Anda di halaman 1dari 2

Tentang Perancangan Paviliun

Perancangan paviliun didasarkan kembali pada gagasan besar keramahtamahan dan hubungannya
terhadap aspek ruang, gerak-isyarat dan keberagaman manusia Indonesia. Melalui pemahaman
tersebut, proposal perancangan ini mencoba menghadirkan sebuah abstraksi lingkungan hidup
manusia Indonesia, lengkap dengan kondisi atau syarat-syarat yang menyimulasikan
keramahtamahan.

Dengan kata lain, sebuah paviliun yang berperan sebagai tuan rumah, yang menerima tamu dari
berbagai negara setiap harinya, untuk beramah-tamah.

Aspek Ruang. Tubuh dari paviliun terbagi ke dalam 3 zonasi utama. Yakni ‘Ruang Tamu’, ‘Ruang
Keluarga’, dan ‘Ruang Privat’. Paviliun ini bertujuan untuk menyoroti pentingnya keberadaan tahapan
dan batasan akan zonasi: domain publik; transisi; dan privat, yang ketiganya erat kaitannya dengan
sifat manusia Indonesia dalam bergaul dengan sesamanya. Disusun secara linier, para pengunjung
atau tamu akan tiba di area teras yang terbuka tanpa batasan dinding sebelum masuk menuju area
semi terbuka berupa area penerima tamu. Dalam tahap ini tamu diberikan pilihan untuk masuk lebih
dalam melalui lorong berukuran 51 cm menuju ruang makan yang menyajikan hidangan khusus atau
memilih tidak masuk lebih jauh dan keluar dari naungan. Begitu pun halnya ketika tamu tiba di ruang
makan, ia akan kembali diberikan pilihan untuk maju menuju ruang privat yang menyediakan matras
besar untuk beristirahat melalui lorong berukuran 45 cm atau keluar dari naungan. Pembagian ruang
ini tidak mutlak memisahkan, karena masing-masing tamu diundang untuk dapat mengenal tuan
rumah lebih dekat secara interpersonal melalui akses-akses bersyarat. Para tamu akan selalu diberi
keleluasaan untuk masuk menerus ke dalam, atau keluar, menentukan kadar hubungannya masing-
masing.

Aspek Gerak-Isyarat Saat mengunjungi ruang-ruang paviliun, para tamu serta merta disambut oleh
situasi ruang yang mengajak mereka untuk menyimulasikan gerak-isyarat manusia Indonesia. Pada
area ruang tamu, para tamu disaring melalui dimensi bukaan selebar 60 cm, mengisyaratkan cara
bertamu yang tidak berbondong-bondong, membawanya ke level personal. Tamu kemudian
disediakan susunan kursi melingkar untuk bercengkerama dengan sama tinggi, namun dengan
beragam bobot lebar dan ukuran melalui keberadaan furnitur ruang tamu. Selanjutnya, tamu
dipersilahkan masuk ke dalam ruang makan melalui koridor berukuran 51 cm dengan tinggi plafon
yang menurun, seolah mengajak tamu untuk berjalan sedikit merendah dan menundukkan kepala,
mengisyaratkan pentingnya rasa hormat ketika memasuki domain semi privat sang tuan rumah. Pada
koridor akhir menuju ruang privat yang berukuran 45 cm, tamu kembali diajak menunduk lebih jauh,
sebelum akhirnya dapat merebah datar bersama pada matras besar di area privat.

Aspek Keragaman Interpersonal Dalam perihal arsitektonik paviliun, material kanvas dipilih menjadi
material utama sebagai selubung utama untuk menandakan personifikasinya yang terbuka akan
keragaman warna sekaligus juga menandakan sisi kesejarahannya, yaitu kanvas sebagai sebuah
material utilitarian dari periode Renaissance yang lahir dan di populerkan di Kota Venice. Menariknya,
para produsen kanvas Venice sendiri awalnya terinspirasi dari layar kapal-kapal nelayan yang erat
kaitannya dengan sejarah maritim dari Kota Venice maupun kepulauan Indonesia. Kanvas menjadi
medium yang tepat untuk menumpahkan keragaman pigmen warna yang lepas dari palet keindahan
hegemoni klasik. Warna-warna dengan semangat oriental yang kental seperti Dioxazine Magenta,
Fluorescent Red dan Quinacridone Red dipadukan dengan kombinasi warna acak tegel kunci, tegel
gerabah dan terang plafon keemasan bercorak gold leaf. Kesemuanya kemudian dipadupadankan
sebagai representasi semangat manusia Indonesia yang ramah akan kemungkinan akulturasi sejak
masa silam, menampung warna dan rasa dari adukan budaya islam, hindu, kolonial, oriental hingga
modernisme.

Pada akhirnya, paviliun ini dapat menjadi sebuah trajektori dan juga simulasi interpersonal bagi para
tamu-tamu mancanegara untuk mengenal cara hidup sekelompok manusia di dalam lingkungan
binaannya yang nyata. Dalam penempatannya di Venice Biennale, paviliun ini tidak mencoba
memaksakan sebuah cara untuk hidup bersama, namun menawarkan pilihan bagi mereka untuk
mengetahui, mengerti, mencoba dan merasakan tentang cara hidup bersama, dengan ramah.

Anda mungkin juga menyukai