Anda di halaman 1dari 4

Kesultanan Buton terletak di Kepulauan Buton (Kepulauan Sulawesi Tenggara) Provinsi Sulawesi

tenggara, di bagian tenggara Pulau Sulawesi . Pada zaman dahulu memiliki kerajaan sendiri yang
bernama kerajaan Buton dan berubah menjadi bentuk kesultanan yang dikenal dengan nama
Kesultanan Buton. Nama Pulau Buton dikenal sejak zaman pemerintahan Majapahit, Patih Gajah
Mada dalam Sumpah Palapa, menyebut nama Pulau Buton.

Pemerintahan Sunting

Kerajaan Buton berdiri tahun 1332 M. Awal pemerintahan dipimpin seorang perempuan bergelar
Ratu Wa Kaa Kaa. Kemudian raja kedua pun perempuan yaitu Ratu Bulawambona. Setelah dua raja
perempuan, dilanjutkan Raja Bataraguru, Raja Tuarade, Raja Rajamulae, dan terakhir Raja Murhum.
Ketika Buton memeluk agama Islam, maka Raja Murhum bergelar Sultan Murhum.

Kerajaan Buton didirikan atas kesepakatan tiga kelompok atau rombongan yang datang secara
bergelombang. Gelombang pertama berasal dari kerajaan Sriwijaya. Kelompok berikutnya berasal
dari Kekaisaran Cina dan menetap di Buton. Kelompok ketiga berasal dari Kerajaan Majapahit.
Sistem kekuasaan di Buton ini bisa dibilang menarik karena konsep kekuasaannya tidak serupa
dengan konsep kekuasaan di kerajaan-kerajaan lain di nusantara. Struktur kekuasaan kesultanan
ditopang dua golongan bangsawan: golongan Kaomu dan Walaka. Wewenang pemilihan dan
pengangkatan sultan berada di tangan golongan Walaka, namun yang menjadi sultan harus dari
golongan Kaomu. Jadi bisa dikatakan kalau seorang raja dipilih bukan berdasarkan keturunan, tetapi
berdasarkan pilihan di antara yang terbaik.

Kelompok Walaka yang merupakan keturunan dari Si Panjonga memiliki tugas untuk mengumpulkan
bibit-bibit unggul untuk dilatih dan dididik sedemikian rupa sehingga para calon raja memiliki bekal
yang cukup ketika berkuasa nanti. Berdasarkan penelitian, Ratu Waa Kaa Kaa adalah proyek
percobaan pertama kelompok Walaka ini Selain sistem pemilihan raja yang unik, sistem
pemerintahannya juga bisa dikatakan lebih maju dari jamannya. Sistem pemerintahan
kerajaan/kesultanan Buton dibagi dalam tiga bentuk kekuasaan. Sara Pangka sebagai lembaga
eksekutif, Sara Gau sebagai lembaga legislatif, dan Sara Bhitara sebagai lembaga yudikatif. Beberapa
ahli berani melakukan klaim kalau sistem ini sudah muncul seratus tahun sebelum Montesquieu
mencetuskan konsep trias politica Peraturan hukum diterapkan tanpa diskriminasi, berlaku sama
bagi rakyat jelata hingga sultan. Sebagai bukti, dari 38 orang sultan yang pernah berkuasa di Buton,
12 di antaranya diganjar hukuman karena melanggar sumpah jabatan. Dan hukumannya termasuk
hukuman mati majelis rakyat Kesultanan Buton adalah lambang demokrasi Kesultanan Buton. di sini
dirumuskan berbagai program kesultanan dan juga tempat untuk melaksanakan proses pemilihan
sultan berdasarkan aspirasi masyarakat Buton.

Pembagian kelompok di majelis yang diatur dalam UU yang disebut Tutura ini adalah sebagai
berikut:

Eksekutif = Sara Pangka


Legislatif = Sara Gau

Yudikatif = Sara Bitara

Ada 114 anggota majelis Sara buton yang terdiri dari 3 fraksi

Fraksi rakyat = Beranggotakan 30 menteri/bonto ditambah 2 menteri besar yang juga mewakili
pemukiman-pemukiman di wilayah Buton.

Fraksi pemerintahan = Pangka, Bobato, lakina Kadie yang mewakili pemerintahan.

Fraksi Agama = Diwakili oleh pejabat lingkungan sarakidina/sarana hukumu yang berkonsentrasi di
masjid agung kesultanan Buton.

Politik Sunting

Masa pemerintahan Kerajaan Buton mengalami kemajuan terutama bidang Politik Pemerintahan
dengan bertambah luasnya wilayah kerajaan serta mulai menjalin hubungan Politik dengan Kerajaan
Majapahit, Luwu, Konawe, dan Muna. Demikian juga bidang ekonomi mulai diberlakukan alat tukar
dengan menggunakan uang yang disebut Kampua (terbuat dari kapas yang dipintal menjadi benang
kemudian ditenun secara tradisional menjadi kain). Memasuki masa Pemerintahan Kesultanan juga
terjadi perkembangan diberbagai aspek kehidupan antara lain bidang politik dan pemerintahan
dengan ditetapkannya Undang-Undang Dasar Kesultanan Buton yaitu “Murtabat Tujuh” yang di
dalamnya mengatur fungsi, tugas dan kedudukan perangkat kesultanan dalam melaksanakan
pemerintahan serta ditetapkannya Sistem Desentralisasi (otonomi daerah) dengan membentuk 72
Kadie (Wilayah Kecil).

Masyarakat Sunting

Masyarakat Buton terdiri dari berbagai suku bangsa. Mereka mampu mengambil nilai-nilai yang
menurut mereka baik untuk diformulasikan menjadi sebuah adat baru yang dilaksanakan di dalam
pemerintahan kerajaan/kesultanan Buton itu sendiri. Berbagai kelompok adat dan suku bangsa
diakui di dalam masyarakat Buton. Berbagai kebudayaan tersebut diinkorporasikan ke dalam budaya
mereka. Kelompok yang berasal dari Tiongkok diakui dalam adat mereka. Kelompok yang berasal
dari Jawa juga diakui oleh masyarakat Buton. Di sana terdapat Desa Majapahit, dan dipercaya oleh
masyarakat sekitar bahwa para penghuni desa tersebut memang berasal dari Majapahit. Mereka
sampai di sana karena perdagangan rempah-rempah. Dengan membuat pemukiman di sana, mereka
dapat mempermudah akses dalam memperolah dan memperdagangkan rempah-rempah ke pulau
Jawa. Beberapa peninggalan mereka adalah berupa gamelan yang sangat mirip dengan gamelan
yang terdapat di Jawa.

Imam-imam yang menjabat di dalam dewan agama juga dipercaya merupakan keturunan Arab.
Mereka dengan pengetahuan agamanya diterima oleh masyarakat Buton dan dipercaya sebagai
pemimpin di dalam bidang agama. Berbagai suku dan adat tersebut mampu bersatu secara baik di
dalam kerajaan/kesultanan Buton. Apabila kita melihat kerajaan/kesultanan lain, perbedaan itu
seringkali memunculkan konflik yang berujung kepada perang saudara, bahkan perang agama.
Sedangkan di Buton sendiri tercatat tidak pernah terjadi perang antara satu kelompok dengan
kelompok lain, terutama bila menyangkut masalah suku dan agama.

Dapat dikatakan bahwa seluruh golongan di buton merupakan pendatang. Mereka menerapkan
sistem yang berdasarkan musyawarah. Para perumus sistem kekuasaan atau sistem adat di Buton
juga berasal dari berbagai kelompok suku dan agama. Ada yang berasal dari semenanjung Malaysia,
Si Tamanajo yang berasal dari Kerajaan Pagaruyung. Ada pula yang berasal dari Jawa yaitu Sri Batara
dan Raden Jutubun yang merupakan putra dari Jayanegara.

Seluruh golongan tersebut berasal dari kerajaan yang otoriter dan menerapkan sistem putera
mahkota. Hampir semua peralihan kekuasaan tersebut dilakukan dengan kudeta. Di kerajaan Buton
hal tersebut tidak pernah terjadi. Asumsinya, berdasarkan pengalaman pahit dalam jatuh-bangunnya
pemerintahan tersebut, maka mereka yang berkumpul di tanah Buton tersebut merumuskan suatu
sistem yang mampu melakukan peralihan kekuasaan tanpa harus melalui pahitnya kudeta maupun
perang saudara.

Mereka berkumpul di tanah Buton sejak Gajah Mada mengumumkan sumpah palapa-nya. Pada
masa itu Kerajaan Sriwijaya mengalami kemunduran. Begitu juga Kerajaan Singosari. Seluruh raja-
raja dan panglima yang tidak takluk pada Kerajaan Majapahit akan dijadikan budak. Pilihan mereka
adalah dengan melarikan diri menuju tempat yang aman. Pulau Buton menjadi salah satu lokasi
dimana beberapa pelarian tersebut singgah dan menetap.

Hukum Sunting

Hukum dijalankan sangat tegas dengan tidak membedakan baik aparat pemerintahan maupun
masyarakat umum. Hal ini terlihat dari ke 38 orang sultan yang memerintah di Buton, 12 orang
menyalahgunakan kekuasaan dan melanggar sumpah jabatan dan satu di antaranya yaitu Sultan ke -
VIII Mardan Ali, diadili dan diputuskan untuk dihukum mati dengan cara leher dililit dengan tali
sampai meninggal yang dalam Bahasa Wolio dikenal dengan istilah digogoli.

Bidang Pertahanan Sunting

Bidang Pertahanan Keamanan ditetapkannya Sistem Pertahanan Rakyat Semesta dengan falsafah
perjuangan yaitu:

“Yinda Yindamo Arata somanamo Karo” (Harta rela dikorbankan demi keselamatan diri)

“Yinda Yindamo Karo somanamo Lipu” (Diri rela dikorbankan demi keselamatan negeri)
“Yinda Yindamo Lipu somanamo Sara” (Negeri rela dikorbankan demi keselamatan pemerintah)

“Yinda Yindamo Sara somanamo Agama” (Pemerintah rela dikorbankan demi keselamatan agama)

Disamping itu juga dibentuk sistem pertahanan berlapis yaitu empat Barata (Wuna, Tiworo, Kulisusu
dan Kaledupa), empat matana sorumba (Wabula, Lapandewa, Watumotobe dan Mawasangka) serta
empat orang Bhisa Patamiana (pertahanan kebatinan).

Selain bentuk pertahanan tersebut maka oleh pemerintah kesultanan, juga mulai membangun
benteng dan kubu–kubu pertahanan dalam rangka melindungi keutuhan masyarakat dan
pemerintah dari segala gangguan dan ancaman. Kejayaan masa Kerajaan/Kesultanan Buton (sejak
berdiri tahun 1332 dan berakhir tahun 1960) berlangsung ± 600 tahun lamanya telah banyak
meninggalkan warisan masa lalu yang sangat gemilang, sampai saat ini masih dapat kita saksikan
berupa peninggalan sejarah, budaya dan arkeologi. Wilayah bekas Kesultanan Buton telah berdiri
beberapa daerah kabupaten dan kota yaitu: Dengan wacana pembentukan Provinsi Kepulauan
Buton yang terdiri dari Kabupaten Buton, Kabupaten Wakatobi, Kabupaten Buton Utara, Kota Bau-
Bau, Kabupaten Buton Selatan, dan Kabupaten Buton Tengah. Serta tiga daerah yang masuk dalam
Provinsi Sulawesi Tenggara Kabupaten Konawe Kepulauan, Kabupaten Bombana, Kabupaten Muna.

Anda mungkin juga menyukai