Koran Sindo
Selasa, 3 September 2019 - 06:32 WIB
Defisit keuangan badan itu pada tahun ini diprediksi tembus Rp32 triliun, lalu pada 2020
defisit diperkirakan meningkat menjadi Rp39,5 triliun. Selanjutnya pada 2021 defisit
diprediksi tembus Rp50,1 triliun, lalu pada 2022 melonjak menjadi Rp58,6 triliun, pada 2023
mencapai Rp67,3 triliun, dan pada 2024 defisit meroket menjadi Rp77,9 triliun. Prediksi
defisit tersebut terealisasi apabila tidak ada tindakan sama sekali, dalam arti apabila premi
atau iuran per orang per bulan tidak ada perubahan.
Defisit keuangan BPJS Kesehatan memang sebuah penyakit serius yang harus segera
diamputasi. Prediksi defisit keuangan dari 2019 hingga 2024 dibeberkan Direktur Utama
BPJS Kesehatan, Fahmi Idris, dalam rapat kerja dengan Komisi IX dan XI DPR, mengawali
pekan ini.
Bertemunya akses yang mudah dan dukungan fasilitas kesehatan yang memadai membuat
masyarakat mengoptimalkan manfaat BPJS Kesehatan. Namun, di balik semua itu muncul
masalah serius peserta membeludak, tetapi iuran atau premi yang dibayarkan tidak
sebanding biaya yang harus ditanggung BPJS Kesehatan. Akibatnya, selisih antara premi dan
biaya manfaat semakin melebar.
Sebelumnya Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani, pada saat rapat kerja dengan Komisi
XI DPR RI, membongkar masalah yang membuat BPJS Kesehatan selalu tekor dari tahun ke
tahun, salah satunya BPJS Kesehatan tidak menerima iuran yang seharusnya dari peserta
bukan penerima upah (PBPU) atau peserta umum. Dia menyebutkan, peserta BPJS
Kesehatan hampir 223 juta orang.
Rinciannya, peserta penerima bantuan iuran (PBI) dari anggaran pendapatan dan belanja
negara (APBN) sebanyak 96,5 juta orang. Penerima PBI dari anggaran pendapatan dan
belanja daerah (APBD) sebanyak 37,3 juta orang. Selanjutnya, peserta sebagai pegawai
penerima upah (PPU) pemerintah ada 17,1 juta orang, dan PPU badan usaha dari swasta
maupun badan usaha milik negara (BUMN) ada 34,1 juta orang. Lalu, peserta bukan
penerima upah dan bukan pekerja (pensiunan) sebanyak 5,1 juta orang. PBPU sebanyak
32,5 juta.
Kewajiban pemerintah terhadap PBI, menurut Menkeu, selalu dipenuhi melalui alokasi
anggaran di Kementerian Kesehatan. Begitupula dengan PPU, baik pemerintah maupun
badan usaha, selalu terpenuhi dengan mekanisme pembayaran melalui pemotongan
penghasilan yang ditanggung sebagian pemberi kerja dan peserta.
Lain ceritanya dengan PBPU atau peserta umum yang banyak menunggak iuran namun
masih bisa menikmati fasilitas layanan kesehatan. Tercatat, Kementerian Keuangan
(Kemenkeu) telah menyuntikkan dana untuk mengatasi tekor atau defisit keuangan BPJS
Kesehatan mencapai Rp25,7 triliun dalam periode 2015 hingga 2018. Gayung bersambut,
pemerintah pun membuka peluang untuk menaikkan iuran peserta BPJS Kesehatan, namun
respons masyarakat kini terbelah, banyak yang setuju, tetapi tidak sedikit yang menolak.
Sebenarnya, masalah iuran atau premi BPJS Kesehatan yang dinilai rendah dan
menimbulkan defisit keuangan adalah bukan persoalan tunggal. Hasil audit Badan
Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) telah membuka mata bahwa begitu
kompleks persoalan BPJS Kesehatan. Di antaranya ditemukan manipulasi kelas rumah sakit
yang masuk dalam sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Berdasarkan temuan BPKP,
sejumlah rumah sakit meningkatkan kelas demi mendapatkan dana yang lebih besar.
BPKP juga menemukan 2.348 perusahaan yang memanipulasi data gaji kepada BPJS
Kesehatan. Selain itu, terdapat 24,77 juta peserta bermasalah. Karena itu, sebelum Presiden
Joko Widodo (Jokowi) meloloskan permintaan kenaikan premi BPJS Kesehatan, alangkah
baiknya menuntaskan dulu hasil audit BPKP yang jelas-jelas berkontribusi besar terhadap
defisit keuangan BPJS Kesehatan.
(maf)