Anda di halaman 1dari 135

UNIVERSITAS INDONESIA

TATALAKSANA NUTRISI PADA PASIEN KANKER SERVIKS


YANG MENJALANI TERAPI RADIASI

SERIAL KASUS

JULIA DEWI NERFINA

1106142601

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA


PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS -1
PROGRAM STUDI ILMU GIZI KLINIK
JAKARTA
JULI 2014

Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014


UNIVERSITAS INDONESIA

TATALAKSANA NUTRISI PADA PASIEN KANKER SERVIKS


YANG MENJALANI TERAPI RADIASI

SERIAL KASUS
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Spesialis Gizi Klinik

JULIA DEWI NERFINA

1106142601

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA


PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS -1
PROGRAM STUDI ILMU GIZI KLINIK
JAKARTA
JULI 2014

Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014


Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014
Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014
KATA PENGANTAR

Puji syukur dan terimakasih kepada Tuhan Yesus atas berkat dan campur
tanganNya sehingga laporan serial kasus yang berjudul Tatalaksana Nutrisi
pada Pasien Kanker Serviks yang Menjalani Terapi Radiasi ini dapat
terselesaikan. Laporan serial kasus ini disusun sebagai tugas akhir dalam
menempuh Program Studi Ilmu Gizi Klinik, Program Pendidikan Dokter
Spesialis-1, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Ucapan terima kasih yang tak terhingga penulis haturkan kepada ibunda
terkasih Ny.L.E.Siagian untuk segala dukungan doa yang tiada putus-putusnya
hingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan ini. Pada kesempatan ini penulis
juga mengingat untuk ayahanda tercinta, Alm.Marsekal Pertama (Pur) L.E.Siagian
untuk semua hal terbaik yang pernah diberikan dalam kehidupan penulis.
Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya juga penulis haturkan kepada
Dr.dr. Inge Permadhi, MS, SpGK selaku pembimbing akademik atas bimbingan,
perhatian dan dukungan yang diberikan dalam menempuh masa-masa sulit selama
masa pendidikan ini. Kiranya Tuhan yang membalaskan segala kebaikan yang
telah diberikan.
Kepada Dr.dr. Fiastuti Witjaksono, MSc, MS, SpGK selaku kepala
departemen Ilmu Gizi FKUI, dr. Sri Sukmaniah, MSc, SpGK selaku ketua
program studi PPDS-1 IGK FKUI, Dr.dr. Johana Titus, MS, SpGK sebagai
sekretaris program studi PPDS-1 IGK FKUI, seluruh dosen pembimbing di
RSCM, rumah sakit jejaring di RSUD Tangerang, RS Sumber Waras, dan RSAB
Harapan Kita, terima kasih atas segala bimbingan dan ilmu yang diberikan selama
penulis menjalani pendidikan.
Terima kasih yang tulus juga untuk orang-orang tercinta, suami, inang
mertua, kakak-kakak dan adik-adik atas segala pengertian dan dukungan yang
diberikan selama masa pendidikan ini. Terima kasih juga kepada teman-teman
peserta PPDS-1 IGK FKUI angkatan ketiga sampai angkatan keenam, atas segala
kekompakan, saling berbagi, saling menguatkan, selama menjalani proses
pendidikan, kiranya persaudaraan kita tetap berlanjut.

iv

Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014


Penghargaan tak terhingga untuk semua pasien-pasien kanker serviks
terkasih di Departemen Radioterapi RSCM. Terima kasih untuk kerjasama yang
baik, tanpa dukungan dari semua pasien, serial kasus ini tidak dapat terlaksana,
doa penulis senantiasa menyertai.
Terimakasih kepada seluruh rekan-rekan PPDS, konsulen, perawat,
dietisien RSCM, terutama di Departemen Radioterapi RSCM, RSUD Tangerang,
RS Sumber Waras, dan RSAB Harapan Kita atas kerja sama yang terjalin baik
selama ini. Terimakasih kepada seluruh karyawan Departemen Ilmu Gizi, atas
bantuan, dukungan, kerjasama dan pengertian yang baik selama penulis
menempuh pendidikan.
Untuk sahabat-sahabatku yang terbaik dr.Christianie Setiadie, M.Gizi,
SpGK, dr.Tutik Ernawati, M.Gizi, SpGK dan dr.Anna Maurina Singal, M.Gizi,
teman dalam suka dan duka, terima kasih atas semua bantuan yang tulus dan
semangat yang diberikan selama ini. Penulis berharap semoga laporan serial kasus
ini memberikan manfaat bagi kemajuan ilmu pengetahuan khusunya untuk
penderita kanker serviks. Kiranya Tuhan yang membalas segala budi baik semua
pihak yang telah berperan dan membantu penulis selama menempuh studi.

Jakarta, 14 Juli 2014,

Penulis

Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014


Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014
ABSTRAK

Nama : Julia Dewi Nerfina


Program Studi : Ilmu Gizi Klinik, Program Pendidikan Dokter Spesialis-1
Judul : Tatalaksana Nutrisi pada Pasien Kanker Serviks yang
Menjalani Terapi Radiasi
Pembimbing : Dr.dr.Inge Permadhi, MS, SpGK

Kanker serviks merupakan penyakit keganasan yang berhubungan dengan masalah


nutrisi. Massa tumor dapat menyebabkan berbagai perubahan metabolik dalam tubuh dan
dapat mempengaruhi asupan sehingga pasien dapat jatuh dalam kondisi malnutrisi. Efek
samping radioterapi dan kemoterapi dapat menyebabkan efek mual, muntah dan diare
yang dapat semakin memperburuk status gizi pasien. Tatalaksana nutrisi pada pasien
kanker serviks yang menjalani radioterapi dan kemoterapi bertujuan untuk
mempertahankan atau meningkatkan status gizi, meningkatkan kualitas hidup dan
memperpanjang harapan hidup pasien. Tatalaksana nutrisi yang diberikan meliputi
pemberian makronutrien, mikronutrien, nutrient spesifik serta pemberian konseling dan
edukasi.
Pasien pada serial kasus ini berusia antara 42 hingga 52 tahun dengan stadium
yang berbeda. Seluruh pasien menjalani radioterapi, sedangkan satu pasien menjalani
radioterapi dan kemoterapi. Semua pasien memiliki skrining dengan nilai ≥2
menggunakan malnutrition screening tool (MST). Pemantauan yang dilakukan meliputi
keluhan subyektif, kondisi klinis, tanda vital, antropometri, kapasitas fungsional dan
analisis asupan.
Hasil pemantauan keempat pasien ternyata dukungan nutrisi yang diberikan dapat
meningkatkan asupan dan menaikkan berat badan pada pasien pertama sedangkan pada
pasien kedua, ketiga dan keempat terjadi penurunan berat badan yang minimal. Kapasitas
fungsional pasien tidak mengalami penurunan dan kualitas hidup keempat pasien
membaik.

Kata kunci: kanker serviks, radioterapi, kemoterapi, tatalaksana nutrisi

vii Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014


ABSTRACT

Name : Julia Dewi Nerfina


Study Programme : Study Program of Clinical Nutrition Specialist, Faculty of
Medicine, University of Indonesia
Title : Nutrition Therapy in Cervical Cancer Patients Undergoing
Radiotherapy
Supervisor : Dr.dr. Inge Permadhi, MS, SpGK

Cervical cancer is malignant disease associated with nutrition problem. Tumor mass can
lead to metabolic changes in the body and affect nutritional intake, so that patients can
fall in malnutrition. Side effects of radiotherapy and chemotherapy are nausea, vomiting
and diarrhea which can further worsen the nutritional status of patients. Nutrition
management for cervical cancer patients in radiotherapy and chemotherapy are to
maintain or increase nutritional status, improve quality of life and prolong survival of
patients. Management of nutrients provision include to provide macronutrients,
micronutrients, specific nutrients, counseling and education.
Patients age in this case series were between 42 to 52 years with a different stage
of cervical cancer. All patient underwent radiotherapy, in which one patient underwent
radiotherapy and chemotherapy. All patients had a screening score ≥2 using a
malnutrition screening tool (MST). Monitoring included subjective complaints, clinical
condition, vital signs, anthropometric, functional capacity and intake analysis.
The results of monitoring for all patients were nutritional support could increase
intake and weight gain in the first patients, for second, third and fourth patients minimize
weight loss. Functional capacity of all patients did not decline and quality of life all
patients are increasing.

Keywords: cervical cancer, radiotherapy, chemotherapy, nutrition management.

viii Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014


DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ............................................................................................... i


HALAMAN PENGESAHAN .................................................................................. iii
KATA PENGANTAR .............................................................................................. iv
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ............................. vi
ABSTRAK ............................................................................................................... vii
DAFTAR ISI .......................................................................................................... viii
DAFTAR TABEL .................................................................................................... xi
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................... xii
DAFTAR SINGKATAN ......................................................................................... xiv
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................................ xviii
1. PENDAHULUAN ............................................................................................ 1
1.1 Latar Belakang ............................................................................................ 1
1.2. Tujuan ...................................................................................................... 2
1.2.1. Tujuan Umum .............................................................................. 2
1.2.2. Tujuan Khusus ............................................................................. 2
1.3. Manfaat ..................................................................................................... 2

2. TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................. 4


2.1. Anatomi Serviks ....................................................................................... 4
2.2. Kanker Serviks .......................................................................................... 4
2.2.1. Perjalanan Penyakit Kanker Serviks ............................................ 5
2.3 Epidemiologi ............................................................................................. 8
2.4. Etiologi ...................................................................................................... 8
2.5. Faktor Risiko ............................................................................................. 9
2.6. Tanda dan Gejala ........................................................................................ 10
2.7. Staging ...................................................................................................... 11
2.8. Kaheksia Kanker ....................................................................................... 13
2.9. Gangguan Metabolisme pada Kanker ....................................................... 16
2.9.1. Metabolisme Karbohidrat ............................................................. 16
2.9.2. Metabolisme Protein .................................................................... 17
2.9.3. Metabolisme Lipid ....................................................................... 18
2.10. Terapi Kanker Serviks .............................................................................. 19
2.10.1. Operasi ........................................................................................ 19
2.10.2. Terapi Radiasi ............................................................................. 20
2.10.2.1 Radiasi eksterna ............................................................ 20
2.10.2.2 Brakiterapi ..................................................................... 21
2.10.2.3 Intravena ....................................................................... 22
2.10.3 Kemoterapi ................................................................................... 22
2.10.4. Efek Samping Terapi Radiasi dan Kemoterapi ............................ 22
2.11. Tatalaksana Nutrisi ................................................................................. 24
2.11.1. Skrining ..................................................................................... 24
2.11.2. Kebutuhan Energi ....................................................................... 25
2.11.3. Kebutuhan Protein ..................................................................... 25
2.11.4. Kebutuhan Lemak ...................................................................... 26
2.11.5. Kebutuhan Karbohidrat dan Serat .............................................. 27
2.11.6. Kebutuhan Mikronutrien ............................................................ 29
2.11.7. Kebutuhan Cairan ...................................................................... 30
2.11.8. Nutrient Spesifik ........................................................................ 31
2.11.8.1. Asam Amino Rantai Cabang ....................................... 31

ix Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014


2.11.8.2. Asam Lemak Omega-3 ................................................ 35
2.11.8.3. Probiotik, Prebiotik, dan Sinbiotik .............................. 42
2.12. Jalur Pemberian ................................................................................................ 45
2.13. Interaksi Obat terhadap Saluran Cerna dan Nutrisi .......................................... 45
2.13.1.Cisplatin ............................................................................................... 45
2.13.2.Ondansetron .......................................................................................... 46
2.13.3.Ultracet ................................................................................................. 46
2.13.4.Transamin/asam traneksamat................................................................ 46
2.13.5.Lansoperazol ........................................................................................ 46
2.13.6.Loperamid ............................................................................................ 46

3. KASUS ............................................................................................................. 47
3.1. Kasus 1 ................................................................................................... 47
3.2. Kasus 2 ................................................................................................... 56
3.3. Kasus 3 ................................................................................................... 64
3.4. Kasus 4 ................................................................................................... 72

4. PEMBAHASAN ............................................................................................... 80
5. KESIMPULAN DAN SARAN ......................................................................... 90

DAFTAR REFERENSI ......................................................................................... 91

x Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014


DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Kandungan Omega-3 dan Omega-6 dalam Ikan dan Makanan Laut
yang Dikonsumsi Masyarakat Indonesia .......................................... 38

Tabel 2.2. Risiko Terjadinya Efek Samping dari Asupan Omega-3 .................. 41

Tabel 3.1. Karakteristik Pasien ........................................................................... 47

Tabel 3.2. Keluhan Subyektif Pasien Kasus Pertama Selama Pemantauan ....... 49

Tabel 3.3. Hasil Pengukuran BB dan IMT Pasien Kasus Pertama Selama
Pemantauan ...................................................................................... 50

Tabel 3.4. Monitoring Laboratorium Darah Rutin Pasien Kasus Pertama


Selama Terapi Radiasi ...................................................................... 50

Tabel 3.5. Keluhan Subyektif Pasien Kasus Kedua Selama Pemantauan .......... 58

Tabel 3.6. Hasil Pengukuran BB dan IMT Pasien Kasus Kedua Selama
Pemantauan ...................................................................................... 58

Tabel 3.7. Monitoring Laboratorium Darah Rutin Pasien Kasus Kedua Selama
Pemantauan ...................................................................................... 59

Tabel 3.8. Keluhan Subyektif Pasien Kasus Ketiga Selama Pemantauan ........... 66

Tabel 3.9. Hasil Pengukuran BB dan IMT Pasien Kasus Ketiga Selama
Pemantauan ...................................................................................... 67

Tabel 3.10. Monitoring Laboratorium Darah Rutin Pasien Kasus Ketiga Selama
Terapi Radiasi .................................................................................. 67

Tabel 3.11. Keluhan Subyektif Pasien Kasus Keempat Selama Pemantauan ...... 74

Tabel 3.12. Hasil Pengukuran BB dan IMT Pasien Kasus Keempat Selama
Pemantauan ...................................................................................... 74

Tabel 3.13. Monitoring Laboratorium Darah Rutin Pasien Kasus Keempat


Selama Pemantauan .......................................................................... 75

xi Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014


DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Anatomi Serviks ........................................................................... 4

Gambar 2.2. Human Papilloma Virus Menginduksi Proliferasi Sel .................. 7

Gambar 2.3. Stadium Kanker Serviks ................................................................ 13

Gambar.2.4. Mekanisme Kanker Kaheksia ........................................................ 16

Gambar 2.5. Pengaruh Keadaan Hipoksia pada Penggunaan Glukosa oleh Sel
Kanker........................................................................................... 17

Gambar 2.6. Efek Langsung dan Tidak Langsung Radiasi ................................ 21

Gambar 2.7. Peran AARC pada Inflamasi Jaringan Otot. .................................. 32

Gambar 2.8. Peran AARC Melalui Jalur Signaling Sel pada Sel Kanker .......... 35

Gambar 2.9. Jalur Metabolisme Asam Lemak Omega-3 dan Omega-6 ............. 37

Gambar 2.10. Mekanisme Peran PUFA Dalam Modulasi Fungsi Imun............... 39

Gambar 2.11. Jalur Seluler Homeostasis Protein Otot ......................................... 40

Gambar 3.1. Analisis Asupan Energi Pasien Kasus Pertama Selama


Pemantauan ................................................................................... 52

Gambar 3.2. Analisis Asupan Makronutrien Pasien Kasus Pertama Selama


Pemantauan ................................................................................... 52

Gambar 3.3. Analisis Asupan Vitamin A Pasien Kasus Pertama Selama


Pemantauan ................................................................................... 53

Gambar 3.4. Analisis Asupan Vitamin C Pasien Kasus Pertama Selama


Pemantauan ................................................................................... 54

Gambar 3.5. Analisis Asupan Vitamin E Pasien Kasus Pertama Selama


Pemantauan ................................................................................... 54

Gambar 3.6. Analisis Asupan EPA Pasien Kasus Pertama Selama Pemantauan 55

Gambar 3.7. Analisis Asupan AARC Pasien Kasus Pertama Selama


Pemantauan ................................................................................... 55

Gambar 3.8. Analisis Asupan Energi Pasien Kasus Kedua Selama


Pemantauan ................................................................................... 60

Gambar 3.9. Analisis Asupan Makronutrien Pasien Kasus Kedua Selama


Pemantauan ................................................................................... 61

Gambar 3.10. Analisis Asupan Vitamin A Pasien Kasus Kedua Selama


Pemantauan ................................................................................... 62

Gambar 3.11. Analisis Asupan Vitamin C Pasien Kasus Kedua Selama


Pemantauan ................................................................................... 62
xii Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014


Gambar 3.12. Analisis Asupan Vitamin E Pasien Kasus Kedua Selama
Pemantauan ................................................................................... 63

Gambar 3.13. Analisis Asupan EPA Pasien Kasus Kedua Selama Pemantauan . 63

Gambar 3.14. Analisis Asupan AARC Pasien Kasus Kedua Selama


Pemantauan .................................................................................. 64

Gambar 3.15 Analisis Asupan Energi Pasien Kasus Ketiga Selama


Pemantauan .................................................................................. 68

Gambar 3.16. Analisis Asupan Makronutrien Pasien Kasus Ketiga Selama


Pemantauan .................................................................................. 69

Gambar 3.17. Analisis Asupan Vitamin A Pasien Kasus Ketiga Selama


Pemantauan ................................................................................... 70

Gambar 3.18. Analisis Asupan Vitamin C Pasien Kasus Ketiga Selama


Pemantauan .................................................................................. 70

Gambar 3.19. Analisis Asupan Vitamin E Pasien Kasus Ketiga Selama


Pemantauan ................................................................................... 71

Gambar 3.20. Analisis Asupan EPA Pasien Kasus Ketiga Selama Pemantauan .. 71

Gambar 3.21. Analisis Asupan AARC Pasien Kasus Ketiga Selama


Pemantauan ................................................................................... 72

Gambar 3.22. Analisis Asupan Energi Pasien Kasus Keempat Selama


Pemantauan ................................................................................... 76

Gambar 3.23. Analisis Asupan Makronutrien Pasien Kasus Keempat Selama


Pemantauan ................................................................................... 76

Gambar 3.24. Analisis Asupan Vitamin A Pasien Kasus Keempat Selama


Pemantauan ................................................................................... 77

Gambar 3.25. Analisis Asupan Vitamin C Pasien Kasus Keempat Selama


Pemantauan ................................................................................... 77

Gambar 3.26. Analisis Asupan Vitamin E Pasien Kasus Keempat Selama


Pemantauan ................................................................................... 78

Gambar 3.27. Analisis Asupan EPA Pasien Kasus Keempat Selama


Pemantauan ................................................................................... 78

Gambar 3.28. Analisis Asupan AARC Pasien Kasus Keempat Selama


Pemantauan ................................................................................... 79

xiii Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014


DAFTAR SINGKATAN

α-MSH : α-melanocyte stimulating hormone


AARC : asam amino rantai cabang
ACS : American Cancer Society
ACTH : adrenocorticotropic hormone
AgRP : agouti related protein
AI : acceptable intake
AICR : American Institute for Cancer Research
AKG : angka kebutuhan gizi
ALA : alpha-linolenic acid
AMP : adenosine mono phosphate
AMPK : adenosine mono phosphate kinase
AP : associated protein
ASKES : asuransi kesehatan
ATP : adenosine triphosphate
BMS : bahan makanan sumber
CACS : cancer anorexia-cahexia syndrome
cAMP : siklus adenosin monofosfat
CFU : colony forming unit
CIN : cervical intraepithelial neoplasia
COX : cyclooxygenase
CRP : C-reactive protein
CT scan : computed tomography scan
EE : energy expenditure
EPA : eicosapentaenoic acid
DES : dietilstilbestrol
DHA : docosahexanoic acid
DNA : deoxyribose nucleic acid
DPJP : dokter penanggung jawab pelayanan
4EBP1 : eukaryotic translation initiation factor 4E binding protein 1
ESPEN : European Society for Parenteral and Enteral Nutrition
FA : faktor aktivitas
FIGO : International Federation of Gynecolog and Obstetric
FS : faktor stres

xiv Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014


GDS : gula darah sewaktu
GLUT-1 : glucose transporter-1
Gln : Glutamin
GTPase : guanine triphosphate hydrolysis enzymes
Gy : grey
Hb : hemoglobin
HB : Harris-Benedict
15-HETE : 15-hydroxy eicosatetraenoic acid
HIF-1 : hypoxia-inducible factor 1
HIV : human immunodeficiency virus
HPV : human papilloma virus
Ht : hematokrit
Hsp : heat shock protein
HSL : hormone sensitive lipase
HSV : herpes simplex virus
IGF 1 : insulin-like growth factor 1
IKB : inhibitory κB-protein
IL : interleukin
IMT : indeks massa tubuh
IR : insulin receptor
IRS1 : substrat reseptor insulin-1
Jamkesda : jaminan kesehatan daerah
KEB : kebutuhan energi basal
KET : kebutuhan energi total
KH : karbohidrat
KPS : Karnofsky performance scale
LAT1 : L-type amino acid transporter
LCT : long chain trigliseride
LDH : laktat dehidrogenase
LED : laju endap darah
LMF : lipid mobilizing factor
LNAA : large neutral amino acid
LOX : lipooxygenase
LPL : lipoprotein lipase
LT : leukotrien

xv Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014


MCH : mean corpuscular hemoglobin
MCHC : mean corpuscular hemoglobin consentration
MCT : medium chain trigliseride
MC3R : melanocortine 3 receptor
MCV : mean corpuscular volume
MST : malnutrition screening tool
mTORC 1 : mammalian target of rapamycin complex I
NCI CTC : National Cancer Institute Common Toxicity Criteria
NF-ĸb : nuclear transcripsi ĸB
NPY : neuropeptida Y
PDH : pyruvat dehidrogenase
PDHK : pyruvate dehydrogenase kinase
PG : prostaglandin
PG-SGA : patient-generated subjective global assessment
PIF : proteolysis-inducing factor
PLA : phospholipase
PMI : Palang Merah Indonesia
PMN : polimorfonuklear
POMC : proopiomelanocortin
PPAR γ : peroxisome proliferator activated receptor γ
PUFA : polyunsaturated fatty acid
Rag GTPases : Rag guanine triphosphate hydrolysis enzymes
RCT : randomized controlled trial
RDA : Recommended Dietary Allowances
REE : resting energy expenditure
Rheb : homolog enriched in brain
RNA : ribonucleic acid
S6K1 : ribosom S6 kinase 1
SREBP : sterol regulatory element-binding protein
SCFA : short chain fatty acid
TB : tinggi badan
TIBC : total iron binding capacity
TNF : tumor necrosis factor
TSC1/2 : sclerosis tuberous 1/2
TSG : tumor suppressor gene

xvi Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014


TX : tromboksan
Ub : ubiquitin
USG : ultrasonografi
WHO : World Health Organization
ZAG : zinc-α2-glikoprotein

xvii Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014


DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Lembar Skrining Gizi ................................................................... 99


Lampiran 2 Lembar Monitoring Pasien Kasus Pertama .................................. 100
Lampiran 3 Lembar Monitoring Pasien Kasus Kedua ..................................... 106
Lampiran 4 Lembar Monitoring Pasien Kasus Ketiga ..................................... 111
Lampiran 5 Lembar Monitoring Pasien Kasus Keempat ................................. 114

xviii Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014


1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Kanker serviks merupakan suatu neoplasma ganas primer pada organ serviks
uteri. Sampai saat ini, kanker serviks masih merupakan penyebab kematian
terbanyak akibat penyakit kanker di negara berkembang. Insiden dan mortalitas
kanker serviks di dunia menempati urutan kedua setelah kanker payudara. 1
Di Indonesia diperkirakan ditemukan 40.000 kasus baru kanker serviks
setiap tahun. Menurut data kanker berbasis patologi di 13 pusat laboratorium
patologi, kanker serviks merupakan penyakit kanker yang memiliki jumlah
penderita terbanyak di Indonesia, yaitu kurang lebih 36%. Frekuensi kanker
serviks di Rumah Sakit dr.Cipto Mangunkusumo (RSCM) sebesar 76,2% di
antara kanker ginekologi.2
Penyebab utama dari kanker serviks adalah infeksi HPV (Human
Papilloma Virus) yang terdeteksi pada 99,7% kanker serviks. Proses terjadinya
karsinoma serviks sangat erat hubungannya dengan proses metaplasia pada sel-sel
epitel serviks. Sel kanker berperan dalam mengeluarkan sitokin yang dapat
menyebabkan anoreksia hingga malnutrisi. Penderita kanker sering mengalami
malnutrisi dengan karakteristik kehilangan berat badan (BB) secara progresif.
Terapi kanker termasuk kemoterapi dan radioterapi memiliki efek samping
anoreksia, nausea, muntah dan diare yang akan memperberat kehilangan BB.
Radioterapi daerah pelvis dapat menyebabkan kerusakan jaringan sehat di sekitar
sehingga terjadi komplikasi gastrointestinal seperti diare dan/atau keram perut,
proktitis (gangguan pada daerah anorektal, tenesmus, perdarahan rektum) dan
komplikasi genitourinari seperti sistouretritis (nyeri BAK, BAK sering, dan/atau
BAK malam hari).1,2
Malnutrisi menimbulkan perpanjangan lama rawat di rumah sakit, juga
morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Malnutrisi yang tidak segera diterapi
dengan baik dapat menyebabkan terjadinya kaheksia. Kaheksia merupakan
sindrom multifaktorial dengan karakteristik kehilangan BB, lemak dan massa otot.
Beberapa penelitian yang dilakukan pada pasien kanker, pemberian nutrisi
berupa makronutrien dan mikronutrien serta nutrient spesifik dapat meningkatkan

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014


2

atau mempertahankan status gizi dan memperbaiki kualitas hidup. Namun


beberapa penelitian untuk pemberian mikronutrien dan nutrient spesifik masih
bersifat kontroversi.
Dukungan nutrisi yang tepat sejak dini sangat diperlukan. Tatalaksana
nutrisi yang adekuat meliputi pemberian nutrisi berupa diet makronutrien dan
mikronutrien serta pemberian nutrient spesifik dapat meningkatkan asupan kalori
pasien dan mencegah terjadinya kanker kaheksia serta dapat memperbaiki kualitas
hidup pasien. Serial kasus ini ditujukan untuk membahas tatalaksana nutrisi pada
pasien-pasien kanker serviks yang sedang menjalani terapi radiasi dan kemoterapi
dan yang memiliki risiko malnutrisi.

1.2. Tujuan
1.2.1. Tujuan Umum
Memberikan tatalaksana nutrisi yang tepat pada pasien kanker serviks agar dapat
meningkatkan atau mempertahankan status gizi, menurunkan angka morbiditas
dan lama rawat di rumah sakit serta dapat meningkatkan kualitas hidup.

1.2.2. Tujuan Khusus


1. Mengetahui perubahan metabolisme protein, lemak, KH yang terjadi pada
pasien kanker serviks stadium IIb, IIIb dan IVb yang menjalani radioterapi dan
kemoterapi.
2. Mengetahui efek samping radioterapi dan kemoterapi terhadap pemberian
nutrisi.
3. Memberikan tatalaksana nutrisi yang tepat pada pasien kanker serviks yang
sedang menjalani radioterapi dan kemoterapi.
4. Melakukan monitoring dan evaluasi terhadap tatalaksana nutrisi yang
diberikan.

1.3. Manfaat
1. Manfaat bagi pasien:

1
Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014


3

Pasien diharapkan dapat memperoleh dukungan nutrisi yang adekuat sesuai


dengan kebutuhannya untuk dapat menunjang keberhasilan terapi yang
dijalani.

2. Manfaat bagi institusi:


Hasil studi kasus serial ini diharapkan dapat menjadi data dan sumber
informasi dalam memberikan tatalaksana nutrisi untuk pasien kanker serviks.

3. Manfaat bagi penulis:


Penulis dapat mengaplikasikan ilmu yang didapat selama masa pendidikan
dalam memberikan tatalaksana nutrisi pada pasien kanker serviks.

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014


4

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi Serviks


Serviks uteri atau biasa disebut serviks terdapat di setengah hingga sepertiga
bawah uterus, berbentuk silindris, dan menghubungkan uterus dengan vagina
melalui kanal endoservikal. Serviks terdiri dari portio vaginalis, yaitu bagian yang
menonjol ke arah vagina dan bagian supravaginal. Panjang serviks kira-kira 2,5–3
cm dan memiliki diameter 2–2,5 cm. Pada bagian anterior berbatasan dengan
kantung kemih, pada bagian posterior, ditutupi oleh peritoneum yang membentuk
garis cul-de-sac.2

Gambar.2.1. Anatomi Serviks


Sumber: daftar referensi no.3

Terdapat banyak kelenjar serviks yang memanjang dari permukaan mukosa


endoserviks langsung menuju jaringan ikat di sekitarnya, karena tidak terdapat
lapisan sub mukosa, kelenjar inilah yang berfungsi mengeluarkan sekret yang
kental dan lengket dari kanalis servikalis. Jika duktus kalenjar serviks tersumbat,
dapat terbentuk kista retensi yang disebut sebagai folikel atau kista Nabothian.4

2.2. Kanker Serviks


Kanker serviks merupakan kanker primer serviks yang tumbuh dan berkembang
pada serviks atau mulut rahim, khususnya berasal dari lapisan epitel atau lapisan
terluar permukaan serviks. Perjalanan penyakit kanker serviks melalui dimulai

4
Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014


5

dari proses karsinogenesis awal hingga terjadinya perubahan morfologi dan


tumbuh menjadi kanker invasif.5

2.2.1. Perjalanan Penyakit Kanker Serviks


Infeksi HPV merupakan awal dari proses karsinogenesis kanker serviks uterus,
infeksi ini dapat berlanjut menjadi lesi prakanker dan kemudian kanker serviks
invasif karena ada ko-faktor infeksi. Beberapa faktor secara umum dibagi menjadi
tiga faktor besar yaitu faktor eksogen, faktor virus dan faktor pejamu. Faktor
eksogen antara lain faktor penggunaan kontrasepsi oral, merokok dan faktor
penyakit hubungan seksual. Faktor virus antara lain viral load dan jenis HPV.
Faktor pejamu antara lain faktor hormon, faktor genetik dan sistem kekebalan
tubuh penderita.6
Sejak terinfeksi virus hingga menjadi lesi pra kanker serta akhirnya
kanker, rentang waktunya adalah 3–14 tahun, dan rata-rata 10 tahun. Infeksi HPV
merupakan faktor inisiator dari kanker serviks yang menyebabkan terjadinya
gangguan pada sel serviks. Onkoprotein E6 dan E7 yang berasal dari HPV
merupakan penyebab terjadinya degenerasi keganasan. Onkoprotein E6 akan
mengikat protein sel (associated protein/AP) kompleks E6-AP menyebabkan
kerusakan p53 sehingga tumor suppressor gene (TSG) p53 akan kehilangan
fungsinya. Fungsi p53 ini bekerja menghentikan siklus sel pada fase G1.
Kerusakan p53 menyebabkan aktivitas henti sel (check point) dan apoptosis tidak
terjadi, siklus sel berjalan tanpa kontrol, sedangkan onkoprotein E 7 akan mengikat
TSG pRb, ikatan ini menyebabkan terlepasnya E 2F yang merupakan faktor
transkripsi sehingga siklus sel berjalan tanpa kontrol. Protein virus E2 mempunyai
peranan sebagai regulator replikasi virus, E 2 akan terikat dengan kromosom DNA
sel, ikatan ini menyebabkan ekspresi E2 terganggu, terganggunya E2 menyebabkan
terjadi penekanan p97 dan peningkatan ekspresi E 6 dan E7.7,8
Integrasi DNA virus dengan genom sel tubuh menyebabkan E 2 tidak
berfungsi, tidak berfungsinya E2 menyebabkan rangsangan terhadap E6 dan E7
yang akan menghambat p53 dan pRb. Penghentian siklus sel bertujuan memberi
kesempatan kepada sel untuk memperbaiki kerusakan yang timbul. Setelah
perbaikan selesai maka sel akan masuk ke fase S. Kemampuan p53 menghentikan

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014


6

siklus sel melalui hambatannya pada cdk-cyclin. Kompleks cdk-cyclin berfungsi


merangsang siklus sel memasuki fase selanjutnya.7,8
Hilangnya fungsi p53 menyebabkan penghentian sel pada fase G1 tidak
terjadi, dan perbaikan tidak terjadi, dan sel akan terus masuk ke fase S tanpa ada
perbaikan. Sel yang abnormal ini akan terus membelah dan berkembang tanpa
kontrol. Selain itu p53 juga berfungsi sebagai perangsang apoptosis. Hilangnya
fungsi p53 menyebabkan proses apoptosis tidak berjalan.7,8
Protein E7 menghambat proses perbaikan sel melalui mekanisme yang
berbeda. Pada proses regulasi siklus sel di fase G0 dan G1, tumor suppressor gene
pRb berikatan dengan E2F, ikatan ini menyebabkan E2F menjadi tidak aktif (E2F
merupakan gen yang akan merangsang siklus sel melalui aktivasi proto-onkogen
c-myc, N-myc). Masuknya protein E7 menyebabkan E2F bebas terlepas dan
merangsang proto-onkogen c-myc dan N-myc yang selanjutnya akan terjadi proses
transkripsi atau proses siklus sel, seperti terlihat pada gambar 2.2. 7,8
Infeksi HPV merupakan infeksi yang terjadi secara lokal pada lapisan
epitel serviks. Infeksi HPV tidak menembus membran basalis sehingga tidak
menimbulkan viremia, tanpa gejala serta tidak menimbulkan reaksi radang.7

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014


7

HPV

E6 E7
p53 Cdk-cyclin E2 F pRb-E2F
E6-p53

C-myc, N-myc

G1 S

M G2

Gambar 2.2. Human Papilloma Virus Menginduksi Proliferasi Sel dengan


Merangsang cdk-cyclin, c-myc, N-myc
Sumber: diolah kembali dari daftar referensi no.7

Proses karsinogenesis awal atau lesi pra kanker servik adalah lesi sebelum kanker
disebut juga lesi intraepithel serviks/cervical intraepithelial neoplasia (CIN I),
lesi ini merupakan awal dari perubahan menuju kanker serviks. Diawali dengan
CIN I yang secara klasik dinyatakan dapat berkembang menjadi CIN II dan
kemudian menjadi CIN III, kemudian berkembang menjadi kanker serviks. Tidak
semua lesi pra kanker akan berkembang menjadi lesi invasif, karena masih banyak
faktor yang dapat mempengaruhi. Infeksi HPV yang berisiko terjadinya CIN
adalah infeksi HPV persistent.7,8
Untuk memudahkan penilaian sitologi, klasifikasi Bethesda
memperkenalkan dua kategori untuk menilai derajat lesi prakanker yaitu lesi
derajat rendah (low grade squamous epithelial lesion) dan lesi derajat tinggi (high
grade squamous epithelial lesion). Lesi derajat rendah setara dengan CIN I,
sedangkan lesi derajat tinggi setara dengan CIN II dan CIN III. Kategori derajat
rendah oleh karena CIN I hanya 12% saja yang berkembang ke derajat yang lebih
berat, sedangkan CIN II dan CIN III mempunyai risiko menjadi kanker invasif
yang lebih besar bila tidak mendapat pengobatan.4,8

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014


8

2.3. Epidemiologi
Kanker serviks merupakan kanker yang menduduki urutan pertama dari kejadian
kanker pada wanita di negara berkembang. Di negara maju, angka kejadian dan
angka kematian kanker serviks telah menurun karena suksesnya program deteksi
dini. Akan tetapi, kanker ini masih menempati posisi kedua terbanyak di seluruh
dunia untuk keganasan pada wanita (setelah kanker payudara) dan diperkirakan
diderita oleh 500.000 wanita tiap tahunnya dengan angka kematian 27.000
orang.4,5
Apabila terdeteksi pada stadium awal, kanker serviks merupakan kanker
yang paling berhasil diterapi dengan 5 years survival rate sebesar 92% untuk
kanker lokal. Keterlambatan diagnosis pada stadium lanjut, keadaan umum yang
lemah, status sosial ekonomi yang rendah, keterbatasan sumber daya, keterbatasan
sarana, dan prasarana, jenis histopatologi, dan derajat pendidikan ikut serta dalam
menentukan prognosis dari penderita.5

2.4. Etiologi
Hampir seluruh kanker serviks (99,7%) disebabkan oleh infeksi HPV. Virus ini
bersifat spesifik dan hanya tumbuh di dalam sel manusia, terutama pada sel-sel
lapisan permukaan serviks.5 HPV merupakan virus deoxyribose nucleic acid
(DNA) dengan diameter kurang lebih 55 nm, genomnya terbentuk oleh dua rantai
(double stranded) DNA yang terdiri dari kurang lebih 8000 pasang basa. Ukuran
HPV sangat kecil, virus ini bisa menular melalui mikro lesi atau sel abnormal di
vagina.4,8
Human papilloma virus dibagi menurut risikonya dalam menimbulkan
kanker serviks, yaitu risiko tinggi dan risiko rendah, yang tergolong risiko rendah
yaitu tipe 6,11, 42, 43, 44, 54, 61, 72, 81 disebut tipe non-onkogen. Jika terinfeksi,
hanya menimbulkan lesi jinak, misalnya kutil dan jengger ayam, sedangkan untuk
risiko tinggi yaitu tipe 16, 18, 31, 35, 39, 45, 51, 52, 56, 58, 59, 68, 82 disebut tipe
onkogenik. Jika terinfeksi dan tidak diketahui ataupun tidak diobati, bisa menjadi
kanker. Virus tipe ini ditemukan pada hampir semua kasus kanker serviks
(99%).8,9

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014


9

2.5. Faktor Risiko


Faktor risiko dibagi menjadi dua yaitu faktor risiko yang telah dibuktikan dapat
menyebabkan kanker serviks dan faktor risiko yang masih diperkirakan. Faktor
risiko yang telah dibuktikan diantaranya hubungan seksual. Beberapa bukti
menunjukkan adanya keterkaitan antara riwayat hubungan seksual dan risiko
terkena penyakit ini.2
Sesuai dengan etiologi infeksinya, wanita dengan pasangan seksual yang
banyak dan wanita yang memulai hubungan seksual pada usia muda akan
meningkatkan risiko terkena kanker serviks. Sel kolumnar serviks lebih peka
terhadap metaplasia selama usia dewasa, maka wanita yang berhubungan seksual
sebelum usia 18 tahun akan berisiko terkena kanker serviks lima kali lipat.2
Karakteristik pasangan juga termasuk faktor risiko, dimana studi kasus
kontrol menunjukkan bahwa pasien dengan kanker serviks lebih sering
berhubungan seks dengan pasangan pria yang sebelumnya telah memiliki
pasangan seksual yang berganti-ganti. Sedangkan untuk riwayat ginekologis, telah
dibuktikan bahwa hamil di usia muda dan jumlah kehamilan atau manajemen
persalinan yang tidak tepat dapat meningkatkan risiko. 2,5
Penggunaan obat yang merupakan faktor risiko adalah Dietilstilbestrol
(DES) dan telah terbukti ada keterkaitan antara clear cell adenocarcinoma serviks
dengan paparan DES. Agen infeksius yang juga merupakan faktor risiko adalah
HPV, herpes simpleks virus (HSV), serta infeksi bakteri.2,5
Terdapat sejumlah bukti yang menunjukkan HPV sebagai penyebab
neoplasia servikal. Human Papilloma Virus tipe 6 dan 11 berhubungan erat
dengan displasia ringan, yang sering mengalami regresi sedangkan tipe 16 dan 18
dihubungkan dengan displasia berat, yang jarang regresi dan seringkali progresif
menjadi karsinoma in situ.8
Herpes Simplex Virus (HSV) spesifik ribonucleic acid (RNA) terbukti
ditemukan pada pemeriksaan sampel jaringan wanita dengan displasia serviks,
sedangkan infeksi trikomonas, sifilis, dan gonokokus ditemukan berkaitan dengan
kanker serviks. Infeksi ini dipercaya muncul akibat hubungan seksual dengan
banyak pasangan.2

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014


10

Merokok juga merupakan penyebab kanker serviks dan hubungan antara merokok
dengan kanker sel skuamosa pada serviks telah terbukti dari berbagai penelitian.
Mekanisme kerjanya dapat langsung (aktivitas mutasi mukus serviks telah
ditunjukkan pada perokok) atau melalui efek imunosupresif dari rokok. 2,9
Faktor risiko yang masih diperkirakan yaitu kontrasepsi hormonal.
Lamanya penggunaan kontrasepsi hormonal akan meningkatkan risiko menderita
kanker serviks, kesimpulan tersebut diperoleh berdasarkan penelitian meta-
analisis. Penggunaan sampai dengan 10 tahun kontrasepsi oral, meningkatkan
risiko sampai dua kali. Paparan bahan tertentu dari suatu pekerjaan seperti debu,
logam, bahan kimia, tar, oli mesin diperkirakan dapat menjadi risiko terkena
kanker serviks, sedangkan dari segi etnis dan faktor sosial didapatkan bahwa
wanita kelas sosioekonomi yang paling rendah memiliki faktor risiko lima kali
lebih besar terkena kanker serviks daripada wanita di kelas sosioekonomi yang
paling tinggi.1,9

2.6. Tanda dan Gejala


Pada lesi pra kanker 92% tidak terdapat gejala, walaupun telah terjadi invasi sel
tumor ke dalam stroma, dan kalaupun ada hanya berupa rasa kering di vagina,
atau keputihan berulang atau tidak sembuh-sembuh walaupun sudah diobati.
Gejala klinis dapat dibedakan menjadi beberapa tahapan yaitu gejala awal, gejala
lanjut, gejala metastase dan gejala kambuh.1,5
Gejala awal ditandai oleh adanya perdarahan lewat vagina pasca senggama
atau spontan di luar masa haid. Perdarahan pasca senggama bisa terjadi bukan
disebabkan oleh adanya kanker serviks, melainkan karena mikro lesi atau luka-
luka kecil di vagina saat bersenggama. Serviks yang normal konsistensinya kenyal
dan permukaannya licin, sedangkan serviks yang sudah berubah menjadi kanker
bersifat rapuh, mudah berdarah dan diameternya biasanya membesar. Serviks
yang rapuh tersebut akan mudah berdarah pada saat aktivitas seksual sehingga
terjadi perdarahan pasca senggama.1,5
Gejala lain adalah keputihan yang berulang dan tidak sembuh-sembuh
walaupun telah diobati. Keputihan ini terutama terjadi pada tahap nekrosis lanjut.
Nekrosis terjadi karena pertumbuhan tumor yang cepat dan tidak diimbangi

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014


11

dengan pertumbuhan pembuluh darah (angiogenesis) agar mendapat aliran darah


yang cukup. Nekrosis ini menimbulkan bau yang tidak sedap, gatal, panas karena
disertai adanya infeksi sekunder.1,5
Pada stadium lanjut disertai dengan nyeri panggul, pinggang dan tungkai,
gangguan berkemih serta nyeri di kandung kemih dan anus. Keluhan ini muncul
karena pertumbuhan kanker tersebut menekan atau mendesak, ataupun
menginvasi organ sekitarnya.5
Gejala yang timbul pada kanker yang telah metastase, sesuai dengan organ
yang terkena seperti penyebaran di paru-paru, hati dan tulang. Penyebaran ke
kelenjar getah bening tungkai bawah dapat menimbulkan edema tungkai bawah,
sedangkan gejala kekambuhan atau residif terlihat dari adanya edema pada
tungkai satu sisi, nyeri panggul menjalar ke tungkai dan obstruksi ureter.1

2.7. Staging9
Penentuan stadium kanker serviks menurut International Federation of Gynecolog
and Obstetric (FIGO) masih berdasarkan pada pemeriksaan klinis pra operatif
ditambah dengan foto toraks serta sitoskopi dan rektoskopi. Stadium kanker
serviks menurut FIGO 2000 adalah :
Stadium 0 Karsinoma insitu, karsinoma intra epithelial
Stadium I Karsinoma masih terbatas di serviks (penyebaran ke korpus uteri
diabaikan)
Stadium Ia Invasi kanker ke stroma hanya dapat dikenali secara mikroskopik,
lesi yang dapat dilihat secara langsung walau dengan invasi yang
sangat superfisial dikelompokkan sebagai stadium Ib. Kedalaman
invasi ke stroma tidak lebih dari 5 mm dan lebarnya lesi tidak lebih
dari 7 mm.
Stadium Ia1 Invasi ke stroma dengan kedalaman tidak lebih dari 3 mm dan
lebar tidak lebih dari 7 mm.
Stadium Ia2 Invasi ke stroma dengan kedalaman lebih dari 3 mm tapi kurang
dari 5 mm dan lebar tidak lebih dari 7 mm.
Stadium Ib Lesi terbatas di serviks atau secara mikroskopis lebih dari Ia.
Stadium Ib1 Besar lesi secara klinis tidak lebih dari 4 cm

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014


12

Stadium Ib2 Besar lesi secara klinis lebih dari 4 cm


Stadium II Telah melibatkan vagina, tapi belum sampai 1/3 bawah atau
infiltrasi ke parametrium belum mencapai dinding panggul.
Stadium IIa Telah melibatkan vagina tapi belum melibatkan parametrium
Stadium IIb Infiltrasi ke parametrium, tetapi belum mencapai dinding panggul.
Stadium III Telah melibatkan 1/3 bawah vagina atau adanya perluasan sampai
dinding panggul. Kasus dengan hidronefrosis atau gangguan fungsi
ginjal dimasukkan dalam stadium ini, kecuali kelainan ginjal dapat
dibuktikan oleh sebab lain.
Stadium IIIa Keterlibatan 1/3 bawah vagina dan infiltrasi parametrium belum
mencapai dinding panggul.
Stadium IIIb Perluasan sampai dinding panggul atau adanya hidronefrosis atau
gangguan fungsi ginjal.
Stadium IV Perluasan ke luar organ reproduktif
Stadium IVa Keterlibatan mukosa kandung kemih atau mukosa rektum
Stadium IVb Metastase jauh atau telah keluar dari rongga panggul.
Gambaran stadium kanker serviks ini dapat dilihat pada gambar 2.3.

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014


13

Gambar 2.3. Stadium Kanker Serviks


Sumber: telah diolah kembali dari daftar referensi no.9

2.8. Kaheksia Kanker


Kanker kaheksia atau disebut juga dengan cancer anorexia-cahexia syndrome
(CACS), merupakan sindrom dengan karakteristik kehilangan BB yang progresif,
penurunan massa lemak dan massa otot, yang ditemukan pada 40–85% pasien
stadium lanjut dan menyebabkan 20% kematian dari seluruh pasien kanker.
Kanker kaheksia dapat juga menurunkan kualitas hidup pasien, menurunkan
respon kemoterapi dan memperpendek harapan hidup. Angka kematian tinggi
pada pasien yang kehilangan BB lebih dari 30%.10,11

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014


14

Kanker kaheksia dibagi dalam tiga tahap yaitu prekaheksia, kaheksia dan
refractory cachexia. Pada tahap prekaheksia ditandai dengan gejala klinis dan
perubahan metabolisme seperti anoreksia dan toleransi glukosa terganggu yang
menyebabkan penurunan BB tanpa disadari ≤5%. Tahap kaheksia terjadi
penurunan BB ≥5% dalam waktu enam bulan terakhir atau IMT <20 kg/m 2 dan
penurunan BB yang sedang berlangsung >2%, atau sarkopenia. Sedangkan pada
tahap refractory cachexia, ditandai dengan progresivitas kanker yang cepat dan
tidak respon dengan terapi anti kanker. Pada tahap ini harapan hidup kurang dari
tiga bulan.12
Kriteria diagnosis sindrom kanker kaheksia ditegakkan apabila memenuhi
kriteria penurunan BB minimal 5% dalam 12 bulan atau kurang (atau IMT <20
kg/m2) ditambah dengan tiga dari lima gejala yaitu penurunan kekuatan otot,
fatigue, anoreksia, indeks massa bebas lemak yang rendah dan peningkatan
parameter biokimia (C-reactive protein/CRP atau interleukin/IL-6), anemia
dengan Hb <12 g/dL dan albumin serum yang rendah <3,2 mg/dL).12,13
Gejala klinis kanker kaheksia antara lain mual, muntah, perubahan rasa,
diare, yang dapat timbul akibat gangguan metabolisme atau karena efek samping
terapi. Anoreksia pada kanker disebabkan oleh ketidakseimbangan antara sinyal
oreksigenik seperti neuropeptida Y (NPY) yang merangsang asupan makan dan
anoreksigenik seperti proopiomelanokortin (POMC) yang menghambat asupan
makan di hipotalamus.13
Neuropeptida Y merangsang nafsu makan melalui pelepasan protein
oreksigenik yang meningkatkan agouti related protein (AgRP). AgRP ini akan
menetralkan kerja protein perangsang melanocortine 4 receptor (MC4R) yang
dapat meningkatkan nafsu makan, sedangkan POMC merupakan neuron yang
melepaskan α-melanocyte stimulating hormone (α-MSH) melalui sinyal pada
reseptor MC3R dan MC4R. Pelepasan hormon ini akan menghasilkan penurunan
nafsu makan, penurunan massa otot dan peningkatan basal metabolic rate
(BMR).13
Sitokin pro inflamasi memegang peranan pada perubahan rasa lapar dan
kenyang, beberapa sitokin yang dihasilkan oleh sel tumor atau oleh respon tubuh
terhadap adanya tumor seperti interleukin-1 (IL-1β), IL-6, tumour necrosis factor

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014


15

α (TNF-α) dan interferon-γ (IFN-γ) merupakan mediator terjadinya kanker


kaheksia. Pada pasien kanker umumnya ditemukan kadar serum IL-1, IL-6, TNF-
α yang tinggi, dan berkorelasi dengan progresivitas tumor. Sitokin ini juga
mempengaruhi asupan dengan melepaskan leptin.10,13
Hormon leptin yang diproduksi oleh jaringan adiposa berperan pada
pengaturan BB. Leptin berperan dalam mengontrol cadangan lemak dengan
menghambat asupan makanan dan meningkatkan energy expenditure (EE). Kadar
leptin serum tergantung dari jumlah cadangan lemak lemak tubuh. Kadar leptin
yang rendah dapat meningkatkan aktivitas sinyal oreksigenik di hipotalamus yang
merangsang makan dan menurunkan aktivitas sinyal anoreksigenik yang
menghambat nafsu makan. Kadar leptin yang rendah di otak akan berpengaruh
terhadap sitokin yang akan menghambat jalur NPY atau menyebabkan efek
negatif dari leptin, yang akan menurunkan kadar NPY dan menyebabkan
terjadinya anoreksia.14,15
Pada penelitian yang dilakukan pada pasien kanker dengan tumor solid,
didapatkan EE pasien meningkat dibandingkan kelompok kontrol, bahkan
sebelum terjadi penurunan BB. Peningkatan EE tersebut terlihat berhubungan
dengan peningkatan denyut jantung dan diperkirakan akibat peningkatan
adrenergik. Jenis tumor juga berperan dalam peningkatan resting energy
expenditure (REE), dimana pada pasien kanker paru dan pankreas, didapatkan
adanya peningkatan REE, sedangkan pada kanker gaster dan kolorektal tidak
didapatkan.16
Terapi anti-kanker juga dapat menyebabkan terjadinya malnutrisi.
Kemoterapi dapat mengakibatkan mual, muntah, kembung, mukositis, ileus
paralitik dan malabsorpsi. Beberapa obat anti-kanker, seperti fluorourasil,
adriamicin, methotrexate dan cisplastin menyebabkan komplikasi yang berat pada
gastrointestinal.16
Malnutrisi juga dapat menyebabkan terjadinya depresi pada pasien yang
ditandai oleh perubahan kualitas hidup dan penurunan drastis dari penampilan
pasien. Patofisiologis terjadinya kaheksia pada kanker bersifat mutifaktorial
seperti akibat terapi anti-kanker, anoreksia, asupan makan yang tidak adekuat dan
karena gangguan metabolisme. (gambar 2.5)1

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014


16

KANKER

Pengobatan anti kanker Kompetisi pejamu/tumor


Tumor side product

Inadekuat asupan Metabolisme


Aktivitas fisik ↓ energi dan
Hambatan
Gangguan psikis KH, protein,
mekanik pengeluaran
energi lemak

Penurunan asupan Gangguan metabolik

Gangguan absorpsi
Enteropati eksudatif
KAHEKSIA

Gambar.2.4. Mekanisme Kanker Kaheksia


Sumber: daftar referensi no.16

2.9. Gangguan Metabolisme pada Kanker


2.9.1. Metabolisme Karbohidrat
Hampir semua sel kanker menggunakan proses glikolisis yang membutuhkan
glukosa yang sangat tinggi untuk menghasilkan ATP, proses ini dikenal sebagai
efek Warburg. Efek Warburg disebabkan oleh adanya disfungsi mitokondria yang
menyebabkan terjadinya mutasi DNA mitokondria yang akan menghalangi
pemakaian asam piruvat sehingga menghambat siklus asam trikarboksilat.14
Deoksiribonukleat mitokondria mengkode 13 komponen rantai pernafasan,
sehingga mutasi pada DNA mitokondria akan menyebabkan gangguan fungsi
rantai pernafasan dan meningkatkan ketergantungan sel pada proses glikolisis.
Gangguan ini akan menyebabkan terjadinya kondisi hipoksia yang akan
mengaktifkan faktor transkripsi. Kondisi ini disebut sebagai hypoxia-inducible
factor 1 (HIF-1) dimana HIF-1 ini akan meningkatkan transkripsi reseptor glucose
transporter-1 (GLUT 1) dan pyruvate dehydrogenase kinase (PDHK) yang
berperan memfosforilasi dan menginaktivasi pyruvat dehidrogenase (PDH)
complex. Selanjutnya PDH ini akan mengubah piruvat menjadi acetyl-CoA di
mitokondria sehingga menyebabkan terjadinya akumulasi piruvat yang kemudian

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014


17

akan diubah menjadi laktat oleh laktat dehidrogenase (LDH).13 Kondisi hipoksia
pada sel kanker yang mempengaruhi penggunaan glukosa digambarkan pada
gambar 2.5.

Gambar 2.5. Pengaruh Keadaan Hipoksia pada Penggunaan Glukosa oleh


Sel Kanker
Sumber: daftar referensi no.13

Perubahan glukosa menjadi laktat merupakan suatu proses yang tidak efisien,
dimana untuk pertumbuhannya sel tumor membutuhkan 40 kali glukosa lebih
banyak dibandingkan dengan oksidasi melalui siklus asam trikarboksilat. Laktat
yang dihasilkan dari sel tumor selanjutnya akan dibawa ke hati dimana
selanjutnya akan disintesis kembali menjadi glukosa. Proses ini disebut siklus
Cori yang juga merupakan proses yang tidak efisien energi karena membutuhkan
6 mol ATP untuk menghasilkan 1 mol glukosa dari 2 mol asam laktat. Siklus Cori
ini menyebabkan kehilangan energi pada pasien kanker sekitar 300 kkal perhari. 13

2.9.2. Metabolisme Protein


Pada kondisi starvasi, penggunaan energi untuk otak oleh glukosa digantikan
dengan benda keton yang merupakan hasil pemecahan lemak. Protein otot dan
protein visceral dipergunakan sebagai prekursor glukoneogenesis sehingga terjadi
penurunan katabolisme protein dan penurunan glukoneogenesis dari asam amino

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014


18

di hati. Pada pasien kanker, asam amino tidak disimpan sehingga terjadi deplesi
dari massa otot dan pada sebagian pasien terjadi atrofi otot yang berat.16
Kehilangan massa otot merupakan akibat dari peningkatan degradasi protein
dan penurunan sintesis protein karena terpakai untuk pembentukan protein fase
akut dan glukoneogenesis. Beberapa penelitian menyatakan bahwa asam amino
rantai cabang (AARC) dapat meregulasi sintesis protein secara langsung dengan
memodulasi translasi mRNA.16
Proteolysis-inducing factor (PIF) merupakan glikoprotein sulfat yang dapat
mengaktivasi jalur proteolisis. Kehilangan massa otot pada pasien kanker dan
hewan coba dengan kaheksia menunjukkan korelasi dengan adanya PIF di dalam
serum yang mampu menginduksi secara seimbang degradasi protein dan
penghambatan sintesis protein. PIF dihasilkan khususnya pada pasien kanker
kaheksia, dimana di dalam urin pasien kanker kaheksia dapat ditemukan adanya
PIF, sedangkan pada urin pasien dengan kondisi kehilangan BB seperti luka
bakar, multiple injuries, pasien bedah dengan katabolisme berat dan pada sepsis,
PIF tidak ditemukan.13,14
Pada kanker terjadi ketidakseimbangan antara sitokin proinflamasi seperti
TNF-α, IL-1, IL-2, IL-6, interferon-γ dan sitokin antiinflamasi seperti IL-4, IL-12,
IL-15. Aktivasi sitokin proinflamasi akan mengaktivasi nuclear transcripsi factor-
κB (NF-кB) sehingga terjadi inhibisi sintesis protein otot dan penurunan protein
Myo D, suatu faktor transkripsi yang berperan dalam modulasi jalur signaling
dalam perkembangan otot. Sitokin proinflamasi juga mengaktivasi proteolisis
melalui jalur ubiquitin.12,14
Ubiquitin menghambat sintesis protein dan meningkatkan proteolisis
secara tidak langsung, dengan cara menghambat inhibitory KB-protein (IKB)
yang merupakan inhibitor kuat NF-кB. Selain itu, aktivasi kortisol dan pelepasan
katekolamin juga meningkatkan aktivitas proteolisis ubiquitin. 14

2.9.3. Metabolisme Lipid


Pada pasien kanker terjadi perubahan mobilisasi lipid berupa, penurunan
lipogenesis, penurunan aktivitas lipoprotein lipase (LPL) dan peningkatan
lipolisis. Peningkatan lipolisis disebabkan oleh peningkatan hormon efinefrin,

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014


19

glukagon, adrenocorticotropic hormone (ACTH) yang dimediasi melalui cyclic


adenosine monophosphate (c-AMP). c-AMP akan mengaktivasi hormone
sensitive lipase (HSL) yang selanjutnya akan mengkonversi satu molekul
trigliserida menjadi tiga molekul asam lemak bebas dan satu molekul gliserol.
Penurunan aktivitas LPL disebabkan oleh sitokin pro inflamasi TNF-α, INF-γ dan
IL-1β yang mencegah penyimpanan asam lemak pada jaringan adiposa dan
menyebabkan peningkatan kadar asam lemak bebas dan gliserol dalam
sirkulasi.10,13
Lipid mobilizing factor (LMF) yang ditemukan pada urin pasien kanker
dan pada hewan coba yang menderita kanker, menyebabkan kehilangan massa
lemak karena terjadi peningkatan lipolisis disertai dengan peningkatan EE. Pada
jaringan adiposa, LMF dapat menyebabkan pemecahan jaringan adiposa menjadi
asam lemak dan gliserol melalui c-AMP. Penurunan massa lemak pada pasien
kanker dapat disebabkan karena anoreksia, tapi dapat juga disebabkan karena
peningkatan lipolisis yang tidak diimbangi oleh lipogenesis.10,13

2.10. Terapi Kanker Serviks


2.10.1. Operasi
Terapi utama pada kanker serviks stadium I sampai IIa adalah operasi dengan atau
tanpa radiasi. Penelitian oleh Landoni17 pada kanker serviks stadium Ib1–IIa1,
tindakan pembedahan, dengan atau tanpa kemoterapi atau terapi radiasi, tidak ada
perbedaan dalam angka kesembuhan. Tindakan pembedahan yang standar untuk
stadium Ib1–IIa1 adalah radiasi radikal, histerektomi radikal dan limfadenektomi
pelvis.18
Pada kanker serviks stadium lokal lanjut (stadium IIb–IIIb), terapi bedah
bukan merupakan terapi utama. Pada stadium ini terapi utama adalah kombinasi
radioterapi dan kemoterapi. Studi menunjukkan terapi radioterapi saja umumnya
memberikan tingkat kegagalan yang tinggi (stadium IIb 20–50%, stadium IIIb 50–
75%) sedangkan kombinasi radioterapi dengan kemoterapi (cisplatin, 5
fluorourasil/FU) memberikan hasil yang baik, dengan tingkat rekurensi 3 tahun
dan 5 tahun yang rendah, survival rate yang meningkat, dan risiko timbulnya
metastasis jauh berkurang.18

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014


20

2.10.2. Terapi Radiasi


Terapi radiasi (radioterapi) adalah pengobatan yang terutama ditujukan untuk
penyakit keganasan dengan menggunakan sinar pengion. Tehnik radioterapi
dibagi dalam radiasi eksterna, radiasi interna atau brakiterapi dan intravena. Jenis
terapi yang yang diberikan tergantung dari usia, keadaan umum penderita, luasnya
penyebaran dan komplikasi lain yang menyertai. Satuan unit radiasi dinyatakan
dalam gray (Gy).18

2.10.2.1 Radiasi Eksterna18


Radiasi eksterna merupakan terapi pilihan untuk kanker serviks stadium lanjut.
Radiasi eksterna adalah cara penyampaian radiasi dimana terdapat jarak antara
sumber radiasi dan target radiasi. Keuntungan tehnik ini dapat dilakukan untuk
suatu target atau lapangan radiasi yang luas sehingga target radiasi yang berupa
tumor primer dan kelenjar getah bening regional dapat dicakup sepenuhnya.
Tehnik ini umumnya digunakan pada saat radiasi pertama kali diberikan.
Kerugian dari radiasi eksterna adalah jaringan sehat sekitar tumor masuk dalam
lapangan radiasi sehingga dapat menimbulkan efek samping atau komplikasi
pasca radiasi.
Radiasi eksterna merupakan modalitas utama pengobatan kanker serviks.
Pada kanker serviks stadium dini, radioterapi merupakan terapi adjuvan yang
dilakukan pasca histerektomi radikal atau terapi definitif pada pasien dengan
kontra indikasi terhadap tindakan pembedahan. Terapi radiasi dilakukan sebanyak
25 fraksi selama lima minggu.

Mekanisme Kematian Sel oleh Radiasi


Kematian sel dalam konteks biologi radiasi adalah hilangnya kemampuan sel
untuk berproduksi akibat rusaknya DNA oleh sinar pengion. Mekanisme
kerusakan DNA ini dapat bersifat efek langsung atau efek tidak langsung.
Efek langsung adalah kerusakan DNA akibat interaksi langsung yang terjadi
antara radiasi pengion dengan DNA. Atom-atom yang menyusun molekul DNA
mengalami ionisasi, akibatnya DNA kehilangan fungsinya, sehingga sel berhenti
berproliferasi.18

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014


21

Efek tidak langsung terjadi melalui kerusakan DNA yang disebabkan oleh radiasi
bebas toksik yang dihasilkan dari ionisasi molekul air (H20) oleh radiasi pengion.
Radikal bebas ini yang akan menimbulkan reaksi kimiawi yang mengakibatkan
putusnya rantai DNA secara permanen (gambar 2.6).19,20

Efek tidak
langsung

Efek
langsung

Gambar 2.6. Efek Langsung dan Tidak Langsung Radiasi


Sumber: telah diolah kembali dari daftar referensi no.20

2.10.2.2 Brakiterapi
Radiasi dalam atau brakiterapi adalah pengobatan radiasi dengan mendekatkan
sumber radiasi ke tumor primer. Terapi ini merupakan periode radiasi singkat
yang diberikan melalui serviks ke dalam kavum intrauterin. Tehnik brakiterapi
diberikan dengan menempatkan aplikator intravaginal sebagai tempat radioaktif,
untuk mendapatkan dosis yang optimal. Prinsip brakiterapi ini adalah memberikan
radiasi dosis tinggi pada tumor primer serviks, serta menghindarkan jaringan sehat
atau organ lain (rektosigmoid dan kandung kemih) dari efek radiasi.19
Kelebihan brakiterapi adalah tumor akan mendapat dosis yang besar
dengan menjaga jaringan sehat dari dosis yang berlebihan. Selain itu tehnik ini
bermanfaat untuk tumor yang bersifat hipotoksik atau memiliki daya proliferasi

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014


22

lambat karena radiasi diberikan secara terus menerus. Kekurangannya adalah letak
tumor harus dapat dijangkau dan tidak dapat digunakan sebagai terapi tunggal
pada tumor dengan risiko adanya keterlibatan kelenjar getah bening regional,
selain itu diperlukan suatu keterampilan khusus dan perencanaan terapi yang
baik.20

2.10.2.3. Intravena
Terapi ini dilakukan dengan memasukkan larutan radioisotop ke dalam vena, yang
kemudian akan diserap oleh jaringan tertentu, misalnya 131I untuk terapi kanker
tiroid dan 32P untuk terapi mieloma.20

2.10.3. Kemoterapi1
Kemoterapi merupakan pengobatan kanker dengan menggunakan obat-obatan
atau hormon. Tujuan penggunaan obat kemoterapi terhadap kanker adalah
mencegah atau menghambat multiplikasi sel kanker, menghambat invasi serta
menghambat metastase.
Kemoterapi harus mempunyai efek menghambat yang maksimal terhadap
pertumbuhan sel kanker, tetapi mempunyai efek yang minimal terhadap sel-sel
jaringan tubuh yang normal. Obat sitotoksik umumnya mempunyai efek yang
utama pada proses sintesis DNA, RNA atau protein. Proses ini dapat
menimbulkan kematian sel. Kemoterapi dilakukan pada pasien stadium IIb
sampai IVa. Regimen yang mengandung cisplatin umumnya diberikan selama
lima minggu dan memberikan angka survival yang bagus.

2.10.4. Efek Samping Terapi Radiasi dan Kemoterapi


Tujuan utama terapi radiasi pada pasien kanker adalah meningkatkan kerusakan
DNA pada sel tumor, selain itu untuk mengubah homeostasis seluler, mengubah
jalur transduksi sinyal pada sel tumor dan apoptosis. Radiasi kanker serviks
meliputi daerah pelvis dan memungkinkan terkenanya daerah saluran cerna
sehingga dapat menimbulkan efek samping mual, muntah, diare dan nyeri
abdomen. Gejala yang terjadi umumnya kurang lebih dua minggu pasca awal
radiasi, atau timbul dalam beberapa bulan atau tahun pasca radiasi. Keadaan ini
dialami oleh 20–70% pasien yang menjalani radiasi.19,21

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014


23

Gejala-gejala ini disebabkan oleh pelepasan sitokin pro inflamasi akibat radiasi.
Hal ini juga yang mengakibatkan kerusakan pada mukosa usus halus oleh karena
penurunan aliran darah ke sel-sel epitel usus halus yang menyebabkan atrofi.
Gejala-gejala ini umumnya membaik kurang lebih tiga minggu pasca radiasi. Pada
kasus yang lebih berat, dapat terjadi malabsorpsi zat gizi dan kehilangan cairan
akibat diare, sehingga diperlukan dukungan nutrisi untuk mencegah terjadinya
defisiensi nutrisi dan penurunan BB.22,23
Komplikasi radiasi seperti diare dan/atau keram perut, proktitis (gangguan
pada daerah anorektal, tenesmus, perdarahan rektum) dan sistouretritis (nyeri
BAK, BAK sering, dan/atau BAK malam hari), dapat membaik dengan terapi
yang tepat. Efek samping jangka panjang antara lain stenosis vagina yang dapat
diterapi dengan dilator vagina. Ulserasi vagina atau nekrosis terjadi pada kurang
lebih 7% pasien, umumnya terjadi enam sampai 12 bulan pasca terapi radiasi,
namun umumnya gejala sudah mulai terlihat sejak satu sampai enam bulan pasca
radiasi. Komplikasi lain pada daerah gastrointestinal, umumnya terjadi setelah 19
bulan pasca radiasi, sedangkan komplikasi genitourinari dapat terjadi setelah dua
tahun pasca radiasi.22
Kemoterapi dapat digunakan sebagai terapi tunggal atau terapi adjuvan
kombinasi operasi atau radioterapi. Efek kemoterapi bersifat sistemik sehingga
dapat mempengaruhi seluruh tubuh, di antaranya fungsi gastrointestinal karena
kerusakan sel saluran cerna akibat pelepasan sitokin pro inflamasi. Efek samping
kemoterapi antara lain adalah mual, muntah, diare dan gangguan motilitas
lambung.22
Tingkat keparahan diare menurut National Cancer Institute Common
Toxicity Criteria (NCI CTC) versi 2.0. Grade 0 = tidak ada diare, grade 1 =
peningkatan diare <4 kali/hari selama pra-perawatan, grade 2 = peningkatan 4–6
kali/hari, atau pada malam hari, grade 3 = peningkatan ≥7 kali/hari atau
inkontinensia/butuh dukungan parenteral untuk dehidrasi, grade 4 =
membutuhkan perawatan intensif.24
Terapi radiasi radikal pada keganasan daerah panggul dapat membawa
risiko komplikasi untuk jaringan normal di sekitar tumor. Komplikasi akut yang
mempengaruhi saluran pencernaan terjadi pada sekitar 80% pasien, tetapi pada

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014


24

umumnya ringan dan jarang mempengaruhi pengobatan. Salah satu komplikasi


akut yang paling umum dari radioterapi panggul adalah perubahan inflamasi akut
pada usus halus menyebabkan gejala gastrointestinal selama pengobatan. Gejala
akut yang dialami meliputi diare, sakit perut, tenesmus dan mual, biasanya
dimulai pada minggu kedua atau ketiga radioterapi yang menyebabkan kejadian
malnutrisi pada pasien yang menerima radioterapi panggul sebesar 11–33%
sampai dengan 83%.24
Komplikasi gastrointestinal yang serius, termasuk obstruksi usus, fistula
dan pendarahan. Radiasi dapat menyebabkan perubahan bakteri usus,
permeabilitas pembuluh darah dari sel-sel mukosa usus dan motilitas.24

2.11. Tatalaksana Nutrisi


Tujuan tatalaksana nutrisi pada pasien kanker adalah untuk menjaga agar asupan
nutrisi tetap adekuat sehingga dapat mempertahankan dan/atau mencegah
penurunan BB karena perjalanan penyakitnya atau karena efek samping dari terapi
yang diterima, mencegah defisiensi mikronutrien dan memaksimalkan kualitas
hidup pasien. Pemberian nutrisi secara dini terbukti dapat mempertahankan status
nutrisi pasien kanker.16,25

2.11.1. Skrining
Skrining nutrisi dibuat untuk mengevaluasi atau mengidentifikasi sejak awal
pasien yang berisiko tinggi mengalami malnutrisi berat. Metode skrining ini
dibuat untuk menskrining secara cepat dan tepat pada pasien yang membutuhkan
dukungan nutrisi. Parameter skrining umumnya termasuk BB, tinggi badan,
perubahan BB, dan perubahan kemampuan untuk makan.26
Malnutrition screening tool (MST) merupakan perangkat skrining yang
telah tervalidasi untuk mengidentifikasi risiko nutrisi pada pasien kanker.
Perangkat ini terdiri dari dua pertanyaan yang berhubungan dengan penurunan BB
dan selera makan. Skrining MST dapat dilakukan dengan mudah dan dalam waktu
singkat oleh perawat.27
Hasil skor skrining MST terbagi menjadi dua kelompok yaitu skor 0–1,
dan ≥2. Skor 0–1 menunjukkan tidak berisiko malnutrisi, skor ≥2 memiliki risiko

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014


25

malnutrisi. Apabila pasien berada pada skor 0–1 maka dilakukan skrining ulang
pada pasien dua minggu kemudian atau pada konsultasi berikutnya, apabila skor
= 2 maka dilakukan pemantauan setiap dua minggu dengan menilai asupan dan
BB serta memberikan intervensi diet, sedangkan bila skor 3–5 pemantauan
dilakukan setiap minggu.27

2.11.2. Kebutuhan Energi


Kebutuhan energi pada pasien kanker didapatkan bervariasi luas, di mana terapi
dan stadium kanker akan mempengaruhi besarnya kebutuhan tersebut. Pemenuhan
kebutuhan energi merupakan suatu masalah yang penting untuk mencegah
kehilangan BB pada pasien kanker selama proses penyakit dan terapinya. 27
Gold standard untuk menentukan kebutuhan energi basal pasien kanker
adalah menggunakan kalorimetri indirek, tetapi seringkali hal ini sulit dilakukan
karena ketidaktersediaan alat. Kondisi ini menyebabkan penentuan kebutuhan
energi basal (KEB) seringkali menggunakan persamaan-persamaan, walaupun
tidak ada persamaan khusus yang dikembangkan untuk menentukan KEB pada
pasien kanker. Persamaan Harris-Benedict (HB) sering digunakan untuk
menentukan KEB pasien kanker, dan kebutuhan energi total (KET) diperoleh
dengan penambahan faktor stres (FS) dan faktor aktivitas (FA). Faktor stres
pasien kanker berkisar antara 1,3–1,528 sedangkan FA untuk pasien sedentary
adalah 1,1 dan ambulatory adalah 1,2.29 Kebutuhan energi yang adekuat pada
pasien kanker harus terpenuhi agar protein otot tidak dipecah dan digunakan
sebagai sumber energi.30

2.11.3. Kebutuhan Protein


Kebutuhan protein akan meningkat pada pasien kanker, dan penambahan tersebut
dibutuhkan oleh tubuh untuk memperbaiki kerusakan jaringan selama terapi
kanker serta mempertahankan fungsi imun. Pada pemberian protein perlu
dipertimbangkan beberapa faktor seperti derajat malnutrisi pasien, stadium
kanker, derajat stres, dan kemampuan tubuh untuk memetabolisme serta
menggunakan protein.30

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014


26

Pemenuhan kebutuhan protein adekuat diperlukan untuk mencegah atau


mengurangi keseimbangan nitrogen negatif. Kebutuhan protein pasien kanker
tanpa stres adalah berkisar antara 1–1,5 g/kgBB/hari, sedangkan kondisi
hipermetabolisme atau terjadi kehilangan protein akibat enteropati, maka
kebutuhan protein meningkat menjadi 1,5–2,5 g/kgBB/hari.27
Pada pasien kanker didapatkan ketidakseimbangan kadar asam amino
dalam plasma, salah satunya adalah triptofan. Terdapat dua bentuk triptofan dalam
plasma, yaitu pada keadaan normal 90% triptofan terikat dengan albumin dan
hanya 10% dalam bentuk bebas. Sedangkan pada pasien kanker didapatkan kadar
triptofan bebas meningkat dalam plasma, dan peningkatan ini diikuti dengan
peningkatan kejadian anoreksia.31
Peningkatan kadar triptofan bebas terjadi sejak awal pertumbuhan tumor,
yang secara pararel diikuti dengan meningkatnya kadar triptofan di otak yang
akan mempengaruhi asupan makanan pasien kanker. Triptofan sendiri merupakan
prekursor dari serotonin sehingga kadarnya akan meningkat bila kadar triptofan di
otak meningkat. Sintesis serotonin yang meningkat dihubungkan dengan
meningkatnya aktivitas serotoninergik di hipotalamus yang menimbulkan
anoreksia.31
Triptofan memasuki otak diatur oleh sistem transpor spesifik yang
berkompetisi dengan large neutral amino acid (LNAA) lain yaitu asam amino
rantai cabang (AARC), tirosin, fen

ilalanin, metionin. Masuknya triptofan ke otak dengan menurunkan kadar plasma


kompetitornya sehingga dengan pemberian AARC pada pasien kanker dapat
menurunkan kadar triptofan di otak dan menurunkan aktivitas serotoninergik
sehingga dapat meningkatkan asupan.32

2.11.4. Kebutuhan Lemak


Rekomendasi kebutuhan lemak pada pasien kanker sebesar 20–35% dari KET.33
Radiasi pada daerah pelvis dapat mengakibatkan respon inflamasi yang
mengakibatkan perubahan fungsi gastrointestinal dari ringan sampai berat. Diet
dengan pengurangan atau modified lemak ternyata tidak memberikan hasil yang
menguntungkan.34

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014


27

Penelitian oleh Wedlake dkk.34 pada penderita tumor daerah pelvis (48% urologi,
32% gastrointestinal, 20% ginekologi) yang mendapat terapi radiasi, diberikan
diet yang mengandung rendah lemak, normal lemak dan modified lemak. Rendah
lemak terdiri dari 20% long chain trigliseride (LCT), normal lemak terdiri dari
40% LCT dan modified lemak terdiri dari 20% LCT dan 20% medium chain
trigliseride (MCT). Hasil penelitian ini ternyata pada kelompok yang diberikan
rendah lemak dan modified lemak tidak memperbaiki skor gejala gastrointestinal
akibat terapi radiasi dibandingkan dengan kelompok yang mendapat normal
lemak.
Beberapa pendapat menyatakan bahwa diet ketogenik berupa diet tinggi
lemak, rendah karbohidrat dan protein adekuat, lebih baik daripada diet standar
dengan jumlah lemak 25% dari KET. Pemberian lemak pada diet ketogenik
didasarkan pada pemakaian glukosa sebagai sumber energi bagi sel kanker. Diet
ketogenik menekankan pada konsumsi lemak karena lemak tidak memiliki efek
pada kadar gula darah dan kadar insulin secara bermakna. Asupan KH dan protein
yang rendah akan meningkatkan konsumsi lemak yang akan menghambat
pertumbuhan sel kanker.35
Sel kanker tumbuh pada kadar glukosa yang tinggi dan tergantung pada
kadar insulin yang tinggi untuk memperoleh glukosa. Kadar insulin yang tinggi
meningkatkan produksi hormon yang meningkatkan kondisi metabolik. Diet
ketogenik akan menyebabkan terjadinya ketosis, inhibisi fatty acid synthase,
penurunan kadar insulin, insulin-like growth factor-1 (IGF-1), dan sitokin pro
inlamasi. Kadar insulin dan kadar IGF-1 yang rendah akan menghambat tumor
angiogenesis factor substansi yang dihasilkan oleh sel kanker yang merangsang
pertumbuhan pembuluh darah baru untuk meningkatkan aliran darah ke dalam sel
kanker. Keadaan hipoglikemia dan inhibisi fatty acid synthase, juga akan memicu
terjadinya apoptosis.35
Pada diet ketogenik, rasio lemak : protein atau karbohidrat = 4:1.36 Namun
penelitian oleh Ho37 menyatakan bahwa asupan rendah karbohidrat dapat
meningkatkan pertumbuhan dan progresivitas sel tumor.

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014


28

2.11.5. Kebutuhan Karbohidrat dan Serat


Kebutuhan karbohidrat pada pasien kanker adalah untuk memenuhi kecukupan
energi sel dalam melakukan fungsinya secara optimal. Kebutuhan karbohidrat
berkisar antara 55–60% dari KET,33 dengan sumber karbohidrat terutama dari
sumber karbohidrat kompleks seperti whole grains, sayuran, buah-buahan, nasi,
roti, kentang, spageti, sereal, dan jagung. Sedangkan untuk karbohidrat simpleks
seperti permen dan minuman yang mengandung gula, walaupun juga sebagai
sumber karbohidrat, hanya mengandung sedikit vitamin, mineral, dan
fitonutrien.38
Salah satu karbohidrat, yaitu laktosa suatu disakarida yang tersusun dari
satu molekul glukosa dan galaktosa yang biasanya terkandung dalam susu, yogurt,
dan es krim membutuhkan laktase untuk absorpsinya di usus halus. Pada pasien
kanker daerah pelvis yang mendapatkan terapi radiasi atau kemoterapi dapat
mengalami defisiensi laktase sekunder, keadaan ini menyebabkan timbulnya
diare. Insiden defisiensi laktosa pada pasien kanker daerah pelvis yang
mendapatkan radioterapi dalam suatu penelitian adalah sekitar 15%.34
Penelitian randomized controlled trial (RCT) pada 64 pasien radioterapi
daerah pelvis dengan perlakuan tunggal pemberian diet rendah laktosa. Hasilnya
tidak terdapat perbedaan bermakna pada frekuensi BAB.39 Penelitian prospektif
lain pada pasien keganasan ginekologi yang mendapatkan terapi radiasi daerah
pelvis, dengan pemberian diet rendah laktosa dan diet rendah lemak didapatkan
hasil berkurangnya frekuensi diare.40 Rekomendasi dari National Cancer Institute
(NCI) pemberian diet rendah laktosa, rendah lemak, dan rendah serat untuk
mengurangi keluhan gastrointestinal pasien.41
Serat merupakan polimer karbohidrat yang terdiri dari >10 unit monomer
dan tidak dapat dihidrolisis oleh enzim endogen pada usus halus manusia. Serat
secara alami didapatkan dari buah-buahan, sayuran, biji-bijian, kacang-kacangan,
dan sereal. Serat dalam bahan makanan merupakan kombinasi dari serat larut dan
tidak larut dengan perbandingan yang berbeda-beda. Serat tidak larut sulit
difermentasi dan berperan pembentukan massa feses dan memperbaiki motilitas
usus besar, sedangkan serat larut mempunyai pengaruh pada absorpsi glukosa dan
lemak, serta berperan pada produksi short chain fatty acid (SCFA).42Serat tidak

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014


29

larut seperti selulosa, hemiselulosa, dan lignin sedangkan serat larut seperti gums,
psyllium, β-glukan, inulin, wheat dextrin, dan pektin.43
Rekomendasi kebutuhan serat untuk usia 19–50 tahun adalah 25 g/hari
untuk perempuan dan 38 g/hari untuk laki-laki yang merupakan adekuat intake
untuk serat atau dapat menggunakan pemberian serat sebesar 14 g/1000 kal.38
Sedangkan rekomendasi dari American Cancer Society (ACS) adalah pemberian
diet rendah serat pada pasien kanker yang mengalami masalah gastrointestinal.
Diet rendah serat tersebut masih mengandung sedikit serat larut yang bersifat
tidak mengiritasi saluran cerna.44 Suatu systematic review mengenai pemberian
serat pada pasien kanker dengan radioterapi daerah pelvis didapatkan hasil yang
tidak konsisten dalam pemberian diet rendah atau tinggi serat. 34

2.11.6. Kebutuhan Mikronutrien


Pada sebagian besar pasien kanker akan mengalami malnutrisi akibat penyakitnya
yang ditandai dengan asupan makro dan mikronutrien tidak adekuat. Adanya
malnutrisi terkait CACS, efek samping terapi radiasi dan kemoterapi akan
mempengaruhi kualitas hidup pasien serta prognosisnya.45
Defisiensi mikronutrien dapat terjadi pada pasien kanker apabila asupan
energi total <60% selama lebih dari 10 hari, dan kejadiannya meningkat dengan
adanya terapi radiasi dan kemoterapi. Penelitian kasus kontrol pada 58 pasien
dengan CIN didapatkan kadar vitamin C yang rendah dan kadar peroksidasi lipid
yang lebih tinggi pada pasien-pasien tersebut dibandingkan dengan 86 pasien
kelompok kontrol.46 Suatu metaanalisis oleh Myung SK dkk.47 didapatkan hasil
efek preventif dari vitamin dan antioksidan terhadap keganasan serviks pada
penelitian-penelitian kasus kontrol. Penelitian kasus kontrol lain pada 235 pasien
dengan 125 pasien didiagnosis CIN dan 15 pasien menderita kanker serviks
didapatkan kadar yang rendah dari β-karoten, vitamin A, vitamin C, dan vitamin E
pada kedua kelompok tersebut dibandingkan dengan kelompok kontrol. 48
Defisiensi mikronutrien yang terjadi pada pasien kanker, memiliki arti
yang bermakna karena akan menyebabkan gangguan fungsi imun akibat defisiensi
seng, selenium, vitamin C, vitamin E, menurunkan kemampuan penyembuhan
luka akibat defisiensi vitamin C, vitamin A, vitamin B6, asam folat, seng,
tembaga dan meningkatkan risiko terjadinya sindrom depresi akibat defisiensi

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014


30

vitamin B. Rekomendasi pemberian suplementasi vitamin dan mineral pada pasien


kanker adalah bila didapatkan kondisi pasien tidak dapat memenuhi kebutuhan
tersebut melalui asupan sehari-hari atau didapatkan adanya efek samping dari
terapi yang mempengaruhi asupan pasien. Rekomendasi jumlah yang diberikan
adalah 100% recommeded dietary allowances (RDA).46
Pada pasien kanker yang menjalani terapi radiasi dan kemoterapi, sesuai
rekomendasi dari American Institute for Cancer Research (AICR), sebaiknya
tidak mengonsumsi suplementasi vitamin dan mineral yang berperan sebagai
antioksidan dalam jumlah yang melebihi upper limits of safe intake yaitu untuk
vitamin C 2000 mg/hari, vitamin E 250 mg/hari, dan selenium 400 µg/hari.
Rekomendasi AICR adalah penggunaan suplementasi vitamin dan mineral sesuai
RDA selama menjalani terapi radiasi dan kemoterapi. 47
Pemberian mikronutrien sebagai antioksidan mempunyai efek potensial
untuk menangkap reactive oxygen species (ROS), sedangkan proses penghancuran
tumor oleh kemoterapi dan radioterapi sebagian merupakan efek dari peningkatan
ROS, sehingga pemberian antioksidan selama kemoterapi dan radioterapi dapat
menurunkan efek terapi. Penggunaan suplementasi vitamin dan mineral untuk
pencegahan primer dan sekunder kanker tidak direkomendasikan. Pasien-pasien
tersebut diharapkan dapat memenuhi kebutuhan vitamin dan mineralnya dari
bahan makanan sumber dengan warna yang bervariasi seperti pada buah-buahan
dan sayuran.45

2.11.7. Kebutuhan Cairan30


Pemenuhan kebutuhan cairan pada pasien kanker bertujuan untuk mencapai status
hidrasi dan keseimbangan elektrolit yang adekuat, mencegah dehidrasi serta
keadaan hipovolemia. Keadaan dehidrasi dapat timbul akibat adanya anoreksia,
sedangkan kondisi hipovolemia terjadi karena adanya muntah, diare, dan
malabsorpsi.
Tanda dan gejala dehidrasi meliputi fatique, kehilangan BB akut,
hipernatremia, turgor kulit menurun, mukosa oral yang kering, urin berwarna
gelap dan berbau tajam, serta penurunan produksi urin. Kebutuhan cairan orang

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014


31

dewasa tanpa adanya kelainan ginjal adalah 30–35 ml/kgBB/hari atau cairan dapat
diberikan sebesar 1 ml untuk setiap 1 kalori (kal) kebutuhan energi.

2.11.8. Nutrient Spesifik


2.11.8.1. Asam Amino Rantai Cabang
Asam amino rantai cabang berupa leusin, isoleusin dan valin merupakan asam
amino esensial bagi manusia. AARC eksogen yang berasal dari diet maupun
intravena, dibutuhkan untuk fungsi selular normal. Semua asam amino yang
diperoleh dari diet, termasuk AARC, diabsorbsi oleh sel epitel usus halus melalui
carrier / pembawa asam amino khusus, kemudian ditranspor ke hepar melalui
vena porta dan dilepaskan ke sirkulasi sistemik.50
Asam amino rantai cabang merupakan regulator metabolisme protein dan
merupakan prekursor kunci bagi sintesis glutamin dan alanin. Sebagai tambahan,
oksidasi AARC memberikan energi utama bagi otot. Pada keadaan katabolik
ditandai dengan peningkatan konsumsi energi, imbang nitrogen negatif,
peningkatan penggunaan glutamin, gangguan metabolisme asam amino dan
terjadinya peningkatan oksidasi AARC di otot skelet. Hal ini merupakan salah
satu respon metabolik dengan kompensasi peningkatan penggunaan energi dan
konsumsi glutamin.50
Pada pasien kanker terjadi respon inflamasi, berupa pelepasan sitokin dan
growth factor untuk meningkatkan permeabilitas pembuluh darah dan kemotaksis
sel inflamasi seperti netrofil dan makrofag. Sel-sel ini berkontribusi untuk
degradasi dan penurunan sintesis protein otot melalui pelepasan reactive oxygen
species (ROS) dan produksi sitokin pro inflamasi seperti TNF-α, IL-1, IL-6 dan
NF-κB. Suplementasi AARC dapat menetralkan efek penekanan proteolisis dan
merangsang sintesis protein otot, seperti terlihat pada gambar 2.8. 49

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014


32

Gambar 2.7. Peran AARC pada Inflamasi Jaringan Otot.


Sumber: daftar referensi no.49
Keterangan: BCAA: branched-chain amino acids; IL-6: interleukin 6: NF-κB, nuclear factor
kappa B: ROS: reactive oxygen species; TNF-α: tumor necrosis factor alpha.

Pada keadaan normal, oksidasi AARC di otot skelet menghasilkan 6–7% dari
energi total, namun pada keadaan katabolik, dapat mencapai 20% dari energi total.
Pada keadaan stress yang singkat, konsentrasi protein intraselular otot dan
glutamin menurun, sedangkan konsentrasi AARC intrasel otot meningkat, hal ini
menunjukkan peningkatan proteolisis yang menghasilkan AARC untuk
meningkatkan sintesis glutamin. Glutamin yang baru disintesis membantu
mempertahankan konsentrasi plasma dan memenuhi kebutuhan glutamin yang
meningkat. Pada keadaan stress berat dalam waktu yang berkepanjangan,
penggunaan glutamin meningkat melebihi kapasitas tubuh untuk mensintesis
sehingga terjadi deplesi berat glutamin otot. Bila keadaan hipermetabolik
berlanjut, cadangan protein otot dan AARC akan berkurang dan terjadi kerusakan
yang ireversibel. Kemampuan absorbsi AARC intestinal juga meningkat pada
keadaan stres.49
Pada pasien kanker, umumnya juga terjadi anoreksia yang disebabkan efek
dari radiasi, kemoterapi atau efek dari tumor itu sendiri. Sistem serotoninergik
berperan pada patogenesis terjadinya anoreksia pada pasien kanker. Selama masa
pertumbuhan tumor, kadar triptofan bebas dalam plasma (yang juga
menggambarkan kadar triptofan di otak) dan sintesis serotonin meningkat.
Triptofan memasuki sawar darah otak diatur oleh suatu sistem transport yang
berkompetisi dengan LNAA (AARC, fenilalanin, metionin, tirosin), kemungkinan
dengan masuknya triptofan ke otak akan menurunkan kadar plasma
kompetitornya.51

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014


33

Berdasarkan hal itu, dapat diduga bahwa pemberian AARC secara oral dapat
menurunkan anoreksia pasien kanker dengan menurunkan kadar triptofan otak
dan menurunkan kadar serotoninergik sehingga dapat meningkatkan asupan
makanan. Belum ada rekomendasi yang jelas untuk pemberian AARC pada pasien
kanker. Perbandingan kadar triptofan bebas dalam plasma dengan LNAA,
meningkat pada kelompok pasien kanker dengan anoreksia, dibandingkan pasien
sehat atau pasien kanker tanpa anoreksia. Peningkatan ini berhubungan langsung
dengan peningkatan kadar triptofan dalam cairan serebrospinal. 51
Pada penelitian lain, pada hewan coba tikus yang menderita tumor, terlihat
bahwa penurunan kadar serotonin ternyata tidak berpengaruh pada kebiasaan
makan hewan tersebut. Hal ini adalah karena pengaruh sitokin TNF-α, IL-1,
neuropeptida Y, ammonia atau hormon lain yang mungkin dapat berpengaruh. 52
Asam amino rantai cabang berperan pada pencegahan muscle wasting
yang umumnya terjadi pada pasien kanker melalui jalur metabolik. Pada keadaan
dimana asupan protein meningkat maka akan dideteksi oleh nutrient sensitive
kinase mammalian target of rapamycin complex I (mTORC I) yang merupakan
regulator utama pada sintesis protein, sintesis lipid, jalur transkripsi gen dan
autophagi.51
Aktivasi mTORC1 tergantung pada ketersediaan yang cukup dari asam
amino, terutama AARC. Aktivasi mTORC1 dimodulasi oleh tiga jalur utama
seperti terlihat pada gambar 2.9. Salah satu jalur melibatkan faktor pertumbuhan
seperti insulin dan insulin-like growth factor 1 (IGF-1) yang akan mengaktifkan
protein kinase PI3K/Akt kompleks dan menyebabkan fosforilasi protein sclerosis
tuberous 2 (TSC2) yang dapat menurunkan fungsi inhibisi dari kompleks
TSC1/TSC2. Inhibisi ini menyebabkan pengaktifan guanine triphosphate
hydrolysis enzymes (GTPase) kecil, ras homolog enriched in brain (Rheb), yang
selanjutnya akan mengaktifkan mTORC1.51
Ada tiga faktor penting yang berkontribusi terhadap proliferasi sel melalui
jalur mTORC1, yaitu aktivasi protein ribosom S6 kinase 1 (S6K1) yang mengarah
ke sintesis protein, aktivasi sterol regulatory element-binding protein (SREBP)
yang menyebabkan peningkatan sintesis lipid dan inhibisi eukaryotic translation
initiation factor 4E binding protein 1 (4EBP1) untuk proses transkripsi. Aktivasi

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014


34

S6K1 juga menghasilkan umpan balik negatif pada substrat reseptor insulin-1
(IRS-1) yang menyebabkan sensitivitas insulin menurun.51
Kadar glukosa juga berdampak pada aktivitas mTORC1 melalui jalur
adenosine mono phosphate (AMP) kinase (AMPK). Apabila kadar glukosa tinggi,
kadar adenosine triphosphate (ATP) meningkat dan kadar AMP menurun, yang
menyebabkan inaktivasi AMPK. Seperti kompleks protein kinase PI3K/Atk,
AMPK juga berinteraksi dengan kompleks TSC1/TSC2 yang selanjutnya
mengaktivasi mTORC1. Apabila AMPK tidak aktif, maka fungsi inhibisi
TCS1/TSC2 kompleks juga akan menurun sehingga menyebabkan aktivasi
mTORC1 dan terjadinya resistensi insulin.51
Beberapa penelitian menyatakan bahwa leusin lebih berperan dalam
sintesis protein dibanding isoleusin dan valin. Leusin dikaitkan dengan stimulasi
sintesis protein otot melalui jalur mTORC1 dan juga dapat menyebabkan
translokasi aktif mTORC1 ke lisosom. Studi pada sel mamalia telah menunjukkan
bahwa kekurangan asam amino dapat dengan cepat meniadakan aktivitas
mTORC.51

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014


35

Gambar 2.8. Peran AARC Melalui Jalur Signaling Sel pada Sel Kanker
Sumber: daftar referensi no.51

Keterangan :
AMP:adenosine monophosphate; AMPK:adenosine monophosphate kinase; ATP:adenosine
triphosphate; BCAA:branched chain amino acid; 4EBP:eukaryotic translation initiation factor 4E
binding protein 1; Gln:Glutamin; GLUT:glucose transport protein; IGF-1:insulin-like growth
factor 1; IR:insulin receptor; IRS-1:insulin receptor substrate-1; LAT1:L-type amino acid
transporter; mTORC1 : mammalian target of rapamycin complex 1; PI3K : phosphatidy linosotide
3-kinases; Rag GTPases:Rag guanine triphosphate hydrolysis enzymes; Rheb:Ras homolog
enriched in brain. S6K1:ribosomal protein S6 kinase; SREBP:sterol regulatory element-binding
protein; TSC1/TSC2:complex of tuberous sclerosis proteins 1/2.

2.11.8.2. Asam Lemak Omega-3


Asam lemak omega 3 merupakan golongan polyunsaturated fatty acids (PUFA),
penamaan ini berdasarkan adanya ikatan rangkap pada posisi ketiga dari ujung
metil, sedangkan berdasarkan jumlah atom karbon, termasuk asam lemak rantai
panjang. Asam lemak omega-3 juga termasuk asam lemak esensiel sebab tidak
dapat disintesis oleh tubuh sehingga harus diperoleh dari luar tubuh. Yang
termasuk asam lemak esensiel antara lain adalah asam lemak omega-3 dan asam
lemak omega-6 (asam linoleat). Asam lemak omega-3 terdiri dari alpha-linolenic
acid (ALA), eicosapentaenoic acid (EPA) dan docosahexanoic acid (DHA).52

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014


36

Umumnya EPA dan DHA ditemukan pada lemak ikan sedangkan ALA dapat
ditemukan pada flaxseed, walnuts dan kacang kedelai. Tubuh manusia tidak dapat
mensintesis ALA, sedangkan ALA yang akan diubah menjadi EPA dan DHA di
dalam tubuh hanya terbatas, kurang lebih 5% ALA akan diubah menjadi EPA dan
kurang dari 0,5% akan diubah menjadi DHA.52
Asam lemak omega-3 dan omega-6 akan membentuk membran sel
fosfolipid dan berperan penting dalam metabolisme eikosanoid. Yang termasuk
dalam eikosanoid adalah prostaglandin (PG), tromboxan (TX), leukotrin (LT).
Eikosanoid yang berasal dari asam lemak omega-6 bersifat proinflamasi dan
angiogenesis, sedangkan omega-3 bersifat anti-inflamasi dan tidak merangsang
angiogenesis. Asam arakidonat merupakan turunan dari asam lemak omega-6
yang berkompetisi dengan EPA pada jalur metabolik yang sama, yaitu melalui
enzim cyclooxygenase (COX) dan lipooxygenase (LOX) sehingga apabila asupan
yang berasal dari diet mengandung banyak EPA, maka akan menurunkan kadar
asam arakidonat, demikian pula sebaliknya. Jalur metabolisme asam lemak
omega-3 dan omega-6 dapat dilihat pada gambar 2.10.53,54

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014


37

Omega-3 Omega-6

α-asam linolenat Asam linoleat

Asam stearidonat Asam γ-linolenat

Asam eikosatetraenoat Asam dihomo-γ-linolenat

Pro-angiogenesis/
eikosanoid
Asam eikosapentaenoat pro-inflamatori Asam arakidonat

Anti-angiogenesis/
eikosanoid
anti-inflamatori

Asam dokosapentaenoat Asam dodosatetraenoat

Asam dokosaheksaenoat Asam dokosapentanoat

Gambar 2.9. Jalur Metabolisme Asam Lemak Omega-3 dan Omega-6


Sumber: telah diolah kembali dari daftar referensi no.54
Keterangan:
COX:cyclooxygenase, LOX:lipooxygenase

Asam lemak omega-6 dapat diperoleh dari minyak tumbuhan seperti safflower,
minyak jagung, soybean oil dan jaringan lemak mamalia, sedangkan asam lemak
omega-3 umumnya terdapat pada ikan laut dalam. Di Indonesia terdapat beberapa
jenis ikan dan makanan laut yang mengandung omega-3, walaupun kadarnya tidak
sebanyak ikan yang berasal dari laut dalam.55 Kandungan omega-3 dan omega-6
pada beberapa ikan dan makanan laut yang ada di Indonesia, dapat dilihat pada
tabel 2.1.

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014


38

Tabel 2.1. Kandungan Omega-3 dan Omega-6 dalam Ikan dan Makanan Laut
yang Dikonsumsi Masyarakat Indonesia

Jenis Ikan Omega-3 (g)/100 g Omega-6 (g)/100 g Rasio n-3/n-6


berat basah berat basah
Tembang 1,2 0,3 4,0
Sirkuning 0,2 0,2 1,0
Belanak 0,4 0,3 1,3
Teri 1,4 0,3 4,7
Tenggiri 1,1 0,7 1,6
Sardin 1,2 0,6 2,0
Kakap 0,6 0,3 2,0
Cucut 1,9 0,5 3,8
Sumber: daftar referensi no.56

Polyunsaturated fatty acids pada awalnya tidak dianggap memiliki aktivitas anti
kanker, namun selanjutnya diketahui bahwa insiden kanker yang rendah
dilaporkan di daerah seperti Jepang dan Mediterania, dimana penggunaan omega-
3 tinggi dalam diet. Sifat anti-inflamasi dari eikosanoid pada metabolisme EPA
kemungkinan memiliki efek anti kanker. Eikosanoid dapat mengurangi kerusakan
yang disebabkan oleh stres oksidatif dan menghambat jalur inflamasi COX.
Pemberian EPA juga terbukti meningkatkan massa otot pada pasien kanker. 54
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa suplementasi omega-3
khususnya EPA dan DHA dapat menghambat pertumbuhan sel tumor melalui
mekanisme apoptosis, penghambatan angiogenesis dan perubahan pada sinyal sel.
Suplementasi EPA dan DHA juga menghambat pelepasan sitokin pro inflamasi
TNF-α, IL-1 dan IL-6.54
Beberapa mekanisme asam lemak omega-3 dalam memodulasi sistem
imun, antara lain dengan menempel pada membran fosfolipid, meningkatkan
fluiditas membran sel, dan mempengaruhi struktur dan fungsi reseptor, transporter
dan enzim yang berhubungan. Adanya pengaruh dari phospholipase A2
menyebabkan omega-3 dilepaskan dari membran sel, kemudian digunakan
sebagai substrat untuk sintesis eikosanoid anti-inflamatori.54
Omega-3 yang dilepaskan dari membran fosfolipid, juga berperan dalam
menghambat transkripsi sitokin pro-inflamatori oleh karena diaktivasi oleh
peroxisome-proliferator activated receptors (PPAR), selanjutnya PPAR akan
berperan dalam menginhibisi NF-κB yang berperan dalam proses transkripsi
sitokin. Omega-3 memiliki derajat unsaturated yang tinggi sehingga

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014


39

penggabungan omega-3 pada membran fosfolipid dapat menurunkan aktivasi dan


proliferasi fungsi lipid rafts yang berperan pada agregasi beberapa reseptor
imun.57
Pada proses perbaikan respon inflamasi, EPA merupakan substrat untuk
membantu proses seri E (RvE) dan DHA untuk penyelesaian seri D (RvD),
dimana RvE dan RvD merupakan molekul yang berperan untuk menurunkan
aktivasi dan migrasi lekosit polimorfonuklear (PMN) yang dapat mencegah
progresivitas proses inflamasi yang berakibat terjadinya cedera jaringan. Jalur
mekanisme peran PUFA dapat dilihat pada gambar 2.10.57

Sitoplasma Nukleus
Omega-6
Sinyal
aktivasi

Sitoplasma

Omega-3
Nukleus

Rangsangan eksogen
Endotel dengan leukosit

Progresi inflamasi

Gambar 2.10. Mekanisme Peran PUFA Dalam Modulasi Fungsi Imun


Sumber: telah diolah kembali dari daftar referensi no.57

Keterangan :
PUFA:polyunsaturated fatty acids, PG:prostaglandin; TX:tromboksan, LT:leukotrin;
IL:interleukin, TNF:tumor necrosis factor, COX:cyclooxygenase, LOX: lipooxigenase;
PLA:phospholipase, PPAR:peroxisome-proliferator activated receptors, NF-κB:nuclear
transcription factor κB.

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014


40

Kanker kaheksia merupakan kondisi multidimensi yang ditandai oleh penurunan


BB, hilangnya massa otot dan massa lemak yang merupakan respon inflamasi dari
tumor. Penurunan BB disebabkan oleh hilangnya jaringan adiposa melalui
lipolisis yang dimobilisasi oleh LMF dan zinc-α2-glikoprotein (ZAG).
Suplementasi EPA dapat mengurangi degradasi jaringan adiposa melalui down
regulation dari ZAG.54
Kehilangan massa otot pada pasien kanker kaheksia disebabkan
terjadinya degradasi protein melalui jalur ubiquitin-proteasome oleh TNF-α.
Pemberian suplementasi EPA dapat menyebabkan down regulationdari jalur
ubiquitin-proteasome. Proses ini dimulai dengan adanya interaksi antara TNF-α
dengan INF-γ yang akan mengaktivasi NF-κB dan selanjutnya akan menginhibisi
ekspresi dari MyoD. MyoD merupakan faktor transkripsi yang diperlukan untuk
pembentukan protein otot, sehingga apabila terjadi inhibisi pada Myo D, dapat
menyebabkan gangguan pada regenerasi otot. Setelah protein dikenali oleh
ubiquitin (Ub), selanjutnya protein akan didegradasi oleh ubiquitin-proteasome.58
Demikian pula aktivasi NF-κB juga menghasilkan penurunan degradasi
protein dengan menghambat proteasome. Degradasi protein juga meningkat
dengan adanya PIF yang juga berperan meningkatkan produksi proteasom. Efek
ini dimediasi oleh adanya 15-HETE (15-hydroxy eicosatetraenoic acid). Peran
EPA dalam hal ini adalah menghambat produksi 15-HETE sehingga dapat
mencegah kehilangan massa otot pada pasien kanker, seperti terlihat pada gambar
2.10.58

Peptida Asam amino

Asam amino
Degradasi protein Degradasi otot

Gambar 2.11. Jalur Seluler Homeostasis Protein Otot


Sumber: telah diolah kembali dari daftar referensi no.58

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014


41

Murphy dkk.59 melakukan penelitian pada pasien kanker paru yang sedang
menjalani kemoterapi, yang diberikan suplementasi minyak ikan mengandung
EPA sebanyak 2,2 g. Pada penelitian ini terlihat bahwa pemberian intervensi
suplementasi EPA 2,2 g/hari pada pasien stadium awal penyakit kanker paru,
dapat mencegah terjadinya kehilangan massa otot dibandingkan dengan
pemberian pada pasien dengan stadium lanjut. Penelitian lain yang dilakukan oleh
Luis dkk.60 memperlihatkan bahwa pemberian EPA pada pasien kanker kepala
dan leher yang diberi EPA sebanyak 1,5 g dan 1,6 g, selama tiga bulan, terbukti
dapat mempertahankan BB pasien.
Beberapa teori menyatakan bahwa asam lemak omega-3 dapat
menyebabkan perdarahan dengan menghambat jalur asam arakidonat, namun efek
ini sangat minimal. Pada uji klinis pasien yang menjalani operasi bypass arteri
koronaria dan mendapat terapi aspirin atau warfarin, ternyata waktu perdarahan
dan episode terjadinya perdarahan tidak lebih tinggi dibandingkan pada kelompok
yang mendapat asam lemak omega-3 sebanyak 4 g per hari.52 Beberapa efek
samping yang ditimbulkan akibat mengonsumsi asam lemak omega-3 tergambar
dalam tabel 2.2.

Tabel 2.2. Risiko Terjadinya Efek Samping dari Asupan Omega-3


Glikemia Risiko
Jumlah Gangguan Perdarahan Fishy yang peningkatan
gastrointestinal Klinis aftertaste memburuk* kolesterol
LDL†
1 g/hari Sangat rendah Sangat Rendah Sangat Sangat
rendah rendah rendah

1–3 Moderate Sangat Moderate Rendah Moderate


g/hari rendah

>3 g/hari Moderate Rendah Likely Moderate Likely

Sumber: telah diolah kembali dari daftar referensi no.61


Keterangan:
*Biasanya hanya terjadi pada pasien dengan gangguan toleransi glukosa dan diabetes
†Biasanya hanyaterjadi pada pasien hipertrigliseridemia

Pada saat ini belum ada rekomendasi pasti kebutuhan asam lemak omega-3. Asam
lemak omega-3 juga tidak memiliki RDA, namun memiliki acceptable intake (AI)

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014


42

di mana AI untuk laki-laki adalah 1,6 g/hari, sedangkan untuk perempuan sebesar
1,1 g.hari.62

2.11.8.3. Probiotik, Prebiotik, dan Sinbiotik


Probiotik adalah mikroorganisme hidup, yang apabila diberikan dalam jumlah
yang adekuat dapat memberikan pengaruh menguntungkan bagi penggunannya.
Prebiotik merupakan suatu bahan bila terfermentasi yang dapat memberikan
pengaruh berupa perubahan pada komposisi mikrobiota usus dan memberikan
efek menguntungkan bagi kesehatan, sedangkan sinbiotik merupakan kombinasi
dari probiotik dan prebiotik.63
Bakteri yang sering digunakan sebagai probiotik adalah spesies
Lactobacillus, Bifidobacterium, Saccharomyces cerevisiae, Eschericia coli, dan
Bacillus.63 Kriteria dari bakteri komensal tersebut sebagai probiotik adalah berasal
dari manusia, resisten terhadap asam dan empedu, dapat bertahan hidup dalam
saluran cerna, tidak bersifat patogen, dapat memproduksi substansi antimikroba,
serta memiliki aktivitas untuk memodulasi sistem imun. 64 Interaksi probiotik pada
saluran cerna adalah melalui berbagai komponen seluler dan efek didapatkan
apabila bakteri berada dalam keadaan aktif. Beberapa mekanisme kerja probiotik
melalui jalur signal NFκβ, MAPK, Akt/PI3K, PPARγ, dan modifikasi jalur dapat
terjadi tergantung pada strains probiotik.65
Peran probiotik pada sel-sel epitel saluran cerna adalah dengan
memperbaiki fungsi barier mukosa, meningkatkan produksi musin, menginduksi
aktivitas antimikroba dan produksi heat shock protein (hsp), memodulasi jalur
signal kelangsungan hidup sel, dan sekresi sitokin. Produksi hsp25 dan hsp72
yang dimodulasi oleh probiotik sebagai respon terhadap stresor berperan untuk
mempertahankan tight junctions pada sel epitel intestinal sehingga memperbaiki
fungsi barier mukosa usus. Produksi sitokin proinflamasi dihambat dengan
pemberian probiotik melalui jalur NFκβ. Selain itu peran probiotik melalui jalur
MAPK menyebabkan supresi dari p38, sehingga terjadi inhibisi sekresi sitokin IL-
8. Kerja probiotik melalui aktivasi jalur PPARγ juga berperan menghambat
produksi sitokin proinflamasi.64,65

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014


43

Peran imunomodulasi probiotik adalah melalui interaksi dengan sel epitel mukosa
usus, sel M, atau sel dendritik yang menyebabkan terjadinya internalisasi
probiotik atau komponenya. Interaksi ini menstimulasi penglepasan IL-6 oleh sel
epitel usus yang selanjutnya mempengaruhi makrofag dan sel dendritik untuk
menghasilkan TNF-α serta IFN-γ, selain itu juga menyebabkan sel mast
menghasilkan IL-4. Sitokin-sitokin tersebut kemudian akan menginduksi produksi
IgA oleh sel B, selanjutnya sel Th1 akan memproduksi IFN-γ, TNF-α, dan IL-2
yang menstimulasi fagositosis dan destruksi mikroba patogen, serta menginduksi
makrofag, sel NK, sel T sitotoksik untuk membunuh virus dan tumor. 66 Sumber
utama probiotik adalah dari yogurt, cultured buttermilk, keju dan kefir.67
Prebiotik bersifat resisten terhadap asam lambung serta hidrolisis
enzimatik, dan tidak dapat diabsorpsi oleh saluran cerna. Selain itu prebiotik dapat
difermentasi oleh mikroflora kolon dan secara selektif menstimulasi pertumbuhan
atau aktivitas mikroflora tersebut yang berkontribusi terhadap kesehatan. 43 Jenis-
jenis prebiotik meliputi oligofruktosa, inulin, galaktooligosakarida, dan
laktulosa.63 Mikroflora kolon`menghidrolisis karbohidrat yang tidak dapat dicerna
tersebut dan dihasilkan hidrogen, metana, CO2, laktat, dan SCFA yaitu asetat,
propionat serta butirat. Prebiotik berperan meningkatkan massa mikroflora kolon
dan massa fecal sehingga memiliki efek bulking. Sebanyak 30 g mikroflora kolon
dihasilkan dari fermentasi 100 g prebiotik.43
Butirat merupakan sumber energi utama bagi kolonosit, dan SCFA lainnya
yaitu asetat dimetabolisme oleh otak serta otot. Propionat dibawa ke hati dan
dapat berperan menurunkan produksi kolesterol hepatik dengan mempengaruhi
sintesisnya. Pemanfaatan SCFA oleh otak, otot, hati, dan jaringan perifer lainnya
berkontribusi sebesar 7–8% dari kebutuhan energi harian. Fermentasi SCFA juga
menghambat pertumbuhan organisme patogen melalui penurunan pH luminal dan
fecal. Penurunan pH intraluminal berperan pada peningkatan absorpsi kalsium,
magnesium, seng, dan zat besi. Pemberian prebiotik meningkatkan solubilitas dan
bioavailabilitas kalsium di kolon, sehingga meningkatkan absorpsi sebesar 20%.
Selain itu SCFA menyebabkan penurunan resistensi listrik mukosa dan
meningkatkan permeabilitas paraseluler mineral. Produksi SCFA juga
menstimulasi flux Mg2+ melalui aktivasi Mg2+/H+ antiport.43

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014


44

Kolonisasi flora usus dapat terganggu akibat paparan dari terapi radiasi, sehingga
kondisi ini menimbulkan permasalahan saluran cerna seperti enteritis dan kolitis.
Radiasi dapat menyebabkan perubahan bakteri usus, permeabilitas pembuluh
darah dari sel-sel mukosa usus dan motilitas. Penelitian oleh Chitapanarux dkk.24
dilakukan pada 63 pasien kanker serviks stadium IIb dan IIIb yang sedang
menjalani terapi radiasi dan mendapat kemoterapi Cisplatin. Pasien diberi
probiotik Acidophilus lactobacillus ditambah Bifidobacterium bifidum dengan
dosis 2 x 109 unit sehari sebelum makan (pagi dan sore), dimulai sejak tujuh hari
sebelum terapi dan selama menjalani terapi radiasi. Hasil penelitian didapatkan
pada kelompok kontrol, kejadian diare sebesar 45% dibandingkan hanya 9% pada
kelompok perlakuan (p=0,002). Penggunaan obat antidiare lebih sedikit pada
kelompok perlakuan bila dibandingkan dengan kelompok kontrol (p=0,03), dan
perbaikan konsistensi feses lebih baik pada kelompok perlakuan (p<0,001).
Urbancsek dkk.68 melakukan penelitian RCT pada 206 pasien kanker yang
mengalami diare setelah terapi radiasi selama empat minggu. Pasien dibagi dalam
dua kelompok yaitu kelompok perlakuan yang mendapatkan Lactobacillus
rhamnosus 1,5 x 109 colony forming unit (CFU), dan kelompok plasebo
mendapatkan corn starch selama satu minggu. Pada hasil penelitian didapatkan,
pasien pada kelompok perlakuan mendapatkan hasil yang lebih baik dalam
konsistensi feses (p <0,05). Penelitian lain oleh Giralt dkk.69 dilakukan pada 85
pasien kanker dengan radioterapi pelvis dan kemoterapi cisplatin. Pasien dibagi
menjadi dua kelompok, dan kelompok perlakuan mendapatkan Lactobacillus
casei DN-114001 108 CFU/g dalam bentuk yogurt, sedangkan kelompok kontrol
mendapatkan plasebo. Pada penelitian ini didapatkan pemberian probiotik tidak
mengurangi insiden diare, tetapi terdapat perbaikan dalam konsistensi feses
menggunakan skala Bristol.
Pemberian probiotik untuk mengurangi toksisitas saluran cerna pada
pasien kanker dengan terapi radiasi dan kemoterapi daerah pelvis pada beberapa
penelitian memperlihatkan hasil yang baik. Permasalahan pada penggunaannya
adalah mengenai komposisi strains dan jumlah yang digunakan masih terbatas dan
dosis sangat individual. Penggunaannya pada pasien-pasien dengan kondisi

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014


45

imunosupresi masih merupakan perdebatan karena respon yang timbul dapat


berbeda pada kelompok berisiko tinggi tersebut.35

2.12. Jalur pemberian70


Pada pasien kanker dengan asupan 60–75% dari KET maka pemberian nutrisi
yang dianjurkan dalam bentuk oral nutritional supplements. Pemberian nutrisi
melalui jalur enteral diindikasikan apabila jalur oral tidak mencukupi selama lebih
dari 7–10 hari yaitu asupan nutrisi <60% dari KET selama lebih dari 10 hari dan
pasien tidak mampu makan lebih dari tujuh hari. Untuk pemberian selama empat
sampai enam minggu dapat diberikan melalui tube feeding sed
angkan apabila lebih dari empat sampai enam minggu, pemberian dilakukan
melalui jalur gastrostomi atau jejunostomi.
Apabila asupan nutrisi <60% dari KET selama lebih dari 10 hari atau usus
tidak dapat berfungsi dengan baik, maka diindikasikan pemberian nutrisi melalui
parenteral. Untuk pemberian kurang dari tujuh hari diindikasikan melalui jalur
perifer, sedangkan untuk lebih dari tujuh hari melalui jalur sentral.

2.13. Interaksi Obat dengan Nutrisi


2.13.1. Cisplatin
Cisplatin digunakan sebagai obat kemoterapi primer pada kanker serviks.
Cisplatin bekerja dengan cara berinteraksi dengan DNA dan mempengaruhi
replikasi DNA, diberikan melalui jalur intra vena. Efek samping utama adalah
nefrotoksik yang berhubungan dengan dosisnya, sehingga perlu monitor kadar
ureum kreatinin. Efek ini biasanya muncul pada hari ke 10 sampai 20 tetapi
kerusakan ini bersifat reversibel.71
Efek samping pada gastrointestinal adalah mual dan muntah yang muncul
pada jam pertama setelah pemberian dan menetap selama 24–48 jam bahkan
pernah dilaporkan efek ini tetap berlangsung sampai 3–5 hari, sehingga diperlukan
anti emetik yang kuat. Mielosupresif dapat terjadi pada 25–30% pasien dengan
dosis yang direkomendasikan dan akan lebih tinggi pada dosis yang lebih
besar.71,72

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014


46

2.13.2. Ondansetron
Ondansetron merupakan antiemetik yang dapat menekan mual dan muntah karena
sitostatika cisplatin dan radiasi. Ondansetron dapat mempercepat pengosongan
lambung tetapi waktu transit saluran cerna memanjang sehingga dapat terjadi
konstipasi dan gangguan saluran cerna.71

2.13.3. Ultracet
Ultracet merupakan analgetik untuk nyeri akut sedang sampai berat. Analgesia
timbul dalam satu jam setelah penggunaan, dengan lama analgesia sekitar enam
jam. Efek samping yang ditimbulkan mual, muntah dan mulut kering. 71,72

2.13.4. Transamin/asam traneksamat


Asam traneksamat cepat diabsorpsi dalam saluran cerna. Efek samping yang
ditimbulkan mual, muntah dan diare.71

2.13.5. Lansoperazol
Obat ini bekerja menekan produksi asam lambung. Efek samping yang dihasilkan
mual, nyeri perut, konstipasi flatulence dan diare.71

2.13.6. Loperamid
Obat ini memperlambat motilitas saluran cerna dengan mempengaruhi otot
sirkuler dan longitudinal usus. Efek samping yang ditimbulkan adalah kolik
abdomen, sedangkan konstipasi sangat jarang.71

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014


47

BAB 3
KASUS

Kriteria pengambilan pasien pada kasus serial ini adalah usia minimal 18 tahun,
menderita penyakit keganasan di daerah serviks, terdapat penurunan selera makan,
terdapat penurunan BB minimal 1–5 kg dalam waktu tiga sampai enam bulan
terakhir dan sedang menjalani radioterapi di Departemen Radioterapi RSCM.
Berdasarkan kriteria di atas, didapatkan empat orang pasien wanita dengan
karakteristik yang tertera pada tabel 3.1.

Tabel 3.1. Karakteristik Pasien


Kasus 1 Kasus 2 Kasus 3 Kasus 4
No. rekam medic 3895616 3895616 3813980 3816755
Nama Ny. L Ny.I Ny.S Ny.A
Umur ( tahun ) 50 43 52 44
BB sebelum sakit (kg) 50 50 73 75
BB saat diperiksa (kg) 45 45,5 62,1 57,5
Penurunan BB (%) 10 9 15 23
(dalam lima bulan)
IMT (kg/m2) 20,3 21,6 29,6 26,3
Kanker kaheksia + + + +
Stadium IIb IIIb IVb IIIb
MST 2 2 5 5
Radiasi/Kemoterapi +/- +/- +/+ +/-
Efek samping Mual, diare Mual, muntah, Mual, nafsu Mual, diare,
diare makan nafsu makan
menurun menurun
Perjalanan penyakit 4 tahun 5 bulan 1 tahun 9 bulan
sejak timbul gejala 10 bulan 10 bulan
sampai terapi
pertama
Keterangan:
BB:berat badan; IMT:indeks massa tubuh; MST:malnutrition screening tool

Pemantauan dan pemeriksaan dilakukan setiap kali pasien kontrol ke poliklinik


radioterapi setelah menyelesaikan lima kali radiasi.

3.1. Kasus 1
Pasien Ny. L berusia 51 tahun, beragama Islam, menikah, bekerja sebagai ibu
rumah tangga. Pasien ini didiagnosis sebagai penderita kanker serviks stadium IIb
dan sedang menjalani terapi radiasi eksterna ke-16 di poliklinik radioterapi
RSCM. Pasien menikah satu kali pada usia 24 tahun dan memiliki empat orang
anak yang semuanya lahir normal ditolong oleh bidan.

47
Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014


48

Penurunan BB sebanyak 5 kg dialami pasien dalam waktu lima bulan setelah


terdiagnosis kanker serviks, sehingga pada saat ini berat badannya adalah 45 kg.
Biaya pengobatan pasien ditanggung oleh asuransi kesehatan (ASKES) yang
berasal dari suami pasien.
Riwayat perjalanan penyakit sudah mulai dirasakan oleh pasien sejak awal
tahun 2009 (lima tahun yang lalu). Pasien mengeluh keluar bercak darah pada saat
setelah pasien berhubungan dengan suami, pasien juga mengeluh adanya
perdarahan pervaginam seperti haid yang hilang timbul. Perdarahan kadang kala
banyak hingga menghabiskan dua pembalut dan berangsur-angsur berkurang
hingga berhenti dalam waktu dua sampai tiga minggu. Perdarahan timbul kembali
dengan jarak tiga sampai empat minggu kemudian. Pasien kemudian berobat ke
dokter kandungan di RS TNI AU di lingkungan rumah pasien, dikatakan bahwa
hal ini disebabkan karena pasien sudah mulai memasuki masa menopause.
Pada bulan April 2013 pasien mulai merasakan keputihan terus menerus,
encer dan berbau tidak sedap, pasien kemudian kembali berobat ke dokter
kandungan di RS TNI AU dan disarankan untuk dilakukan biopsi di RS Palang
Merah Indonesia (PMI) Bogor. Hasil biopsi tersebut menyatakan adanya
keganasan di daerah leher rahim, pasien kemudian dirujuk ke RSCM, namun
pasien tidak langsung berobat ke RSCM, pasien masih mencoba pengobatan
alternatif dengan pemanasan di daerah bagian perut selama kurang lebih satu
bulan. Selama pengobatan tersebut pasien tidak merasakan adanya perbaikan,
sehingga pasien akhirnya berobat ke RSCM. Pasien kemudian melakukan
beberapa pemeriksaan lanjutan dan transfusi darah sebanyak dua kali masing-
masing dua kantong sebelum dilakukan radiasi.
Pasien menyangkal pernah menderita penyakit darah tinggi, kencing manis
maupun penyakit keganasan lainnya. Pasien tidak merokok dan mengonsumsi
alkohol. Suami pasien merokok namun tidak di dalam rumah. Pasien juga tidak
pernah melakukan seks bebas. Pasien merupakan anak pertama dari tiga
bersaudara yang semuanya sehat, orang tua pasien juga sehat, tidak memiliki
riwayat penyakit keganasan. Pasien selama ini tidak menggunakan suntik KB.
Pasien mengeluh mual dan tidak ada nafsu makan. Keluhan mual dirasakan pasien
terutama semenjak dilakukan radisasi. Pasien juga sering merasa nyeri perut

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014


49

bagian bawah. Pasien masih dapat makan melalui oral, buang air besar (BAB)
teratur satu kali per hari, namun kadang-kadang mengalami diare satu sampai dua
hari lamanya dengan frekuensi dua sampai tiga kali sehari, tidak berlendir,
sedangkan buang air kecil (BAK) tidak ada gangguan.
Pasien direncanakan untuk mendapat terapi radiasi eksterna sebanyak 25
kali dan brakiterapi sebanyak tiga kali setiap hari kecuali hari Sabtu dan Minggu.
Selama menjalani terapi, pasien melakukan kontrol ke poliklinik radioterapi dan
konsultasi gizi setiap menyelesaikan lima kali radiasi. Keluhan subyektif yang
dialami pasien selama menjalani terapi terlihat sebagai berikut (tabel 3.2.) :

Tabel 3.2. Keluhan Subyektif Pasien Kasus Pertama Selama Pemantauan


Terapi Kontrol ke Subyektif
Radiasi 15 1 Mual hilang timbul
Radiasi 20 2 Mual, diare selama dua hari, frekuensi 2–3 kali
sehari
Radiasi 25 3 Mual, nyeri perut bawah hilang timbul
Brakiterapi 1 4 Mual berkurang
Brakiterapi 2 5 Mual berkurang, nafsu makan membaik
Brakiterapi 3 6 Mual berkurang, nafsu makan membaik
1 minggu pasca 7 Mual tidak ada, nafsu makan baik
brakiterapi 3
2 minggu pasca 8 Mual tidak ada, nafsu makan baik
brakiterapi 3

Selama kontrol ke poliklinik radioterapi, dilakukan pemeriksaan tanda vital,


pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pada pemeriksaan tanda vital
berupa tekanan darah, nadi, frekuensi pernafasan dan suhu setiap pasien kontrol
berada dalam batas normal. Pada pemeriksaan fisik juga dalam batas normal, pada
konjungtiva tidak ditemukan adanya anemia.
Kapasitas fungsional berdasarkan karnofsky performance scale (KPS)
bernilai 90% yang berarti pasien mampu melakukan aktivitas dan pekerjaan
sehari-hari dengan penyakit ringan. Selama pasien kontrol ke poliklinik, KPS
pasien bernilai 90%, cenderung tidak menunjukkan peningkatan sampai akhir
radiasi.
Pemeriksaan antropometri dilakukan setiap kali pasien kontrol dengan
mengukur tinggi badan dengan alat pengukur tinggi badan (TB) dan mengukur

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014


50

BB menggunakan timbangan digital yang sama. Hasil pengukuran TB didapatkan


sebesar 148 cm. Hasil pemeriksaan BB dan IMT terlihat pada tabel 3.3.

Tabel 3.3. Hasil Pengukuran BB dan IMT Pasien Kasus Pertama Selama
Pemantauan
Kontrol ke 1 2 3 4 5 6 7 8
BB (kg) 45,0 46,0 44,9 45,0 46,0 46,3 46.7 47,1
2
IMT (kg/m ) 20,5 21,0 20,5 20,5 21,0 21,1 21,3 21,5

Pemeriksaan laboratorium dilakukan sebelum pasien dilakukan terapi radiasi,


hasil pemeriksaan laboratorium tergambar pada tabel 3.4. dengan kesan adanya
anemia hipokrom mikrositik dan lekositosis.

Tabel 3.4. Monitoring Laboratorium Darah Rutin Pasien Kasus Pertama Selama
Terapi Radiasi
Kontrol 1 2(pra (pasca 3 4 5 6
transfusi) transfusi)
Hb (g/dL) 10,1 8,8 11,912,7 12,0 11,8 11,9
MCV (fL) 75,2 76,5 78,879,0 - - -
MCH (pg) 24,1 24,0 25,525,7 - - -
MCHC (g/dL) 32,1 31,4 32,432,5 - - -
Ht (%) 31,5 28 36,739,1 36,8 36,9 37,9
Leuko (µ/L) 10.030 8260 5.000
5.090 5.950 6.560 6.820
Trombo (µ/L) 364.000 355.000 301.000
308.000 277.000 289.000 321.000
Ur (mg/dL) 18 - - 16 - - -
Kr (mg/dL) 0,6 - - 0,6 - - -
SGOT (U/L) 16 - - 19 - - -
SGPT (U/L) 7 - - 13 - - -
GDS (mg/dL) - - - 120 - - -
Na (mEq/L) - - - 142 - - -
K (mEq/L) - - - 4,21 - - -
Cl (mEq/L) - - - 98,7 - - -
LED (mm) 97 - - 40 - - -
Keterangan :
Hb:hemoglobin; Ht:hematokrit; Leuko:leukosit; Trombo:trombosit; Ur:ureum; Kr:Kreatinin;
MCV:mean corpuscular volume; MCH:mean corpuscular hemoglobin; MCHC:mean corpuscular
hemoglobin consentration; Na:natrium; K:kalium; Cl:chlor; GDS:gula darah sewaktu; LED:laju
endap darah

Hasil pemeriksaan penunjang patologi anatomi disimpulkan histologik dapat


ditemukan pada karsinoma sel skuamosa tidak berkeratin serviks, berdiferensiasi
sedang. Analisis asupan pasien dilakukan setiap kali pasien kontrol dengan
menggunakan food record. Pada pasien ini direncanakan pemberian nutrisi
berdasarkan persamaan Harris-Benedict diperoleh kebutuhan energi basal (KEB)
sebesar 1118 kkal dengan faktor stres 1,5 didapatkan kebutuhan energi total

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014


51

(KET) sebesar 1700 kkal. Komposisi makronutrien yang akan diberikan terdiri
dari protein 68 g (1,5 g/kg BB atau 16% KET), lemak 47 g (25% KET) dan KH
sebesar 251 g (59% KET). Pada saat pasien mengalami kenaikan atau penurunan
BB, maka dilakukan penghitungan ulang untuk kebutuhan energi dan
makronutrien.
Asupan makan pasien sebelum sakit kurang lebih 1780 kkal, dengan
protein 51 g, lemak 66 g dan KH 259 g, berupa sarapan pagi nasi goreng satu
centong dan satu butir telur ceplok, makanan selingan pagi berupa kue nagasari
dua buah. Makan siang dan malam masing-masing berupa nasi putih satu centong,
sayur lima hingga enam sendok makan, lauk hewani satu potong sedang, lauk
nabati satu potong sedang dan buah satu potong. Makanan selingan sore berupa
tahu isi atau pisang goreng sebanyak dua potong.
Pemberian nutrisi dilakukan dengan memperhitungkan analisis asupan
pasien, dinaikkan bertahap sesuai toleransi pasien hingga tercapai KET. Bentuk
makanan yang dianjurkan berupa kombinasi makanan biasa dan diet cair. Analisis
asupan energi dan makronutrien rata-rata pasien dalam seminggu, terlihat pada
gambar 3.1 dan gambar 3.2. Pada saat kontrol pertama dan ketiga terlihat asupan
pasien belum mencapai kebutuhan total karena efek mual yang dialami pasien.

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014


52

2500

2000

1500
kkal

1000

500

0
SS KET K1 K2 K3 K4 K5 K6 K7 K8
Energi 1780 1700 1437 1732 1147 1826 1936 2148 1820 1918

Gambar 3.1. Analisis Asupan Energi Pasien Kasus Pertama Selama


Pemantauan
Keterangan:
SS : sebelum sakit
KET : kebutuhan energi total
K : kontrol

350
300
250
200
Gram

150
100
50
0
SS KT K1 K2 K3 K4 K5 K6 K7 K8
Protein 51 68 52 62 69 66 70 96 78 80
Lemak 66 47 41 56 62 89 67 69 79 79
KH 259 251 188 257 145 299 274 302 212 242

Gambar 3.2. Analisis Asupan Makronutrien Pasien Kasus Pertama Selama


Pemantauan
Keterangan:
SS : sebelum sakit
KT : kebutuhan total
KH : karbohidrat
K : kontrol

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014


53

Selama menjalani terapi radiasi, pasien mendapat beberapa medikamentosa


berupa Lansoperazol 1 x 1 tablet, Ondansetron 2 x 1 tablet yang diberikan pada
saat pasien mengalami mual, Loperamid 2 x 1 tablet diberikan pada saat pasien
mengalami diare dan Tramadol 3 x 1 tablet diberikan pada saat pasien mengeluh
nyeri perut bawah.
Pemberian mikronutrien berupa multivitamin dan mineral diberikan sesuai
RDA, terutama pada saat asupan pasien tidak mencukupi kebutuhan, diutamakan
dari bahan makanan sumber. Analisis asupan vitamin A, vitamin C dan vitamin E
masih ada yang belum mencapai RDA seperti terlihat pada gambar 3.3, gambar
3.4 dan gambar 3.5, sehingga pada pasien ini diberikan suplementasi multivitamin
yang diberikan yang mengandung vitamin A, vitamin B komplek, vitamin C,
vitamin D, asam folat, selenium dan seng dengan dosis sesuai RDA.

0.9
0.8
0.7
0.6
gram

0.5
0.4
0.3
0.2
0.1
0
K1 K2 K3 K4 K5 K6 K7 K8
Pasien 1 0.3 0.2 0.6 0.4 0.7 0.4 0.7 0.3
RDA 0.8 0.8 0.8 0.8 0.8 0.8 0.8 0.8

Gambar 3.3. Analisis Asupan Vitamin A Pasien Kasus Pertama Selama


Pemantauan
Keterangan:
RDA: Recommended Dietary Allowances
K : kontrol

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014


54

300

250

200

Gram
150

100

50

0
K1 K2 K3 K4 K5 K6 K7 K8
Pasien 1 32.4 130 108 30.9 220. 109 242 229
RDA 100 100 100 100 100 100 100 100

Gambar 3.4. Analisis Asupan Vitamin C Pasien Kasus Pertama Selama


Pemantauan
Keterangan:
RDA: Recommended Dietary Allowances
K : kontrol

30

25

20
Gram

15

10

0
K1 K2 K3 K4 K5 K6 K7 K8
Pasien 1 3.9 8.9 17.4 3.1 9.3 8.2 26.9 8.9
RDA 12 12 12 12 12 12 12 12
Gambar 3.5. Analisis Asupan Vitamin E Pasien Kasus Pertama Selama
Pemantauan
Keterangan:
RDA: Recommended Dietary Allowances
K : kontrol

Pemberian nutrient spesifik berupa suplementasi kapsul minyak ikan yang


mengandung omega-3 diberikan sebanyak 3 x 2 kapsul yang mengandung EPA
sebanyak 1,08 g untuk pemenuhan kebutuhan EPA selain dari bahan makanan
sumber. Pada gambar 3.6 terlihat asupan EPA pasien belum mencapai target,
namun menunjukkan peningkatan dibandingkan pada awal pemantauan.

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014


55

1.8
1.6
1.4
1.2

Gram
1
0.8
0.6
0.4
0.2
0
K1 K2 K3 K4 K5 K6 K7 K8
Pasien 1 0 1.1 1.1 1.1 1.1 1.1 1.4 1.7
Target 1.5 1.5 1.5 1.5 1.5 1.5 1.5 1.5

Gambar 3.6. Analisis Asupan EPA Pasien Kasus Pertama Selama


Pemantauan
Keterangan:
K : kontrol

Analisis asupan AARC pada pasien selama pemantauan, sebagian belum


mencapai target sebesar 14,4 g, namun pasien berusaha meningkatkan asupan
AARC dari putih telur dan lauk hewani, analisis asupan terlihat pada gambar 3.7.

Gambar 3.7. Analisis Asupan AARC Pasien Kasus Pertama Selama


Pemantauan
Keterangan:
K : kontrol

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014


56

3.2. Kasus 2
Pasien Ny.I berusia 43 tahun, beragama Kristen, menikah, bekerja sebagai ibu
rumah tangga. Pasien baru mulai menjalani terapi radiasi eksterna di poliklinik
radioterapi RSCM. Biaya pengobatan pasien ditanggung oleh jaminan kesehatan
daerah (Jamkesda).
Riwayat perjalanan penyakit sudah mulai dirasakan oleh pasien sejak lima
bulan yang lalu (bulan Juli 2013) pasien mengeluh keluar bercak darah setelah
berhubungan dengan suami. Satu bulan kemudian pasien juga mengeluh adanya
keputihan sedikit, cair, berwarna putih bercampur warna kekuningan dan
kehijauan. Keputihan awalnya tidak berbau, namun lama kelamaan dirasakan
pasien berbau tidak sedap.
Pasien kemudian berobat ke bidan tempat pasien biasa melakukan suntik
KB setiap tiga bulan sekali, dan dikatakan bahwa hal itu disebabkan karena efek
dari suntik KB dan pasien dianjurkan untuk berhenti menjalani suntik KB. Pasien
kemudian berkonsultasi ke bidan lain dan dianjurkan untuk berkonsultasi ke
dokter kandungan. Selanjutnya di dokter kandungan, dilakukan pemeriksaan
ultrasonografi (USG) abdomen dan dikatakan tidak ada kelainan, namun ketika
dilakukan pemeriksaan dalam, didapatkan adanya benjolan di leher rahim. Pasien
kemudian dirujuk ke RSU Tangerang untuk dilakukan pemeriksaan lebih lanjut.
Pasien memperoleh pemeriksaan lanjutan berupa computed tomography
scan (CT scan), pemeriksaan darah dan USG, dari hasil pemeriksaan tersebut,
pasien didiagnosis menderita kanker serviks stadium IIb. Pasien selanjutnya
disarankan untuk dilakukan histerektomi, dan pasien menyetujui, namun pada saat
operasi ternyata didapatkan bahwa kanker serviks pasien sudah masuk stadium
IIIb sehingga tidak jadi dilakukan histerektomi, hanya dilakukan ovoreksi
ovarium kanan. Dua minggu pasca operasi, pasien dirujuk ke departemen
radioterapi RSCM untuk dilakukan terapi radiasi.
Pasien menyangkal pernah menderita penyakit darah tinggi, kencing manis
maupun penyakit keganasan lainnya. Pasien tidak merokok dan mengonsumsi
alkohol. Pasien juga tidak pernah melakukan seks bebas. Suami pasien merokok
namun tidak di dalam rumah. Pasien merupakan anak pertama dari empat

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014


57

bersaudara yang semuanya sehat, orang tua pasien juga sehat, tidak memiliki
riwayat penyakit keganasan.
Pada anamnesis dan pemeriksaan fisik yang dilakukan terhadap pasien
pada tanggal 20 Desember 2013, didapatkan adanya keluhan mual yang semakin
memberat dan juga nafsu makan yang menurun. Nyeri perut bagian bawah
dirasakan pasien hilang timbul, namun nyeri tersebut tidak terlalu mengganggu.
Keluhan ini dirasakan pasien semenjak timbul gejala. Pasien dapat makan melalui
oral, BAB teratur satu kali per hari, tetapi pasien kadang-kadang mengalami diare
satu sampai dua hari lamanya dengan frekuensi dua sampai tiga kali sehari, tidak
berlendir, BAK tidak ada gangguan.
Pada pemeriksaan antropometri didapatkan BB 45,5 kg, TB 145 cm
dengan IMT 21,6 kg/m2, pasien masuk dalam status gizi BB normal. Pasien
didiagnosis kanker serviks stadium IIIb, BB normal berisiko malnutrisi,
hipermetabolisme sedang, anemia.
Pasien direncanakan untuk mendapat terapi radiasi eksterna sebanyak 25
kali dan brakiterapi sebanyak tiga kali setiap hari kecuali hari Sabtu dan Minggu.
Pasien juga melakukan kontrol ke poli radioterapi setiap satu minggu sekali atau
setelah lima kali dilakukan radiasi, untuk melihat kemajuan atau efek dari
penyinaran.
Pemantauan pasien dilakukan pada saat pasien kontrol ke poli radioterapi
selama masa penyinaran, yaitu sebanyak sembilan kali. BB pasien sebelum sakit
adalah 50 kg, dan mengalami penurunan sebanyak 5 kg dimulai sejak tiga bulan
sebelum radiasi. Pada pemantauan hingga radiasi selesai, pasien mengalami
penurunan dan peningkatan BB. Berat badan pada awal penyinaran 45,5 kg,
setelah selesai penyinaran menjadi 45 kg. Selama menjalani terapi, pasien
melakukan kontrol ke poliklinik radioterapi dan konsultasi gizi setiap
menyelesaikan lima kali radiasi. Keluhan subyektif yang dialami pasien selama
menjalani terapi terlihat dalam berikut (tabel 3.5):

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014


58

Tabel 3.5. Keluhan Subyektif Pasien Kasus Kedua Selama Pemantauan


Terapi Kontrol ke Subyektif
Radiasi 1 1 Mual yang sangat berat, keputihan
Radiasi 5 2 Mual yang sangat berat, keputihan
Radiasi 9 3 Mual berkurang, nyeri perut bawah hilang timbul,
keputihan
Radiasi 15 4 Mual yang memberat, nyeri perut bawah hilang
timbul, keputihan
Radiasi 20 5 Mual berkurang, nyeri perut bawah hilang timbul,
keputihan
Radiasi 25 6 Mual berkurang, diare selama 2 hari, frekuensi 3
kali per hari, keputihan
Brakiterapi 1 7 Mual berkurang, keputihan berkurang
Brakiterapi 2 8 Mual berkurang, keputihan tidak ada
Brakiterapi 3 9 Muntah-muntah dua hari pasca brakiterapi kedua

Pemeriksaan tanda vital, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang dilakukan


secara rutin ketika pasien kontrol ke poliklinik radioterapi. Pada pemeriksaan
tanda vital berupa tekanan darah, nadi, frekuensi pernafasan dan suhu setiap
pasien kontrol berada dalam batas normal demikian juga pada pemeriksaan fisik.
Kapasitas fungsional berdasarkan KPS bernilai 90% yang berarti pasien mampu
melakukan aktivitas dan pekerjaan sehari-hari dengan penyakit ringan. Kapasitas
fungsional pasien tetap bernilai 90% sampai akhir radiasi.
Pemeriksaan antropometri juga dilakukan setiap kali pasien kontrol
dengan mengukur tinggi badan dengan alat pengukur TB dan mengukur BB
menggunakan timbangan digital yang sama. Hasil pengukuran TB didapatkan
sebesar 145 cm, sedangkan BB pasien terlihat berfluktuasi. Hasil pemeriksaan BB
dan IMT terlihat pada tabel 3.6.

Tabel 3.6. Hasil Pengukuran BB dan IMT Pasien Kasus Kedua Selama
Pemantauan
Kontrol ke 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
BB (kg) 45,5 45,4 45,3 43,6 43,8 43,6 45 45,1 44,6 44,7 45
2
IMT(kg/m ) 21,6 21,6 21,4 20,7 20,8 20,7 21,4 21,5 21,2 21,3 21,4

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014


59

Hasil pemeriksaan penunjang patologi anatomi menyatakan karsinoma sel


skuamosa tidak berkeratin, berdiferensiasi buruk. Pemeriksaan laboratorium rutin
dilakukan dilakukan sebelum dilakukan terapi radiasi, hasil pemeriksaan
laboratorium tergambar pada tabel 3.7, dengan kesan anemia, normokrom
normositik, lekositosis dan trombositosis.

Tabel 3.7. Monitoring Laboratorium Darah Rutin Pasien Kasus Kedua Selama
Pemantauan
Kontrol 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Hb (g/dL) 11,0 9,6 11,5 11,5 11,2 11,9 11,2 10,8 11.9
Ht (%) 33,1 28,8 34,5 34,8 34,1 36,0 34,8 33,7 36,5
Leko (µ/L) 12.940 11.260 9.920 11.350 8.370 6,260 6.560 7.510 6.320
Trom (µ/L) 414.000 387.000 345.000 342.000 301.000 278.000 240.000 216.000 285.000
MCV (fL) 83,8 83,0 82,5 82,9 84,0 82,8 84,9 86,6 82,5
MCH (pg) 27,8 27,7 27,5 27,4 27,6 27,4 27,3 27,8 27,5
MCHC (g/dL) 33,2 33,3 33,3 33,0 32,8 33,1 32,2 32,0 33,3
Ur (mg/dL) 12 - - - - 15 - - -
Kr (mg/dL) 0,6 - - - - 0,6 - - -
SGOT (U/L) - - - - - 16 - - -
SGPT (U/L) - - - - - 9 - - -
LED (mm) - 120 125 118 - 120 - - 125
GDS(mg/dL) - - - - - 104 - - -
Na (mEq/L) - - - - - 143 - - -
K (mEq/L) - - - - - 4,26 - - -
Cl (mEq/L) - - - - - 102 - - -
Keterangan :
Hb:hemoglobin; Ht:hematokrit; Leuko:leukosit; Trom:trombosit; Ur:ureum; Kr:Kreatinin; MCV:
mean corpuscular volume; MCH:mean corpuscular hemoglobin; MCHC:mean corpuscular
hemoglobin consentration; Na:natrium; K:kalium; Cl:chlor; GDS:gula darah sewaktu; LED:laju
endap darah,

Setiap kali pasien kontrol, dilakukan analisis asupan satu minggu terakhir dengan
menggunakan food record. Pada pasien ini, perhitungan kebutuhan energy
berdasarkan persamaan Harris-Benedict diperoleh KEB sebesar 1155 kkal dengan
faktor stres 1,5 didapatkan KET sebesar 1700 kkal. Komposisi makronutrien yang
akan diberikan terdiri dari protein 68 g (1,5 g/kg BB atau 16% KET), lemak 47 g
(25% KET) dan KH sebesar 251 g (59% KET). Perencanaan pemberian nutrisi
disesuaikan dengan kebutuhan berdasarkan BB pasien.
Analisis asupan pasien sebelum sakit kurang lebih sebesar 1329 kkal
dengan komposisi makronutrien protein 39 g, lemak 67 g, dan KH 149 g, berupa
sarapan pagi nasi uduk satu centong, tempe orek tiga hingga empat sendok makan,
bihun goreng tiga hingga empat sendok makan, lauk nabati satu potong sedang,
sedangkan makanan selingan pagi berupa kue satu potong. Makan siang berupa

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014


60

nasi putih satu centong, lauk hewani satu potong sedang, lauk nabati satu potong
sedang dan sayur lima sampai enam sendok makan, sedangkan makanan selingan
berupa kue satu buah dan pisang kepok rebus satu buah. Makan malam berupa
nasi goreng satu centong dan telur ceplok satu butir. Pasien jarang mengonsumsi
buah.
Pemberian nutrisi dilakukan dengan memperhitungkan analisis asupan
pasien. Peningkatan asupan dilakukan bertahap sesuai dengan toleransi pasien
berupa kombinasi makanan biasa dan diet cair Analisis asupan energi dan
makronutrien rata-rata pasien dalam seminggu, terlihat pada gambar 3.8 dan
gambar 3.9. Selama pemantauan terlihat asupan pasien belum pernah mencapai
kebutuhan total.

1800
1600
1400
1200
Gram

1000
800
600
400
200
0
SS KET K1 K2 K3 K4 K5 K6 K7 K8 K9
Energi 1329 1700 496 537 1027 512 1057 1132 1314 1603 1075

Gambar 3.8. Analisis Asupan Energi Pasien Kasus Kedua Selama


Pemantauan
Keterangan:
SS : sebelum sakit
KET. : kebutuhan energi total
K : kontrol

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014


61

300

250

200
Gram

150

100

50

0
SS KT K1 K2 K3 K4 K5 K6 K7 K8 K9
Protein 39 68 15 23 62 34 59 51 77 72 64
Lemak 67 47 16 14 36 13 36 40 37 39 39
KH 149 251 77 86 118 65 126 144 167 250 91

Gambar 3.9. Analisis Asupan Makronutrien Pasien Kasus Kedua Selama


Pemantauan
Keterangan:
SS : sebelum sakit
KT : kebutuhan total
KH : karbohidrat
K : kontrol

Medikamentosa yang diberikan selama pasien menjalani terapi radiasi berupa obat
anti nyeri Ultracet 3 x 1 tablet, Ondansetron 2 x 1 tablet yang diberikan pada saat
pasien mengalami mual dan Loperamid 2 x 1 tablet diberikan pada saat pasien
mengalami diare.
Pemberian mikronutrien berupa multivitamin dan mineral diberikan sesuai
RDA, terutama pada saat asupan pasien tidak mencukupi kebutuhan, diutamakan
dari bahan makanan sumber. Analisis asupan vitamin A, vitamin C dan vitamin E
masih ada yang belum mencapai RDA seperti terlihat pada gambar 3.10, gambar
3.11 dan gambar 3.12, sehingga pada pasien ini diberikan suplementasi
multivitamin yang diberikan yang mengandung vitamin A, vitamin B komplek,
vitamin C, vitamin D, asam folat, selenium dan seng dengan dosis sesuai RDA.

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014


62

Gambar 3.10. Analisis Asupan Vitamin A Pasien Kasus Kedua Selama


Pemantauan
Keterangan:
RDA : Recommended Dietary Allowances
K : kontrol

300

250

200
Gram

150

100

50

0
K1 K2 K3 K4 K5 K6 K7 K8 K9
Pasien 2 33 52 198 68 63.3 45.2 15.9 243 11.4
RDA 100 100 100 100 100 100 100 100 100

Gambar 3.11. Analisis Asupan Vitamin C Pasien Kasus Kedua Selama


Pemantauan
Keterangan:
RDA : Recommended Dietary Allowances
K : kontrol

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014


63

14
12
10

Gram
8
6
4
2
0
K1 K2 K3 K4 K5 K6 K7 K8 K9
Pasien 2 1.8 5.5 8.1 1.3 1 4.5 0.3 7.1 0.8
RDA 12 12 12 12 12 12 12 12 12

Gambar 3.12. Analisis Asupan Vitamin E Pasien Kasus Kedua Selama


Pemantauan
Keterangan:
RDA: Recommended Dietary Allowances
K : kontrol

Pemberian nutrient spesifik berupa suplementasi kapsul minyak ikan yang


mengandung omega-3 diberikan sebanyak 3 x 2 kapsul yang setara dengan 1,08 g
EPA untuk memenuhi kebutuhan EPA selain dari bahan makanan sumber. Pada
gambar 3.13 terlihat asupan EPA pasien belum mencapai target, namun
menunjukkan peningkatan dibandingkan pada awal pemantauan.

1.6
1.4
1.2
1
Gram

0.8
0.6
0.4
0.2
0
K1 K2 K3 K4 K5 K6 K7 K8 K9
Pasien 2 0 1.1 1.1 1.1 1.1 1.1 1.1 1.4 1.3
Target 1.5 1.5 1.5 1.5 1.5 1.5 1.5 1.5 1.5

Gambar 3.13. Analisis Asupan EPA Pasien Kasus Kedua Selama


Pemantauan
Keterangan:
K : kontrol

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014


64

Analisis asupan AARC pada pasien selama pemantauan, sebagian belum


mencapai target sebesar 14,4 g, namun pasien berusaha meningkatkan asupan
AARC dari telur dan lauk hewani, terlihat pada gambar 3.14.

18
16
14
12
Gram

10
8
6
4
2
0
K1 K2 K3 K4 K5 K6 K7 K8 K9
Pasien 2 3.9 8.5 11.7 6.1 10.5 9.9 9.4 16.5 7.3
Target 14.4 14.4 14.4 14.4 14.4 14.4 14.4 14.4 14.4

Gambar 3.14. Analisis Asupan AARC Pasien Kasus Kedua Selama


Pemantauan
Keterangan:
K : kontrol

3.3. Kasus 3
Pasien Ny. S berusia 52 tahun, beragama Islam, menikah, bekerja sebagai ibu
rumah tangga. Pasien baru mulai menjalani terapi radiasi eksterna di poliklinik
radioterapi RSCM. Pembayaran biaya pengobatan menggunakan jamkesda.
Penurunan BB sebanyak 10,8 kg dialami pasien dalam waktu lima bulan
sebelumnya, saat ini BB pasien adalah 62,1 kg.
Riwayat perjalanan penyakit sudah mulai dirasakan oleh pasien sejak
bulan Januari tahun 2013. Pasien mengeluh keluar mengeluh adanya perdarahan
pervaginam seperti haid yang hilang timbul. Perdarahan kadang kala banyak,
kadang sedikit seperti bercak. Lama perdarahan tidak menentu, kadang hanya satu
sampai dua hari, kadangkala hingga dua minggu. Pasien kemudian berobat ke
bidan tempat pasien melakukan suntik KB, dikatakan pasien sudah mulai
memasuki masa menopause. Pasien selama ini menggunakan KB suntik sejak
lima tahun yang lalu.
Pada bulan Juli 2013 pasien memutuskan berobat ke dokter kandungan
karena merasa perdarahan tidak kunjung berhenti. Dokter kandungan merujuk ke

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014


65

RSU Tangerang karena curiga ada keganasan di daerah serviks, di RSU


Tangerang dilakukan pemeriksaan USG dan biopsi, pasien didiagnosa dengan
kanker serviks stadium IIb. Pasien selanjutnya dirujuk ke RSCM, namun karena
takut, pasien tidak ke RSCM, hanya istirahat di rumah. Selama pasien di rumah,
perdarahan semakin banyak dan sering, disertai keputihan encer yang tidak
berbau.
Pada bulan Nopember 2013, kurang lebih tiga bulan kemudian, pasien
akhirnya mau dibawa ke RSCM setelah dibujuk oleh keluarganya. Setelah
dilakukan pemeriksaan, pasien didiagnosa dengan kanker serviks stadium IVb dan
dirujuk ke Departemen Radioterapi untuk dilakukan radiasi.
Pasien menyangkal pernah menderita penyakit darah tinggi, kencing manis
maupun penyakit keganasan lainnya. Pasien merupakan anak ketiga dari enam
bersaudara yang semuanya sehat, orang tua pasien juga sehat. Keluarga pasien
tidak memiliki riwayat penyakit keganasan. Pasien juga tidak pernah melakukan
seks bebas. Pasien menikah satu kali pada usia 16 tahun, memiliki lima orang
anak yang semuanya lahir melalui persalinan normal dan ditolong oleh bidan.
Pasien tidak merokok dan mengonsumsi alkohol. Suami pasien dahulu merokok,
namun sudah berhenti sejak kurang lebih sepuluh tahun yang lalu, anak pasien
juga ada yang merokok namun jarang berada di rumah karena sudah bekerja.
Pada anamnesis dan pemeriksaan fisik yang dilakukan terhadap pasien
pada tanggal 11 Desember 2013, didapatkan adanya keluhan mual dan muntah-
muntah yang berat disertai nafsu makan yang menurun. Keluhan ini sudah
dirasakan pasien sejak mulai timbul gejala perdarahan. Pasien juga mengeluh
adanya benjolan yang timbul di selangkangan sebesar kelereng yang tidak
membesar. Pasien dapat makan melalui oral, BAB teratur satu kali per hari, BAK
tidak ada gangguan.
Pada pemeriksaan antropometri didapatkan BB 62,1 kg, TB 145 cm
dengan IMT 29,6 kg/m2, pasien masuk dalam status gizi obes II. Pasien
didiagnosis kanker serviks stadium IVb, obes I, hipermetabolisme sedang,
anemia.
Pasien direncanakan untuk mendapat terapi radiasi eksterna sebanyak 25
kali setiap hari kecuali hari Sabtu dan Minggu, kemoterapi sebanyak empat kali,

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014


66

seminggu sekali dan brakiterapi sebanyak tiga kali dengan jarak seminggu. Pasien
juga melakukan kontrol ke poli radioterapi setiap satu minggu sekali atau setelah
lima kali dilakukan radiasi, untuk melihat kemajuan atau efek dari radioterapi.
Pemantauan pasien dilakukan pada saat pasien kontrol ke poli radioterapi
selama masa penyinaran, yaitu sebanyak enam kali, sebab pasien tidak
meneruskan dengan brakiterapi. BB pasien sebelum sakit adalah 78 kg dan
mengalami penurunan sebanyak 15,9 kg dimulai sejak timbulnya gejala (bulan
Januari 2013). Pada pemantauan sejak dimulai radiasi hingga radiasi selesai,
pasien mengalami penurunan BB sebanyak 5,8 kg. BB pada awal penyinaran 62,1
kg, setelah selesai penyinaran menjadi 56,3 kg. Keluhan subyektif yang dialami
pasien selama pemantauan terlhat pada tabel 3.8.

Tabel 3.8. Keluhan Subyektif Pasien Kasus Ketiga Selama Pemantauan


Terapi Kontrol ke Subyektif
Radiasi 1 1 Mual yang sangat berat, nafsu makan menurun
Radiasi 5 2 Mual yang sangat berat, nafsu makan menurun
Radiasi 12 3 Mual berkurang, nafsu makan membaik
Radiasi 16 4 Mual hilang timbul, nafsu makan membaik
Radiasi 19 5 Mual hilang timbul, nafsu makan membaik
Radiasi 24 6 Mual, nyeri ulu hati sampai ke perut bawah,
keputihan hilang timbul

Pasien dilakukan radiasi dan kemoterapi selama empat kali dengan jarak satu
minggu, dimulai pada radiasi ke 10. Selama kontrol ke poliklinik radioterapi,
dilakukan pemeriksaan tanda vital, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
Pada pemeriksaan tanda vital berupa tekanan darah, nadi, frekuensi pernafasan
dan suhu setiap pasien kontrol berada dalam batas normal. Pada pemeriksaan fisik
juga dalam batas normal, pada konjungtiva tidak ditemukan adanya anemia.
Penilaian kapasitas fungsional pasien menggunakan KPS bernilai 90%,
cenderung tidak menunjukkan peningkatan sampai akhir radiasi. Pemeriksaan
antropometri dengan mengukur TB dengan alat pengukur TB dan mengukur BB
menggunakan timbangan digital yang sama. Pengukuran BB dilakukan setiap
pasien kontrol ke poliklinik radioterapi. Hasil pengukuran TB didapatkan sebesar
145 cm. Hasil pemeriksaan BB dan IMT terlihat pada tabel 3.9.

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014


67

Tabel 3.9. Hasil Pengukuran BB dan IMT Pasien Kasus Ketiga Selama
Pemantauan
Kontrol ke 1 2 3 4 5 6
BB (kg) 62,1 61,2 59,3 58,1 57,9 56,3
IMT (kg/m2) 29,6 29,1 28,2 27,6 27,5 26,8

Pada pemeriksaan penunjang patologi anatomi disimpulkan histologik sesuai


dengan karsinoma sel skuamosa tidak berkeratin serviks berdiferensiasi baik.
Pemeriksaan laboratorium rutin dilakukan dilakukan sebelum dilakukan terapi
radiasi, hasil pemeriksaan laboratorium tergambar pada tabel 3.10, didapatkan
adanya kesan anemia hipokrom mikrositik, trombositosis, leukopenia, lekositosis.

Tabel 3.10. Monitoring Laboratorium Darah Rutin Pasien Kasus Ketiga Selama
Terapi Radiasi
Kontrol 1 2 3 4 5 6
Hb (g/dL) 10,8 10,5 10,8 10,9 11,3 10,6
Ht (%) 33,2 32,6 32,3 32,7 33,0 30,2
Leko (µ/L) 14.040 10.130 6.960 3.640 4.580 1.880
Trombo (µ/L) 478.000 486.000 335.000 292.000 194.000 135.000
MCV (fL) 77,9 79,1 79,8 80,5 79,7 -
MCH (pg) 25,4 25,5 26,7 26,8 27,3 -
MCHC (g/dL) 32,5 32,2 33,4 33,3 34,2 -
Ur (mg/dL) 30 14 9 15 20 20
Kr (mg/dL) 0,7 0,7 0,8 0,9 0,5 1,0
SGOT (U/L) - 16 - - - -
SGPT (U/L) - 5 - - - -
LED - 90 - 90 - -
Keterangan :
Hb:hemoglobin; Ht:hematokrit; Leko:lekosit; Trombo:trombosit; Ur:ureum; Kr:Kreatinin; MCV:
mean corpuscular volume; MCH:mean corpuscular hemoglobin; MCHC:mean corpuscular
hemoglobin consentration; SGOT: serum glutamic oxaloacetic transferase, SGPT: serum glutamic
piruvic transaminase, Na:natrium; K:kalium; Cl:chlor; GDS:gula darah sewaktu; LED:laju endap
darah

Analisis asupan pasien dilakukan menggunakan food record dan dilakukan setiap
kali pasien kontrol ke poliklinik radioterapi. Pemberian nutrisi pada pasien ini
dihitung berdasarkan persamaan Harris-Benedict diperoleh KEB sebesar 1155
kkal dengan faktor stres 1,5 didapatkan KET sebesar 1700 kkal. Komposisi
makronutrien yang akan diberikan terdiri dari protein 68 g (1,5 g/kg BB atau 16%
KET), lemak 47 g (25% KET) dan KH sebesar 251 g (59% KET). Pada saat

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014


68

pasien mengalami kenaikan atau penurunan BB, maka dilakukan penghitungan


ulang untuk kebutuhan energi dan makronutrien.
Asupan makan pasien sebelum sakit kurang lebih 2054 kkal, dengan
protein 67 g, lemak 83 g dan KH 266 g, berupa sarapan pagi nasi putih satu
setengah centong, telur ceplok satu butir, timun 1 buah dan makanan selingan pagi
berupa kue pancong dua buah. Makan siang dan malam masing-masing berupa
nasi putih dua centong, lauk hewani satu potong sedang, lauk nabati dua potong
sedang, sayur lima hingga enam sendok makan, sambal satu sendok makan dan
krupuk udang satu buah. Makanan selingan sore berupa pisang goreng sebanyak
satu potong. Pasien jarang mengonsumsi buah, hanya satu potong dalam sehari.
Pemberian nutrisi dilakukan dengan memperhitungkan analisis asupan
pasien, dinaikkan bertahap sesuai toleransi pasien hingga tercapai KET. Bentuk
makanan yang dianjurkan berupa kombinasi makanan biasa dan diet cair. Analisis
asupan energi dan makronutrien rata-rata pasien dalam seminggu, terlihat pada
gambar 3.15. dan gambar 3.16, terlihat asupan pasien tidak pernah mencapai KET
terutama pada saat pasien pasca menjalani kemoterapi akibat efek mual dan
muntah yang dialami pasien.

2500

2000

1500
kkal

1000

500

0
SS
Energi 2054 KET
1700 K1
502 K2
370 K3
975 K4
1486 K5
1205 K6
850

Gambar 3.15. Analisis Asupan Energi Pasien Kasus Ketiga Selama


Pemantauan
Keterangan:
SS : sebelum sakit
KET : kebutuhan energi total
K : kontrol

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014


69

300

250

200

150
Gram

100

50

0
SS KT K1 K2 K3 K4 K5 K6
Protein 67 68 17 36 50 50 50 39
Lemak 83 47 23 12 31 42 42 25
KH 266 251 61 27 126 234 291 135

Gambar 3.16. Analisis Asupan Makronutrien Pasien Kasus Ketiga Selama


Pemantauan
Keterangan:
SS : sebelum sakit
KT : kebutuhan total
KH : karbohidrat
K : kontrol

Medikamentosa yang diperoleh pasien berupa Lansoperazol 1 x 1 tablet,


Ondansetron 2 x 1 tablet yang diberikan pada saat pasien mengalami mual dan
Tramadol 3 x 1 tablet diberikan pada saat pasien mengeluh nyeri perut bawah.
Multivitamin dan mineral diberikan karena selama menjalani terapi radiasi,
asupan vitamin pasien tidak mencukupi kebutuhan, seperti terlihat dari gambar
3.17, gambar 3.18 dan gambar 3.19. Suplementasi multivitamin yang diberikan
yang mengandung vitamin A, vitamin B komplek, vitamin C, vitamin D, asam
folat, selenium dan seng dengan dosis sesuai RDA.

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014


70

1
0.9
0.8
0.7
0.6

Gram
0.5
0.4
0.3
0.2
0.1
0
K1 K2 K3 K4 K5 K6
Pasien 3 0.1 0.2 0.6 0.9 0.5 0.3
RDA 0.8 0.8 0.8 0.8 0.8 0.8
Gambar 3.17. Analisis Asupan Vitamin A Pasien Kasus Ketiga Selama
Pemantauan
Keterangan:
RDA: Recommended Dietary Allowances
K : kontrol

120
100
80
Gram

60
40
20
0
K1 K2 K3 K4 K5 K6
Pasien 3 65 0 97 95.9 24.9 40.7
RDA 100 100 100 100 100 100

Gambar 3.18. Analisis Asupan Vitamin C Pasien Kasus Ketiga Selama


Pemantauan
Keterangan:
RDA: Recommended Dietary Allowances
K : kontrol

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014


71

14
12
10
8

Gram
6
4
2
0
K1 K2 K3 K4 K5 K6
Pasien 3 3.7 2.3 4.1 2.8 4.3 1
RDA 12 12 12 12 12 12

Gambar 3.19. Analisis Asupan Vitamin E Pasien Kasus Ketiga Selama


Pemantauan
Keterangan:
RDA : Recommended Dietary Allowances
K : kontrol

Pemberian nutrient spesifik berupa suplementasi kapsul minyak ikan yang


mengandung omega-3, dosis yang diberikan sebanyak 3 x 1 kapsul yang setara
dengan 0,54 g EPA per hari, untuk memenuhi kebutuhan EPA selain dari bahan
makanan sumber. Pada gambar 3.20 terlihat asupan EPA pasien belum mencapai
target, namun menunjukkan peningkatan dibandingkan pada awal pemantauan.

1.6
1.4
1.2
1
Gram

0.8
0.6
0.4
0.2
0
K1 K2 K3 K4 K5 K6
Pasien 3 0 1.1 1.3 1.1 1.3 1.1
Target 1.5 1.5 1.5 1.5 1.5 1.5

Gambar 3.20. Analisis Asupan EPA Pasien Kasus Ketiga Selama


Pemantauan
Keterangan:
K : kontrol

Analisis asupan AARC pada pasien selama pemantauan, sebagian besar belum
mencapai target sebesar 14,4 g, namun pasien berusaha meningkatkan asupan
AARC dari putih telur dan lauk hewani, terlihat pada gambar 3.21.

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014


72

16
14
12
10

Gram
8
6
4
2
0
K1 K2 K3 K4 K5 K6
Pasien 3 3.4 6.2 3.5 9.3 10.6 6.1
Target 14.4 14.4 14.4 14.4 14.4 14.4

Gambar 3.21. Analisis Asupan AARC Pasien Kasus Ketiga Selama


Pemantauan
Keterangan:
K : kontrol

3.4. Kasus 4
Pasien Ny. A berusia 44 tahun, beragama Islam, menikah, bekerja sebagai
pedagang baju di pasar. Pasien ini didiagnosis sebagai penderita kanker serviks
stadium IIIb. Pembiayaan pengobatan pasien menggunakan ASKES yang berasal
dari suami pasien. Pasien sedang menjalani terapi radiasi eksterna ke-11 di
poliklinik radioterapi RSCM. Sejak didiagnosis dengan kanker serviks, pasien
menalami penurunan BB sebanyak 5 kg dialami pasien dalam waktu lima bulan,
BB pasien saat ini adalah 57,5 kg.
Riwayat perjalanan penyakit dimulai sejak bulan Pebruari 2014 pasien
mulai merasakan haid dengan jarak yang pendek sekitar satu sampai dua minggu,
selama ini jarak haid pasien cenderung teratur sekitar 25–27 hari, disertai
keputihan yang encer dan tidak berbau. Haid yang dialami pasien tidak terlalu
banyak, hanya menghabiskan satu pembalut setiap hari. Kondisi ini berlangsung
selama kurang lebih empat bulan, namun pasien tidak berobat. Pasien juga
merasakan nyeri perut bawah sampai ke bokong yang hilang timbul. Pasien
kemudian merasakan perdarahan menjadi bertambah banyak, bergumpal, dan
tidak berhenti selama satu bulan. Pasien kemudian berobat ke bidan, dan oleh
bidan dirujuk ke RSU Karawang, pasien kemudian dirawat selama dua hari dan
dilakukan pemeriksaan USG dan biopsi serviks. Hasil biopsi menyimpulkan

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014


73

adanya keganasan pada daerah serviks sehingga pasien dirujuk ke RSCM. Pasien
selanjutnya menjalani beberapa pemeriksaan di RSCM dan dirujuk ke
Departemen Radioterapi untuk terapi radiasi.
Riwayat penyakit sebelumnya, pasien menyangkal pernah menderita
penyakit darah tinggi, kencing manis maupun penyakit keganasan lainnya. Pasien
tidak pernah merokok dan mengonsumsi alkohol, namun suami pasien perokok,
sejak menikah pasien selalu menghirup asap rokok dari suami pasien.
Pasien tidak pernah melakukan hubungan seks bebas. Pasien dua kali
menikah, usia pernikahan pertama adalah 16 tahun dan dikaruniai satu orang anak,
pasien kemudian menikah lagi pada usia 25 tahun dan dikaruniai dua orang anak.
Semua persalinan pasien ditolong oleh bidan. Pasien menggunakan KB suntik tiga
bulan hanya tiga kali, selain itu pasien tidak pernah menggunakan kontrasepsi
hormonal lainnya. Pasien merupakan anak kedua dari enam bersaudara yang
semuanya sehat namun ibu pasien memiliki penyakit keganasan payudara.
Semenjak dilakukan radiasi pasien mengeluh mual, nyeri perut bawah
yang hilang timbul dan nafsu makan menurun. Pasien selama ini BAB secara
teratur satu kali per hari, selama menjalani radiasi pasien kadang-kadang
mengalami diare satu sampai dua hari lamanya dengan frekuensi dua sampai tiga
kali sehari, tidak berlendir, sedangkan BAK tidak ada gangguan. Kapasitas
fungsional berdasarkan KPS bernilai 90%.
Pasien melakukan kontrol ke poliklinik radioterapi secara teratur dan
konsultasi gizi setiap menyelesaikan lima kali radiasi. Keluhan subyektif yang
dialami pasien selama menjalani terapi terlihat dalam berikut (tabel 3.11) :

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014


74

Tabel 3.11. Keluhan Subyektif Pasien Kasus Keempat Selama Pemantauan


Terapi Kontrol ke Subyektif
Radiasi 5 1 Mual hilang timbul, perdarahan pervaginam
berkurang
Radiasi 11 2 Mual berkurang, diare selama dua hari, frekuensi 2–
3 kali sehari, perdarahan pervaginam berkurang .
Radiasi 16 3 Mual berkurang, nafsu makan membaik, perdarahan
per vaginam berkurang
Radiasi 21 4 Mual bertambah, perdarahan per vaginam berkurang
Brakiterapi 1 5 Mual berkurang, nyeri perut bawah hilang timbul,
perdarahan per vaginam berkurang
Brakiterapi 2 6 Mual berkurang, perdarahan pervaginam berkurang,
keputihan
Brakiterapi 3 7 Mual berkurang, perdarahan pervaginam berkurang,
keputihan

Pemeriksaan tanda vital berupa tekanan darah, nadi, frekuensi pernafasan dan
suhu setiap pasien kontrol berada dalam batas normal. Pada pemeriksaan fisik
juga dalam batas normal, pada konjungtiva tidak ditemukan adanya anemia.
Penilaian kapasitas fungsional pasien menggunakan KPS bernilai 90% Selama
pasien kontrol ke poliklinik, KPS pasien bernilai 90%, cenderung tidak
menunjukkan peningkatan sampai akhir radiasi.
Pemeriksaan antropometri dilakukan setiap kali pasien kontrol dengan
mengukur TB dengan alat pengukur TB dan mengukur BB menggunakan
timbangan digital yang sama. Status gizi pasien tergolong obes I. Hasil
pengukuran TB didapatkan sebesar 148 cm. Hasil pemeriksaan BB dan IMT
terlihat pada tabel 3.12.

Tabel 3.12. Hasil Pengukuran BB dan IMT Pasien Kasus Keempat Selama
Pemantauan
Kontrol ke 1 2 3 4 5 6 7
BB (kg) 57,5 57,0 58,0 57,5 56,0 57,0 56,2
IMT (kg/m2) 26,3 26,0 26,5 26,3 25,6 26,0 25,7

Hasil pemeriksaan patologi anatomi disimpulkan karsinoma sel skuamosa sedikit


berkeratin serviks, diferensiasi sedang. Pemeriksaan laboratorium dilakukan
sebelum pasien dilakukan terapi radiasi, hasil pemeriksaan laboratorium
tergambar pada tabel 3.13, dengan kesan anemia hipokrom mikrositik.

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014


75

Tabel 3.13. Monitoring Laboratorium Darah Rutin Pasien Kasus Keempat


Selama Pemantauan
Kontrol 1 2 3 4 5 6 7
Hb (g/dL) 10,6 11,0 10,9 12,7 10,3 10,0 11,0
Ht (%) 32,4 32,3 32,2 39,1 32,4 31,8 33,3
Leuko (µ/L) 9.340 9.654 10.370 5.090 8.300 7.150 9.740
Trombo (µ/L) 369.000 300.000 353.000 308.000 335.000 362.000 428.000
MCV (fL) 75,6 75,5 75,6 - 78,5 79,5 75,5
MCH (pg) 24,8 21,9 24,8 - 24,9 25,5 21,9
MCHC (g/dL) 32,8 32,0 32,8 - - 31,4 30,0
LED (mm) 105 117 105 - - - 117
Keterangan :
Hb:hemoglobin; Ht:hematokrit; Leuko:leukosit; Trombo:trombosit; MCV:mean corpuscular
volume; MCH:mean corpuscular hemoglobin; MCHC:mean corpuscular hemoglobin
consentration; LED:laju endap darah

Setiap kali pasien kontrol, dilakukan analisis asupan satu minggu terakhir dengan
menggunakan food record. Pada pasien ini, perhitungan kebutuhan energi
berdasarkan persamaan Harris-Benedict diperoleh KEB sebesar 1175 kkal dengan
faktor stres 1,5 didapatkan KET sebesar 1800 kkal. Komposisi makronutrien yang
akan diberikan terdiri dari protein 72 g (1,5 g/kg BB atau 16% KET), lemak 50 g
(25% KET) dan KH sebesar 266 g (59% KET). Perencanaan pemberian nutrisi
disesuaikan dengan kebutuhan berdasarkan BB pasien.
Analisis asupan pasien sebelum sakit kurang lebih sebesar 1740 kkal
dengan komposisi makronutrien protein 63 g, lemak 83 g, dan KH 193 g, terdiri
dari sarapan pagi roti manis satu buah dan susu kental manis satu sachet. Makan
siang berupa nasi putih satu centong, ikan asin kurang lebih seperempat potong,
lauk nabati satu potong sedang, sayur lima sampai enam sendok makan dan buah
satu potong. Makan malam berupa nasi putih satu centong, lauk hewani satu
potong sedang, lauk nabati satu potong sedang dan buah satu potong, sedangkan
makanan selingan berupa gorengan dua potong sedang.
Pemberian nutrisi dilakukan dengan memperhitungkan analisis asupan
pasien. Peningkatan asupan dilakukan bertahap sesuai dengan toleransi pasien
berupa kombinasi makanan biasa dan diet cair. Analisis asupan pasien dilakukan
setiap kali pasien kontrol dengan menggunakan food record. Hasil analisis asupan
energi dan makronutrien pasien terlihat pada gambar 3.22. dan gambar 3.23,
terlihat pada kontrol ke tujuh, asupan sudah mencapai KET.

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014


76

2000
1800
1600
1400
1200
kkal

1000
800
600
400
200
0
SS KET K1 K2 K3 K4 K5 K6 K7
Energi 1740 1800 1487 1527 1619 1116 1410 1872 1716

Gambar 3.22. Analisis Asupan Energi Pasien Kasus Keempat Selama


Pemantauan
Keterangan:
K : kontrol
SS : sebelum sakit
KET : kebutuhan energi total

300
250
200
Gram

150
100
50
0
SS KT K1 K2 K3 K4 K5 K6 K7
Protein 63 72 69 65 72 57 65 77 73
Lemak 83 50 56 80 81 45 48 71 74
KH 193 266 183 151 156 123 168 244 190

Gambar 3.23. Analisis Asupan Makronutrien Pasien Kasus Keempat Selama


Pemantauan
Keterangan:
SS : sebelum sakit
KT : kebutuhan total
KH : karbohidrat
K : kontrol

Terapi medikamentosa yang diperoleh pasien selama menjalani terapi radiasi


berupa Ondansetron 2 x 1 tablet yang diberikan pada saat pasien mengalami mual
dan Ultracet 3 x 1 tablet diberikan pada saat pasien mengeluh nyeri perut bawah.

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014


77

Multivitamin dan mineral diberikan terutama pada saat asupan pasien tidak
mencukupi kebutuhan. Pada pasien ini selama menjalani terapi radiasi asupan
rata-rata vitamin tidak mencapai kebutuhan seperti terlihat pada gambar 3.24,
gambar 3.25 dan gambar 3.26. Suplementasi multivitamin yang diberikan yang
mengandung vitamin A, vitamin B komplek, vitamin C, vitamin D, asam folat,
selenium dan seng. Dosis yang diberikan adalah sesuai dengan RDA.

2.5

1.5
Gram

0.5

0
K1 K2 K3 K4 K5 K6 K7
Pasien 4 0.8 0.3 0.4 0.8 0.6 0.8 2
RDA 0.8 0.8 0.8 0.8 0.8 0.8 0.8

Gambar 3.24. Analisis Asupan Vitamin A Pasien Kasus Keempat Selama


Pemantauan
Keterangan:
RDA: Recommended Dietary Allowances
K : kontrol

180
160
140
120
Gram

100
80
60
40
20
0
K1 K2 K3 K4 K5 K6 K7
Pasien 4 157 70.8 20 144 54.4 90 73
RDA
Gambar 100 Asupan
3.25. Analisis 100 Vitamin
100 C Pasien
100 Kasus
100Keempat
100 Selama
100
Pemantauan
Keterangan:
RDA: Recommended Dietary Allowances
K : kontrol

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014


78

18
16
14
12
Gram 10
8
6
4
2
0
K1 K2 K3 K4 K5 K6 K7
Pasien 4 8 8.3 10.5 5 5.7 17.1 14.9
RDA 12 12 12 12 12 12 12
Gambar 3.26. Analisis Asupan Vitamin E Pasien Kasus Keempat Selama
Pemantauan
Keterangan:
RDA: Recommended Dietary Allowances
K : kontrol

Pemberian nutrient spesifik berupa suplementasi kapsul minyak ikan yang


mengandung omega-3 dianjurkan sebanyak 3 x 2 kapsul setara dengan 1,08 mg
EPA untuk memenuhi kebutuhan EPA selain dari bahan makanan sumber. Pada
gambar 3.27 terlihat asupan EPA pasien belum mencapai target, namun
menunjukkan peningkatan dibandingkan pada awal pemantauan, sedangkan pada
pemantauan kelima terlihat sudah mendekati target.

1.6
1.4
1.2
1
Gram

0.8
0.6
0.4
0.2
0
K1 K2 K3 K4 K5 K6 K7
Pasien 4 0.3 0.5 0.5 0.5 1.3 0.5 0.9
Target 1.5 1.5 1.5 1.5 1.5 1.5 1.5

Gambar 3.27. Analisis Asupan EPA Pasien Kasus Keempat Selama


Pemantauan
Keterangan:
K : kontrol

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014


79

Analisis asupan AARC pada pasien selama pemantauan, sebagian besar belum
mencapai target sebesar 14,4 g, namun pasien berusaha meningkatkan asupan
AARC dari putih telur dan lauk hewani, terlihat pada gambar 3.28. terdapat
peningkatan asupan dibandingkan pada awal pemantauan.

16
14
12
10
Gram

8
6
4
2
0
K1 K2 K3 K4 K5 K6 K7
Pasien 4 7.6 12.1 9.5 9.1 14.9 12.4 13.5
Target 14.4 14.4 14.4 14.4 14.4 14.4 14.4

Gambar 3.28. Analisis Asupan AARC Pasien Kasus Keempat Selama


Pemantauan
Keterangan:
K : kontrol

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014


80

BAB 4
PEMBAHASAN

Pasien pada serial kasus ini adalah pasien kanker serviks dengan stadium yang
berbeda dan rentang usia pasien antara 43 tahun sampai 52 tahun dimana pasien
pada rentang usia ini termasuk berisiko tinggi terkena kanker serviks. Pada
penelitian di Indonesia, pasien kanker serviks terbanyak menyerang wanita pada
usia produktif 30–50 tahun.4
Teori menyatakan bahwa peningkatan usia seseorang selalu diiringi
dengan penurunan kinerja organ-organ dan kekebalan tubuhnya sehingga relatif
mudah terkena berbagai infeksi. Telah banyak penelitian menemukan bahwa
insiden kanker serviks pada usia tua yang semakin meningkat, dan proliferasi
tumor terlihat lebih agresif. Pada analisis retrospektif terhadap 2.628 pasien,
penderita kanker serviks pada kelompok umur 30–39 tahun dan kelompok umur
60–69 tahun, memiliki jumlah yang sama banyaknya. 4
Berbagai faktor risiko berperan terhadap angka kejadian kanker serviks,
diantaranya kontrasepsi hormonal, merokok, wanita yang berganti-ganti pasangan,
wanita yang memulai hubungan seksual pada usia muda, hamil di usia muda,
jumlah persalinan banyak dan manajemen persalinan yang tidak tepat. Faktor
risiko merokok terdapat pada semua pasien, dimana semua pasien merupakan
perokok pasif.
Sebuah meta-analisis menyatakan bahwa risiko terjadinya kanker serviks
sel skuamous meningkat 50% pada wanita perokok. Meta-analisis lain pada pasien
kanker serviks menyatakan bahwa pada wanita yang tidak pernah merokok tapi
terpapar oleh asap rokok mengalami risiko terkena kanker serviks sebanyak 73%
dibandingkan dengan wanita yang tidak terpapar asap rokok. 73
Asap rokok yang mengandung zat karsinogenik menyebabkan gangguan
pada proses metabolik yang dikatalisis oleh enzim sitokrom P450. Hal ini
menyebabkan terbentuknya DNA adduct yang dapat menyebabkan terjadinya
kesalahan coding pada saat sel melakukan replikasi sehingga proses yang dibantu
enzim DNA polimerase tersebut berjalan tidak normal. Hal ini berakibat
terjadinya mutasi gen, yang dapat menyebabkan hilangnya fungsi pertumbuhan

80
Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014


81

sel normal melalui berbagai jalur transduksi sinyal, sehingga terjadi instabilitas
genomik, selanjutnya menjadi sel kanker.74
Faktor risiko kontrasepsi hormonal terdapat pada pasien kedua dan pasien
ketiga. Pasien kedua telah menggunakan KB suntik selama 13 tahun dan berhenti
setelah terdiagnosis kanker serviks, sedangkan pasien ketiga menggunakan KB
suntik selama lima tahun dan baru berhenti juga setelah terdiagnosis kanker
serviks. Pemakaian kontrasepsi hormonal injeksi dalam jangka waktu lama (lebih
dari 10 tahun) berhubungan dengan angka kejadian kanker serviks, sedangkan
angka kejadian kanker serviks yang rendah juga berhubungan dengan pemakaian
kontrasepsi hormonal injeksi dalam jangka waktu pendek (kurang dari lima
tahun).75
Pemakaian kontrasepsi hormonal diduga akan membuat perubahan pada
kekentalan lendir pada leher rahim. Kekentalan lendir tersebut, akan memperlama
keberadaan suatu agen karsinogenik di leher rahim, yang terbawa melalui
hubungan seksual, termasuk adanya virus HPV. Hormon estrogen juga memiliki
efek anti apoptosis pada virus HPV sehingga dapat menyebabkan proliferasi sel. 75
Menikah di usia kurang dari 16 tahun memiliki resiko terkena kanker
serviks 10–12 kali lebih besar dibandingkan dengan yang menikah di atas 20
tahun sebab pada usia tersebut rentan terhadap stimulus karsinogenik karena
terdapat metaplasia yang aktif. Kondisi tersebut dapat mengarah pada kelainan sel
dan pertumbuhan abnormal yang menginisiasi suatu proses CIN yang merupakan
prainvasif dari kanker serviks. Semua pasien ini menikah pada usia 16 tahun ke
atas sehingga tidak memiliki faktor risiko ini.76
Perilaku seksual yang berganti-ganti pasangan meningkatkan risiko
terkena kanker serviks karena memperbesar kemungkinan terinfeksi HPV. Wanita
yang sering melahirkan, juga berisiko terkena kanker serviks, disebabkan karena
perlukaan dan trauma akibat proses melahirkan dapat menyebabkan perubahan sel
abnormal dan kemungkinan terinfeksi HPV. Untuk kategori paritas yang berisiko
tinggi, sampai saat ini belum ada keseragaman, namun para ahli memberikan
batasan antara 3–5 kali melahirkan. Pada semua pasien ini, menurut pasien, tidak
memiliki riwayat berganti-ganti pasangan, sedangkan riwayat paritas lebih dari
tiga orang terdapat pada pasien pertama dan pasien keempat. Untuk riwayat

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014


82

pertolongan persalinan, semua pasien melahirkan dengan ditolong oleh bidan,


sehingga perlukaan dan trauma akibat persalinan yang ditangani oleh tenaga
kesehatan akan lebih baik.76,77
Gejala awal kanker serviks ditandai oleh adanya perdarahan per vaginam
pasca senggama atau spontan di luar masa haid hal ini disebabkan karena mikro
lesi atau luka-luka kecil di vagina saat bersenggama. Gejala lain adalah keputihan
yang berulang dan tidak sembuh-sembuh walaupun telah diobati. Keputihan ini
disebabkan adanya nekrosis karena pertumbuhan tumor yang cepat dan tidak
diimbangi dengan pertumbuhan pembuluh darah (angiogenesis). Keputihan hanya
dijumpai pada pasien kedua, pasien ketiga dan pasien keempat. 1
Pemeriksaan fisik pada semua pasien pada saat pemantauan didapatkan
hemodinamik stabil. Tanda vital berupa tekanan darah, frekuensi nadi, laju
pernafasan dan suhu tubuh dalam batas normal. Kapasitas fungsional pasien
berdasarkan KPS selama pemantauan bernilai 90% karena pasien masih dapat
melakukan aktivitas secara normal dengan tanda dan gejala penyakit yang
minimal.
Hasil pemeriksaan laboratorium selama pemantauan didapatkan anemia
dan leukositosis didapatkan pada pasien pertama dan pasien kedua. Pada pasien
ketiga didapatkan adanya anemia, trombositosis, leukositosis, leukopenia,
sedangkan pada pasien keempat didapatkan adanya anemia dan trombositopenia.
Anemia pada pasien kanker dapat disebabkan oleh beberapa faktor yaitu
adanya perdarahan, asupan nutrisi yang tidak adekuat, produksi sitokin
proinflamasi, dan pengobatan. Adanya pelepasan sitokin IF-γ, TNF-α, IL-1, IL-6,
IL-10 dari monosit atau makrofag dapat merangsang penahanan mineral besi (Fe)
dalam makrofag. IL-6 dan lipopolisakarida akan merangsang ekspresi protein fase
akut hepatik hepsidin yang akan menghalangi absorpsi besi di usus dan pelepasan
besi dari sel makrofag. Anemia pada ketiga pasien ditandai dengan MCV dan
MCH menurun yang dapat disimpulkan sebagai anemia, mikrositik hipokrom.
Anemia ini sesuai dengan gambaran anemia yang disebabkan oleh defisiensi zat
besi dan anemia karena penyakit kronis.78,79
Perbedaan antara anemia defisiensi besi dan anemia pada penyakit kronis
diantaranya adalah kadar total iron binding capacity (TIBC) yang meningkat pada

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014


83

anemia defisiensi besi, sedangkan pada anemia pada penyakit kronis, kadarnya
rendah. Kadar serum feritin pada anemia defisiensi besi menurun, sedangkan pada
anemia pada penyakit kronis meningkat. Kadar zat besi dan saturasi transferin
menurun pada kedua jenis anemia ini.79
Pada semua pasien tidak dilakukan pemeriksaan zat besi, TIBC, serum
feritin dan saturasi transferin, sehingga tidak dapat dipastikan jenis anemianya.
Penyebab anemia defisiensi besi diantaranya peningkatan penggunaan zat besi
untuk meningkatkan pertumbuhan pada bayi dan remaja, kehilangan darah
fisiologik pada saat menstruasi, melahirkan dan kehamilan, kehilangan darah
patologis misalnya perdarahan saluran cerna, adanya penurunan absorpsi zat besi
pada keadaan dimana asupan zat besi menurun, kondisi malabsorpsi dan pada
pasien geriatri. Gejala klinis pada defisiensi zat besi diantaranya adanya glositis,
stomatitis, koilonikia, palpitasi, sesak dan rasa lelah. Gejala-gejala tersebut tidak
dijumpai pada semua pasien ini.80
Bahan makanan sumber zat besi diantaranya daging, ayam, ikan, telur,
sayuran dan kacang-kacangan. Berdasarkan rata-rata analisis asupan pasien,
asupan zat besi dari bahan makanan sumber sudah hampir memenuhi kebutuhan.
Pada pasien dengan penyakit kronis, anemia disebabkan karena proses
inflamasinya sehingga pemberian suplementasi zat besi tidak dianjurkan. Anemia
dapat diatasi dengan mengatasi masalah inflamasinya.
Pada pasien kanker, absorpsi zat besi akan terhambat karena adanya
hepsidin sehingga supplementasi zat besi tidak diperlukan. Pemberian zat besi
pada keadaan inflamasi dapat memicu terjadinya radikal bebas. Kurang lebih 90%
asupan zat besi tidak dapat diabsorpsi melalui usus yang mengalami inflamasi,
dan menyebabkan terjadinya stres oksidatif melalui reaksi Fenton.80 Pada pasien
kedua terdapat anemia normokrom normositik, dimana anemia jenis ini juga
merupakan anemia yang terjadi pada keganasan.
Trombositosis terjadi pada 10–57% dari pasien kanker, namun tergantung
dari jenis kankernya. Trombositosis berhubungan dengan prognosis buruk dari
keganxasan. Trombosit digunakan oleh sel tumor agar dapat memicu proliferasi
sel endotel dan angiogenesis dengan pelepasan sitokin dan enzim proteolitik.

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014


84

Perlekatan antara sel tumor dan trombosit membentuk coating sehingga tidak
dapat terdeteksi oleh sistem imun.81
Pada pasien kanker juga dapat terjadi trombositopenia karena efek obat
anti-kanker yang dapat menyebabkan mielosupresif atau obat golongan H2
antagonis.81 Pasien kedua terlihat adanya trombositopenia, pasien ini sering
mengonsumsi obat H2 antagonis karena kerap mengalami dispepsia.
Kemoterapi bekerja dengan membunuh secara cepat sel-sel yang
membelah termasuk sel kanker serta sel sehat yang pembelahannya cepat seperti
sel tulang, saluran pencernaan, sistem reproduksi dan folikel rambut. Kemoterapi
dapat menimbulkan berbagai efek antara lain anemia, leukopenia dan
trombositopenia. Supresi sumsum tulang akibat kemoterapi disebut juga dengan
myelosupresion. Pasien yang menjalani kemoterapi hanya pasien ketiga, dari hasil
pemeriksaan laboratorium, pasien ini juga mengalami leukopenia.82
Skrining yang digunakan pada pasien ini adalah MST yang merupakan
skrining untuk mengidentifikasi risiko malnutrisi pada pasien kanker dan dapat
dilakukan dengan mudah dan dalam waktu singkat oleh perawat. Skrining lain
dengan metode khusus yang digunakan untuk pasien kanker adalah PG-SGA.
Metode ini menggambarkan status nutrisi berdasarkan riwayat medis (perubahan
BB, perubahan asupan, adanya gangguan yang berhubungan dengan nutrisi yang
telah berlangsung lebih dari dua minggu, kapasitas fungsional) dan penilaian fisik
(kehilangan lemak subkutan, muscle wasting, edema, asites).26,27
Sistem skoring PG-SGA berkorelasi dengan beberapa parameter seperti
persentase kehilangan BB, IMT, usia harapan hidup, lama rawat di RS dan
kualitas hidup. Skrining PG-SGA ini memiliki spesifisitas dan sensitivitas yang
tinggi dibandingkan dengan metode skrining lainnya yang telah divalidasi.
Skrining ini juga melibatkan partisipasi dari pasien dan keluarga namun
membutuhkan waktu 10–15 menit untuk melengkapi data skrining tersebut. Hal
ini sulit dilakukan pada semua pasien kanker secara teratur sehingga pada pasien
ini dipilih skrining yang menggunakan metode MST.26,27 Semua pasien ini
memiliki skor ≥2 yang menunjukkan berisiko malnutrisi dan membutuhkan
penanganan tim terapi gizi. Penurunan BB terjadi pada semua pasien, dimana
penurunan BB sudah mulai terjadi sebelum dilakukan terapi radiasi. Pada pasien

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014


85

pertama terjadi penurunan BB 5 kg (10%) dalam waktu lima bulan, pasien kedua
terjadi penurunan BB 4,5 kg (9%) dalam lima bulan, pasien ketiga 10,9 kg (15%)
dalam waktu lima bulan dan pasien keempat 17,5 kg (23%) dalam waktu lima
bulan.
Selama pemantauan terlihat BB pasien mengalami peningkatan dan
penurunan. Pada pasien pertama, selama pemantauan terlihat peningkatan BB
sebanyak 2,1 kg, pasien kedua mengalami penurunan BB sebanyak 0,5 kg, pasien
ketiga juga mengalami penurunan BB sebanyak 5,8 kg, sedangkan pasien keempat
mengalami penurunan BB sebanyak 1,3 kg.
Pada sel kanker, sitokin yang dilepaskan akan melewati sawar darah otak
dan berinteraksi dengan sel pada permukaan endotel otak dan kemudian
melepaskan substansi yang mempengaruhi selera makan akibat pelepasan sitokon
akan menyebabkan terjadinya respon sinyal oreksigenik dan anoreksigenik.
Neuropeptida Y (NPY) bersifat oreksigenik, sedangkan proopiomelanokortin
(POMC) bersifat anoreksigenik. Neuron NPY akan meningkatkan aktivitas
parasimpatis sehingga akan menurunkan REE, demikian sebaliknya pada neuron
POMC. Semua pasien ini mengalami anoreksia.
Radiasi daerah pelvis memberikan efek terhadap saluran cerna karena
pengaruh dari sitokin pro inflamasi yang mengakibatkan kerusakan dan atrofi
pada mukosa usus halus yang dapat menyebabkan mual, muntah dan diare. Pada
keempat pasien ini ditemukan adanya mual dan muntah, sedangkan diare hanya
ditemukan pada pasien pertama, kedua dan ketiga.
Pada keempat pasien diedukasi untuk mengatasi mual muntah dengan
mengonsumsi minuman dalam jumlah kecil dan dalam suhu yang hangat,
mengonsumsi jahe dalam bentuk kue, minuman atau permen. Beberapa penelitian
pada pasien kanker menunjukkan bahwa jahe dapat menurunkan rasa mual.
Makan dalam porsi kecil dan sering 6–8 kali/hari, juga disarankan makan
makanan dengan tekstur yang lembut seperti es krim, jelly atau yoghurt. Hindari
makanan yang berminyak, pedas, manis dan berbumbu keras.30
Untuk mengatasi diare, pasien disarankan untuk mengonsumsi makanan
yang rendah serat dan mengandung serat larut seperti apel, pisang, wortel, sayur
berdaun, banyak minum air putih. Pemberian serat pada pasien kanker yang

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014


86

mengalami masalah gastrointestinal berdasarkan rekomendasi American Cancer


Society (ACS) adalah dengan memberikan diet rendah serat yang mengandung
serat larut yang bersifat tidak mengiritasi saluran cerna. Namun penelitian pada
pasien kanker yang menjalani radioterapi di daerah pelvis, pemberian diet rendah
atau tinggi serat memberikan hasil tidak konsisten. Pasien ini asupan serat
bervariasi namun tergolong rendah, antara 3,5–17 g / hari.
Pemberian probiotik pada pasien kanker selama tujuh hari sebelum
dilakukan radiasi, menurunkan angka kejadian diare secara bermakna, sedangkan
pemberian probiotik pada masa terapi radiasi hanya memperbaiki konsistensi
feses. Peran probiotik pada sel-sel epitel saluran cerna antara lain dengan
memperbaiki fungsi barier mukosa dan menginduksi aktivitas antimikroba. Semua
pasien ini tidak diberikan probiotik karena memang komposisi strains dan jumlah
probiotik yang diberikan masih terbatas dan dosis juga sangat individual.
Penelitian dengan pemberian diet elemental pada pasien kanker daerah
pelvik yang menjalani radioterapi tidak menunjukkan perubahan yang signifikan
secara statistik pada BB atau perbaikan toksisitas usus selama periode penelitian.
Pada penelitian ini pasien diberikan diet elemental dengan jumlah dan jenis yang
berbeda selama lima minggu, namun jumlah diet elemental yang mampu
dikonsumsi oleh pasien hanya berkisar 250–500 ml. Berdasarkan penelitian ini
belum dapat diketahui berapa banyak diet elemental yang harus dikonsumsi
pasien untuk menurunkan gejala-gejala gangguan usus, kapan diet mulai diberikan
dan berapa lama harus diberikan, apakah digunakan untuk menggantikan
kebutuhan kalori atau hanya sebagai suplemen, masih perlu penelitian lebih
lanjut.83
Pemberian diet rendah laktosa belum ada rekomendasi yang pasti. Insiden
defisiensi laktosa pada pasien kanker daerah pelvis yang mendapatkan radioterapi
dalam suatu penelitian adalah sekitar 15%.34 Terdapat satu penelitian RCT pada
64 pasien radioterapi daerah pelvis dengan perlakuan tunggal pemberian diet
rendah laktosa. Pada penelitian ini pasien dibagi dalam tiga kelompok, yaitu
kelompok kontrol, kelompok dengan pemberian susu sebanyak 480 ml, dan
kelompok terakhir mendapatkan 480 ml susu dan juga diberikan laktase. Hasil
penelitian ini memperlihatkan tidak terdapat perbedaan bermakna pada frekuensi

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014


87

BAB dan jumlah obat antidiare yang digunakan pada ketiga kelompok tersebut.
Hasil tidak bermakna ini dapat disebabkan oleh angka drop out pada penelitian
mencapai 17%.39
Penelitian prospektif lain pada pasien keganasan ginekologi yang
mendapatkan terapi radiasi daerah pelvis, adalah dengan pemberian diet rendah
laktosa dan diet rendah lemak dibandingkan dengan kelompok kontrol yang
mendapatkan diet reguler. Penelitian dilakukan pada 143 pasien dan didapatkan
hasil berkurangnya frekuensi diare pada kelompok perlakukan dibandingkan
dengan kelompok kontrol (p<0,01).40 Sedangkan rekomendasi dari National
Cancer Institute (NCI) adalah pemberian diet rendah laktosa, rendah lemak, dan
rendah serat untuk mengurangi keluhan gastrointestinal pasien. 41
Status gizi pasien pertama dan kedua adalah normoweight, pasien ketiga
obes 2 sedangkan pasien ketiga obes 1. Obesitas merupakan salah satu faktor
risiko terjadinya kanker. Berdasarkan teori dijelaskan bahwa jaringan lemak
menghasilkan hormon polipeptida adipokin, leptin dan adiponektin yang berperan
dalam perkembangan kanker.84
Leptin berkorelasi dengan simpanan lemak dalam tubuh dan merupakan
mediator potensial yang dapat menginduksi progresivitas kanker melalui aktivasi
jalur PI3K, MAPK dan STAT3. Jaringan lemak juga dapat meningkatkan sitokin
pro inflamasi termasuk PGE2, TNF-α, IL-1, IL-8, IL-10 dan MCP-1 yang dapat
merangsang pertumbuhan sel kanker melalui jalur inflamasi yang diaktivasi oleh
NF-κB.84
Kebutuhan energi basal pasien dihitung berdasarkan rumus Harris-
Benedict selanjutnya dikalikan faktor stres 1,5 untuk mendapatkan KET.
Berdasarkan analisis asupan selama pemantauan dari keempat pasien didapatkan
peningkaatan asupan secara bertahap. Pasien pertama dan ketiga sudah mencapai
KET sedangkan pasien kedua belum mencapai KET namun cenderung meningkat.
Pasien keempat terlihat belum mencapai KET, ada peningkatan dan penurunan
asupan. Penurunan asupan terutama saat dilakukan kemoterapi. Pada pasien ini
diberikan edukasi untuk mengonsumsi makanan dalam porsi kecil dan sering,
mengonsumsi makanan ringan yang mengandung karbohidrat,makanan dengan
tekstur yang lembut, suhu yang hangat dan tidak berbumbu keras.

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014


88

Penelitian pada pasien menderita kanker serviks didapatkan kadar yang rendah
dari β-karoten, vitamin A, vitamin C, dan vitamin E. Pemberian suplementasi
vitamin dan mineral pada pasien kanker direkomendasikan bila pasien tidak dapat
memenuhi kebutuhan tersebut melalui asupan sehari-hari atau didapatkan adanya
efek samping dari terapi yang mempengaruhi asupan pasien.
Pada keempat pasien ini terlihat asupan vitamin A, vitamin C dan vitamin
E ada yang mencapai RDA, namun terlihat juga yang masih di bawah RDA. Hal
ini tergantung kondisi klinis pasien, akibat asupan pasien yang tidak mencukupi
sehingga multivitamin perlu diberikan yang sesuai dengan jumlah yang di
rekomendasikan yaitu 100% RDA. Beberapa penelitian menyatakan pemberian
vitamin dan mineral dapat mengurangi efektivitas radioterapi atau kemoterapi,
namun berdasarkan AIRC, pemberian multivitamin dan mineral dengan dosis
yang sesuai dengan RDA, aman diberikan untuk pasien kanker yang sedang
menjalani radioterapi atau kemoterapi.45
Pemberian AARC pada pasien kanker bertujuan untuk mencegah
terjadinya proteolisis dan mengurangi anoreksia dengan cara menurunkan kadar
triptofan di otak dan menurunkan kadar serotonin. Belum ada rekomendasi yang
pasti untuk pemberian AARC pada pasien kanker namun pada penelitian oleh
Cangiano dkk.32 memperlihatkan bahwa pemberian AARC 4,8 g sebanyak tiga
kali sehari selama tujuh hari berturut-turut pada pasien kanker, dapat menurunkan
kadar triptofan di otak dan menurunkan anoreksia secara bermakna dibandingkan
pasien yang hanya mendapat plasebo.
Pada keempat pasien terlihat pada awalnya terdapat asupan AARC yang
rendah dan pada pemantauan selanjutnya terdapat peningkatan. Pada pasien
pertama terlihat asupan AARC relatif lebih tinggi dibandingkan dengan pasien
lainnya, dan pada pasien pertama didapatkan efek mual yang lebih jarang
dibandingkan pasien lainnya. Pada pasien ketiga terlihat asupan AARC paling
rendah di antara pasien lainnya, dan pada pasien ini, terjadinya mual dan muntah
cukup sering. Namun hal ini bisa juga tergantung efek radiasi dan kemoterapi
yang diterima pasien.
Pemberian EPA pada pasien kanker memiliki efek anti kanker oleh karena
sifat anti-inflamasi dari eikosanoid pada metabolisme EPA. Eikosanoid dapat

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014


89

mengurangi kerusakan yang disebabkan oleh stres oksidatif dan menghambat jalur
inflamasi COX. Pemberian EPA juga terbukti meningkatkan massa otot pada
pasien kanker.54 Penelitian lain yang memperlihatkan bahwa pemberian EPA pada
pasien kanker kepala dan leher yang diberi EPA sebanyak 1,5 g dan 1,6 g, selama
tiga bulan, terbukti dapat mempertahankan BB pasien. 85
Asupan makanan yang mengandung EPA seperti dari ikan laut dalam
sangat jarang didapat, sedangkan ikan yang ada di Indonesia mengandung EPA
yang sangat kecil sehingga pemberian suplementasi sangat diperlukan. Pada 1 g
kapsul omega-3 umumnya mengandung 180 mg EPA, dan untuk memperoleh 1,5
g EPA dibutuhkan sekitar delapan kapsul omega-3. Pada ketiga pasien diberikan
suplementasi kapsul asam lemak omega-3 sebanyak enam kapsul setiap hari, dan
sisanya dipenuhi dari bahan makanan sumber. Kapsul asam lemak omega-3 dapat
memberikan efek samping yang minimal pada gastrointestinal, seperti rasa tidak
nyaman pada perut dan fishy aftertaste, salah satu cara untuk mengatasi hal
tersebut adalah dengan memberikan edukasi kepada pasien untuk
mengonsumsinya bersama dengan makanan dan pada waktu sebelum tidur.
Pada pasien keempat terkadang mengalami perdarahan pervaginam,
sehingga pemberian kasul omega-3 diberikan sebanyak tiga kapsul perhari. Sebab
berdasarkan penelitian Penny dkk.61 pemberian 1 g omega-3 dapat memberikan
efek perdarahan yang minimal, sehingga omega-3 yang diberikan jumlahnya
dibawah 1 g.
Pasca dilakukan radioterapi dan brakiterapi, kapasitas fungsional
berdasarkan KPS pada pasien pertama dan kedua meningkat menjadi 100%,
sedangkan pasien ketiga dan keempat tetap 90%. Kualitas hidup keempat pasien
menjadi lebih baik, pasien pertama sudah dapat menjadi motivator bagi sesama
penderita kanker serviks dan sudah dapat memberikan ceramah mengenai kanker
serviks pada kelompok ibu-ibu di lingkungan tempat tinggal pasien.
Pasien kedua sudah dapat mengikuti kegiatan kerohanian yang rutin
dilakukan di lingkungan tempat tinggal pasien. Pada pasien ketiga dapat
melakukan pekerjaan rumah tangga yang ringan, sedangkan pasien keempat sudah
mulai melaksanakan aktivitasnya sebagai pedagang baju di pasar dan perdarahan
pervaginamnya sudah berhenti.

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014


90

BAB 5
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan
Pada pemberian tatalaksana nutrisi pada pasien kanker serviks yang menjalani
radioterapi dapat disimpulkan bahwa:
1. Pada pasien kanker serviks terjadi perubahan metabolisme protein, lemak dan
karbohidrat yang dapat mempengaruhi status gizi pasien.
2. Pada pasien kanker serviks yang menjalani radioterapi memiliki permasalahan
dalam asupan nutrisi akibat efek samping radiasi yang diterima berupa mual,
muntah, anoreksia dan diare. Tatalaksana nutrisi yang diberikan kepada pasien
bermanfaat untuk meningkatkan asupan pasien, mempertahankan atau
meningkatkan status gizi dan meningkatkan kualitas hidup pasien.
3. Tatalaksana nutrisi yang diberikan meliputi pemberian makronutrien,
mikronutrien dan nutrient spesifik yang sesuai dengan kebutuhan pasien serta
pemberian konseling dan edukasi.
4. Monitoring dan evaluasi sangat diperlukan untuk memantau pencapaian target
nutrisi yang diharapkan. Selama pemantauan, pada pasien pertama terjadi
peningkatan BB, sedangkan pada pasien kedua dan keempat terjadi penurunan
BB yang minimal. Pada pasien ketiga terjadi penurunan BB yang cukup
banyak karena efek kemoterapi yang diterima membuat rasa mual yang berat
disertai muntah.

5.2. Saran
1. Dukungan nutrisi sebaiknya diberikan sebelum pasien menjalani radioterapi
sehingga dapat meningkatkan pencapaian target nutrisi dengan meminimalkan
efek samping radioterapi dan kemoterapi serta dapat meningkatkan kualitas
hidup.
2. Pemberian nutrient spesifik sebaiknya terus diberikan secara rutin sesuai
dengan kebutuhan pasien dan untuk mencapai terapi nutrisi yang optimal.
3. Monitoring dan evaluasi sebaiknya rutin dilakukan untuk memantau kondisi,
toleransi asupan dan pencapaian target nutrisi.

90 Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014


91

DAFTAR REFERENSI

1. Aziz F, Andrijono, Saifuddin AB, editor. Onkologi Ginekologi. Edisi I.


Cetakan I. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Jakarta. 2006.

2. Rasjidi I. Epidemiologi kanker serviks. Indonesian J Cancer 2009;Vol.III,


No.3. Hal.103–8.

3. Scanlon VC, Sander T. Female Reproductive System. Dalam: Scanlon VC,


Sander T., eds. Essentials of Anatomy and Pathophysiology. Edisi ke-5. New
York: FA Davis Company. 2007.

4. Rasjidi I, ed. Manual Prakanker Serviks. Edisi Pertama. Sagung Seto.


Jakarta. 2008.

5. Samadi HP. Yes, I Know Everything about Kanker Serviks. Cetakan I.


Metagraf. Solo. 2011.

6. Catellsague X, Munoz N. Cofactor in human papilloma virus carcinogenesis-


role of parity, oral contraceptives, and tobacco smoking. J Natl Cancer Ins,
Monographs. 2003;31:20–8.

7. Kauffman RH, Adam E, Vonka V. Human papilloma virus infection and


cervical carcinoma. Clin Obstet and Gynecol 2000;43:363–80.

8. Ibeanu OA. Molecular pathogenesis of cervical cancer. Cancer Biology and


Therapy February 1, 2011;11:3, 295–306;.

9. Schorge JO, Schaffer JI, Molvorson LM, Hoffman BL, Bradshaw KD,
Cunningham FG. William’s Gynecology. St. Louis: Mc Graw Hill, Co. Hal.
1285–1322.

10. Gordon JN, Green SR, Goggin PM. Cancer cachexia. Q J Med 2005;98:779–
88.

11. Topkan E, Yavuz AA, Ozyilkan O. Cancer cachexia: pathophysiologic


aspects and treatment options. Asian Pac J Cancer Prev 2007;8, 445–51

12. Fearon K, Strasser F, Anker SD, Bosaeus I, Bruera E, Fainsinger RL, et al.
Definition and classification of cancer cachexia an international consensus.
Lancet Oncol 2011;12:489-95.

13. Donohoe CL, Ryan AM, Reynolds JV. Cancer cachexia: mechanisms and
clinical implications. Gastroenterol Res Pract 2011; 601434, 2011.

14. Tisdale MJ. Mechanism of cancer cachexia. Physiol Rev 2009;89:381–410.

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014


92

15. Perboni S, Inui A. Anorexia in cancer: role of feeding-regulatory peptides.


Phil Trans R Soc B 2006;361, 1281–1289.

16. Nitenberg G, Raynard BB. Nutritional support of cancer patients: issues and
dilemmas. Crit Rev Oncol Hematol 2000;34,137–68.

17. Landoni F, Maneo A, Colombo A, et al. Randomised study of radical surgery


versus radiotherapy for stage Ib – IIa cervical cancer. Lancet 1997;350 (9077)
: 535–40.

18. Rasjidi I, Supriana N, Cahyono K. Radioterapi pada Keganasan Ginekologi.


Cetakan I. Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2011.

19. Schmidt-Ullrich RK. Molecular targets in radiation biology. Oncogene


2003;22, 5730–5733.

20. Beyzadeoglu M, Ozyigit G, Ebrulic. Radiobiology. Dalam: Basic Radiation


Oncology. Springer 2010. Hal.87.

21. Havrika C, Reed PW, Mack D. Medical radiation oncology. Dalam: Marian
M, Roberts S, ed. Clinical Nutrition for Oncology Patients. Boston: Jones
and Bartlett publishers, 2010. Hal.65–100.

22. Brady LW, Lu JJ (eds). Radiation Oncology. Spinger. Germany. 2008.


Hal.366–7.

23. Shadad AK, Sullivan FJ, Martin JD, Egan LJ. Gastrointestinal radiation
injury: symptoms, risk factors and mechanism. World J Gastroenterol 2013
January 14; 19(2): 185–98.

24. Chitapanarux I, Chitapanarux T, Traisathit P, Kudumpee, Tharavichitkul E,


Lorvidhaya. Radiation Oncology 2010,5:31

25. Cohen DA. Neoplastic disease. Dalam: Nelms M, Sucher K, Lacey K, Roth
SL, editor. Nutrition Therapy and Pathophysiology. Edisi ke-2. Belmont:
Wadsworth Cencage Learning, 2011.Hal.702–34.

26. Charney P, Cranganu A. Nutrition screening and assessment in oncology.


Dalam: Marian M, Roberts S, ed. Clinical Nutrition for Oncology Patients.
Boston: Jones and Bartlett publishers, 2010. Hal.31–42.

27. Bauer J. Nutritional management and dietary guidelines for cancer cachexia.
Eur Oncol Dis 2007;1(2) :12–4.

28. Reeves MM. Estimating patients’ Energy Requirement: Cancer as a Case


Study. A thesis submitted for the degree of doctor of Phylosophy in the
Centre for health Research, School of Public Health Queensland University
of Technology, March 2004.

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014


93

29. Total Nutrition Therapy version 2.0.

30. Grant BL, Hamilton KK. Medical nutrition therapy for cancer prevention,
treatment, and recovery. In: Mahan LK, Escott-Stump S, Raymond JL, eds.
Krause's Food and the Nutrition Care Process. 13 ed. Missouri: Elsevier;
2012:832-63.

31. Mackenzie M, Baracos VE. Cancer associated-cachexia: altered metabolism


of protein and amino acids. Dalam: Cynober LA, ed. Metabolic &
Therapeutic Aspects of Amino Acids in Clinical Nutrition. Edisi kedua. USA:
CRC Press, 2013. Hal 339–54.

32. Cangiano C, Laviano A, Meguid MM, Mulieri M, Conversano L, Preziosa I,


Rossi Fanelli F. Effects of administration of oral branched-chain amino acids
on anorexia and caloric intake in cancer patients. J Natl Cancer Inst
1996;88:550–2.

33. Hurst JD, Gallagher AL. Energy, macronutrient, micronutrient, and fluid
requirements. In: Elliott L, Molseed LL, McCallum PD, Grant B, eds. The
Clinical Guide to Oncology Nutrition. USA: American Dietetic Association;
2006:54-68.

34. Wedlake L.J., McGough C., Shaw C., Klopper T., Thomas K., Lalji A.,
Dearnaley D.P., Blake P., Tait D., Khoo V.S. & Andreyev H.J.N. Clinical
trial: efficacy of a low or modified fat diet for the prevention of
gastrointestinal toxicity in patients receiving radiotherapy treatment for pelvic
malignancies. J Hum Nutr Diet 2012;25,247–259.

35. Fine EJ, Segal-Isaacson CJ, Feinman R, Sparano J. Carbohydrate restriction


in patients with advanced cancer: a protocol to assess safety and feasibility
with an accompanying hypothesis. Community Oncol. Vol.5, No.1. Januari
2008. Hal. 22–5.

36. Remig VM. Medical Therapy for neurologic disorders. In Mahan LK, Escott
Stump S. Krausse’s food & nutrition therapy. Edisi 12. 2008. Hal.1091.

37. Ho VW, Leung K, Hsu A. A Low carbohydrate, high protein diet slows
tumor growth and prevents cancer initiation. Cancer Res 2011;71:4484–93.

38. American Society for Nutrition. Dietary fiber. Adv Nutr 2011;2:151–2.

39. Styker JA, Bartholomew M. Failure of lactose-restricted diets to prevent


radiation-induced diarrhoea in patients undergoing whole pelvis
irradiation. Int Radiat Oncol Biol Phys 1986;12:789–92.

40. Bye A, Kaasa S, Ose T,Sundfør K, Tropé C. The influence of low fat, low
lactose diet on diarrhoea during pelvic radiotherapy Clin Nutr 1992;11:147–
53.

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014


94

41. McGough C, Baldwin C, Frost G,Andreyev HJN. Role of nutritional


intervention in patients treated with radiotherapy for pelvic malignancy. Bri J
Cancer 2004;90:2278–87.

42. Cummings JH, Stephen AM. Review: carbohydrate terminology and


classification. EJCN 2007;61: S5–S18.

43. Slavin J. Review: fiber and prebiotics mechanisms and health benefits
Nutrients 2013;5:1417–35.

44. http://www.cancer.org/treatment/survivorshipduringandaftertreatment/nutritio
nforpeoplewithcancer/low-fiber-foods diunduh 23 Juni 2013

45. Strohle A, Zanker K, Hahn A. Nutrition in oncology: the case of


micronutriens (review). Oncol Rep 2010;24:815–28.

46. Lee GJ, Chung HW, Lee KH, Ahn HS. Antioxidant vitamins and lipid
peroxidation in patients with cervicalintraepithelial neoplasia. J Korean Med
Sci 2005;20:267–72.

47. Myung SK, Ju W, Kim SC, Kim H. Vitamin or antioxidant intake (or serum
level) and risk of cervical neoplasm: a meta-analysis. BJOG 2011;118:1285–
91.

48. Palan PR, Mikhail MS, Goldberg GL, Basu J, Runowicz CD, Romney SL.
Plasma level of β-carotene, lycopene, canthaxantin, retinol, α– dan γ–
tocoferol cervical intraepithelial neoplasia and cancer. Clin Cancer Res
1996;2:181–5.

49. Choudry HA, Pan M, Karinch AM, Souba WW. Branched-chain amino acid-
enriched nutritional support in surgical and cancer patients. J Nutr 2006;136:
314S– 318S.

50. Nicastro H, da Luz CR, Chaves DFS, Bechara LRG, Voltarelli VA, Rogero
MM and Lancha AH Jr. Does branched-chain amino acids supplementation
modulate skeletal muscle remodeling through inflammation modulation
possible mechanisms of action. J Nutr Metabolism. Vol. 2012. Article ID
136937.

51. O’Connell TM. The complex role of branched chain amino acids in diabetes
and cancer. Metabolites 2013, 3, 931–45.

52. Cho L, Chan EJ. What can we expect from omega-3 fatty acid? Cleve Clin J
Med April 2009; Vol. 76, 4: 245–51.

53. Chalder PC. Omega-3 Fatty acids and inflammatory processes. Nutrients
2010;2,355–374.

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014


95

54. Vaughan VC, Hassing M-R , Lewandowski PA. Marine polyunsaturated fatty
acid and cancer therapy. Br J Cancer 2013;108,486–92.

55. Kris-Etherton PM, Harris WS, Appel LJ. Fish consumption, fish oil, omega 3
fatty acids, and cardiovascular disease. Circulation 2002;106:2747–57.

56. Hanafiah A, Karyadi D, Lukito W, Muhilal, Supari F. Desirable intakes of


polyunsaturated fatty acids in Indonesia adults. Asian Pac J Clin Nutr
2007;16(4):632–40.

57. Waitzberg DL, Torrinhas RS. Fish oil lipid emulsions and immune response:
What clinicians need to know. Nut in Clin Pract August/September 2009;
Vol. 24, No.4.

58. Ockenga J, Valentini L. Review article: anorexia and cachexia in


gastrointestinal cancer. Aliment Pharmacol Ther 2005; 22: 583–594.

59. Murphy RA, Yeung E, Mourtzakis M. Influence of eicosapentanoic acid


supplementation on lean body mass in cancer cachexia. Bri J Cancer 2011;
105:1469–73.

60. Luis DA, Izaola O, Aller R, Cuellar L, Terroba MC and Martin T. A


randomized clinical trial with two omega 3 fatty acid enhanced oral
supplements in headand neck cancer ambulatory patients. Eur Rev Med
Pharmacol Sci 2008;12:177–81.
61. Penny M, Khris-Etherton, Harris WS, Appel LJ. Fish consumption, fish oil,
omega-3 fatty acids, and cardiovascular disease. American Heart Association.
2002;106:2747–57.

62. Institute of Medicine of the National Academies. Food and Nutrition Board.
2005.

63. World Gastroenterology Organisation. Practice guideline probiotics and


prebiotics. 2008.

64. O’Hara AM, Shanahan F. Mechanisms of action of probiotics in intestinal


diseases. Sci World J 2007;7:31–46.

65. Thomas CM, Versalovic J. Probiotics-host communication modulation of


signaling pathways in the intestine. Gut Microbes 2010;1:148–63.

66. Hemaiswarya S, Raja R, Ravikumar R , Carvalho IS. Mechanism of action of


probiotics. Braz Arch Biol Techn 2013;56:113–9.

67. Anandharaj M, Sivasankari B, Parveen Rani R. Effects of probiotics,


prebiotics, and synbiotics on hypercholesterolemia: a review. Chin J Biol
2014:1–7.

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014


96

68. Urbancsek H, Kazar T, Mezes I, Neumann K. Results of a double blind,


randomized study to evaluate the efficacy and safety of antibiophilus in
patients with radiation induced diarrhoea. Eur J Gastroenterol Hepatol
2001;13:391–6.

69. Giralt J, Regadera JP, Verges R, Romero J, De La Fuente I, Biete A, dkk.


Effect of probiotic lactobacillus casei DN-114001 in prevention of radiation-
induced diarrhea: results from multicentre, randomized, placebo-controlled
nutritional trial. Int J Radiation Oncology Biol Phys 2008;71:1213–9.

70. Arends J, Bodoky G, Bozzeti F, Fearon K, Muscaritoli M, Selga G, et al.


ESPEN guideline on enteral nutrition: non-surgical oncology. Clin Nutr
2006; 25:245-59.
71. Gunawan SG, Setiabudy R, Nafrialdi, Elysabeth. Farmakologi dan Terapi.
Edisi 5. Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Jakarta 2011.

72. MIMS Indonesia. Edisi 116, 2011.

73. Zeng X, Xiong P, Wang F, Li C, Yao J, Guo Y. Passive smoking and


cervical cancer risk: A Meta-analysis based on 3, 230 cases and 2,982
controls. Asian Pac J Cancer Prev 2012;13:2687–2693

74. Hecht SS. Cigarette smoking: cancer risks, carcinogens, and mechanism.
Langenbeecks Arch Surg 2006; 391603–13.

75. Herrero R, Brinton LA, Reeves WC, Brenes MM, de Britton RC, Tenorio F,
Gaitan E. Injectable contraceptives and risk of invasive cervical cancer:
evidence of an association. Int J Cancer 1990; 46, 5–7.

76. www.pps.unud.ac.id?thesis/pdf-thesis/unud-291-1009483473babi,ii,iii,iv.pdf
diunduh 26 Juni 2014

77. Natphopsuk S, Settheetham-Ishida W, Sinawat S, Pientong C, Yuenyao P,


Ishida T. Risk Factors for Cervical Cancer in Northeastern Thailand: Detailed
analyses of sexual and smoking behavior. Asian Pac J Cancer Prev 2012;13
(11), 5489–95.

78. Weiss G, Goodnough LT. Anemia of chronic disease. N Engl J Med


2005;352;10.

79. Ahmad H, Asdie (ed). Harrison Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Vol.4.
Edisi 13. EGC: Jakarta. 2000. Hal. 1920–30.

80. Gasche C, Berstad A, Befrits R, Beglinger C, Dignass A, Erichsen K, et al.


Guidelines on the diagnosis and management of iron deficiency and anemia
in inflamatory bowel diseases. Inflamm Bowel Dis 2007;13:154 –53.

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014


97

81. Bambace NM & Holmes CE. The platelet contribution to cancer progression.
J Thromb Haemost 2011;9: 237–49.

82. Hadi SH, Iskandar TM. Hubungan anemia dan transfusi darah terhadap
respons kemoradiasi pada karsinoma serviks uteri stadium IIb–IIIb. Med
Hosp 2012; vol.1 (1):32–36.

83. McGough, Baldwin C, Norman A, Frost A, Blake P, Tait D, et al. Is


supplementation with elemental diet feasible in patients undergoing pelvic
radiotherapy?. Clin Nutr 2006;25:109–16.

84. Vucenik I, Stains JP. Obesity and cancer risk: evidence, mechanism, and
recommendations. Ann NY Acad Sci 2012; 1271,37–43.

85. Luis DA, Izaola O, Aller R, Cuellar L, Terroba MC and Martin T.A
randomized clinical trial with two omega 3 fatty acid enhanced oral
supplements in head and neck cancer ambulatory patients. Eur Rev Med
Pharmacol Sci 2008;12:177–81.

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014


99

Lampiran 2: Lembar Monitoring Pasien Kasus Pertama


Kontrol 1 (radiasi ke 16) Kontrol 2 (radiasi ke 20) Kontrol 3 (radiasi ke 25)
S Mual ada, muntah tidak ada. BAK dan BAB normal Diare 2–3 kali dalam sehari selama dua hari. Mual, nyeri perut bawah hilang timbul

O Tampak sakit sedang, kesadaran kompos mentis Tampak sakit sedang, kesadaran kompos mentis Tampak sakit sedang, kesadaran kompos mentis
TD 110/80 mmHg, N 72 x/mnt, P 20 x/mnt, Sb TD 120/80 mmHg, N 84 x/mnt, P 20 x/mnt, Sb afebris TD 120/80 mmHg, N 80 x/mnt, P 20 x/mnt, Sb afebris
afebris
Konjungtiva tidak pucat, sklera tidak ikterik Konjungtiva tidak pucat, sklera tidak ikterik
Konjungtiva tidak pucat, sklera tidak ikterik Jantung : BJ I-II murni, murmur & gallop tidak ada Jantung : BJ I-II murni, murmur & gallop tidak ada
Jantung : BJ I-II murni, murmur & gallop tidak ada Paru : vesikuler, tidak ada ronki & wheezing Paru : vesikuler, tidak ada ronki & wheezing
Paru: vesikuler, tidak ada ronki dan wheezing Abdomen : BU (+) normal Abdomen : BU (+) normal
Abdomen : BU (+) normal Ekstremitas : tidak ada edema Ekstremitas : tidak ada edema
Ekstremitas : tidak ada edema
Kapasitas fungsional : KPS 90% Kapasitas fungsional : KPS 90%
Kapasitas fungsional : KPS 90% Laboratorium : Laboratorium :
Laboratorium : Hb 8 g/dL, Ht 28%, leukosit 8.260/µL, trombosit Hb 12,7 g/dL, Ht 39,1%, leukosit 5.090/µL,
Hb 10,1 g/dL, Ht 31,5%, leukosit 10.031/µL, 355.000/µL trombosit 308.000/µL,ureum 16, kreatinin 0,6
trombosit 364.000/µL, LED 97, SGOT 16, SGPT
7, ureum 18, kreatinin 0,6. Terapi DPJP : Terapi DPJP :
Loperamid 2 x 1 Ultracet 3 x 1
Terapi DPJP: Ondansetron 3 x 1
Ondansetron 3 x 1
Antropometri : TB 148 cm, BB 46 kg, IMT= 21,0 Antropometri : TB 148 cm, BB 44,9 kg, IMT= 20,5
Antropometri : TB 148 cm, BB 45 kg, IMT= 20,5 kg/m2 kg/m2
kg/m2

Analisis asupan : Analisis asupan : Analisis asupan :


E (kal) P (g) L (g) KH (g) E (kal) P (g) L (g) KH (g) E P (g) L (g) KH (g)
Makanan 1437 52 41 188 Makanan 1732 62 56 257 (kal)
biasa biasa Makanan biasa 1147 69 62 145
A Kanker serviks II b, normoweight berisiko Kanker serviks II b, normoweight berisiko malnutrisi, Kanker serviks II b, normoweight berisiko malnutrisi
malnutrisi, anemia, leukositosis. anemia

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014


100

P KEB = 1118,4 kkal KEB = 1158 kkal KEB = 1150,6 kal


KET = 1700 kal (FS 1,5) KET = 1700 kal (FS 1,5) KET = 1700 kal (FS 1,5)
Nutrisi diberikan ditingkatkan menjadi 1700 kal, P Nutrisi diberikan tetap 1700 kal, P 68 g, L 47 g, KH Nutrisi diberikan diberikan tetap 1700 kal, P 68 g, L 47
68 g, L 47 g, KH 251 g 251 g g, KH 251 g
Bentuk : makanan biasa dan diet cair komersial Bentuk : makanan biasa dan diet cair komersial
polimerik polimerik Bentuk : makanan biasa dan diet cair komersial
polimerik
Jalur : per oral Jalur : per oral
Mikronutrien : Multivitamin dan mineral 1 x 1 Mikronutrien : Multivitamin dan mineral 1 x 1 tablet, Jalur : per oral
tablet, minyak ikan omega-3 3 x 2 kapsul minyak ikan omega-3 3 x 2 kapsul Mikronutrien : Multivitamin dan mineral 1 x 1 tablet,
minyak ikan omega-3 3 x 2 kapsul
Monitoring : Monitoring :
Klinis, tanda vital setiap 1 minggu sekali Klinis, tanda vital setiap 1 minggu sekali Monitoring :
Analisis asupan setiap hari Analisis asupan setiap hari Klinis, tanda vital setiap 1 minggu sekali
Toleransi rata-rata asupan & kapasitas fungsional Toleransi rata-rata asupan & kapasitas fungsional setiap Analisis asupan setiap hari
setiap satu minggu sekali satu minggu sekali Toleransi rata-rata asupan & kapasitas fungsional setiap
Antropometri 1 minggu sekali Antropometri 1 minggu sekali satu minggu sekali
Antropometri 1 minggu sekali

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014


101

Kontrol 4 (brakiterapi 1) Kontrol 5 (brakiterapi 2) Kontrol 6 ( brakiterapi 3)


S Mual berkurang Mual berkurang, nafsu makan membaik Mual berkurang, nafsu makan membaik)

O Tampak sakit sedang, kesadaran kompos mentis Tampak sakit sedang, kesadaran kompos mentis Tampak sakit sedang, kesadaran kompos mentis
TD 110/70 mmHg, N 76 x/mnt, P 20 x/mnt, Sb TD 120/70 mmHg, N 76 x/mnt, P 20 x/mnt, Sb afebris TD 120/80 mmHg, N 80 x/mnt, P 20 x/mnt, Sb afebris
afebris
Konjungtiva tidak pucat, sklera tidak ikterik Konjungtiva tidak pucat, sklera tidak ikterik
Konjungtiva tidak pucat, sklera tidak ikterik Jantung : BJ I-II murni, murmur & gallop tidak ada Jantung : BJ I-II murni, murmur & gallop tidak ada
Jantung : BJ I-II murni, murmur & gallop tidak ada Paru: vesikuler, tidak ada ronki dan wheezing Paru: vesikuler, tidak ada ronki dan wheezing
Paru: vesikuler, tidak ada ronki dan wheezing Abdomen : BU (+) normal Abdomen : BU (+) normal
Abdomen : BU (+) normal Ekstremitas : tidak ada edema Ekstremitas : tidak ada edema
Ekstremitas : tidak ada edema
Kapasitas fungsional : KPS 90% Kapasitas fungsional : KPS 90% Kapasitas fungsional : KPS 90%
Laboratorium : Laboratorium : Laboratorium :
Hb 12,0 g/dL, Ht 36,8%, leukosit 5.950/µL, Hb 11,8 g/dL, Ht 36,9%, leukosit 6.560/µL, trombosit Hb 11,9 g/dL, Ht 37,9 leukosit 6.820/µL, trombosit
trombosit 277.000/µL. 289.000/µL 321.000/µL

Terapi DPJP : Terapi DPJP : Terapi DPJP :


Ondansetron 3 x 1 Ondansetron 3 x 1 Ondansetron 3 x 1
Antropometri : TB 148 cm, BB 45 kg, IMT= 20,5 Antropometri : TB 148 cm, BB 46 kg, IMT= 21,0 Antropometri : TB 148 cm, BB 46,3 kg, IMT= 21,1
kg/m2 kg/m2 kg/m2

Analisis asupan : Analisis asupan : Analisis asupan :


E (kal) P (g) L (g) KH(g) E (kal) P (g) L (g) KH(g) E(kal) P(g) L(g) KH(g)
Makanan 1826 66 89 299 Makanan 1936 70 67 274 Makanan 2148 96 69 302
biasa biasa biasa
A Kanker serviks IIb, normoweight berisiko Kanker serviks IIb, normoweight berisiko malnutrisi, Kanker serviks IIb, normoweight berisiko malnutrisi,
malnutrisi anemia. anemia.
P KEB = 1118 kal KEB = 1128 kal KEB = 1130,9 kal
KET = 1700 kal (FS 1,5) KET = 1700 kal (FS 1,5) KET = 1700 kal (FS 1,5)
Nutrisi diberikan ditingkatkan menjadi 1700 kal, P Nutrisi diberikan ditingkatkan menjadi 1700 kal, P 68 Nutrisi diberikan ditingkatkan menjadi 1700 kal, P 68
68 g, L 47 g, KH 251 g g, L 47 g, KH 251 g g, L 47 g, KH 251 g
Bentuk : makanan biasa dan diet cair komersial Bentuk : makanan biasa dan diet cair komersial Bentuk : makanan biasa dan diet cair komersial
polimerik polimerik polimerik

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014


102

Jalur : per oral Jalur : per oral Jalur : per oral


Mikronutrien : Multivitamin dan mineral 1 x 1 Mikronutrien : Multivitamin dan mineral 1 x 1 tablet, Mikronutrien : Multivitamin dan mineral 1 x 1 tablet,
tablet, minyak ikan omega-3 3 x 2 kapsul minyak ikan omega-3 3 x 2 kapsul minyak ikan omega-3 3 x 2 kapsul

Monitoring : Monitoring : Monitoring :


Klinis, tanda vital setiap 1 minggu sekali Klinis, tanda vital setiap 1 minggu sekali Klinis, tanda vital setiap 1 minggu sekali
Analisis asupan setiap hari Analisis asupan setiap hari Analisis asupan setiap hari
Toleransi rata-rata asupan & kapasitas fungsional Toleransi rata-rata asupan & kapasitas fungsional Toleransi rata-rata asupan & kapasitas fungsional
setiap satu minggu sekali setiap satu minggu sekali setiap satu minggu sekali
Antropometri 1 minggu sekali Antropometri 1 minggu sekali Antropometri 1 minggu sekali

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014


103

Kontrol 7 (1 minggu pasca brakiterapi 3) Kontrol 8 (2 minggu pascabrakiterapi 3)


Mual tidak ada, nafsu makan baik, BAB normal Mual tidak ada, nafsu makan baik, BAB normal

O Tampak sakit sedang, kesadaran kompos mentis Tampak sakit sedang, kesadaran kompos mentis
TD 120/80 mmHg, N 80 x/mnt, P 20 x/mnt, Sb TD 110/80 mmHg, N 76 x/mnt, P 20 x/mnt, Sb afebris
afebris
Konjungtiva tidak pucat, sklera tidak ikterik
Konjungtiva tidak pucat, sklera tidak ikterik Jantung : BJ I-II murni, murmur & gallop tidak ada
Jantung : BJ I-II murni, murmur & gallop tidak ada Paru : vesikuler, tidak ada ronki & wheezing
Paru: vesikuler, tidak ada ronki dan wheezing Abdomen : BU (+) normal
Abdomen : BU (+) normal Ekstremitas : tidak ada edema
Ekstremitas : tidak ada edema
Kapasitas fungsional : KPS 100%
Kapasitas fungsional : KPS 100%
Antropometri : TB 148 cm, BB 47,1 kg, IMT= 21,5
Antropometri : TB 148 cm, BB 46,7 kg, IMT= 21,3 kg/m2
kg/m2

Analisis asupan : Analisis asupan :


E (kal) P (g) L (g) KH (g) E (kal) P (g) L (g) KH (g)
Makanan 1820 78 79 212 Makanan 1918 80 79 242
biasa biasa
A Kanker serviks IIb, normoweight berisiko Kanker serviks IIb, normoweight berisiko malnutrisi,
malnutrisi

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014


104

P KEB = 1134,7 kkal KEB = 1138,5 kkal


KET = 1700 kal (FS 1,5) KET = 1700 kal (FS 1,5)
Nutrisi diberikan ditingkatkan menjadi 1700 kal, P Nutrisi diberikan tetap 1700 kal, P 68 g, L 47 g, KH
68 g, L 47 g, KH 251 g 251 g
Bentuk : makanan biasa dan diet cair komersial Bentuk : makanan biasa dan diet cair komersial
polimerik polimerik

Jalur : per oral Jalur : per oral


Mikronutrien : Multivitamin dan mineral 1 x 1 Mikronutrien : Multivitamin dan mineral 1 x 1 tablet,
tablet, minyak ikan omega-3 3 x 2 kapsul minyak ikan omega-3 3 x 2 kapsul

Monitoring : Monitoring :
Klinis, tanda vital setiap 1 minggu sekali Klinis, tanda vital setiap 1 minggu sekali
Analisis asupan setiap hari Analisis asupan setiap hari
Toleransi rata-rata asupan & kapasitas fungsional Toleransi rata-rata asupan & kapasitas fungsional setiap
setiap satu minggu sekali satu minggu sekali
Antropometri 1 minggu sekali Antropometri 1 minggu sekali

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014


105

Lampiran 3: Lembar Monitoring Pasien Kasus Kedua

Kontrol 1 (Radiasi ke 1) Kontrol 2 (Radiasi ke 5) Kontrol 3 (Radiasi ke 9)


S Mual yang sangat berat, keputihan Mual yang sangat berat, keputihan Mual berkurang, nyeri perut bawah hilang timbul,
keputihan
O Tampak sakit sedang, kesadaran kompos mentis Tampak sakit sedang, kesadaran kompos mentis Tampak sakit sedang, kesadaran kompos mentis
TD 110/70 mmHg, N 76 x/mnt, P 20 x/mnt, Sb TD 110/70 mmHg, N 80 x/mnt, P 20 x/mnt, Sb afebris TD 120/70 mmHg, N 76 x/mnt, P 20 x/mnt, Sb afebris
afebris
Konjungtiva tidak pucat, sklera tidak ikterik Konjungtiva tidak pucat, sklera tidak ikterik
Konjungtiva tidak pucat, sklera tidak ikterik Jantung : BJ I-II murni, murmur & gallop tidak ada Jantung : BJ I-II murni, murmur & gallop tidak ada
Jantung : BJ I-II murni, murmur & gallop tidak ada Paru: vesikuler, tidak ada ronki dan wheezing Paru: vesikuler, tidak ada ronki dan wheezing
Paru: vesikuler, tidak ada ronki dan wheezing Abdomen : BU (+) normal Abdomen : BU (+) normal
Abdomen : BU (+) normal Ekstremitas : tidak ada edema Ekstremitas : tidak ada edema
Ekstremitas : tidak ada edema Kapasitas fungsional : KPS 90% Kapasitas fungsional : KPS 90%
Kapasitas fungsional : KPS 90%
Laboratorium : Laboratorium :
Laboratorium : Hb 9,6 g/dL, Ht 28,8%, leukosit 11.260/µL, trombosit Hb 11,5 g/dL, Ht 34,5%, leukosit 9.920/µL, trombosit
Hb 11,0 g/dL, Ht 33,1%, leukosit 12.940/µL, 387.000/µL. 345.000/µL.
trombosit 414.000/µL, ureum 12, kreatinin 0,6
Terapi DPJP : Terapi DPJP :
Terapi DPJP : Ondansetron 3 x 1 Ondansetron 3 x 1
Ondansetron 3 x 1 Ultracet 3 x 1
Antropometri : TB 145 cm, BB 45,4 kg, IMT= 21,6
Antropometri : TB 145 cm, BB 45,5 kg, IMT= 21,6 kg/m2 Antropometri : TB 145 cm, BB 45,3 kg, IMT= 21,4
kg/m2 kg/m2
Analisis asupan :
Analisis asupan : E (kal) P (g) L (g) KH(g) Analisis asupan :
E (kal) P (g) L (g) KH(g) Makanan 537 23 14 86 E (kal) P (g) L (g) KH(g)
Makanan 496 15 16 77 biasa Makanan 1027 62 36 118
biasa biasa
A Kanker serviks IIIb, normoweight berisiko Kanker serviks IIIb, normoweight berisiko malnutrisi, Kanker serviks IIIb, normoweight berisiko malnutrisi,
malnutrisi, anemia, leukositosis. anemia, leukositosis anemia
P KEB = 1155,4 kal KEB = 1150,6 kal KEB = 1146,4 kal
KET = 1700 kal (FS 1,5) KET = 1700 kal (FS 1,5) KET = 1700 kal (FS 1,5)

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014


106

Nutrisi diberikan dimulai dari 900 kal, P 45 g, L 25 Nutrisi diberikan 900 kal, P 45 g, L 25 g, KH 127 g Nutrisi diberikan akan dinaikkan 1200 kal, P 59 g, L 33
g, KH 127 g Bentuk : makanan lunak dan diet cair komersial g, KH 167 g
Bentuk : makanan lunak dan diet cair komersial polimerik Bentuk : makanan biasa dan diet cair komersial
polimerik polimerik
Jalur : per oral
Jalur : per oral Mikronutrien : Multivitamin dan mineral 1 x 1 tablet, Jalur : per oral
Mikronutrien : Multivitamin dan mineral 1 x 1 minyak ikan omega-3 3 x 2 kapsul Mikronutrien : Multivitamin dan mineral 1 x 1 tablet,
tablet, minyak ikan omega-3 3 x 2 kapsul minyak ikan omega-3 3 x 2 kapsul
Monitoring :
Monitoring : Klinis, tanda vital setiap 1 minggu sekali Monitoring :
Klinis, tanda vital setiap 1 minggu sekali Analisis asupan setiap hari Klinis, tanda vital setiap 1 minggu sekali
Analisis asupan setiap hari Toleransi rata-rata asupan & kapasitas fungsional Analisis asupan setiap hari
Toleransi rata-rata asupan & kapasitas fungsional setiap satu minggu sekali Toleransi rata-rata asupan & kapasitas fungsional setiap
setiap satu minggu sekali Antropometri 1 minggu sekali satu minggu sekali
Antropometri 1 minggu sekali Antropometri 1 minggu sekali

Kontrol 4 (Radiasi ke 15) Kontrol 5 (Radiasi ke 20) Kontrol 6 (Radiasi ke 25)


S Mual yang memberat, nyeri perut bawah hilang Mual berkurang, nyeri perut bawah hilang timbul, Mual berkurang, diare selama 2 hari, frekuensi 3 kali
timbul, keputihan keputihan per hari, keputihan

O Tampak sakit sedang, kesadaran kompos mentis Tampak sakit sedang, kesadaran kompos mentis Tampak sakit sedang, kesadaran kompos mentis
TD 120/80 mmHg, N 76 x/mnt, P 20 x/mnt, Sb TD 120/80 mmHg, N 80 x/mnt, P 20 x/mnt, Sb afebris TD 110/70 mmHg, N 76 x/mnt, P 20 x/mnt, Sb afebris
afebris
Konjungtiva tidak pucat, sklera tidak ikterik Konjungtiva tidak pucat, sklera tidak ikterik
Konjungtiva tidak pucat, sklera tidak ikterik Jantung : BJ I-II murni, murmur & gallop tidak ada Jantung : BJ I-II murni, murmur & gallop tidak ada
Jantung : BJ I-II murni, murmur & gallop tidak ada Paru: vesikuler, tidak ada ronki dan wheezing Paru: vesikuler, tidak ada ronki dan wheezing
Paru: vesikuler, tidak ada ronki dan wheezing Abdomen : BU (+) normal Abdomen : BU (+) normal
Abdomen : BU (+) normal Ekstremitas : tidak ada edema Ekstremitas : tidak ada edema
Ekstremitas : tidak ada edema Kapasitas fungsional : KPS 90% Kapasitas fungsional : KPS 90%
Kapasitas fungsional : KPS 90%
Laboratorium : Laboratorium :
Laboratorium : Hb 11,0 g/dL, Ht 33,1%, leukosit 12.940/µL, trombosit Hb 11,9 g/dL, Ht 36,0%, leukosit 6.260/µL, trombosit
Hb 11,5 g/dL, Ht 34,8%, leukosit 11.350/µL, 414.000/µL. 278.000/µL.
trombosit 342.000/µL.

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014


107

Terapi DPJP : Terapi DPJP :


Terapi DPJP : Ondansetron 3 x 1 Ondansetron 3 x 1
Ondansetron 3 x 1 Loperamide 2 x 1
Antropometri : TB 145 cm, BB 43,8 kg, IMT= 20,8
Antropometri : TB 145 cm, BB 43,6 kg, IMT= 20,7 kg/m2 Antropometri : TB 145 cm, BB 43,6 kg, IMT= 20,7
kg/m2 kg/m2
Analisis asupan :
Analisis asupan : E (kal) P (g) L (g) KH(g) Analisis asupan :
E (kal) P (g) L (g) KH(g) Makanan 1057 59 36 126 E (kal) P (g) L (g) KH(g)
Makanan 512 34 13 65 biasa Makanan 1132 51 40 144
biasa biasa
A Kanker serviks IIIb, normoweight berisiko Kanker serviks IIIb, normoweight berisiko malnutrisi, Kanker serviks IIIb, normoweight berisiko malnutrisi,
malnutrisi, anemia, leukositosis anemia, leukositosis anemia
P KEB = 1137,2 kal KEB = 1139,1 kal KEB = 1137,2 kal
KET = 1700 kal (FS 1,5) KET = 1700 kal (FS 1,5) KET = 1700 kal (FS 1,5)
Nutrisi diturunkan menjadi 900 kal, P 45 g, L 25 g, Nutrisi diberikan ditingkatkan menjadi 1500 kal, P 68 Nutrisi diberikan ditingkatkan menjadi 1500 kal, P 68
KH 127 g g, L 42 g, KH 213 g g, L 42 g, KH 213 g
Bentuk : makanan lunak dan diet cair komersial Bentuk : makanan biasa dan diet cair komersial Bentuk : makanan biasa dan diet cair komersial
polimerik polimerik polimerik

Jalur : per oral Jalur : per oral Jalur : per oral


Mikronutrien : Multivitamin dan mineral 1 x 1 Mikronutrien : Multivitamin dan mineral 1 x 1 tablet, Mikronutrien : Multivitamin dan mineral 1 x 1 tablet,
tablet, minyak ikan omega-3 3 x 2 kapsul minyak ikan omega-3 3 x 2 kapsul minyak ikan omega-3 3 x 2 kapsul

Monitoring : Monitoring : Monitoring :


Klinis, tanda vital setiap 1 minggu sekali Klinis, tanda vital setiap 1 minggu sekali Klinis, tanda vital setiap 1 minggu sekali
Analisis asupan setiap hari Analisis asupan setiap hari Analisis asupan setiap hari
Toleransi rata-rata asupan & kapasitas fungsional Toleransi rata-rata asupan & kapasitas fungsional Toleransi rata-rata asupan & kapasitas fungsional setiap
setiap satu minggu sekali setiap satu minggu sekali satu minggu sekali
Antropometri 1 minggu sekali Antropometri 1 minggu sekali Antropometri 1 minggu sekali

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014


108

Kontrol 7 (Brakiterapi ke 1) Kontrol 8 (Brakiterapi ke 2) Kontrol 9 (Brakiterapi ke 3)


S Mual, keputihan mulai berkurang Mual berkurang, keputihan berhenti Mual, muntah-muntah dua hari pasca brakiterapi kedua
selama tiga hari
O Tampak sakit sedang, kesadaran kompos mentis Tampak sakit sedang, kesadaran kompos mentis Tampak sakit sedang, kesadaran kompos mentis
TD 110/70 mmHg, N 80 x/mnt, P 20 x/mnt, Sb TD 120/80 mmHg, N 80 x/mnt, P 20 x/mnt, Sb afebris TD 110/70 mmHg, N 76 x/mnt, P 20 x/mnt, Sb afebris
afebris
Konjungtiva tidak pucat, sklera tidak ikterik Konjungtiva tidak pucat, sklera tidak ikterik
Konjungtiva tidak pucat, sklera tidak ikterik Jantung : BJ I-II murni, murmur & gallop tidak ada Jantung : BJ I-II murni, murmur & gallop tidak ada
Jantung : BJ I-II murni, murmur & gallop tidak ada Paru: vesikuler, tidak ada ronki dan wheezing Paru: vesikuler, tidak ada ronki dan wheezing
Paru: vesikuler, tidak ada ronki dan wheezing Abdomen : BU (+) normal Abdomen : BU (+) normal
Abdomen : BU (+) normal Ekstremitas : tidak ada edema Ekstremitas : tidak ada edema
Ekstremitas : tidak ada edema Kapasitas fungsional : KPS 90% Kapasitas fungsional : KPS 90%
Kapasitas fungsional : KPS 90%
Laboratorium : Laboratorium :
Laboratorium : Hb 10,8 g/dL, Ht 33,7%, leukosit 7.510/µL, trombosit Hb 11,9 g/dL, Ht 36,0%, leukosit 6.260/µL, trombosit
Hb 11,2 g/dL, Ht 34,8%, leukosit 6.560/µL, 216.000 /µL. 278.000/µL.
trombosit 240.000/µL.
Terapi DPJP : Terapi DPJP :
Terapi DPJP : Ondansetron 3 x 1 Ondansetron 3 x 1
Ondansetron 3 x 1 Loperamid 2 x 1
Antropometri : TB 145 cm, BB 45,1 kg, IMT= 21,5
Antropometri : TB 145 cm, BB 45 kg, IMT= 21,4 kg/m2 Antropometri : TB 145 cm, BB 44,6 kg, IMT= 21,2
kg/m2 kg/m2

Analisis asupan : Analisis asupan : Analisis asupan :


E (kal) P (g) L (g) KH(g) E (kal) P (g) L (g) KH(g) E (kal) P (g) L (g) KH(g)
Makanan 1314 77 37 167 Makanan 1603 72 39 250 Makanan 1075 64 39 91
biasa biasa biasa
A Kanker serviks III b, normoweight berisiko Kanker serviks III b, normoweight berisiko malnutrisi, Kanker serviks III b, normoweight berisiko malnutrisi,
malnutrisi, anemia anemia anemia

P KEB = 1137,2 kal KEB = 1139,1 kal KEB = 1137,2 kal


KET = 1700 kal (FS 1,5) KET = 1700 kal (FS 1,5) KET = 1700 kal (FS 1,5)
Nutrisi diturunkan menjadi 900 kal, P 45 g, L 25 g, Nutrisi diberikan ditingkatkan menjadi 1500 kal, P 68 Nutrisi diberikan ditingkatkan menjadi 1500 kal, P 68
KH 127 g g, L 42 g, KH 213 g g, L 42 g, KH 213 g

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014


109

Bentuk : makanan biasa dan diet cair komersial Bentuk : makanan biasa dan diet cair komersial Bentuk : makanan biasa dan diet cair komersial
polimerik polimerik polimerik

Jalur : per oral Jalur : per oral Jalur : per oral


Mikronutrien : Multivitamin dan mineral 1 x 1 Mikronutrien : Multivitamin dan mineral 1 x 1 tablet, Mikronutrien : Multivitamin dan mineral 1 x 1 tablet,
tablet, minyak ikan omega-3 3 x 2 kapsul minyak ikan omega-3 3 x 2 kapsul minyak ikan omega-3 3 x 2 kapsul

Monitoring : Monitoring : Monitoring :


Klinis, tanda vital setiap 1 minggu sekali Klinis, tanda vital setiap 1 minggu sekali Klinis, tanda vital setiap 1 minggu sekali
Analisis asupan setiap hari Analisis asupan setiap hari Analisis asupan setiap hari
Toleransi rata-rata asupan & kapasitas fungsional Toleransi rata-rata asupan & kapasitas fungsional Toleransi rata-rata asupan & kapasitas fungsional setiap
setiap satu minggu sekali setiap satu minggu sekali satu minggu sekali
Antropometri 1 minggu sekali Antropometri 1 minggu sekali Antropometri 1 minggu sekali

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014


110

Lampiran 4: Lembar Monitoring Pasien Kasus Ketiga

Kontrol 1 (Radiasi ke 1) Kontrol 2 (Radiasi ke 5) Kontrol 3 (Radiasi ke 12)


S Mual yang sangat berat, nafsu makan menurun Mual yang sangat berat, nafsu makan menurun Mual berkurang, nafsu makan membaik

O Tampak sakit sedang, kesadaran kompos mentis Tampak sakit sedang, kesadaran kompos mentis Tampak sakit sedang, kesadaran kompos mentis
TD 110/70 mmHg, N 80 x/mnt, P 20 x/mnt, Sb TD 110/70 mmHg, N 80 x/mnt, P 20 x/mnt, Sb afebris TD 120/70 mmHg, N 80 x/mnt, P 20 x/mnt, Sb afebris
afebris
Konjungtiva tidak pucat, sklera tidak ikterik Konjungtiva tidak pucat, sklera tidak ikterik
Konjungtiva tidak pucat, sklera tidak ikterik Jantung : BJ I-II murni, murmur & gallop tidak ada Jantung : BJ I-II murni, murmur & gallop tidak ada
Jantung : BJ I-II murni, murmur & gallop tidak ada Paru: vesikuler, tidak ada ronki dan wheezing Paru: vesikuler, tidak ada ronki dan wheezing
Paru: vesikuler, tidak ada ronki dan wheezing Abdomen : BU (+) normal Abdomen : BU (+) normal
Abdomen : BU (+) normal Ekstremitas : tidak ada edema Ekstremitas : tidak ada edema
Ekstremitas : tidak ada edema Kapasitas fungsional : KPS 90% Kapasitas fungsional : KPS 90%
Kapasitas fungsional : KPS 90%
Laboratorium : Laboratorium :
Laboratorium : Hb 10,5 g/dL, Ht 32,6%, leukosit 10.130/µL, trombosit Hb 10,8 g/dL, Ht 32,3%, leukosit 6.960/µL, trombosit
Hb 10,8 g/dL, Ht 33,2%, leukosit 14.040/µL, 486.000/µL, ureum 14 mg/dL, kreatinin 0,7 mg/dL, 335.000/µL, ureum 9 mg/dL, kreatinin 0,8 mg/dL.
trombosit 478.000/µL, ureum 30 mg/dL, kreatinin SGOT 16 U/L, SGPT 5 U/L.
0,7 mg/dL.
Terapi DPJP : Terapi DPJP :
Terapi DPJP : Ondansetron 3 x 1 Ondansetron 3 x 1
Ondansetron 3 x 1 Lansoperazol 1 x 1
Lansoperazol 1 x 1
Antropometri : TB 145 cm, BB 61,2 kg, IMT= 29,1 Antropometri : TB 145 cm, BB 59,3 kg, IMT= 28,2
Antropometri : TB 145 cm, BB 62,1 kg, IMT= 29,6 kg/m2 kg/m2
kg/m2

Analisis asupan : Analisis asupan : Analisis asupan :


E (kal) P (g) L (g) KH(g) E (kal) P (g) L (g) KH(g) E (kal) P (g) L (g) KH(g)
Makanan 502 17 23 61 Makanan 370 36 12 27 Makanan 975 50 31 126
biasa biasa biasa
A Kanker serviks IVb, obes I, anemia, leukositosis, Kanker serviks IVb, obes I, anemia, leukositosis, Kanker serviks IVb, obes I, anemia
trombositosis trombositosis
P KEB = 1144,9 kkal KEB = 1144,9 kkal KEB = 1138,2 kkal

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014


111

KET = 1700 kal (FS 1,5) KET = 1700 kal (FS 1,5) KET = 1700 kal (FS 1,5)
Nutrisi ditberikan sebesar 900 kal, P 45 g, L 25 g, Nutrisi diberikan sebesar 900 kal, P 45 g, L 25 g, KH Nutrisi dinaikkan menjadi 1500 kal, P 68 g, L 42 g,
KH 127 g 127 g KH 213 g
Bentuk : makanan lunak dan diet cair komersial Bentuk : makanan lunak dan diet cair komersial Bentuk : makanan biasa dan diet cair komersial
polimerik polimerik polimerik
Jalur : per oral
Mikronutrien : Multivitamin dan mineral 1 x 1 Jalur : per oral Jalur : per oral
tablet, minyak ikan omega-3 3 x 2 kapsul Mikronutrien : Multivitamin dan mineral 1 x 1 tablet, Mikronutrien : Multivitamin dan mineral 1 x 1 tablet,
minyak ikan omega-3 3 x 2 kapsul minyak ikan omega-3 3 x 2 kapsul
Monitoring :
Klinis, tanda vital setiap 1 minggu sekali Monitoring : Monitoring :
Analisis asupan setiap hari Klinis, tanda vital setiap 1 minggu sekali Klinis, tanda vital setiap 1 minggu sekali
Toleransi rata-rata asupan & kapasitas fungsional Analisis asupan setiap hari Analisis asupan setiap hari
setiap satu minggu sekali Toleransi rata-rata asupan & kapasitas fungsional Toleransi rata-rata asupan & kapasitas fungsional setiap
Antropometri 1 minggu sekali setiap satu minggu sekali satu minggu sekali
Antropometri 1 minggu sekali Antropometri 1 minggu sekali

Kontrol 4 (Radiasi ke 16) Kontrol 5 (Radiasi ke 19) Kontrol 6 (Radiasi ke 24)


S Mual hilang timbul, nafsu makan membaik Mual hilang timbul, nafsu makan membaik Mual hilang timbul, nafsu makan membaik

O Tampak sakit sedang, kesadaran kompos mentis Tampak sakit sedang, kesadaran kompos mentis Tampak sakit sedang, kesadaran kompos mentis
TD 120/80 mmHg, N 80 x/mnt, P 20 x/mnt, Sb TD 120/80 mmHg, N 80 x/mnt, P 20 x/mnt, Sb afebris TD 120/70 mmHg, N 80 x/mnt, P 20 x/mnt, Sb afebris
afebris
Konjungtiva tidak pucat, sklera tidak ikterik Konjungtiva tidak pucat, sklera tidak ikterik
Konjungtiva tidak pucat, sklera tidak ikterik Jantung : BJ I-II murni, murmur & gallop tidak ada Jantung : BJ I-II murni, murmur & gallop tidak ada
Jantung : BJ I-II murni, murmur & gallop tidak ada Paru: vesikuler, tidak ada ronki dan wheezing Paru: vesikuler, tidak ada ronki dan wheezing
Paru: vesikuler, tidak ada ronki dan wheezing Abdomen : BU (+) normal Abdomen : BU (+) normal
Abdomen : BU (+) normal Ekstremitas : tidak ada edema Ekstremitas : tidak ada edema
Ekstremitas : tidak ada edema
Kapasitas fungsional : KPS 90% Kapasitas fungsional : KPS 90% Kapasitas fungsional : KPS 90%

Laboratorium : Laboratorium : Laboratorium :


Hb 10,9 g/dL, Ht 32,7%, leukosit 3.640/µL, Hb 11,3 g/dL, Ht 33,0%, leukosit 4.580/µL, trombosit Hb 10,6 g/dL, Ht 30,2%, leukosit 1.880/µL, trombosit
trombosit 292.000/µL, ureum 15 mg/dL, kreatinin 194.000/µL, ureum 20 mg/dL, kreatinin 0,5 mg/dL 135.000/µL, ureum 20 mg/dL, kreatinin 1,0 mg/dL

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014


112

0,9 mg/dL, LED 90. Terapi DPJP : Terapi DPJP :


Ondansetron 3 x 1 Ondansetron 3 x 1
Terapi DPJP :
Ondansetron 3 x 1 Antropometri : TB 145 cm, BB 57,9 kg, IMT= 27,5 Antropometri : TB 145 cm, BB 56,3 kg, IMT= 26,8
kg/m2 kg/m2
Antropometri : TB 145 cm, BB 58,1 kg, IMT= 27,6
kg/m2 Analisis asupan : Analisis asupan:
E (kal) P (g) L (g) KH(g) E (kal) P (g) L (g) KH(g)
Analisis asupan :
Makanan 1226 50 42 291 Makanan 850 39 25 135
E (kal) P (g) L (g) KH(g) biasa biasa
Makanan 1486 50 42 234
biasa
A Kanker serviks IVb, obes I, anemia, leukopenia Kanker serviks IVb, obes I, anemia, leukopenia Kanker serviks IVb, obes I, anemia, trombositopenia,
leucopenia
P KEB = 1135,2 kkal KEB = 1134,3 kkal KEB = 1130,5 kkal
KET = 1700 kkal (FS 1,5) KET = 1700kkal (FS 1,5) KET = 1700 kkal (FS 1,5)
Nutrisi diberikan sebesar 1700 kal, P 68 g, L 47 g, Nutrisi diturunkan sebesar 1500 kal, P 68 g, L 42 g, Nutrisi diturunkan sebesar 1200 kal, P 59 g, L 33 g, KH
KH 215 g KH 213 g 167 g
Bentuk : makanan biasa dan diet cair komersial Bentuk : makanan biasa dan diet cair komersial Bentuk : makanan biasa dan diet cair komersial
polimerik polimerik polimerik

Jalur : per oral Jalur : per oral Jalur : per oral


Mikronutrien : Multivitamin dan mineral 1 x 1 Mikronutrien : Multivitamin dan mineral 1 x 1 tablet, Mikronutrien : Multivitamin dan mineral 1 x 1 tablet,
tablet, minyak ikan omega-3 3 x 2 kapsul minyak ikan omega-3 3 x 2 kapsul minyak ikan omega-3 3 x 2 kapsul

Monitoring : Monitoring : Monitoring :


Klinis, tanda vital setiap 1 minggu sekali Klinis, tanda vital setiap 1 minggu sekali Klinis, tanda vital setiap 1 minggu sekali
Analisis asupan setiap hari Analisis asupan setiap hari Analisis asupan setiap hari
Toleransi rata-rata asupan & kapasitas fungsional Toleransi rata-rata asupan & kapasitas fungsional Toleransi rata-rata asupan & kapasitas fungsional setiap
setiap satu minggu sekali setiap satu minggu sekali satu minggu sekali
Antropometri 1 minggu sekali Antropometri 1 minggu sekali Antropometri 1 minggu sekali

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014


113

Lampiran 5: Lembar Monitoring Pasien Kasus Keempat

Kontrol 1 (Radiasi ke 5) Kontrol 2 (Radiasi ke 11) Kontrol 3 (Radiasi ke 16)


S Mual hilang timbul, perdarahan pervaginam Mual berkurang, diare selama dua hari, frekuensi 2–3 Mual berkurang, nafsu makan membaik, perdarahan per
berkurang kali sehari, perdarahan pervaginam berkurang vaginam berkurang

O Tampak sakit sedang, kesadaran kompos mentis Tampak sakit sedang, kesadaran kompos mentis Tampak sakit sedang, kesadaran CM
TD 120/70 mmHg, N 76 x/mnt, P 20 x/mnt, Sb TD 120/80 mmHg, N 80 x/mnt, P 20 x/mnt, Sb afebris TD 130/80 mmHg, N 80 x/menit, P 20 x/menit, Sb
afebris afebris
Konjungtiva tidak pucat, sklera tidak ikterik
Konjungtiva tidak pucat, sklera tidak ikterik Jantung : BJ I-II murni, murmur & gallop tidak ada Konjungtiva tidak pucat, sklera tidak ikterik
Jantung : BJ I-II murni, murmur & gallop tidak ada Paru: vesikuler, tidak ada ronki dan wheezing Jantung : BJ I-II murni, murmur & gallop tidak ada
Paru: vesikuler, tidak ada ronki dan wheezing Abdomen : BU (+) normal Paru: vesikuler, tidak ada ronki dan wheezing
Abdomen : BU (+) normal Ekstremitas : tidak ada edema Abdomen : BU (+) normal
Ekstremitas : tidak ada edema Kapasitas fungsional : KPS 90% Ekstremitas : tidak ada edema
Kapasitas fungsional : KPS 90% Kapasitas fungsional : KPS 90%
Laboratorium :
Laboratorium : Hb 11,0 g/dL, Ht 32,3%, leukosit 9.654/µL, trombosit Laboratorium :
Hb 10,6 g/dL, Ht 32,4%, leukosit 9.340/µL, 300.000/µL Hb 10,9 g/dL, Ht 32,2%, leukosit 10.370/µL, trombosit
trombosit 369.000/µL. 353.000/µL
Terapi DPJP :
Terapi DPJP : Ondansetron 3 x 1 Terapi DPJP :
Ondansetron 3 x 1 Loperamid 2 x 1 Ondansetron 3 x 1

Antropometri : TB 148 cm, BB 57,5 kg, IMT= Antropometri : TB 148 cm, BB 57,0 kg, IMT= 26,0 Antropometri : TB 148 cm, BB 58,0 kg, IMT= 26,5
26,3 kg/m2 kg/m2 kg/m2

Analisis asupan : Analisis asupan : Analisis asupan :


E (kal) P (g) L (g) KH (g) E (kal) P (g) L (g) KH (g) E (kal) P (g) L (g) KH (g)
Makanan 1487 69 56 183 Makanan 1527 65 80 151 Makanan 1619 72 81 156
biasa biasa biasa
A Kanker serviks IIIb, obes I, anemia Kanker serviks IIIb, obes I, anemia Kanker serviks IIIb, obes I, anemia, leukositosis
P KEB = 1175,4 kkal KEB = 1175,4 kkal KEB = 1175,4 kkal

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014


114

KET = 1800 kkal (FS 1,5) KET = 1800 kkal (FS 1,5) KET = 1800 kkal (FS 1,5)

Nutrisi diberikan sebesar 1800 kal, P 72 g, L 50 g, Nutrisi diberikan sebesar 1800 kal, P 72 g, L 50 g, KH Nutrisi diberikan sebesar 1800 kal, P 72 g, L 50 g, KH
KH 266 g 266 g 266 g
Bentuk : makanan biasa dan diet cair komersial Bentuk : makanan biasa dan diet cair komersial Bentuk : makanan biasa dan diet cair komersial
polimerik polimerik polimerik

Jalur : per oral Jalur : per oral Jalur : per oral


Mikronutrien : Multivitamin dan mineral 1 x 1 Mikronutrien : Multivitamin dan mineral 1 x 1 tablet, Mikronutrien : Multivitamin dan mineral 1 x 1 tablet,
tablet, minyak ikan omega-3 3 x 2 kapsul minyak ikan omega-3 3 x 2 kapsul minyak ikan omega-3 3 x 2 kapsul

Monitoring : Monitoring : Monitoring :


Klinis, tanda vital setiap 1 minggu sekali Klinis, tanda vital setiap 1 minggu sekali Klinis, tanda vital setiap 1 minggu sekali
Analisis asupan setiap hari Analisis asupan setiap hari Analisis asupan setiap hari
Toleransi rata-rata asupan & kapasitas fungsional Toleransi rata-rata asupan & kapasitas fungsional Toleransi rata-rata asupan & kapasitas fungsional setiap
setiap satu minggu sekali setiap satu minggu sekali satu minggu sekali
Antropometri 1 minggu sekali Antropometri 1 minggu sekali Antropometri 1 minggu sekali

Kontrol 4 (Radiasi ke 21) Kontrol 5 (Brakiterapi ke 1) Kontrol 6 (Brakiterapi ke 2)


S Mual bertambah, perdarahan per vaginam Mual berkurang, nyeri perut bawah hilang timbul, Mual berkurang, perdarahan pervaginam berkurang,
berkurang perdarahan per vaginam berkurang keputihan

O Tampak sakit sedang, kesadaran CM Tampak sakit sedang, kesadaran CM Tampak sakit sedang, kesadaran CM
TD 110/70 mmHg, N 80 x/menit, P 16 x/menit, Sb TD 110/70 mmHg, N 83 x/menit, P 18 x/menit, Sb TD 120/70 mmHg, N 80 x/menit, P 16 x/menit, Sb
afebris afebris afebris

Konjungtiva tidak pucat, sklera tidak ikterik Konjungtiva tidak pucat, sklera tidak ikterik Konjungtiva tidak pucat, sklera tidak ikterik
Jantung : BJ I-II murni, murmur & gallop tidak ada Jantung : BJ I-II murni, murmur & gallop tidak ada Jantung : BJ I-II murni, murmur & gallop tidak ada
Paru: vesikuler, tidak ada ronki dan wheezing Paru: vesikuler, tidak ada ronki dan wheezing Paru: vesikuler, tidak ada ronki dan wheezing
Abdomen : BU (+) normal Abdomen : BU (+) normal Abdomen : BU (+) normal
Ekstremitas : tidak ada edema Ekstremitas : tidak ada edema Ekstremitas : tidak ada edema
Kapasitas fungsional : KPS 90% Kapasitas fungsional : KPS 90% Kapasitas fungsional : KPS 90%

Laboratorium : Laboratorium : Laboratorium :

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014


115

Hb 12,7 g/dL, Ht 39,1%, leukosit 5.090/µL, Hb 10,3 g/dL, Ht 32,4%, leukosit 8.300/µL, trombosit Hb 10,0 g/dL, Ht 31,8%, leukosit 7.150/µL, trombosit
trombosit 308.000/µL. 335.000/µL. 362.000/µL.
Terapi DPJP : Terapi DPJP : Terapi DPJP :
Ondansetron 3 x 1 Ondansetron 3 x 1 Ondansetron 3 x 1

Antropometri : TB 148 cm, BB 57,5 kg, IMT= 26,3 Antropometri : TB 148 cm, BB 56,0 kg, IMT= 25,6 Antropometri : TB 148 cm, BB 57,0 kg, IMT= 26,0
kg/m2 kg/m2 kg/m2

Analisis asupan : Analisis asupan : Analisis asupan :


E (kal) P (g) L (g) KH E (kal) P (g) L (g) KH (g) E (kal) P (g) L (g) KH (g)
(g) Makanan 1410 65 48 168 Makanan 1872 77 71 244
Makanan 1116 57 45 123 biasa biasa
biasa
A Kanker serviks IIIb, obes I Kanker serviks IIIb, obes I, anemia Kanker serviks IIIb, obes I, anemia
P KEB = 1175,4 kkal KEB = 1175,4 kkal KEB = 1175,4 kkal
KET = 1800 kkal (FS 1,5) KET = 1800 kkal (FS 1,5) KET = 1800 kkal (FS 1,5)

Nutrisi diberikan sebesar 1500 kal, P 72 g, L 50 g, Nutrisi diberikan sebesar 1800 kal, P 72 g, L 50 g, KH Nutrisi diberikan sebesar 1800 kal, P 72 g, L 50 g, KH
KH 191 g 266 g 266 g
Bentuk : makanan biasa dan diet cair komersial Bentuk : makanan biasa dan diet cair komersial Bentuk : makanan biasa dan diet cair komersial
polimerik polimerik polimerik

Jalur : per oral Jalur : per oral Jalur : per oral


Mikronutrien : Multivitamin dan mineral 1 x 1 Mikronutrien : Multivitamin dan mineral 1 x 1 tablet, Mikronutrien : Multivitamin dan mineral 1 x 1 tablet,
tablet, minyak ikan omega-3 3 x 2 kapsul minyak ikan omega-3 3 x 2 kapsul minyak ikan omega-3 3 x 2 kapsul

Monitoring : Monitoring : Monitoring :


Klinis, tanda vital setiap 1 minggu sekali Klinis, tanda vital setiap 1 minggu sekali Klinis, tanda vital setiap 1 minggu sekali
Analisis asupan setiap hari Analisis asupan setiap hari Analisis asupan setiap hari
Toleransi rata-rata asupan & kapasitas fungsional Toleransi rata-rata asupan & kapasitas fungsional Toleransi rata-rata asupan & kapasitas fungsional setiap
setiap satu minggu sekali setiap satu minggu sekali satu minggu sekali
Antropometri 1 minggu sekali Antropometri 1 minggu sekali Antropometri 1 minggu sekali

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014


116

Kontrol 7 (Brakiterapi ke 3)
S Mual berkurang, perdarahan per vaginam
berkurang, keputihan
O Tampak sakit sedang, kesadaran CM
TD 110/70 mmHg, N 80 x/menit, P 16 x/menit, Sb
afebris
Konjungtiva tidak pucat, sklera tidak ikterik
Jantung : BJ I-II murni, murmur & gallop tidak ada
Paru: vesikuler, tidak ada ronki dan wheezing
Abdomen : BU (+) normal
Ekstremitas : tidak ada edema
Kapasitas fungsional : KPS 90%

Laboratorium :
Hb 11,0 g/dL, Ht 33,3%, leukosit 9.740/µL,
trombosit 428.000/µL.

Terapi DPJP :
Ondansetron 3 x 1

Antropometri : TB 148 cm, BB 56,2 kg, IMT= 25,7


kg/m2

Analisis asupan :
E (kal) P (g) L (g) KH (g)
Makanan 1716 73 74 190
biasa
A Kanker serviks IIIb, obes I, anemia, trombositosis
P KEB = 1175,4 kkal
KET = 1800 kkal (FS 1,5)
Nutrisi diberikan sebesar 1800 kal, P 72 g, L 50 g,
KH 266 g
Bentuk : makanan biasa dan diet cair komersial

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014


117

polimerik
Jalur : per oral
Mikronutrien : Multivitamin dan mineral 1 x 1
tablet, minyak ikan omega-3 3 x 2 kapsul

Monitoring :
Klinis, tanda vital setiap 1 minggu sekali
Analisis asupan setiap hari
Toleransi rata-rata asupan & kapasitas fungsional
setiap satu minggu sekali
Antropometri 1 minggu sekali

Universitas Indonesia

Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014

Anda mungkin juga menyukai