OAT KDT.

Pengembangan pengobatan TB paru yang efektif merupakan hal yang penting untuk

menyembuhkan pasien dan menghindari MDR TB (Multi Drug Resistant Tuberculosis).

Pengembangan strategi DOTS untuk mengontrol epidemi TB merupakan prioriti utama WHO.

International Union Against Tuberculosis and Lung Disease (IUALTD) dan WHO menyarakan

untuk menggantikan paduan obat tunggal dengan kombinasi dosis tetap dalam pengobatan TB

primer pada tahun 1998. Dosis obat tuberkulosis kombinasi dosis tetap berdasarkan WHO seperti

terlihat pada tabel berikut ini.

Keuntungan kombinasi dosis tetap antara lain:

a. Penatalaksanaan sederhana dengan kesalahan pembuatan resep minimal.

b. Peningkatan kepatuhan dan penerimaan pasien dengan penurunan kesalahan

pengobatan yang tidak disengaja.

28
c. Peningkatan kepatuhan tenaga kesehatan terhadap penatalaksanaan yang benar dan

standar.

d. Perbaikan manajemen obat karena jenis obat lebih sedikit.

e. Menurunkan risiko penyalahgunaan obat tunggal dan MDR akibat penurunan

penggunaan monoterapi.

Tabel 2.1 Dosis paduan OAT KDT kategori 1: 2(RHZE)/4(RH)3

Tahap Intensif
Tahap Lanjutan
tiap hari selama 56
Berat 3 x seminggu selama 16
hari
Badan minggu
RHZE
RH (150/150)
(150/75/400/275)
30 – 37 kg 2 tablet 4KDT 2 tablet 2KDT
38 – 54 kg 3 tablet 4KDT 3 tablet 2KDT
55 – 70 kg 4 tablet 4KDT 4 tablet 2KDT
> 71 kg 5 tablet 4KDT 5 tablet 2KDT

a. Kategori 2 (2(RHZE)S/(RHZE)/5(HR)3E3)

Panduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang telah diobati sebelumnya:

- Pasien kambuh (relaps).

- Pasien gagal.

- Pasien dengan pengobatan setelah putus berobat (default)

29
Tabel 2.2 Dosis paduan OAT KDT kategori 2

Tahap Intensif tiap hari Tahap Lanjutan 3 x


RHZE (150/75/400/275) seminggu
+S RH (150/150) + E (400)
Berat
Badan

Selama 28 Selama 2
Selama 58 hari
Hari minggu

2 tab 4KDT + 2 tab 2KDT +


30 – 37 kg 2 tab 4KDT
500 mg Streptomisin inj 2 tab Etambutol
3 tab 4KDT + 3 tab 2KDT +
38 – 54 kg 3 tab 4KDT
750 mg Streptomisin inj 3 tab Etambutol
4 tab 4KDT + 4 tab 2KDT +
55 – 70 kg 4 tab 4KDT
1000 mg Streptomisin inj 4 tab Etambutol
5 tab 4KDT + 5 tab 2KDT +
> 71 kg 5 tab 4KDT
1000 mg Streptomisin inj 5 tab Etambutol

II.2 Pendekatan Kedokteran Keluarga

II.2.1 Definisi Keluarga

Bermacam-macam batasan keluarga, beberapa di antaranya dikemukakan sebagai berikut:

a. UU No. 10 Tahun 1992, keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri

dari suami istri, atau suami istri dan anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu dan

anaknya.11

b. Menurut Friedman, keluarga adalah kumpulan dua orang manusia atau lebih yang satu

sama lain saling terkait secara emosional, serta bertempat tinggal yang sama dalam satu

daerah yang berdekatan.12

30
c. Menurut Goldenberg (1980), keluarga adalah tidak hanya merupakan suatu kumpulan

individu yang bertempat tinggal yang sama dalam satu ruang fisik dan psikis yang sama

saja, tetapi merupakan suatu sistem sosial alamiah yang memiliki kekayaan bersama,

mematuhi peraturan, peranan, struktur kekuasaan, bentuk komunikasi, tata cara

negosiasi, serta tata cara penyelesaian masalah yang disepakati bersama, yang

memungkinkan berbagai tugas dapat dilaksanakan secara efektif.12

d.

II.2.2 Bentuk Keluarga

Menurut Goldenberg, bentuk keluarga terdiri sembilan macam, antara

lain:10,11,12

a. Keluarga inti (nuclear family)

b. Keluarga besar (extended family)

c. Keluarga campuran (blended family)

d. Keluarga menurut hukum umum (common law family)

e. Keluarga orang tua tunggal

f. Keluarga hidup bersama (commune family)

g. Keluarga serial (serial family)

h. Keluarga gabungan (composive family)

i. Hidup bersama dan tinggal bersama (co habitation family)

II.2.3 Fungsi dan Siklus Keluarga

Berdasarkan peraturan pemerintah No. 21 Tahun 1994 fungsi keluarga dibagi menjadi

delapan jenis, yaitu fungsi keagamaan, fungsi budaya, fungsi cinta kasih, fungsi melindungi,

fungsi reproduksi, fungsi sosialisasi dan pendidikan, fungsi ekonomi, dan fungsi pembinaan

lingkungan. Apabila fungsi keluarga terlaksana dengan baik, maka dapat diharapkan terwujudnya
31
keluarga yang sejahtera. Yang dimaksud keluarga sejahtera adalah keluarga yang dibentuk

berdasarkan perkawinan yang sah, mampu memenuhi kehidupan spiritual, dan materiil yang

layak.10,11

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Ogburn (1969), telah terbukti adanya

perubahan pelaksanaan fungsi keluarga. Olehnya disebutkan, bahwa keluarga memiliki fungsi:11

a. Fungsi ekonomi

b. Fungsi pelindungan

c. Fungsi agama

d. Fungsi rekreasi

e. Fungsi pendidikan

f. Fungsi status sosial

Terdapat 8 tahap pokok yang terjadi dalam keluarga (siklus keluarga), yaitu:11,12

a. Tahap awal perkawinan (newly married family)

b. Tahap keluarga dengan bayi (birth of the first child)

c. Tahap keluarga dengan anak usia pra sekolah (family with children in school)

d. Tahap keluarga dengan anak usia sekolah (family with children in school)

e. Tahap keluarga dengan anak usia remaja

f. Tahap keluarga dengan anak-anak yang meninggalkan keluarga

g. Tahap orang tua usia menengah

h. Tahap keluarga dalam masa pensiun dan lansia

II.2.4Arti dan Kedudukan Keluarga dalam Kesehatan

Keluarga memiliki peranan yang cukup penting dalam kesehatan. Adapun arti dan

kedudukan keluarga dalam kesehatan adalah sebaga berikut.11,12

32
a. Keluarga sebagai unit terkecil dalam masyarakat dan melibatkan mayoritas penduduk, bila

masalah kesehatan setiap keluarga dapat di atasi maka masalah kesehatan masyarakat

secara keseluruhan akan dapat turut terselesaikan.

b. Keluarga sebagai suatu kelompok yang mempunyai peranan mengembangkan, mencegah,

mengadaptasi, dan atau memperbaiki masalah kesehatan yang diperlukan dalam keluarga,

maka pemahaman keluarga akan membantu memperbaiki masalah kesehatan masyarakat.

c. Masalah kesehatan lainnya, misalnya ada salah satu anggota keluarga yang sakit akan

mempengaruhi pelaksanaan fungsi-fungsi yang dapat dilakukan oleh keluarga tersbut yang

akan mempengaruhi terhadap pelaksanaan fungsi-fungsi masyarakat secara keseluruhan.

d. Keluarga adalah pusat pengambilan keputusan kesehatan yang penting, yang akan

mempengaruhi kebrhasilan layanan kesehatan masyarakat secara keseluruhan.

e. Keluarga sebagai wadah dan ataupun saluran yang efektif untuk melaksanakan berbagai

upaya dan atau menyampaikan pesan-pesan kesehatan.

33
BAB III

LAPORAN KASUS

III.1 Identitas Pasien

Nama : Nn UP

Umur : 21 tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Status Perkawinan : Belum Menikah

Alamat : Gleyoran RT 002/001, Kelurahan Sambeng,

Kecamatan Borobudur, Magelang Jawa tengah

Agama : Islam

Suku Bangsa : Jawa

Pendidikan Terakhir : SMA

Pekerjaan : Tidak berkerja

III.2 Karakterisitik Kedatangan Pasien ke Pelayanan Kesehatan

Pasien datang dari Balai Kesehatan Masyarakat Magelang, pasien datang dengan

keluhan batuk selama ± 2 bulan, batuk terjadi secara terus menerus dan mengeluarkan dahak

berwarna kuning. Keluarnya darah saat batuk disangkal. Pasien juga mengaku nafsu makan

yang berkurang dan adanya penurunan berat badan sebanyak 10 kg selama kurang lebih 3

bulan terakhir. Pasien mengatakan sering berkeringat pada malam hari. Keluhan demam

disangkal. Pasien telah dilakukan pemeriksaan rontgen dada, dan pemeriksaan sputum (BTA

34
+1) di BKM Magelang. Dari pemeriksaam klinis dan pemeriksaan penunjang didiagnosis

sebagai TB paru putus obat.

Sebelumnya, pada tahun 2014 pada saat kelas 3 SMA, pasien telah didiagnosis TB

Paru, pasien mengaku hal tersebut tertular dari teman sekolahnya dikarenakan terdapat teman

yang mengalami keluhan serupa sebelumnya. Pada saat itu pasien menjalankan pengobatan

OAT 6 bulan tetapi setelah gejala membaik, dan hasil rontgen paru semakin membaik. Pasien

berhenti meminum obat pada bulan ke 5 pengobatan. Setelah lulus SMA pasien melanjutkan

pelatihan pramugari selama 6 bulan. Setelah lulus pasien sempat mendaftarkan diri sebagai

pramugari di beberapa maskapai penerbangan, namun tidak diterima.

Pasien akhirnya mendapat pekerjaan sebagai SPG toko sepatu di daerah Yogyakarta.

Selama berkerja pasien mengeluh batuk terus menerus ± 2 bulan dan akhirnya pasien berhenti

berkerja dan fokus dalam pengobatan.

Saat ini pasien menjalani obat OAT 8 bulan dengan mengkonsumsi obat OAT KDT

RHZE dan injeksi streptomisin setiap harinya. Dikarenakan jarak antara rumah pasien dan

BKM Magelang jauh pasien melanjutkan pengobatan di Puskesmas Borobudur.

III.3 Karakteristik Demografis Keluarga

Pasien tinggal di Gleyoran kelurahan Sambeng, Kecamatan Borobudur. Saat ini pasien

tinggal bersama Bapak dan Ibu kandung pasien. Pasien memiliki dua saudara laki laki dan

tinggal di rumah yang berbeda. Kedua saudara pasien tinggal di daerah tanggerang

Tabel 3.1 Daftar Anggota Keluarga Serumah

Kedudukan Umur Pendidikan


No. Nama Sex Pekerjaan Ket.
di keluarga (thn) Terakhir

1. Bp Sungkono KK L 52 Tamat SD Petani Sehat


(Bp S)

35
Ny Ruwiyah
2. Istri P 49 Tamat SD Petani Sehat
(NyR)

An Uci
3. Anak P 21 SMA Tidak bekerja Sakit
(An U)
Sumber : Data primer hasil wawancara dengan pasien

Tn K
Tn A
Ny B (tdk Ny Y
72 thn
70 tahun diketahui (stroke)
sehat
sehat penyebab
nya)

Ny E
Tn S Tn P Ny W 49 tahun
Tn N
52 thn 55 tahun 53 tahun
41 thn DM, Jantung
sehat sehat sehat
sehat

Tn B Tn S
Nn U
27 thn 25 thn
21 thn
sehat sehat
TB

Gambar 3.1 Genogram Keluarga


(Sumber : Tn Sungkono, 27 juli 2018)

Keterangan :

1. Pasien : Nn U, 21 tahun TB paru putus obat

2. Saudara pasien pertama : Tn B, 27 tahun , sehat

3. Saudara pasien kedua : Tn S, 25 tahun, sehat

4. Ayah pasien : Tn. S, 52 tahun, sehat

5. Ibu Pasien : Ny. E, 49 tahun, menderita penyakit DM,

Jantung

36
6. Paman (dari bapak pasien) : Tn. N, 41 tahun, sehat

7. Paman (dari ibu pasien) : Tn. P, 55 tahun, sehat

8. Bibi (dari ibu pasien) : Ny W. 53 tahun, sehat

9. Nenek (dari bapak pasien) : Ny. B, 70 tahun, sehat

10. Kakek (dari bapak pasien) : Tn, A, 72 tahun, sehat

X1.Nenek (dari ibu pasien) : Ny Y Meninggal pada saat pasien masih

kecil dikarenakan stroke

Y1. Kakek (dari ibu pasien) : Tn K Meninggal pada saat pasien masih

kecil belum diketahui penyebabnya

: tinggal satu rumah

III. 4 Bentuk dan Siklus Keluarga

Bentuk keluarga ini adalah nuclear family (keluarga inti), dimana terdiri dari ayah, ibu

dan anak yang masih menjadi tanggungan orangtua. Keluarga ini berada dalam 1 siklus

keluarga. Gambaran hubungan tiap anggota keluarga (family map):

Gambar 3.2 Family Map

Hubungan tiap anggota keluarga baik

37
III. 5 Komponen APGAR

Skor

1 0
Komponen Indikator 2 (kadangkadang) (tidak
(selalu) sama
sekali)
Adaptation Saya puas bahwa saya dapat
kembali ke keluarga saya

bila saya menghadapi
masalah
Partnership Saya puas dengan cara
keluarga saya membahas

dan membagi masalah
dengan saya
Growth Saya puas dengan cara
keluarga saya menerima dan
mendukung keninginan saya 
untuk melakukan kegiatan
baru atau arah hidup yang baru
Affection Saya puas dengan cara
keluarga saya meng-
ekspresikan kasih sayangnya

dan merespon emosi saya
seperti kemarahan perhatian,
dll
Resolve Saya puas dengan cara
keluarga saya dan sara

membagi waktu bersama-
sama
Tabel 3.2 Komponen APGAR Kesimpulan :

Skor APGAR berjumlah 9, menunjukkan bahwa fungsi keluarga sehat (highly functional

family).

38
III. 6 Sumber Daya Keluarga (Family Screem)

Sumber Patologis
Pasien dan keluarga memiliki
waktu untuk berkumpul
SOCIAL bersama. Hubungan pasien, Tidak ada
keluarga pasien, dan tetangga
sekitar cukup baik.
Pasien melakukan kegiatan di
lingkungan tempat tinggalnya
CULTURAL Tidak ada
sesuai dengan kebudayaan
Jawa yang berlaku.
Pasien dan keluarga beragama
RELIGIOUS Islam dan selalu menjalankan Tidak ada
ibadah dengan taat.
Pasien belum menikah, masih Untuk biaya kehidupan sehari-
tinggal bersama kedua hari di tanggung oleh kedua
orangtua. Bekerja sebagai SPG orangtua yang bekerja sebagai
ECONOMIC di toko sepatu LEAGUE di petani dan menerima kiriman
jogja. Selama sakit, pasien uang dari kedua kakak
mengundurkan diri dari lelakinya yang bekerja di luar
pekerjaannya. kota.
Pasien hanya menempuh
Pasien tidak melanjutkan
pendidikan hingga SMA.
EDUCATION pendidikan ke perguruan
Sempat pelatihan pramugari
tinggi karena masalah biaya.
selama 6 bulan
Jarak dari tempat tinggal ke
Puskesmas cukup jauh namun
Pasien hanya berkunjung ke
dapat diakses dengan
MEDICAL fasilitas kesehatan saat
kendaraan pribadi. Jika sakit
sakit/ada keluhan saja.
pasien memiliki kartu KIS
untuk berobat.

Tabel 3.3 Family Screem

(Sumber : Data primer hasil wawancara dengan pasien)


39
Dalam keluarga Nn. UPP terdapat 3 fungsi sumber daya keluarga yang patologis.

Fungsi tersebut diantaranya adalah fungsi economic, education, dan medical. Dari fungsi

economic, pasien mengandalkan biaya hidupnya dari kedua orangtua pasien yang bekerja

sebagai petani, dan kedua kakaknya yang bekerja di luar kota. Dari fungsi education,

pendidikan pasien dapat sampai menempuh pendidikan SMA dan pelatihan pramugari namun

tidak dapat melanjutkan hingga perguruan tingi di akibatkan kendala biaya. Sedangkan dari

segi medical, kesadaran pasien untuk berobat teratur masih kurang, yaitu hanya saat pasien

sakit atau ada keluhan saja.

III.7 Perjalanan Hidup Keluarga (Family Life Line)

Tahun Usia Peristiwa Severity of Illness


 Pasien mengalami sakit
 Pasien memiliki beban lebih
batuk lama pertama kali
2014 17 tahun karena harus mengkonsumsi
 Tamat SMA
obat rutin selama 6 bulan

 Pasien tidak melanjutkan ke


Perguruan Tinggi karena
 Pasien mengikuti
masalah biaya.
2015 18 tahun pelatihan pramugari
 Pasien hanya meminum obat
selama 6 bulan
selama 5 bulan karena
merasa telah sembuh.
 Pasien bekerja sebagai
 Pasien merasa berkewajiban
SPG di toko sepatu
2017 20 tahun untuk membantu
“LEAGUE” di Jogja
perekonomian keluarga

 Pasien memiliki beban lebih


 Pasien batuk lama
2018 21 tahun karena harus mengkonsumsi
kembali
obat dan suntik secara rutin.

Tabel 3.4 Family Life Line

40
III.8 Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS)

No. Indikator PHBS Ya Tidak


1 Persalinan di keluarga anda di tolong oleh tenaga
kesehatan terampil yang dilakukan di fasilitas kesehatan 
(bukan di rumah sendiri)
2 Pemeriksaan kehamilan minimal 4 kali selama hamil 
3 Pemberian ASI eksklusif saja pada bayi sampai usia 6

bulan
4 Balita ditimbang secara rutin (minimal 8 kali setahun) 
5 Keluarga biasa makan dengan gizi seimbang 
6 Menggunakan air bersih untuk kebutuhan sehari-hari 
7 Keluarga biasa BAB di jamban sehat 
8 Membuang sampah pada tempatnya sehari-hari 
9 Menggunakan lantai rumah kedap air (bukan tanah) 
10 Apakah keluarga anda biasa melakukan aktifitas fisik

minimal 30 menit perhari?
11 Tidak merokok 
12 Mencuci tangan dengan sabun sebelum makan dan

sesudah BAB
13 Menggosok gigi minimal 2 kali sehari 
14 Membeli/menyimpan /menjual minum-minuman keras

(bir, alkohol, arak, anggur)/narkoba?
15 Anggota JPK/Dana Sehat/Asuransi

Kesehatan/JAMKESMAS (peserta JKN/BPJS)?
16 Melakukan pemberantasan sarang nyamuk (PSN)

seminggu sekali?

Tabel 3.5 PHBS


Dari penilaian indikator tersebut, dapat ditentukan kriteria PHBS tatanan rumah tangga,

yaitu :

1. Sehat pratama = 0-5

2. Sehat madya = 6 -10

3. Sehat utama = 11 -15

4. Sehat paripurna = 16

41
Kesimpulan :

Keluarga pasien masuk kedalam perilaku hidup bersih dan sehat utama dengan skor 14.

III.9 Resume Penyakit dan Penatalaksanaan yang telah diberikan

Anamnesis Pasien

Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis pada hari Jumat, 27 Juli 2018 pukul 12.30 WIB

di rumah pasien.

a. Keluhan utama

Batuk-batuk sejak 2 bulan yang lalu.

b. Keluhan tambahan

Keringat pada malam hari, badan lemah

c. Riwayat penyakit sekarang

Pasien mengeluhkan batuk-batuk sejak 2 bulan yang lalu. Batuk disertai dengan dahak

yang berwarna kuning kehijauan. Selain itu pasien juga merasakan tubuhnya lemah dan

menurunnya nafsu makan. Menurunnya nafsu makan pasien berdampak pada

menurunnya berat badan pasien sebanyak 10 kg dalam waktu tiga bulan. Pasien

beberapa kali merasa nyeri dada ketika pasien batuk. Setelah 2 bulan batuk, pasien

memeriksakan dirinya ke BKM Magelang. Setelah dilakukan pemeriksaan dahak dan

rontgen dada, pasien dinyatakan menderita TB paru. Kemudian pasien diberikan obat

oral yang diminum, serta obat suntik secara rutin.

d. Riwayat penyakit dahulu

Pasien pernah mengalami keluhan serupa sekitar 4 tahun yang lalu, ketika itu pasien

tidak menuntaskan pengobatannya, hanya mengonsumsi obat selama 5 bulan. Pasien

tidak memiliki riwayat sakit asma, kencing manis, hipertensi, ataupun penyakit lain.

e. Riwayat penyakit keluarga

Tidak ada keluarga pasien yang mengalami keluhan serupa. Ibu pasien menderita

penyakit DM, dan jantung

f. Riwayat lingkungan

42
Di tempat kerja pasien tidak ada yang memiliki gejala serupa seperti pasien.

Hasil Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik dilakukan hari Jumat, 27 Juli 2018 pukul 12.30 WIB di rumah pasien

1) Keadaan umum : Baik

2) Kesadaran : Composmentis

3) BB : 45 kg

4) TB : 159 cm

5) IMT : 17,79 (underweight)

6) Tanda vital : TD : 110/80 mmHg

N : 108 x/menit

RR : 22 x/menit

T : 36,5° C

7) Kulit : Turgor kulit baik

8) Kepala : Normocephal, distribusi rambut merata

9) Mata : Edema palpebra -/-, konjungtiva anemis -/-,

sklera ikterik -/-, pupil isokor diameter 3/3 mm,

reflek cahaya +/+

10) Telinga : Bentuk normal, sekret -/-

11) Hidung : Bentuk normal, sekret -/-, septum deviasi -/-

12) Mulut : Mukosa lembab, faring tidak hiperemis

13) Leher : Simetris, pembesaran kelenjar tiroid (-),

pembesaran KGB (-)

14) Dada : Pulmo :

Inspeksi : Normochest, dinding dada simetris

saat statis dan dinamis

Palpasi : Vocal fremitus kanan menurun,

43
ekspansi dinding dada simetris,

nyeri tekan (-)

Perkusi : Pekak pada lapang paru kiri atas

Auskultasi : Vesikuler menurun pada apeks paru

kanan, ronkhi -/-, wheezing -/-

Cor :

Inspeksi : Tidak tampak ictus cordis

Palpasi : Ictus cordis tidak teraba

Perkusi : Apeks jantung, redup pada ICS V

linea midclavicula sinistra; kiri atas,

redup pada ICS III linea

parasternalis sinistra; Kanan bawah,

redup pada ICS IV linea

parasternalis dextra; Kanan atas,

redup pada ICS II linea parasternalis

dextra

Auskultasi : BJ I dan II reguler, Gallop -/-,

Murmur -/-

15) Abdomen : Inspeksi : Datar

Auskultasi : Bising usus (+) tidak meningkat

Palpasi : Supel, turgor kulit baik, nyeri tekan

(-), pembesaran hepar dan lien (-)

Perkusi : Timpani seluruh lapang abdomen

16) Ekstremitas : Edema (-), sianosis (-), CRT < 2 detik

Hasil Pemeriksaan Penunjang

BTA (+) 1

44
Diagnosis Kerja

TB Paru kasus putus berobat

Rencana Penatalaksanaan

a. Terapi Medikamentosa

Pasien termasuk kategori II maka pengobatan dengan tablet KDT yang mengandung

Rifampisin 150 mg, Isoniazid 75 mg, Pyrazinamide 400 mg, serta Etambutol 275 mg (

diminum 1x3) dan suntik Streptomisin 1 gram.

b. Non Medikamentosa

1) Membuka pintu dan jendela setiap hari agar terjadi pertukaran udara.

2) Membuka gorden jendela kamar agar sinar matahari dapat masuk ke dalam

ruangan yang dapat membunuh bakteri TB.

3) Minum OAT secara teratur.

4) Menjelaskan pentingnya peranan PMO dalam pengobatan TB.

5) Pasien wajib memakai masker, memeriksakan diri ke dokter dan melakukan

pemeriksaan sputum secara berkala.

Hasil Penatalaksanaan Medis

a. Pemeriksaan dilakukan saat kunjungan ke rumah pasien pada hari Jumat, 27 Juli

2018 pukul 12.30 WIB . Keluhan batuk berdahak pada pasien masih di rasakan.

b. Faktor pendukung: peran keluarga untuk mendukung minum obat maupun hidup

sehat, dan istirahat cukup, pemeriksaan seluruh anggota keluarga ke puskesmas atau

BKM untuk tes BTA.

c. Faktor penghambat: tidak ada

d. Indikator keberhasilan: pengetahuan keluarga meningkat, kesadaran anggota

keluarga untuk meningkatkan kebersihan rumah, serta menjaga sirkulasi udara dan

pencahayaan tetap baik, dan kepatuhan untuk minum obat.

45
III.10 Identifikasi Fungsi-Fungsi Keluarga

a. Fungsi Keagamaan

Seluruh anggota keluarga pasien beragama Islam dan menjalankan ibadah dengan taat

di rumah, dan terdapat ruangan khusus untuk beribadah di rumah.

b. Fungsi Budaya

Keluarga pasien adalah suku Jawa dan mengikuti adat, etika, nilai, serta norma yang

berlaku di lingkungan sekitarnya yang juga keturunan Jawa. Keluarga pasien tidak

melakukan ritual khusus terkait dengan kebudayaan Jawa yang dilarang oleh agama

yang dianutnya.

c. Fungsi Cinta Kasih

Hubungan antar anggota keluarga terjalin dengan baik. Seluruh anggota keluarga pasien

saling menyayangi, menghormati, dan menghargai.

d. Fungsi Melindungi

Komunikasi yang baik dan terjalinnya rasa saling percaya antar anggota keluarga pasien

memperlihatkan bahwa sudah terpenuhinya rasa aman, nyaman, dan penuh kehangatan

di keluarga pasien.

e. Fungsi Reproduksi

Pasien merupakan anak terakhir di keluarga dan belum menikah. Pasien mengaku

memiliki siklus menstruasi yang teratur setiap bulannya dengan periode menstruasi

sekitar 5 – 7 hari.

f. Fungsi Sosialisasi dan Pendidikan

Pendidikan terakhir pasien adalah tamatan SMA. Pasien tidak melanjutkan

pendidikannya ke Perguruan Tinggi karena masalah ekonomi. Setelah lulus SMA,

pasien sempat mengikuti pelatihan pramugari selama enam bulan, kemudian pasien

melamar untuk menjadi pramugari di beberapa maskapai namun tidak lolos seleksi

dikarenakan tinggi badan yang kurang. Pasien juga pernah bekerja sebagai SPG toko
46
sepatu “LEAGUE” di daerah Yogyakarta selama enam bulan untuk membantu

perekonomian keluarga lalu kemudian berhenti dikarenakan pasien sakit. Saat ini pasien

tidak sedang bekerja dan hanya membantu pekerjaan rumah ibunya.

g. Fungsi Ekonomi

Sumber penghasilan keluarga berasal dari kedua orangtua pasien yang merupakan

petani dan mendapatkan kiriman uang dari kedua kakaknya yang bekerja di luar kota.

h. Fungsi Psikologis

Pasien tinggal bersama kedua orang tuanya. Hubungan antar anggota keluarga baik.

Setiap hari pasien bisa bertemu dan berkomunikasi dengan kedua orang tuanya. Semua

masalah yang berhubungan dengan keluarga diselesaikan dengan musyawarah.

i. Fungsi Biologis

Pasien menderita TB Paru kasus putus obat dan saat ini sedang dalam pengobatan yang

sudah berlangsung selama seminggu. Pasien pertama kali menderita TB paru dengan

keluhan serupa sekitar 4 tahun lalu, dan tidak menuntaskan pengobatannya. Tidak ada

anggota keluarga lain yang memiliki keluhan seperti pasien.

j. Fungsi Sosial

Pasien tinggal di kawasan pedesaan yang tidak padat penduduk. Pergaulan umumnya

berasal dari kalangan menengah ke bawah. Keluarga pasien berhubungan baik dengan

lingkungan sekitar dimana pasien dan keluarganya sering bersosialisasi bersama

tetangga di sekitar rumahnya terutama saat sore hari.

47
III.11 Pola Konsumsi Makanan Pasien dan Keluarga

Frekuensi makan pasien dan keluarga teratur, yaitu 3 kali sehari. Variasi makanan yang

dikonsumsi keluarga antara lain nasi, lauk (tahu, tempe, ikan sungai), dan sayur (sup, sayur

kangkung, sayur bayam, dll).

III.12 Identifikasi Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kesehatan

a. Faktor Perilaku Keluarga

Sehari-hari pasien lebih sering di rumah, namun pada sore hari pasien sering bersosialisasi

dengan tetangga sekitar rumah di halaman rumahnya. Pasien dan keluarga jarang

membuka jendela di rumahnya karena banyak debu. Jika ada anggota keluarga yang sakit,

biasanya dibawa ke puskesmas ataupun tempat praktik bidan desa oleh anggota keluarga

yang sehat.

b. Faktor Non Perilaku Keluarga

Puskesmas atau tempat praktik bidan desa di sekitar rumah pasien dapat diakses

menggunakan sepeda motor milik pribadi ataupun berjalan kaki. Pembiayaan

pengobatan pasien dan keluarga menggunakan JKN.

III.13 Identifikasi Lingkungan Rumah

a. Gambaran Lingkungan

Rumah pasien terletak di pemukiman penduduk yang tidak terlalu padat dan termasuk

pemukiman biasa di pedesaan.

b. Kondisi Rumah

Luas bangunan ± 90 m2. Secara umum rumah terdiri atas 1 ruang tamu, 1 ruang keluarga,

1 ruang ibadah, 3 ruang tidur, dapur, dan kamar mandi beserta jamban yang terpisah dari

rumah. Jarak kamar mandi dan jamban dari rumah sekitar 2 meter. Atap rumah terbuat dari

genteng dengan langit-langit, dinding berupa tembok, lantai kedap air dan sebagian sudah

48
dipasang keramik. Setiap ruangan memiliki jendela dan ventilasi. Pencahayaan alamiah

rumah cukup.

c. Sanitasi dasar

Sumber air bersih merupakan sumur dengan mesin pompa. Limbah rumah tangga dialirkan

ke septik tank. Tempat sampah di rumah tersedia, setelah sampah penuh keluarga pasien

memiliki kebiasaan untuk membakar sampah di halaman.

d. Denah Rumah

9
5
1 3 4

2 6 7 8 10

Gambar 3.3 Denah Rumah

Keterangan :

1. Ruang keluarga

2. Ruang tamu

3. Ruang shalat

4. Kamar mandi 1

5. Ruang tidur 1 (kosong)

6. Ruang tidur 2 (orang tua pasien)

7. Ruang tidur 3 (pasien)

8. Ruang makan

9. Kamar mandi 2

10. Dapur

49
e. Peta Rumah Dicapai dari Pelayanan Kesehatan

Rumah
Nn. X

Desa
Sambeng

Candi
Borobudur

Puskesmas
Borobudur

Gambar 3.4 Peta Rumah dari Pelayanan Kesehatan

50
III.14 Diagram Realita yang Ada pada Keluarga

Lingkungan
Kebersihan kurang

Genetik Derajat Kesehatan Pelayanan


Nn. UP Kesehatan
Tidak ditemukan Pasien TB Paru Kasus Putus
kelainan Pelayanan
Obat
kesehatan
mudah diakses

Perilaku
Pasien jarang membuka jendela rumah
Pasien tidak patuh meminum obat
Pasien tidak pernah berolahraga
Pasien sadar diri memeriksakan diri ke
puskesmas

Bagan 3.1 Diagram Realita yang Ada pada Keluarga

51
III.15 Segitiga Epidemiologi pada Pasien

HOST

Nn U 21 tahun
17,79 (underweight)
Tidak patuh meminum
obat

AGENT
ENVIRONMENT
Mycobacterium

tuberculosis Kebersihan rumah kurang

Bagan 3.2 Segitiga Epidemiologi Nn U

III.16 Diagnosis Holistik

1. Aspek Personal
a. Aspek kedatangan
Pasien datang berobat ke puskesmas dengan keluhan batuk secara terus menerus
(2 bulan). Pasien pernah mengalami keluhan yang sama dan didiagnosis TB Paru
BTA (+) ± empat tahun yang lalu
b. Kekhawatiran
Pasien khawatir keluhannya bertambah parah dan menyebabkan kematian, serta
dapat menularkan penyakitnya kepada anggota keluarga yang lain.
c. Harapan
Pasien berharap sembuh dan tidak mengalami keluhan yang sama dikemudian
hari.
52
2. Aspek Klinis
Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang
disimpulkan bahwa diagnosis pasien tersebut adalah TB Paru putus obat

3. Aspek Internal
a. Genetik
Tidak terdapat faktor genetik yang berkaitan dengan keluhan yang dialami
pasien.
b. Pola makan
Frekuensi makan pasien dan keluarga teratur, yaitu 3 kali sehari dan menu
makanan bervariasi setiap hari.
c. Kebiasaan
Sehari-hari pasien paling sering berada di rumah, dan bersosialisasi seperti
biasanya dengan lingkungan sekitar
d. Spiritual
Pasien menerima penyakit yang dideritanya saat ini dan berdoa agar diberikan
kesembuhan dan yakin dapat sembuh.

4. Aspek Eksternal
Hubungan antar anggota keluarga cukup baik, ibu pasien berperan sebagai
pengawas minum obat. Pasien tinggal di lingkungan rumah yang tidak terlalu
padat penduduk dan sering kontak/komunikasi dengan tetangga. Rumah pasien
kurang terjaga kebersihannya. Biaya hidup setiap bulan berasal dari kedua
orangtua dan kedua kakak pasien, namun penghasilan tersebut kurang untuk
biaya hidup pasien dan keluarga. Pasien dan keluarga memiliki kartu JKN dan
menggunakannya untuk pengobatan TB Paru pasien. Jarak rumah pasien dengan
fasilitas kesehatan yang lumayan jauh namun mudah diakses, yaitu Puskesmas
Borobudur, dimana pasien dan keluarga biasanya menggunakan kendaraan
sepeda motor milik pribadi

5. Derajat Fungsional
Menurut skala, pasien termasuk derajat 2 dimana pasien dapat melakukan aktivitas
ringan secara mandiri.

53
III.17 Manajemen Komprehensif

a. Promotif
1) Edukasi tentang penyakit TB meliputi penyebab, faktor risiko, perjalanan penyakit,
gejala, pemeriksaan terkait, pengobatan, pencegahan, dan komplikasi.
2) Edukasi untuk meningkatkan kondisi rumah menjadi rumah sehat, seperti membuka
gorden jendela agar pencahayaan baik, membuka pintu dan jendela setiap hari agar
terjadi pertukaran udara, membersihkan rumah setiap hari termasuk sudut-sudut
rumah, serta menggunakan kassa nyamuk sebagai penutup lubang ventilasi.

b. Preventif
1) Primary prevention
a) Edukasi pasien dan keluarga pasien untuk menjaga jarak saat berbicara,
menerapkan etika bersin, batuk, dan membuang ludah yang baik dan benar,
menghindari kedua cucu pasien yang masih berusia 3 tahun dari jangkauan pasien,
serta jika ada dana lebih membeli masker untuk digunakan pasien.
b) Edukasi tentang penyakit TB Paru merupakan salah satu penyakit menular yang
dipengaruhi oleh kondisi lingkungan sekitar rumah yang tidak memenuhi syarat
rumah sehat dan perilaku hidup bersih dan sehat.
c) Menjaga kebersihan lingkungan rumah dan sekitar rumah dengan menerapkan
prinsip rumah tangga sehat yang memperhatikan syarat rumah sehat yang
merupakan faktor risiko penularan penyakit TB Paru.
d) Edukasi untuk membuka gorden jendela agar pencahayaan baik, membuka pintu
dan jendela setiap hari agar terjadi pertukaran udara, dan membersihkan rumah
setiap hari termasuk sudut-sudut rumah.
2) Secondary prevention
Menyarankan keluarga pasien untuk memeriksakan diri ke puskesmas, mengingat
bahwa TB Paru merupakan penyakit yang sangat mudah menular.
3) Tertiary prevention
a) Edukasi kepada pasien mengenai pentingnya rutin meminum obat dan kontrol
ke puskesmas.
b) Edukasi kepada keluarga pasien mengenai peran keluarga dalam proses
kesembuhan pasien sebagai pengawas minum obat dan memotivasi pasien untuk
sembuh.
c) Edukasi kepada pasien dan keluarga pasien mengenai bahayanya putus obat
pada pasien dengan TB paru.
54
c. Kuratif
Pasien termasuk kategori II maka pengobatan dengan tablet KDT yang

mengandung Rifampisin 150 mg, Isoniazid 75 mg, Pyrazinamide 400 mg, serta

Etambutol 275 mg ( diminum 1x3) dan suntik Streptomisin 1 gram.

d. Rehabilitatif

Belum perlu dilakukan.

e. Paliatif

Belum perlu dilakukan.

55
BAB IV
ANALISIS KASUS

IV.1 Analisis Klinis


Pasien datang pertama kali sekitar 4 tahun lalu, dengan keluhan batuk lama yang tidak
kunjung sembuh selama hampir 2 bulan, batuk terjadi secara terus-menerus dan mengeluarkan
dahak berwarna kuning kehijauan. Keluarnya darah saat batuk di sangkal. Pasien tidak nafsu
makan dan berat badan menurun. Pasien kemudian datang ke BKM Magelang, lalu dilakukan
pemeriksaan dahak dan disarankan untuk dilakukan pemeriksaan rontgen dada. Hasil yang
diperoleh dari pemeriksaan dahak yaitu BTA (+), dan hasil rontgen didapatkan TB paru aktif.
Lalu pasien di berikan obat selama 6 bulan, namun pasien hanya meminum obat selama 5
bulan karena telah merasa sembuh.
Pada bulan April tahun 2018, pasien kembali mengalami gejala serupa. Kemudian
pasien berobat kembali ke BKM Magelang untuk melakukan pemeriksaan dahak yaitu BTA
(+1) dan pemeriksaan rontgen. Kemudian pasien berobat di puskesmas Borobudur karena
jarak dengan rumah lebih dekat. Pengobatan dimulai pada tangal 21 Juli 2018.
Pasien dan keluarga tidak memiliki riwayat penyakit lain. Pada pemeriksaan fisik,
status generalis dalam batas normal. Dari hasil pemeriksaan sputum BTA (+). Secara klinis,
berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik mengarahkan diagnosis klinis TB Paru kasus
putus obat.
Terdapat beberapa hal yang mendukung timbulnya keluhan pasien menurut teori
H.Bloom, yaitu kesehatan manusia dipengaruhi oleh beberapa unsur yang berkaitan. Pada
pasien ini, unsur yang terkait adalah perilaku pasien yang tidak patuh meminum obat dan
lingkungan yang berisiko terjadinya penularan sehingga menyebabkan keluhan pada pasien,
faktor lingkungan tersebut, yaitu kurang terjaga kebersihan.

IV.2 Analisis Home Visit


Pada home visit, didapatkan bahwa pasien tinggal bersama kedua orantguanya. Pasien
berhenti bekerja sebagai SPG di toko sepatu “LEAGUE” Jogjakarta karena penyakitnya.

56
Dari hasil penilaian family assestment tools, pasien tinggal bersama kedua
orangtuanya dengan siklus keluarga dalam masa melepas anak dewasa muda. Di
dalam perangkat genogram, tidak ada yang memiliki riwayat genetik keluhan
yang sama. Hubungan pasien dengan keluarga baik. Fungsi keluarga pasien
dinilai dengan perangkat APGAR dan keluarga pasien termasuk dalam keluarga
yang memiliki fungsi keluarga yang sehat dengan skor 9, berikut adalah uraian
penjelasannya;

Komponen Kondisi Pasien


Adaptation Pasien merasa puas terhadap keberadaan keluarga dalam
menghadapi masalah.
Partnership Pasien merasa puas terhadap cara keluarganya membahas
dan membagi masalah.
Growth Pasien merasa puas dengan cara keluarganya yang
mendukung keinginan pasien untuk melakukan kegiatan
baru atau arah hidup yang baru.
Affection Pasien merasa cukup mendapatkan perhatian dan kasih
sayang dari anak dan keluarganya.
Resolve Pasien merasa terkadang puas dengan waktu yang ada untuk
menjalin kebersamaan dengan keluarga.

IV.3 Prinsip Kedokteran Keluarga


1. Holistic care
Pada pasien telah dilakukan anamnesis disease (berkaitan dengan klinis pasien)
dan anamnesis illness (berkaitan dengan perasaan pasien terhadap penyakitnya),
serta anamnesis psikososial.
2. Comprehensive care
Pasien telah mendapatkan aspek promotif berupa edukasi tentang penyakit TB,
kebersihan lingkungan dan perilaku hidup bersih dan sehat, serta teratur minum
obat dan suntik serta kontrol di puskesmas untuk mengambil obat dan suntik
ataupun memeriksakan dahak. Upaya preventif dilakukan dengan menghindari
faktor risiko yang dapat memperburuk keluhan pasien. Upaya kuratif telah
dilakukan dengan meminum obat dan suntik secara teratur. Upaya rehabilitatif dan
paliatif belum dilakukan.

57
3. Personal care
Pasien telah diberikan kesempatan untuk bertanya, mendapat informasi tentang
penyakit yang dialaminya, serta menyalurkan ide, perasaan, harapan, dan masalah
psikososial yang dihadapi.
4. Continuing care
Pasien telah mendapatkan dua kali kunjungan rumah yaitu tanggal 27 Juli 2018 dan
4 Agustus 2018 untuk mengontrol perkembangan penyakit dan kesehatan pasien
terkait faktor risiko, kebiasaan, dan perilaku yang dapat memperburuk maupun
memperingan penyakitnya.
5. Patient centered, family focused, and community oriented
Pasien telah melibatkan keluarga satu rumah, yaitu kedua orangtuanya terhadap
penyakit yang diderita pasien
6. Emphasis of preventive medicine
Upaya pencegahan berupa pengobatan dari puskesmas serta faktor perilaku pasien
yang rutin meminum obat serta suntik sedang dilakukan sehingga tidak terjadi
komplikasi.

58
BAB V
PENUTUP

V.1 Kesimpulan
Berdasarkan data yang didapatkan dari hasil kunjungan rumah pada pasien Nn. UP,
Dusun Gloyoran, RT 002/RW 001, Kelurahan Sambeng, Kecamatan Borobudur, Kabupaten
Magelang dapat disimpulkan hasil sebagai berikut.
a. Faktor-faktor yang mempengaruhi derajat kesehatan Nn.U terdiri dari dua hal yaitu
faktor lingkungan dan perilaku, yaitu kebersihan rumah kurang terjaga dan perilaku
pasien yang tidak patuh meminum obat .
b. Keluarga memiliki peranan penting dalam proses kesembuhan pasien TB Paru kasus
putus obat pada pasien Nn. UP, terutama dalam hal pengawasan minum obat,
mengingat bahwa pada pasien TB terkadang bosan untuk meminum obat karena merasa
sudah sembuh.
c. Peran keluarga untuk meningkatkan derajat kesehatan dengan peningkatan pengetahuan
tentang TB serta faktor lingkungan dan perilaku yang dapat menyebabkan menurunkan
kejadian penyakit tersebut dan dapat mengubah perilaku sehingga mencapai perilaku
menjadi perilaku hidup bersih dan sehat.

V.2 Saran
1. Kepada pasien untuk tetap mempertahankan kepatuhan berobat.
2. Kepada keluarga untuk selalu melakukan pengawasan minum obat dan perlunya
memperbaiki perilaku menjadi perilaku hidup bersih dan sehat agar dapat menurunkan
risiko penularan TB paru.
3. Kepada tenaga kesehatan untuk melakukan pendekatan kedokteran keluarga dalam
menangani kasus TB Paru.
4. Penyuluhan, penyebaran pamflet dan poster kepada masyarakat tentang TB untuk
meningkatkan pengetahuan masyarakat agar lebih sigap dalam pengenalan gejala dini
dan pengobata

59
DAFTAR PUSTAKA

1. Sudoyo, Aru. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 2 Edisi 4. Jakarta : FKUI. Hal 988 –
9952. 2007
2. WHO. Global Tuberculosis Report. Diunduh dari
www.who.int/tb/publications/global_report/gtbr2017_main_text.pdf
3. Aditama, Chandra Yoga dr, et all. Pedoman Nasional Penaggulangan Tuberkulosis.Edisi
2. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.2006.
4. Kemenkes RI. Info DATIN, Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI.
Tuberkulosis: Temukan, Obati sampai sembuh, 2016.

5. Direktorat Jenderal engendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. 2014. Petunjuk


teknis manajemen terpadu pengendalian Tuberkulosis resisten obat. Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia. 2013:1-86.
6. Herqutanto. Handout : Praktik Kedokteran Keluarga. Departemen Ilmu Kedokteran
Komunitas FKUI. Jakarta. 2010
7. Anies. Kedokteran Keluarga dan Pelayanan Kedokteran yang Bermutu. Ilmu Kesehatan
Masyarakat dan Kedokteran Pencegahan Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro.
Semarang.2006
8. Dhanasari. Standar Pelayanan Dokter Keluarga. Ilmu Kesehatan Masyarakat dan
Kedokteran Pencegahan Fakultas Kedokteran. Wisma Makara, Kampus UI Depok, Jawa
Barat.2006
9. Tuberkulosis : Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan di
Indonesia.PDPI:2006
10. Prabu, Putra. Rumah Sehat. Universitas Sumatera Utara. Medan. 2009
11. Kemeterian Kesehatan Republik Indonesia. Sinergisme Pusat dan Daerah Dalam
Mewujudkan Universal Health Coverage (UHC) Melalui Percepatan Eliminasi
Tuberkulosis. Indonesia. 2018

60
LAMPIRAN

Anamnesis pasien Wawancara kepada ibu pasien

Pemeriksaan fisik pasien Ventilasi dan pencahayaan rumah

61
Ruangan dapur

Ruangan makan

Daerah belakang rumah pasien

Kamar mandi

62
63

Anda mungkin juga menyukai