Anda di halaman 1dari 19

DISTRIBUSI FREKUENSI, DISTRIBUSI NORMAL,

SYARAT DISTRIBUSI NORMAL, DAN UJI NORMALITAS

Jejer Wayang:
 Setelah rehat sejenak sambil menikmati kembali spesialty coffee ‘Durjo-Jember’, dan
juga menyantap jajanan ‘lorjuk’ kiriman sahabat dari Pulau Garam-Madura, Raden
Wisanggeni (WG) dan Raden Ontoseno (OS) melanjutkan kembali diskusinya.

 Pada babak diskusi ini dibicarakan tentang ‘distribusi frekuensi, distribusi normal,
syarat distribusi normal, dan uji statistik normalitas gugus data’. Lalu, apa saja isi
dialog dalam diskusi yang dilakukan oleh kedua tokoh wayang ini? Diantaranya
mengalir sebagai berikut:

WG : Kakang Ontoseno, guna mengawali diskusi kita tentang „distribusi frekuensi,


distribusi normal, dan syarat-syarat distribusi normal‟, ada baiknya disimak
dahulu gugusan data sebagaimana tampak pada Tabel 1.

Tabel 1.
Jumlah Kepemilikan Entok (Ekor) per Keluarga Petani (KK) yang Menjadi
Anggota Kelompok Tani Kanjeng Tiban, di Kelurahan Antirogo –
Kecamatan Sumbersari -Kabupaten Jember

68 56 78 70 67 63 75 68 66 72
66 60 47 54 76 38 54 64 41 57
72 54 50 50 73 52 54 57 67 57
62 60 59 62 71 59 75 70 93 72
63 69 67 67 69 69 62 67 79 89
70 77 85 91 56 59 65 64 36 65
47 46 81 48 45 86 95 71 81 73
57 55 50 43 56 42 82 77 83 66

Gugusan data pada Tabel 1 tersebut menunjukkan jumlah kepemilikan ternak


unggas entok (ekor) dari sampel 80 kepala keluarga (KK) petani yang menjadi
anggota Kelompok Tani Kanjeng Tiban, di Kelurahan Antirogo - Kecamatan
Sumbersari - Kabupaten Jember.

1
Nah, sekarang coba jelaskan, sekiranya data tersebut mendiskripsikan atau
menginformasikan tentang karakteristik apa?

OS : Hmm, saya hanya bisa menceritakan bahwa jumlah kepemilikan entok terkecil
adalah sebanyak 35 ekor. Jumlah kepemilikan entok terbesar adalah sebanyak
95 ekor.

WG : Cuma itu saja informasi karakteristiknya? Tidak ada tambahan informansi


lain?

OS : Tidak, tidak ada. Itu saja yang bisa saya identifikasikan.

WG : Kakang Ontoseno betul. Kita memang tidak bisa berceritera banyak tentang
gugus data sebagaimana tampak pada Tabel 1 tersebut. Sebab masih berupa
raw data (data mentah) dari hasil pengamatan yang belum di-aray.
Belum di-aray, artinya belum diurutkan dari data yang nilainya terkecil hingga
ke data nilainya tertinggi, atau sebaliknya dari data yang nilainya tertinggi ke
data yang nilainya terendah.

OS : Jika demikian, bagaimana caranya agar saya dapat menceritakan lebih banyak
tentang karakteristik gugus data sebagaimana tampak pada Tabel 1 tersebut?

WG : Langkah awal yang harus dilakukan adalah dengan menyusun „distribusi


frekuensinya‟ terlebih dahulu. Sebagaimana telah kita diskusikan pada babak
sebelumnya, bahwa tahapan awal guna menyusun distribusi frekuensi ini
adalah dengan menentukan: (a) rentang (range) data, (b) banyaknya interval
kelas, dan (c) panjang kelas atau lebar kelas dari masing-masing interval
kelas.
Range atau Rentang Data:

Range, dilambangkan dengan R. Menunjukkan jarak atau „selisih‟ dari nilai


data tertinggi dengan nilai data terendah, kemudian „ditambah‟ dengan 1
(satu).

→ R = ((data tertinggi – data terendah) + 1)).

Pada Tabel 1 tersebut nilai data tertinggi = 95, dan nilai data terendah = 36.
Maka nilai range-nya:

→ R = (95 - 36) + 1 = 60

Banyaknya Interval Kelas:

Banyaknya interval kelas yang dihadirkan dapat dihitung dengan „rumus


Sturges‟. Yaitu sebagai berikut:

2
→ Ik = (1 + 3,322 log n).
Dimana:
Ik = Banyaknya interval kelas
n = Jumlah keseluruhan anggota data pada gugus data

Merujuk pada Tabel 1 tersebut, maka banyaknya interval kelas yang dapat
dihadirkan adalah:

→ Ik = 1 + 3,322 log 80.


→ Ik = 1 + 3,322 (1,9031)
→ Ik = 1 + 6,322
→ Ik = 7,322 .......... dapat dibulatkan menjadi 7.

Panjang Kelas atau Lebar Kelas:


Panjang kelas atau lebar kelas dari masing-masing interval kelas, dapat
ditentukan dengan menggunakan rumus:

→ Pj = (R/Ik).
Dimana:
Pj = Panjang kelas atau lebar kelas
R = Range atau rentang data
Ik = Banyaknya interval kelas

Merujuk pada Tabel 1, maka pajang kelasnya atau lebarkelasnya adalah:

→ Pj = (R/Ik)
→ Pj = (60/7)
→ Pj = 8,57 ............ dapat dibulatkan menjadi = 9.
Setelah kesemuanya ditentukan (range, interval kelas, panjang kelas), maka
langkah selanjutnya adalah menentukan: (a) titik tengah interval kelas, dan
(b) batas „nyata‟ interval kelas, baik itu batas bawah nyata (lower real limit)
dan batas atas nyata (upper real limit), dari setiap interval kelas yang ada.

Titik Tengah Interval Kelas:


Titik tengah interval kelas, ditentukan dengan rumus:
→ mi = ((batas bawah semu kelas + batas atas semu kelas)/2)),
atau:
→ mi = 1/2 (batas bawah semu kelas + batas atas semu kelas).

Dimana:
mi = Titik tengah interval kelas

3
Tabel 2.
Interval Kelas, Batas Bawah Semu dan Batas Atas Semu Interval Kelas, Serta
Titik Tengah Interval Kelas, pada Gugus Data Jumlah Kepemilikan Entok (Ekor)
per Keluarga Petani (KK) yang Menjadi Anggota Kelompok Tani Kanjeng Tiban,
di Kelurahan Antirogo - Kecamatan Sumbersari - Kabupaten Jember

Interval Batas ‘Semu’ Nilai Tengah


Kelas Interval Kelas Interval Kelas
(Ik) Batas Bawah Batas Atas (mi)
35 - 43 35 43 39 → ½ (35 + 43) = ½ (78)
44 - 52 44 52 48 → ½ (44 + 52) = ½ (96)
53 - 61 53 61 57 → ½ (53 + 61) = ½ (114)
62 - 70 62 70 66 → ½ (62 + 70) = ½ (132)
71 - 79 71 79 75 → ½ (71 + 79) = ½ (150)
80 - 88 80 88 84 → ½ (80 + 88) = ½ (168)
89 - 97 89 97 93 → ½ (89 + 97) = ½(186)

Batas Nyata Kelas:


Batas bawah „nyata‟ (lower real limit) suatu interval kelas, adalah batas bawah
„semu‟ kelas tersebut, „dikurangi‟ dengan setengah dari satuan terkecil data
yang menjadi batas bawah „semu‟ kelas itu.
Adapun batas atas „nyata‟ (upper real limit) suatu interval kelas, adalah batas
atas „semu‟ kelas tersebut, „ditambah‟ dengan setengah dari satuan terkecil data
yang menjadi batas atas „semu‟ kelas itu.
Cara penentuan batas bawah „nyata‟ kelas dan batas atas „nyata‟ kelas adalah
sebagaimana dapat lebih dicermati pada Tabel 3.

Tabel 3.
Interval Kelas, Batas Bawah Semu dan Batas Atas Semu Interval Kelas,
Serta Batas Bawah Nyata dan Batas Atas Nyata Interval Kelas, pada Gugus Data Jumlah
Kepemilikan Entok (Ekor) per Keluarga Petani (KK) yang Menjadi Anggota Kelompok Tani
Kanjeng Tiban, di Kelurahan Antirogo - Kecamatan Sumbersari - Kabupaten Jember

Interval Kelas Batas ‘Semu’ Interval Kelas Batas ‘Nyata’ Interval Kelas
(Ik) Batas Bawah Batas Atas Batas Bawah Batas Atas
35 - 43 35 - 43 34,5 - 43,5
44 - 52 44 - 52 43,5 - 52,5
53 - 61 53 - 61 52,5 - 61,5
62 - 70 62 - 70 61,5 - 70,5
71 - 79 71 - 79 70,5 - 79,5
80 - 88 80 - 88 79,5 - 88,5
89 - 97 89 - 97 88,5 - 97,5
Keterangan:
1. Batas nyata bawah kelas maupun batas atas nyata kelas, menjadi penting apabila data-data
berwujud „desimal‟ (nol koma).
2. Nilai batas kelas nyata atas pada interval kelas sebelumnya, akan sekaligus menjadi nilai
batas kelas bawah nyata pada interval kelas selajutnya.

4
Frekuensi:
Setelah penentuan batas bawah nyata dan batas atas nyata interval kelas selesai
dilakukan, langkah selanjutnya adalah menghitung dan menentukan frekuensi
(fi) yang muncul di masing-masing interval kelas.
Terkait dengan ini, Kakang Ontoseno dapat lebih mencermati Tabel 4.

Tabel 4.
Interval Kelas, Batas Nyata Interval Kelas, Nilai Tengah Interval Kelas, Frekuensi Interval
Kelas, Serta Frekuensi Kommulatif, pada Gugus Data Jumlah Kepemilikan Entok (Ekor)
per Keluarga Petani (KK) yang Menjadi Anggota Kelompok Tani Kanjeng Tiban,
di Kelurahan Antirogo - Kecamatan Sumbersari - Kabupaten Jember

Interval Nilai Frekuensi


Batas Nyata Frekuensi
Kelas Tengah Komulatif
Interval Kelas
(Ik) (mi) (fi) (fk)
35 - 43 34,5 - 43,5 39 5 5
44 - 52 43,5 - 52,5 48 9 14
53 - 61 52,5 - 61,5 57 17 31
62 - 70 61,5 - 70,5 66 26 57
71 - 79 70,5 - 79,5 75 14 71
80 - 88 79,5 - 88,5 84 5 76
89 - 97 88,5 - 97,5 93 4 80

Dengan menggunakan informasi frekuensi di masing-masing interval kelas ini,


selanjutnya akan dapat ditentukan pula frekuensi komulatifnya (fk) maupun
frekuensi relatifnya (fr).
Terkait dengan ini, Kakang Ontoseno dapat lebih mencermati Tabel 4, Tabel 5,
dan Tabel 6.

Tabel 5.
Interval Kelas, Batas Nyata Interval Kelas, Nilai Tengah Interval Kelas, Frekuensi
Interval Kelas, Frekuensi Relatif, serta Frekuensi Relatif Komulatif, pada Gugus
Data Jumlah Kepemilikan Entok (Ekor) per Keluarga Petani (KK) yang Menjadi
Anggota Kelompok Tani Kanjeng Tiban, di Kelurahan Antirogo –
Kecamatan Sumbersari - Kabupaten Jember

Interval Nilai Frekuensi Frekuensi Relatif


Batas Nyata Frekuensi
Kelas Tengah Relataif (%) Komulatif (%)
Interval Kelas
(Ik) (mi) (fi) (fr) (frk)
35 - 43 34,5 - 43,5 39 5 6,25 6,25
44 - 52 43,5 - 52,5 48 9 11,25 17,50
53 - 61 52,5 - 61,5 57 17 21,25 38,75
62 - 70 61,5 - 70,5 66 26 32,50 71,25
71 - 79 70,5 - 79,5 75 14 17,50 88,75
80 - 88 79,5 - 88,5 84 5 6,25 95,00
89 - 97 88,5 - 97,5 93 4 5,00 100,00

5
Tabel 6.
Interval Kelas, Batas Nyata Interval Kelas, Nilai Tengah Interval Kelas, Frekuensi
Interval Kelas, Frekuensi Relatif Kurang dari, serta Frekuensi Relatif Lebih dari,
pada Gugus Data Jumlah Kepemilikan Entok (Ekor) per Keluarga Petani (KK) yang
Menjadi Anggota Kelompok Tani Kanjeng Tiban, di Kelurahan Antirogo –
Kecamatan Sumbersari - Kabupaten Jember

Frekuensi Frekuensi
Interval Nilai
Batas Nyata Frekuensi Relataif Kurang Relatif Lebih
Kelas Tengah
Interval Kelas dari (%) dari (%)
(Ik) (mi) (fi) (fr) (frk)
35 - 43 34,5 - 43,5 39 5 100,00 6,25
44 - 52 43,5 - 52,5 48 9 95,00 17,50
53 - 61 52,5 - 61,5 57 17 88,00 38,75
62 - 70 61,5 - 70,5 66 26 71,00 71,25
71 - 79 70,5 - 79,5 75 14 38,00 88,75
80 - 88 79,5 - 88,5 84 5 17,00 95,00
89 - 97 88,5 - 97,5 93 4 6,25 100,00

OS : Benar, benar. Jika mencermati secara saksama distribusi frekuensi tersebut,


ternyata akan dapat ditemui banyak hal yang dapat diceritakan atau
diinformasikan.
Salah satu contohnya begini, ternyata 26 KK petani dari 80 KK petani yang ada,
memiliki atau memelihara angsa antara 62 sd 70 ekor. Jumlah KK dengan
kepemilikan angsa antara 62 sd 70 ekor tersebut, ternyata mencapai 32,50%
dari keseluruhan KK petani yang memilihara angsa. Demikian pula ternyata
Jumlah KK dengan kepemilikan angsa antara 62 sd 70 ekor, adalah yang
terbesar.
Dan sebagainya, dan sebagainya, hingga menjadi semakin asyik untuk
diceritakan atau diinformasikan.

WG : He,he,he, menjadi semakin asyik bukan? Dan, akan semakin asyik lagi apabila
distribusi frekuensi tersebut dilengkapi penjelasannya dengan cara
menggambarkan „histogramnya‟ dan „kurva distribusi frekuensinya‟.
Histogram dan kurva distribusi frekuensi yang dimaksudkan, sebagaimana
dapat Kakang Ontoseno cermati pada Gambar 1 dan Gambar 2.

6
30
25
20
15
10
5
0 Titik Tengah Kelas
5 9 17 26 14 5 4

Gambar 1.
Histogram Distribusi Frekuensi Kepemilikan Entok (Ekor) Keluarga Petani (KK)
yang Tergabung dalam Kelompok Tani Kanjeng Tiban, di Kelurahan Antirogo -
Kecamatan Sumbersari - Kabupaten Jember

30
25
20
15
10
5
0
5 9 Angka: Titik Tengah Kelas
17 26 14 5 4

Menunjukkan Distribusi Frekuensi ‘Setangkup’

Gambar 2.
Kurva Distribusi Frekuensi Kepemilikan Entok (Ekor) Keluarga Petani (KK)
yang Tergabung dalam Kelompok Tani Kanjeng Tiban, di Kelurahan
Antirogo - Kecamatan Sumbersari - Kabupaten Jember

OS : Dimas Wisanggeni, pertanyaannya kemudian adalah, sebenarnya berapa


ekorkah „kecenderungan rerataan‟ jumlah kepemilikan entok KK petani
tersebut?

7
WG : Kakang Ontoseno, guna mengetahui kecenderungan rerataan ini, dapat
dipergunakan „nilai ukuran pusat‟.
Nilai ukuran pusat tersebut dapat berupa: (a) nilai „modus‟ atau nilai yang
sering muncul, (b) nilai „median‟ atau nilai tengah, dan (c) nilai „mean‟ atau
nilai rata-rata.

Modus:
Guna menentukan modus, dipergunakan rumus sebagai berikut (rumus modus
untuk data berkelompok):

Mo = LMo + Pj ((d1/(d1 + d2))


Dimana:
Mo = Nilai modus
LMo = Batas bawah kelas „nyata‟ yang mengandung modus (interval kelas
frekuensi terbanyak)
Pj = Panjang kelas atau lebar kelas
d1 = Frekuensi interval kelas yang mengadung modus „dikurangi‟ dengan
frekuensi interval kelas „sebelumnya‟.
d2 = Frekuensi interval kelas yang mengandung modus „dikurangi‟
dengan frekuensi interval kelas „sesudahnya‟.
Merujuk pada tabel distribusi frekuensi sebelumnya, maka nilai modus tersebut
dapat ditentukan sebagai berikut:

Titik Tengah Frekuensi


Batas Kelas ‘Nyata’
Kelas (mi) (fi)
34,5 - 43,5 39 5
43,5 - 52,5 48 9
52,5 - 61,5 57 17 → fi sebelumnya
61,5 - 70,5 66 26 → fi mengandung modus
70,5 - 79,5 75 14 → fi sesudahnya
79,5 - 88,5 84 5
88,5 - 97,5 93 4

Mo = LMo + Pj ((b1/(b1 - b2)) Dimana:


= 61,5 + 9 ((b1/(b1 - b2)) b1 = (26 - 17) = 9
= 61,5 + 9 ((9/(9 + 12)) b2 = (26 – 14) = 12
= 61,5 + 9 (0,429)
= 61,5 + 3,857
= 65,357 ............... dapat dibulatkan menjadi 65.

8
Median:
Guna menentukan median, dipergunakan rumus sebagai berikut (rumus median
untuk data berkelompok):

Md = LMd + Pj ((n/2 – fkMd)/fMd))


Dimana:
Md = Nilai median
LMd = Batas bawah „nyata‟ kelas yang „mengandung median‟ (interval kelas
yang mengandung median tepat pada n/2)
Pj = Panjang kelas atau lebar kelas
n = Jumlah keseluruhan frekuensi dalam distribusi frekuensi
n/2 = Menunjukkan interval kelas yang „mengandung median‟
fMd = Frekuensi interval kelas yang „mengandung median‟
FkMd = Frekuensi komulatif „sebelum batas bawah kelas‟ yang „mengandung
median‟.
Merujuk pada tabel distribusi frekuensi sebelumnya, maka nilai modus tersebut
dapat ditentukan sebagai berikut:

Batas Kelas Frekuensi Frekuensi


‘Nyata’ (fi) Komulatif (fk)
34,5 - 43,5 5 5
43,5 - 52,5 9 14
52,5 - 61,5 17 31
61,5 - 70,5 26 57 → fk mengandung median
70,5 - 79,5 14 71
79,5 - 88,5 5 76
88,5 - 97,5 4 80
n=frekuensi total 80
n/2=Ik ada median 40

Md = LMd + Pj ((n/2 – fkMd)/fMd))


= 61,5 + 9 ((40-31)/(26))
= 61,5 + 9 (9/26)
= 61,5 + 9 (0,346)
= 61,5 + 3,115
= 64,615 ............. dapat dibulatkan menjadi 65.

Mean:
Guna menentukan rata-rata (mean), dipergunakan rumus sebagai berikut (rumus
median untuk data berkelompok):

9
ẋ = ∑(mi x fi)/∑fi
Dimana:
ẋ = Nilai rata-rata (mean)
mi = Nilai tengah interval kelas
fi = Frekuensi interval kelas

Interval Titik Tengah Frekuensi


(mi x fi)
Kelas (Ik) Kelas (mi) (fi)
35 - 43 39 5 195,00
44 - 52 48 9 432,00
53 - 61 57 17 969,00
62 - 70 66 26 1.716,00
71 - 79 75 14 1.050,00
80 - 88 84 5 420,00
89 - 97 93 4 372,00
∑ 80 5.154,00

ẋ = ∑(mi x fi)/∑fi
= 5.154,00/80
= 64,00

Nah, Kakang Ontoseno, berdasarkan pada perhitungan dapat diketahui bahwa


nilai “modus = median > mean”. Yaitu: Mo = 65, Md = 65, dan ẋ = 64.
Oleh karena nilai „paling kecil‟, maka nilai rata-rata (mean) diyakini relatif
„lebih baik‟ dipergunakan untuk merepresentasikan „kecenderungan
pemusatan‟ atau „kecenderungan nilai rerataan‟ tersebut.
Akan tetapi bukan berarti nilai modus dan mean tersebut, tidak diperkenankan
dipergunakan untuk menginformasikan kecenderungan nilai rerataan.
Pada kasus gugus data yang kita miliki tersebut, oleh karena selisihnya dengan
nilai mean-nya „tidak terlalu besar‟, sehingga masih sah-sah saja dipergunakan
untuk menginformasikan kecenderungan nilai rerataan tersebut.

OS : Baiklah. Berarti dapat diinterpretasikan begini, bahwa berdasarkan pada nilai


mean-nya, diketahui „rerataan‟ kepemilihan entok pada keluarga petani yang
tergabung dalam kelompok tani Kanjeng Tiban, di Kelurahan Antirogo -
Kecamatan Sumbersari - Kabupaten Jember tersebut, adalah = 64 ekor per KK.

WG : Okey, benar begitu.

OS : Sunggung-sungguh mengasikkan.

10
Distribusi Frekuensi Normal:

WS : Pertanyaan selanjutnya adalah, apakah „distribusi frekuensi‟ gugus data yang


kita miliki ini „berdistribusi normal‟?

OS : Di awal-awal pembicaraan tadi, kalau tidak salah, sudah dinyatakan bahwa


„kurva distribusi frekuensi‟ dari gugus data yang kita miliki ini „berdistribusi
setangkup‟. Bukannnya jika kurva distribusi frekuensi yang berkarakteristik
setengkup itu sudah menunjukkan „berdistribusi normal‟ ?

WG : Kurva distribusi frekuensinya tadi bangunnya memang „stangkup kanan-kiri‟.


Akan tetapi jika diperhatikan secara seksama ternyata bangun kurvanya
„sedikit juling’.
Hal ini dapat menandakan bahwa gugus data tersebut memiliki distribusi
frekuensi yang „kurang normal‟, atau dengan kata lain dapat dinyatakan „relatif
mendekati normal‟.
Mengapa demikian?
Sebab, „salah satu syarat‟ dari beberapa syarat suatu gugus data itu
„berdistribusi normal‟, adalah jika gugus data tersebut memiliki nilai
„modus (Mo) = median (Md) = mean (ẋ)’.
Nah, distribusi frekuensi gugus data yang kita punya, ternyata memiliki nilai
„modus = median > mean. Sifat yang demikian ini akan membentuk bangun
kurva distribusi frekuensi yang juling. Kurva distribusi frekuensinya tetap
stangkup kanan-kiri, akan tetapi cenderung juling.

Mo = ẋ = Md

Gambar 3.
Kurva Distribusi Frekuensi Normal

11
Kakang Ontoseno dapat mencermati Gambar 3. Gambar ini melogikakan
bagaimana salah satu diantara beberapa syarat kurva distribusi normal itu
„harus dipenuhi‟ oleh distribusi frekuensi suatu gugus data.

Mo Md ẋ ẋ Md Mo

Kurva Juling Positif Kurva Juling Negatif

Gambar 4.
Kurva Dustribusi Frekuensi Setangkup Juling Positif dan Juling Negatif

Adapun pada Gambar 4, ditunjukkan contoh gambar kurva distribusi frekuensi


stangkup yang juling. Kurva distribusi frekuensi menunjukkan bangun yang
stangkup kanan-kiri, akan tetapi tidak simetris.

OS : Betul, bentul. Jika suatu distribusi frekuensi „tidak memiliki‟ modus = median =
mean, maka kurva distribusi frekuensinya akan menunjukkan bangun yang
juling.

WS : Ada dua macam kurva distribusi frekuensi juling, yaitu: (a) juling ke positif
(positively skewed), dan (b) juling ke negatif (negatively skewed). Juling ke
positif, jika nilai modus (Mo) < median (Md) < mean (ẋ). Juling ke negatif, jika
nilai modus (Mo) > median (Md) > mean (ẋ).

OS : Tadi dijelaskan bahwa, salah satu syarat dari beberapa syarat suatu gusus data
itu akan memiliki distribusi frekuensi normal apabila nilai Mo = Md = ẋ. Lalu,
syarat yang lainnya apa?

WG : He, he, he, sudah tentu syaratnya „harus‟ memiliki modus, memiliki median,
dan memiliki mean, thoo.

OS : Oh iya, ya. Jika tidak memiliki Mo, Md, dan ẋ, maka syarat nilai Mo = Md = ẋ
akan tidak akan terpenuhi tentunya.

WS : Hanya saja meskipun memiliki Mo, Md, dan ẋ, namun ada beberapa catatan
pentingnya yang harus dipenuhi.

12
Uninodal:
Syarat suatu gugus data berdistribusi normal maka harus memiliki modus (Mo).
Berarti tidak boleh „tidak memiliki‟ modus. Akan tetapi harus memiliki „hanya
satu modus‟ (unimodal). Tidak boleh memiliki lebih dari satu modus.
Modus, adalah merupakan nilai yang sering muncul. Tentunya bisa saja dalam
suatu distribusi frekuensi itu memiliki lebih dari satu modus. Atau bisa juga
suatu distribusi frekuensi itu tidak memiliki modus.
Sebagaimana dapat Kakang Ontoseno dicermati pada Gambar 5. Gambar
tersebut menunjukkan kurva distribusi frekuensi yang memililki lebih dari satu
modus dan yang tidak memiliki modus.

Mo1 Mo2 Mo1 Mo2 Mo3

Memiliki 2 Modus (Bimodal) Memiliki 3 Modus (Multimodal)

Memiliki Banyak Modus (Multimodal) Tidak Memiliki Modus (Unmodal)

Gambar 5.
Kurva Distribusi Frekuensi Memiliki 2 Modus,
3 Modus, Banyak Modus, dan Tidak Memiliki Modus

Simetrik:
Syarat suatu gugus data berdistribusi normal maka harus memiliki median (Md).
Sebab apibila tidak memiliki median, maka distribusi frekuensinya tidak
setangkup (kanan-kiri).
Jadi syaratnya harus „simetrik‟. Mengingat median adalah „titik tengah‟ dari
‘aray segugus data‟ dan membagi gugus data tersebut tepat ditengah-tengahnya
menjadi dua bagian, yaitu sebelah kanan dan sebelah kiri.

13
Bisa saja dalam suatu distribusi frekuensi itu tidak memiliki median.
Sebagaimana dapat dicermati pada Gambar 6. Gambar tersebut menunjukkan
kurva distribusi frekuensi yang tidak memililki median.

Tidak Memiliki Median (Kurva J) Tidak Memiliki Median (Kurva L)

Gambar 6.
Kurva Distribusi Frekuensi yang Tidak Memiliki Median

Asimtotik:
OS : Apakah masih ada lagi syarat yang lainnya?

WG : Ada, yaitu „asimtotik‟.


Artinya, kurva distribusi frekuensi normal tidak akan pernah menyentuh
„sumbu absisnya‟. Hal ini menunjukkan suatu pengertian bahwa, distribusi
normal terbentuk dari perangkat data yang bersifat kontinyu, dari mulai tak
terhingga sampai dengan nilai yang tak terhingga pula.
Oleh karena itu, nilai yang terkecil dan nilai yang terbesar pada suatu distribusi
data kontinyu, bersifat tak terhingga. Maka dengan demikian tidak ada satu
daerah pun di bawah kurva normal yang memiliki frekuensi (peluang) sama
dengan 0 (nol).

OS : Okey, jadi syarat suatu gugus data itu akan memiliki distribusi frekuensi normal
apabila terpenuhi syatar-syarat: (a) memiliki modus, dan hanya satu modus atau
unimodal, (b) memiliki median, sehingga simetrik, (c) memiliki mean, (d) nilai
modus = nilai median = nilai mean, dan (e) bersifat asimtotik.

Kemudian pertanyaan selanjutnya, sebenarnya apa pentingnya kita perlu


mengetahui apakah suatu gugus data itu berdistribusi normal atau tidak
berdirtribusi normal?

WS : Distribusi normal adalah syarat untuk penggunaan „statistik parametris‟.

14
Dimana jika kita bekerja dengan statistik parameteris tersebut, asumsimnya
bahwa data variabel yang akan dianalisis membentuk distribusi normal.
Jika data tidak berdistribusi normal, maka teknik statistik parametris tidak dapat
dipergunakan untuk alat analisis. Adapun untuk data yang tidak berdistribusi
normal, teknik statistik yang dipergunakan untuk analisis adalah „statistik non-
parametris‟.
Oleh karena itu, sebelum seorang peneliti akan menggunakan teknik analisis
statistik parametris, maka harus terlebih dahulu membuktikan apakah data yang
akan dianalisis tersebut berdistribusi normal atau tidak.

OS : Ooo, ternyata begitu rupanya.

Luas Kurva Distribusi Normal:

WG : Kurva distribusi normal adalah distribusi kontinyu yang berbetuk genta (bell-
shape), sebagaimana dilukiskan pada Gambar 3 tadi. Sebuah distribusi normal
dapat didiskripsikan secara penuh oleh nilai „rata-rata‟ (mean) dan nilai
„variasianya‟.
Maka jika suatu gugus data „sampel‟ random (sampel diambil secara acak)
berdistribusi normal, sebut saja gugus data xi, maka kita dapat menuliskannya
dengan simbol: x~N(ẋ,s2). Artinya, merupakan sebuah gugus data sampel yang
berdistribusi normal (simbol = N) dengan nilai rata-ratanya adalah ẋ dan nilai
variannya adalah s2.
Jika suatu gugus data „populasi‟ berdistribusi normal, sebut saja gugus data Xi,
maka kita dapat menuliskannya dengan simbol: X~N(μ,σ2). Artinya,
merupakan sebuah gugus data populasi yang berdistribusi normal (simbol = N)
dengan nilai rata-ratanya adalah μ dan nilai variannya adalah σ2.
Adapun „luas daerah‟ di bawah kurva distribusi normal „dinyatakan‟ dengan
„besaran nilai 100%‟. Akan tetapi sebenarnya tidak persis 100%, namun
„hanya 99,99%‟.
Sebab, sebagaimana telah dibahas sebelumnya, bahwa distribusi normal
memiliki sifat „asimtotik‟. Artinya, kurva distribusi normal tidak akan pernah
menyentuh „sumbu absisnya‟, sehingga luasnya tidak sampai 100%, akan
tetapi hanya mendekati 100%, yaitu hanya 99,99% saja.

OS : Waoo, ternyata begitu yaa.

WS : Luas kurva distribusi normal tersebut pada dasarnya dapat „terbagi‟


berdasarkan jumlah standard deviasinya atau simpangan bakunya dari gugus

15
data yang membentuk distribusi normal tersebut.
Namun ingat, sebagaimana telah dibahas sebelumnya, bahwa kurva distribusi
normal memiliki sifat „simetris‟. Oleh karena itu dapat dibagi menjadi 2 (dua)
bagian yang sama, dengan besaran luasan masing-masing 50%. Yaitu sebesar
50% ke arah kanan dan sebesar 50% ke arah kiri.
Olek karena itu, maka luas antara „nilai rata-rata‟ terhadap 1 (satu) simpangan
baku, atau sebut saja simpangan baku-ke-1, ke arah kanan maupun ke arah kiri,
masing-masing adalah 34,13%.
Luas antara simpangan baku-ke-1 sampai dengan simpangan baku ke-2, baik ke
arah kanan maupun ke arah kiri, masing-masing senilai 13,59%. Adapun luas
antara simpangan baku-ke-2 sampai dengan simpangan baku-ke-3, baik ke arah
kanan maupun ke arah kiri, masing-masing senilai 2,27%.
Supaya dapat lebih jelas lagi, Kakang Ontoseno dapat lebih mencermati
Gambar 4. Gambar menunjukkan prosentase besaran luas di bawah kurva
distribusi normal tersebut.

34,13% 34,13%

34,13% 13,53%
2,27% 2,27%
xi

ske-1
ske-2
ske-3

Gambar 4.
Besaran Luas di Bawah Kurva Distribusi Normal

OS : Okey, saya semakin mengerti dan semakin paham.

16
Uji Statistik Normalitas Gugus Data:

WS : Baiklah, sekarang kita akan „membuktikan‟ apakah benar gugus data


sebagaimana tertera pada Tabel 1 tadi, memang berdistribusi „tidak/kurang
normal‟ atau „relatif juling‟?
Guna membuktikannya, langkah awal yang harus dilakukan adalah dengan
membuat interval kelasnya hanya menjadi „6 (enam)‟ interval kelas. Jumlah
interval kelas 6 ini dimaksudkan untuk „menyesuaikan‟ dengan „pembagian
luasan‟ di bawah kurva normal tersebut, yaitu: (a) sebanyak 3 bidang luasan ke
arah kanan, dan (b) sebanyak 3 bidang luasan ke arah kiri (sebagaimana
tampak pada Gambar 4).
Selanjutnya dihitung „frekuensinya‟ (fi) dan „frekuensi relatifnya‟ (fr). Setelah
itu dihitung „frekuensi harapannya‟ (fh). Dimana frekuensi harapan ini adalah
merupakan „hasil perkalian‟ dari „frekuensi harapan relatif‟ (frh) dengan
„frekuensi gugus data bakunya atau gugus data aslinya‟ (fi). Atau fh = (frh x fi).
Adapun frekuensi harapan relatif (frh) itu sendiri, adalah merupakan hasil
„perkalian‟ antara „masing-masing bidang luasan di bawah kurva normal baku‟
tadi, dengan „jumlah gugus data‟ (n). Lebih jelasnya sebagai berikut:
Ke arah kanan:
fh-1 = (2,27% x 80) = 4,82 → dibulatkan menjadi = 4
fh-2 = (13,53% x 80) = 10,82 → dibulatkan menjadi = 11
fh-2 = (34,13% x 80 ) = 27,30 → dibulatkan menjadi = 27

Tabel 7.
Langkah-Langkah Perhitungan untuk Menentukan Nilai Frekuensi Harapan (fh)

Interval Panjang Batas Kelas Frek. Frek. Relatif Frekuensi


Frek.
Kelas Kelas Nyata Relatif Harapan Harapan
(Ik) (Pj) Bawah Atas (fi) (fr) (frh) (fh)
36 = 45 10 35,5 = 45,5 6 7,50 2,27 2
46 = 55 10 45,5 = 55,5 13 16,25 13,53 11
56 = 65 10 55,5 = 65,5 23 28,75 34,13 27
66 = 75 10 65,5 = 75,5 24 30,00 34,13 27
76 = 85 10 75,5 = 85,5 10 12,50 13,53 11
86 = 95 10 85,5 = 95,5 4 5,00 2,27 2
∑ 80 100,00 100,00 80

Ke arah kiri:
fh-4 = (34,13% x 80 ) = 27,30 → dibulatkan menjadi = 27
fh-5 = (13,53% x 80) = 10,82 → dibulatkan menjadi = 11
fh-6 = (2,27% x 80) = 4,82 → dibulatkan menjadi = 4

17
Perhatikan, „jumlah frekuensi harapan‟ (∑fh) itu adalah „sama‟ dengan „jumlah
frekuensi gugus data bakunya atau gugus data aslinya‟ (∑fi).

Langkah selanjutnya adalah menghitung „selisih‟ antara nilai „frekuensi data


asli‟ (fi) dengan nilai „frekuensi harapannya‟ (fh), yaitu dengan rumus (fi – fh).
Dimana akan diperoleh jumlah selisih tersebut = 0 (nol), atau ∑(fi – fh) = 0.
Kemudian „nilai selisih‟ tersebut „dikudratkan‟ (fi – fh)2. Selanjutnya nilai
selisih kuadrat‟ (fi – fh)2 tersebut „dibagi‟ dengan frekuensi harapannya (fh),
yaitu dengan rumus: (fi – fh)2/fh.
Total dari nilai dari (fi – fh)2/fh tersebut adalah ∑(fi – fh)2/fh. Nilai ∑(fi – fh)2/fh
inilah yang kemudian disebut dengan ‘chi-kuadrat hitung’.

Tabel 8.
Langkah-Langkah Perhitungan untuk Menentukan Nilai Chi-Kuadrat Hitung

Ik Pj Batas Nyata fi fh (fi – fh) (fi – fh)2 (fi – fh)2/fh


Bwh. Atas
36 = 45 10 35,5 = 45,5 6 2 4 16 8,00
46 = 55 10 45,5 = 55,5 13 11 2 4 0,36
56 = 65 10 55,5 = 65,5 23 27 -4 16 0,59
66 = 75 10 65,5 = 75,5 24 27 -3 9 0,33
76 = 85 10 75,5 = 85,5 10 11 -1 1 0,06
86 = 95 10 85,5 = 95,5 4 2 2 4 2,00
∑ 80 80 0 11,35

Diketahui dari hasil perhitungan nilai „chi-kuadrat hitungnya‟ = 11,35.


Selanjutnya nilai chi-kuadrat hitung ini „dibandingkan‟ dengan nilai
„chi-kuadrat tabel‟.
Nilai „chi-kuadrat tabel‟ diperoleh dari ‘Tabel Chi-Kuadrat’. Guna
menentukan nilainya, ditetapkan terlebih dahulu tingkat „taraf kepercayaan
uji statistiknya‟ (taraf kepercayaan uji chi-kuadrat yang akan dilakukan).
Taraf kepercayaan uji statistik disimbolkan dengan α. Misalnya kita tetapkan
saja tingkat taraf kepercayaan dalam uji statistik chi-kuadrat pada contoh
analisa kita ini, adalah sebesar 5%, atau α = 0,05.
Selain menetapkan α tersebut, dalam mencari nilai „chi-kuadrat tabel‟ pada
Tabel Chi-Kuadrat, juga harus ditentukan nilai derajat kebebasannya (dk) atau
degreess of freedom-nya (db).
Adapun derajat kebebasan (db) pada contoh analisa kita ini = 5, atau senilai
= 6 – 1. Angka 6 menunjukkan jumlah 6 bidang daerah di bawah kurva normal
sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. Sedangkan nilai 1 adalah
merupakan suatu „nilai koreksi‟.

18
Diketahui nilai chi-kuadrat tabel pada α = 0,05 dengan db = 1, adalah 11,070.
Nah, ternyata nilai chi-kuadrat hitung „lebih besar‟ dari pada nilai chi-kuadrat
tabel. Dimana nilai chi-kuadrat tabel = 11,35.
Adapun pengambilan keputusan dari uji chi-kuadrat ini adalah: (a) jika nilai
chi-kuadrat hitung „lebih besar‟ dari nilai chi-kuadrat tabel, maka
menunjukkan gugus data „berdistribusi tidak normal‟, dan sebaliknya (b) jika
nilai chi-kuadrat hitung „lebih kecil‟ dari nilai chi-kuadrat tabel, maka
menunjukkan gugus data „berdistribusi ormal‟.
Jadi kesimpulannya, memang benar bahwa gugus data yang kita miliki tersebut
berdistribusi „tidak/kurang normal‟ atau „relatif juling‟. Sebab „nilai chi-
kuadrat hitungnya‟ > „nilai chi-kuadrat tabelnya‟.

OS : Waoo, luas biasa. Pada akhirnya terbukti juga secara uji statistik, bahwa gugus
data yang kita miliki tersebut ternyata memang berdistribusi „tidak/kurang
normal‟ atau „relatif juling‟.

Latihan Soal/Tugas:

WS : Baiklah, jika begitu mari kita latihan soal.


Tabel 9 berikut adalah data sampel bobot umbi ketela pohon per pohon yang
diambil dari hasil panen sejumlah petani lahan kering di Kelurahan Antirogo -
Kecamatan Sumbersari - Kabupaten Jember.
Nah, mari kita buktikan apakah gugusan data sampel bobot umbi ketela pohon
tersebut berdistribusi normal?

Tabel 9.
Data Sampel Bobot Umbi Ketela Pohon (Kg) per Pohon yang Diambil dari
Hasil Panen Sejumlah Petani Lahan Kering di Kelurahan Antirogo -
Kecamatan Sumbersari - Kabupaten Jember.

4,7 4,2 3,8 3,6 3,4 3,2 3,1 2,6


4,7 4,1 3,8 3,5 3,3 3,2 3,0 2,5
4,5 4,1 3,7 3,5 3,3 3,1 3,0 2,2
4,4 3,9 3,7 3,4 3,3 3,1 2,9 1,9
4,3 3,9 3,7 3,4 3,2 3,1 2,6 1,6

19

Anda mungkin juga menyukai