Anda di halaman 1dari 11

ZUHUD

Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Akhlak Tasawuf


Dosen pengampu: Sudarto, M. Pd.I

Disusun Oleh:
1. Puji Setiawan ( 33020180026 )
2. Putri Taniya Millatul Izzah Habibi ( 33020180057 )
3. Khrishna Haji Pangestu ( 33020180178 )

HUKUM EKONOMI SYARIAH


FAKULTAS SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SALATIGA
TAHUN 2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan
rahmat,karunia,serta taufik dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah
ini dengan baik meskipun banyak kekurangan di dalamnya.

Harapan kami semoga makalah ini dapa menambah pengetahuan dan pengalaman
bagi para pembaca,untuk kedepannya dapat memperbaiki bentuk maupun menambah isi
makalah agar menjadi baik.

Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari
berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami
menyampaikan banyak terimakasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam
pembuatan makalah ini.Terlepas dari semua itu kami menyadari sepenuhnya bahwa masih
ada kekurangan baik dari segi susunan,kalimat,maupun tata bahasanya . Oleh karena itu
dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat
pembuatan makalah ini.

Akhir kata kami berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat dan
wawasan terhadap pembaca.

Salatiga, 22 Oktober 2019

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI

Judul Halaman ........................................................................................................................................ i


KATA PENGANTAR ............................................................................................................................ ii
DAFTAR ISI.......................................................................................................................................... iii
BAB II..................................................................................................................................................... 2
PEMBAHASAN ..................................................................................................................................... 2
1. Pengertian zuhud ...................................................................................................................... 2
2. Tingkatan zuhud dan ciri-cirinya............................................................................................ 3
3. Kedudukan zuhud dalam tasawuf ........................................................................................... 4
4. Zuhud di zaman modern .......................................................................................................... 5
BAB III ................................................................................................................................................... 7
PENUTUP .............................................................................................................................................. 7
A. KESIMPULAN ......................................................................................................................... 7
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................................. 8

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Orang yang berpaling meninggalkan cinta dunia kepada cinta akhirat disebut sebagai
orang yang zuhud kepada dunia. Karena pada setiap jiwa manusia telah tertanam secara
naluri kecintaan kepada perkara-perkara duniawi. Sedangkan akhirat, jauh lebih baik dari
dunia.

Dan ketahuilah, bahwa zuhud adalah amalan hati sehingga tidak bisa diukur dengan
perkara lahiriah seperti kemiskinan, badan yang kurus, pakaian yang compang-camping,
dan yang lainnya. Oleh karena itu Abu Sulaiman pernah berkata :” Janganlah engkau
bersaksi bahwa seseorang adalah orang yang zuhud, karena zuhud ada dalam hati. Maka
zuhud tidak selalu identik dengan kemiskinan,. Bisa jadi orang yang memiliki banyak
harta ternyata lebih zuhud daripada orang yang miskin.

Zuhud tidak sama dengan kemiskinan, meskipun keduanya sama-sama merupakan


bentuk gambaran meninggalkan dunia. Dan masing-masing dari zuhud ataupun
kemiskinan memiliki tingkatan-tingkatan tersendiriuntuk mencapai kebahagiaan dan
keduanya bisa membantu seseorang untuk meraih kemenangan dan keberhasilan.
Terkadang seseorang yang meninggalkan harta dianggap sebagai seorang yang zuhud,
padahal tidak demikian.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa pengertian zuhud?
2. Bagaimana Tingkatan Zuhud dan kedudukannya dalam tasawuf?
3. Bagaimana Zuhud di zaman modern?
C. TUJUAN
1. Untuk mengetahui pengertian zuhud.
2. Untuk mengetahui tingkatan zuhud dan kedudukannya dalam islam.
3. Untuk mengetahui zuhud di zaman modern.

1
BAB II

PEMBAHASAN

1. Pengertian zuhud
Secara etimologis, zuhud berarti ragaba’an syai’in wa tarokahu, artinya tidak
tertarik terhadap sesuatu yang meninggalkannya. Sedangkan zahada fi al-dunya,
berarti mengosongkan diri dari kesenangan dunia untuk hal ibadah. Orang yang
melakukan zuhud disebut Zahid, zuhhad atau zahidun.
Zahid jamaknya zuhdan, artinya kecil atau sedikit. Berbicara arti zuhud secara
terminologis, maka tidak bisa dilepaskan dari dua hal. Pertama, zuhud sebagai bagian
yang tidak terpisahkan dari tasawuf. Kedua, zuhud sebagai moral (akhlak) islam.1
Zuhud sebagai ajaran tasawuf adalah adanya kesadaran dan komunikasi langsung
antara manusia dengan Tuhan sebagai perwujudan ihsan dan merupakan suatu
tahapan (maqam) menuju ma’rifat kepada allah SWT. kemudian, zuhud sebagai
akhlak islam yaitu sikap hidup yang seharusnya dilakukan oleh seorang muslim dalam
memahami dan mensikapi urusan dunia. Kedua pengertian ini hakekatnya adalah
sama, bahwa zuhud adalah merupakan syarat yang harus dimiliki oleh seorang
muslim untuk meraih ridho allah.
Imam al-Qusyairi mengartikan zuhud dengan meninggalkan kenikmatan dunia
dan tidak mempedulikan orang yang dapat menikmatinya. Tidak merasa bangga
dengan kenikmatan dunia dan tidak akan mengeluh karena kehilangan dunia.
Sementara al-Junaid mengartikan zuhud adalah kosongnya tangan dan hati (jiwa) dari
kepemilikan dan dari hal yang mengikutinya (ketamakan). Dari ketiga pendapat ini
dapat disimpulkan bahwa zuhud adalah sikap sesorang yang lebih mencintai urusan
akhirat dari pada urusan dunia. Tidak tertarik untuk mencintai dan menikmati
kenikmatan dunia.
Orang yang melakukan praktek zuhud mengganggap materi dunia sesuatu hal
yang rendah dan menjadi hijab atau penghalang untuk menuju ma'rifat pada Allah.
Tujuan utama hidup manusia bukan untuk berlomba-lomba mencari meteri dunia,

1
Imam Ahmad bin Hambal, Zuhud Cahaya Kalbu (Jakarta: Darul Falah, 2003), hlm. 15.

2
tetapi untuk menyembah Allah. Para kaum sufi menempatkan urusan dunia sebagai
sarana untuk beribadah bukan merupakan tujuan hakiki dari kehidupan.2

2. Tingkatan zuhud dan ciri-cirinya


Dalam ajaran tasawuf, para tokoh sufi membagi tingkatan zuhud menjadi tiga
tingkatan, yaitu :
1) Tingkatan pertama adalah tahap pra zuhud. Pada tahap ini seseorang hatinya
masih cenderung kepada kelezatan dan kemudian berusaha memerangi dan
menghentikan segala hawa nafsunya terhadap semua keinginan terhadap dunia.
Dan ini merupakan pangkal awal memasuki kezuhudan untuk menapak kepada
derajat zuhud selanjutnya. Seseorang baru melatih dan memposisikan dirinya
dalam ketaatan, dan melakukan berbagai macam riyadhoh (latihan-latihan) dan
bersabar terhadap semua godaan dan bisikan hati untuk tertarik pada dunia. Pada
tahap ini seseorang harus membiasakan dirinya untuk memandang rendah dan bisa
terhadap semua kenikmatan dan kelezatan dunia.
2) Tingkatan kedua, yaitu seseorang yang sudah berada pada tingkatan zuhud dimana
hatinya tidak tertarik lagi kepada kelezatan dunia, tetapi hatinya masih merasa
takjub dengan kezuhudannya. Tidak tertarik kepada dunia karena ingin mendapat
kelezatan dan kenikmatan yang lebih besar di akhirat. Berzuhud yang seperti ini
menurut kaum sufi bukan merupakan tujuan zuhud yang sesungguhnya, dan
dianggap masih memiliki kekurangan.
3) Tingkatan ketiga, yang berzuhud dengan sukarela dan zuhud dalam
kezuhudannya. Ia bahkan sama sekali tidak memandang kezuhudannya. Karena di
dalam dirinya tidak melihat bahwa ia telah meninggalkan sesuatu yang berharga,
sebab ia tahu bahwa dunia bukanlah sesuatu yang berharga. Yang seperti orang
yang meninggalkan tembikar untuk mengambil mutiara atau permata. Ia tidak
memandang itu sebagai hasil kompensasi, tidak pula memandang bahwa dirinya
telah meninggalkan sesuatu yang berharga. Sungguh, bila disandingkan dengan
allah SWT dan kenikmatan akhirat, dunia lebih tidak berharga dan lebih buruk
daripada tembikar disandingkan dengan mutiara atau permata. Inilah yang
sempurna dalam kezuhudan. Inilah puncak zuhud yang hakiki, dan Zahid yang
seperti ini aman dari bahaya keberpalingan pada dunia. Hatinya tertuju penuh dan

2
Amin Syukur, Tasawuf Kontekstual (Yogjakarta: Pustaka Pelajar), hlm 13.

3
hanya fokus kepada allah SWT semata. Ia merupakan kezuhudan para pencinta
yang arif (al-muhibbin al-arifin). Sebab, hanya orang yang mengenal-Nya-lah
yang akan mencintai-Nya secara khusus.3
Ciri-ciri orang zuhud menurut Dia ada tiga perkara:
a. Ia tidak gembira dengan adanya sesuatu dan tidak sedih dengan hilangnya
sesuatu.
b. Orang yang memujinya dan orang yang menghinanya dianggap sama saja.
c. Ia merasa intim dengan tuhan dan merasa lezat dalam mentaati-Nya.

Semua ini mungkin bisa dipertahankan oleh seorang zahid yang di dalam hatinya
tidak ada lagi sesuatu selain Allah, walaupun ia memiliki kekayaan dan kebesaran.
Karena itu maqam zuhud ini adalah pendahuluan dari maqam syukur yang
mencerminkan kejiwaan seseorang muslim yang selalu memandang tuhan dalam
semua nikmat yang dilimpahkan kepadanya.Tetapi sebelum
mencapai maqam tersebut masih ada satu maqam lagi yang harus dilewati
yaitu maqam sabar. Maka ketahuilah tingkatan zuhud yang tertinggi adalah engkau
meninggalkan segala sesuatu selain Allah karena mencari ridhaNya. Semua dilakukan
untuk mengetahui kelezatan dan luhurnya sifat zuhud. Selagi masih mampu
mempertahankan diri dari semua itu, maka lakukanlah, dan itulah yang dinamakan
zuhud yang sebenarnya (hakiki).4

3. Kedudukan zuhud dalam tasawuf


Secara etimologis, ulama’berbeda pendapat tentang asal-usul kata tasawuf,
namun yang paling tepat tasaawuf berasal dari kata zuf( bulu domba) baik dilihat dari
konteks kebahasaan, sikap kesederhanaan para sufi maupun aspek kesejarahan.
Melihat dari banyaknya definisi tasawuf secara terminologis sesuai dengan
subjektifitas masing-masing sufi, maka Ibrahim Basyuni mengklarifikasikan definisi
tasawuf kedalam tiga varian yang menunjukkan elemen-elemen. Pertama , al-bidayah
kedua al-mujahadah dan ketiga, al –matsiqat.
Elemen pertama sebagai unsur dasar dan pemula, mengandung arti bahwa
secara ciri manusia sadar dan mengakui bahwa semua yang ada ini tidak dapat

3
Imam Ahmad bin Hambal, Zuhud Cahaya Kalbu (Jakarta: Darul Falah, 2003), hlm. 32-33
4
bid., Hlm. 34

4
menguasai dirinya sendiri karena di balik yang ada terdapat Realitas Mutlak. Karena
itu muncul kesadaran manusia untuk mendekati-Nya.
Elemen kedua sebagai unsur perjuangan keras, karena jarak antara manusia
dan Realitas Mutalk yang mengatasi semua yang ada bukan jarak fisik dan penuh
rintangan serta hambatan, maka diperlukan kesungguhan dan perjuangan keras untuk
dapat menempuh jalan dan jarak tersebut dengan cara menciptakan kondisi tertentu
untuk dapat mendekatkan diri kepada Realitas Mutlak.
Elemen ketiga mengandung arti manakala manusia telah lulus mengatasi
hambatan dan rintangan untuk mendekati Realitas Mutlak, maka ia akan dapat
berkomunikasi dan berada sedekat mungkin di hadirat-Nya serta akan merasakan
kelezatan spiritual yang didambakan. Tahap ini dapat disebut tahap pengalaman atau
penemuan mistik.
Dalam rangka untuk mendekatkan diri dengan tuhan, seorang sufi harus
menempuh jalan panjang yang berisi station-station yang disebut maqamat dalam
istilah arab atau stares dan station dalam istilah inggris. Al-tusi mendefinisikan
meqam dengan tingkatan seorang hamba di hadapan allah, dalam hal ibadah dan
latihan jiwa (mujahadah dan riyadah) yang dilakukannya. Adapun maqam itu ialah
taubah,wara’, zuhud, faqr, tawakkal dan ridha. Tampaklah di sini bahwa zuhud
bersifat normative dan doctrinal merupakan salah satu maqamat dalam tasawuf.

4. Zuhud di zaman modern


Islam diturunkan sebagai rahmatan lil ‘alamin, diturunkan dalam konteks
zamannya untuk memecahkan problema kemasyarakatan pada masa itu. Konteks dan
latar belakang perjuangan Rasulullah SAW dalam situasi dan kondisi Arab Quraisy
waktu itu. Pada masa sekarang harus dipahami dalam konteknya yang tepat, yaitu
pemahaman yang mondarmandir, memasukkan konteks kekinian ke masa ditrurunkan
Alquran, dan kembali lagi ke masa kini. Pemahaman ini akan menjamin aktualisasi
dan kemampuan Islam menjawab tantangan zaman sepanjang sejarah. Setelah
problema keumatan berkembang, maka sebagai tuntutan cultural dan historis,
muncullah madzhab dalam berbagai bidang, seperti politik, ilmu kalam, fiqih, dan
tasawuf, yang selanjutnya menampilkan diri sebagai disiplin ilmu keislaman.

5
Berbagai rumusan madzhab itu tidak bisa terlepas dari konteks zamannya, dan untuk
memecahkan problema yang dihadapi umat Islam pada waktu itu.5
Pada zaman sekarang ini, masyarakat modern dimaknai sebagai masyarakat
yang cenderung menjadi sekuler. Hubungan antara anggota masyarakat tidak lagi ada
dasar atau prinsip tradisi atau persaudaraan. Masyarakatnya merasa bebas dan lepas
dari control agama dan pandangan dunia, ciri-ciri lainnya adalah penglihatan nilai-
nilai sakral terhadap dunia, meletakkan hidup manusia dalam konteks kenyataan
sejarah, dan penisbian nilai nilai. Masyarakat modern yang mempunyai ciri tersebut,
ternyata menyimpan problema hidup yang sulit dipecahkan. Rasionalisme,
sekularisme, materialism, dan lain sebagainya ternyata tidak menambah kebahagiaan
dan ketentraman hidupnya, akan tetapi sebaliknya, menimbulkan kegelisahan hidup
ini.
Untuk menyikapi hingar bingar kehidupan di dunia ini, maka perlu
ditanamkan dalam hati untuk selalu memiliki sikap zuhud. Banyak sumber referensi
mengatakan bahwa kesenangan dunia akan memberikan dampak sangat besar dan
membawa seseorang untuk menjauh dari Allah SWT, seperti harta, kekuasaan,
jabatan, dan lain sebagainya. Telah dikatakan di atas bahwa hidup zuhud di dunia
merupakan suatu sikap penting yang harus dimiliki seseorang untuk tetap berada pada
kesempurnaan hidup. Sehingga ketertarikan terhadap dunia pada zaman sekarang ini,
dapat di kontrol dan digunakan dengan sebaik baiknya. Dengan demikian, hidup
zuhud pada zaman modern dapat mengantarkan kita untuk tetap berada pada aturan
dan norma agama dan yang pasti membawa kita untuk selalu dekat dengan Allah
SWT.6

5
Totok Jumatoro dan Samsul Munir Amin, Kamus Imu Tasawuf(: Amzah, 2012), hlm. 298.
6
Ibid., Hlm. 299.

6
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Secara etimologis, zuhud berarti ragaba’an syai’in wa tarokahu, artinya tidak


tertarik terhadap sesuatu yang meninggalkannya. Sedangkan zahada fi al-dunya,
berarti mengosongkan diri dari kesenangan dunia untuk hal ibadah.

Tingkatan-Tingkatan dari zuhud adalah sebagai berikut :

1. Tingkatan Terendah Yaitu bilamana yang disukai adalah keselamatan dari siksa
neraka dan kesengsaraan-kesengsaraan kubur dan pertanyaan hisab penghitungan
amal ini adalah zuhudnya orang-orang yang takut siksaan.
2. Tingkatan Menengah Yaitu bilamana seseorang itu zuhud karena suka akan pahala
Allah, kenikmatanNya dan kelezatan-kelezatan yang di janjikan Allah di
surgaNya.
3. Tingkatan Tertinggi Bilamana seseorang tidak karena takut atau berharap tetapi
karena mempunyai kesukaan kecuali kepada Allah dan suka bertemu kepada
Allah ta’ala dan juga seseorang itu tidak berpaling pada kelezatan-kelezatan dngan
maksud dapat memperolehnya bahkan ia menghabiskan hasratnya kepada Allah.

Ciri-ciri orang zuhud menurut Dia ada tiga perkara :

1. Ia tidak gembira dengan adanya sesuatu dan tidak sedih dengan hilangnya sesuatu
2. Orang yang memujinya dan orang yang menghinanya dianggap sama saja.
3. Ia merasa intim dengan tuhan dan merasa lezat dalam mentaati-Nya.

7
DAFTAR PUSTAKA

Jumatoro, Totok dan Samsul Munir Amin. 2012.Kamus Imu Tasawuf. Bandung: Amzah.

Ahmad, Imam. 2003Zuhud Cahaya Kalbu. Jakarta: Darul Falah

Syukur, Amin. Tasawuf Kontekstual. Yogjakarta: Pustaka Pelajar

Anda mungkin juga menyukai