78 135 1 SM PDF
78 135 1 SM PDF
Diterima :26 Desember 2012 Revisi :31 Januari 2013 Disetujui: 15 Maret 2013
ABSTRAK
Ketergantungan bangsa Indonesia terhadap beras begitu tinggi, sehingga ketika kebutuhan beras
dalam negeri tidak tercukupi, Indonesia harus mengimpor beras. Ketergantungan terhadap beras dapat
dikurangi melalui alternatif bahan pangan Iainnya yang dapat dibudidayakan di Indonesia sebagai upaya
mendukung ketahanan pangan di Indonesia. Salah satunya dengan mengeskplorasi potensi bahan
pangan lokal Indonesia. Dalam kaitan dengan hal tersebut, maka tuiisan ini bertujuan untuk memetakan
potensi sagu dan diversifikasi olahan sagu, baik berupa olahan pangan maupun olahan non-pangan
sehingga dapat menjadi acuan dalam mengeksplorasi bahan pangan sagu. Sagu dapat diolah menjadi
panganan tradisional, tepung sagu dan turunannya seperti tepung sagu termodifikasi dan mi sagu, serta
pati sagu dan turunannya seperti edible film, makanan pendamping ASI, dan sohun. Sedangkan untuk
kebutuhan non-pangan, sagu dapat dimanfaatkan menjadi bioethanol dan Protein Sel Tunggal. Untuk
meningkatkan diversifikasi produk berbasis sagu dan turunannya maka perlu dilengkapi dengan kajian
ekonomi, dukungan dan kebijakan pemerintah baik dari sisi ketersediaan maupun kemudahan akses para
pelaku usaha komoditas sagu.
ABSTRACT
Indonesia's dependence on rice is so high, that when the domestic rice requirement is not fulfilled,
Indonesia has to import rice. The dependence on rice can be reduced through some alternative foodstuffs
which can be cultivated in Indonesia. One way to do it is by exploring the potential of local food in
Indonesia to support food security. This paper aimed to map out the potential of sago and sago processing
diversification, both non-processing food and processing food so it can be a reference in exploring food
from sago. Sago can be processed into traditional snacks, sago starch and its derivativessuch as modified
sago starch and sago noodles, and sago starch and its derivatives such as edible films, complementary
feeding, and vermicelli. For the need of non-food product, sago can be processed to become bioethanol
and single cell protein. To improve product diversification based on sago it is necessary to be equipped
with the economic assessment, support and government policy both in terms of availability and ease of
business access to sago commodity
Potensi Tanaman Sagu (Metroxylon sp.) dalam Mendukung Ketahanan Pangan di Indonesia 61
Parama Tirta W.W.K, Novita Indrianti, Riyanti Ekafitri
I. PENDAHULUAN Tabel 1. Potensi Sagu
Indonesia merupakan salah satu negara
Lokasi Potensi
yang mempunyai komitmen tinggi terhadap
pembangunan ketahanan pangan. Komitmen Irian Jaya 980.000 ha
tersebut dituangkan dalam Undang-Undang Maluku dan Sulawesi Selatan 30.000 ha
Nomor 7/1996, tentang Pangan yang Riau 32.000 ha
mengamanatkan agar pemerintah bersama
Sumber: Djafar, dkk., 2000
masyarakat mewujudkan ketahanan pangan
bagi seluruh rakyat Indonesia. Menurut undang- Tanaman ini dapat tumbuh di sepanjang
undang tersebut, ketahanan pangan adalah tepi sungai dan di daerah rawa yang kurang
kondisi terpenuhinya kebutuhan pangan bagi cocok untuk tanaman Iainnya, akibatnya
rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pengembangan sagu tidak bersaing dengan
pangan secara cukup, baik dalam jumlah penggunaan lahan untuk tanaman pangan
maupun mutunya, aman, merata, beragam lain. Selain itu, sagu merupakan tanaman
dan terjangkau. Pembangunan ketahanan dan tahunan yang berarti setelah ditanam dapat
kemandirian pangan lokal sebagai komponen menghasilkan selama bertahun-tahun dan
sistem pangan nasional adalah sangat penting panen dapat dilakukan secara teratur dengan
(Alfonsdan Rivaie, 2011). mengelola para petani (Rostiwati, dkk., 1998).
Menurut Ekafitri (2010), Indonesia Sagu tidak hanya dapat dimanfaatkan
merupakan salah satu negara yang memiliki sebagai penganti beras, tetapi juga dapat
katahanan pangan yang kurang stabil. dimanfaatkan sebagai olahan makanan seperti
Ketergantungan bangsa Indonesia terhadap mie, roti, dan sirup fruktosa. Dapat pula
beras begitu tinggi, sehingga ketika kebutuhan digunakan sebagai pakan ternak, perekat,
beras dalam negeri tidak tercukupi, Indonesia bioetanol dan banyak produk derivatif Iainnya
harus mengimpor beras. Impor beras berisiko (Flach, 1997). Tujuan tuiisan ini untuk memetakan
sangattinggi,karenaciripasarberasglobaladalah potensi sagu dan diversifikasi olahan sagu, baik
tipis (thin market) dan sisa (residual market) berupa olahan pangan maupun olahan non
yang berdampak seringnya terjadi instabilitas pangan sehingga dapat menjadi acuan dalam
suplai dan harga beras di pasar internasional. mengeksplorasi bahan pangan ini.
Oleh karena itu, perlu dikurangi ketergantungan
II. POTENSI SAGU
terhadap beras melalui alternatif bahan pangan
Iainnya yang dapat dibudidayakan di Indonesia. Areal tanaman sagu di Indonesia
Salah satunya dengan mengeskplorasi potensi diperkirakan 95,9 persen tersebar di Kawasan
bahan pangan lokal Indonesia. Dalam kaitan Timur Indonesia dan 4,1 persen di Kawasan
dengan itu program diversifikasi pangan dan Barat Indonesia. Areal hutan sagu di Indonesia
penganekaragaman pangan terus digalakkan sekitar 1,25 juta hektar dengan kepadatan
oleh pemerintah. Salah satu pangan lokal anakan 1.480 per hektar yang setiap panen
yang potensial adalah sagu, pangan pengganti menghasilkan 125-140 pohon per tahun. Hutan
berasSagu (Metroxylon sagu Rottb) merupakan sagu tersebut tersebar di Papua seluas 1,2 juta
salah satu tanaman penghasil karbohidrat yang hektar dan Maluku seluas 50 ribu hektar serta
paling potensial dalam mendukung program 148 ribu hektar hutan sagu semi budidaya
ketahanan pangan Indonesia (Tarigans, 2001). yang tersebar di Papua, Maluku, Sulawesi,
Untuk tingkat dunia, 1,4 juta ha tanaman sagu Kalimantan, Sumatera, Kepulauan Riau dan
berada di Indonesia dari total areal sagu 2,47 Kepulauan Mentawai (Sumatera Barat). Dari
juta ha. Sisanya adalah di Papua Nugini, luasan tersebut hanya sekitar 40 persen
Malaysia, Thailand, Filipina dan negara-negara merupakan areal penghasil pati produktif
lain (Flach, 1997). Potensi sagu di Indonesia dengan produktivitas pati 7 ton per hektar per
sangat besar, khususnya Irian Jaya dan Maluku tahun, karena banyaknya tanaman sagu yang
di wilayah Indonesia Timur (Tabel. 1) layak panen tetapi tidak dipanen sehingga
rusak. Hasil penelitian terdahulu mengenai jenis
dan ragam pohon sagu yang ada di Indonesia
Tabel 2. Nilai Gizi Sagu dan Beberapa Bahan Pangan per 100 gram
Beras Tepung Ubi Ubi
Komponen Sagu Kentang Sukun Gembili Uwi/Ubi
Giling Jagung Kayu Jalar
Kadar Air (%) 14,00 13,00 77,80 12,00 62,50 55,50 75,00 75,00 68,50
Kalori (Kal) 343,00 349,00 85,00 367,00 146,00 96,00 97,00 89,00 125,00
Protein (g) 0,70 6,80 2,00 9,20 1,20 1,00 1,50 2,00 1,80
Lemak (g) 0,20 0,70 0,10 3,90 0,30 0,20 0,10 0,20 0,70
Karbohidrat
84,70 78,90 19,10 73,70 34,70 22,60 22,40 19,80 27,90
(g)
Mineral (g) 0,40 0,60 1,00 1,20 1,30 0,70 1,00 3,00 1,10
Kalsium
11,00 10,00 11,00 10,00 33,00 17,00 14,00 45,00 30,00
(mg)
Fosfor (mg) 13,00 140,00 56,00 256,00 40,00 47,00 49,00 280,00 49,00
Besi (mg) 1,50 0,80 0,70 2,40 0,70 0,30 0,30 1,80 0,70
Thiamine
0,01 0,12 0,11 0,38 0,06 0,10 0,10 0,10 0,09
(mg)
Sumber: Kam, 1992
membutuhkan sekitar 150 ribu ton sagu per Kandungan karbohidrat sagu lebih tinggi
tahun. Potensi sagu di Irian Jaya terdapat dibandingkan dengan beras dan beberapa
sekitar 3,4 juta ton yang belum termanfaatkan, pangan sumber karbohidrat Iainnya (Tabel
dan di Mentawai terdapat sekitar 56.100 2). Kandungan kalori sagu tidak jauh berbeda
hektar tegakan sagu dengan produksi sekitar dengan beras dan jagung, bahkan melebihi
139.000 ton per tahun. Sementara itu di Padang kentang, sukun, ubi kayu, ubi jalar, dan yams
Pariaman terdapat tegakan sagu sekitar 95.790 (gembili dan uwi/ubi). Hal ini menunjukkan
hektar dengan produksi 5.063 ton per tahun, bahwa sagu sangat berpotensi menggantikan
di daerah ini juga terdapat potensi sagu yang beras yang selalu menjadi sumber karbohidrat
belum termanfaatkan sebanyak 234.412 ton per utama di Indonesia. Selain itu, sumber mineral
tahun (Haryanto dan Pangloli, 1992). Iainnya seperti nilai kandungan Kalsium dan
Besi lebih tinggi dibandingkan dengan beras.
Pemanfaatan sagu dapat dilakukan untuk
keperluan pangan ataupun untuk keperluan Selain dari nilai karbohidrat yang
non pangan. Pemanfaatan sagu untuk pangan mendekati nilai karbohidrat beras, sagu juga
salah satunya adalah melalui tepung sagu, pati, unggul dalam hal kandungan serat, nilai Indeks
dan berbagai produk olahan pangan. Menurut glikemik. Pati sagu mengandung: 3,69-5,96
Alfons dan Rivaie (2011) pati atau tepung sagu persen serat pangan (Achmad, dkk., 1999); dan
dan produk olahannya dapat dikelompokkan nilai Indeks Glikemik (IG) 28, termasuk dalam
juga sebagai pangan fungsional. Dengan kata kategori rendah karena kurang dari 55 (Purwani,
lain sagu disamping sebagai salah satu sumber dkk., 2006), sehingga sagu dapat dikelompokkan
pangan tradisional potensial, juga merupakan sebagai pangan fungsional. Menurut POM
pangan fungsional yang dapat dikembangkan Rl (2005) dalam Papilaya (2009), pangan
rantai pendek dan sejumlah energi (0-3 kal/ Pemanfaatan sagu di Indonesia umumnya
gr). Asam lemak rantai pendek hasil fermentasi masih dalam bentuk pangan tradisional,
mikroba tersebut cepat diserap ke hati, dan
Potensi Tanaman Sagu (Metroxylon sp.) dalam Mendukung Ketahanan Pangan di Indonesia 65
Parama Tirta W.W.K, Novita Indrianti, Riyanti Ekafitri
3.3. Tepung Sagu Termodifikasi 3.4. Mie Sagu
Tepung sagu yang telah dimodifikasi Teknologi pembuatan mie sagu cukup
menjadi maltodekstrin dapat memberikan lebih sederhana meskipun berbeda dengan mi terigu.
Diagram alir pembuatan mi sagu dapat dilihat
banyak manfaat dalam industri pangan, bahkan
pada Gambar 2. Sosialisasi pembuatan mi
farmasi. Kandungan pati dalam tepung sagu
sagu di daerah sentrasagu di Kabupaten Luwu
sangat tinggi. Penggunaannya secara alami
Utara (Sulawesi Selatan) menunjukkan 72,5
dapat menyebabkan berbagai permasalahan
persen anak SD dapat menerimanya, meskipun
dan nilai ekonominya relatif rendah sehingga
sebelumnya tidak mengenai mi sagu. Secara
diperlukan modifikasi, dalam hal ini menjadi
kesehatan mengonsumsi mie sagu mendapat
maltodekstrin. Selain memperbaiki sifat dan
manfaat dari resistant starch (RS) atau pati
karakteristiknya, modifikasi ini juga dapat
tak tercerna. Pati ini tidak dapat dicerna oleh
meningkatkan nilai ekonomi tepung sagu
enzim-enzim pencemaan dalam usus manusia
(Chafid dan Kusumawardhani, 2010). Liu, dkk.
sehinggamemiliki peran penting dalam diet.
(1999), menyatakan bahwa untuk mengatasi
hal tersebut dilakukan modifikasi kimia pada RS atau pati resisten mampu mengikat
pati, guna meningkatkan sifat-sifat spesifik asam empedu, meningkatkan volume feses
dan memperluas penggunaan dalam produk dan mempersingkat waktu transit. RS juga
pangan. Estiati (2006), juga menyatakan bahwa
modifikasi kimia seperti pengikatan silang Pati Sagu + Air (1 : 7)
dapat mengubah sifat kohesif (lengket) dan
meningkatkan viskositas pati. Pemanasan sampai kental
I
Pemanasan dan pengadukan dengan mixer skala 1 (± 65°C, ± 20 menit)Perendaman dalam air
i
Penambahan 0,5% CMC diaduk dengan mixer skala 2 (± 5 menit)Penirisan
i
Penambahan 3 % gliserol sedikit demi sedikit diaduk dengan mixer skala IPelumuran dengan
T
Pemanasan dan pengadukan sampai kental (±72 C, ± 15 menit)Perebusan dalam air
I
Penghilangan gas (± 80 kPa, ± 20 menit)
T
Penuangan dan pencetakan suspense kental diatas pelat kaca
T
Pengeringan di dalam oven ventilasi (± 50UC, ± 18-24 jam)
T
Pengangkatan film dari pelat kaca
I
Edible Film
merupakan salah satu sumber pati yang tidak 3.5. Pati Sagu dan Turunanya
dapat dicerna oleh enzim-enzim dalam sistem
pencemaan manusia. Fraksi pati tersebut akan Haryanto dan Pangloli (1992), menyatakan
difermentasi oleh mikroflora di dalam usus bahwa komponen terbesar dalam pati sagu
besar.
adalah karbohidrat yaitu dalam bentuk pati.
Untuk skala industri, pati sagu dapat digunakan
Dari Pedoman Teknis Pengeolahan Mi Sagu sebagai bahan dasar dalam pembuatan dextrin,
(Deptan, 2008), proses pembuatannya adalah bubuk puding, sirup glukosa (Wulansari, 2004)
dengan terlebih dahulu mencampur pati sagu, dan sirup fruktosa (Wiyono, 1990), pembuatan
tawas (1 persen dari total sagu yang diolah hunk kwee, sebagai bahan perekat kapsul (obat-
menjadi mi), air dan perwama. Dicampur dengan obatan), etanol, perekat (Flach, 1983), edible
bantuan alat yaitu mixer atau molen, hingga film (Hikmat, 1997), makanan pendamping ASI
terbentuk adonan yang kalis dan licin. Adonan (Ardiyansyah, 2006), dan sohun instan (Rahmi,
kemudian dicetak dengan bantuan pencetak dkk., 2009).
mie hidrolik, dan direbus selama kurang lebih 1
3.5.1. Edible Film
menit atau sampai mengapung. Selanjutnya mi
dialiri airdingin dan didiamkan selama 15 menit. Pati sagu juga dapat dibuat edible film, edible
Mi ditiriskan dan dilumuri minyak sayur agar film yang dihasilkan mempunyai sifat tipis, kuat,
tidak lengket. elastis, mengkilap, halus, jernih, dan transparan,
serta sangat kompak. Edible film dari pati sagu
dapat digunakan untuk mengemas bumbu mi
Y
Proses pembuatan meliputi beberapa
tahapan yaitu: tepung sagu dicampur dengan
Pengesktrusian
tepung kacang hijau/tepung kedelai, air
dicampurkan sedikit demi sedikit pada tepung
V
kemudian diratakan dan ditekan-tekan sampai
Penjemuran dengan sinar matahari menjadi bentuk adonan yang menyerupai remah-
remah. Dibentuk menjadi butiran-butiran kecil.
Y Pembentukan butiran dilakukan dengan cara
Pengemasan yang sederhana digoyang-goyangkan dalam
kantong kain kemudian diayak menggunakan
Gambar 4. Diagram Alir Proses Pembuatan Sohun ayakan manual. Sisa hasil ayakan dibasahi
Sumber: Bank Indonesia, 2007 dengan air sehingga dapat diolah kembali,
diremas-remas kemudian dimasukkan kembali
dapat dilihat diagram alir pembuatan sohun dari dalam kantong kain untuk dilakukan pembutiran.
pati sagu (Bank Indonesia, 2007). Hasil ayakan butiran dimasukkan kedalam kuali
untuk disangrai selama 5-10 menit sampai
Proses pencucian berlangsung sampai lapisan luar tergelatinasi. Sagu instan yang
kurang lebih tiga hari sehingga didapatkan telah masak langsung dikeringkan dengan cara
pati yang putih dan bersih dari kotoran. Secara dijemur menggunakan alat pengering buatan
garis besar tahapannya yaitu tahap pertama yang ditempatkan di bawah panas matahari,
menghilangkan kotoran berupa serat dan Iainnya, setelah kering sagu instan dapat dikemas
tahap kedua pemutihan menggunakan larutan (Malawat, 2011)
kaporit dan tahap ketiga pembilasan agar pati
tidak berbau kaporit serta pemisahan pati dari air. Penelitian yang dilakukan Sanusi (2006)
Sohun dapat menjadi alternatif pangan karena mengenai sagu instan sebagai makanan tinggi
sudah banyak dikenal masyarakat. Adonan kalori, menyatakan bahwa formulasi sagu instan
yang telah matang kemudian dimasukkan dibuat dengan menggunakan pati sagu sebagai
kedalam mesin ekstrusi (extruder) sohun. Mesin bahan baku utama, dengan bahan-bahan
ini menggunakan prinsip ekstrusi yang akan penyusun lain yaitu : tepung kedelai, skim,
membentuk adonan menjadi benang-benang gula, dan minyak nabati. Penentuan formula
sohun. Ekstrusi ini dilakukan melalui lubang- didasarkan pada jumlah kandungan kalori yang
lubang kecil yang terdapat pada bagian bawah. harus memenuhi minimal 300 kkal per 100 gram
Benang-benang sohun hasil ekstrusi ditampung bahan sebagai syarat makanan tinggi kalori.
diatas loyang yang terbuat dari seng dengan Proses pembuatan sagu instan menggunakan
ukuran 125 cm x 30 cm yang telah diolesi dengan perbandingan komposisi pati sagu dan tepung
minyak sawit. Pengolesan dengan minyak ini kedelai dapat dilihat pada Gambar 5.
dilakukan agar nantinya benang-benang sohun Tahap pembuatan produk dimulai dengan
tidak lengket diloyang sehingga mudah diangkat penentuan jumlah air untuk perebusan.
dan teksturnya menjadi bagus. Penjemuran Penentuan jumlah air penting untuk
Pemanasan dilakukan sampai pati sangrai tidak berasa mentah dan mudah larut dalam
~V
Perebusan dalam air mendidih sampai
mendapatkan karakteristik bubur yang baik, Di samping karbohidrat yang tinggi, sagu juga
yaitu homogen, matang, dan tidak lengket memiliki kandungan kalori sekitar 357 kalori,
sewaktu pengeringan dengan drum dryer. relatif sama dengan kandungan kalori jagung
Perbandingan jumlah air yang digunakan adalah 349 kalori (Tarigans, 2001). Diperkirakan bila
antara pati sagu dan air yang terdiri dari empat memakai tepung sagu dengan kandungan
perbandingan yang berbeda, yaitu 1:3, 1:5, 1:7, karbohidrat 85 persen, dari 6,5 kg tepung sagu
dan 1:9. Proses selanjutnya adalah perebusan akan menghasilkan 3,5 bio-etanol. Bioetanol
dengan menambahkan sejumlah air yang telah sebagai campuran premium tidak mengandung
ditentukan, kemudian dilakukan pengeringan timbal dan tidak menghasilkan emisi hidrokarbon
menggunakan alat pengering drumdryer. Produk sehingga ramah lingkungan.Karena dihasilkan
kering yang dihasilkan selanjutnya digiling halus dari tanaman maka bioetanol dari sagu bersifat
menggunakan Hammer mill(Sanusi, 2006). terbarukan. Pengolahan pati sagu menjadi etanol
serupa dengan pembuatan tape dari ubi kayu.
3.6. Produk Olahan Non-Pangan Sagu Pati sagu diubah menjadi gula menggunakan
3.6.1. Sumber Energi Alternatif mikroba dan difermentasi lebih lanjut menjadi
etanol. Etanol yang diperoleh dimurnikan
Selain pemanfaatan sebagai olahan dengan destilasi (Sumaryono, 2007).
pangan, sagu juga dapat dimanfaatkan sebagai
sumber energi alternatif yang ramah lingkungan, Umumnya, teknologi produksi bio-etanol ini
bioethanol karena kandungan karbohidratnya mencakup 4 (empat) rangkaian proses, yaitu;
persiapan bahan baku, fermentasi, distilasi dan
cukup tinggi 85 persen dibandingkan dengan
jagung (71 persen), dan ubi kayu (24 persen). pemurnian (Bustaman 2008). Mikro organisme
karena kandungan karbohidratnya cukup tinggi Ampas sagu dapat digunakan sebagai
85% dibandingkan dengan jagung (71 persen), bahan dasar produksi protein sel tunggal
dan ubi kayu (24 persen). Di samping karbohidrat (PST) melalui proses fermentasi semi padat.
yang tinggi, sagu juga memiliki kandungan Waktu fermentasi yang diperlukan selama 3
kalori sekitar 357 kalori, relatif sama dengan (tiga) hari pada suhu kamar. Metode ini dapat
kandungan kalori jagung 349 kalori (Tarigans, meningkatkan kadar protein ampas sagu dari
2001). Diperkirakan bila memakai tepung sagu 2,19 persen menjadi 17,93 persen, dihitung
dengan kandungan karbohidrat 85 persen, dari sebagai bahan kering (La Teng, 2010).
6,5 kg tepung sagu akan menghasilkan 3,5 Ampas sagu terlebih dahulu disortir untuk
bio-etanol.
memisahkan kotoran dan benda asing Iainnya,
3.6.2. Ampas Sagu Sebagai Protein Sel selanjutnya dihancurkan dengan menggunakan
Tunggal (PST) gilingan daging. Hasil gilingan, ditambahkan
air dengan perbandingan, ampas sagu: air
Ampas sagu limbah yang dihasilkan dari (2:1), sehingga membentuk bubur. Ampas
pengolahan sagu, kaya akan karbohidrat dan sagu yang sudah berbentuk bubur diturunkan
bahan organik Iainnya. Pemanfaatannya masih pHnya sampai 1,5 dengan menambahkan HCI
terbatas dan biasanya dibuang begitu saja 4 N untuk persiapan hidolisis. Proses hidrolisis
ketempat penampungan atau kesungai yang dilakukan didalam autoklaf pada suhu 121°C
ada disekitar daerah penghasil. Oleh karena itu pada tekanan 2 atm selama 15 menit. Setelah
ampas sagu berpotensi menimbulkan dampak didinginkan pHnya kembali dinaikkan sampai
pencemaran lingkungan (La Teng, 2010). Dari 4,5 dengan menambahkan NaHC03 10 persen.
ampas sagu dapat dibuat Protein Sel Tunggal Untuk memperkaya bubur yang telah dihodrolisis
(PST). PST juga dapat diperoleh dari proses menjadi media produksi, perlu ditambahkan
fermentasi dengan bahan dasar yang berbeda- mineral-mineral nutrien sebanyak 10 ml per kg
beda. Bahan dasar sebagai sumber kerangka bubur (La Teng, 2010).
karbon dan energi yang digunakan diantaranya
pati, limbah cairan jeruk, limbah cairan sulfite, IV. KESIMPULAN
molasses, manur, dadih dan Iainnya (Isaelidis, Tanaman sagu merupakan salah satu
2001). tanaman pangan yang berpotensi untuk
PST sebagai sumber protein bagi manusia
dikembangkan dan dimanfaatkan di Indonesia
untuk menunjang ketahanan pangan. Tanaman
masih sulit untuk diterima karena bau, rasa
sagu memiliki potensi berdasarkan areal
dan warna yang belum sesuai dengan selera,
penanamannya yang cukup luas, produktifitas
kandungan asam nukleatnya cukup tinggi dan
yang tinggi, dan nilai gizi yang tidak kalah dengan
dinding selnya keras. Untuk itu maka lebih tepat
tanaman pangan Iainnya. Tanaman sagu dapat
apabila aplikasinya sebagai sumber protein diolah untuk kebutuhan pangan dan non pangan.
bagi makanan ternak (Hariyum, 1986). Protein Untuk kebutuhan pangan sagu dapat diolah
sel tunggal memiliki kandungan nutrient yang menjadi panganan tradisional, tepung sagu dan
hampir sama dengan tepung ikan. Protein sel turunannya seperti tepung sagu termodifikasi
tunggal ini memiliki kelemahan, yaitu defisiensi dan mi sagu, serta pati sagu dan turunannya
Potensi Tanaman Sagu (Metroxylon sp.) dalam Mendukung Ketahanan Pangan diIndonesia 73
Rahmi,A., Mappiratu dan A. Noviyanty. 2009. Sifat Tasman, A. 1981. Mempelajari Pembuatan Biskuit
Fisikokimia dan Sensoris Sohun Instan dari Pati dari Campuran Tepung Sagu dan Kedelai.
Sagu. Jurnal Agroland 16 (2) : 124-129 ISSN : Skripsi. Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi,
0854-641X FakultasTeknologi Pertanian, Institut Pertanian
Bogor, Bogor.
Rostiwati, T, F.S. Jong & M. Natadiwirya. 1998.
Penanaman Sagu (Metroxylon sagu Rottb.) Udin Saripudin. 2006. Rekayasa Proses Tepung Sagu
Berskala Besar. Badan Penelitian dan (Metroxylon sp.) dan Beberapa Karakternya.
Pengembangan Kehutanan dan Perkebunan: Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian Institut
Jakarta Pertanian Bogor. Bogor.
Sajilata, M. G., R. S. Singhal, dan P. R. Kulkarni. Ulfah, T.Adan Bamualim, U. 2002. The Use of Sago
2006. Resistant starch-a review. Comprehensive Waste, Non-Fermented and Fermented, in the
Reviews in Food Science and Food Safety.Vol. Ration for Growing Native Chicken. Seminar
5.1-17. Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner.
Santosa, C. 1989. Formulasi Makanan Sapihan http://peternakan.litbang.deptan.go.id/fullteks/
(Weaning Food) dengan Bahan Baku Tepung semnas/pronas02-53.pdf. [Diakses 9 November
2012].
Sagu (Metroxylon sp) dan Aspek Fortifikasi Beta-
Karoten didalamnya. Skripsi. Fakultas Teknologi Wahid, A.S. 1988. Prospek Pengembangan Sagu
Pertanian Institut Pertanian Bogor, Bogor di Indonesia. Jurnal Litbang Pertanian, 7(4).
Jakarta.
Sanusi, A. 2006. Formulasi Sagu Instan Sebagai
Makanan Tinggi Kalori. Skripsi. Fakultas Widjono, A., R. Aser, dan Amisnaipa. 2000.
Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor, Identifikasi, Karakterisasi, dan Koleksi Jenis
Bogor Jenis Sagu. Prosiding Seminar Hasil-Hasil
Silalahi, Jansen. dan N. Hutagalung. 2007. Sistem Usaha Tani Papua. Pusat Penelitian
Komponen-komponen Bioaktif dalam Makanan Sosial Ekonomi Pertanian: Bogor.
dan Pengaruhnya terhadap Kesehatan. http.7/ Wirakartakusumah, M.A., A.Apriantono, M.S.Ma'arif,
www.tempo.co.id/medika/arsip/062002/pus-3. Suliantari, D. Muchtadi, dan K. Otaka. 1985.
htm. [Diakses 13 November 2012]. Isolation and Characterization of Sago Strach
Sumaryono. 2007. Tanaman Sagu sebagai and its Utilization for Production of Liquid
Sumber Energi Alternatif. Warta Penelitian dan Sugar. Dalam J.B. Alfons dan A.A. Rivaie.
Pengembangan Pertanian, Vol 29 No 4, ISSN Sagu Mendukung Ketahanan Pangan Dalam
0216-4427. http://pustaka.litbang.deptan.go.id/ Menghadapi Dampak Perubahan Iklim,
publikasi/wr294072.pdf. [Diakses 9 November Perspektif Vol. 10 No. 2 /Des 2011.
2012]. Wiyono, B., Toga Silitonga dan Eduard A.S. Sijabat.
Suryana, A. 2007.Arah dan Strategi Pengembangan 1990.Pembuatan Sirup Berfruktosa Tinggi
Sagu di Indonesia. Dalam E.Karmawati, N. dari Pati Sagu. Jurnal Penelitian Hasil Hutan
Hengky, M. Syakir, A.Wahyudi, M.H. Bintoro, 8 (4) 1990: 140-145.Pusat Penelitian dan
dan N. Haska (Eds.). Prosiding Lokakarya Pengembangan Hasil Hutan. Bogor.
Pengembangan Sagu di Indonesia. Pusat Wulansari I. 2004. Kajian Pengaruh Dosis A-Amilase
Penelitian dan Pengembangan Perkebunan: dan Dextrozyme pada Pembuatan Sirup
Batam Glukosa Pati Sagu (Metroxylon sp.) Skripsi.
Tahir, S. 1985. Mempelajari Pembuatan Protein Sel Bogor: Departemen Teknologi Industri Pertanian,
Tunggal dari Tepung Sagu dengan Fermentasi Fakultas, Teknologi Pertanian, IPB.
Medium Padat. Skripsi. Jurusan Teknologi
Pangan dan Gizi, Fakultas Teknologi Pertanian,
Institut Pertanian Bogor, Bogor.
74
PANGAN, Vol. 22 No. 1 Maret: 61 - 76
BIODATA PENULIS :