Jiptummpp GDL Baiqapinri 48512 3 Babii
Jiptummpp GDL Baiqapinri 48512 3 Babii
TINJAUAN PUSTAKA
6
7
ejakulat (Purnomo., 2003). Dalam kondisi normal, urin di uretra melewati prostat
tanpa komplikasi apapun. Prostat membesar perlahan sepanjang hidup manusia
yang berpotensi menyebabkan penyumbatan uretra pada saat seorang pria
mencapai lima puluhan atau enam puluhan. Jika kelenjar ini mengalami
hiperplasia jinak maka dapat menyebabkan kesulitan buang air kecil atau bahkan
akhirnya ketidakmampuan untuk buang air kecil (Anonim., 2016).
Gambar 2.2 Prostat Normal dan Benign Prostatic Hyperplasia (Lee Marry., 2008).
Pembentukan nodul pembesaran prostat ini sudah mulai tampak pada usia 25
tahun pada sekitar 25% pria (BPOM RI., 2012).
Menurut (Purnomo., 2003) dalam bukunya yang berjudul Dasar-Dasar
Urologi menyebutkan bahwa etiologi BPH terjadi karena beberapa faktor, antara
lain :
1. Teori dihidrotestosteron (DHT)
2. Adanya ketidak seimbangan antara estrogen-testosteron
3. Interaksi antara sel stroma dan sel epitel prostat
4. Berkurangnya kematian sel (apoptosis)
5. Teori stem sel
Pada berbagai penelitian dikatakan bahwa kadar DHT pada BPH tidak jauh
berbeda dengan kadarnya pada prostat normal, hanya saja pada BPH aktivitas
enzim 5α-reduktase dan jumlah reseptor androgen lebih banyak pada BPH. Hal ini
menyebabkan sel-sel prostat pada BPH lebih sensitif terhadap DHT sehingga
replikasi sel lebih banyak terjadi dibandingkan dengan prostat normal.
10
Tabel II.1. Klasifikasi derajat penyakit BPH berdasarkan nilai IPSS (Dipiro
et al., 2015).
Nilai IPSS Derajat BPH
0-7 Derajat Ringan
8-19 Derajat Sedang
20-35 Derajat Berat
Analisis gejala ini terdiri atas tujuh pertanyaan yang berhubungan dengan
keluhan LUTS yang masing-masing memiliki nilai 0 hingga 5 dengan total
maksimum dan satu pertanyaan mengenai kualitas hidup (quality of life atau
QoL). Skor total akan digunakan dalam menentukan pembagian dari gejala LUTS
yang dibagi atas 3 bagian yaitu ringan (IPSS 0-7), sedang (IPSS 8-19) atau berat
(IPSS 20-35) tergantung pada banyaknya gejala yang mengganggu kualitas hidup
dan aktivitas penderita. Dengan memakai piranti skoring IPSS dapat ditentukan
kapan seseorang pasien memerlukan terapi. Sebagai patokan jika skoring >7
berarti pasien perlu mendapatkan terapi medikamentosa atau terapi lain. Semua
informasi ini dapat membantu dalam memahami seberapa mengganggunya gejala
berkemih dan menentukan tatalaksana yang terbaik untuk pasien.
13
4. Urgency (Seberapa 0 1 2 3 4 5
sering anda sulit
menunda kencing?)
5. Weak Stream 0 1 2 3 4 5
(Seberapa sering
pancaran kencing
anda lemah?)
6. Straining (Seberapa 0 1 2 3 4 5
sering anda harus
mengejan untuk
mulai kencing?)
7. Nocturia (Seberapa 0 1 2 3 4 5
sering anda harus
bangun untuk
kencing? Sejak
anda tidur pada
malam hari hingga
bangun tidur pagi
hari)
Skor IPSS total dari pertanyaan 1-7
8. Quality of Life 0 1 2 3 4 5
(Seandainya anda
harus
menghabiskan sisa
hidup dengan
kondisi fungsi
kencing seperti ini,
bagaimana
perasaan anda?
Skor kualitas hidup (QoL) Senang sekali = 1, Senang = 2, Puas = 3, Bercampur antara puas
dan tidak = 4, Tidak puas = 5, Tidak bahagia = 6
Gejala Skor 1-7 (Ringan) , 8-19 (Sedang) , 20-35 (Berat)
14
penyakitnya (Dipiro et al., 2015). Terapi ini bertujuan untuk memantau dan
mengetahui perkembangan penyakit BPH yang diderita oleh pasien.
kemerahan, pruritus, dan angiodema juga pernah dilaporkan (BPOM RI., 2015).
Dosis obat golongan α-Bloker yang digunakan pada pasien BPH yaitu prazosin 1-
5 mg diberikan 2xsehari, Terazosin 1-10 mg/hari, Doxazosin 1-8 mg/hari,
Tamsulosin 0.4 atau 0.8 mg/hari dan Alfuzosin 10 mg/hari (McVary et al., 2010).
2.8.2.2 Golongan 5α-reductase inhibitors
Obat yang termasuk golongan 5α-reductase inhibitor yaitu finasteride dan
dutasteride. Obat ini bertujuan untuk mengganggu efek stimulasi dari testosteron
dan mampu memperlambat perkembangan penyakit serta mengurangi resiko
terjadinya komplikasi. Obat ini bekerja dengan cara menghambat enzim 5α-
reduktase, sehingga akan menghambat produksi DHT (hormon yang berperan
dalam pembesaran prostat). Kombinasi 5α-reduktase inhibitor dengan α bloker
dikatakan mampu menghambat perkembangan BPH menjadi retensi urin akut.
Efek samping 5α-reduktase inhibitor antara lain menurunnya libido dan disfungsi
ereksi (Purnomo., 2003). Pada penelitian yang dilakukan oleh Hagberg et al.,
(2016) dilakukan pemantauan pada pasien BPH dengan tingkat disfungsi ereksi
yang tinggi. Hal tersebut terbukti bahwa setelah pasien diberikan obat golongan
5α-reductase inhibitor menyebabkan tingkat disfungsi ereksi pasien mengalami
penurunan. Dosis obat golongan 5α-reductase inhibitor yang digunakan pada
pasien BPH yaitu finasteride 5mg/hari sedangkan dosis dutasteride yaitu
0.5mg/hari (McVary et al., 2010; MIMS., 2015).
prostat yang sangat kecil (50 ml). Sebelum melakukan tindakan ini, harus
disingkirkan kemungkinan adanya karsinoma prostat dengan melakukan colok
dubur, melakukan pemeriksaan ultrasonografi transrektal, dan pengukuran kadar
PSA (Purnomo,. 2003).
2.8.3.2.4 Transurethral Electrovaporization of The Prostate (TUVP)
Cara elektrovaporisasi prostat adalah sama dengan TURP, hanya saja teknik
ini memakai roller ball yang spesifik dan dengan mesin diatermi yang cukup kuat,
sehingga mampu membuat vaporisasi kelenjar prostat. Teknik ini cukup aman,
tidak banyak menimbulkan perdarahan pada saat operasi, dan masa rawat di
rumah sakit lebih singkat. Tetapi prosedur ini dapat menyebabkan efek samping
iritasi (Purnomo,. 2003).
2.8.3.2.5 Photoselective Vaporization of The Prostate (PVP)
Photoselective Vaporization of The Prostate (PVP) merupakan prosedur
pembedahan prostat dengan cara menghancurkan kelebihan jaringan prostat
dengan cara menembakkan sinar laser fiber 550 mikron. Prosedur ini bertujuan
untuk memaksimumkan laju aliran urin (McVary et al., 2010).
2.8.3.2.6 Holmium Laser Ablation of The Prostate (HoLAP)
Prosedur ini digunakan untuk mengobati jaringan prostat dengan cara
menembakkan laser fiber 550 mikron dan dengan panjang gelombang 2120 nm
yang dapat diserap terutama oleh air dan dapat menghasilkan penetrasi optik pada
kedalaman 0,4 mm. Efek samping HoLAP sama dengan TURP yaitu infeksi dan
perdarahan (McVary et al., 2010).
2.8.3.2.7 Holmium Laser Enucleation of The Prostate (HoLEP)
Holmium Laser Enucleation of The Prostate merupakan prosedur yang
digunakan pada pasien yang telah melakukan pembedahan dengan open
prostatectomy. Pada prosedur ini dilakukan dengan cara memasukkan alat yang
disebut resectoscope melalui penis kedalam uretra. Efek samping yang dapat
terjadi yaitu perdarahan (McVary et al., 2010).
2.8.3.2.8 Holmium Laser Resection of The Prostate (HoLRP)
Holmium Laser Resection of The Prostate merupakan prosedur dengan
adenoma prostat yang direseksi menggunakan serat laser holmium. Pada prosedur
21
ini dapat terjadi perdarahan sehingga perlu dilakukan transfusi darah dan dapat
menyebabkan sindroma transuretral reseksi (McVary et al., 2010).
setelah pasien keluar dari rumah sakit dan juga termasuk infeksi pada petugas-
petugas yang bekerja di fasilitas kesehatan. Infeksi yang tampak setelah 2X24 jam
pasien diterima dirumah sakit biasanya diduga sebagai suatu infeksi nosokomial
(Irma., 2011). Berdasarkan data dari beberapa penelitian menyebutkan bahwa
pada tahun 1995-2010, prevalensi infeksi nosokomial di Indonesia sebesar 7,1%
(Wikansari et al., 2012).
2.9.3 Infeksi Luka Operasi (ILO)
Survei oleh WHO menunjukkan 5%-34% dari total infeksi nosokomial
adalah infeksi luka operasi. Infeksi luka operasi adalah infeksi pada tempat
didaerah luka setelah tindakan bedah. Infeksi ini terjadi dalam kurun waktu 30
hari setelah tindakan operasi jika tidak ada tindakan implantasi, atau dalam kurun
waktu 1 tahun setelah tindakan operasi jika ada dilakukan implantasi dan infeksi
yang tampak ada hubunganya setelah dilakukan tindakan operasi. Sumber bakteri
pada ILO dapat berasal dari pasien, dokter beserta tim, lingkungan, dan termasuk
juga instrumentasi (Haryanti et al., 2013). Mikroorganisme penyebab ILO tetapi
yang berasal dari pasien disebut sebagai infeksi endogen misalnya
mikroorganisme pada kulit atau disebut sebagai infeksi eksogen ketika
mikroorganisme berasal dari instrument atau lingkungan pasca operasi (Weish
Andrew., 2008).
2.9.4 Bedah Urologi
Berdasarkan sifat infeksi yang terjadi, prosedur bedah pada pasien BPH
digolongkan ke dalam bersih terkontaminasi. Resiko terjadinya infeksi pada bedah
bersih terkontaminasi yaitu 4-10% sedangkan pada bedah terkontaminasi yaitu
sebesar 10-15%. Pasien memiliki resiko terjadinya infeksi apabila daya tahan
tubuh pasien melemah dan tidak dapat melawan bakteri patogen (Grabe et al.,
2011). Pada bedah bersih terkontaminasi dan bedah terkontaminasi terjadi infeksi
yang disebabkan karena adanya bakteri endogen yang berada pada kulit. Untuk
mengurangi prevalensi terjadinya infeksi pada bedah bersih terkontaminasi, maka
diperlukan pemberian antibiotik profilaksis. Di beberapa rumah sakit, pemberian
antibiotik profilaksis secara luas digunakan pada prosedur pembedahan (Bratzler
et al., 2013). Penggunaan antibiotik profilaksis didasari atas kelas operasi, yaitu
operasi bersih dan bersih terkontaminasi. Pemberian antibiotik profilaksis yaitu
23
pada kasus yang secara klinis tidak didapatkan tanda-tanda infeksi dengan tujuan
untuk mencegah terjadi infeksi luka operasi. Diharapkan pada saat operasi
antibiotik di jaringan target operasi sudah mencapai kadar optimal yang efektif
untuk menghambat pertumbuhan bakteri (Avenia, 2009). Prinsip penggunaan
antibiotik profilaksis selain tepat dalam pemilihan jenis juga mempertimbangkan
konsentrasi antibiotik dalam jaringan saat mulai dan selama operasi berlangsung
(Kemenkes RI, 2011).
satu inti siklik dengan satu rantai samping. Inti siklik terdiri dari cincin tiazolidin
dan cincin betalaktam. Rantai samping merupakan gugus amino bebas yang dapat
mengikat berbagai jenis radikal. Mekanisme kerja dari penisilin yaitu
menghambat pembentukan mukopeptida yang diperlukan untuk sintesis dinding
sel mikroba. Diantara semua penisilin, penisilin G mempunyai aktivitas yang baik
terhadap bakteri gram positif. Namun, penisilin G tidak tahan terhadap asam
sehingga hanya bisa diberikan secara parenteral. Penisilin yang memiliki aktivitas
yang baik terhadap bakteri gram negatif yaitu kelompok ampisilin. Kelompok
ampisilin ini juga tahan terhadap asam dan bisa diberikan secara peroral
(Istiantoro et al., 2012).
2.10.2 Golongan Aminoglikosida
Aminoglikosida merupakan golongan antibiotika bakterisida yang dikenal
toksik terhadap syaraf otak (ototoksik) dan terhadap ginjal (nefrotoksik) dimana
memiliki aktivitas kerja lebih tinggi pada suasana alkali daripada suasana asam.
Derivat amioglikosida yang telah dikembangkan hingga sekarang yaitu
streptomisin, neomisin, kanamisin, gentamisin dan amikasin. Gentamisin
merupakan obat golongan aminoglikosida yang banyak digunakan. Mekanisme
kerja dari gentamisin yaitu bekerja terutama pada bakteri basil gram negatif yang
aerob, tetapi obat ini kurang efektif pada bakteri basil gram negatif yang anaerob
(Istiantoro et al., 2012).
2.10.3 Golongan Fluoroquinolon
Terapi menggunakan fluoroquinolon biasanya digunakan pada infeksi
saluran kemih. Golongan obat ini dapat didistribusi secara baik didalam tubuh.
Salah satu sifat fluoroquinolon yang menguntungkan yaitu mampu mencapai
kadar tinggi dalam jaringan prostat. Obat ini juga memiliki waktu paruh eliminasi
yang lebih panjang di dalam tubuh sehingga pemberiannya cukup diberikan 2 kali
sehari (Istiantoro et al., 2012). Efek samping pada obat ini jarang terjadi, tetapi
meliputi mual, muntah, ruam-ruam, pusing, dan sakit kepala. Sehingga diperlukan
pemantauan dalam penggunaan obat ini (Neal et al ., 2006).
2.10.4 Golongan Sefalosporin
Sefalosporin berasal dari jamur Cephalosporium acremonium yang diisolasi
pada tahun 1948 oleh Brotzu (Neal et al ., 2006). Dari jamur ini dapat diisolasi
25
berikatan pada satu atau lebih ikatan protein-penisilin yaitu penicillin binding
proteins (PBPs) yang selanjutnya akan menghambat tahap transpeptidasi sintesis
peptidoglikan dinding sel bakteri dan menghambat biosintesis dinding sel
sehingga bakteri akan mengalami lisis (David et al., 2003).
2.11.3 Farmakokinetik Seftriakson
Seftriakon dapat diberikan secara intravena (IV) maupun intramuskular
(IM), disebabkan karena absorbsi pada saluran cerna yang buruk. Seftriakson
didistribusikan dalam jaringan tubuh dan cairan. Waktu paruhnya mencapai 8 jam,
83-96% berikatan dengan protein plasma kemudian 60-80% yang diekskresikan
dalam urin (Istiantoro et al., 2012).
2.11.4 Mekanisme Resistensi Seftriakson
Resistensi terhadap antibiotik beta-laktam mungkin berhubungan dengan
ketidakmampuan antibiotik untuk mencapai tempat kerjanya dengan perubahan
pada Penicillin Binding Protein (PBP) yang merupakan target dari antibiotik beta-
laktam. Sehingga hal tersebut menyebabkan afinitas ikatan antibiotik tersebut
menjadi lebih rendah, atau dengan enzim bakteri (β-laktamase) yang dapat
menginaktivasi beta-laktam oleh hidrolisis cincin beta-laktam. Mekanisme
resistensi terhadap sefalosporin yang paling sering terjadi adalah perusakan beta-
laktam melalui hidrolisis dari cincin β-laktam. Banyak mikroorganisme gram-
positif yang melepaskan cukup banyak β-laktamase ke medium sekitarnya.
Meskipun bakteri gram-negatif tampaknya menghasilkan lebih sedikit enzim β-
laktamase, namun lokasi enzim tersebut dalam ruang periplasma membuatnya
lebih efektif dalam merusak beta-laktam saat berdifusi menuju targetnya pada
membran bagian dalam. Namun demikian, beta-laktam memiliki kerentanan yang
bervariasi terhadap β-laktamase. Misalnya sefalosporin generasi ketiga lebih
resisten terhadap hidrolisis β-laktamase yang dihasilkan oleh bakteri gram-negatif
daripada sefalosporin generasi pertama (Goodman et al., 2006).
2.11.5 Aturan Pemakaian Seftriakson
Seftriakson merupakan antibiotik sefalosporin generasi ketiga yang
digunakan untuk perawatan infeksi, yakni dengan dosis dewasa diberikan secara
intravena (IV) maupun intamuskular (IM) 1-2 gram per hari diberikan setiap 12
jam. Apabila pasien mengalami septicemia maka dilakukan peningkatan dosis
30
yaitu 2 gram setiap 4 jam atau 3-4 gram setiap 8 jam (David., 2003 ; FDA., 2016).
Sedangkan dosis seftriakson sebagai antibiotik profilaksis yaitu 1-2g yang
diberikan 30 menit-2 jam sebelum dilakukannya prosedur operasi. Lama
penggunaan dari antibiotik seftriakson yaitu 2-14 hari (FDA., 2016).
2.11.6 Sediaan Seftriakson yang ada di Indonesia
Berikut nama-nama dagang dari seftriakson yang tersedia di Indonesia
menurut MIMS., 2015 :
No. Nama obat Dosis dan aturan pakai Bentuk sediaan
1. Rocephin Dewasa 1-2 g/hari, Vial 1g
Infeksi berat 4 g/hari
2. Rixone Dewasa 1-2 g/hari, Infeksi berat 4 Vial 1g
g/hari, Profilaksis peri-op 1-2 g
sebagai dosis tunggal di injeksikan
30-90 menit sebelum op
3. Socef Dewasa 1-2 g/hari, Vial 1g
Infeksi berat 4 g/hari,
Infeksi GO tanpa komplikasi 250
mg IM sebagai dosis tunggal,
Profilaksis selama op 1 g IV
sebagai dosis tunggal diinjeksikan
30-90 menit sebelum op
4. Intrix Dewasa 1-2 g/hari IV dosis tunggal Vial 1g
atau dalam 2 dosis terbagi,
Profilaksis pada pembedahan 1 g
IV dosis tunggal diinjeksikan 30-90
menit sebelum pembedahan
5. Intricef Dewasa 1-2 g/hari, Infeksi berat Vial 1g + 10 ml
maks 4g/hari aqua for injection
6. Futaxon Dewasa 1-2 g/hari, profilaksis Bubuk injeksi
peri-op 1-2 g selama 30-90 menit (vial) 1 g + 10 ml
pelarut
7. Gracef Dewasa 1-2 vial/hari, Infeksi Vial 1g + 10 ml
berat 4 vial/hari, Profilaksis aqua steril
infeksi pra-op 1-2 vial sebagai
dosis tunggal diberikan 30-90
menit sebelum op
8. Foricef Dewasa 1-2 g IM/IV per hari, Vial 1g
Infeksi berat 4 g/hari, Profilaksis
infeksi dalam pembedahan 1-2 g
sebagai dosis tunggal diberikan 30-
90 menit sebelum op
9. Elpicef Dewasa 1-2 g/hari Vial 1 g
10. Ecotrixon Dewasa 1-2 g/hari, Infeksi berat 4 Bubuk injeksi
g/hari, Profilaksis infeksi dalam (vial) 1g
pembedahan 1-2 g IV dosis tunggal
diberikan 30-90 menit sebelum op
31
Lanjutan Halaman 32