PENDAHULUAN
1
Serikat dalam tahun 1970an dan 1980an telah mulai terjadi. Jumlah peningkatan angka kasus
malpraktek medis di Indonesia menimbulkan pertanyaan mengenai profesionalisme dokter
dan personil kesehatan lainnya. Angka kasus malpraktek medis yang tinggi di Indonesia
dapat menghilangkan kepercayaan pasien terhadap para dokter dan rumah sakit di Indonesia,
sehingga mengakibatkan pasien Indonesia meninggalkan dokter Indonesia/rumah sakit
Indonesia dan mencari pengobatan medis diluar negri.
Dampak peningkatan angka kasus malpraktek medis di Indonesia dapat dilihat dengan
adanya peningkatan jumlah pasien yang mencari pengobatan diluar negri. Laporan terkini
menunjukkan Negara yang sering didatangi oleh pasien Indonesia adalah Malaysia, Singapora,
Thailand, dan Cina (Herquitanto, 2009). Hal ini mesti jadi perhatian dan peringatan penting bagi
dokter, rumah sakit dan pemerintah untuk memperbaiki system perawatan kesehatan dan
penegak hukum dalam memastikan dokter dan rumah sakit yang melakukan malpraktek medis
agar dihukum.
Dokter atau tenaga kesehatan lainnya tersebut sebagai manusia biasa yang penuh dengan
kekurangan (merupakan kodrat manusia) dalam melaksanakan tugas kedokterannya yang penuh
dengan resiko ini tidak dapat menghindarkan diri dari kekuasaan kodrat yang maha kuasa, karena
kemungkinan pasien cacat dokter telah melakukan tugasnya sesuai dengan standar profesi atau
Standard Operating Procedure (SOP) dan/atau standar pelayanan medik yang baik. Keadaan
semacam ini seharusnya disebut dengan resiko medik, dan resiko ini terkadang dimaknai oleh
pihakpihak diluar profesi kedokteran sebagai Medical Malpractice(1).
Sebagaimana diketahui, bahwa profesi kedokteran bukanlah bidang ilmu pasti yang
semuanya terukur. Profesi kedokteran menurut Hipocrates merupakan gabungan atau
perpaduan antara pengetahuan dan seni (Science and art). Seperti dalam melakukan
diagnosis merupakan seni tersendiri bagi dokter, karena setelah mendengar keluhan pasien,
dokter akan melakukan imajinasi dan melakukan pengamatan yang seksama terhadap
pasiennya. Pengetahuan dan teoriteori kedokteran serta pengalaman yang telah diterimanya
selama ini menjadi dasar melakukan diagnosa terhadap penyakit pasien, diharapkan
diagnosisnya mendekati kebenaran(1).
Dokter dan pihak yang mempunyai keahlian di bidang kedokteran, sedangkan pasien
adalah orang sakit yang membutuhkan bantuan dokter untuk menyembuhkan penyakit yang
2
dideritanya. Pada kedudukan ini, dokter adalah orang sehat yang juga pakar di bidang
penyakit sementara pasien adalah orang sakit yang awam mengenai penyakitnya. Pasien,
karena keawaman atau ketidaktahuannya, menyerahkan masalah atau penyakit yang
dideritanya kepada dokter demi kesembuhannya. Pasien diharapkan patuh menjalankan
semua nasihat dokter, tidak melanggar larangan, serta memberikan persetujuan atas tindakan
medik yang dilakukan dokter(1).
Pada zaman dahulu terdapat pola hubungan paternalistik antara dokter dengan pasien,
dimana dokter dianggap akan berupaya semaksimal untuk menyembuhkan pasien, seperti
seorang bapak yang baik yang akan berbuat apa saja untuk kepentingan anaknya. Pasien
diharapkan akan bertindak sebagai anak yang patuh dan percaya bahwa dokter akan
bertindak sebagai bapak yang baik(1). Masalah malpraktek dalam pelayanan kesehatan pada
akhir-akhir ini mulai ramai dibicarakan masyarakat dari berbagai golongan. Hal ini
ditunjukkan banyaknya pengaduan kasus-kasus malpraktek yang ditujukan masyarakat
terhadap profesi dokter yang dianggap telah merugikan pasien dalam melakukan pengobatan.
Dalam beberapa tahun belakangan ini yang dirasakan mencemaskan oleh dunia kedokteran
dan perumahsakitan di Indonesia adalah meningkatkatnya tuntutan dan gugatan malpraktek,
utamanya sejak diberlakukan Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen(2).
Bertitik tolak dari adanya perbedaan pendapat ini, tidak mengherankan jika banyak
putusan profesi dokter yang menyatakan tidak ada malpraktek yang dilakukan dokter
seringkali ditanggapi secara sinis oleh pengacara. Undang-undang No. 29 Tahun 2004
tentang Praktik Kedokteran diundangkan untuk mengatur praktik kedokteran dengan tujuan
agar dapat memberikan perlindungan kepada pasien, mempertahankan dan meningkatkan
mutu pelayanan medis dan memberikan kepastian hukum kepada masyarakat, dokter dan
dokter gigi. Perlu diperhatikan pula bahwa dokter merupakan bagian dari masyarakat, karena
dokter juga mengenal berbagai tanggung jawab terhadap norma-norma yang berlaku di
masyarakat dimana dokter bertugas(2).
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Malpraktek medis dan kelalaian medis: pada hari ini, istilah malpraktek sangat popular di
lapangan medis namun istilah malpraktek juga digunakkan dalam profesi lainnya seperi
pengacara, advokat, hakim, akuntan, wartawan, polisi dan lainnya. Pada umumnya, malpraktek
adalah istilah yang menggambarkan adanya dampak buruk, stigmatik, dan bertolak belakang
dengan peraturan.
Ada dua istilah medical error yang dilakukan oleh dokter atau pekerja kesehatan lainnya
yaitu malpraktek medis dan kelalaian medis. Ada beberapa opini yang menyatakan bahwa
malpraktek medis beda dari kelalaian medis. Namun beberapa ahli hukum mengatakam susah
membedakan malpraktek medis dari malpraktek kelalaian. Tentunya dari karya ilmiah, istilah ini
saling digunakan secara bergantian seolah memiliki arti yang sama. Menurut Creighton (1986),
malpraktek dianggap sama dengan kelalaian profesi. Mason dan Smith (1986) mendukung opini
ini dimana mereka mengatakan malpraktek merupakan istilah yang sering digunakan unruk
kelalaian medis.
Telah dituliskan bahwa istilah malpraktek medis tidak sama dengan kelalaian medis.
Semua kesalahan yang dibuat oleh dokter dan pekerja kesehatan lainnya dalam kedua aspek legal
dan etis merupakam malpraktek medis. Sebagai contoh, ketidakpatuhan disiplin atau adanya
tindakan yang sengaja yang dibuat oleh dokter sehingga memperburuk kesehatan pasien. Maka
dari itu definisi dan ruang lingkup malpraktek medis lebih besar daripada kelalaian medis.
Istilah malpraktek medis pertama kali digunakan oleh Sir William Blackstone in 1768.
Menurut Sir William Blackstone (Mohr, 2000; Costante and Puro, 2003), malpraktek adalah
perbuatan yang sangat tidak baik dan pelanggaran pada aturan hukum, baik karena penasaran,
eksperimen, atau kelalaian karena hal itu merusak kepercayaan yang telah diberikan pada dokter
dan merusak kesehatan pasien. Black Law Dictionary (Henry, 1968) menggambarkan
malpraktek medis sebagai kesalahan professional atau kekurangan skill yang tidak memiliki
4
alasan atau gagalnya seseorang memberikan pelayanan professional kepada tahap skil yang telah
dipelajari atau yang ditetapkan oleh komunitas secara rata – rata pada profesi tersebut sehingga
mengakibatkan cedera, kehilangan, atau kerusakan kepada resipient yang menerima pelayanan
atau resipient yang telah bergantung kepadanya.
Menurut Anisah Che Ngah, kelalaian medis merupakam tindakan yang mencakup
kesalahan dalam memberikan diagnosa dan para dokter tidak berhati – hati atau rinci
dalam meyediakan perhatian medis atau tindakan medis lainnya (Ngah, 1990). Ketelitian
dan observasi terperinci adalah penting sebab mereka merupakan patokan kode dan
perilaku.
World Medical Association (WMA, 2005) menyatkan bahwa kelalaian medis yang
dihasilkan oleh dokter yang tidak berkerja sesuai standar profesi medis atau memiliki
kekurangan keahlian atau kelalaian dalam melakukan perawatan medis sehingga
menyebabkan cedara, disabilitas bahkan kematian pasien.
Harus dipahami bahwa tidak semua tindakan dokter yang gagal untuk mengobati pasien
merupakan tindakan mapraktek medis, karena ada resiko dan kecelakaan medis dalam
tindakan medis apapun. Semua kegagalan medis tidak merupakan tindakan malpraktek
5
medis ketika seseorang dokter melakukan bedah sesuai Standards of Medical Operations
(SOP). Namun, operasi bisa mengakibatkan hasil yang tidak diinginkan yang sebelumnya
tidak terduga sehingga mengakibatkan cedera, disabilitas ataupun kematian. Sehingga hal
ini disebut resiko medis atau kecelakaan medis bukan malpraktek medis.
Dokter atau personil kesehatan lainnya tidak bertanggung jawab atas kejadian – kejadian
yang tidak disengajakan yang juga bukan merupakan penyebab dari kekurangan keahlian
atau pengetahuan dokter. Maka dari itu, tidak semua tindakan atau atitude ketidak
ketelitian dianggap sebagai malpraktek medis (Buang, 1999). Jika seorang dokter yang
menjalankan profesinya sesuai standar profesi medis dan standar operational yang terkini
maka dokter tersebut akan bebas dari semua tuntutan.
Penelitian dan analisa in depth menunjukkan bahwa dalam tiga peraturan kesehatan yang
sering ditemukan dalam Indonesia, tidak ada dijelaskan definisi malpraktek medis. Istilah
malpraktek medis yang diketahui dibedakan menjadi dua bentuk: malpraktek medis
sengaja dan malpraktek medis tidak sengaja (kelalaian). Kedua istilah ini didasari oleh
tindakan dokter dalam melakukan tindakan medis dan konsekuensi atas tindakan tersebut
yang dapat membahayakan kesehatan pasien seperti menyebabkan cedera, disabilitas
permanen ataupun kematian. Untuk kedua bentuk malpraktek, disengaja atau tidak
disengajakan (kelalaian), pelaku dapat dituntut atas hukum pidana, hukum sipil dan
kesehatan yang berhubungan dengan urusan administrasi.
Malpraktek medis (aspek legal dan etis): malpraktek medis di Indonesia dapat dibagi
menjadi dua aspek: aspek etis dan aspek legal. Malpraktek medis kemudian dibagi lagi
menjadi tiga aspek yaitu, hukum criminal, hukum sipil, dan hukum administrasi. Semua
tipe malpraktek medis memiliki solusi jalannya sendiri, memiliki dasar hukum yang
berbeda, dan ditangani oleh pengadilan yang berbeda.
Malpraktek medis etis: nilai etis harus berkembang dalam kelompok profesi masing –
masing. Kelompok profesi hanya bisa diawasi oleh anggota profesi yang mengerti luar
dan dalam profesi tersebut. Maka dari itu, setiap institusi harus memiliki kode dan etis
asosiasi professional sendiri. Tujuan kode etik adalah untuk mempertahankan martabat
6
dan kehormatan profesi tersebut dan melindungi keamanan public dalam semua bentuk
kesalahan dalam profesi tersebut.
Dodig dan Cronkovic menyatakan bahwa kode etik profesi muncul saat pekerjaan
menyusun dirinya menjadi suatu profesi. Penting untuk menasehat individu profesi
bagaimana cara menjalani profesi mereka sendiri dan mengerti profesinya (Cronkovic
2014).
Dalam profesi medis, nilai etis dicerminkan dalam kode etis medis Indonesia dan
Sumpah Medis Indonesia. Sumpah dokter mengandung moral contract antara seorang
dokter dengan tuhan sedangkan etis medis mengandung kontrak kewajiban moral antara
dokter bersama kolega dan pasien. Malpraktek medis adalah ketika dokter melakukan
tindakan medis yang berlawanan dengan kode etis medis Indonesia. Etis medis Indonesia
berada sejak dulu. Etis medis Indonesia disusun dalam instrumen yang disebut Kode Etis
Medis Indonesia. Kode etis medis Indonesia merupakan standar etis, prinsip, dan
instrument yang diapplikasikan pada semua dokter di Indonesia.
Kode etis medis Indonesia merupakan aturan dan pengawasan semua profesi dokter
dalam mengobati pasien. Isi dari kode etis medis Indonesia harus sesuai dengan Deklarasi
Helsinki yang dikeluarkan oleh World Medical Association. Deklarasi Helsinki didasari
oleh Deklarasi Geneva, yang berbunyi ‘penyembuhan dan keamanan pasien akan
ditangani oleh adanya dokter’ (Ryo, 2004).
Malpraktek Kriminal terjadi, ketika seorang pasien meninggal atau memiliki disabilitas
akibat kelalaian, kekurangan ketelitian dokter atau pekerja perawatan kesehatan lainnya.
Malpraktek kriminal dibagi menjadi dua; malpraktek kriminal sengaja dan malpraktek
kriminal kelalaian.
Menurut Moelyatno tindakan sengaja merupakan tindakan yang dilakukan dengan senjaja
atau atas pengetahuan pelaku. Sebagai contoh, dokter yang melakukan aborsi, eutanasia,
dan dokter dengan sengaja tidak membantu pasien meskipung sang dokter mengetahui ia
sendiri berada di area tersebut, sehingga mengakibatkan kematian pada pasien tersebut.
7
Kelalaian terjadi akibat kekurangan perhatian, akurasi yang kurang, kewaspadaan yang
kurang dalam pengobatan atau obat – obat pasirn sehingga secara tidak diinginkan
menyebabkan cedera, disabilitas atau kematian pasien. Kelalaian sama dengan tindakan
sengaja namun perbedaannya hanya oada kualitasny (derajatnya). Derajat kesalahan
sengaja lebih tinggi dibandingkan kelalaian.
Secara umum, aspek kelalaian medis didasari oleh artikel 359 dari kode kriminal dan
artikel 360 dari kode kriminal. Artikel 359 dari kode kriminal menyatakan bahwa suatu
tindakan kelalaian seseorang menyebabkan kematian terhadap orang lain. Jika seseorang
dokter telah menduga dari awal atau memikir tentang konskuensi tindakannya maka
seseorang dokter tersebut tidak akan melakukannya. Hanya apabila dokter tidak memikir
konsekuensi perbuatannya dimana seorang dokter dapat disalahkan. Salah satu contoh
adalah insiden Suwarti yang meninggal pada tahun 2002 di Bangkalan setelah melahirkan
anak pertamanya. Keluarga pasien melaporkan sang dokter ke pihak kepolisian atas
tuduhan malpraktek medis karena tindakannya melanggar artikel 359 dari kode kriminal.
Malpraktek medis sipil: malpraktek medis dalam aspek hukum sipil didasari oleh
persetujuan antara pasien dan dokter. Hubungan antara dokter dan pasien tidak hanya
didasari oleh kepercayaan pasien terhadap dokter namun juga didasari oleh kontrak atau
persetujuan yang mengatakan bahwa kedua pihak memiliki hak dan kewajiban. Dalam
aspek hukum, persetujuan antara dokter dan pasien didasari oleh prinsip medical consent
(Informed consent). Persetujuan atas tindakan medis merupakan proses dalam
mendapatkan consent pasien baik secara tulisan atau lisan. Secara prinsip, persetujuan
atas tindakan medis merupakan suatu bentuk prinsip dari autonomi pasien yang telah
ditetapkan oleh hukum dan etis medis Indonesia. Untuk mendapatkan consent pasien,
para dokter tidak boleh membohongi pasien dengan cara menutupi fakta dan resiko yang
dapat terjadi. Dalam kasus Salgo v. Leland Board of Trustess 1957, 317 P 2d 170, 154
Cal, seorang dokter dihukum karena telah menyembunyikan fakta mengenai penyakit
psien. Demi untuk mendapatkan persetujuan seorang dokter tidak boleh
menyembunyikan fakta bahwa resiko medis cukup tinggi. Prinsip dari informed consent
merupakan bentuk dari pengaman seorang dokter dalam menjalani pengobatan terhadap
pasien. Jika persetujuan tidak diimplementasikan atau tidak diimplementasikan secara
8
akurat maka dokter telah melanggar hukum terhadap kedua pihak yang telah disepakati
bersama. Kerugian yang terjadi hanya dapat diukur dengan istilah kerugian materi
sebagai contoh kerugian hanya dapat diukur dengan uang seperti biaya maintenance,
biaya travel, biaya operasi dan biaya obat – obatan.
Tidak berbeda jauh di Malaysia, dimana seorang pasien berharap dan percaya banyak
terhadap dokter. Puteri Nemie menemukan bahwa kesalahan mayor di rumah sakit
9
Malaysia adalah hak pasien untuk memberikan consent jarang diberi tahu kepada pasien.
Pasien biasnaya disuruh untuk mentandatangani surat consent sebelum pengobatan atau
operasi namun pada kebanyakan waktu mereka tidak memahami apa yang mereka telah
tandatangani (Kassim, 2004).
Menurut Muhammad Nur Azmi Baharuddin, hasil dari pasien kanker di rumah sakit
Selayang menemukan bahwa meskipun pasien secara umumnya menerima nasibnya,
pasien atau keluarga pasien ingin terlibat dalam pengobatannya dan akan menolak
tindakan medis apabila dilakukan tanpa pengetahuan atau consent mereka.
Namun prinsip paternalism perlahan ditinggalkan oleh deklarasi prinsip global autonomi
pasien. Satu bentuk dari autonomi pasien adalah informed consent yang mengikat
kebebasan dokter dalam melakukan tindakan medis sesuai dengan keinginannya. Semua
tindakan medis hatus dilakukan apabila consent telah diberikan oleh pasien. Secara tidak
langsung, hal ini berarti prinsip etis medis adalah untuk memegang hak pasien, memberi
kehormatan prinsip kebebasan seorang individu dalam menegakkan tindakan medis yang
dia harapkan.
Prinsip dari autonomi pasien merupakan salah satu martabat yang dideklarasi oleh
Universal Declaration of Human Rights pada tahun 1966, European Convention on
Human Rights pada tahun 1959 dan juga Convention on Bioethics Council of Europe
yang dikeluarkan pada tanggal 1 bulan Desember tahun 1999 (Kokkonen, 2004).
Menurut J Keown, istilah autonomi merupakan kemampuan seseorang untuk berfikir dan
membuat keputusan. Keputusannya dibuat yanpa ada keraguan dan dilakukan dengan
kemauan sendiri (Keown, 1995). Menurut Anisah, autonomi pasien adalah kehormatan
10
hak pasien. Jika pasien meminta informasi, seorang dokter harus menyediakan dan
memberikan informasi secara jelas dan benar. Jika seorang dokter ingin memeriksa
pasien, maka pasien harus setuju terlebih dahulu. Dalam kode perilaku professional 1987
dan 1995 Patient’s Charter menyatakan bahwa sebelum melakukan tindakan medis,
pasien memilih hak untuk diberi informasi terlbih dahulu dan kemudian diberikan
consent.
Prinsip autonomi pasien telah juga diperkenalkan di Indonesia melalui keputusan Dewan
Eksekutif dari Indonesian Medical Association (PB-IDI). NO. 319/PB/A.4/1988.
Keputusan ini dikuatkan oleh berlakunya Menteri Kesehatan Indonesia No. 585 tahun
1989 yang berkaitan dengan persetujuan tindakan medis (prinsip informed consent).
Kemudian diperkuatkan lagi dalam Artikel 45 pada hukum Republik Indonesia No. 29
tahun 2004 yang berkaitan dengan tindakan media yang menyatakan bahwa setiap
tindakan/pengobatan pada umumnya dan pasien gigi hanya dapat dilakukan apabila
pasien telah mentandatangani surat dan setelah informasi yang lengkap telah dijelaskan.
11
Tujuan tindakan medis
Pengobatan alternatif lainnya
Resiko dan komplikasi yang dapat terjadi
Prognosis
Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 585 dari tahun 1989 terhadap persetujuan
tindakan medis menyatakan bahwa informasi medis diberikan kepada pasien baik
diminta oleh pasien atau tidak. Pasien tidak sepenuhnya memiliki pengetahuan medis
sehingga hak dan kewajibam pasien harus dijelaskan kepada pasien secaya rinci dan
pasien juga harus tahu keuntungan dan kerugian tindakan medis pada kedua tahap
pengobatan dan diagnose. Jika pasien tidak ingin tindakan medis yang ditawarkan
oleh dokter, maka pasien berhak untuk menolak dan memilih metode pengobatan
alternatif lainnya.
Dalam praktek kedokteran, consent pasien dapat diberikan secara lisan, tulisan dan
isyarat namun hukum No. 29 tahun 2004 mengharuskan consent medis diberikan dan
diterima dalam bentuk tulisan. Dalam prosedur beresiko tinggiyang memiliki resiko
mengakibatkan kematian pasien, persetujuan tindakan medis harus dilakukan secara
tertulis.
Dokter yang mengobati pasien atau dokter lainnya yang diberikan instruksi dokter
untuk melakukan tindakan medis bertanggung jawab atas menyediakan informasi
atau penjelasan. Informasi atau penjelasan mengenai tindakan medis dapat
disediakan kepada dokter atau ahli kesehatan lainnya jika tindakan medis bukan
merupakan operasi atau pengobatan invasif lainnya. Jika tindakan medis dalam
bentuk operasi atay pengobatan invasive lainnya, dokter lain tidak boleh
menyediakan informasi atau penjelasan. Beberapa hak pasien diterangkan dalan kode
Indonesia Etika Medis:
Hak untuk hidup, hak atas tubuhnya sendiri dan hak untuk meninggal secara
wajar
12
Hak untuk mendapatkan perawatan medis yang manusiawi sesuai dengan
standar profesi medis
Hak untuk mendapatkan penjelasan diagnose dan pengobatan dari dokter
Hak untuk menolak prosedur diagnosa dan terapi
Hak untuk dirujuk ke spesialis lainnya apabila perlu
Hak untuk dijaga rahasia rekam medis
Hak untuk mendapatkan informasi mengenai regulasi dan biaya perwatan
rumah sakit
Hal untuk berhubungan dengan keluarga, teman atau lainnya
Hak untuk mendapatkan detail dan biaya pengobatan.
13
.
Malpraktek
medis
Malpraktek Malpraktek
Medis etis Medis Hukum
Malpraktek
Medis Kriminalis
Malpraktek
Medis Sipil
Malpraktek
Medis
Administratif
Malpraktek atau malpraktik terdiri dari suku kata mal dan praktik atau praktek. Mal
berasal dari kata Yunani yang berarti buruk. Praktik atau praktek berarti menalankan perbuatan
yang tersebut dalam teori atau menjalankan pekerjaan. Jadi malpraktek berarti menjalankan
pekerjaan yang buruk kualitasnya, tidak lege artis, tidak tepat. Malpraktek tidak hanya dalam
bidang kedokteran, tetapi juga dalam profesi lain seperti perbankan, pengacara, akuntan publik,
dan wartawan(2).
Dengan demikian malpraktek medik dapat diartikan sebagai kelalaian atau kegagalan
seorang dokter untuk menggunakan tingkat keterampilan dan ilmu pengetahuan yang lazim
dipergunakan dalam mengobati pasien atau orang cedera menurut ukuran di lingkungan yang
sama. Dalam praktiknya banyak sekali hal yang dapat diajukan sebagai malpraktek seperti salah
diagnosis atau terlambat diagnosis karena kurang lengkapnya pemeriksaan, pemberian terapi
yang sudah ketinggalan zaman, kesalahan teknis sewaktu melakukan pembedahan, salah dosis
obat, salah metode tes atau pengobatan, perawatan yang tidak tepat, kelalaian dalam pemantauan
pasien, kegagalan komunikasi, dan kegagalan perawatan(2).
14
2.2 Jenis-Jenis Malpraktek
Ngesti Lestari dan Soedjatmiko membedakan malpraktek medik menjadi dua bentuk ditinjau
dari segi etika profesi dan segi hukum yaitu(2) (3):
15
3. Malpraktek pidana karena kealpaan (negligence), misalnya terjadi cacat atau
kematian pada pasien sebagai akibat tindakan tenaga kesehatan yang kurang hati-
hati.
c. Malpraktek Administratif
Terjadi apabila tenaga kesehatan melakukan pelanggaran terhadap hukum
administratif negara yang berlaku, misalnya menjalankan praktek bidan tanpa lisensi
atau izin praktek.
16
Menurut undang-undang RI No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran pasal
4:
1. Setiap dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran wajib
menyimpan rahasia kedokteran.
2. Rahasia kedokteran dapat dibuka hanya untuk kepentingan kesehatan pasien,
memenuhi permintaan aparatur penegak hokum dalam rangka penegakan
hokum, permintaan pasien sendiri, atau berdasarkan ketentuan perundang-
undangan.
3. Ketentuan lebih lanjut mengenai rahasia kedokteran diatur dengan Peraturan
Menteri.
- Aborsi illegal
Abortus provocatus dapat dibenarkan sebagai pengobatan apabila merupakan
satu-satunya jalan untuk menolong jiwa ibu dari bahaya maut (abortus provocatus
therapeuticus). Keputusan untuk melakukan abortus provocaticus theraputicus
harus dibuat sekurang-kurangnya oleh dua dokter dengan persetujuan tertulis dari
wanita hamil yang bersangkutan, suaminya, atau keluarga terdekat. Seperti yang
telah diatur pada pasal 349 KUHP, “Jika seorang dokter, bidan atau juru obat
membantu melakukan kejahatan berdasarkan pasal 346, ataupun melakukan atau
membantu melakukan salah satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal 347 dan
348, maka pidana yang ditentukan dalam pasal itu dapat ditambah dengan
sepertiga dan dapat diabut hak untuk menjalankan pencarian dalam mana
kejahatan dilakukan”, dimana dokter dapat dikenakan sanksi 4 tahun penjara.
- Euthanasia
Euthanasia memiliki tiga arti yaitu:
1. Berpindah kea lam baka dengan tenang dan aman tanpa penderitaan dan bagi
yang beriman dengan nama Allah di bibir.
2. Waktu hidup akan berakhir (sakaratul maut) penderitaan pasien diperingan
dengan memberi obat penenang.
3. Mengakhiri penderitaan dan hidup pasien dengan sengaja atas permintaan
pasien sendiri dan keluarganya.
- Keterangan Palsu
17
Pada pasal 267 KUHP dinyatakan bahwa:
(1) Seorang dokter yang dengan sengaja memberikan surat keterangan palsu
tentang ada atau tidaknya penyakit, kelemahan atau cacat, diancam dengan
pidana penjara paling lama empat tahun.
(2) Jika keterangan diberikan dengan maksud untuk memasukkan seseorang ke
dalam rumah sakit jiwa atau untuk menahannya di situ, dijatuhkan pidana
penjara paling lama delapan tahun enam bulan.
(3) Diancam dengan pidana yang sama, barang siapa dengan sengaja memakai
surat keterangan palsu itu seolah-olah isinya sesuai dengan kebenaran.
18
2.4 Usaha-usaha Menghindari Malpraktek
1. Semua tindakan sesuai dengan indikasi medis.
2. Bekerja sesuai standar profesi.
3. Membuat informed consent.
4. Mencatat semua tindakan yang dilakukan.
5. Apabila ragu-ragu konsultasikan dengan konsulen.
6. Memperlakukan pasien secara manusiawi.
7. Menjalin komunikasi yang baik dengan pasien, keluarga dan masyarakat sekitar.
1. Barangsiapa membuat secara palsu atau memalsu surat keterangan dokter tentang ada
atau tidaknya penyakit, kelemahan atau cacat dengan maksud untuk menyesatkan
penguasa umum atau penanggung (verzekaraar), diancam dengan pidana penjara
paling lama empat tahun.
2. Diancam dengan pidana yang sama, barang siapa dengan maksud yang sama
memakai surat keterangan yang tidak benar atau yang dipalsu, seolah-olah surat itu
benar dan tidak dipalsu.
19
Pasal 359 KUHP
1. Barang siapa karena kelalaiannya menyebabkan matinya orang lain, diancam dengan
pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun.
1. Barang siapa karena kelalaiannya menyebabkan orang lain menderita luka berat,
diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling
lama satu tahun.
2. Barang siapa karena kelalaiannya menyebabkan orang lain luka sedemikian rupa
sehingga menderita sakit untuk sementara waktu atau tidak dapat menjalankan
jabatan atau pekerjaannya selama waktu tertentu diancam dengan pidana penjara
paling lama Sembilan bulan atau pidana kurungan enam bulan atau denda paling
tinggi empat ribu lima ratus rupiah.
b. Perdata
Pasal 1338 KUH Perdata (Wan Prestasi)
1. Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka
yang membuatnya.
2. Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak
atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu.
3. Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.
1. Tiap perbuatan melanggar hokum, yang membawa kerugian kepada seorang lain,
mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti
kerugian tersebut.
1. Setiap orang bertanggung jawab tidak saja atas kerugian yang disebabkan karena
perbuatannya, tetapi juga atas kerugian yang disebabkan karena kelalaiannya atau
kurang hati-hatiannya.
20
Pasal 1370 KUH Perdata
1. Dalam hal pembunuhan (menyebabkan matinya orang lain) dengan sengaja atau
kurang hati-hatinya seseorang, maka suami atau istri yang ditinggalkan, anak atau
korban orang tua yang biasanya mendapat nafkah dari pekerjaan korban mempunyai
hak untuk menuntut suatu ganti rugi yang harus dinilai menurut kedudukannya dan
kekayaan kedua belah pihak serta menurut keadaan.
1. Setiap orang berhak atas ganti rugi akibat kesalahan atau kelalaian yang dilakukan
tenaga kesehatan.
2. Ganti rugi sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan
peraturan yang berlaku.
21
dimaksud dalam pasal 32 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama tiga
tahun atau denda paling banyak Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah).
“Setiap dokter atau dokter gigi yang dengan sengaja melakukan praktik kedokteran tanpa
memiliki surat ijin praktik sebagaimana dimaksud dalam pasal 36 dipidana penajara
paling lama tiga tahun atau denda paling banyak Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah).
Pasal 77
“Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan identitas berupa gelar atau bentuk lain
yang menimbulkan kesan bagi masyarakat seolah-olah yang bersangkutan adalah dokter
atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi dokter atau surat tanda
registrasi dokter gigi dan/atau surat izin praktik sebagaimana dimaksud dalam pasal 73
ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau denda paling banyak
Rp. 150.000.000,- (seratus lima puluh juta rupiah).
Pasal 78
“Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan alat, metode atau cara lain dalam
memberikan pelayanan kepada masyarakat yang menimbulkan kesan seolah0olah yang
bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi
atau surat tanda registrasi dokter gigi atau surat izin praktik sebagaimana dimaksud dalam
pasal 73 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau denda
paling banyak Rp. 150.000.000,- (seratus lima puluh juta rupiah).
Pasal 79
“Dipidana dengan pidana kurungan paling lama satu tahun atau denda paling banyak Rp.
50.000.000,- (lima puluh juta rupiah), setiap dokter atau dokter gigi yang:
1. Dengan sengaja tidak memasang papan nama sebagaimana yang dimaksud dalam
pasal 41 ayat (1).
22
2. Dengan sengaja tidak membuat rekam medis sebagaimana yang dimaksud dalam
pasal 46 ayat (1).
3. Dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban sebagaimana yang dimaksud dalam pasal
51 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e.
Pelanggaran Disiplin:
23
Proses selanjutnya di dalam MKEK mengikuti Standar Prosedur Operasional
MKEK yang berlaku.
24
Lembaga ADR adalah lembaga yang mencoba menawarkan penyelesaian
kepada pihak-pihak yang bertikai, antara pasien dengan dokter atau dokter
gigi. Penyelesaian ini menggunakan pendekatan kepentingan (interest based)
yang bersifat win-win solution melalui konsiliasi, mediasi, fasilitasi dan
negosiasi tanpa mengedepankan benar-salah (right based), dilakukan diluar
pengadilan, dengan atau tanpa kompensasi(6).
25
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Profesi medis sering dianggap sebagai profesi yang mulia dan dijunjung tinggi
dibandingkan profesi lainnya. Sejarah telah menunjukkan bahwa pasien dulunya menganggap
dokter sebagai setengah tuhan sebab dokter dapat memprediksi hidup dan mati seorang pasien.
Kepercayaan ini didukung secara tidak sengaja oleh dokter sendiri dengan cara mempraktekan
pengobatan paternalisme yang memiliki konsep dokter mengetahui yang terbaik. Dokter
dipercayakan sebagai orang yang memiliki tingkat pengetahuan yang tinggi, sehingga pasien
berharap dan bergantung banyak terhadap dokter. Hal ini juga mengartikan bahwa seorang
dokter membuat semua keputusan yang berhubungan dengan tindakan medis selagi
penyembuhan pasien. Meskipun tidak bisa disalahkan bahwa seorang dokter akan melakukan
yang terbaik untuk mengobati pasiennya, dokter juga bisa bersikap rendah dari apa yang
diharapkan dari mereka. Hal ini dapat diperlihatkan dari beberapa kasus malpraktek medis yang
dilaporkan dari seluruh dunia termasuk Indonesia. Oleh karena adanya perkembangan
pengobatan medis modern, pendekatan paternalism telah ditinggalkan dan autonomi terhadap
pasien yang diapplikasikan dalam prinsip Medical Measures Agreement (Informed Consent)
telah banyak dikenali dan diimplementasikan dalam pengobatan medis.
Hasil terbaru menunjukkan bahwa setiap tahun, angka kasus malpraktek medis tetap
meningkat sehingga meningkatkan kecurigaan dan keraguan mengenai kualitas professionalism
26
dokter di Indonesia. Akibat peningkatam jumlah kasus malpraktek medis di Indonesia,
kepercayaan rakyat terhadap rumah sakit, dokter, dan personil kesehatan lainnya sangat menurun
sehingga rakyat lebih memilih untuk berobat diluar negeri meskipun hanya untuk melakukan
pemeriksaan check up medis.
Kedua legislasi kesehatan, undang – udang no 36 tahun 2009 terhadap kesehatan dan
undang – undang no 29 tahun 2004 mengenai praktek medis telah mengakibatkan perubahan
dalam system perawatan kesehatan yang pada dasarnya berasal dari teori paternalism lebih
menuju automi pasien dengan cara mengapplikasikan prinsip informed consent. Namun kedua
undang – undang tidak bisa diharapkan untuk menyelesaikan masalah kasus malpraktek di
Indonesia karena masih banyak kelemahan, terutama dalam system verifikasi.
Malpraktek adalah praktek kedokteran yang salah atau tidak sesuai dengan standar
profesi atau standar prosedur operasional. Oleh karena itu, perlu dilakukan upaya-upaya
menghindari malpraktek seperti semua tindakan sesuai indikasi medis, bertindak secara hati-
hati dan teliti, bekerja sesuai standar profesi, membuat informed consent, mencatat semua
tindakan yang dilakukan, apabila ragu-ragu konsultasikan dengan konsulen, memperlakukan
pasien secara manusiawi, serta menjalin komunikasi yang baik dengan pasien, keluarga dan
masyarakat sekitar. Selain itu diperlukan juga upaya-upaya untuk meningkatkan mutu
pelayanan kesehatan yaitu meningkatkan sumber daya, tenaga, peralatan, perlengkapan dan
material yang diperlukan menggunakan teknologi tinggi atau dengan kata lain meningkatkan
input dan struktur, memperbaiki metode atau penerapan teknologi yang dipergunakan dalam
kegiatan pelayanan.
27
3.2 Saran
Diperlukan suatu pemahaman yang baik agar tidak salah memahami tentang penjelasan
mengenai malpraktek, unsur-unsur malpraktek, aspek hukum malpraktek, serta contoh kasus
yang membedakan antara malpraktek atau bukan dan pemahaman standar profesi secara
keseluruhan sehingga angka kejadian malpraktek yang dilakukan dokter dapat ditekan.
28
DAFTAR PUSTAKA
29
10. Costante, P.A. and J.S. Puro, 2003. Medical malpractice: An historical perspective. N.
Jersey Med. J. Med. Soc. N. Jersey, 100: 21-25.
11. Creighton, H., 1986. Law Every Nurse Should Know. 5th Edn., Saunders Publisher,
London, England, UK., ISBN:9780721618326, Pages: 335.
12. Cronkovic, G.D., 2014. On the importance of teaching professional ethics to computer
science students. Msc Thesis, Malardalen University Vasteras, Vasteras, Sweden.
13. Danzon, P., 1984. The frequency and severity of medical malpractice claims. J. Law
Econ., 27: 115-148.
14. Dewees. D.N., M.J. Trebilcock and P.C. Coyte, 1991. The medical malpractice crisis: A
comparative empirical perspective. Law Contemp. Prob., 54: 217-251.
15. Gittler, G.J. and E.J. Goldstein, 1996. The elements of medical malpractice. An
overview. Clin. Infect. Dis., 23: 1151-1155.
16. Guwandi, J., 2003. [Doctor patient and the law. Ph.D Thesis, University of Indonesia,
Jakarta, Indonesia. (In Indonesian)
17. Henry, C., 1968. Blacks Law Dictionary. West Publishing Co., Minnesota, USA,
Pages:111.
18. Herqutanto 2009. [O Indonesian doctors communicate]. Ph.D Thesis, University of
Indonesia, Depok, Indonesia. (In Indonesian)
19. Kaplan, S.H., S. Greenfield, B. Gandek, W.H. Rogers and J.E. Ware, 1996.
Characteristics of physicians with participatory decision-making styles. Annl. Internal
Med, 124: 497-504.
20. Kassim, P.N.J.,2004. Medical negligence litigation in Malaysia: whether should we
travel?. Insaf J. Malaysian Bar, 33:14-25.
21. Keown, j., 1995. To treat or not to treat: Autonomy, beneficence and the sanctity of life.
Sing. L. Rev., 16:360-362
22. Kokkonen P., 2004. Medicine the law and medical ethics in a changing society. World
Med. J., 50: 5-8.
23. Maanen, J. V., 1979. Reclaiming qualitative methods for organizational research. A
preface. Administrative Sci. Q., 24: 520-526.
24. Makoul, G., A. Zick and M. Green, 2007. An evidence-based perspective on greetings in
medical encounters. Arch Internal Med., 167: 1172-1176.
30
25. Mason, J. K. and R.A. Smith, 1986. Forensic Medicine for Lawyers. Butterworths
Publisher, London, England, UK., Pages: 339.
26. Mayeda, M. and K. Takase, 2005. Need for enforcement of ethicolegal education-an
analysis of the survey of postgraduate clinical trainees. BMC. Med. Ethics. 6: 1-12
27. McCracken, G., 1988. The long interview. Sage Publications, Newbury Park.
28. McQuade, J.S., 1991. The medical malpractice crisis-reflections on the alleged causes
and proposed cures: Discussion paper. J. R. Soc. Med., 84: 408-411.
29. Mohr, J.C., 2000. American medical malpractice litigation in historical perspective.
Jama, 283: 1731-1737.
30. Morioka, M., 1995. Bioethics and Japanese culture. Brain death, patients’ rights and
cultural factors. Eubios J. Asian Intl. Bioethics, 5: 87-90.
31