Anda di halaman 1dari 31

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Posisi dan status profesi medis dalam komunitas baik dokter atau keahlian kesehatan
lainnya sangat berharga. Sebab dokter dapat menyembuhkan pasien atau menyelamatkan
nyawa manusia. Laporan terkini menunjukkan bahwa profesi medis mengalami banyak
masalah dan tuntutan hukum. Gimanapun kecil masalah yang dibuat oleh dokter, dokter akan
digugat atau dituntut atas kegagalan untuk mengobati pasien sehingga dituduh sebagai
malpraktek.
Malpraktek medis dapat menganggu kesehatan pasien atau dapat mengakibatkan bahaya
bagi pasien seperti cedera, diabilitas bahkan kematian. Malpraktek medis sering ditemukan
dalam beberapa Negara seperti Canada (Dewees et al., 1991 ; Mayeda and Takase, 2005),
pada tahun 1970an dan 1980an sekalipun pernah terjadi krisis malpraktek medis di Inggris
dan Amerika Serikat (Danzon, 1984; Henry, 1968; McQuade, 1991. Hal yang sama terjadi di
Malaysia namun tidak sesering Negara lainnya, namun angka kejadian malpraktek medis
meningkat setiap tahunnya.
Indonesia juga mengalami hal yang sama. Kasus malpraktek medis tetap meningkat
setiap tahunnya. Menurut data dari Indonesian Medical Council (IMC), angka kasus
malpraktek medis dalam tahun 2013 adalah 183 kasus. Dari 183 kasus malpraktek, 60 kasus
melibatkan dokter umum, 49 kasus melibatkan dokter spesialis bedah, 33 kasus melibatkan
dokter spesialis obgyn dan 16 kasus melibatkan dokter spesialis anak. Jakarta Legal Aid
Institute of Health data menyatakan bahwa dari tahun 1998-2004 ada 405 kasus malpraktek
medis (Afandi, 2009). Berdasarkan data dari Indonesian Medical Association (IMA),
dilaporkan pada tahun 1998-2004 ada 306 kasus malpraktek medis. Menurut ketua
Indonesian Medical Diciplinary Honorary Council, setiap 62 malpraktek medis dilaporkan
setiap tahunnya. Namun jumlah total kasus malpraktek di Indonesia tidak diketahui sebab
tidak ada agen ofisial pemerintah yang melaporkan masalah ini.
Setiap tahunnya, angka klaim kompensasi akibat kasus malpraktek medis tetap
bertambah. Jelas tanda – tanda krisis malpraktek medis di Indonesia seperti di Amerika

1
Serikat dalam tahun 1970an dan 1980an telah mulai terjadi. Jumlah peningkatan angka kasus
malpraktek medis di Indonesia menimbulkan pertanyaan mengenai profesionalisme dokter
dan personil kesehatan lainnya. Angka kasus malpraktek medis yang tinggi di Indonesia
dapat menghilangkan kepercayaan pasien terhadap para dokter dan rumah sakit di Indonesia,
sehingga mengakibatkan pasien Indonesia meninggalkan dokter Indonesia/rumah sakit
Indonesia dan mencari pengobatan medis diluar negri.

Dampak peningkatan angka kasus malpraktek medis di Indonesia dapat dilihat dengan
adanya peningkatan jumlah pasien yang mencari pengobatan diluar negri. Laporan terkini
menunjukkan Negara yang sering didatangi oleh pasien Indonesia adalah Malaysia, Singapora,
Thailand, dan Cina (Herquitanto, 2009). Hal ini mesti jadi perhatian dan peringatan penting bagi
dokter, rumah sakit dan pemerintah untuk memperbaiki system perawatan kesehatan dan
penegak hukum dalam memastikan dokter dan rumah sakit yang melakukan malpraktek medis
agar dihukum.

Dokter atau tenaga kesehatan lainnya tersebut sebagai manusia biasa yang penuh dengan
kekurangan (merupakan kodrat manusia) dalam melaksanakan tugas kedokterannya yang penuh
dengan resiko ini tidak dapat menghindarkan diri dari kekuasaan kodrat yang maha kuasa, karena
kemungkinan pasien cacat dokter telah melakukan tugasnya sesuai dengan standar profesi atau
Standard Operating Procedure (SOP) dan/atau standar pelayanan medik yang baik. Keadaan
semacam ini seharusnya disebut dengan resiko medik, dan resiko ini terkadang dimaknai oleh
pihakpihak diluar profesi kedokteran sebagai Medical Malpractice(1).

Sebagaimana diketahui, bahwa profesi kedokteran bukanlah bidang ilmu pasti yang
semuanya terukur. Profesi kedokteran menurut Hipocrates merupakan gabungan atau
perpaduan antara pengetahuan dan seni (Science and art). Seperti dalam melakukan
diagnosis merupakan seni tersendiri bagi dokter, karena setelah mendengar keluhan pasien,
dokter akan melakukan imajinasi dan melakukan pengamatan yang seksama terhadap
pasiennya. Pengetahuan dan teoriteori kedokteran serta pengalaman yang telah diterimanya
selama ini menjadi dasar melakukan diagnosa terhadap penyakit pasien, diharapkan
diagnosisnya mendekati kebenaran(1).
Dokter dan pihak yang mempunyai keahlian di bidang kedokteran, sedangkan pasien
adalah orang sakit yang membutuhkan bantuan dokter untuk menyembuhkan penyakit yang

2
dideritanya. Pada kedudukan ini, dokter adalah orang sehat yang juga pakar di bidang
penyakit sementara pasien adalah orang sakit yang awam mengenai penyakitnya. Pasien,
karena keawaman atau ketidaktahuannya, menyerahkan masalah atau penyakit yang
dideritanya kepada dokter demi kesembuhannya. Pasien diharapkan patuh menjalankan
semua nasihat dokter, tidak melanggar larangan, serta memberikan persetujuan atas tindakan
medik yang dilakukan dokter(1).
Pada zaman dahulu terdapat pola hubungan paternalistik antara dokter dengan pasien,
dimana dokter dianggap akan berupaya semaksimal untuk menyembuhkan pasien, seperti
seorang bapak yang baik yang akan berbuat apa saja untuk kepentingan anaknya. Pasien
diharapkan akan bertindak sebagai anak yang patuh dan percaya bahwa dokter akan
bertindak sebagai bapak yang baik(1). Masalah malpraktek dalam pelayanan kesehatan pada
akhir-akhir ini mulai ramai dibicarakan masyarakat dari berbagai golongan. Hal ini
ditunjukkan banyaknya pengaduan kasus-kasus malpraktek yang ditujukan masyarakat
terhadap profesi dokter yang dianggap telah merugikan pasien dalam melakukan pengobatan.
Dalam beberapa tahun belakangan ini yang dirasakan mencemaskan oleh dunia kedokteran
dan perumahsakitan di Indonesia adalah meningkatkatnya tuntutan dan gugatan malpraktek,
utamanya sejak diberlakukan Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen(2).
Bertitik tolak dari adanya perbedaan pendapat ini, tidak mengherankan jika banyak
putusan profesi dokter yang menyatakan tidak ada malpraktek yang dilakukan dokter
seringkali ditanggapi secara sinis oleh pengacara. Undang-undang No. 29 Tahun 2004
tentang Praktik Kedokteran diundangkan untuk mengatur praktik kedokteran dengan tujuan
agar dapat memberikan perlindungan kepada pasien, mempertahankan dan meningkatkan
mutu pelayanan medis dan memberikan kepastian hukum kepada masyarakat, dokter dan
dokter gigi. Perlu diperhatikan pula bahwa dokter merupakan bagian dari masyarakat, karena
dokter juga mengenal berbagai tanggung jawab terhadap norma-norma yang berlaku di
masyarakat dimana dokter bertugas(2).

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Malpraktek medis dan kelalaian medis: pada hari ini, istilah malpraktek sangat popular di
lapangan medis namun istilah malpraktek juga digunakkan dalam profesi lainnya seperi
pengacara, advokat, hakim, akuntan, wartawan, polisi dan lainnya. Pada umumnya, malpraktek
adalah istilah yang menggambarkan adanya dampak buruk, stigmatik, dan bertolak belakang
dengan peraturan.

Ada dua istilah medical error yang dilakukan oleh dokter atau pekerja kesehatan lainnya
yaitu malpraktek medis dan kelalaian medis. Ada beberapa opini yang menyatakan bahwa
malpraktek medis beda dari kelalaian medis. Namun beberapa ahli hukum mengatakam susah
membedakan malpraktek medis dari malpraktek kelalaian. Tentunya dari karya ilmiah, istilah ini
saling digunakan secara bergantian seolah memiliki arti yang sama. Menurut Creighton (1986),
malpraktek dianggap sama dengan kelalaian profesi. Mason dan Smith (1986) mendukung opini
ini dimana mereka mengatakan malpraktek merupakan istilah yang sering digunakan unruk
kelalaian medis.

Telah dituliskan bahwa istilah malpraktek medis tidak sama dengan kelalaian medis.
Semua kesalahan yang dibuat oleh dokter dan pekerja kesehatan lainnya dalam kedua aspek legal
dan etis merupakam malpraktek medis. Sebagai contoh, ketidakpatuhan disiplin atau adanya
tindakan yang sengaja yang dibuat oleh dokter sehingga memperburuk kesehatan pasien. Maka
dari itu definisi dan ruang lingkup malpraktek medis lebih besar daripada kelalaian medis.

Istilah malpraktek medis pertama kali digunakan oleh Sir William Blackstone in 1768.
Menurut Sir William Blackstone (Mohr, 2000; Costante and Puro, 2003), malpraktek adalah
perbuatan yang sangat tidak baik dan pelanggaran pada aturan hukum, baik karena penasaran,
eksperimen, atau kelalaian karena hal itu merusak kepercayaan yang telah diberikan pada dokter
dan merusak kesehatan pasien. Black Law Dictionary (Henry, 1968) menggambarkan
malpraktek medis sebagai kesalahan professional atau kekurangan skill yang tidak memiliki

4
alasan atau gagalnya seseorang memberikan pelayanan professional kepada tahap skil yang telah
dipelajari atau yang ditetapkan oleh komunitas secara rata – rata pada profesi tersebut sehingga
mengakibatkan cedera, kehilangan, atau kerusakan kepada resipient yang menerima pelayanan
atau resipient yang telah bergantung kepadanya.

Di Amerika Serikat hukum perawatan kesehatan untuk membuktikan adanya tindakan


mapraktek medis, pasien haris membuktikan kondisi berikut ini:

 Kewajiban dokter untuk memberikan keperawatan medis kepada pasien.


 Tindakan medis harus sesuai dengan standar profesi.
 Tindakan medis mengakibatkan cedera sehingga pasien mendapatkan kompensasi
(Gittler and Goldstein, 1996)

Menurut Anisah Che Ngah, kelalaian medis merupakam tindakan yang mencakup
kesalahan dalam memberikan diagnosa dan para dokter tidak berhati – hati atau rinci
dalam meyediakan perhatian medis atau tindakan medis lainnya (Ngah, 1990). Ketelitian
dan observasi terperinci adalah penting sebab mereka merupakan patokan kode dan
perilaku.

World Medical Association (WMA, 2005) menyatkan bahwa kelalaian medis yang
dihasilkan oleh dokter yang tidak berkerja sesuai standar profesi medis atau memiliki
kekurangan keahlian atau kelalaian dalam melakukan perawatan medis sehingga
menyebabkan cedara, disabilitas bahkan kematian pasien.

Dalam kasus Donoghue c. Stevenson A. C.562, Lord Atkin menyatkakan bahwa


kelalaian adalah ketika sesorang diwajibkan untuk mempertahankan dan merawat pasien
tapi tidak melakukannya sehingga meyebabkan pasien menderita kekurangan. Dalam
kasus Blyth v. Birmingham Waterworks Co 11 EXCH. 781, Lord Anderson mengatakan
bahwa faux pas merupakan seseorang yang mengabaikan tindakan yang mestinya
dilakukan atau tindakan yang tidak sesuai dilakukan.

Harus dipahami bahwa tidak semua tindakan dokter yang gagal untuk mengobati pasien
merupakan tindakan mapraktek medis, karena ada resiko dan kecelakaan medis dalam
tindakan medis apapun. Semua kegagalan medis tidak merupakan tindakan malpraktek

5
medis ketika seseorang dokter melakukan bedah sesuai Standards of Medical Operations
(SOP). Namun, operasi bisa mengakibatkan hasil yang tidak diinginkan yang sebelumnya
tidak terduga sehingga mengakibatkan cedera, disabilitas ataupun kematian. Sehingga hal
ini disebut resiko medis atau kecelakaan medis bukan malpraktek medis.

Dokter atau personil kesehatan lainnya tidak bertanggung jawab atas kejadian – kejadian
yang tidak disengajakan yang juga bukan merupakan penyebab dari kekurangan keahlian
atau pengetahuan dokter. Maka dari itu, tidak semua tindakan atau atitude ketidak
ketelitian dianggap sebagai malpraktek medis (Buang, 1999). Jika seorang dokter yang
menjalankan profesinya sesuai standar profesi medis dan standar operational yang terkini
maka dokter tersebut akan bebas dari semua tuntutan.

Penelitian dan analisa in depth menunjukkan bahwa dalam tiga peraturan kesehatan yang
sering ditemukan dalam Indonesia, tidak ada dijelaskan definisi malpraktek medis. Istilah
malpraktek medis yang diketahui dibedakan menjadi dua bentuk: malpraktek medis
sengaja dan malpraktek medis tidak sengaja (kelalaian). Kedua istilah ini didasari oleh
tindakan dokter dalam melakukan tindakan medis dan konsekuensi atas tindakan tersebut
yang dapat membahayakan kesehatan pasien seperti menyebabkan cedera, disabilitas
permanen ataupun kematian. Untuk kedua bentuk malpraktek, disengaja atau tidak
disengajakan (kelalaian), pelaku dapat dituntut atas hukum pidana, hukum sipil dan
kesehatan yang berhubungan dengan urusan administrasi.

Malpraktek medis (aspek legal dan etis): malpraktek medis di Indonesia dapat dibagi
menjadi dua aspek: aspek etis dan aspek legal. Malpraktek medis kemudian dibagi lagi
menjadi tiga aspek yaitu, hukum criminal, hukum sipil, dan hukum administrasi. Semua
tipe malpraktek medis memiliki solusi jalannya sendiri, memiliki dasar hukum yang
berbeda, dan ditangani oleh pengadilan yang berbeda.

Malpraktek medis etis: nilai etis harus berkembang dalam kelompok profesi masing –
masing. Kelompok profesi hanya bisa diawasi oleh anggota profesi yang mengerti luar
dan dalam profesi tersebut. Maka dari itu, setiap institusi harus memiliki kode dan etis
asosiasi professional sendiri. Tujuan kode etik adalah untuk mempertahankan martabat

6
dan kehormatan profesi tersebut dan melindungi keamanan public dalam semua bentuk
kesalahan dalam profesi tersebut.

Dodig dan Cronkovic menyatakan bahwa kode etik profesi muncul saat pekerjaan
menyusun dirinya menjadi suatu profesi. Penting untuk menasehat individu profesi
bagaimana cara menjalani profesi mereka sendiri dan mengerti profesinya (Cronkovic
2014).

Dalam profesi medis, nilai etis dicerminkan dalam kode etis medis Indonesia dan
Sumpah Medis Indonesia. Sumpah dokter mengandung moral contract antara seorang
dokter dengan tuhan sedangkan etis medis mengandung kontrak kewajiban moral antara
dokter bersama kolega dan pasien. Malpraktek medis adalah ketika dokter melakukan
tindakan medis yang berlawanan dengan kode etis medis Indonesia. Etis medis Indonesia
berada sejak dulu. Etis medis Indonesia disusun dalam instrumen yang disebut Kode Etis
Medis Indonesia. Kode etis medis Indonesia merupakan standar etis, prinsip, dan
instrument yang diapplikasikan pada semua dokter di Indonesia.

Kode etis medis Indonesia merupakan aturan dan pengawasan semua profesi dokter
dalam mengobati pasien. Isi dari kode etis medis Indonesia harus sesuai dengan Deklarasi
Helsinki yang dikeluarkan oleh World Medical Association. Deklarasi Helsinki didasari
oleh Deklarasi Geneva, yang berbunyi ‘penyembuhan dan keamanan pasien akan
ditangani oleh adanya dokter’ (Ryo, 2004).

Malpraktek medis: aspek legal malpraktek medis Kriminal:

Malpraktek Kriminal terjadi, ketika seorang pasien meninggal atau memiliki disabilitas
akibat kelalaian, kekurangan ketelitian dokter atau pekerja perawatan kesehatan lainnya.
Malpraktek kriminal dibagi menjadi dua; malpraktek kriminal sengaja dan malpraktek
kriminal kelalaian.

Menurut Moelyatno tindakan sengaja merupakan tindakan yang dilakukan dengan senjaja
atau atas pengetahuan pelaku. Sebagai contoh, dokter yang melakukan aborsi, eutanasia,
dan dokter dengan sengaja tidak membantu pasien meskipung sang dokter mengetahui ia
sendiri berada di area tersebut, sehingga mengakibatkan kematian pada pasien tersebut.

7
Kelalaian terjadi akibat kekurangan perhatian, akurasi yang kurang, kewaspadaan yang
kurang dalam pengobatan atau obat – obat pasirn sehingga secara tidak diinginkan
menyebabkan cedera, disabilitas atau kematian pasien. Kelalaian sama dengan tindakan
sengaja namun perbedaannya hanya oada kualitasny (derajatnya). Derajat kesalahan
sengaja lebih tinggi dibandingkan kelalaian.

Secara umum, aspek kelalaian medis didasari oleh artikel 359 dari kode kriminal dan
artikel 360 dari kode kriminal. Artikel 359 dari kode kriminal menyatakan bahwa suatu
tindakan kelalaian seseorang menyebabkan kematian terhadap orang lain. Jika seseorang
dokter telah menduga dari awal atau memikir tentang konskuensi tindakannya maka
seseorang dokter tersebut tidak akan melakukannya. Hanya apabila dokter tidak memikir
konsekuensi perbuatannya dimana seorang dokter dapat disalahkan. Salah satu contoh
adalah insiden Suwarti yang meninggal pada tahun 2002 di Bangkalan setelah melahirkan
anak pertamanya. Keluarga pasien melaporkan sang dokter ke pihak kepolisian atas
tuduhan malpraktek medis karena tindakannya melanggar artikel 359 dari kode kriminal.

Malpraktek medis sipil: malpraktek medis dalam aspek hukum sipil didasari oleh
persetujuan antara pasien dan dokter. Hubungan antara dokter dan pasien tidak hanya
didasari oleh kepercayaan pasien terhadap dokter namun juga didasari oleh kontrak atau
persetujuan yang mengatakan bahwa kedua pihak memiliki hak dan kewajiban. Dalam
aspek hukum, persetujuan antara dokter dan pasien didasari oleh prinsip medical consent
(Informed consent). Persetujuan atas tindakan medis merupakan proses dalam
mendapatkan consent pasien baik secara tulisan atau lisan. Secara prinsip, persetujuan
atas tindakan medis merupakan suatu bentuk prinsip dari autonomi pasien yang telah
ditetapkan oleh hukum dan etis medis Indonesia. Untuk mendapatkan consent pasien,
para dokter tidak boleh membohongi pasien dengan cara menutupi fakta dan resiko yang
dapat terjadi. Dalam kasus Salgo v. Leland Board of Trustess 1957, 317 P 2d 170, 154
Cal, seorang dokter dihukum karena telah menyembunyikan fakta mengenai penyakit
psien. Demi untuk mendapatkan persetujuan seorang dokter tidak boleh
menyembunyikan fakta bahwa resiko medis cukup tinggi. Prinsip dari informed consent
merupakan bentuk dari pengaman seorang dokter dalam menjalani pengobatan terhadap
pasien. Jika persetujuan tidak diimplementasikan atau tidak diimplementasikan secara

8
akurat maka dokter telah melanggar hukum terhadap kedua pihak yang telah disepakati
bersama. Kerugian yang terjadi hanya dapat diukur dengan istilah kerugian materi
sebagai contoh kerugian hanya dapat diukur dengan uang seperti biaya maintenance,
biaya travel, biaya operasi dan biaya obat – obatan.

Malpraktek medis Administratif: malpraktek administratif terjadi ketika seorang


dokter atau atau ahli kesehatan lainnya melakukan praktek berskil tanpa surat izin
praktek, melakukan praktek medis yang tidak sesuai dengan surat izin yang dikeluarkan,
melakukan praktek medis denga surat izin yang kadaluarsa, dan berpraktek tanpa
membuat rekam medis. Hal yang menarik dalam hukum ini adalah pelanggaran
administratif yang dibuat oleh dokter tidak hanya dihukum secara administratif, sebagai
contoh pencabutan izin praktek tetapi juga dapat dihadapi dengan hukum pidana apabila
mengakibatkan ancaman fisik atau mental ataupun kematian terhadap pasien.

Menggerakan paternalism dan autonomi pasien: prinsip paternalism memberikan


dokter dalam posisi sanga tinggi. Seorang dokter merupakan bapak yang baik dan
mengetahui yang terbaik untuk kesehatan pasien. Beberapa Negara Asia masih berharap
dan memberikan banyak kepercayaan terhadap dokter. Sebagai contoh, di Jepang, dokter
tidak akan respon pasien apabila pasien menanyakan banyak pertanyaan mengenai obat –
obatan, pengobatan dan pengobatan alternative lainnya yang dapat diambil oleh pasien.
Sebagai fakta, ada dokter yang menyuruh pasien untuk tetap diam karena dokter tersebut
mengetahui yang terbaik untuk pasiennya. Di jepang, banyak dokter masih berkomitmen
terhadap prinsip paternalism. Banyak dokter di Jepang tidak memberikan indormasi yang
luas kepada pasiennya, sebab Jepang belum mengimplementasikan prinsip autonomi
pasien. Naoki Miyaki mengatakan bahwa dokter sebagai individu tidak memberikan
informasi menganai penyakit pasien. Seorang dokter memilih untuk tidak menjelaskan
situasinya karena seorang dokter percaya bahwa pasien semestinya tinggal bersama
keluarga agar tercapai kemudahan. Keputusan dibuat oleh saudara pasien. Hal ini
menunjukkan bahwa medical consent dilakukan oleh saudara atau kerabat dekat.
Sehingga Jepang masih menganggap paternalism. (Morioka, 1995).

Tidak berbeda jauh di Malaysia, dimana seorang pasien berharap dan percaya banyak
terhadap dokter. Puteri Nemie menemukan bahwa kesalahan mayor di rumah sakit

9
Malaysia adalah hak pasien untuk memberikan consent jarang diberi tahu kepada pasien.
Pasien biasnaya disuruh untuk mentandatangani surat consent sebelum pengobatan atau
operasi namun pada kebanyakan waktu mereka tidak memahami apa yang mereka telah
tandatangani (Kassim, 2004).

Menurut Muhammad Nur Azmi Baharuddin, hasil dari pasien kanker di rumah sakit
Selayang menemukan bahwa meskipun pasien secara umumnya menerima nasibnya,
pasien atau keluarga pasien ingin terlibat dalam pengobatannya dan akan menolak
tindakan medis apabila dilakukan tanpa pengetahuan atau consent mereka.

Namun prinsip paternalism perlahan ditinggalkan oleh deklarasi prinsip global autonomi
pasien. Satu bentuk dari autonomi pasien adalah informed consent yang mengikat
kebebasan dokter dalam melakukan tindakan medis sesuai dengan keinginannya. Semua
tindakan medis hatus dilakukan apabila consent telah diberikan oleh pasien. Secara tidak
langsung, hal ini berarti prinsip etis medis adalah untuk memegang hak pasien, memberi
kehormatan prinsip kebebasan seorang individu dalam menegakkan tindakan medis yang
dia harapkan.

Informed Consent di Indonesia: prinsip autonomi pasien ditemukan setelah keputusan


pengadilan Nuremburg yang terkait dengan Nuremburh Code pada tahun 1947.
Keputusan ini memastikan bahwa semua dokter yang melakukan penelitian klinis harus
mendapatkan consent dari pasien. Dalam Nuremburg Code tahun 1947, autonomi pasien
ditetapkan di aturan nomor 1 yang prinsipnya mencakup nilai mora untuk pasien yang
didasarkan oleh informasi lengkap dan rekam medis yang tepat dan benar. Kemudian hak
antara hubungan dokter dan pasien menjadi prinsip dari informed consent.

Prinsip dari autonomi pasien merupakan salah satu martabat yang dideklarasi oleh
Universal Declaration of Human Rights pada tahun 1966, European Convention on
Human Rights pada tahun 1959 dan juga Convention on Bioethics Council of Europe
yang dikeluarkan pada tanggal 1 bulan Desember tahun 1999 (Kokkonen, 2004).

Menurut J Keown, istilah autonomi merupakan kemampuan seseorang untuk berfikir dan
membuat keputusan. Keputusannya dibuat yanpa ada keraguan dan dilakukan dengan
kemauan sendiri (Keown, 1995). Menurut Anisah, autonomi pasien adalah kehormatan

10
hak pasien. Jika pasien meminta informasi, seorang dokter harus menyediakan dan
memberikan informasi secara jelas dan benar. Jika seorang dokter ingin memeriksa
pasien, maka pasien harus setuju terlebih dahulu. Dalam kode perilaku professional 1987
dan 1995 Patient’s Charter menyatakan bahwa sebelum melakukan tindakan medis,
pasien memilih hak untuk diberi informasi terlbih dahulu dan kemudian diberikan
consent.

Prinsip autonomi pasien telah juga diperkenalkan di Indonesia melalui keputusan Dewan
Eksekutif dari Indonesian Medical Association (PB-IDI). NO. 319/PB/A.4/1988.
Keputusan ini dikuatkan oleh berlakunya Menteri Kesehatan Indonesia No. 585 tahun
1989 yang berkaitan dengan persetujuan tindakan medis (prinsip informed consent).
Kemudian diperkuatkan lagi dalam Artikel 45 pada hukum Republik Indonesia No. 29
tahun 2004 yang berkaitan dengan tindakan media yang menyatakan bahwa setiap
tindakan/pengobatan pada umumnya dan pasien gigi hanya dapat dilakukan apabila
pasien telah mentandatangani surat dan setelah informasi yang lengkap telah dijelaskan.

Implementasi prinsip informed consent di Indonesia mulai dengan persetujuan terapeutik


antara dokter dan pasien. Persetujuan dilakukan dalam bentuk informed consent dan
harus ditandatangan oleh dokter dan pasien atau keluarga pasien. Persetujuan terapeutik
bukan merupakan persetujuan yang memerlukan dokter untuk mengobati pasien harena
dokter tidak bisa memastikan hasil dari pengobatan. Semua dokter akan berusaha untuk
bertindak secara professional dengan pengetahuan dan pengalaman sehingga dokter harus
memberikan usaha untuk mengobati pasien, dan bukan hanya focus terhadap hasil (Patil
and Anchinmane, 2011).

Dalam implementasi informed consent, sebelum pasien memberikan informen consent,


dokter harus menyediakan informasi atau memberikan penjelasan lengkap kepada pasien
tentang metode pengobatan, resiko dan kemungkinan kesembuhan pasien. Dalam Artikel
45 paraf Hukum No. 29 tahun 2004 dalam Praktek Medis menyatakan bahwa paling
sedikit dokter harus menjelaskan kepada pasien beberapa hal berikut ini sebelum
melakukan tindakan medis yaitu:

 Diagnosa dan prosedur tindakan medis

11
 Tujuan tindakan medis
 Pengobatan alternatif lainnya
 Resiko dan komplikasi yang dapat terjadi
 Prognosis

Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 585 dari tahun 1989 terhadap persetujuan
tindakan medis menyatakan bahwa informasi medis diberikan kepada pasien baik
diminta oleh pasien atau tidak. Pasien tidak sepenuhnya memiliki pengetahuan medis
sehingga hak dan kewajibam pasien harus dijelaskan kepada pasien secaya rinci dan
pasien juga harus tahu keuntungan dan kerugian tindakan medis pada kedua tahap
pengobatan dan diagnose. Jika pasien tidak ingin tindakan medis yang ditawarkan
oleh dokter, maka pasien berhak untuk menolak dan memilih metode pengobatan
alternatif lainnya.

Dalam praktek kedokteran, consent pasien dapat diberikan secara lisan, tulisan dan
isyarat namun hukum No. 29 tahun 2004 mengharuskan consent medis diberikan dan
diterima dalam bentuk tulisan. Dalam prosedur beresiko tinggiyang memiliki resiko
mengakibatkan kematian pasien, persetujuan tindakan medis harus dilakukan secara
tertulis.

Dokter yang mengobati pasien atau dokter lainnya yang diberikan instruksi dokter
untuk melakukan tindakan medis bertanggung jawab atas menyediakan informasi
atau penjelasan. Informasi atau penjelasan mengenai tindakan medis dapat
disediakan kepada dokter atau ahli kesehatan lainnya jika tindakan medis bukan
merupakan operasi atau pengobatan invasif lainnya. Jika tindakan medis dalam
bentuk operasi atay pengobatan invasive lainnya, dokter lain tidak boleh
menyediakan informasi atau penjelasan. Beberapa hak pasien diterangkan dalan kode
Indonesia Etika Medis:

 Hak untuk hidup, hak atas tubuhnya sendiri dan hak untuk meninggal secara
wajar

12
 Hak untuk mendapatkan perawatan medis yang manusiawi sesuai dengan
standar profesi medis
 Hak untuk mendapatkan penjelasan diagnose dan pengobatan dari dokter
 Hak untuk menolak prosedur diagnosa dan terapi
 Hak untuk dirujuk ke spesialis lainnya apabila perlu
 Hak untuk dijaga rahasia rekam medis
 Hak untuk mendapatkan informasi mengenai regulasi dan biaya perwatan
rumah sakit
 Hal untuk berhubungan dengan keluarga, teman atau lainnya
 Hak untuk mendapatkan detail dan biaya pengobatan.

Dokter harus menjelaskan kepada pasien mengenai situasi, penyakit,


kemungkinan untuk sembuh, tindakan medis yang akan dilakukan dan resiko
yang ada dalam proses operasi. Setelah pasien diberikan informasi yang
diperlukan, pasien akan menentukan atau memutuskan apa yang baik untuk
dirinya. Hal penentuan nasib sendiri dilindungi dan menjadi hak pasien.
Apabila pasien menolak tindakan medis yang ditawarkan oleh dokter, maka
dokter tidak boleh memaksa pasien untuk mengikuti nasehatnya, meskipun
dokter mengetahui penolakan ini dapat menghancam nyawa pasien.

13
.

Malpraktek
medis

Malpraktek Malpraktek
Medis etis Medis Hukum

Malpraktek
Medis Kriminalis

Malpraktek
Medis Sipil

Malpraktek
Medis
Administratif

Gambar 1: Tipe – tipe malpraktek medis

Malpraktek atau malpraktik terdiri dari suku kata mal dan praktik atau praktek. Mal
berasal dari kata Yunani yang berarti buruk. Praktik atau praktek berarti menalankan perbuatan
yang tersebut dalam teori atau menjalankan pekerjaan. Jadi malpraktek berarti menjalankan
pekerjaan yang buruk kualitasnya, tidak lege artis, tidak tepat. Malpraktek tidak hanya dalam
bidang kedokteran, tetapi juga dalam profesi lain seperti perbankan, pengacara, akuntan publik,
dan wartawan(2).

Dengan demikian malpraktek medik dapat diartikan sebagai kelalaian atau kegagalan
seorang dokter untuk menggunakan tingkat keterampilan dan ilmu pengetahuan yang lazim
dipergunakan dalam mengobati pasien atau orang cedera menurut ukuran di lingkungan yang
sama. Dalam praktiknya banyak sekali hal yang dapat diajukan sebagai malpraktek seperti salah
diagnosis atau terlambat diagnosis karena kurang lengkapnya pemeriksaan, pemberian terapi
yang sudah ketinggalan zaman, kesalahan teknis sewaktu melakukan pembedahan, salah dosis
obat, salah metode tes atau pengobatan, perawatan yang tidak tepat, kelalaian dalam pemantauan
pasien, kegagalan komunikasi, dan kegagalan perawatan(2).

14
2.2 Jenis-Jenis Malpraktek

Ngesti Lestari dan Soedjatmiko membedakan malpraktek medik menjadi dua bentuk ditinjau
dari segi etika profesi dan segi hukum yaitu(2) (3):

1. Malpraktek Etik adalah tenaga kesehatan melakukan tindakan yang bertentangan


dengan etika profesinya sebagai tenaga kesehatan.
2. Malpraktek Yuridis yaitu:
a. Malpraktek Perdata (Civil Malpractice)
Terjadi apabila terdapat hal-hal yang menyebabkan tidak terpenuhinya isi perjanjian
(wanprestasi) didalam transaksi terapeutik oleh tenaga kesehatan, atau terjadinya
perbuatan melanggar hukum sehingga menimbulkan kerugian kepada pasien. Adapun
isi dari tidak terpenuhinya perjanjian tersebut berupa:
- Tidak melakukan apa yang menurut kesepakatan wajib dilakukan.
- Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan, tetapi terlambat
melaksanakannya.
- Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan, tetapi tidak
sempurna dalam pelaksanaan dan hasilnya.
- Melakukan apa yang menurut kesepakatannya tidak harus dilakukan.
b. Malpraktek Pidana
Terjadi apabila pasien meninggal dunia atau mengalami cacat akibat tenaga kesehatan
kurang hati-hati atau kurang cermat dalam melakukan upaya perawatan terhadap
pasien yang meninggal dunia atau cacat tersebut. Ada tiga bentuk malpraktek piadana
yaitu:
1. Malpraktek pidana karena kesengajaan, misalnya pada kasus aborsi tanpa
indikasi medis, tidak melakukan pertolongan pada kasus gawat padahal diketahui
bahwa tidak ada orang lain yang bisa menolong, serta memberikan surat
keterangan yang tidak benar.
2. Malpraktek pidana karena kecerobohan (recklessness), misalnya melakukan
tindakan yang tidak lege artis atau tidak sesuai dengan standar profesi serta
melakukan tindakan tanpa disertai persetujuan tindakan medis.

15
3. Malpraktek pidana karena kealpaan (negligence), misalnya terjadi cacat atau
kematian pada pasien sebagai akibat tindakan tenaga kesehatan yang kurang hati-
hati.
c. Malpraktek Administratif
Terjadi apabila tenaga kesehatan melakukan pelanggaran terhadap hukum
administratif negara yang berlaku, misalnya menjalankan praktek bidan tanpa lisensi
atau izin praktek.

2.3 Unsur Malpraktek


Suatu perbuatan atau sikap tenaga medis dianggap lalai apabila memenuhi empat unsur di
bawah ini(3) (4):
a. Duty atau kewajiban tenaga medis untuk melakukan sesuatu tindakan atau tidak
melakukan sesuatu tindakan tertentu terhadap pasien tertentu pada suatu kondisi
medis tertentu.
b. Dereliction of the duty atau penyimpangan kewajiban tersebut.
c. Damage (kerugian), yaitu segala sesuatu yang dirasakan pasien sebagai kerugian
akibat layanan dari kesehatan/kedokteran yang diberikan oleh pemberi layanan.
d. Direct causal relationship (hubungan sebab akibat yang nyata). Dalam hal ini harus
terdapat hubungan sebab-akibat antara penyimpangan kewajiban dengan kerugian
yang setidak-tidaknya merupakan “proximate cause”.

Unsur-unsur malpraktek meliputi(5):


a. Unsur kesengajaan (intensional) yang menyebabkan professional misconducts
(melakukan tindakan yang tidak benar) seperti:
- Penahanan pasien
Tindak pidana ini menurut pasal 333 KUHP yaitu “Barang siapa dengan sengaja
dan melawan hokum merampas kemerdekaan (menahan) orang atau meneruskan
tahanan itu dengan melawan hak”.
- Membuka rahasia kedokteran tanpa hak

16
Menurut undang-undang RI No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran pasal
4:
1. Setiap dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran wajib
menyimpan rahasia kedokteran.
2. Rahasia kedokteran dapat dibuka hanya untuk kepentingan kesehatan pasien,
memenuhi permintaan aparatur penegak hokum dalam rangka penegakan
hokum, permintaan pasien sendiri, atau berdasarkan ketentuan perundang-
undangan.
3. Ketentuan lebih lanjut mengenai rahasia kedokteran diatur dengan Peraturan
Menteri.
- Aborsi illegal
Abortus provocatus dapat dibenarkan sebagai pengobatan apabila merupakan
satu-satunya jalan untuk menolong jiwa ibu dari bahaya maut (abortus provocatus
therapeuticus). Keputusan untuk melakukan abortus provocaticus theraputicus
harus dibuat sekurang-kurangnya oleh dua dokter dengan persetujuan tertulis dari
wanita hamil yang bersangkutan, suaminya, atau keluarga terdekat. Seperti yang
telah diatur pada pasal 349 KUHP, “Jika seorang dokter, bidan atau juru obat
membantu melakukan kejahatan berdasarkan pasal 346, ataupun melakukan atau
membantu melakukan salah satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal 347 dan
348, maka pidana yang ditentukan dalam pasal itu dapat ditambah dengan
sepertiga dan dapat diabut hak untuk menjalankan pencarian dalam mana
kejahatan dilakukan”, dimana dokter dapat dikenakan sanksi 4 tahun penjara.
- Euthanasia
Euthanasia memiliki tiga arti yaitu:
1. Berpindah kea lam baka dengan tenang dan aman tanpa penderitaan dan bagi
yang beriman dengan nama Allah di bibir.
2. Waktu hidup akan berakhir (sakaratul maut) penderitaan pasien diperingan
dengan memberi obat penenang.
3. Mengakhiri penderitaan dan hidup pasien dengan sengaja atas permintaan
pasien sendiri dan keluarganya.
- Keterangan Palsu

17
Pada pasal 267 KUHP dinyatakan bahwa:
(1) Seorang dokter yang dengan sengaja memberikan surat keterangan palsu
tentang ada atau tidaknya penyakit, kelemahan atau cacat, diancam dengan
pidana penjara paling lama empat tahun.
(2) Jika keterangan diberikan dengan maksud untuk memasukkan seseorang ke
dalam rumah sakit jiwa atau untuk menahannya di situ, dijatuhkan pidana
penjara paling lama delapan tahun enam bulan.
(3) Diancam dengan pidana yang sama, barang siapa dengan sengaja memakai
surat keterangan palsu itu seolah-olah isinya sesuai dengan kebenaran.

- Praktik tanpa izin/tanpa kompetensi


Pada pasal 2 kodeki disebutkan bahwa, “Seorang dokter harus senantiasa
berupaya melaksanakan profesinya sesuai dengan standar profesi yang tertinggi”.
Ijazah yang dimiliki seseorang merupakan persyaratan untuk memperoleh izin
kerja sesuai profesinya.
b. Unsur Pelanggaran, meliputi:
- Kurang keahlian (Lack of Skill), yaitu melakukan tindakan diluar kemampuan
atau kempetensi seorang dokter kecuali pada situasi kondisi sangat darurat seperti
melakukan pembedahan oleh bukan dokter dan mengobati pasien diluar
spesialisasinya.
- Kelalaian (Negligence), yaitu melakukan kelalaian sehingga mengakibatkan
kerugian pada pasien.
1. Pelanggaran jabatan (Malfeasance)
Melakukan tindakan yang melanggar hukum atau tindakan yang tidak tepat
dan layak seperti melakukan tindakan pengobatan tanpa indikasi yang
memadai dan mengobati pasien dengan coba-coba tanpa dasar yang jelas.
2. Ketidak hati-hatian (Misfeasance)
Melakukan pilihan tindakan medis yang tepat tetapi dilaksanakan dengan
tidak tepat (improper performance) seperti melakukan tindakan medis dengan
menyalahi prosedur.

18
2.4 Usaha-usaha Menghindari Malpraktek
1. Semua tindakan sesuai dengan indikasi medis.
2. Bekerja sesuai standar profesi.
3. Membuat informed consent.
4. Mencatat semua tindakan yang dilakukan.
5. Apabila ragu-ragu konsultasikan dengan konsulen.
6. Memperlakukan pasien secara manusiawi.
7. Menjalin komunikasi yang baik dengan pasien, keluarga dan masyarakat sekitar.

2.5 Sanksi Malpraktek(3) (4) (5)


a. Pidana
Pasal 267 KUHP (surat keterangan palsu)
1. Seorang dokter yang dengan sengaja memberikan surat keterangan palsu tentang ada
atau tidaknya penyakit, kelemahan atau cacat diancam dengan pidana penjara paling
lama empat tahun.
2. Jika keterangan diberikan dengan maksud untuk memasukkan seseorang kedalam
rumah sakit jiwa atau menahannya disitu, dijatuhkan pidana paling lama delapan
tahun enam bulan.
3. Diancam dengan pidana yang sama, barangsiapa dengan sengaja memakai surat
keterangan palsu itu seolah-olah isinya sesuai kebenaran.

Pasal 268 KUHP

1. Barangsiapa membuat secara palsu atau memalsu surat keterangan dokter tentang ada
atau tidaknya penyakit, kelemahan atau cacat dengan maksud untuk menyesatkan
penguasa umum atau penanggung (verzekaraar), diancam dengan pidana penjara
paling lama empat tahun.
2. Diancam dengan pidana yang sama, barang siapa dengan maksud yang sama
memakai surat keterangan yang tidak benar atau yang dipalsu, seolah-olah surat itu
benar dan tidak dipalsu.

19
Pasal 359 KUHP

1. Barang siapa karena kelalaiannya menyebabkan matinya orang lain, diancam dengan
pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun.

Pasal 360 KUHP

1. Barang siapa karena kelalaiannya menyebabkan orang lain menderita luka berat,
diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling
lama satu tahun.
2. Barang siapa karena kelalaiannya menyebabkan orang lain luka sedemikian rupa
sehingga menderita sakit untuk sementara waktu atau tidak dapat menjalankan
jabatan atau pekerjaannya selama waktu tertentu diancam dengan pidana penjara
paling lama Sembilan bulan atau pidana kurungan enam bulan atau denda paling
tinggi empat ribu lima ratus rupiah.

b. Perdata
Pasal 1338 KUH Perdata (Wan Prestasi)
1. Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka
yang membuatnya.
2. Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak
atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu.
3. Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.

Pasal 1365 KUH Perdata

1. Tiap perbuatan melanggar hokum, yang membawa kerugian kepada seorang lain,
mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti
kerugian tersebut.

Pasal 1366 KUH Perdata (Kelalaian)

1. Setiap orang bertanggung jawab tidak saja atas kerugian yang disebabkan karena
perbuatannya, tetapi juga atas kerugian yang disebabkan karena kelalaiannya atau
kurang hati-hatiannya.

20
Pasal 1370 KUH Perdata

1. Dalam hal pembunuhan (menyebabkan matinya orang lain) dengan sengaja atau
kurang hati-hatinya seseorang, maka suami atau istri yang ditinggalkan, anak atau
korban orang tua yang biasanya mendapat nafkah dari pekerjaan korban mempunyai
hak untuk menuntut suatu ganti rugi yang harus dinilai menurut kedudukannya dan
kekayaan kedua belah pihak serta menurut keadaan.

Pasal 55 UU No. 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan:

1. Setiap orang berhak atas ganti rugi akibat kesalahan atau kelalaian yang dilakukan
tenaga kesehatan.
2. Ganti rugi sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan
peraturan yang berlaku.

c. Undang-Undang Praktik Kedokteran


Pada dasarnya norma hukum yang tercantum dalam UU No. 29 Tahun 2004
tentang praktik kedokteran merupakan norma hukum administrasi. Namun dalam
undang-undang ini juga tercantum ketentuan pidana di dalam pasal 75 sampai dengan
pasal 80.
Pasal 75 tentang tindak pidana tanpa surat tanda registrasi (STR):
1. Setiap dokter atau dokter gigi yang dengan sengaja melakukan praktik kedokteran
tanpa memiliki surat tanda registrasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 29 ayat(1)
dipidana dengan pidana penjara paling lama tiga tahun atau denda paling banyak Rp.
100.000.000,- (seratus juta rupiah).
2. Setiap dokter atau dokter gigi warga Negara asing yang dengan sengaja melakukan
praktik kedokteran tanpa memiliki surat tanda registrasi sementara sebagaimana
dimaksud dalam pasal 31 ayat (1) dipidana penjara paling lama tiga tahun atau denda
paling banyak Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah).
3. Setiap dokter atau dokter gigi warga Negara asing yang dengan sengaja melakukan
praktik kedokteran tanpa memiliki surat tanda registrasi bersyarat sebagaimana

21
dimaksud dalam pasal 32 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama tiga
tahun atau denda paling banyak Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah).

Pasal 76 tentang praktik kedokteran tanpa surat ijin praktik (SIP):

“Setiap dokter atau dokter gigi yang dengan sengaja melakukan praktik kedokteran tanpa
memiliki surat ijin praktik sebagaimana dimaksud dalam pasal 36 dipidana penajara
paling lama tiga tahun atau denda paling banyak Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah).

Pasal 77

“Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan identitas berupa gelar atau bentuk lain
yang menimbulkan kesan bagi masyarakat seolah-olah yang bersangkutan adalah dokter
atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi dokter atau surat tanda
registrasi dokter gigi dan/atau surat izin praktik sebagaimana dimaksud dalam pasal 73
ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau denda paling banyak
Rp. 150.000.000,- (seratus lima puluh juta rupiah).

Pasal 78

“Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan alat, metode atau cara lain dalam
memberikan pelayanan kepada masyarakat yang menimbulkan kesan seolah0olah yang
bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi
atau surat tanda registrasi dokter gigi atau surat izin praktik sebagaimana dimaksud dalam
pasal 73 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau denda
paling banyak Rp. 150.000.000,- (seratus lima puluh juta rupiah).

Pasal 79

“Dipidana dengan pidana kurungan paling lama satu tahun atau denda paling banyak Rp.
50.000.000,- (lima puluh juta rupiah), setiap dokter atau dokter gigi yang:

1. Dengan sengaja tidak memasang papan nama sebagaimana yang dimaksud dalam
pasal 41 ayat (1).

22
2. Dengan sengaja tidak membuat rekam medis sebagaimana yang dimaksud dalam
pasal 46 ayat (1).
3. Dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban sebagaimana yang dimaksud dalam pasal
51 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e.

Pelanggaran Disiplin:

1. Pelanggaran disiplin di bidang kedokteran diatur dalam Peraturan Konsil Kedokteran


Indonesia (Perkonsil) Nomor 16 Tahun 2006 tentang Tata Cara Penanganan Kasus
Dugaan Pelanggaran Disiplin Dokter dan Dokter Gigi oleh Majelis Kehormatan
Disiplin Kedokteran Indonesia.

2.6 Peran Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran (MKDKI) dan Majelis


Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) Dalam Penanganan Kasus Dugaan
Malpraktek Kedokteran.
2.6.1 Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI)
Seperti diketahui dalam Undang-Undang tentang Praktik Kedokteran
dimandatkan pembentukan dan pelaksanaan MKDKI di Pusat dan pada tiap
Provinsi di Indonesia. Menurut undang-undang tentang praktik kedokteran pasal
55:
1. MKDKI dibentuk untuk menegakkan disiplin dokter dan dokter gigi dalam
penyelenggaraan praktik kedokteran.
2. MKDKI merupakan lembaga otonom dari Konsil Kedokteran Indonesia
(KKI).
3. MKDKI dalam menjalankan tugasnya bersifat independen.

MKDKI memeriksa dan memberikan keputusan terhadap pengaduan yang


berkaitan dengan disiplin dokter dan dokter gigi (Pasal 67). Apabila dalam
pemeriksaan ditemukan pelanggaran etika, MKDKI meneruskan pengaduan pada
organisasi profesi (Pasal 68). Dalam hal ini setelah pengaduan disampaikan oleh
MKDKI kepada IDI, akan dilakukan penyaringan kemudian baru diteruskan
kepada MKEK untuk proses lebih lanjut sesuai tugas dan wewenang MKEK.

23
Proses selanjutnya di dalam MKEK mengikuti Standar Prosedur Operasional
MKEK yang berlaku.

2.6.2 Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK)


MKEK merupakan bagian dari Struktur kepemimpinan IDI. MKEK
adalah bahan otonom IDI yang bertanggung jawab dalam pengembangan
kebijakan, pembinaan pelaksanaan dan pengawasan penerapan etika kedokteran.
MKEK dibentuk di tingkat pusat, wilayah dan bila dianggap perlu di tingkat
cabang. MKEK mempunyai tugas dan wewenang antara lain untuk melakukan
bimbingan, pengawasan dan penilaian pelaksanaan etik kedokteran termasuk
perbuatan anggota yang melanggar kehormatan dan tradisi luhur kedokteran.
Salah satu tugas dan wewenang MKEK adalah melakukan pengawasan
terhadap pelaksana etik kedokteran termasuk memberi sanksi bagi perbuatan
anggota yang melanggar kehormatan dan tradisi luhur kedokteran. Keputusan
sidang MKEK disampaikan kepada ketua IDI terkait untuk dilaksanakan sanksi
sesuai prosedur. Sanksi dapat berupa peringatan, pembinaan dan sanksi
administasi.

2.6.3 Penyelesaian Kasus Malpraktek


Keputusan MKDKI merupakan sanksi disiplin dan bersifat mengikat, sesuai
dengan pasal 69 ayat (1), (2) dan (3) Undang-Undang No. 29 Tahun 2004:
1. Keputusan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia mengikat
dokter, dokter gigi dan Konsil Kedokteran Indonesia.
2. Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa dinyatakan
tidak bersalah atau pemberian sanksi disiplin.
3. Sanksi disiplin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat berupa:
a. Pemberian peringatan tertulis.
b. Rekomendasi pencabutan surat tanda registrasi atau surat izin praktek
dan/atau
c. Kewajiban mengikuti pendidikan atau pelatihan di institusi pendidikan
kedokteran atau kedokteran gigi.

24
Lembaga ADR adalah lembaga yang mencoba menawarkan penyelesaian
kepada pihak-pihak yang bertikai, antara pasien dengan dokter atau dokter
gigi. Penyelesaian ini menggunakan pendekatan kepentingan (interest based)
yang bersifat win-win solution melalui konsiliasi, mediasi, fasilitasi dan
negosiasi tanpa mengedepankan benar-salah (right based), dilakukan diluar
pengadilan, dengan atau tanpa kompensasi(6).

Apabila dalam pemeriksaan ditemukan pelanggaran etika, MKDKI


meneruskan pengaduan pada organisasi profesi (Ikatan Dokter Indonesia/IDI
atau Perhimpunan Dokter Gigi Indonesia/PDGI), sesuai pasal 68: “Apabila
dalam pemeriksaan ditemukan palanggaran etika, Majelis Kehormatan
Disiplin Kedokteran Indonesia meneruskan pengaduan pada organisasi
profesi”(6).

Perselisihan itu selanjutnya akan ditangani oleh Majelis Kehormatan Etik


Kedokteran Indonesia (MKEK) IDI, atau ke Majelis Kehormatan Etik
Kedokteran Gigi Indonesia (MKEKG) PDGI. MKEK dan MKEKG adalah
suatu badan pengadilan profesi yang bertugas mengadili anggota ikatan
profesi itu sendiri. Hukuman yang dijatuhkan MKEK/MKEKG bisa berupa
teguran atau pemecatan dari keanggotaan IDI/PDGI yang dapat bersifat
sementara (skorsing) atau tetap/selamanya(6).

Apabila suatu kasus yang diduga malpraktik medic dilakukan oleh


masyarakat dan didapati pelanggaran hokum, MKDKI akan menganjurkan
supaya kasus itu langsung dibawa ke sidang pengadilan untuk diperiksa. Oleh
karena undang-undang praktik kedokteran Indonesia hanya focus pada displin
kedokteran saja sehingga masalah gugatan perdata atau pidana diserahkan
kepada peradilan umum dengan memakai saksi ahli apabila diperlukan
sebagaimana lazimnya juga d luar negeri(6).

25
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Profesi medis sering dianggap sebagai profesi yang mulia dan dijunjung tinggi
dibandingkan profesi lainnya. Sejarah telah menunjukkan bahwa pasien dulunya menganggap
dokter sebagai setengah tuhan sebab dokter dapat memprediksi hidup dan mati seorang pasien.
Kepercayaan ini didukung secara tidak sengaja oleh dokter sendiri dengan cara mempraktekan
pengobatan paternalisme yang memiliki konsep dokter mengetahui yang terbaik. Dokter
dipercayakan sebagai orang yang memiliki tingkat pengetahuan yang tinggi, sehingga pasien
berharap dan bergantung banyak terhadap dokter. Hal ini juga mengartikan bahwa seorang
dokter membuat semua keputusan yang berhubungan dengan tindakan medis selagi
penyembuhan pasien. Meskipun tidak bisa disalahkan bahwa seorang dokter akan melakukan
yang terbaik untuk mengobati pasiennya, dokter juga bisa bersikap rendah dari apa yang
diharapkan dari mereka. Hal ini dapat diperlihatkan dari beberapa kasus malpraktek medis yang
dilaporkan dari seluruh dunia termasuk Indonesia. Oleh karena adanya perkembangan
pengobatan medis modern, pendekatan paternalism telah ditinggalkan dan autonomi terhadap
pasien yang diapplikasikan dalam prinsip Medical Measures Agreement (Informed Consent)
telah banyak dikenali dan diimplementasikan dalam pengobatan medis.

Hasil terbaru menunjukkan bahwa setiap tahun, angka kasus malpraktek medis tetap
meningkat sehingga meningkatkan kecurigaan dan keraguan mengenai kualitas professionalism

26
dokter di Indonesia. Akibat peningkatam jumlah kasus malpraktek medis di Indonesia,
kepercayaan rakyat terhadap rumah sakit, dokter, dan personil kesehatan lainnya sangat menurun
sehingga rakyat lebih memilih untuk berobat diluar negeri meskipun hanya untuk melakukan
pemeriksaan check up medis.

Kedua legislasi kesehatan, undang – udang no 36 tahun 2009 terhadap kesehatan dan
undang – undang no 29 tahun 2004 mengenai praktek medis telah mengakibatkan perubahan
dalam system perawatan kesehatan yang pada dasarnya berasal dari teori paternalism lebih
menuju automi pasien dengan cara mengapplikasikan prinsip informed consent. Namun kedua
undang – undang tidak bisa diharapkan untuk menyelesaikan masalah kasus malpraktek di
Indonesia karena masih banyak kelemahan, terutama dalam system verifikasi.

Semua peraturan yang menguat hukum kesehatan masih mendemonstrasikan era


penjelajahan belanda. Pasien dan jaksa penuntut mungkin tidak dapat membuktikan kesalahan
dokter, sebab dokter memberikan keilmuan medis seperti diagnose, terapi dan teknik bedah.
Dalam proses pembuktian (evidence), pasien dan penuntut jaksa dapat menggunakan informasi
dari dokter sebagai saksi ahli untuk memuktkan kesalahan dokter dalam perawatan pasien.
Namun, masalahnya adalah tidak mudah untuk mencari seorang dokter yang dapat menjadi saksi
ahli dalam pengadilan yang berhubungan dengan kelalaian profesi koleganya dalam perawatan
pasien.

Malpraktek adalah praktek kedokteran yang salah atau tidak sesuai dengan standar
profesi atau standar prosedur operasional. Oleh karena itu, perlu dilakukan upaya-upaya
menghindari malpraktek seperti semua tindakan sesuai indikasi medis, bertindak secara hati-
hati dan teliti, bekerja sesuai standar profesi, membuat informed consent, mencatat semua
tindakan yang dilakukan, apabila ragu-ragu konsultasikan dengan konsulen, memperlakukan
pasien secara manusiawi, serta menjalin komunikasi yang baik dengan pasien, keluarga dan
masyarakat sekitar. Selain itu diperlukan juga upaya-upaya untuk meningkatkan mutu
pelayanan kesehatan yaitu meningkatkan sumber daya, tenaga, peralatan, perlengkapan dan
material yang diperlukan menggunakan teknologi tinggi atau dengan kata lain meningkatkan
input dan struktur, memperbaiki metode atau penerapan teknologi yang dipergunakan dalam
kegiatan pelayanan.

27
3.2 Saran

Semua pihak sebaiknya berkontribusi secara aktif untuk memperbaiki managemen


pelayanan kesehatan di Indonesia. Pihak dokter dan rumah sakit bertanggung jawab secara
langsung terhadap masalah ini dan harus evaluasi semua bagian pelayanan yang berhubungan
dengan kesehatan. Jika ini tidak dilakukan maka rakyat dalam jumlah yang banyak akan berhenti
untuk mendapatkan pengobatan dari dokter dan rumah sakit di Indonesia dan ini akan
menyebabkan rumah sakit mengalami kekurangan secara finansial. Pasien yang memiliki uang
akan mencari pengobatan di luar negri semantara pasien kelas menengah akan tetap mengambil
pengobatan di rumah sakit Indonesia yang disubsidi oleh pemerintah dan merekalah yang akan
tetap terpapar oleh resiko malpraktek medis.

Diperlukan suatu pemahaman yang baik agar tidak salah memahami tentang penjelasan
mengenai malpraktek, unsur-unsur malpraktek, aspek hukum malpraktek, serta contoh kasus
yang membedakan antara malpraktek atau bukan dan pemahaman standar profesi secara
keseluruhan sehingga angka kejadian malpraktek yang dilakukan dokter dapat ditekan.

28
DAFTAR PUSTAKA

1. Sarijowan, Fernando. Mekanisme Penyelesaian Hukum Korban Malpraktik Pelayanan


Medis Oleh Dokter. Lex et Societatis, Vol. III Hal. 55-56. 2015
2. Jusuf Hanafiah, Amri Amir. Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan. Jakarta: EGC.
2008.
3. Perkonsil No. 2 Tahun 2011 tentang Tata Cara Penanganan Kasus Dugaan Pelanggaran
Disiplin Dokter dan Dokter Gigi. Konsil Kedokteran Indonesia.
4. Perkonsil No. 16 Tahun 2006 tentang Tata Cara Penanganan Kasus Dugaan Pelanggaran
Disiplin Dokter dan Dokter Gigi oleh Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran
Indonesia. Konsil Kedokteran Indonesia.
5. Perkonsil No. 15 tentang Organisasi dan Tata Kerja Majelis Kehormatan Disiplin
Kedokteran Indonesia dan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia di Tingkat
Provinsi. Konsil Kedokteran Indonesia.
6. Hariyani, Safitri. Sengketa Medik: Alternatif Penyelesaian Antara Dokter Dengan Pasien,
Jakarta: PT. Diandit Media. 2005.
7. Afandi D., 2009. [Mediation: Alternative medical dispute resolution (In Indonesian)].
Indonesian Med. Mag., 59: 189-193
8. Bal, B.S., 2009. An Introduction to medical malpractice in the United States. Clin.
Orthopeadics Relat Res., 467: 339-347.
9. Buang, S., 1999. The law of negligence in Malaysia (Translated by A.M. Yusoff). Dewan
Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur, Malaysia. (In Malay)

29
10. Costante, P.A. and J.S. Puro, 2003. Medical malpractice: An historical perspective. N.
Jersey Med. J. Med. Soc. N. Jersey, 100: 21-25.
11. Creighton, H., 1986. Law Every Nurse Should Know. 5th Edn., Saunders Publisher,
London, England, UK., ISBN:9780721618326, Pages: 335.
12. Cronkovic, G.D., 2014. On the importance of teaching professional ethics to computer
science students. Msc Thesis, Malardalen University Vasteras, Vasteras, Sweden.
13. Danzon, P., 1984. The frequency and severity of medical malpractice claims. J. Law
Econ., 27: 115-148.
14. Dewees. D.N., M.J. Trebilcock and P.C. Coyte, 1991. The medical malpractice crisis: A
comparative empirical perspective. Law Contemp. Prob., 54: 217-251.
15. Gittler, G.J. and E.J. Goldstein, 1996. The elements of medical malpractice. An
overview. Clin. Infect. Dis., 23: 1151-1155.
16. Guwandi, J., 2003. [Doctor patient and the law. Ph.D Thesis, University of Indonesia,
Jakarta, Indonesia. (In Indonesian)
17. Henry, C., 1968. Blacks Law Dictionary. West Publishing Co., Minnesota, USA,
Pages:111.
18. Herqutanto 2009. [O Indonesian doctors communicate]. Ph.D Thesis, University of
Indonesia, Depok, Indonesia. (In Indonesian)
19. Kaplan, S.H., S. Greenfield, B. Gandek, W.H. Rogers and J.E. Ware, 1996.
Characteristics of physicians with participatory decision-making styles. Annl. Internal
Med, 124: 497-504.
20. Kassim, P.N.J.,2004. Medical negligence litigation in Malaysia: whether should we
travel?. Insaf J. Malaysian Bar, 33:14-25.
21. Keown, j., 1995. To treat or not to treat: Autonomy, beneficence and the sanctity of life.
Sing. L. Rev., 16:360-362
22. Kokkonen P., 2004. Medicine the law and medical ethics in a changing society. World
Med. J., 50: 5-8.
23. Maanen, J. V., 1979. Reclaiming qualitative methods for organizational research. A
preface. Administrative Sci. Q., 24: 520-526.
24. Makoul, G., A. Zick and M. Green, 2007. An evidence-based perspective on greetings in
medical encounters. Arch Internal Med., 167: 1172-1176.

30
25. Mason, J. K. and R.A. Smith, 1986. Forensic Medicine for Lawyers. Butterworths
Publisher, London, England, UK., Pages: 339.
26. Mayeda, M. and K. Takase, 2005. Need for enforcement of ethicolegal education-an
analysis of the survey of postgraduate clinical trainees. BMC. Med. Ethics. 6: 1-12
27. McCracken, G., 1988. The long interview. Sage Publications, Newbury Park.
28. McQuade, J.S., 1991. The medical malpractice crisis-reflections on the alleged causes
and proposed cures: Discussion paper. J. R. Soc. Med., 84: 408-411.
29. Mohr, J.C., 2000. American medical malpractice litigation in historical perspective.
Jama, 283: 1731-1737.
30. Morioka, M., 1995. Bioethics and Japanese culture. Brain death, patients’ rights and
cultural factors. Eubios J. Asian Intl. Bioethics, 5: 87-90.

31

Anda mungkin juga menyukai