Anda di halaman 1dari 88

PROPOSAL KARYA TULIS ILMIAH

PENERAPAN TERAPI BERMAIN PADA ANAK PRASEKOLAH POST


LAPARATOMI DENGAN ANSIETAS DI RUANG KEMUNING BAWAH
RSU KAB. TANGERANG

OLEH:
LALA PITALOKA
NIM 17.024

AKADEMI KEPERAWATAN ISLAMIC VILLAGE TANGERANG BANTEN

Jl. Islamic Raya Kelapa Dua Tangerang 15810


Telepon/ Fax: 021-5462852, Website: www.akperisvill.ac.id
Email: info@akperisvill.ac.id, akperislamicvillage@yahoo.co.id
Tahun Akademik 2020/ 2021
PROPOSAL KARYA TULIS ILMIAH

PENERAPAN TERAPI BERMAIN PADA ANAK PRASEKOLAH POST


LAPARATOMI DENGAN ANSIETAS DI RUANG KEMUNING BAWAH
RSU KAB. TANGERANG

Diajukan sebagai salah satu syarat mendapatkan gelar Ahli Madya Keperawatan
(A.Md.Kep) Pada Akademi Keperawatan Islamic Village Tangerang

OLEH:
LALA PITALOKA
NIM 17.024

AKADEMI KEPERAWATAN ISLAMIC VILLAGE TANGERANG BANTEN


Jl. Islamic Raya Kelapa Dua Tangerang 15810
Telepon/ Fax: 021-5462852, Website: www.akperisvill.ac.id
Email: info@akperisvill.ac.id, akperislamicvillage@yahoo.co.id
Tahun Akademik 2019/ 2020
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIASI

KTI ini merupakan karya sendiri dan belum pernah dikumpulkan oleh orang lain
untuk memperoleh gelar akademik
Nama : Lala pitaloka
Tempat tanggal lahir : Tangerang, 07 juli 1999
Nim : 17.024
Alamat rumah : Kp. Pagedangan Ds. Ranca bango Kab. Tangerang
Nomor Hp : 085714710157

Dengan ini menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penelitian saya yang


berjudul “Penerapan Terapi Bermain Pada Anak Prasekolah Post Laparatomi
Dengan Ansietas Di Ruang Kemuning Bawah Rsu Kab. Tangerang”. Bebas dari
plagiarisme dan bukan hasil karya orang lain.
Apabila dikemudian hari diketemukan seluruh atau sebagian dari proposal
penelitian dan karya ilmiah dari hasil penelitian tersebut terdapat indikasi
plagiarisme, saya akan bersedia menerima sanksi sesuai peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
Demikian pernyataan ini dibuat dalam keadaan sadar dan tanpa unsur paksaan
siapapun.

Tangerang,
Yang membuat pernyataan

LALA PITALOKA
PERNYATAAN ORISINILITAS

KTI ini saya buat sendiri, dan semua sumber baik yang dikutip maupun
dirujuk telah saya nyatakan benar.
Nama : Lala pitaloka
Tempat tanggal lahir : Tangerang, 07 juni 1999
Nim : 17.024
Alamat rumah : Kp. Pagedangan Ds. Ranca bango Kec. Rajeg Kab.
Tangerang
Nomor Hp : 085714710157

Tangerang,
Yang membuat pernyataan

LALA PITALOKA
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING

Karya Tulis Ilmiah Telah Disetujui


Penerapan Terapi Bermain Pada Anak Prasekolah Post Laparatomi Dengan
Ansietas
Di Ruang Kemuning Bawah Rsu Kab. Tangerang

OLEH:
LALA PITALOKA
NIM 17.024

Dibawah bimbingan,

Pembimbing I Pembimbing II

Ns. Rina Milawati,S.Kep,M.Kep Sri Wahyuni. P. S.Kep


LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI

PENERAPAN TERAPI BERMAIN PADA ANAK PRASEKOLAH POST


LAPARATOMI DENGAN ANSIETAS DI RUANG KEMUNING BAWAH
RSU KAB. TANGERANG
Karya tulis ilmiah ini telah dipertahankan pada uji sidang KTI tanggal

Pembimbing I Pembimbing II

Ns. Rina Milawati,S.Kep,M.Kep Sri Wahyuni. P. S.Kep

Mengesahkan
Direktur Akper Islamic Village Tangerang

Ns. Sudrajat S.Kep.,M.Kep


KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT Karena dengan pertolongan-
Nya kami dapat menyelesaikan Proposal studi kasus yang berjudul “Penerapan
Terapi Bermain Pada Anak Prasekolah Post Laparatomi Dengan Ansietas”.
Meskipun banyak rintangan dan hambatan serta waktu yang cukup padat, penulis
dapat menyelesaikan Proposal Penelitian ini dengan baik berkat bantuan dari
berbagai pihak, Oleh karena itu, penulis mengucapkan terimakasih kepada :
1. Ns. Sudrajat, S.Kep.M.Kep Selaku Direktur Akper Islamic Village
Tangerang
2. Ns. Rina Milawati,S.Kep,M.Kep Selaku dosen pembimbing pertama yang
telah meluangkan waktu untuk memberikan petunjuk dan bimbingan
kepada penulis

3. Sri Wahyuni. P. S.Kep Selaku dosen pembimbing kedua yang telah


meluangkan waktu untuk memberikan petunjuk dan bimbingan kepada
penulis

4. Kedua orang tua tercinta (Ayahanda Rapiudin dan Ibunda Siti Fatimah )
yang telah memberikan doa serta dukungan semangat dan berkorban dari
segi moril dan materi
5. Kedua kakak laki-laki saya yang telah memberikan doa serta semangat
untuk adiknya
Penulis menyadari masih banyak terdapat kesalahan dalam pembuatan proposal
penelitian ini. Untuk itu, penulis mohon saran dan kritik yang membangun agar
kedepannya menjadi lebih baik. Semoga proposal penelitian ini dapat bermanfaat
bagi pembaca.
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tindakan pembedahan suatu penanganan medis secara invasive

yang dilakukan untuk mendiagnosa atau mengobati penyakit, injuri,

atau deformitas tubuh (Nainggolan, 2013). Kiik (2013) menyatakan

bahwa tindakan pembedahan akan mencederai jaringan yang dapat

menimbulkan perubahan fisiologis tubuh dan mempengaruhi organ

tubuh lainnya.

Berdasarkan data yang diperoleh dari World Health Organization

(WHO) dalam Sartika (2013), jumlah pasien dengan tindakan operasi

mencapai angka peningkatan yang sangat signifikan dari tahun ke

tahun. Tercatat di tahun 2011 terdapat 140 juta pasien di seluruh

rumah sakit di dunia, sedangkan pada tahun 2012 data mengalami

peningkatan sebesar 148 juta jiwa.

Berdasarkan laporan Kementrian Kesehatan RI (2013), pada

tahun 2012 di indonesia, tindakan operasi mencapai 1,2 juta jiwa di

perkirakan 32% diantaranya merupakan tindakan bedah laparatomi.

Menurut catatan medik di RSUD Moch Ansari Saleh Banjarmasin

selama bulan januari 2015- oktober 2017 terdapat sebanyak 162 orang

pasien yang menjalani operasi pembedahan laparatomi dengan rata-rata

6 tindakan pembedahan laparatomi dilakukan setiap bulannya.

Jumlah pasien dengan tindakan operasi yang semakin meningkat

dari tahun ke tahun dapat mempengaruhi peningkatan komplikasi


pasca operasi seperti resiko terjadinya infeksi luka operasi (ILO) dan

infeksi nosokomial (Haryanti, 2013).

Kecemasan pasien paling tinggi adalah sebelum operasi, segera

menurun setelah operasi, dan meningkat kembali pasca operasi. Dalam

studi terbaru, angka prevalensi kecemasan ditemukan berkisar antara

11% sampai 80% di kalangan pasien dewasa. Suatu studi menunjukkan

bahwa 62% pasien menderita kecemasan pra operasi, perempuan lebih

banyak daripada laki-laki, dan lebih sering setelah operasi

intraabdominal.

Hasil ini sejalan dengan hasil penelitian yang didapatkan oleh

Abdul-Rasoul A, bahwa kecemasan dengan tingkat yang lebih tinggi

lebih banyak pada perempuan disemua jenis operasi.

Post operasi laparatomi yang tidak mendapatkan perawatan

maksimal setelah pasca bedah dapat memperlambat penyembuhan dan

menimbulkan komplikasi (Depkes, 2010).

Komplikasi pada pasien post laparatomi adalah nyeri yang hebat,

perdarahan, bahkan kematian (Rustianawati, 2013). Pasien pasca

operasi yang melakukan tirah baring terlalu lama juga dapat

meningkatkan resiko terjadinya kekakuan atau penegangan otot-otot di

seluruh tubuh, gangguan sirkulasi darah, gangguan pernafasan dan

gangguan peristaltik maupun berkemih bahkan terjadinya dekubitus

atau luka tekan (Nainggolan, 2013).

Menurut Kristiantari (2009) masalah keperawatan yang terjadi

pada pasien post laparatomi meliputi pelemahan (memburuknya


keaadaan), keterbatasan fungsi tubuh dan cacat. Pelemahan meliputi

nyeri akut pada bagian lokasi operasi, takut dan keterbatasan LGS

(Lingkup Gerak Sendi), Keterbatasan fungsi tubuh meliputi

ketidakmampuan berdiri, berjalan, serta ambulasi dan cacat meliputi

aktivitas yang terganggu karena keterbatasan gerak akibat nyeri dan

prosedur medis (Kristiantari, 2009).

Proses keperawatan pada pasien pasca operasi diarahkan untuk

menstabilkan batas normal (equilibrium) fisiologi pasien,

menghilangkan nyeri, ansietas dan pencegahan komplikasi (Ajidah,

2014). Pasien post laparatomi memerlukan perawatan yang maksimal

untuk mempercepat pengembalian fungsi tubuh dan mengurangi nyeri,

hal ini dilakukan segera setelah operasi dengan terapi bermain pada

anak dengan ansietas.

Kecemasan pada anak prasekolah yang sakit dan dirawat di rumah

sakit, merupakan salah satu bentuk gangguan yaitu tidak terpenuhinya

kebutuhan aman nyaman berupa kebutuhan emosional anak yang tidak

adekuat. Hal ini perlu penanganan sedini mungkin. Dampak dari

keterlambatan dalam penanganan kecemasan, anak akan menolak

perawatan dan pengobatan. Kondisi seperti ini akan berpengaruh besar

pada proses perawatan dan pengobatan serta penyembuhan dari anak

yang sakit (Zuhdatani, 2015).

Hasil survei UNICEF pada tahun 2012 prevalensi anak yang

mengalami perawatan di rumah sakit sekitar 89%. Anak-anak di

Amerika Serikat diperkirakan lebih dari 5 juta mengalami hospitalisasi


dan lebih dari 50% dari jumlah tersebut anak mengalami kecemasan dan

stress. (Apriliawati, dalam Maghfuroh 2016).

Survei Kesehatan Nasional (SUSENAS), jumlah anak usia

prasekolah di Indonesia sebesar 72% dari total jumlah penduduk

Indonesia, diperkirakan dari 35 per 100 anak menjalani hospitalisasi dan

45% diantaranya mengalami kecemasan. Selain membutuhkan

perawatan yang spesial dibanding pasien lain, waktu yang dibutuhkan

untuk merawat penderita anak-anak 20%-45% melebihi orang dewasa.

Anak yang dirawat di rumah sakit akan berpengaruh pada kondisi fisik

dan psikologinya (Wahyuni, 2016)

Hospitalisasi merupakan salah satu penyebab kecemasan.

Kecemasan pada anak merupakan hal yang harus segera diatasi, karena

sangat menganggu pertumbuhan dan perkembangan (Supartini, 2012)

Berbagai dampak hospitalisasi dan kecemasan yang dialami oleh anak

usia prasekolah, akan beresiko menganggu tumbuh kembang anak dan

berdampak pada proses penyembuhan.

Kecemasan yang teratasi dengan cepat dan baik akan membuat

anak lebih nyaman dan lebih kooperatif dengan tenaga kesehatan

sehingga tidak akan menghambat proses perawatan. Jika kecemasan

berlangsung lama dan tidak teratasi maka akan menimbulkan reaksi

kekecewaan pada orangtua, yang menimbulkan sikap pelepasan pada

anak, sehingga anak mulai tidak peduli dengan ketidakhadiran orangtua

dan lebih memilih untuk berdiam diri (apatis), menolak untuk diberikan

tindakan dan yang paling parah akan


menimbulkan trauma pada anak setelah keluar dari rumah sakit

(Wong, 2009).

Mengatasi memburuknya tingkat kecemasan pada anak, perawat

dalam memberikan intervensi harus memperhatikan kebutuhan anak

sesuai tumbuh kembangnya. Kebutuhan anak usia prasekolah terhadap

pendampingan orang tua selama masa perawatan, kebutuhan akan rasa

aman dan nyaman, serta kebutuhan aktivitasnya. Dalam memberikan

asuhan keperawatan kepada anak, diharapkan mampu memberikan

tindakan tanpa adanya resiko trauma pada anak baik trauma fisik ataupun

trauma psikologis.

Bermain pada masa prasekolah adalah kegiatan yang penting, yang

merupakan bagian penting dalam perkembangan tahun- tahun pertama

masa kanak-kanak.Permainan akan membuat anak terlepas dari

ketegangan dan stress yang dialami. Selain itu dengan melakukan

permainan anak dapat mengalihkan rasa sakit Melalui program bermain

anak dapat menunjukkan apa yang dirasakannya selama sakitnya

(Purwandari,dalam Pravitasari & Bambang, 2012)..

Menurut hasil penelitian Kusumaningrum (2013), di IRNA II RSUP

dr. Sardjito menunjukkan bahwa, tingkat kecemasan pada anak

prasekolah selama perawatan di rumah sakit sebanyak 15 anak 48,%

mengalami cemas sedang, dan 1 anak 3,2% mengalami cemas berat.

Setelah dilkukan terapi bermain 3 anak 9,7% mengalami kecemasan

ringan dan 1 anak 3,2% mengalami kecemasan sedang. Hal ini

menunjukkan bahwa terjadi penurunan yang sangat baik pada


tingkat kecemasan.

Menurut penelitian Ikhsan tahun 2016, menunjukkan bahwa

sebanyak 25% atau 5 orang anak yang berada pada kategori

kecemasan tinggi, 65% subjek atau 13 orang anak yang mengalami

kecemasan sedang, dan 10% atau 2 anak berada pada kecemasan

ringan mengalami penurunan kecemasan setelah diberikan terapi

bermain.

Dari uraian diatas , penulis tertarik untuk melakukan


penelitian studi kasus dengan judul penerapan terapi bermain pada
anak prasekolah post laparatomi dengan ansietas.

1.2 Rumusan Masalah Karya Tulis Ilmiah


Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka penulis
merumuskan masalah pada studi kasus ini adalah “penerapan terapi bermain
pada anak prasekolah post laparatomi dengan ansietas”.

1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Secara umum asuhan keperawatan ini bertujuan untuk mengetahui
penerapan terapi bermain pada anak prasekolah post laparatomi
dengan ansietas.

1.3.2 Tujuan Khusus


1. Melakukan pengkajian keperawatan pada anak usia
prasekolah yang mengalami penurunan ansietas.
2. Merumuskan diagnosis keperawatan pada anak usia
prasekolah yang mengalami penurunan ansietas.
3. Menyusun perencanaan asuhan keperawatan pada anak
usia prasekolah yang mengalami penurunan ansietas.
4. Mengimplementasikan atau melakukan tindakan
keperawatan yang dilakukan pada anak usia prasekolah
yang mengalami penurunan ansietas.
5. Melakukan evaluasi terhadap asuhan keperawatan yang
telah dilakukan pada anak usia prasekolah yang
mengalami penurunan ansietas.
6. Mendokumentasikan hasil pelaksanaan asuhan
keperawatan secara lengkap pada anak usia prasekolah
yang mengalami penurunan ansietas.

1.4 Manfaat penelitian


1.4.1 Bagi institusi

Hasil penelitian diharapkan dapat di jadikan sebagai bahan


masukan dalam pengembangan ilmu pengetahuan di institusi
Akademi Keperawatan Islamic Village Tangerang.

1.4.2 Bagi peneliti


Hasil penelitian diharapkan mampu menambah wawasan
dan pengetahuan peneliti bagi mengenai asuhan keperawatan
pada anak usia prasekolah yang mengalami penurunan ansietas.
1.4.3 Bagi praktisi
Hasil penelitian diharapkan dapat dijadikan sebagai dasar
dalam penanganan lebih intensif terhadap pada anak usia
prasekolah yang mengalami penurunan ansietas di RSU
Kabupaten Tangerang.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Dasar Laparatomi


2.1.1 pengertian Laparatomi

Laparatomi adalah pembedahan perut sampai membuka


selaput perut (Jittowiyono, 2010). Laparatomi adalah operasi yang
dilakukan untuk mem

buka abdomen (bagian perut). Kata “Laparatomi” pertama


kali digunakan untuk merujuk operasi semacam ini pada tahun
1878 oleh seorang ahli bedah Inggris, Thomas Bryant. Kata
tersebut terbentuk dari dua kata Yunani “Lapara” dan “tome”. Kata
“lapara” berarti bagian lunak dari tubuh yang terletak diantara
tulang rusuk dan pinggul. Sedangkan “tome” berarti pemotongan
(Kamus Kedokteran, 2011).

2.1.2 Jenis Laparatomi


Jenis-jenis pembedahan laparatomi menurut (Jitowiyono, 2010)
a) Middline incision, yaitu sayatan ke tepi dari garis tengah
abdomen.
b) Paramedian, yaitu sedikit ke tepi dari garis tengah (kurang
lebih 2,5 cm), panjang (12,5 cm).
c) Transverse upper abdomen incison, yaitu insisi di bagian
atas, misalnya pembedahan colesistotomy dan splenectomy.
d) Transverse lower abdomen incision, yaitu insisi melintang
di bawah kurang lebih 4 cm di atas anterior spinal iliaka,
misalnya : operasi appendiktomy.

Diagnosa penyakit yang termasuk dalam pembedahan Laparatomi


antara lain:
a) Kanker hati, kanker pancreas, kanker usus besar, atau
kanker ovarium.
b) Batu empedu
c) Lubang pada usus (perfosi usus)
d) Endometriosis
e) Jaringan perut di dalam perut (terjadi perlengketan organ
dalam perut)
f) Kehamilan diluar Rahim (kehamilan ektopik)
g) Radang usus buntu akut
h) Radang kantung usus besar (diverticulitis)
i) Radang pancreas
j) Abses hati
2.1.3 Etiologi
Etiologi sehingga dilakukan laparatomi adalah karena disebabkan
oleh beberapa hal (Smeltzer, 2012) yaitu:
a) Trauma abdomen (tumpul atau tajam) rupture hepar
b) Peritoritis
c) Perdarahan saluran pencernaan
d) Sumbatan pada usus halus dan usus besar
e) Adanya masa pada abdomen
2.1.4 Kompilkasi
a) Gangguan perfusi jaringan sehingga dengan tromboplebitis.
Tromboplebitis post operasi biasanya timbul 7-14 hari
setelah operasi. Bahaya besar tromboplebitis timbul bila
darah tersebut lepas dari dinding pembuluh darah vena dan
ikut aliran darah sebagai emboli ke paru-paru, hati, dan
otak. Pencegahan tromboplebitis yaitu latihan kaki,
ambulasi dini post operasi.
b) Infeksi, infeksi luka sering muncul pada 36-46 jam pasca
operasi. Organisme yang paling sering menimbulkan
infeksi adalah stapilococus aures, organisme gram positif.
Stapilococus mengakibatkan penanahan. Untuk
menghindari infeksi luka yang paling penting adalah
perawatan luka dengan memperhatikan aseptic dan
antiseptic.
c) Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan dehisensi
luka atau eviserasi.
d) Ventilasi paru tidak adekuat.
e) Gangguan kardiovaskuler : hipertensi, aritmia jantung.
f) Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit.
g) Gangguan rasa nyaman dan kecelakaan. (Arif Mansjoer,
2012).

2.2 Konsep Dasar Ansietas


Kecemasan atau ansietas adalah sebuah emosi yang muncul dan
pengalaman subjektif dari seseorang. Cemas adalah suatu keadaan
yang membuat seseorang tidak nyaman dan terbagi dalam beberapa
tingkatan. Jadi cemas berkaitan dengan perasaan yang tidak pasti
dan tidak berdaya (Farida& Yudi, 2010).

Ansietas adalah perasaan tidak nyaman atau kekhawatiran yang


samar disertai respon otonom (sumber yang tidak diketahui oleh
individu) sehingga individu akan meningkatkan kewaspadaan
untuk mengantisipasi (NANDA, 2015).

Kecemasan berbeda dengan rasa takut yang merupakan


penilaian intelektual terhadap bahaya. Berbeda dengan Videbeck,
yang menyatakan bahwa takut tidak dapat dibedakan dengan
cemas, karena individu yang merasa takut dan cemas mengalami
pola respon perilaku, fisiologis, emosional dalam waktu yang
sama. Berdasarkan definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa cemas
merupakan reaksi atas situasi baru dan berbeda terhadap suatu
ketidakpastian dan ketidakberdayaan. Perasaan cemas dan takut
merupakan suatu yang normal, namun perlu menjadi perhatian bila
rasa cemas semakin kuat dan terjadi lebih sering dengan konteks
yang berbeda.
2.2.1 Patofisiologi Ansietas
Sistem syaraf pusat menerima suatu persepsi ancaman. Persepsi
ini timbul akibat adanya rangsangan dari luar dan dalam yang
berupa pengalaman masa lalu dan faktor genetik. Kemudian
rangsangan dipersepsi oleh panca indra, diteruskan dan direspon
oleh sistem syaraf pusat melibatkan jalur cortex cerebri - limbic
system - reticular activating system - hypothalamus yang
memberikan impuls kepada kelenjar hipofise untuk mensekresi
mediator hormonal terhadap target organ yaitu kelenjar adrenal
yang kemudian memicu syaraf otonom melalui mediator hormonal
yang lain (Owen, 2016)

2.2.2 Tingkatan Kecemasan

Tingkat kecemasan dibedakan menjadi tiga yaitu:

a. Kecemasan ringan Pada tingkat kecemasan ringan seseorang mengalami


ketegangan yang dirasakan setiap hari sehingga menyebabkan seseorang
menjadi waspada dan meningkatkan lahan persepsinya. Seseorang akan
lebih tanggap dan bersikap positif terhadap peningkatan minat dan
motivasi. Tanda-tanda kecemasan ringan berupa gelisah, mudah marah
dan perilaku mencari perhatian.
b. Kecemasan sedang Kecemasan sedang memungkinkan seseorang untuk
memusatkan pada hal yang penting dan mengesampingkan yang lain,
sehingga seseorang mengalami perhatian yang selektif, namun dapat
melakukan sesuatu yang lebih terarah. Pada kecemasan sedang, seseorang
akan kelihatan serius dalam memperhatikan sesuatu. Tanda-tanda
kecemasan sedang berupa suara bergetar, perubahan dalam nada suara
takikardi, gemetaran, peningkatan ketegangan otot.
c. Kecemasan berat Kecemasan berat sangat mengurangi lahan persepsi,
cenderung untuk memusatkan pada sesuatu yang rinci dan spesifik serta
tidak dapat berpikir tentang hal lain. Semua perilaku ditunjukkan untuk
mengurangi menurunkan kecemasan dan fokus pada kegiatan lain
berkurang. Orang tersebut memerlukan banyak pengarahan untuk dapat
memusatkan pada suatu daerah lain. Tanda-tanda kecemasan berat berupa
perasaan terancam, ketegangan otot berlebihan, perubahan pernapasan,
perubahan gastrointestinal (mual, muntah, rasa terbakar pada ulu hati,
sendawa, anoreksia dan diare), perubahan kardiovaskuler dan
ketidakmampuan untuk berkonsentrasi. Adapun gangguan kecemasan pada
anak yang sering dijumpai di rumah sakit adalah panik, fobia, obsesif-
kompulsif, gangguan kecemasan umum dan lainnya.

2.2.3 Faktor-Faktor Yang Mempegaruhi Kecemasan Anak

Faktor yang mempengaruhi kecemasan anak antara lain:

a) Usia
Usia dikaitkan dengan pencapaian perkembangan kognitif
anak. Anak usia prasekolah belum mampu menerima dan
mempersepsikan penyakit dan pengalaman baru dengan
lingkungan asing.
b) (Anak ke-)
Karakteristik saudara dapat mempengaruhi kecemasan pada
anak yang dirawat di rumah sakit. Anak yang dilahirkan sebagai
anak pertama dapat menunjukkan rasa cemas yang berlebihan
dibandingkan anak kedua
c) Jenis kelamin
Jenis kelamin dapat mempengaruhi tingkat stress
hospitalisasi, dimana anak perempuan yang menjalani
hospitalisasi memiliki tingkat kecemasan yang lebih tinggi
dibanding anak laki-laki, walaupun ada beberapa yang
menyatakan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara
jenis kelamin dengan tingkat kecemasan anak.
d) Pengalaman terhadap sakit dan perawatan di rumah sakit
Anak yang mempunyai pengalaman hospitalisasi
sebelumnya akan memiliki kecemasan yang lebih rendah
dibandingkan dengan anak yang belum memiliki pengalaman
sama sekali. Respon anak menunjukkan peningkatan sensitivitas
terhadap lingkungan dan mengingat dengan detail kejadian yang
dialaminya dan lingkungan disekitarnya. Pengalaman pernah
dilakukan perawatan juga membuat anak menghubungkan
kejadian sebelumnya dengan perawatan saat ini. Anak yang
memiliki pengalaman yang tidak menyenangkan selama dirawat
di rumah sakit sebelumnya akan membuat anak takut dan
trauma. Sebaliknya apabila pengalaman anak dirawat di rumah
sakit mendapatkan perawatan yang baik dan menyenangkan
maka akan akan lebih kooperatif.
e) Jumlah anggota keluarga dalam satu rumah
Jumlah anggota keluarga dalam satu rumah dikaitkan
dengan dukungan keluarga. Semakin tinggi dukungan keluarga
pada anak usia prasekolah yang menjalani hospitalisasi, maka
semakin rendah tingkat kecemasan anak. Jumlah saudara
kandung sangat erat hubungannya dengan dukungan keluarga.
Semakin banyak jumlah saudara kandung, maka anak akan
cenderung cemas, merasa sendiri serta kesepian saat anak harus
dirawat di rumah sakit. Keterlibatan orangtua selama anak
dirawat memberikan perasaan tenang, nyaman, merasa disayang
dan diperhatikan. Koping emosi yang baik dari anak akan
memunculkan rasa percaya diri pada anak dalam menghadapi
permasalahannya. Keterlibatan orangtua dapat memfasilitasi
penguasan anak terhadap lingkungan yang asing.
f) Persepsi anak terhadap sakit

Keluarga dengan jumlah yang cukup besar mempengaruhi


persepsi dan perilaku anak dalam mengatasi masalah
menghadapi hospitalisasi. Jumlah anggota keluarga dalam satu
rumah semakin besar memungkinkan dukungan keluarga yang
baik dalam perawatan anak. Small, et al (2009) menyatakan
bahwa anak usia prasekolah selama dihospitalisasi bisa
menyebabkan dampak bagi anak sendiri maupun orangtua.
Munculnya dampak tersebut karena kemampuan pemilihan
koping yang belum baik dan kondisi stress karena pengobatan.

2.2.4 Respon Terhadap Kecemasan


Kecemasan dapat mempengaruhi kondisi tubuh seseorang, respon
kecemasan antara lain:
a) Respon Fisiologis terhadap kecemasan
Secara fisiologis respon tubuh terhadap kecemasan adalah
dengan mengaktifkan sistem saraf otonom (simpatis maupun
parasimpatis). Serabut saraf simpatis mengaktifkan tanda-tanda
vital pada setiap tanda bahaya untuk mempersiapkan pertahanan
tubuh. Anak yang mengalami gangguan kecemasan akibat
perpisahan akan menunjukkan sakit perut, sakit kepala, mual,
muntah, demam ringan, gelisah, kelelahan, sulit berkonsentrasi,
dan mudah marah.
b) Respon Psikologis terhadap kecemasan
Respon perilaku akibat kecemasan adalah tampak gelisah,
terdapat ketegangan fisik, tremor, reaksi terkejut, bicara cepat,
kurang koordinasi, menarik diri dari hubungan interpersonal,
melarikan diri dari masalah, menghindar, dan sangat waspada.
c) Respon Kognitif
Kecemasan dapat mempengaruhi kemampuan berpikir baik
proses pikir maupun isi pikir, diantaranya adalah tidak mampu
memperhatikan, konsentrasi menurun, mudah lupa, menurunnya
lapang persepsi, bingung, sangat waspada, kehilangan
objektivitas, takut kehilangan kendali, takut pada gambaran
visual, takut pada cedera atau kematian dan mimpi buruk.
d) Respon Afektif
Secara afektif klien akan mengekspresikan dalam bentuk
kebingungan, gelisah, tegang, gugup, ketakutan, waspada,
khawatir, mati rasa, rasa bersalah atau malu, dan curiga
berlebihan sebagai reaksi emosi terhadap kecemasan.
2.2.5 Alat Ukur Kecemasan
Tingkat kecemasan dapat terlihat dari manifestasi yang
ditimbulkan oleh seseorang. Alat ukur kecemasan terdapat
beberapa versi, salah satunya yaitu:
a Hamilton Anxiety Scale
Hamilton Anxiety Scale (HAS) disebut juga dengan
Hamilton Anxiety Rating Scale (HARS), pertama kali
dikembangkan oleh Max Hamilton pada tahun 1956, untuk
mengukur semua tanda kecemasan baik kecemasan psikis
maupun somatik. HARS terdiri dari 14 item pertanyaan untuk
mengukur tanda adanya kecemasan pada anak dan orang
dewasa. HARS telah distandarkan untuk mengevaluasi tanda
kecemasan pada individu yang sudah menjalani pengobatan
terapi, setelah mendapatkan obat antidepresan dan setelah
mendapatkan obat psikotropika (Heri, 2017).
2.2.6 Hamilton Anxiety Rating Scale (HARS)

Nomor Responden :
Nama Responden :
Tanggal Pemeriksaan :

Skor : 0 = tidak ada


1 = ringan
2 = sedang
3 = berat
4 = berat sekali
Total Skor : kurang dari 14 = tidak ada
kecemasan
14 – 20 = kecemasan
ringan
21 – 27 = kecemasan
sedang
28 – 41 = kecemasan
berat
42 – 56 = kecemasan
berat sekali

No Pertanyaan 0 1 2 3 4
1 Perasaan Ansietas
- Cemas
- Firasat Buruk
- Takut Akan Pikiran Sendiri
- Mudah Tersinggung
2 Ketegangan
- Merasa Tegang
- Lesu
- Tak Bisa Istirahat Tenang
- Mudah Terkejut
- Mudah Menangis
- Gemetar
- Gelisah
3 Ketakutan
- Pada Gelap
- Pada Orang Asing
- Ditinggal Sendiri
- Pada Binatang Besar
- Pada Keramaian Lalu Lintas
- Pada Kerumunan Orang Banyak
4 Gangguan Tidur
- Sukar Masuk Tidur
- Terbangun Malam Hari
- Tidak Nyenyak
- Bangun dengan Lesu
- Banyak Mimpi-Mimpi
- Mimpi Buruk
- Mimpi Menakutkan
5 Gangguan Kecerdasan
- Sukar Konsentrasi
- Daya Ingat Buruk
6 Perasaan Depresi
- Hilangnya Minat
- Berkurangnya Kesenangan Pada Hobi
- Sedih
- Bangun Dini Hari
- Perasaan Berubah-Ubah Sepanjang Hari
7 Gejala Somatik (Otot)
- Sakit dan Nyeri di Otot-Otot
- Kaku
- Kedutan Otot
- Gigi Gemerutuk
- Suara Tidak Stabil

8 Gejala Somatik (Sensorik)


- Tinitus
- Penglihatan Kabur
- Muka Merah atau Pucat
- Merasa Lemah
- Perasaan ditusuk-Tusuk
9 Gejala Kardiovaskuler
- Takhikardia
- Berdebar
- Nyeri di Dada
- Denyut Nadi Mengeras
- Perasaan Lesu/Lemas Seperti Mau Pingsan
- Detak Jantung Menghilang (Berhenti
Sekejap)
10 Gejala Respiratori
- Rasa Tertekan atau Sempit Di Dada
- Perasaan Tercekik
- Sering Menarik Napas
- Napas Pendek/Sesak
11 Gejala Gastrointestinal
- Sulit Menelan
- Perut Melilit
- Gangguan Pencernaan
- Nyeri Sebelum dan Sesudah Makan
- Perasaan Terbakar di Perut
- Rasa Penuh atau Kembung
- Mual
- Muntah
- Buang Air Besar Lembek
- Kehilangan Berat Badan
- Sukar Buang Air Besar (Konstipasi)
12 Gejala Urogenital
- Sering Buang Air Kecil
- Tidak Dapat Menahan Air Seni
- Amenorrhoe
- Menorrhagia
- Menjadi Dingin (Frigid)
- Ejakulasi Praecocks
- Ereksi Hilang
- Impotensi
13 Gejala Otonom
- Mulut Kering
- Muka Merah
- Mudah Berkeringat
- Pusing, Sakit Kepala
- Bulu-Bulu Berdiri
14 Tingkah Laku Pada Wawancara
- Gelisah
- Tidak Tenang
- Jari Gemetar
- Kerut Kening
- Muka Tegang
- Tonus Otot Meningkat
- Napas Pendek dan Cepat
- Muka Merah

Skor Total =

Tabel 2.1. Hamilton Anxiety Rating Scale (HARS)

2.3 Konsep Dasar Anak Prasekolah

2.3.1 Pengertian

Pra Sekolah

Anak usia prasekolah merupakan masa kanak-kanak awal, yaitu


berada pada usia 3-6 tahun. Suatu batasan tubuh, rasa diri dan gender dari
anak usia prasekolah menjadi lebih pasti bagi mereka karena
perkembangan keingintahuan seksual dan kesadaran tentang perbedaan
dengan orang lain yang sama atau yang berbeda. (Potter & Perry, 2010).

Anak usia prasekolah merupakan usia perkembangan anak antara


tingga hingga lima tahun (Hockenberry & Wilson, 2009). Pada usia ini
terjadi perubahan yang signifikan untuk mempersiapkan gaya hidup yaitu
masuk sekolah dengan mengkobinasikan antara perkembangan biologis,
psikososial, kognitif, spiritual dan prestasi sosial. Anak pada masa
prasekolah memiliki kesadaran tentang dirinya sebagai laki-laki atau
perempuan, dapat mengatur diri dalam toilet dan mengenal beberapa hal
yang berbahaya dan mencelakai dirinya (Mansur, 2011).

2.3.2 Tugas Tumbuh Kembang Anak


Menurut Soetijiningsih (2013), bahwa semua tugas anak
prasekolah itu disusun berdasarkan urutan perkembangan dan aturan
dalam beberapa kelompok besar yang disebut sector perkembangan yang
meliputi:
1) Perilaku sosial
Aspek yang berhubungan dengan kemampuan kemandirian,
bersosialisai dan berinteraksi dengan lingkungan misalnya,
membantu dirumah, mengambil makan, berpakaian tanpa bantuan,
menyuapi boneka, menggosok gigi tanpa bantuan, dapet makan
sendiri.
2) Motorik Halus
Aspek yang berhubungan dengan kemampuan anak untuk
mengamati sesuatu, melakukan gerakan yang melibatkan bagian
tubuh tertentu yang dilakukan oleh otot-otot kecil, tetapi
memerlukan koordinasi yang cermat misalnya menggambar garis,
lingkaran dan menggambar manusia.
3) Motorik Kasar
Aspek yang berhubungan dengan pergerakan dan sikap tubuh,
misalnya terdiri dengan satu kaki, berjalan naik tangga dan
menendang bola ke depan.
4) Bahasa
Kemampuan yang memberikan respon terhadap suara, mengikuti
perintah, misalnya bicara semua dimengerti, mengenal dan
menyebutkan warna, menggunakan kata sifat (besar-kecil).
5) Emosional
Anak prasekolah cenderung mengekspresikan emosinya dengan
bebas dan terbuka, sikap marah, iri hati pada anak prasekolah
sering terjadi, mereka sering kali memperebutkan perhatian orang
sekitar.
6) Kognitif
Anak prasekolah umumnya sudah terampil berbahasa, sebagian
dari mereka senang bicara, khususnya pada kelompoknya.
Sebaiknya anak di beri kesempatan untuk mendengar yang baik.
Anak juga perlu dikembangkan melalui interaksi, minat,
kesempatan, memahami dan kasih saying.
2.3.3 Faktor Yang Mempengaruhi Tumbuh Kembang
Secara umum faktor yang mempengaruhi tumbuh kembang anak menurut
Soejiningsih (2013), yaitu:

1) Faktor genetik
Faktor genetik merupakan modal dasar dan mempunyai peran
utama dalam mencapai hasil akhir proses tumbuh kembang anak.
Faktor genetic pada anak antara lain adalah berbagai faktor bawaan
yang normal dan patologik, jenis kelamin dan suku bangsa.

2) Faktor lingkungan
Faktor lingkungan merupakan faktor yang sangat menentukan
tercapai tidaknya potensi genetic. Lingkungan yang baik akan
memungkinkan tercapainya potensi genetik sedangkan yang tidak
baik akan menghambatnya.

2.3.4 Kebutuhan Dasar Anak


Kebutuhan dasar anak untuk tumbuh kembang, secara umum digolongkan
menjadi 3 kebutuhan dsar menurut Soetjiningsih (2013), yaitu:

1) Kebutuhan biologis (asuh)


Kebutuhan biologis meliputi, pangan atau gizi (kebutuhan
terpenting), perawatan kesehatan dasar (antara lain imunisasi,
pemberian ASI, perkembangan anak yang teratur, pengobatan saat
sakit), pemukiman yang layak, kebersihan perorangan, sanitasi
lingkungan, sandang, kebugaran jasmani rekreasi.
2) Kebutuhan emosi atau kasih sayang (asih)
Pada tahun pertama kehidupan, hubungan yang penuh kasih
sayang, erat, mesra, dan selera antara ibu dan anak merupakan
syarat untuk menjamin tumbuh kembang yang optimal, baik fisik,
mental, maupun psikososial.
3) Kebutuhan akan stimulasi mental
Stimulasi mental merupakan cikal bakal untuk proses belajar
(pendidikan dan pelatihan) pada anak. Stimulasi mental (asuh) ini
merangsang perkembangan mental seperti kecerdasan,
keterampilan, kemandirian, kreativitas, agama, kepribadian, moral-
mental, produktivitas dan sebagainya.
2.4 Konsep Hospitalisasi
2.4.1 Pengertian
Hospitalisasi adalah suatu proses yang karena suatu alasan yang
berencana atau darurat, mengharuskan anak untuk tinggal di rumah
sakit, menjalani terapi dan perawatan sampai pemulangannya
kembali ke rumah. (Whasley, L. F dan Wong, 2010).
2.4.2 Tujuan
o Mengurangi Stres & ketakutan Ortu &Anak terhadap
Hospitalisasi
o Memberikan atmosfir positif & Hubungan saling percaya
antara Staf RS & Anggota Keluarga

2.4.3 Reaksi anak terhadap hospitalisasi


Secara umum, anak lebih rentan terhadap efek penyakit dan
hospitalisasi karena kondisi ini merupakan perubahan dari status
kesehatan dan rutinitas umum mereka. Hospitalisasi menciptakan
serangkaian peristiwa traumatik dan penuh stres dalam iklim
ketidakpastian bagi anak dan keluarga mereka, baik itu merupakan
prosedur elektif yang telah direncanakan sebelumnya ataupun akan
situasi darurat yang terjadi akibat trauma. Stresor yang dapat
dialami oleh anak terkait dengan hospitalisasi dapat menghasilkan
berbagai reaksi. Anak beraksi terhadap stres hospitalisasi sebelum
masuk, selama hospitalisasi, dan setelah pulang. Selain efek
fisiologis masalah kesehatan, efek psikologis penyakit dan
hospitalisasi pada anak (Kyle & Carman, 2014), yaitu sebagai
berikut:
1) Ansietas dan ketakutan
Bagi banyak anak, memasuki rumah sakit adalah seperti
memasuki dunia asing. Akibatnya adalah ansietas dan ketakutan.
Ansietas sering kali berasal dari cepatnya awitan penyakit atau
cedera, terutama ketika anak memiliki pengalaman terbatas
terkait dengan penyakit atau cedera.
2) Ansietas perpisahan
Ansietas terhadap perpisahan merupakan stresor utama bagi
anak di usia tertentu. Kondisi ini terjadi pada usia sekitar 8
bulan dan berakhir saat anak menjelang usia 3 tahun (American
Academy of Pediatrics, 2010).
3) Kehilangan kontrol
Ketika dihospitalisasi, anak mengalami kehilangan kontrol
secara signifikan. Kehilangan konntrol ini meningkatkan
persepsi ancaman dan mempengaruhi keterampilan koping
mereka.

2.4.4 Faktor-faktor yang mempengaruhi reaksi anak terhadap


hospitalisasi
Berbagai faktor memiliki dampak besar pada kemampuan anak
untuk menghadapi penyakit dan hospitalisasi. Faktor ini dapat
meningkatkan atau menghilangkan ketakutan anak yang sedang sakit
dan di hospitalisasi. Setiap anak berespon secara berbeda dan akan
mempersepsikan pengalaman di rumah sakit secara berbeda.
Beberapa faktor yang memepengaruhi reaksi anak terhadap
hospitalisasi yaitu:
1) Frekuensi perpisahan dari orang tua atau pengasuh
2) Usia
3) Tingkat perkembangan
4) Tingkat kognitif
5) Pengalaman sebelumnya terhadap penyakit dan hospitalisasi
6) Stres dan perubahan kehidupan saat ini
7) Jenis dan jumlah persiapan
8) Temperamen
9) Keterampilan koping bawaan/alamiah dan didapat
10) Kesseriusan dagnosa/ awitan penyakit atau cedera (mis., akut atau
kronis)
11) Sistem pendukung yang tersedia, termasuk keluarga dan
profesional perawatan kesehatan
12) Latar belakang budaya
13) Reaksi orang ta terhadap penyakit dan hospitalisasi

2.4.5 Reaksi keluarga terhadap hospitalisasi pada anak


1) Reaksi orang tua
Hampir semua orang tua berespon terhadap penyakit dan
hospitalisasi anak mereka dengan reaksi yang luar biasa
konsisten. Pada awalnya orang tua dapat bereaksi dengan tidak
percaya, terutama jika penyakit tersebut muncul tiba-tiba dan
serius. Setelah realisasi penyakit, orang tua bereaksi marah atau
merasa bersalah atau kedua-duanya. Mereka dapat menyalahkan
diri mereka sendiri atas penyakit anak tersebut atau marah pada
orang lain karena beberapa kesalahan. Takut, cemas, dan frustasi
merupakan perasaan yang banyak diungkapkan oleh orang tua.
Takut dan cemas dapat berkaitan dengan keseriusan penyakit
dan jenis prosedur medis yang dilakukan. Sering kali kecemasan
yang paling besar berkaitan dengan trauma dan nyeri yang
terjadi pada anak (Wong, 2009).

2) Reaksi saudara kandung (sibling)


Reaksi saudara kandung terhadap anak yang sakit dan
dirawat di rumah sakit adalah kesiapan, ketakutan, khawatir,
marah, cemburu, benci, iri, dan merasa bersalah. Orang tua
sering kali memberikan perhatian yang lebih pada anak yang
sakit dibandingkan pada anak yang sehat. Hal tersebut
menimbulkan perasaan cemburu pada anak yang sehat dan
merasa ditolak (Nursalam, 2013).
3) Perubahan peran keluarga
Selain dampak perpisahan terhadap peran keluarg,
kehilangan peran orang tua dan sibling. Hal ini dapat
mempengaruhi setiap anggota keluarga dengan cara yang
berbeda. Salah satu reaksi orang tua yang paling banyak adalah
perhatian khusus dan intensif terhadap anak yang sedang sakit
(Wong, 2009).

2.4.6 Efek hospitalisasi


Anak-anak dapat bereaksi terhadap stres hospitalisasi sebelum
mereka masuk, selama hopitalisasi, dan setelah pemulangan. Konsep
sakit yang dimiliki anak bahkan lebih penting dibandingkan usia dan
kematangan intelektual dalam memperkirakan tingkat kecemasan
sebelum hospitalisasi (Carson, Grevley, dan Council, 1992;
Clatsworthy, Simon, dan Tiedemen, 1999). Hal ini bisa saja
dipengaruhi oleh durasi, kondisi dan/ atau sebelum hospitalisasi, bisa
juga tidak. Berikut ini adalah dampak hospitalisasi terhadap anak
usia prasekolah menurut Nursalam (2013), sebagai berikut:
1. Cemas akibat perpisahan
Sebagian besar kecemasan yang terjadi pada anak
pertengahan sampai anak periode prasekolah khususnya anak
berumur 6-30 bulan adalah cemas karena perpisahan. Hubungan
anak dengan ibu sangat dekat sehingga perpisahan dengan ibu
akan menimbulkan rasa kehilangan terhadap orang yang terdekat
bagi diri anak. Selain itu, lingkungan yang belum dikenal akan
mengakibatkan persaan tidak aman dan rasa cemas.
2. Kehilangan kendali
Anak yang mengalami hospitalisasi biasanya kehilangan
kontrol. Hal ini terlihat jelas dalam perilaku anak dalam hal
kemampuan motorik, bermain, melakukan hubungan
interpersonal, melakukan aktivitas hidup sehari-hari activity daily
living (ADL), dan komunikasi. Akibat sakit dan dirawat di rumah
sakit, anak akan kehilangan kebebasan pandangan ego dalam
mengembangkan otonominya. Ketergantungan merupakan
karakteristik anak dari peran terhadap sakit. Anak akan bereaksi
terhadap ketergantungan dengan cara negatif, anak akan menjadi
cepat marah dan agresif. Jika terjadi ketergantungan dalam jangka
waktu lama (karena penyakit kronis), maka anak akan kehilangan
otonominya dan pada akhirnya akan menarik diri dari hubungan
interpersonal.
3. Cedera tubuh dan nyeri
Konsep citra tubuh, khususnya pengertian body boundaries
(perlindungan tubuh), pada kanak-kanak sedikit sekali
berkembang. Berdasarkan hasil pengamatan, bila dilakukan
pemeriksaan telinga, mulut, atau suhu pada rektal akan membuat
anak sangat cemas. Reaksi anak terhadap tindakan yang tidak
menyakitkan sama seperti tindakan yang sangat menyakitkan.
Anak akan bereaksi terhadap rasa nyeri dengan menangis,
mengatupkan gigi, menggigit bibir, menendang, memukul, atau
berlari keluar.

2.4.7 Manfaat Hospitalisasi


Meskipun hospitalisasi menyebabkan stress pada anak,
hospitalisasi juga dapat memberikan manfaat yang baik, antara lain
menyembuhkan anak, memberikan kesempatan kepada anak unuk
mengatasi stres dan merasa kompeten dalam kemampuan koping
serta dapat memberikan pengalaman bersosialisasi dan memperluas
hubungan interpersonal mereka. Dengan menjalani rawat inap atau
hospitalisasi dapat menangani masalah kesehatan yang dialami anak,
meskipun hal ini dapat menimbulkan krisis. Manfaat psikologis
selain diperoleh anak juga diperoleh keluarga, yakni hospitalisasi
anak dapat memperkuat koping keluarga dan memunculkan strategi
koping baru. Manfaat psikologis ini perlu ditingkatkan dengan
melakukan berbagai cara, diantaranya adalah:
a) Membantu mengembangkan hubungan orangtua dengan anak
Kedekatan orang tua dengan anak akan nampak ketika anak
dirawat di rumah sakit. Kejadian yang dialami ketika anak harus
menjalani hospitalisasi dapat menyadarkan orang tua dan
memberikan kesempatan kepada orang tua untuk memahami
anak-anak yang bereaksi terhadap stress, sehingga orang tua dapat
lebih memberikan dukungan kepada anak untuk siap menghadapi
pengalaman di rumah sakit serta memberikan pendampingan
kepada anak setelah pemulangannya.
b) Menyediakan kesempatan belajar
Sakit dan harus menjalani rawat inap dapat memberikan
kesempatan belajar baik bagi anak maupun orangtua tentang
tubuh mereka dan profesi kesehatan. Anak-anak yang lebih besar
dapat belajar tentang penyakit dan memberikan pengalaman
terhadap profesional kesehatan sehingga dapat membantu dalam
memilih pekerjaan yang nantinya akan menjadi keputusannya.
Orangtua dapat belajar tentang kebutuhan anak untuk
kemandirian, kenormalan dan keterbatasan. Bagi anak dan
orangtua, keduanya dapat menemukan sistem support yang baru
dari staf rumah sakit.

c) Meningkatkan penguasaan diri


Pengalaman yang dialami ketika menjalani hospitalisasi
dapat memberikan kesempatan untuk meningkatkan penguasaan
diri anak. Anak akan menyadari bahwa mereka tidak
disakiti/ditinggalkan tetapi mereka akan menyadari bahwa mereka
dicintai, dirawat dan diobati dengan penuh perhatian. Pada anak
yang lebih tua, hospitalisasi akan memberikan suatu kebanggaan
bahwa mereka memiliki pengalaman hidup yang baik
d) Menyediakan lingkungan sosialisasi
Hospitalisasi dapat memberikan kesempatan baik kepada
anak maupun orangtua untuk penerimaan sosial. Mereka akan
merasa bahwa krisis yang dialami tidak hanya oleh mereka sendiri
tetapi ada orang-orang lain yang juga merasakannya. Anak dan
orangtua akan menemukan kelompok sosial baru yang memiliki
masalah yang sama, sehingga memungkinkan mereka akan saling
berinteraksi, bersosialisasi dan berdiskusi tentang keprihatinan
dan perasaan mereka, serta mendorong orangtua untuk membantu
dan mendukung kesembuhan anaknya.

2.4.8 pengertian Terapi Bermain


Bermain merupakan kegiatan anak-anak, yang dilakukan
berdasarkan keinginannya sendiri untuk mengatasi kesulitan, stress
dan tantangan yang ditemui serta berkomunikasi untuk mencapai
kepuasan dalam berhubungan dengan orang lain (Wong, 2009),.
Bermain merupakan kegiatan atau simulasi yang sangat tepat
untuk anak. Bermain dapat meningkatkan daya pikir anak untuk
mendayagunakan aspek emosional, sosial serta fisiknya serta dapat
meningkatkan kemampuan fisik, pengalaman, dan pengetahuan
serta keseimbangan mental anak. Kesimpulan Bermain merupakan
kegiatan yang dilakukan anak untuk mengatasi berbagai macam
perasaan yang tidak menyenangkan dalam dirinya. Anak akan
mendapatkan kegembiraan dan kepuasan dengan bermain.
Terapi bermain merupakan kegiatan untuk mengatasi masalah
emosi dan perilaku anak-anak karena responsif terhadap kebutuhan
unik dan beragam dalam perkembangan mereka. Anak-anak tidak
seperti orang dewasa yang dapat berkomunikasi secara alami
melalui kata-kata, mereka lebih alami mengekspresikan diri melalui
bermain dan beraktivitas. Terapi bermain merupakan suatu bentuk
permainan anak-anak, di mana mereka dapat berhubungan dengan
orang lain, saling mengenal, sehingga dapat mengungkapkan
perasaannya sesuai dengan kebutuhan mereka (Vanfleet, et al,
2010).
Terapi bermain merupakan terapi yang diberikan dan digunakan
anak untuk menghadapi ketakutan, kecemasan dan mengenal
lingkungan, belajar mengenai perawatan dan prosedur yang
dilakukan serta staf rumah sakit yang ada. Hal ini sejalan dengan
Asosiasi Terapi Bermain, 2008, dalam Homeyer, 2008, terapi
bermain didefinisikan sebagai penggunaan sistematis model teoritis
untuk membangun proses antar pribadi untuk membantu seseorang
mencegah atau mengatasi kesulitan psikososial serta mencapai
pertumbuhan dan perkembangan yang optimal. Terapi bermain
merupakan salah satu aspek penting dari kehidupan anak dan salah
satu alat paling efektif untuk mengatasi stress anak ketika dirawat
di rumah sakit.
Hospitalisasi menimbulkan krisis dalam kehidupan anak dan
sering disertai stress berlebihan, maka anak-anak perlu bermain
untuk mengeluarkan rasa takut dan cemas yang mereka alami
sebagai alat koping dalam menghadapi stress.

2.4.9 Tujuan terapi bermain


Bermain sangat penting bagi mental, emosional, dan
kesejahteraan sosial anak. Seperti kebutuhan perkembangan
mereka, kebutuhan bermain tidak berhenti pada saat anak-anak
sakit atau di rumah sakit (Wong,2009). Sebaliknya, bermain di
rumah sakit memberikan manfaat utama yaitu meminimalkan
munculnya masalah perkembangan anak, selain itu tujuan terapi
bermain adalah untuk menciptakan suasana aman bagi anak-anak
untuk mengekspresikan diri mereka, memahami bagaimana sesuatu
dapat terjadi, mempelajari aturan sosial dan mengatasi masalah
mereka serta memberikan kesempatan bagi anak-anak untuk
berekspresi dan mencoba sesuatu yang baru.
Tujuan bermain di rumah sakit adalah agar dapat melanjutkan
fase tumbuh kembang secara optimal, mengembangkan kreativitas
anak sehingga anak dapat beradaptasi lebih efektif terhadap stress.
Menurut Santrock (2007), terapi bermain dapat membantu anak
menguasai kecemasan dan konflik. Ketegangan mengendor dalam
permaianan, anak dapat menghadapi masalah kehidupan,
memungkinkan anak menyalurkan kelebihan energi fisik dan
melepaskan emosi yang tertahan. Permainan juga sangat
mendukung pertumbuhan dan perkembangan anak, yaitu
diantaranya:
1) Perkembangan kognitif
a) Anak mulai mengerti dunia
b) Anak mampu mengembangakan pemikiran yang fleksibel
dan berbeda
c) Anak memiliki kesempatan untuk menemui dan mengatasi
permasalahan – permasalahan yang sebenarnya
2) Perkembangan sosial dan emosional
a) Anak mengembangkan keahlian berkomunikasi secara verbal
maupun non verbal melalui negosiasi peran, mencoba untuk
memperoleh akses untuk permainan yang berkelanjutan atau
menghargai perasaan orang lain
b) Anak merespon perasaan teman sebaya sambil menanti
giliran bermain dan berbagi pengalaman
c) Anak bereksperimen dengan peran orang – orang dirumah, di
sekolah, dan masyarakat di sekitarnya melalui hubungan
langsung dengan kebutuhan – kebutuhan dan harapan orang –
orang disekitarnya
d) Anak belajar menguasai perasaanya ketika ia marah, sedih
atau khawatir dalam keadaan terkontrol
3) Perkembangan bahasa
a) Permainan dramatik, anak menggunakan pernyataan –
pernyataan peran, infleksi (perubahan nada/suara) dan bahasa
komunikasi yang tepat
b) Anak belajar menggunakan bahasa untuk tujuan – tujuan
yang berbeda dan dalam situasi yang berbeda dengan orang –
orang yang berbeda pula
c) Anak menggunakan bahasa untuk meminta alat bermain,
bertanya, mengkspresikan gagasan atau mengadakan dan
meneruskan permainan
d) Anak bereksperimen dengan kata – kata, suku kata bunyi, dan
struktur bahasa
4) Perkembangan fisik (jasmani)
a) Anak terlibat dalam permainan yang aktif menggunakan
keahlian – keahlian motorik kasar
b) Anak mampu memungut dan menghitung benda – benda
kecil menggunakan keahlian motorik halusnya
5) Perkembangan pengenalan huruf (literacy)
a) Proses membaca dan menulis anak seringkali pada saat anak
sedang bermain permainan dramatik, ketika ia membaca
cetak yang tertera, membuat daftar belanja atau bermain
sekolah – sekolahan
b) Permainan dramatik membantu anak belajar memahami
cerita dan struktur cerita
c) Permainan dramatik, anak memasuki dunia bermain seolah –
olah mereka adalah karakter atau benda lain. Permainan ini
membantu mereka memasuki dunia karakter baru.

2.4.10 Fungsi bermain


Dunia anak tidak dapat dipisahkan dari kegiatan bermain.
Diharapkan dengan bermain, anak akan mendapatkan stimulus
yang mencukupi agar dapat berkembang secara optimal. Fungsi
bermain pada anak yaitu:
1) Perkembangan sensoris-motorik: aktivitas sensoris-motorik
merupakan komponen terbesar yang digunakan anak dan
bermain aktif sangat penting untuk perkembanga fungsi otot.
2) Perkembangan intelektual: anak melakukan eksplorasi dan
manipulasi terhadap segala sesuatu yang ada di lingkungan
sekitarnya, terutama mengenal warna, bentuk, ukuran, tekstur,
dan membedakan objek. Anak bermain mobil-mobilan,
kemudian bannya terlepas dan anak dapat memperbaikinya
maka anak telah belajar memecahkan masalahnya melalui
eksplorasi alat mainannya dan untuk mencapai kemampuan ini,
anak menggunakan daya pikir dan imajinasinya semaksimal
mungkin. Anak melakukan eksplorasi, akan melatih kemampuan
intelektualnya.
3) Perkembangan sosial: perkembangan sosial ditandai dengan
kemampuan berinteraksi dengan lingkungannya. Kegiatan
bermain, anak akan belajar memberi dan menerima. Bermain
dengan orang lain akan membantu anak untuk mengembangkan
hubungan sosial dan belajar memecahkan dari hubungan
tersebut. Saat melakukan aktivitas bermain, anak belajar
berinteraksi dengan teman, memahami lawan bicara, dan belajar
tentang nilai sosial yang ada pada kelompoknya. Terjadi
terutama pada anak usia sekolah dan remaja
4) Perkembangan kreativitas: berkreasi adalah kemampuan untuk
menciptakan sesuatu dan mewujudkannya ke dalam bentuk
objek dan atau kegiatan yang dilakukannya. Melalui kegiatan
bermain, anak akan belajar dan mencoba untuk merealisasikan
ide-idenya.
5) Perkembangan kesadaran diri: melalui bermain, anak akan
mengembangkan kemampuannya dalam mengatur tingkah laku.
Anak juga akan belajar mengenal kemampuannya dan
membandingkannya dengan orang lain dan menguji
kemampuannya dengan mencoba peran-peran baru dan
mengetahui dampak tingkah lakunya terhadap orang lain. Peran
orang tua sangat penting untuk menanamkan nilai moral dan
etika, terutama dalam kaitannya dengan kemampuan untuk
memahami dampak positif dan negatif dari perilakunya terhadap
orang lain. Nilai-nilai moral: anak mempelajari nilai benar dan
salah dari lingkungannya, terutama dari orang tua dan guru.
Melakukan aktivitas bermain, anak akan mendapat kesempatan
untuk menerapkan nilai-nilai tersebut sehingga dapat diterima di
lingkungannya dan dapat menyesuaikan diri dengan aturan-
aturan kelompok yang ada dalam lingkungannya.
6) Bermain Sebagai Terapi
Pada saat anak dirawat di rumah sakit, anak akan
mengalami berbagai perasaan yang sangat tidak menyenangkan
seperti: marah, takut, cemas, sedih dan nyeri. Perasaan tersebut
merupakan dampak dari hospitalisasi yang dialami anak karena
menghadapi beberapa stressor yang ada di lingkungan rumah
sakit. Melakukan permainan anak akan terlepas dari ketegangan
dan stress yang dialaminya karena dengan melakukan
permainan, anak akan dapat mengalihkan rasa sakitnya pada
permainannya (distraksi).

2.4.11 Prinsip pelaksanaan terapi bermain


Agar anak dapat lebih efektif dalam bermain di rumah sakit, perlu
diperhatikan prinsip-prinsip sebagai berikut:
a) Permainan tidak banyak menggunakan energi, waktu bermain
lebih singkat untuk menghindari kelelahan dan alat-alat
permainannya lebih sederhana.
(Vanfeet, 2010) Waktu yang diperlukan untuk terapi
bermain pada anak yang dirawat di rumah sakit adalah 15-20
menit. Waktu 15-20 menit dapat membuat kedekatan antara
orangtua dan anak serta tidak menyebabkan anak kelelahan
akibat bermain. Hal ini berbeda dengan Adriana, 2011, yang
menyatakan bahwa waktu untuk terapi bermain 30-35 menit
yang terdiri dari tahap persiapan 5 menit, tahap pembukaan 5
menit, tahap kegiatan 20 menit dan tahap penutup 5 menit.
Lama pemberian terapi bermain bisa bervariasi, idealnya
dilakukan 15-30 menit dalam sehari selama 2-3 hari.
Pelaksanaan terapi ini dapat memberikan mekanisme koping dan
menurunkan kecemasan pada anak.
b) Mainan harus relatif aman dan terhindar dari infeksi silang.
Permainan harus memperhatikan keamanan dan
kenyamanan. Anak kecil perlu rasa nyaman dan yakin terhadap
benda-benda yang dikenalnya, seperti boneka yang dipeluk anak
untuk memberi rasa nyaman dan dibawa ke tempat tidur di
malam hari, mainan tidak membuat anak tersedak, tidak
mengandung bahan berbahaya, tidak tajam, tidak membuat anak
terjatuh, kuat dan tahan lama serta ukurannya menyesuaikan
usia dan kekuatan anak.
c) Sesuai dengan kelompok usia.
Rumah sakit yang mempunyai tempat bermain, hendaknya
perlu dibuatkan jadwal dan dikelompokkan sesuai usia karena
kebutuhan bermain berlainan antara usia yang lebih rendah dan
yang lebih tinggi
d) Tidak bertentangan dengan terapi
Terapi bermain harus memperhatikan kondisi anak. Bila
program terapi mengharuskan anak harus istirahat, maka
aktivitas bermain hendaknya dilakukan ditempat tidur.
Permainan tidak boleh bertentangan dengan pengobatan yang
sedang dijalankan anak. Anak harus tirah baring, harus dipilih
permainan yang dapat dilakukan di tempat tidur, dan anak tidak
boleh diajak bermain dengan kelompoknya di tempat bermain
khusus yang ada di ruang rawat.
e) Perlu keterlibatan orangtua dan keluarga
Banyak teori yang mengemukakan tentang terapi bermain,
namun menurut Wong (2009), keterlibatan orangtua dalam
terapi adalah sangat penting, hal ini disebabkan karena orangtua
mempunyai kewajiban untuk tetap melangsungkan upaya
stimulasi tumbuh kembang pada anak walaupun sedang dirawat
si rumah sakit. Anak yang dirawat di rumah sakit seharusnya
tidak dibiarkan sendiri. Keterlibatan orangtua dalam perawatan
anak di rumah sakit diharapkan dapat mengurangi dampak
hospitalisasi. Keterlibatan orangtua dan anggota keluarga tidak
hanya mendorong perkembangan kemampuan dan ketrampilan
sosial anak, namun juga akan memberikan dukungan bagi
perkembangan emosi positif, kepribadian yang adekuat serta
kepedulian terhadap orang lain. Kondisi ini juga dapat
membangun kesadaran buat anggota keluarga lain untuk dapat
menerima kondisi anak sebagaimana adanya.

2.4.12 Hambatan dalam pelaksanaan terapi bermain


Faktor yang mempengaruhi
Terdapat tiga faktor yang mempengaruhi pelaksanaan terapi
bermain di rumah sakit yaitu (Green, 2010):
a) Faktor Predisposisi
Faktor predisposisi adalah hal-hal yang menjadi rasional atau
motivasi berperilaku diantaranya
1) Pengetahuan (Cognitif)
Aktifitas bermain yang dilakukan oleh perawat di ruangan
untuk meminimalkan dampak hospitalisasi dimulai dari
domain kognitif. Perawat perlu mengetahui tentang arti,
fungsi, klasifikasi, tipe, karakteristik bermain pada anak,
faktor-faktor yang mempengaruhi bermain, prinsip dan fungsi
bermain di rumah sakit dan alat mainan yang diperbolehkan.
Semakin tinggi tingkat pengetahuan perawat tentang aktifitas
bermain pada anak maka akan semakin optimal pula perawat
dalam melaksanakan tindakan yang di berikannya tersebut.
2) Sikap (Attitude)
Sikap adalah suatu bentuk evaluasi atau reaksi perasaan.
Sikap seseorang terhadap suatu objek adalah perasaan yang
mendukung atau memihak (favorable) maupun perasaan tidak
mendukung atau memihak (unfavorable) pada objek tersebut.
Sikap dikatakan sebagai suatu respon evaluatif. Respon
hanya akan timbul apabila individu di hadapkan pada suatu
stimulus yang menghendaki adanya reaksi individual. Di
antara berbagai faktor yang mempengaruhi pembentukan
sikap ialah sikap perawat, pengalaman pribadi, kebudayaan,
orang lain yang di anggap penting, media massa, institusi
serta faktor emosi dalam diri individu. Suatu sikap yang
positif belum terwujud dalam suatu tindakan.
b) Faktor Pendukung
Faktor pendukung merupakan sesuatu yang memfasilitasi
seseorang atau kelompok untuk mencapai tujuan yang
diinginkan seperti kondisi lingkungan, ada atau tidaknya sarana
atau fasilitas kesehatan dan kemampuan sumber- sumber
masyarakat serta program-program yang mendukung untuk
terbentuknya suatu tindakan. Terwujudnya sikap perawat agar
menjadi tindakan di perlukan faktor pendukung di rumah sakit,
seperti tersedianya sarana atau fasilitas antara lain, ruangan
bermain yang diatur sedemikian rupa sehingga memungkinkan
pelaksanaan aktifitas bermain pada anak dan alat-alat bermain
yang sesuai dengan tahap pertumbuhan dan perkembangan anak.
Adanya prosedur kegiatan yang telah ditetapkan sebagai acuan
perawat dalam melaksanakan kegiatan bermain. kebijakan yaitu
ketentuan-ketentuan yang harus dilaksanakan dalam
pelaksanaan aktifitas bermain.

c) Faktor Pendorong
Faktor pendorong merupakan akibat dari tindakan yang
dilakukan seseorang atau kelompok untuk memerima umpan
balik yang positif atau negatif yang meliputi support sosial,
pengaruh teman, nasehat dan umpan balik oleh pemberi
pelayanan kesehatan atau pembuat keputusan, adanya
keuntungan sosial seperti penghargaan, keuntungan fisik seperti
kenyamanan, hadiah yang nyata, pemberian pujian kepada
seseorang yang mendemonstrasikan tindakannya. Sumber
pendorong tergantung pada objek, tipe program dan tempat. Di
rumah sakit, faktor pendorong bisa berasal dari perawat, dokter
dan keluarga (Green, 2010). Perawat memerlukan faktor
pendorong untuk melaksanakan tindakannya yang berasal dari
sikap atasannya, apakah atasannya memberikan dorongan
terhadap tindakan yang telah di lakukannya, misalnya
memberikan reward, insentif atau nilai angka kredit, pengaruh
teman, adanya dorongan atau ajakan dari perawat lain akan
memberikan dorongan kepada perawat untuk melakukan terapi
bermain secara bersama- sama atau bergantian.
Faktor yang berpengaruh
a) Pengetahuan perawat
Pengetahuan perawat merupakan hal yang dominan dalam
pelaksanaan terapi bermain di rumah sakit. Perawat
mengetahui fungsi, proses dan evaluasi yang diharapkan
maka hasil yang didapat akan sesuai dengan tujuan terapi
bermain. 8 prinsip dasar dari pendekatan terapi bermain
adalah:
1) Perawat harus menciptakan suasana yang hangat,
hubungan yang bersahabat dengan anak
2) Perawat menerima anak sebagaimana adanya
3) Perawat harus mengembangakan perasaan permisif dalam
hubungan dengan anak
4) Perawat harus waspada terhadap perasaan anak yang
diekspresikan dan direfleksikan kembali dalam bentuk
tingkah laku
5) Perawat diharapakan menghargai kemampuan anak dalam
memecahkan masalahnya sendiri jika diberi kesempatan
untuk melakukannya
6) Perawat tidak diperkenankan langsung menegur perbuatan
anak atau bercakap-cakap dengan cara apapun.
7) Perawat jangan cepat – cepat melakukan terapi
8) Perawat hanya mengembangkan keterbatasan –
keterbatasan yang diperlukan dalam menarik anak untuk
terapi, dan pada kenyataannya akan membuat anak sadar
akan tanggungjawabnya dalam hubungan dengan terapis.
b) Fasilitas, kebijakan RS, kerjasama tim
Faktor lainnya adalah ketersediaan fasilitas sarana dan
prasarana rumah sakit dalam mendukung pelaksanaan terapi
bermain. Ada sebagian rumah sakit yang sudah memiliki
tempat bermain anak, akan tetapi tidak digunakan atau tempat
telah ada dan SOP kebijakan rumah sakit tentang pelaksanaan
terapi bermain sudah ada, tetapi tim diruangan tidak saling
mendukung. Hal ini perlu adanya pemahaman terkait
kebutuhan bermain anak. Masuknya anak kerumah sakit
membawa dampak psikologis hingga dewasanya nanti
c) Keluarga
Faktor keluarga merupakan pendukung dalam pelaksanaan
terapi bermain, perawatan anak di ruang rawat inap anak
sebagian besar bergantung kepada orang tua anak terlebih
pada anak dibawah usia sekolah, lingkungan asing justru
akan menambah kecemasan pada anak, sehingga orang tua
menjadi jembatan dalam pelaksanaan terapi bermain. Selain
itu terapi bermain yang telah dilakukan oleh perawat dapat
ditindak lanjuti dan diteruskan oleh keluarga dalam kegiatan
sehari-hari selama dalam perawatan.

2.4.13 Pelaksanaan Terapi Bermain


1. Permainan Anak Usia 0 – 1 Tahun
Bermain pada bayi mencerminkan perkembangan dan
kesadaran terhadap lingkungan, tujuan bermain pada usia 0 – 1
tahun adalah menstimulasi perkembangan anak, mengalihkan
perhatian anak, mengalihkan nyeri dan ketidaknyamanan yang
dirasakan. Pemilihan mainan anak harus aman, bersih dan selalu
dalam pemantauan orang tua. Anak usia 0 – 1 tahun mengalami
perkembangan oral (mulutnya) dimana kepuasan ada dalam
mulutnya, jadi anak cenderung memainkan mulut dan suka
memasukkan semua benda kedalam mulutnya. Permainan
permainan yang dapat dilakukan pada anak usia 0 -1 tahun
meliputi:
a. Permainan kerincing Permainan ini menggunakan
penglihatan dan pendengaran anak yang berfungsi untuk
mengalihkan perhatian anak serta melatih anak untuk
menemukan sumber bunyi yang berasal dari kerincing.
Pelaksanaannya dengan menggoyangkan kerincing
hingga anak menoleh kearah bunyi kerincing, lalu geser
kerincing kekiri dan kekanan, jauh mendekat. Jika anak
mencoba untuk meraih, kerincing boleh diberikan ke anak
untuk digenggam dan dimainkan.
b. Sentuhan Permainan ini menggunakan benda-benda yang
akan disentuhkan ke anak, baik kekulit anak maupun ke
telapak tangan anak. Pilihlah benda yang tekstur
permukaannya lembut seperti boneka, sisir bayi, atau
kertas. Permainan ini bertujuan untuk mengenalkan benda
dengan sensasi sentuhan dan mengembangkan kesadaran
terhadap benda-benda disekitarnya. Permainan ini
dilakukan dengan menempelkan benda-benda yang telah
kita tentukan ke kulit anak, perhatikan respon bayi
terhadap ketidaknyamanan.
c. Mengamati mainan Permainan ini ditujukan untuk
perhatian anak dengan menggunakan benda-benda yang
bergerak. Permainan ini dilakukan dengan cara
menggerakkan benda-benda yang menarik perhatian
seperti boneka berwarna cerah, mainan berwarna cerah.
Benda-benda tersebut diarahkan mendekat dan menjauh
atau kekanan dan kekiri agar anak mengikuti arah benda
tersebut.
d. Meraih mainan Permainan ini melatih motorik kasar anak
dan membuat anak berusaha meraih apa yang disukainya,
yang perlu diperhatikan adalah jika anak sudah mulai
bosan karena tidak dapat menjangkau mainan tersebut,
segera dekatkan dan berikan mainan kepada anak.
Permainan ini menggunakan benda-benda yang cerah dan
menarik perhatian anak, diletakkan diatas anak agar anak
berusaha mengambil mainan tersebut. Gerak-gerakkan
mainan tersebut agar anak tertarik untuk memegang.
e. Bermain bunyi-bunyian Permainan ini ditujuan untu anak
usia 6 bulan lebih. Pada permainan ini menggunakan alat
musik mainan, baik yang ditiup atau dipukul yang dapat
mengeluarkan suara. Pada pelaksanaannya alat permainan
tadi dipukul bisa dengan tangan atau dengan
pulpen/pensil atau sendok. Permainan ini bertujuan untuk
melatih respon anak pada suara benda yang dipukul serta
mengajarkan pada anak benda-benda apa saja yang dapat
menghasilkan bunyi.
f. Mencari mainan Pada permainan ini ditujukan untu
melatih toleransi anak terhadap adanya kehilangan, agar
anak bisa beradaptasi jika sesuatu benda hilang agar
tenang dan berfikir cara mendapatkannya. Permainan
dengan menunjukkan suatu benda lalu sembunyikan
benda itu, atau sembunyikan benda yang sebelumnya
digunakan anak lalu ajak anak untuk mencarinya.
g. Menyusun donat warna warni Permainan ini
menggunakan mainan donat plastik yang bawahnya besar
dan semakin keatas semakin mengecil. Permainan ini
berfungsi untuk melatih koordinasi motorik halus anak
yang menghubungkan mata dengan otot kecil tubuh.
h. Mengenal bagian tubuh Permainan ini mengenalkan
bagian tubuh anak dan nama-namanya, anak hanya perlu
memperhatikan apa yang dilakukan oleh fasilitator dan
akan dilanjutkan oleh keluarga anak.
2. Permainan Anak Usia 1 – 3 Tahun
a. Arsitek Menara Bahan yang dibutuhkan adalah
kotak/kubus yang berwarna-warni dengan ukuran yang
sama, kemudian anak diminta untuk menyusun kotak atau
kubus ke atas. Penyusunan kubus/kotak diupayakan yang
sama warnanya. Selalu beri pujian setiap kegiatan anak.
b. Tebak Gambar Permainan ini membutuhkan gambar yang
sudah tidak asing bagi anak seperti binatang, buah-
buahan, jenis kendaraan atau gambar profesi/pekerjaan.
Permainan dimulai dengan menunjukkan gambar yang
telah ditentukan sebelumnya kemudian ajak anak untuk
menebak gambar tersebut, lakukan beberapa kali. Jika
anak tidak mengetahui gambar yang dimaksud, sebaiknya
petugas memberitahu dan menanyakan kembali ke anak
setelah berpindah ke gambar lain untuk melatih ingatan
anak.
c. Menyusun Puzzle Permainan ini membutuhkan
pendampingan petugas dan diupayakan puzzle yang lebih
besar agar anak mudah menyusun dan memegangnya.
Pilih gambar puzzle yang tidak asing bagi anak, sebelum
gambar puzzle dipisah pisah, tunjukkan keanak gambar
puzzle yang dimaksud, kemudian ajak dan dampingi anak
untuk menyusun puzzle. Beri contoh bagaimana cara
menyusun puzzle, seperti dimulai dipojok dahulu atau
bagian samping terlebih dahulu. Hal yang perlu
diperhatikan dalam puzzle ini adalah jumlah puzzle yang
dipasang/susun tidak lebih dari 6 potongan.

3. Permainan Anak Usia 4 – 6 tahun


a. Bola keranjang Permainan ini memerlukan bola dan
keranjang sampah plastik (bisa juga kotak kosong).
Letakkan kotak/keranjang plastik sejauh 2 meter dari
anak, kemudian minta anak melempar bola kedalam
kotak/keranjang sampah plastik, jika ada bola yang
tercecer atau tidak masuk, dibiarkan saja hingga bola
sudah habis lalu ajak anak untuk mengambil bola yang
tercecer tersebut dan memasukkannya kedalam
keranjang dari tempat bola itu jatuh/tercecer.
b. Bermain dokter-dokteran Permainan ini sangat baik
untuk mengenalkan situasi lingkungan di rumah sakit
dengan berperan sebagai profesi kesehatan. Dalam
permainan ini ajak anak untuk bermain drama yaitu
anak sebagai dokternya sedangkan pasiennya adalah
boneka. Minta anak untuk memeriksa boneka dengan
stetoskop mulai dada boneka hingga perutnya.
Kemudian berikan spuit/suntikan tanpa jarum kepada
anak untuk berpura-pura menyuntikkan obat
kepasiennya. Permainan bisa dilanjutkan ke boneka
lainnya dengan perlakuan sama hingga menulis resep
disebuah kertas andaikan memungkinkan. Jelaskan juga
fungsi suntikan dan obat itu sebagai apa saja dan hasil
dari suntikan dan obat yang didapat itu apa saja untuk
pasien yang sakit.
c. Bermain abjad Permainan ini membutuhkan pasangan
minimal 2 anak, permainan ini dengan menggunakan
jari tangan yang diletakkan dilantai kemudian jari
tersebut dihitung mulai A hingga Z. Jumlah jari terserah
pada anak dan jari yang tidak digunakan dapat ditekuk.
Huruf yang tersebut terakhir akan dicari nama
binatang/nama buahnya sesuai dengan huruf depannya
d. Boneka tangan Permainan ini dilakukan dengan
menggunakan boneka tangan atau bisa juga boneka jari.
Dalam kegiatan ini petugas bercerita dengan
menggunakan boneka tangan. Cerita yang disampaikan
diusahakan mengandung unsur sugesti atau cerita
tentang pengenalan kegiatan dirumah sakit. Biarkan
anak memperhatikan isi cerita, sesekali sebut nama
anak agar merasa terlibat dalam permainan tersebut.
4. Permainan Anak Usia 6 – 12 Tahun
a. Melipat kertas origami Permainan origami untuk melatih
motorik halus anak, serta mengembangkan imajinasi anak.
permainan ini dilakukan dengan melipat kertas membentuk
topi, kodok, ikan, bunga, burung dan pesawat. Ajari dan
beri contoh dengan perlahan kepada anak dalam melipat
kertas. Selalu beri pujian terhadap apa yang telah dicapai
anak. Hasil karya anak bisa dipajang dimeja anak atau
didekat infus anak agar mudah terlihat orang lain.
b. Mewarnai gambar Permainan ini juga melatih motorik
halus anak dan meningkatkan kreatifitas anak. Sediakan
kertas bergambar dan krayon/spidol warna, kemudian
berikan kertas bergambar tersebut kepada anak dan minta
anak untuk mewarnai gambar dengan warna yang sesuai,
ingatkan anak untuk mewarnai didalam garis. Tulis nama
anak diatas gambar yang telah diwarnai anak.
c. Menyusun puzzle Siapkan gambar puzzle yang akan
disusun anak, upayakan pemilihan gambar puzzle yang
tidak asing bagi anak-anak. Pisahkan terlebih dahulu
puzzlenya kemudian minta anak untuk menyusun kembali
gambar tersebut. Ajak/buat kompetisi dalam permainan ini
yaitu siapa yang duluan selesai menyusun puzzle, anak
tersebut sebagai pemenangnya. Beri semangat juga bagi
teman lain yang belum menyelesaikan puzzlenya.
d. Menggambar bebas Sediakan kertas kosong dan pensil atau
krayon/spidol warna, lalu berikan kepada anak dan minta
anak menggambar diatas kertas tersebut. Kemudian minta
anak menceritakan gambar yang telah dibuatnya. Beri
stimulus dalam memulai menggambar seperti beri ide
membuat gambar mobil, gambar binatang atau
menggambar pemandangan.
e. Bercerita Permainan ini ditujukan untuk anak usia 10-12
tahun. Permainan ini dimulai dengan memberi kesempatan
kepada anak untuk membaca sebuah cerita/dongeng
(cerita/dongeng bisa kita siapkan sebelumnya dalam
majalah atau buku cerita). Setelah itu minta anak
f. menceritakan kembali apa yang telah dibacanya. Beri
tanggapan terhadap isi cerita yang disampaikan anak,
seperti “wah hebat ya anak kancilnya”. Kemudian beri
tepuk tangan setelah anak selesai menceritakan apa yang
telah dibacanya.
g. Meniup balon Permainan ini sangat baik sekali untuk anak-
anak, selain untuk bermain juga melatih pernafasan anak.
Berikan balon bermotif kepada anak kemudian minta anak
untuk meniup balon tersebut hingga besar. Hal yang perlu
diperhatikan adalah pantau anak dan balonnya, jangan
sampai balonnya meletus atau anak memaksakan untuk
meniup balon sedangkan kondisi anak sudah kelelahan.
2.5 Pathway

Trauma abdomen, perdarahan,

Peritonitis, sumbatan pada usus, masa abdomen

Rencana pembedahan Respon fisiologis

Laparatomi Fisiologi berbicara

Selaput perut terbuka Terbentuknya stoma

Nyeri Post Laparotomi Keruusakan Pemasangsn

Integritas kulit kantomg


kolostomi

Perubahan status kesehatan Luka insisi

Gangguan citra tubuh

Respon fisiologis

`` Pergerakan terbatas takut luka

terbuka Adanya peningkatan leukosit

Hambatan kemampuan berpindah Resiko Tinggi


Infeksi
2.7 Konsep Dasar Askep Penerapan Terapi Bermain Pada Anak
Prasekolah Post Laparatomi Dengan Ansietas
2.7.1 Pengkajian
1. Faktor Predisposisi.

Berbagai teori telah dikembangkan untuk menjelaskan asal ansietas


:

a. Teori Psikoanalitik
Ansietas adalah konflik emosional yang terjadi
antara dua elemen kepribadian, ID dan superego. ID
mewakili dorongan insting dan impuls primitif seseorang,
sedangkan superego mencerminkan hati nurani seseorang
dan dikendalikan oleh norma- norma budaya seseorang.
Ego atau Aku, berfungsi menengahi hambatan dari dua
elemen yang bertentangan dan fungsi ansietas adalah
mengingatkan ego bahwa ada bahaya.
b. Teori Interpersonal
Ansietas timbul dari perasaan takut terhadap tidak
adanya penerimaan dari hubungan interpersonal. Ansietas
juga berhubungan dengan perkembangan, trauma seperti
perpisahan dan kehilangan sehingga menimbulkan
kelemahan spesifik. Orang dengan harga diri rendah
mudah mengalami perkembangan ansietas yang berat.
c. Teori Perilaku
Ansietas merupakan produk frustasi yaitu segala
sesuatu yang mengganggu kemampuan seseorang untuk
mencapai tujuan yang diinginkan. Daftar tentang
pembelajaran meyakini bahwa individu yang terbiasa dalam
kehidupan dininya dihadapkan pada ketakutan yng
berlebihan lebih sering menunjukkan ansietas pada
kehidupan selanjutnya.
d. Kajian Keluarga
Menunjukkan bahwa gangguan ansietas merupakan
hal yang biasa ditemui dalam suatu keluarga. Ada tumpang
tindih dalam gangguan ansietas dan antara gangguan
ansietas dengan depresi.
e. Kajian Biologis
Menunjukkan bahwa otak mengandung reseptor
khusus benzodiazepine. Reseptor ini mungkin membantu
mengatur ansietas penghambat dalam aminobutirik.
Gamma neuroregulator (GABA) juga mungkin memainkan
peran utama dalam mekanisme biologis berhubungan
dengan ansietas sebagaimana halnya endorfin. Selain itu
telah dibuktikan kesehatan umum seseorang mempunyai
akibat nyata sebagai predisposisi terhadap ansietas.
Ansietas mungkin disertai dengan gangguan fisik dan
selanjutnya menurunkan kapasitas seseorang untuk
mengatasi stressor.
2. Faktor Presipitasi.
Stressor pencetus mungkin berasal dari sumber
internal atau eksternal. Stressor pencetus dapat
dikelompokkan menjadi 2 kategori :
a. Ancaman terhadap integritas seseorang meliputi
ketidakmampuan fisiologis yang akan datang atau
menurunnya kapasitas untuk melakukan aktifitas hidup
sehari- hari.
b. Ancaman terhadap sistem diri seseorang dapat
membahayakan identitas, harga diri dan fungsi sosial yang
terintegrasi seseorang.
3. Perilaku.
Kecemasan dapat diekspresikan secara langsung
melalui perubahan fisiologi dan perilaku dan secara tidak
langsung melalui timbulnya gejala atau mekanisme koping
dalam upaya melawan kecemasan. Intensitas perilaku
akan meningkat sejalan dengan peningkatan tingkat
kecemasan.
a. Respon Fisiologis Terhadap Ansietas.

Sistem Tubuh Respons

Kardiovaskuler  Palpitasi.
 Jantung berdebar.
 Tekanan darah meningkat dan denyut nadi menurun.
 Rasa mau pingsan dan pada akhirnya pingsan.

Pernafasan  Napas cepat.


 Pernapasan dangkal.
 Rasa tertekan pada dada.
 Pembengkakan pada tenggorokan.
 Rasa tercekik.
 Terengah-engah.

Neuromuskular  Peningkatan reflek.


 Reaksi kejutan.
 Insomnia.
 Ketakutan.
 Gelisah.
 Wajah tegang.
 Kelemahan secara umum.
 Gerakan lambat.
 Gerakan yang janggal.

Gastrointestinal  Kehilangan nafsu makan.


 Menolak makan.
 Perasaan dangkal.
 Rasa tidak nyaman pada abdominal.
 Diare.

Perkemihan  Tidak dapat menahan kencing.


 Sering kencing.

Kulit  Rasa terbakar pada mukosa.


 Berkeringat banyak pada telapak tangan.
 Gatal-gatal.
 Perasaan panas atau dingin pada kulit.
 Muka pucat dan bekeringat diseluruh tubuh.

b. Respon Perilaku Kognitif.

Sistem Respons
Perilaku  Gelisah.
 Ketegangan fisik.
 Tremor.
 Gugup.
 Bicara cepat.
 Tidak ada koordinasi.
 Kecenderungan untuk celaka.
 Menarik diri.
 Menghindar.
 Terhambat melakukan aktifitas.

Kognitif  Gangguan perhatian.


 Konsentrasi hilang.
 Pelupa.
 Salah tafsir.
 Adanya bloking pada pikiran.
 Menurunnya lahan persepsi.
 Kreatif dan produktif menurun.
 Bingung.

 Khawatir yang berlebihan.


 Hilang menilai objektifitas.
 Takut akan kehilangan kendali.
 Takut yang berlebihan.

Afektif  Mudah terganggu.


 Tidak sabar.
 Gelisah.
 Tegang.
 Nerveus.
 Ketakutan.
 Alarm.
 Tremor.
 Gugup.
 Gelisah.

4. Sumber Koping
Individu dapat mengalami stress dan ansietas dengan
menggerakkan sumber koping tersebut di lingkungan. Sumber
koping tersebut sebagai modal ekonomok, kemampuan
penyelesaian masalah, dukungan sosial dan keyakinan budaya
dapat membantu seseorang mengintegrasikan pengalaman yang
menimbulkan stress dan mengadopsi strategi koping yang berhasil.
5. Mekanisme Koping.
Ketika mengalami ansietas individu menggunakan berbagai
mekanisme koping untuk mencoba mengatasinya dan
ketidakmampuan mengatasi ansietas secara konstruktif merupakan
penyebab utama terjadinya perilaku patologis. Ansietas tingkat
ringan sering ditanggulangi tanpa yang serius.

Tingkat ansietas sedang dan berat menimbulkan 2 jenis mekanisme


koping :
a. Reaksi yang berorientasi pada tugas, yaitu upaya yang
disadari dan berorientasi pada tindakan untuk memenuhi
secara realitis tuntutan situasi stress.
b. Mekanisme pertahanan ego, membantu mengatasi ansietas
ringan dan sedang, tetapi jika berlangsung pada tingkat
sadar dan melibatkan penipuan diri dan distorsi realitas,
maka mekanisme ini dapat merupakan respon maladaptif
terhadap stress.
2.7.2 Diagnosa
Diagnosa keperawatanmerupakan suatu penilaian klinis mengenai
respon pasien terhadap suatu masalah kesehatan atau proses kehidupan
yang dialaminya baik yang berlangsung actual maupun potensial (Tim
Pokja SDKI DPP PPNI, 2017)
Diagnosis keperawatan bertujuan untuk mengidentifikasi respon
pasien , individu,keluarga atau komunitas terhadap situasi yang
berkaitan dengan kesehatan (Tim Pokja SDKI DPP PPNI, 2017).
Diagnosa keperawatan yang dipergunakan dalam hal ini adalah
ansietas. Dalam standar diagnosis keperawatan Indonesia ansietas.
Pada pasien ansietas kondisi emosi dan pengalaman subyektif
individu terhadap objek yang tidak jelas dan spesifik akibat antisipasi
bahaya yang memungkinkan undividu melakukan tindakan untuk
menghadapi ancaman, Objektif tampak gelisah,tampak tegang,sulit
tidur. Tanda dan gejala mayor subjektif yakni Merasa bingung, merasa
khawatir dengan akibat dari kondisi yang dihadapi, sulit berkonsentrasi.
Tanda dan gejala minor subjektif yakni mengeluh pusing, anoreksia,
palpitasi,merasa tidak berbahaya, tanda objektif yaitu frekuensi napas
meningkat, frekuensi nadi meningkat, tekanan darah meningkat, tremor,
muka tampak pucat, suara bergetar, kontak mata buruk.

2.7.3 Luaran Keperawatan


Perencanaan keperawatan adalah panduan untuk perilaku
spesifik yang diharapkan dari klien dan tindakan yang harus
dilakukan perawat (Deswani, 2011).
1. Ansietas
a. Luaran utama : Tingkat ansietas
b. Luaran tambahan
1) Dukungan sosial
2) Harga diri
3) Kesadaran diri
4) Kontrol diri
5) Proses infotmasi
6) Status kognitif
7) Tingkat agitasi
8) Tingkat pengetahuan
Maka dari luaran tersebut penulis memilih luaran utama sebagai
acuan untuk pembuatan asuhan keperawatan dengan mudah.
a. Tingkat ansietas
Definisi
Kondisi emosi dan pengalaman subyektif terhadap objek yang
tidak jelas dan spesifik akibat antisipasi bahaya yang
memungkinkan individu melakukan tindakan untuk menghadapi
ancaman. (DPP PPNI, 2018)

Ekspektasi : Menurun

Kriteria Hasil Meningkat Cukup Sedang Cukup Menurun


Meningkat Menurun
Verbalisasi 1 2 3 4 5
kebingungan
Verbalisasi 1 2 3 4 5
khawatir akibat
kondisi yang
dihadapi
Perilaku gelisah 1 2 3 4 5
Perilaku tegang 1 2 3 4 5
Anoreksia 1 2 3 4 5
Frekuensi 1 2 3 4 5
pernapasan
Frekuensi nadi 1 2 3 4 5
Tremor 1 2 3 4 5
Pucat 1 2 3 4 5
Memburuk Cukup Sedang Cukup Membaik
Memburu Membaik
k
Konsentrasi 1 2 3 4 5
Pola tidur 1 2 3 4 5
Kontak mata 1 2 3 4 5

2.7.4 Intervensi Keperawatan


Intervensi keperawatan adalah segala treatment yang
dikerjakan oleh perawat yang didasarkan pada pengetahuan dan
penilaian klinis untuk mencapai luaran (outcome) yang diharapkan.
Klasifikasi intervensi keperawatan intoleransi aktivitas termasuk
dalam kategori fisiologis yang merupakan intervensi keperawatan
yang ditujukkan untuk mendukung fungsi fisik dan regulasi
homeostatis, yang terdiri atas : respirasi, sirkulasi, nutrisi dan
cairan, eliminasi, aktivitas dan istirahat, neurosensory, reproduksi
dan seksualitas (Tim Pojka SIKI DPP PPNI, 2018).

No Diagnosis Tujuan dan Perencanaan Keperawatan SIKI


keperawatan kriteria hasil /
Luaran SLKI
1 2 3 4

1 Ansietas Setelah Reduksi Ansietas


diberikan Observasi
tindakan 1) Identifikasi saat tingkat ansietas
keperawatan berubah ( mis. Kondisi, waktu,
selama 3 kali 24 stressor)
jam maka di 2) Identifikasi kemampuan mengambil
harapkan tidak keputusan
terjadi, dengan 3) Monitor tanda-tanda ansietas
kriteria hasil: (verbal dan nonverbal)
1. Verbalis
Terapeutik
asi kebingungan
1) Ciptakan suasana terapeutik
menurun untuk menumbuhkan
kepercayaan
2. Verbalis
2) Temani pasien untuk
asi khawatir
mengurangi kecemasan, jika
akibat kondisi
memungkinkan
yang dihadapi
3) Pahami situasi yang membuat
menurun
ansietas
3. Perilaku
4) Dengarkan dengan penuh
gelisah menurun
perhatian
4. Perilaku 5) Gunakan pendekatan yang
tegang menurun tenang dan meyakinkan
5. Anoreksi
a menurun
6. Frekuens
i pernapasan Edukasi
menurun 1) Jelaskan prosedur, termasuk
7. Frekuens sensasi yang mungkin dialami
i nadi menurun 2) Anjurkan keluarga untuk tetap
8. Tremor bersama pasien, jika perlu
menurun 3) Anjurkan melakukan kegiatan
9. Pucat yang tidak kompetitif, sesuai
menurun kebutuhan
10. Konsentr 4) Anjurkan mengungkapkan
asi membaik perasaan dan persepsi
11. Pola 5) Latih kegiatan pengalihan untuk
tidur membaik mengurangi ketegangan
12. Kontak 6) Latih teknik relaksasi
mata membaik
Kolaborasi
1) Kolaborasi pemberian obat
antiansietas, jika perlu

2.7.5 Implementasi
Tindakan keperawatan adalah perilaku atau aktivitas spesifik yang
dikerjakan oleh perawat untuk mengimplementasikan intervensi
keperawatan (Tim Pokja SIKI DPP PPNI, 2018).
Implementasi proses keperawatan merupakan rangkaian aktivitas
keperawatan dari hari ke hari yang harus dilakukan dan didokumentasikan
dengan cermat. Perawat melakukan pengawasan terhadap efektivitas
intervensi yang dilakukan. Bersamaan pula dengan menilai perkembangan
pasien terhadap pencapaian tujuan atau hasil yang di harapkan. Pada tahap
ini, perawat harus melaksanakan tindakan keperawatan yang ada dalam
rencana keperawatan dan langsung mencatatnya dalam format tindakan
keperawatan (Dinarti, Eryani, R, Nurhaeni, H., Chairani, R., 2013).
Implementasi keperawatan membutuhkan fleksibilitas dan kreativitas
perawat. Sebelum melakukan suatu tindakan,perawat harus mengetahui
alasan mengapa tindakan tersebut dilakukan.perawat harus yakin bahwa
tindakan keperawatan yang dilakukan sesuai dengan yang sudah
direncanakan, dilakukan dengan cara yang tepat, aman, serta sesuai
dengan kondisi pasien, selalu dievaluasi apakah sudah efektif, dan selalu
didokumentasikan menurut urutan waktu (Debora, 2013).
2.7.6 Evaluasi
Evaluasi adalah tahap kelima dari proses keperawatan. Pada tahap ini
perawat membandingkan hasil tindakan yang telah dilakukan dengan
kriteria hasil sudah ditetapkan serta menilai apakah masalah yang terjadi
sudah teratasi seluruhnya, hanya sebagian, atau bahkan belum teratasi
seluruhnya. Evaluasi adalah proses yang berkelanjutan yaitu suatu proses
yang digunakan untuk mengukur dan memonitor kondisi klien untuk
mengetahui :
a. Kesesuaian tindakan keperawatan
b. Perbaikan tindakan keperawatan
c. Kebutuhan klien saat ini
d. Perlunya dirujuk pada tempat kesehatan lain
e. Apakah perlu menyusun ulang prioritas diagnosis supaya kebutuhan
klien bisa terpenuhi.
Dalam perumusan evaluasi keperawatan menggunakan empat
komponen yang dikenal dengan istilah SOAP, yakni S (Subjektif)
merupakan data informasi berupa ungkapan keluhan pasien, O
(Objektif) merupakan data berupa hasil pengamatan, penilaian, dan
pemeriksaan, A (Analisis atau Assesment) merupakan interpretasi
makna data subjektif dan objektif untuk menilai sejauh mana tujuan
yang telah ditetapkan dalam perencanaan keperawatan tercapai. P
(Planning) merupakan rencana keperawatan lanjutan yang akan
dilakukan berdasarkan hasil analisa data. Jika tujuan telah tercapai,
maka perawat akan menghentikan rencana dan apabila belum tercapai,
perawat akan melakukan modifikasi rencana untuk melanjutkan
perencanaan keperawatan pasien (Dinarti, Aryani, R., Nurhaeni, H.,
Chairani, R.,2013).
Selain digunakan untuk mengevaluasi tindakan keperawatan yang
sudah dilakukan, evaluasi juga digunakan untuk memeriksa semua
proses keperawatan (Debora, 2017).

BAB III

METODE STUDI KASUS

3.1 Desain Studi Kasus


Dalam penelitian ini menggunakan desain penilitian yang bersifat
kuantitatif denggan menggunakan metode deskritif melalui pendekatan studi
kasus. Studi kasus sendiri dilaksanakan dengan cara meneliti suatu
permasalahan melalui suatu kasus yang terdiri dari unit tunggal. Unit tunggal
ini berarti suatu orang. Kelompok penduduk masyarakat disuatu daerah
(Setiadi, 2013). Studi kasus ini adalah studi unuk mengeplorasi masalah
penerapan terapi bermain pada anak prasekolah post laparatomi dengan
ansietas.

3.2 Subyek study kasus

Dalam penulisan study kasus ini merupakan orang yang dijadikan sebagai
responden untuk mengambil kasus (Notoatmodjo, 2012). Masalah
keperawatan yang diambil penerapan terapi bermain pada anak prasekolah
post laparatomi dengan ansietas.

3.3 Fokus study kasus


Fokus penelitian dalam studi kasus ini di fokuskan pada penerapan
terapi Bermain pada anak prasekolah post laparatomi dengan ansietas
sebagai objek penelitian yang dilakukan dirumah sakit tersebut.

3.4 Definisi Studi Kasus


3.4.1 Penerapan Asuhan Keperawatan
Penerapan adalah perihal mempraktekkan. (Kamus Bahasa
Indonesia 1999,1044). Sedangkan penerapan asuhan keperawatan adalah
mempraktekkan asuhan keperawatan dalam pelayanan keperawatan
kepada pasien menggunakan proses keperawatan mulai dan pengkajian,
menentukan diagnosa, melakukan perencanaan, implementasi dan
evaluasi. Untuk kriteria hasil yang dibuat pada tahap perencanaan pada
pasien. Menentukan hasil akhir dari penerapan terapi bermain pada anak
prasekolah post laparatomi dengan ansietas.

3.5 Instrumen Studi Kasus


Instrumen adalah alat yang di gunakan oleh peneliti untuk
mengumpulkan data (Notoatmodjo, 2012). Instrumen yang akan di pakai
dalam pengambilan data pada anak dengan penerapan terapi bermain pada
anak prasekolah post laparatomi dengan ansietas. Setelah itu mempelajari
data yang di dapat oleh penulis baik dari catatan medis maupun tim
kesehatan lain yang berhubungan dengan kasus, sebagai bahan untuk
menunjang tindakan keperawatan dan perkembangan pasien.

3.6 Metode Pengumpulan Data


3.6.1 Wawancara

Wawancara yaitu suatu metode yang di gunakan untuk


mengumpulkan data, dimana peneliti mendapatkan keterangan atau
informasi secara lisan dari seseorang sasaran peneliti atau responden,
atau bercakap-cakap berhadapan muka dengan orang tersebut
(Notoatmodjo, 2012). Pada studi kasus ini wawancara akan di lakukan
pada pasien, keluarga, dan petugas kesehatan lainnya.
3.6.2 Observasi
Menurut Notoatmodjo (2012), observasi adalah teknik
pengumpulan data yang berencana, antara lain meliputi : melihat,
mencatat jumlah antar aktivitas tertentu yang ada hubungannya dengan
masalah yang di teliti. Observasi di rencanakan setiap hari dan pada
waktu tertentu, di mulai dari pasien datang. Pada pasien dengan
penerapan terapi bermain pada anak prasekolah post laparatomi
dengan ansietas di observasikan adalah tanda-tanda vital dan prilaku
pasien dengan rasional untuk mengetahui status kesehatan pasien.

3.7 Lokasi dan Waktu Study Kasus


Studi kasus akan di laksanakan pada
Tanggal penelitisn :
Waktu :
Tempat penelitian : RSU Kabupaten Tangerang

3.8 Analisis data dan penyajian data


Analisa data adalah proses mencari dan menyusun secara sistematis data
yang di poreleh oleh hasil wawancara, catatan lapangan, dan bahan-bahan lain,
sehingga dapat di pahami, dan temuannya dapat di informasikan kepada orang
lain, analisa data di lakukan dengan mengorganisasikan data, menjabarkannya ke
dalam unit-unit, melakukan sintesa, menyusun ke dalam pola, memilih mana yang
penting dan yang akan di pelajari, dari membuat kesimpulan yang dapat di
ceritakan kepada orang lain (S ugiono, 2013).

Prosedur analisa data dalam penelitian ini di lakukan mereduksi data


berarti merangkum, memilih hal-hal yang pokok, memfokuskan pada hal-hal yang
tidak di perlukan dalam peneliti. Dengan demikian data yang telah di reduksi akan
memberikan gambaran yang lebih jelas, dan mempermudah peneiliti untuk
melakukan pengumpulan data mengenai asuhan keperawatan pada penerapan
terapi bermain pada anak prasekolah post laparatomi dengan ansietas. Penelitian
ini dilakukan pada tanggal dan bulan yang di tentukan, tempat nya di Rumah Sakit
Umum Kabupaten Tangerang karena pasien post op laparatomi dengan ansietas
terjadi di ruangan kemuningan.

3.9 Etika Studi Kasus


Penelitian studi kasus sering kali berkaitan dengan kepentingan
umum, namun yang tidak di ketahui adalah adanya ‘hak untuk tahu’ secara
public ataupun akademis narasumber atau pusat informasi untuk
mendapatkan data juga memiliki hak untuk tidak di publikasikan
identitasnya hal ini di karenakan menyangkut privat yang menjadi subjek
dalam penelitian. Bagaimanapun juga, seorang peneliti. Jadi penelitti harus
bisa bersikap baik kepada mereka dan kode etik harus benar-benar di
patuhi (Sugiono, 2013).

Norman dkk (2009) dan Sugiono (2013), memberikan penjelasan


tentang kode etik penelitian studi kasus bahwa peneliti harus benar-benar
mengkomunikasikan maksud dan tujuan secara intens dengan sudut
pandang dan situasi sang subjek, karena bisa jadi penelitian tersebut dapat
membahayakan kelangsungan hidup sang subjek, misalnya, jika hasil
penelitian di ekpose, sang subjek akan kehilangan harga diri, kehilangan
pekerjaan, dan kehilangan rasa percaya diri, isu-isu seputar pbservasi dan
reputasi harus benar-benar.

BAB IV

SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan
5.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA

Heri Saputro, Intan Fazrin. (2017). Anak Sakit Wajib Bermain di Rumah Sakit:
Penerapan Terapi Bermain Anak Sakit; Proses, Manfaat dan Pelaksanaannya.
Ponorogo. Forum Ilmiah kesehatan (FORIKES).

Judith, M Wilinson.(2016). Diagnosa Keperawatan: diagnosis NANDA-I,


intervensi NIC, hasil NOC. Jakarta: EGC
Kayle&Carman,(2014). Buku Ajar Keperawatan Pediatrik. Edisi 2. Vol 1.
Jakarta: EGC

Kayle&Carman,(2014). Buku Ajar Keperawatan Pediatrik. Edisi 2. Vol 2.


Jakarta: EGC

Cahyaningsih. N. T. (2011). Pengaruh Terapi Bermain Terhadap Kecemasan


Anak Prasekolah Yang Mengalami Hospitalisasi Di ruang Anak Kenanga Dan
Melati I RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten. Skripsi, FIKES UNRIYO.
Yogyakarta

Adriana, Dian. (2013). Tumbuh Kembang Dan Terapi Bermain Pada Anak.
Jakarta: Salemba Medika

Herman, T. Heather. (2015). Nanda Internasiol Inc. Diagnosa Keperawatan:


definisi& klasifikasi. Jakarta: EGC

Wong,L.D,Hockenberry, M., Wilson,D.,Winkelsein,M.L.,&Schawrtz, P. (2009).


Buku Ajar Keperawatan Pediatrik. Edisi 6 Vol 2.Jakarta: EGC

Wong. (2009), Pedoman Klinis Perawatan Pediatrik Edisi Buku Kedokteran.


Jakarta : EGC

Herlina (2010) . Minat Belajar. Jakarta : Bumi Aksara

Kaplan HI, Sadock BJ, Grebb JA, Sinopsis psikiatri. Jakarta: Binarupa Aksara
Publisher, 2010; p.19-31.

PPNI (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia: Definisi dan Tindakan


Keperawatan, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI.

PPNI. (2017). Standar diganosa Keperawatan Indonesia : Definisi dan Indikator


Diagnostik, Edisi 1. Jakarta : DPP PPNI.

PPNI (2018). Standar Luaran Keperawatan Indonesia : Definisi dan Kriteria Hasil
Keperawatan, Edisi 1. Jakarta : DPP PPNI.

Lampiran A

FORMAT PENGKAJIAN PADA ANAK


1. IDENTITAS
A. Nama Klien :
Tempat tanggal lahir / Usia :
Jenis Kelamin :
Agama :
B. Orang tua
Nama Ayah :
Usia :
Pekerjaan :
Pendidikan :
Agama :
Alamat :
No. Telpon :
Suku Bangsa :

C. Nama Ibu Usia :


Pekerjaan :
Pendidikan :
Agama :
Alamat :

No. Telpon :
Suku Bangsa :

2. RIWAYAT KESEHATAN
a. Riwayat Kesehatan Sekarang
Keluhan Utama :
Riwayat Keluhan :
Keluhan Saat Pengakajian :

b. Riwayat Kesehatan Anak ( 0-5 tahun )


Perawatan dalam masa kandungan
Dilakuakan pemerikasan kehamilan / tidak Ya
Berapa kali 3 kali kapan –trimester1,2,3
Tempat di puskesmas
Kesan pemeriksaan tentang kehamilan senang,baik dan normal
Obat – obat yang telah diminum
Imunisasi TT : Ya/Tidak Ya
Pemeriksaan Lain Tidak ada pemeriksaan lain hanya USG
Penyakit yanag pernah di derita Tidak ada penyakit yg pernah
diderita
Penyakit dalam keluarga Tidak ada penyakit yang diderita dalam
keluarga

D. Perawatan pada waktu kelahiran


Umur kehamilan 36minggu dilahirkan di puskesmas
Ditolong oleh Bidan jenis persalinan : normal /SC Normal
Berlangsungnya kelahiran ( biasa/ susah/ dengan tindakan ) Biasa
Lama proses persalinan 5jam
Keadaan bayi setelah lahir Menangis normal
BB Lahir 3000 gram .PBL 46.5..LK/ LD/ LA 33/35/13APGAR
SCORE :……

Riwayat kesehatan / penyakit keluarga


Tidak ada riwayat penyakit keluarga…………………
………………………………………………………..

3. Riwayat imunisasi ( imunisasi lengkap )


Imunisasi Usia Tgl diberikan Reaksi Tempat
imunisasi
HBo
BCG
Polio 1
Polio 2
Polio 3
Campak
Hb ulangan

4. TUMBUH KEMBANG
E. Pertumbuhan fisik
a) PB/ TB :
b) BB :
c) LK :
d) LLK :
F. Perkembangan ( gunakan DDST/ KPSP untuk menilai perkembangan
anak ) lingkari yang sesuai perkembangan anak
a) Sesuai dengan umur :
b) Meragukan :
c) Kemungkinan penyimpangan :

5. RIWAYAT KESEHATAN MASA LALU


1. Penyakit waktu dulu
No Jenis Akut/ Umur Lamanya pertolongan
penyakit kronis/ saat
menular/ sakit
tidak
2. Pernah dirawat di RS :
3. Obat – obatan yang digunakan :
4. Tindakan operasi :
5. Alergi :
6. Kecelakaan :

V. RIWAYAT KELUARGA

1) Genogram ( min 3 generasi )

2) riwayat penyakit yang diderita anggota keluarga :

VI. RIWAYAT SOSIAL

a. yang mengasuh :
b. hubungan dengan anggota keluarga :
c. hubungan dengan teman sebaya :
d. pola rekreasi :
e. lingkungan rumah :

VII. KEBUTUHAN DASAR

No Kebutuhan dasar Keterangan


1. NUTRISI Metabolik
a. Bayi
ASI/ PASI
( berapa kali, pengenceran, sampai usia berapa,
dan apa alasanya )
MPASI
1) Makanan cair ( air buah/ sari buah )
diberikan usia
2) Bubur susu diberikan usia
3) Nasi tim saring diberikan usia
4) Nasi tim diberikan usia
5) Makanan tambahan lainnya diberikan usia
6) Pola makan …… ( berapa kali sehari/
selang seling ASI )
b. Anak- anak
1) Nafsu makan/ porsi yang dihabiskan
2) Berapa kali sehari
3) Jenis makanan pokok
4) Jenis lauk
5) Jenis sayuran
6) Jenis buah
7) Makanan yang disukai
8) Makanan yang tidak disukai
9) Kebiasaan makan termasuk cara penyajian
10) Jenis makanan selingan
11) Kebiasaan jajan
12)
CAIRAN
Kebutuhan cairan dewasa : 30-40 cc/ kgBB/ hari (
kondisi fisiologi )
Anak ( rumus Behrman ) :
< 10 kg = 100 cc/ kgBB / hari
10 – 20 kg = 1000 cc + 50 ( BB – 10 )
20 kg = 1500 cc + 20 ( BB – 20 )
30 kg = 1750 cc + 10 ( BB – 30 )

Urin normal
Dewasa ( 0,5 - 1 cc / kgBB / jam )
Bayi dan anak ( 1-2 cc/ kgBB/ jam )

IWL
Dewasa ( 15 cc / kgBB / hari )
Anak ( 30-usia (th) / kgBB/ hari )

Peningkatan suhu : IWL + 200 ( suhu – 36,5 C )


Peningkatan IWL : Kebutuhan ditambahkan 10-12%

2. ISTIRAHAT & TIDUR


Kebiasaan istirahat
Kebiasaan tidur
a. Mencuci kaki sebelum tidur
b. Kencing sebelum tidur
c. Mengompol
d. Mengorok
e. Mengigau
f. Sering terjaga
g. Kebiasaan tidur yang lain ada atau tidak
h. Tidur mulai jam berapa
i. Bangun tidur jam berapa
j. Tidur sendiri / ditemani
k. Biasa tidur siang atau tidak, berapa lama?
3. PERSONAL HIGIEINE
Kebersihan badan : mandi
Kebersihan rambut : keramas
Kebersihan gigi : siakt gigi/ oral hygiene
Kebersihan kuku : gunting kuku
4. AKTIFITAS / LATIHAN
Sktifitas yang bias dilakukan, kemampuan melakukan
aktifitas, permainan yang disukai, kemampuan
memenuhi ADL, adakah kesulitan bernafas, lemah,
nyeri dada
5 ELIMINASI ( BAB/ BAK )
Bias memberitahu atau tidak, melakukan sendiri/
ditolong, tempat BAB/ BAK, frekuensi, warna, bau,
konsistensi, kelainan…….

VIII. KEADAAN KESEHATAN SAAT INI

A. Diagnose medis :

B. Tindakan operasi :

C. Status nutrisi
1) BB :
2) Kebutuhan kalori :
3) Diet :
4) Pola makan :
5) Intake :

D. Status cairan
1) BB :
2) Kebutuhan cairan :
3) Cairan yang diberikan/ intake :
4) Output :
5) IWL :
6) Balance cairan
E. Obat – obatan yang digunakan
No Nama obat Dosis Cara pemberian Waktu
pemberian

F. Aktifitas :

G. Tindakan keperawatan :

H. Pemeriksaan penunjang ( laboratorium, diagnostic )

No Pemeriksaan Hasil Nilai normal Ket


1. DPL
1) Hb
2) Trombosit
3) Leokosit
4) Hematrokit
5) SGOT
6) SGPT
Elektrolit
a. Natrium
b. Kalium
c. Calcium
d. Clorida
e. Bikarbonat

2. Urine
3. Feses
4. Sputum
5. Rontgent
USG
EKG
Spirometri
CT scan

I. Pemeriksaan yang lain :

IX. PEMERIKSAAN FISIK

a. Keadaan umum ( kebersihan, pergerakan, penampilan,/ postur/ bentuk


tubuh, termasuk status gizi )
b. Tingkat kesadaran : CM/ apatis/ somnolen/ soporokoma/ koma :
c. Tanda – tanda vital
 Tekanan darah :
 Nadi :
 Pernapasan :
 Suhu :
d. Antropometri :
1) BB/TB/PB :
2) Lingkar kepala ( LK ) :
3) Lingkar dada ( LD ) :
4) Lingkar abdomen ( LA ) :
5) Lingkar lengan atas ( LLA ):
e. Kepala wajah
Bentuk, keadaan rambut dan kulit kepala, UUB/Fonytanel anterior,
adanya kelainan atau benjolan.

Mata :
Cekung/ tidak, bentuk bola mata dan pergerakan bola mata. Pupil:
isokor/ unisokor/ hitam/, konjugtiva : anemis/ merah muda atau
unanemis/ putih, sclera: putih/ unikterik atau ikterik/ kuning, bulu mata
, ketajaman penglihatan

Hidung
Septum: lurus/ tidak, concha nasal: merah muda, secret: ada/ tidak,
pernapasan cuping hidung : ada/ tidak, ada gangguan yang lain/ tidak,
jika ada sebutkan

Telinga
Letak: sejajar/ tidak dengan kantus luar mata, kebersihan lubang
telinga: bersih/ tidak, serumen: ada/tidak, tes pendengaran : normal/
tidak, ada gangguan lain atau tidak? Jika ada sebutkan

Mulut
Bibir: merah/ sianosis/ pucat, kebersihan mulut: bersih/tidak, mukosa
mulut: lembab/ basah/ kering, keadaan tenggorokan/ kelainan: keadaan
gigi ( berlubang, karang gigi, kebersihan gigi, kerusakan lainnya )……
keadaan lidah/ gerakan lidah, adalah kesulitan menelan/ tidak

Leher
Gerakan leher: bebas/tidak, pemeriksaan kelenjar/ pembuluh darah,
kuku kuduk, dll

f. Dada/ pernapasan
Paru – paru
Inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi: bentuk dada/ irama
pernapasan, alat bantu pernapasan, nyeri dada, suara nafas, vocal
premitus, dan adakah keluhan yang lain atau tidak

Jantung
Inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi: pembesaran jantung, thrill,
bunyi jantung: S1S2 atau ada bunyi jantung tambahan : S3 dan S4

g. Abdomen
IPPA: inspeksi bentuk, pembesaran organ, keadaan umbilicus, teraba
masa/ tidak, adakah nyeri tekan atau tidak, adakah distensi abdomen
atau tidak, adalah hernia umbilicus, peristaltic usus, dan bising usus 5-
8.x/ menit
h. Ekstremitas
Inspeksi kelainan bentuk ekstremitas atau maupun bawah. Ada atau
tidaknya udem, adakah sianosis/ pucat
Pergerakan, tonus otot, reflek lutut, hal-hal lain…

i. Genetalia dan anus


Inspeksi: jenis kelamin: laki-laki/ perempuan, adakah kelainan bentuk,
adakah keluhan palpasi: adakah udem, adakah terba masa atau tidak,
adakah kelainan yang lain.

j. Neurologis
Tanda- tanda peradangan selaput otak ( kuku kuduk, kering sign, reflek
Babinski)

k. Pengkajian nyeri pada anak : riwayat nyeri dan observasi langsung


terhadap respon perilaku dan psikologi klien.

X. PENGKAJIAN POLA KESEHATAN

1) Pola persepsi dan penanganan kesehatan


Pengetahuan keluarga tentang status kesehatan anak saat ini, perlindungan
terhadap kesehatan: program skrining tumbuh kembang, kunjungan ke
posyandu dan pusat pelayanan kesehatan, diet, latihan dan olah raga,
management stress, factor ekonomi, riwayat, medis keluarga, pengobatan
yang sudah ada dilakukan, perilaku untuk mengatasi masalah kesehatan.

2) Kongitif dan persepsi


Gambarkan kemampuan pengelihatan, pendengaran, pengecapan, taktil,
penciuman, persepsi terhadap nyeri, memori, pengambilan keputusan.

3) Persepsi diri- konsep diri


Keadaan social ekonomi keluarga, situasi keluarga, kelompok
social,penjelasan tentang diri sendiri, kekuatan dan kelemahan yang
dimiliki, keadaan fisik, segala sesuatu yang berkaitan dengan tubuh, (
disukai/ tidak disukai )
Harga diri : perasaan mengenai diri sendiri, ancaman terhadap konsep diri
( sakit, perubahan peran )

4) Pola hubungan peran


Gambaran tentang peran berkaitan dengan keluarga, teman kerja,
kepuasan/ ketidakpuasan menjalamkam peran, efek terhadap status
kesehatan, pentingnya keluarga, struktur dan dukungan keluarga, proses
pengambilan keputusan keluarga, pola membesarkan anak, hubungan
dengan orang lain, orang terdekat dengan klien……..

5) Pola reproduksi dan kesehatan


Masalah atau perhatian seksual, menstruasi, gambaran perilaku seksual (
perilaku seksual yang aman, pelukan, sentuhan dll ) pengatuhan yang
berhubungan dengan seksualitas dan reproduksi, efek terhadap kesehatan.

6) Pola toleransi terhadao stress- koping


Pencetus stress yang dirasakan baru-baru ini, tingkat stress yang dirasakan.
Gambaran respon umum dan khusus terhadap stress, strategi mengatasi
stress yang biasa digunakan dan keefektifanya strategi koing yang biasa
digunakan, pengetahuan dan penggunaan tekhnik nabagenebt stress,
hubungan antara management stress dengan keluarga

7) Pola keyakinan dan nilai


Latar belakang budaya/ etnik, status ekonomi, perilaku kesehatan yang
berkaitan dengan kelompok budaya/ etnik, dampak masalah kesehatan
terhadap spiritual, keyakinan dalam budaya ( mitos, kepercayaan, larangan
dan adat ) yang dapat mempengaruhi kesehatan.
8) Pengawasan kesehatan
Bila sehat diawasi/ tidak di puskesmas, dokter, dll
Bila sakit minta pertolongan kepada :
Kunjungan ke posyandu :
Pengawasan Anak di rumah :

Lampiran B
SOP Terapi Bermain

STANDAR TERAPI BERMAIN


OPERASIONAL
PROSEDUR
PENGERTIAN Cara alamiah bagi anak untuk mengungkapkan konflik
dirinya yang tidak disadari (Wong: 1991)
Bermain merupakan kegiatan yang dilakukan untuk
kesenangan yang ditimbulkannya tanpa mempertimbangkan
hasil akhirnya (Hurlock: 1978)
Kegiatan yang dilakukan sesuai dengan keinginan dalam
mengatasi konflik dari dalam dirinya yang tidak disadari
serta dengan keinginan sendiri ubtuk memperoleh
kesenangan (Roster: 1987)
TUJUAN Meminimalisir tindakan perawatan yang traumatis
Mengurangi kecemasan
Membantu mempercepat penyembuhan
Sebagai fasilitas komunikasi
Persiapan untuk hospitalisasi atau surgery
Sarana untuk mengekspresikan perasaan
KEBIJAKAN Dilakukan di Ruang rawat inap, Poli tumbuh kembang, Poli
rawat jalan dan Tempat penitipan anak
PETUGAS Perawat
PERSIAPAN Pasien dan keluarga diberitahu tujuan bermain
PASIEN Melakukan kontrak waktu
Tidak ngantuk
Tidak rewel
Keadaan umum mulai membaik
Pasien bias dengan tiduran atau duduk, sesuai kondisi klien
PERALATAN - Permainan Anak usia Pra sekolah

PROSEDUR A. Tahap Pra Interaksi


PELAKSANAAN Melakukan kontrak waktu
Mengecek kesiapan anak (tidak ngantuk, tidak rewel,
keadaan umum membaik/kondisi yang memungkinkan)
Menyaiapkan alat
Tahap Orientasi
Memberikan salam kepada pasien dan menyapa nama pasien
Menjelaskan tujuan dan prosedur pelaksanaan
Menanyakan persetujuan dan kesiapan klien sebelum
kegiatan dilakukan
Tahap Kerja
Memberi petunjuk pada anak cara bermain
Mempersilahkan anak untuk melakukan permainan sendiri
atau dibantu
Memotivasi keterlibatan klien dan keluarga
Memberi pujian pada anak bila dapat melakukan
Mengobservasi emosi, hubungan inter-personal, psikomotor
anak saat bermain
Meminta anak menceritakan apa yang dilakukan/dibuatnya
Menanyakan perasaan anak setelah bermain
Menanyakan perasaan dan pendapat keluarga tentang
permainan
D. Tahap Terminasi
Melakukan evaluasi sesuai dengan tujuan
Berpamitan dengan pasien
Membereskan dan kembalikan alat ke tempat semula
Mencuci tangan
Mencatat jenis permainan dan respon pasien serta keluarga
kegiatan dalam lembar catatan keperawatan dan kesimpulan
hasil bermain meliputi emosional, hubungan inter-personal,
psikomotor dan anjuran untuk anak dan keluarga

Anda mungkin juga menyukai