3
Sudiyo, 2002, Pergerakan Nasional: Mencapai dan Mempertahankan Kemerdekaan, Jakarta: Rineka Cipta,
hlm. 3.
4
H.A Prayitno dan Trubus, 2004, Kebangsaan, Demokrasi, dan Hak Asasi Manusia, Jakarta: Universitas
Trisakti, hlm. 33.
5
Nurani Soyomukti, 2012, Soekarno dan Cina, Yogyakarta: Garasi, hlm. 129.
negara-negara terjajah. Sementara itu tubuh dan ekor naga itu ada di Eropa, menikmati
hasil serapan tersebut. Bersama dengan kolonialisme dan kapitalisme, imperialisme
merupakan tantangan besar bagi setiap orang Indonesia yang menghendaki kemerdekaan.
Selain kolonialisme dan imperialisme, di mata Soekarno ada tantangan besar lain
yang tak kalah pentingnya untuk dilawan, yakni elitisme. Elitisme mendorong
sekelompok orang merasa diri memiliki status sosial-politik yang lebih tinggi daripada
orang-orang lain, terutama rakyat kebanyakan. Elitisme ini tak kalah bahayanya, menurut
Soekarno, karena melalui sistem feodal yang ada ia bisa dipraktikkan oleh tokoh-tokoh
pribumi terhadap rakyat negeri sendiri. Kalau dibiarkan, sikap ini tidak hanya bisa
memecah-belah masyarakat terjajah, tetapi juga memungkinkan lestarinya sistem
kolonial maupun sikap-sikap imperialis yang sedang mau dilawan itu. Lebih dari itu,
elitisme bisa menjadi penghambat sikap-sikap demokratis dalam masyarakat modern
yang dicita-citakan bagi Indonesia merdeka. Dalam kaitan dengan usaha mengatasi
elitisme itu ditegaskan bahwa Marhaneisme “menolak tiap tindak borjuisme” yang bagi
Soekarno, merupakan sumber dari kepincangan yang ada dalam masyarakat. Ia
berpandangan bahwa orang tidak seharusnya berpandangan rendah terhadap rakyat. Bagi
Soekarno rakyat merupakan padanan mesianik dari proletariat, dalam arti bahwa mereka
ini merupakan kelompok yang sekarang ini lemah dan terampas hak-haknya, tetapi yang
nantinya, ketika digerakkan dalam gelora revolusi, akan mampu mengubah dunia.
Dalam buku “Di Bawah Bendera Revolusi” Soekarno menerangkan mengenai
demokrasi politik dan demokrasi ekonomi. Dalam pandangannya, demokrasi adalah
pemerintahan rakyat, yaitu suatu cara pemerintahan ini memberikan hak kepada semua
rakyat untuk ikut memerintah6. Sesuai dengan apa yang Soekarno lakukan bahwa
Indonesia harus “berdikari”, yaitu berdiri di kaki sendiri, maka dengan cara
pemerintahan ini sekarang menjadi citacita semua partai-partai nasionalis di Indonesia.
Menurut Soekarno, demokrasi yang diterapkan di Barat itu sarat dengan tipu daya kaum
kapitalis dan borjuis dalam menindas kaum proletar, sedang demokrasi yang bersumber
dari Barat itu bukan demokrasi yang adil karena kaum proletar belum mendapatkan
kesejahteraannya dengan baik. Demokrasi tersebut tidak perlu ditiru, sebab demokrasi itu
bukan cerminan demokrasi untuk Indonesia, karena demokrasi yang seperti itu hanya
demokrasi parlemen saja, yakni hanya demokrasi politik, bukan demokrasi ekonomi7.
6
Soekarno, 1956, Indonesia Menggugat, Jakarta: Perpustakaan Proklamator Bung Karno, hlm. 171.
7
Ibid, hlm. 173.
3. Relevansi Pemikiran Politik Soekarno Pada Saat Ini Untuk Indonesia
Pemikiran Soekarno masih relevan hingga saat ini. Tak ada yang menyangkal peran
Soekarno dengan gerakan penyadaran rakyat menuju Indonesia merdeka. Soekarno
pidato dimana-mana mengajak rakyat sadar dan bangkit melawan penjajah. Tampilnya
Soekarno dengan ideologi nasionalismenya dianggap sebagai pembuka kebuntuan
perjuangan bangsa dengan mengaktualisasikan ke dalam konsep pendidikan humanistis
agar dapat mengalir sesuai dengan arus perjuangan. Soekarno adalah sosok pribadi yang
kompleks. Lewat atribut revolusionernya, dia berusaha untuk memodernisasikan kaum
konservatif dengan tidak bisa lari jauh dari eksistensi manusia sendiri yang secara kodrati
sebagai makhluk yang dikarunia oleh Tuhan beberapa hak yang tidak bisa dimonopoli,
termasuk di dalamnya hak untuk memperoleh kemerdekaan. Hal ini tidak lepas dari latar
belakang Soekarno sendiri sebagai orang yang jauh di bawah elitisme. Bagi Soekarno,
bangsa, kebangsaan atau nasionalisme dan tanah air merupakan suatu kesatuan yang tak
dapat dipisahkan.
Pandangan Soekarno mengenai politik bahwa sikap nasionalisme tidak akan terbentuk
jika tidak ada sikap gotong-royong yang baik. Konsep gotong royong ini yang akan
memberikan pengaruh positif dalam menimbulkan nasionalisme tersebut, sebab ketika
konsep ini menjadi sebuah sistem dalam kehidupan bangsa dan negara Indonesia, maka
konsep ini akan menjadi kuat dan membentuk nasionalisme. Soekarno juga sangat
memperhatikan pendidikan, sebab pendidikan dapat digunakan sebagai sarana
transformasi masyarakat.
Nasionalisme merupakan suatu paham kebangsaan yang timbul karena adanya
perasaan senasib dan sejarah serta kepentingan untuk hidup bersama sebagai suatu
bangsa yang merdeka, bersatu berdaulat dan maju dalam satu kesatuan bangsa, negara
dan cita-cita bersama guna mencapai dan memelihara serta mengabdikan identitas
persatuan, kemakmuran dan kekuatan atau kekuasaan negara kebangsaan yang
bersangkutan. Oleh karena itu, nasionalisme sering dipandang sebagai suatu ideologi
pemelihara negara bangsa. Nasionalisme juga merupakan filsafat politik dan sosial yang
menganggap kebaikan bangsa paling utama. Konsepsi tersebut menggambarkan
semangat yang lebih untuk kesejahteraan dan kemajuan nasional sehingga menjadi suatu
gerakan sosial atau aliran rohaniah yang dapat mempersatukan rakyat kedalam bangsa
yang membangkitkan massa dalam keadaan politik dan sosial yang aktif maka dengan ini
negara menjadi milik seluruh rakyat sebagai keseluruhan8. Secara obyektif nasionalisme
mengandung unsur-unsur seperti bahasa, ras, etnik, agama, peradaban, wilayah, negara
dan kewarganegaraan. Ini merupakan faktorfaktor atau unsur-unsur pokok nasionalisme
yang objektif dan sangat kuat membentuk nasionalisme serta membantu mempercepat
proses evolusi nasionalisme ke arah pembentukan negara nasional.
Sumber Referensi:
H.A Prayitno dan Trubus. 2004. Kebangsaan, Demokrasi, dan Hak Asasi Manusia. Jakarta:
Universitas Trisakti.
Nasution, Harun. 2002. Ensiklopedi Islam Indonesia. Jakarta: Penerbit Djambatan.
Nurani Soyomukti. 2012. Soekarno dan Cina. Yogyakarta: Penerbit Garasi Indonesia.
Onghokham. 1997. Sudut Pandang Soekarno; Mitos dan Realitas, Prisma. Jakarta: Penerbit
PT. Penebar Swadaya.
Soekarno. 1956. Indonesia Menggugat. Jakarta: Perpustakaan Proklamator Bung Karno.
Sudiyo. 2002. Pergerakan Nasional: Mencapai dan Mempertahankan Kemerdekaan. Jakarta:
Rineka Cipta.
8
Decki Natalis. Evolusi Nasionalisme dan Sejarah, (Jakarta : PT Penebar Swadaya, 2000), Hal. 57.