Anda di halaman 1dari 63

PNEUMONIA:

Adakah tempat untuk pemberian


antiinflamasi ?
Sanksi Pelanggaran Pasal 113
Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014
Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987
Perubahan atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1982
Perubahan atas Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002
Tentang Hak Cipta
(1) Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf i untuk Penggunaan Secara
Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana
denda paling banyak Rp100.000.000 (seratus juta rupiah).
(2) Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak
Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f, dan/atau huruf h untuk Penggunaan Secara
Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana
denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(3) Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak
Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf e, dan/atau huruf g untuk Penggunaan Secara
Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau
pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(4) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang
dilakukan dalam bentuk pembajakan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10
(sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp4.000.000.000,00 (empat
miliar rupiah).
Reviono

PNEUMONIA:
Adakah tempat untuk pemberian
antiinflamasi ?

UNS PRESS
PNEUMONIA:
Adakah tempat untuk pemberian
antiinflamasi ?
Hak CiptaReviono. 2017

Penulis
Dr. dr. Reviono, Sp.P (K)

Editor
Dr. dr. Harsini, Sp. P (K)

Ilustrasi Sampul
Arif Hasanudin

Penerbit dan Percetakan


Penerbitan dan Percetakan UNS (UNS Press)
Jalan Ir. Sutami 36 A, Surakarta, Jawa Tengah, Indonesia 57126
Telepon (0271) 646994 Psw. 341 Fax. (0271) 7890628
Website : www.unspress.uns.ac.id
Email : unspress@uns.ac.id

Cetakan 1, Edisi 1, November 2017


Hak Cipta Dilindungi Undang-undang
All Rights Reserved

ISBN 978-602-397–172-5
KATA PENGANTAR
Sudah sekian lama diketahui, bahwa pneumonia
merupakan penyebab kematian utama. Penelitian tentang
pneumonia ini sudah berlangsung lama dan mulai intensif
dilakukan pada akhir tahun 1800-an. Banyak sudut
pandang pemahaman mikrobiologi modern yang berubah.
Pneumonia sebagian besar disebabkan oleh bakteri,
meskipun penelitian tentang antibiotik terus berkembang
tetapi pneumonia tetap menjadi penyebab utama
komplikasi penyakit dan juga kematian.
Berdasarkan asal dari sumber mikroba penyebab
pneumonia, pneumonia komunitas merupakan kasus
terbanyak. Selain itu terdapat pneumonia nosocomial,
pneumonia aspirasi dan juga health care associated
pneumonia. Beberapa faktor resiko yang berpeluang
berhubungan dengan pneumonia adalah usia yang sangat
tua atau sebaliknya sangat muda, gaya hidup seperti
peminum alcohol dan perokok. Selain itu individu yang
menderita sakit seperti kardiorespirasi kronik, gangguan
sinyal kronik, penyakit hepatic, diabetes mellitus, penyakit
kanker serta HIV-AIDS.
Terapi utama pneumonia bakterial adalah antibiotik,
dimana pemberian antibiotik awal disebut dengan terapi
empirik. Terapi empirik ini berdasarkan panduan tata
laksana yang relevan, usia pasien, penyakit penyerta dan
beratnya penyakit pneumonia. Pertimbangan pemilihan
dengan cara apa antibiotik tersebut akan diberikan, apakah

-v-
secara oral atau parenteral juga menjadi pertimbangan. Hal
ini akan dihubungkan dengan keputusan pasien tersebut
akan rawat inap atau rawat jalan.
Penemuan antibiotik terus berkembang, akan tetapi
sampai saat ini kasus pneumonia masih menimbulkan
angka kematian yang tinggi, terutama di ICU yang
mendekati 35%. Salah satu penyebab tingginya angka
kematian tersebut adaah akibat respons inflamasi yang
cukup tinggi. Akibat repons inflamasi yang berlebihan,
meskipun terapi antibiotik sudah tepat, akan tetap
berbahaya. Respons inflamasi yang berlebihan akan
menyebabkan kerusakan paru, sehingga perlu dikurangi.
Terapi antiinflamasi yang ideal adalah yang mampu
mengurangi komplikasi respons inflamasi sistemik yang
terlalu besar tanpa mengganggu proses resolusi inflamasi
lokal. Selama terjadinya proses inflamasi, berbagai jenis
sel-sel inflamasi diaktifkan. Proses inflamasi tersebut
mengeluarkan sitokin dan mediator untuk mengatur sel-sel
inflamasi. Sebenarnya ada beberapa golongan antiinflamasi
yang digunakan dalam terapi pernyakit yang berhubungan
dengan proses inflamasi.=, tetapi dalam buku ini tidak
disampaikan semuanya.
Terdapat 3 kategori anti inflamasi yang menarik
perhatian yaitu kortikosteroid, statin dan makrolid. Pada
makalah ini akan disampaikan terapi inflamasi yang
mempunyai peluang untuk dapat digunakan pada praktik
klinis.

- vi -
Antiinflamasi yang pertama adalah kortikosteroid.
Kortikosteroid merupakan inhibitor yang sangat kuat untuk
inflamasi. Kortikosteroid mematikan gen yang
mengkodekan sitokin proinflamasi dan mengaktifkan gen
yang mengkode sitokin antiinflamasi. Obat yang dipilih
pada penelitian ini adalah deksametason. Deksametason
merupakan salah satu kortikosteroid sintetis terampuh.
Kemampuannya dalam menanggulangi peradangan dan
alergi kurang lebih sepuluh kali lebih hebat dari pada yang
dimiliki prednisone. Deksametason memiliki efek
antiinflamasi yang ampuh dan efek mineralokortikoid
lemah dibandingkan dengan kortikosteroid lain, sehingga
mencegah gangguan reabsorpsi natrium dan keseimbangan
air. Efek deksametason yang tahan lama, memungkinkan
pemberian rejimen hanya sekali sehari Deksametason
bekerja sebagai anti-mitosis pada sel system imun tubuh
melalui perubahan tingkat ekspresi gen. Deksametason
menghambat sel inflamasi di saluran pernapasan,
termasuk eosinofil, limfosit T, sel mast, sel dendritik, serta
dapat menginduksi ekspresi dual specificity phosphatase
(DUSP)1 atau lebih dikenal sebagai mitogen activated
protein kinase (MAPK) phosphatase 1 yang akan
mendefosforilasi dan menginaktivasi MAPKs. Kortikosteroid
dosis rendah dapat menekan gen inflamasi. Gen inflamasi
diaktifkan oleh rangsangan inflamasi, seperti IL-1β atau
TNF-α, yang mengakibatkan aktivasi inhibitorI-kB kinase
(IKK)-2, dan mengaktifkan factor transkripsi NF-kB.

- vii -
Pada penelitian ini yaitu dalam pemberian
deksametason akan diukur respons inflamasi dengan
menggunakan penanda inflamasi dan penanda infkesi yaitu
pro-calcitonin (PCT) dan tumor necrosis factor (TNF-α). Selain
menilai secara imunologi juga akan dinilai perbaikan klinis,
yaitu dinilai dengan batas waktu 5 hari rawat inap.
Antiinflamasi kedua yang akan diteliti yaitu
pravastatin dari golongan statin. Statin memiliki efek yang
disebut dengan efek pleotropik, antara lain antiinflamasi.
Farmakokinetik pravastatin tidak dipengaruhi oleh faktor
jenis kelamin dan usia Efek terapi pravastatin dipengaruhi
oleh dosis dan interaksi dengan obat lain yang menghambat
metabolisme statin.79Dosis pravastatin adalah 40 mg/ hari
dan sebaiknya diberikan saat perut kosong karena
makanan dapat menurunkan absorbsi pravastatin.
Penurunan kadar penanda biologi seperti C-reactive protein
(CRP) selama pemberian statin menjadi perhatian besar,
karena hal tersebut menunjukkan kemungkinan bahwa
statin memiliki efek antiinflamasi melalui penghambatan
terhadap aktivitas NF-kB. Kemampuan statin dalam
menghambat inflamasi saluran napas dan parenkim paru
ditandai dengan penurunan kadar sitokin proinflamasi IL-6,
TNF-α, dan IL-8 sebagai sitokin utama pada influks netrofil
yang menjadi penyebab utama inflamasi paru.
Pada penelitian pemberian pravastatin sebagai
antiinflamasi pada kasus pneumonia akan dilihat
pengaruhnya dengan mengukur penanda inflamasi dan
infeksi yaitu PCT dan IL-6. Sedang respons klinis juga

- viii -
diteliti yaitu dengan mengukur perbaikan klinis setelah
pemberian antiinflamasi selama 5 hari.
Antiinflamasi ketiga adalah azitromisin dari golongan
makrolid. Sebenarnya makrolid awalnya dikenal sebagai
antibiotika yang bersifat bakteriostatik untuk Staphylococci,
Streptococci, dan Haemophylus, dan dapat bersifat
bakterisid pada dosis tinggi. Saat ini makrolid diketahui
dapat meningkatkan bersihan mukosilier, meningkatkan
atau mengurangi aktivasi sistem imun, mencegah
pembentukan biofilm bakteri, mempengaruhi aktivitas
fagosit dan menurunkan respons inflamasi. Obat yang
digunakan dari golongan makrolid ini adalah azitromisin.
Azitromisin memiliki efek antimikroba langsung dan dapat
memodulasi respons imun. Penelitian invitro dan hewan
menghasilkan data yang mendukung efek penghambatan
terhadap neutrofil dan aktivitas kemotaktik. Pemberian
azitromisin jangka panjang telah terbukti menurunkan
kadar IL-8 dan jumlah neutrofil dalam cairan bilasan
bronkus. Pada penelitian akan diberikan pada penderita
pneumonia, dan pemberiannya hanya jangka pendek.
Variabel yang diukur untuk melihat pengaruh
pemberian azitromisin adalah penanda inflamasi dan
infeksi yaitu IL-8 dan netrofil sputum. Selain menilai secara
imunologis juga dilihat respons klinis, yaitu dengan
mengukur perbaikan klinis setelah pemberian azitromisin.
Penelitian ini kami lakukan dengan sampel dari pasien
pneumonia RSUD Dr Moewardi. Kami ucapkan banyak
terimakasih kepada dr Bobby Singh, SpP, dr Jan Yanto

- ix -
Lydwines Purba, SpP dan dr Leonardo Helasti Simanjutak,
SpP yang telah membantu dalam pelaksanaan penelitian
payung, mulai menentukan proses registrasi sampel,
pemeriksaan variable penelitian, dan penulisan laporan
hingga terbitnya buku ini.
Semoga buku ini akan membawa manfaat bagi dokter
yang melakukan pelayanan kasus pneumonia, dapat
memberikan pertimbangan dalam upaya layanan kepada
masyarakat yang lebih baik. Kami mohon kritik dan saran
demi perbaikan penulisan selanjutnya.

Dr. dr. Reviono, SpP(K)

-x-
Daftar Isi

Kata Pengantar ................................................................................ v


daftar Isi ........................................................................................... xi
Daftar Tabel ..................................................................................... xiv
Daftar Gambar ................................................................................. xvi

BAB I PENDAHULUAN ........................................................ 1

BAB II PATOGENESIS PNEUMONIA ................................ 9


A. Pertahanan Paru ..................................................... 10
B. Respons Sistem Imun .............................................. 13

BAB III TERAPI PNEUMONIA ............................................... 19


A. Terapi Antibiotik .................................................... 20
B. Terapi Suportif ....................................................... 21
C. Terapi Antiinflamasi .............................................. 22

BAB IV TERAPI ANTIINFLAMASI ....................................... 25


A. Kortikosteroid ......................................................... 26
1. Mekanisme kerja glukokortikoid ................... 30
2. Efek Antiinflamasi Deksametason pada
Pneumonia ........................................................ 33
B. Statin ......................................................................... 36
1. Mekanisme Kerja Statin ................................ 37
2. Pravastatin sebagai Antiinflamasi pada
Pneumonia ...................................................... 43
C. Makrolid .................................................................. 45
1. Mekanisme Kerja Makrolid ........................... 50
2. Efek Antiinflamasi Makrolid......................... 54
3. Azitromisin sebagai Antiinflamasi pada
Pneumonia ....................................................... 56

- xi -
BAB V EVALUASI TERAPI PNEUMONIA......................... 59
A. Respons Klinis ....................................................... 60
B. Penanda Biologi pada Pneumonia ..................... 63
1. Procalcitonin (PCT) .......................................... 65
2. Tumor necrosis factor (TNF)-α ........................ 68
3. Interleukin-6 (IL-6)........................................... 69
4. Interleukin-8 (IL-8) ........................................... 71
5. Neutrofil sputum.............................................. 73

BAB VI PENELITIAN SENDIRI.............................................. 77


A. Metode Penelitian ................................................... 78
1. Definisi operasional variabel penelitian ....... 80
2. Teknik Pemeriksaan ........................................ 84
3. Prosedur pengumpulan data ......................... 88
4. Analisis data ..................................................... 89
B. Kerangka Konsep Penelitian ................................. 91
C. Hasil Penelitian ....................................................... 95
1. Karakteristik dasar subyek penelitian .......... 95
2. Pengaruh pemberian deksametason
terhadap kadar PCT danTNF- ..................... 101
3. Pengaruh pemberian pravastatin terhadap
kadar PCT dan IL-6 ......................................... 109
D. Pengaruh pemberian azitromisin terhadap
kadar IL-8 dan neutrofil sputum .......................... 113
E. Pemberian deksametason, pravastatin dan
azitromisin terhadap pencapaian perbaikan
klinis ......................................................................... 118

BAB VII PEMBAHASAN............................................................ 123


A. Pemberian deksametason pada pneumonia ....... 125
B. Pemberian Pravastatin pada pneumonia ........... 129
C. Pemberian azitromisin pada pneumonia ............ 133
D. Perbaikan Klinis ...................................................... 137

- xii -
BAB VIII PENUTUP ...................................................................... 141
A. Kesimpulan ............................................................ 143
B. Saran ........................................................................ 144

Daftar Pustaka ................................................................................. 146


Daftar Singkatan.............................................................................. 160
Biodata .............................................................................................. 165

- xiii -
Daftar Tabel

Tabel 4.1. Pembagian golongan makrolid ................. 47


Tabel 6.1. Karakteristik dasar subyek penelitian ..... 97
Tabel 6.2. Karateristik subyek penelitian ................. 98
Tabel 6.3. Karakteristik dasar subyek penelitian ..... 100
Tabel 6.4. Perbandingan kadar PCT dan TNF-
sebelum (pre) perawatan antara
kelompok deksametason dan kelompok
kontrol..................................................... 103
Tabel 6.5. Perubahan kadar PCT serum dan kadar
TNF- serum pada kelompok
Deksametason ......................................... 104
Tabel 6.6. Perubahan kadar PCT serum dan kadar
TNF- serum pada kelompok kontrol ....... 106
Tabel 6.7. Perbandingan kadar PCT serum dan
kadar TNF- serum sesudah perawatan
antara kelompok deksametason dan
kelompok kontrol ..................................... 108
Tabel 6.8. Perbandingan kadar PCT dan IL-6
sebelum (pre) perawatan antara
kelompok Pravastatin dan kelompok
kontrol..................................................... 110
Tabel 6.9. Perubahan kadar PCT serum dan kadar
IL-6 serum pada kelompok Pravastatin.... 111
Tabel 6.10. Perubahan kadar PCT serum dan kadar
IL-6 serum pada kelompok kontrol .......... 112
Tabel 6.11. Perbandingan kadar PCT serum dan
IL-6 sesudah perawatan antara
kelompok pravastatin dan kelompok
kontrol..................................................... 113
Tabel 6.12. Perbandingan kadar IL-8 dan Neutrofil
sputum sebelum (pre) perawatan antara
kelompok azitromisin dan kelompok
kontrol..................................................... 114

- xiv -
Tabel 6.13. Perubahan kadar IL-8 serum dan
neutrofil sputum pada kelompok
azitromisin............................................... 116
Tabel 6.14. Perubahan kadar IL-8 serum dan
neutrofil sputum pada kelompok kontrol . 117
Tabel 6.15. Perbandingan kadar IL-8 serum dan
neutrofil sputum sesudah perawatan
antara kelompok azitromisin dan
kelompok kontrol ..................................... 118
Tabel 6.16. Perbandingan pencapaian perbaikan
klinis antara kelompok perlakuan dan
kelompok kontrol ..................................... 119
Tabel 6.17. Perbedaan lama pencapaian perbaikan
klinis antara kelompok pravastatin dan
kontrol..................................................... 120
Tabel 6.18. Perbandingan pencapaian perbaikan
klinis antara kelompok azitromisin dan
kelompok kontrol ..................................... 121

- xv -
Daftar Gambar

Gambar 2.1. Mekanisme daya tahan paru pada


pneumonia ............................................ 11
Gambar 2.2. Skema yang menggambarkan suatu
kaskade bakteri ..................................... 17
Gambar 4.1. Mekanisme kortikosteroid pada
Sitoplasma............................................. 32
Gambar 4.2. Struktur kimia statin............................. 36
Gambar 4.3. Skema mekanisme efek seluler statin .... 42
Gambar 4.4. Perkembangan penemuan antibiotika. ... 46
Gambar 4.5 Mekanisme kerja makrolid..................... 49
Gambar 4.6. Mekanisme kerja antibiotika.................. 51
Gambar 4.7. Mekanisme antiinflamasi dan
imunomodulator. ................................... 53
Gambar 4.8. Penghambatan jalur transduksi sinyal
intraseluler oleh azitromisin .................. 58
Gambar 5.1. Respons klinis selama perawatan
pneumonia. ........................................... 62
Gambar 6.1. Kerangka teori terjadinya pneumonia ..... 93
Gambar 6.2. Kerangka Konsep pemberian
Antiinflamasi ......................................... 94

- xvi -
PNEUMONIA: adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

BAB I
PENDAHULUAN

Pneumonia, yaitu radang parenkim paru yang disebabkan


infeksi mikroba. Untuk kuman penyebab yang didapat dari
masyarakat disebut dengan pneumonia komunitas (PDPI,
2014), merupakan salah satu penyakit infeksi yang paling
serius. Hal ini terutama bila dikaitkan dengan jumlah kasus
rawat inap, yang diikuti dengan peningkatan jumlah kasus,
peningkatan komplikasi yang serius dan juga sebagai
penyebab utama kematian diantara kasus infeksi lainnya
(Steel HC, et al, 2013).

1
PNEUMONIA: Adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

Tatalaksana kasus pneumonia adalah diagnosis dini


dan segera memulai dengan pemberian antibiotik yang
tepat (Meijvis SCA, et al, 2011). Peningkatan kasus
pneumonia terutama pada usia lanjut dengan angka
kematian pneumonia secara umum sekitar 10%. Angka ini
relatif tidak berubah sejak ditemukan antibiotik dan
penggunaannya secara luas pada tahun 1950an. (Chalmers
JD, et al, 2010). Upaya tindakan preventif seperti vaksinasi
dan pengembangan antibiotik yang terus berlanjut,
ternyata angka kesakitan dan kematian pneumonia tetap
tinggi (Meijvis SCA, et al, 2011).
Keadaan serupa juga terjadi di Indonesia yaitu kasus
pneumonia komunitas yang memerlukan rawat inap di
rumah sakit 20-40%, diantara angka tersebut 5-10%
memerlukan perawatan intensif. Angka prevalensi
pneumonia yang membutuhkan rawat inap di Indonesia
berada dalam 10 besar seluruh kasus rawat inap. Angka
kematian kasus atau crude fatality rate (CFR) pneumonia
tertinggi yaitu 7,6% (PDPI, 2014).
Penyebab kematian pneumonia memang multifaktorial
diantaranya adalah inflamasi berlebihan baik inflamasi
sistemik maupun inflamasi lokal terbatas pada organ paru.
Selain itu adalah acute lung injury, disfungsi endotel pada
vaskuler dan koagulopati (Chalmers JD, et al, 2010).
Walaupun sebenarnya rangkaian kejadian dari proses
tersebut saling berkaitan dengan diawali oleh suatu proses
inflamasi yang dapat mengganggu fungsi endotel, berlanjut
acute lung injury dan gangguan koagulopati.

2
PNEUMONIA: adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

Proses inflamasi terjadi saat bakteri masuk ke dalam


tubuh, respons inflamasi merupakan suatu mekanisme
pertahanan tubuh dalam usaha melawan invasi bakteri
sehingga dapat dieliminasi. Proses inflamasi akan berhenti
apabila bakteri tersebut dapat dikeluarkan dari tubuh.
Sebaliknya, apabila bakteri tidak dapat dieliminasi akan
terus berkembang dan menyebabkan kerusakan jaringan
(Baratawidjaja KG, et al, 2012; Bordon J, et al, 2012).
Meskipun respons inflamasi yang memadai diperlukan
untuk membersihkan bakteri, tetapi inflamasi yang
berlebihan dapat menyebabkan kerusakan lokal ataupun
sistemik yang terjadi terus menerus (Meijvis SCA, et al,
2012)
Bakteri yang masuk ke dalam tubuh sebenarnya akan
lewat begitu saja kalau tidak ada reseptor yang
mengenalinya. Akan tetapi bakteri patogen akan
mengeluarkan suatu produk yaitu pathogen associated
molecular pattern (PAMP) yang akan dikenal oleh pattern
recognition receptors (PRRS) misalnya toll like receptor (TLR).
Toll like receptor terletak di permukaan makrofag alveolar,
yang selanjutnya akan mengaktifkan NFκβ sehingga terjadi
pelepasan sitokin pro inflamasi, misalnya tumor necrosis
factor (TNF)-α, interleukin IL-6, IL-8, IL-1β dan IFN-α.
(Martinez, et al, 2011; Moldoveanu, et al, 2009). Sitokin pro
inflamasi ini akan meningkat saat terjadi infeksi mikroba.
Sitokin ini juga akan merangsang pelepasan procalcitonin
(PCT) (Martinez, et al, 2011, Moldoveanu, et al, 2009) dan
menginduksi ekstravasasi neutrofil ke jaringan (Medzhitov

3
PNEUMONIA: Adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

R, 2010). Untuk menilai derajat pneumonia dapat


dilakukan dengan mengukur sitokin pro inflamasi tersebut
maupun substansi lainnya seperti PCT dan sel inflamasi
seperti neutrofil jaringan misalnya dalam jaringan bronkus.
Sudah terdapat beberapa penelitian yang menggunakan IL-
6 PCT (Maruna P, et al, 2000), TNF-α (Martinez, et al, 2011,
Moldoveanu, et al, 2009), neutrofil jaringan (Medzhitov R,
2010).
Sampai saat ini terapi pneumonia hanya mengandal-
kan antibiotik, selain itu belum ada lagi. Oleh karena itu
perlu terapi tambahan agar dapat mengurangi beratnya
penyakit (Meijvis SCA, et al, 2011; Chalmers JD, et al,
2010). Dari hasil beberapa penelitian menunjukkan bahwa
beratnya penyakit pneumonia adalah akibat inflamasi yang
berlebihan, oleh karena itu perlu suatu terobosan dan
pemberian suatu anti inflamasi untuk mencegah terjadinya
kerusakan jaringan yang lebih lanjut.
Pemberian anti inflamasi pada kasus pneumonia
merupakan suatu upaya untuk dapat menurunkan angka
kematian pneumonia. Terdapat beberapa pilihan anti
inflamasi yaitu golongan kortikosteroid, makrolid dan saat
ini yang menarik adalah golongan statin (Steel HC, et al,
2013, Meijvis CSA et al, 2012). Selain masih terdapat
antiinflamasi lain yaitu cyclic adenosin monophosphate (c-
AMP) dan non steroidal antiinflamatory agents (NSAIDS)
(Steel HC, et al, 2013).
Terapi inflamasi pada kasus pneumonia dengan
kortikosteroid sudah beberapa kali dilakukan dengan hasil

4
PNEUMONIA: adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

yang berbeda-beda. Pemberian kortikosteroid dosis rendah


dapat menghambat transkripsi sitokin proinflamasi
sehingga akan mencegah perpanjangan respons inflamasi
dan mempercepat resolusi sistemik dari inflamasi paru
pada pneumonia (Meijvis SCA, et al, 2011). Salah satu
steroid yang cukup kuat adalah deksametason.
Deksametason memiliki sifat antiinflamasi yang kuat tetapi
dengan efek mineralokortikoid yang lemah dibandingkan
dengan kortikosteroid yang lain. Efek mineralokortikoid
yang lemah akan menguntungkan karena mencegah
gangguan reabsorbsi natrium dan keseimbangan air. Efek
yang menguntungkan lainnya adalah bersifat long acting
sehingga memungkinkan pemberiannya hanya sekali.
(Goldfian, et al, 2005; Meijvis SCA, et al, 2011). Beberapa
hasil penelitian yang menunjukan keunggulan
deksametason adalah penelitian Meijvis SCA et al yang
terbukti mengurangi waktu rawat inap. (Meijvis SCA, et al,
2011), penelitian Hilde et al, membuktikan deksametason
mampu menekan respons sitokin pro inflamasi pada
pneumonia komunitas. (Hilde, et al, 2012), serta Abraham
et al, mampu membuktikan bahwa deksametason mampu
menekan gen pro inflamasi antara lain gen TNF,
siklooksigenase 2, IL-1α dan hasil IL-1β (Abraham, et al,
2006). Selain itu juga terdapat penelitian dengan hasil
sebaliknya yaitu penelitian Davies dan Groenewegen yang
menyatakan pemberian kortiko steroid jangka pajang dapat
memberikan efek buruk bagi pasien dan meningkatkan

5
PNEUMONIA: adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

BAB II
PATOGENESIS PNEUMONIA

Pneumonia terjadi akibat invasi dan pertumbuhan berlebihan


dari mikroorganisme dalam melawan pertahanan paru yang
berakibat peradangan parenkim paru. Inflamasi merupakan
respons pertahanan host akibat rusaknya jaringan paru oleh
karena infeksi mikroorganisme. Respons inflamasi pada
dasarnya merupakan mekanisme untuk bertahan terhadap
mikroorganisme patogen (Moldoveanu, et al, 2009).

9
PNEUMONIA: Adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

A. Pertahanan Paru
Infeksi saluran napas bawah tergantung dari
virulensi dan kolonisasi dari mikroorganisme yang dapat
melampaui mekanisme pertahanan paru. Mekanisme
pertahanan paru terdiri dari: (Mason CM, et al, 2005;
Goetz MB, et al, 2005))
1. Saluran napas atas yaitu hidung berfungsi sebagai
penyaring partikel dibuang melalui bersin dan faring
berfungsi mengeluarkan partikel atau mikroorganis-
me melalui batuk atau tertelan.
2. Imun alamiah melalui sekresi sel epitel di saluran
napas bawah seperti lisosom (enzim sel epitel
berfungsi memecah dinding sel bakteri terutama
pada bakteri gram positif), laktoferin (protein yang
dapat menghambat pertumbuhan bakteri), defensin
(protein yang diproduksi oleh bermacam-macam sel
epitel berfungsi merusak struktur bakteri dengan
meningkatkan permeabilitas membran),
leukoprotease inhibitor (protein yang berfungsi
menghambat neutrofil elastase dan menghambat
aktivitas bakteri), dan cathelicidin (peptida neutrofil
berfungsi menghambat aktivitas bakteri gram
negatif). Sistem imun alamiah lainnya seperti
makrofag dan neutrofil yang berasal dari pembuluh
darah kapiler masuk ke dalam alveoli melalui reaksi
inflamasi makrofag.
3. Sistem pertahanan imun didapat yang berada di
saluran napas adalah immunoglobulin (Ig) terutama

10
PNEUMONIA: adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

BAB III
TERAPI PNEUMONIA

Tujuan utama dari terapi pneumonia komunitas adalah eradikasi


patogen penyebab, menghilangkan gejala, meminimalkan waktu
perawatan dan mencegah infeksi berulang. Faktor komorbid dapat
menjadi penyebab kegagalan pengobatan dan dapat
meningkatkan risiko infeksi dengan mikroorganisme tertentu
(PDPI, 2014). Pengobatan pneumonia terdiri atas antibiotik dan
pengobatan suportif dan terapi antiinflamasi.

19
PNEUMONIA: Adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

A. Terapi Antibiotik
Pemberian antibiotik pada penderita pneumonia
sebaiknya didasarkan pada data mikroorganisme dan
hasil uji kepekaan (Irfan M, et al, 2013). Terapi empiris
dapat diberikan hingga didapatkan data mikro-
organisme. Sebanyak 10% pasien pneumonia komunitas
dalam perawatan di rumah sakit disebabkan oleh
bakteri (Caballero J, et al, 2011). Pemilihan antibiotik
secara empiris berdasarkan beberapa faktor yaitu jenis
kuman penyebab berdasarkan pola kuman setempat,
terbukti efektif, faktor risiko resisten antibiotik dan
faktor komorbid. Terapi antimikroba harus dimulai
sesegera mungkin setelah diagnosis pneumonia
ditegakkan. Pasien pneumonia yang dirawat diberikan
antibiotik dalam waktu 8 jam sejak masuk rumah sakit
(< 4 jam akan menurunkan angka kematian) (PDPI,
2014). Karakteristik farmakokinetik dan farmako-
dinamik antibiotik menentukan hasil dari terapi
terhadap infeksi pernapasan. Pemberian antibiotik
harus segera di mulai, dilanjutkan dengan total 7-10
hari pada pasien yang menunjukkan respons dalam 72
jam pertama. Pasien dengan pemberian antibiotik
parenteral dapat diganti ke oral segera setelah ada
perbaikan klinis. Antibiotik sesuai dengan bakteri
patogen dapat diberikan setelah hasil kultur tersedia,
jika bakteri gram (-) dicurigai sebagai kuman penyebab,
pemberian antibiotik dapat dilanjutkan (sampai 21 hari)
(PDPI, 2014).

20
PNEUMONIA: adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

BAB IV
TERAPI ANTIINFLAMASI

Respons inflamasi pada dasarnya merupakan mekanisme


pertahanan host terhadap mikroorganisme patogen.
Meskipun demikian inflamasi yang terlalu besar dapat
mengancam jiwa terutama pada organ yang membutuhkan
pertukaran gas. Keseimbangan respons inflamasi (antara pro
dan antiinflamasi yang sulit dicapai) sangat dibutuhkan pada
homeostasis paru. (Meijvis SCA, et al, 2012)

25
PNEUMONIA: Adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

Akibat repons inflamasi yang berlebihan, meskipun


terapi antibiotik sudah tepat, akan tetap berbahaya.
Pemberian terapi tambahan diharapkan dapat mengubah
respons imun agar menjadi lebih menguntungkan sehingga
dapat memperbaiki prognosis. Antibiotik dapat mempe-
ngaruhi keseimbangan antara sistem pertahanan dan efek
samping dari sistem imun yang berlebihan. Akibat kerja
antibiotik yang efektif akan menyebabkan penurunan
kebutuhan respons inflamasi, selanjutnya terjadi
kedudukan yang seimbang dari proses inflamasi tersebut
yang merupakan keberhasilan kombinasi pemberian
antibiotik dan antiinflamasi (Meijvis SCA, et al, 2012). Pada
makalah ini akan disampaikan terapi inflamasi yang
mempunyai peluang untuk dapat digunakan pada praktik
klinis yaitu kortikosteroid, statin dan golongan makrolid.

A. Kortikosteroid
Korteks adrenal menghasilkan berbagai jenis
kortikosteroid seperti glukokortikoid, mineralkortikoid
dan hormon androgen. Zat yang dihasilkan oleh korteks
adrenal berperan dalam homeostasis, keseimbangan
elektrolit dan perkembangan karakter seks. Pemberian
terapi steroid mempengaruhi produksi endogen
kortikosteroid dan memberikan efek supresif pada aksis
hypothalamicpituitary adrenal. Korteks adrenal terdiri
dari tiga zona yaitu zona glomerulosa yang berfungsi
menghasilkan aldosteron atau mineralkortikoid, zona
fasikulata berfungsi menghasilkan kortisol atau

26
PNEUMONIA: adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

BAB V

EVALUASI TERAPI PNEUMONIA

Penilaian respons terapi dalam hal ini perbaikan klinis


adalah komponen penting dalam penatalaksanaan
pneumonia. Penilaian perbaikan klinis membantu klinisi
dalam membuat sejumlah keputusan penting, (Akram AR, et
al, 2013). Selain perbaikan klinis dapat juga dilakukan
pemeriksaan penanda biologi, baik berupa penanda inflamasi
sistemik ataupun khusus (Viasus D, et al, 2010).

59
PNEUMONIA: Adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

Penilaian respons terapi dalam hal ini perbaikan klinis


adalah komponen penting dalam penatalaksanaan
pneumonia. Penilaian perbaikan klinis membantu klinisi
dalam membuat sejumlah keputusan penting, antara lain:
untuk pergantian antimikroba intravena menjadi oral dan
untuk memulangkan pasien dari rumah sakit. Perbaikan
klinis penderita pneumonia dapat dinilai dengan berbagai
kriteria antara lain menggunakan kriteria Halm dan kriteria
American Thoracic Society/ Infectious Disease Society
American (2007) (Akram AR, et al, 2013).
Sebenarnya untuk kriteria klinis ada beberapa yang
pernah dilagunakan yaitu Pneumonia severity index (PSI),
CURB-65 (confusion, ureum, respiratory rate, blood pressure,
65 years old), dan CRB-65. Ketiga sistem tersebut
mempunyai persamaan dalam hal keakuratan penilaian
tetapi lebih sesuai digunakan sebagai prediktor beratnya
penyakit dan juga lama rawat (Surjanto E, et al, 2013)
Selain perbaikan klinis dapat juga dilakukan pemeriksaan
penanda biologi, baik berupa penanda inflamasi ataupun
sitokin (Viasus D, et al, 2010).
A. Respons Klinis
Respons klinis terhadap terapi yang diberikan pada
penderita pneumonia rawat inap dinilai berdasarkan
perbaikan klinis (Ramirez SH, et al, 2008; Viasus D, et
al, 2013). Waktu terjadinya stabilitas klinis pada pasien
CAP yang dirawat inap dapat dianggap sebagai indikator
respons klinis yang sedang berlangsung. Aliberti dkk
berpendapat bahwa keterlambatan dalam mencapai

60
PNEUMONIA: adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

BAB VI
PENELITIAN SENDIRI

Pada penelitian ini diteliti peranan deksametason dosis 5 mg


perhari, pravastatin dosis 40 mg perhari dan azitromisin dosis
250 mg perhari pada kasus pneumonia, dengan mengukur
penanda inflamasi TNF-α, IL-8 dan IL-6, penanda infeksi yaitu
PCT dan neutrofil sputum dari sisi imunologis, serta diukur
dari sisi klinis yaitu untuk perbaikan klinis
untuk menilai hasil terapi.

77
PNEUMONIA: Adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

A. Metode Penelitian
Penelitian sendiri ini terdiri dari 3 penelitian yaitu
penelitian dengan melakukan pemberian 3 jenis
antiinflamasi pada pasien pneumonia, masing masing
penelitian menggunakan antiinflamasi yang berbeda.
Untuk menilai output atau variabel tergantung
menggunakan variabel yang sama dan ada pula yang
berbeda. Variabel tergantung yang sama adalah
perbaikan Klinis, sedangkan variabel yang lain adalah
penanda biologi. Untuk penanda inflamasi akibat infeksi
digunakan PCT, dan neutrofil sputum sedangkan untuk
penanda inflamasi sistemik digunakan sitokin (IL-6, IL-8
dan TNF–α). Pada penelitian I dilakukan pemberian
antiinflamasi golongan kortikosteroid yaitu deksametason,
penelitian II pemberian antiinflamasi golongan statin
yaitu pravastatin dan penelitian III pemberian makrolid
yaitu azitromisin. Penelitian ini dilakukan dengan
dibantu mahasiswa pendidikan dokter spesialis
Pulmonolog dan Kedokteran Respirasi Fakultas
kedokteran Universitas Sebelas Maret.
Desain penelitian ini adalah uji klinis dengan
metode quasi experimental dan menggunakan pretest
and posttest design pada kelompok perlakuan dan
kontrol. Kelompok perlakuan adalah kelompok yang
diberi terapi pneumonia standard sesuai pedoman
penatalaksanaan pneumonia oleh Perhimpunan Dokter
Paru Indonesia (PDPI) tahun 2014 dengan ditambahkan
antiinflamasi sedangkan kelompok kontrol adalah

78
PNEUMONIA: adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

BAB VII
PEMBAHASAN

Masalah klinis dan imunologis pada kasus pneumonia ini


adalah terjadinya respons inflamasi yang cukup tinggi di
lokasi inflamasi tersebut. Respons inflamasi ini sebenarnya
dibutuhkan untuk mengeliminasi kuman patogen penyebab
peumonia (Mizgerd JP, 2008). Akan tetapi apabila respons
inflamasi dengan produksi sitokin yang berlebihan, serta
melibatkan respons inflamasi sistemik yang luas akan
menyebabkan disfungsi organ. Oleh karena itu dibutuhkan
respons inflamasi yang seimbang dan cukup untuk
mengendalikan infeksi lokal pada paru, atau tidak berlebihan,
untuk mencegah efek sistemik dari inflamasi tersebut.
(Meijvis SCA, et al, 2012).

123
PNEUMONIA: Adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

Meskipun perkembangan-perkembangan penemuan


antibiotik terus maju, juga tindakan pencegahan misalnya
vaksinasi terus berlanjut, tetapi angka kesakitan dan
kematian pneumonia tetap tinggi. Apalagi kalau
dihubungkan dengan pembiayaan perawatan kesehatan
yang membutuhkan biaya semakin tinggi (Meijvis SCA, et
al, 2012). Masalah klinis dan imunologis pada kasus
pneumonia ini adalah terjadinya respons inflamasi yang
cukup tinggi di lokasi inflamasi tersebut. Respons inflamasi
ini sebenarnya dibutuhkan untuk mengeliminasi kuman
patogen penyebab peumonia (Mizgerd JP, 2008). Berbagai
produk reaksi inflamasi yaitu sitokin-sitokin tersebut yang
terdapat di lokasi inflamasi diperlukan untuk
mengeliminasi dan mengontrol infeksi primer pada
pneumonia tersebut (Meijvis SCA, et al, 2012). Akan tetapi
apabila respons inflamasi dengan produksi sitokin yang
berlebihan, serta melibatkan respons inflamasi sistemik
yang luas akan menyebabkan disfungsi organ. Oleh karena
itu dibutuhkan respons inflamasi yang seimbang dan
cukup untuk mengendalikan infeksi lokal pada paru, atau
tidak berlebihan, untuk mencegah efek sistemik dari
inflamasi tersebut. Intervensi atau terapi yang ideal adalah
yang mampu menurunkan komplikasi sistemik dari
respons inflamasi tersebut tanpa menganggu perbaikan
inflamasi yang bersifat lokal (Meijvis SCA, et al, 2012). Oleh
karena itu pemberian antiinflamasi diharapkan mampu
mengatasi masalah ini.

124
PNEUMONIA: adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

Pada saat terjadi respons inflamasi oleh tubuh akibat


terpajan bakteri, berbagai macam sel inflamasi akan aktif,
serta berbagai produk sitokin ataupun mediator inflamasi
akan terlibat pada proses ini. Sitokin terbagi menjadi
protein pro dan antiinflamasi. Sitokin proinflamasi yang
penting adalah IL-6 dan TNF α. Respons inflamasi dimulai
dengan peningkatan TNF-α yang singkat tetapi intens
diikuti dengan peningkatan IL-Iβ dan IL-6, Selanjutnya, IL-
10 yang merupakan sitokin antiinflamasi akan terinduksi
dan menghambat produksi makrofag dan neutrofil.
Pelepasan IL-10 adalah merupakan awal dari respons
antiinflamasi untuk mencegah inflamasi yang tidak
terkontrol. Interleukin 8 dan monocyte chemoattractant-1
merupakan kemokin yang memobilisasi, mengaktifkan dan
merangsang degranulasi leucocyte polymorphonuclear
(PMNs) (Meijvis SCA, et al, 2012). Pada penelitian ini diteliti
peranan deksametason dosis 5 mg perhari, provastatin
dosis 40 mg perhari dan azitromisin dosis 250 mg perhari
dengan mengukur penanda inflamasi TNF-α, IL-8 dan IL-6,
serta penanda infeksi yaitu PCT dan neutrofil sputum.
Selain dari sisi imunologis juga diukur dari sisi klinis yaitu
untuk perbaikan klinis.

A. Pemberian deksametason pada pneumonia


Pada penelitian pemberian deksametason ini
menggunakan parameter PCT sebagai penanda inflamasi
akibat infeksi dan TNF sebagai penanda inflamasi
sistemik. Hasil penelitian ini menunjukkan
deksametason mampu menurunkan PCT sebagai

125
PNEUMONIA: Adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

penanda infeksi, tetapi untuk penurunan inflamasi


sistemik tidak terbukti. Deksametason mampu menekan
respons inflamasi akibat infeksi ditandai dengan
menurunnya PCT secara bermakna dibandingkan
dengan kelompok kontrol yang tidak terjadi penurunan
PCT. Procalcitonin (PCT) merupakan penanda infeksi
yang stabil, efisien dan mudah dilakukan pemeriksaan
(Kosanke R, et al, 2008). Kadar PCT pada infeksi bakteri
akan meningkat dalam waktu 4 jam pertama dan
mencapai puncaknya selama 8-24 jam. (Chamberlain
RS, et al, 2014), kemudian akan menurun setelah 1,5
hari dan akan mencapai setengahnya dari kadar puncak
(Meisner M, 2013). Kadar PCT meningkat saat infeksi
dengan berbagai jalur, yaitu akibat rangsangan
endotoksin (infeksi bakteri) sehingga sel-sel
neuroendokrin akan memproduksi PCT. (Nakamura M,
et al, 2013; Lee H, 2013). Selain itu juga melalui jalur
lain yaitu lewat rangsangan IL-1β, IL-6 dan TNF-α (Lee
H, 2013; Nakamura, et a., 2013). Rangsangan sitokin
tersebut akan meningkatkan produksi PCT dalam
sirkulasi darah (Nakamura M, et al, 2013).
Secara umum diketahui bahwa kortikosteroid
merupakan penghambat inflamasi yang sangat poten.
Kortikosteroid akan memutus gen yang menyandi
sitokin antiinflamasi (Meijvis SCA, et al, 2011). Pada
penelitian ini pasien pneumonia mendapat
deksametason 5 mg perhari selama 5 hari yang
merupakan dosis rendah. Meijvis SCA, et al

126
PNEUMONIA: adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

menyampaikan pemberian kortikosteroid dosis rendah


maupun menurunkan proses transkripsi sitokin
proinflamasi (Meijvis SCA, et al, 2011). Pada dosis
rendah kortikosteroid akan mengontrol penurunan
transkripsi sitokin proinflamasi, sehingga akan mampu
mencegah perpanjangan respons inflamasi dari mediator
inflamasi, selain itu diharapkan akan mempercepat
resolusi sistemik dan inflamasi paru pada CAP.
Deksametason, seperti kortikosteroid lainnya memiliki
efek anti inflamasi dan anti alergi dengan pencegahan
pelepasan histamin. Deksametason merupakan salah
satu kortikosteroid sintetis kuat. Kemampuannya dalam
menanggulangi peradangan dan alergi kurang lebih
sepuluh kali lebih hebat dari pada yang dimiliki
prednisone. (Meijvis, et al, 2011). Hal ini terbukti
deksametason yang menghambat aktivitas NF-κβ
sehingga akan menekan produksi TNF-α dan IL-β
(Barnes P, 2005) sehingga akan menurunkan PCT
sebagai penanda infeksi. Efek deksametasonyangtahan
lama, memungkinkan pemberiannya hanyasekali sehari
(Meijvis SCA,et al, 2011).
Berdasarkan data penelitian ini, pengaruh
pemberian deksametason terhadap kadar TNF-α serum
didapatkan penurunan, tetapi tidak bermakna. Data ini
berbeda dengan penelitian yang dilaporkan Hilde et al.
Penelitian tersebut menggunakan deksametason dengan
yang sama dengan penelitian ini yaitu 5 mg tiap hari
dan menggunakan variabel penanda inflamasi IL-6, IL-8,

127
PNEUMONIA: adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

BAB VIII
PENUTUP

Pemberian antiinflamasi deksametason dan


azitromisin direkomendasikan sebagai terapi tambahan,
atau pendamping antibiotik pada kasus pneumonia.
Alasannya, karena mampu menurunkan reaksi inflamasi
akibat infeksi serta mempercepat perbaikan klinis. Untuk
pemberian pravastatin dapat dipertimbangkan sebagai
antiinflamasi dalam tatalaksana pneumonia terutama
pada kasus tanpa penyakit penyerta yang berat.

141
PNEUMONIA: Adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

Tujuan utama terapi pneumonia adalah eradikasi


kuman penyebab, menghilangkan gejala, meminimalkan
waktu perawatan dan mencegah infeksi berulang (PDPI,
2014). Antibiotik merupakan terapi utama pada
penatalaksanaan pneumonia bakterial. Selain terapi
antibiotik, komponen lain adalah terapi suportif untuk
menghilangkan gejala pneumonia misalnya antipiretik,
mukolitik, ekspektoran, terapi oksigen, terapi cairan dan
juga memberikan istirahat yang cukup kepada pasien
pneumonia.
Akhir-akhir ini antiinflamasi mulai menarik perhatian
untuk digunakan dalam tatalaksana pneumonia. Dasar
pemberian terapi inflamasi adalah terjadinya respons
inflamasi yang tinggi pada pneumonia. Inflamasi adalah
respons imun yang bertujuan mengeliminasi mikroba
patogen, tetapi reaksi imun yang menetap dan berlebihan
seperti pada kasus pneumonia akan menyebabkan
kerusakan struktur dan fungsi paru (Mizgerd, 2008).
Keseimbangan respons inflamasi sangat dibutuhkan pada
homeostasis paru. Pemberian terapi antiinflamasi
diharapkan dapat mengubah respons imun agar lebih
menguntungkan. Data penelitian pemberian antiinflamasi
pada pneumonia masih terbatas dan banyak terjadi
perbedaan hasil yang didapat. Selain itu juga masih banyak
pula perbedaan pendapat mengenai golongan antiinflamasi
apa yang baik untuk kasus pneumonia.
Pada penelitian ini digunakan 3 antiinflamasi yaitu
deksametason dosis 5 mg perhari, provastatin dosis 40 mg

142
PNEUMONIA: adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

perhari dan azitromisin dosis 250 mg perhari. Desain


penelitian ini cukup ketat dengan menggunakan kelompok
kontrol yang relatif sama dengan kelompok perlakuan. Pada
kedua kelompok terapi antibiotik awal secara empiris
menggunakan pola kuman setempat, dan apabila didapatkan
factor modifikasi digunakan pedoman pneumonia
komunitas yang diterbitkan oleh PDPI.

A. Kesimpulan
1. Pada penelitian ini diteliti 3 antiinflamasi yang
mempunyai peluang digunakan dalam terapi
pneumonia
a. Deksametason dapat menurunkan respons
inflamasi yang ditunjukkan dengan penurunan
PCT dibandingkan dengan kelompok kontrol yaitu
kelompok terapi standar tanpa antiinflamasi.
b. Pravastatin dapat menurunkan respons inflamasi
yang ditunjukkan dengan penurunan PCT
dibandingkan dengan kelompok kontrol yaitu
kelompok terapi standar tanpa antiinflamasi.
c. Azitromisin dapat menurunkan respons inflamasi
yang ditunjukkan dengan penurunan IL-8 dan
neutrofil sputun dibandingkan dengan kelompok
kontrol yaitu kelompok terapi standar tanpa
antiinflamasi.
2. Selain mengukur pengaruh antiinflamasi secara
imunologi, juga dilakukan penilaian secara klinis

143
PNEUMONIA: Adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

yaitu dengan menilai perbaikan klinis. Pemberian


antiinflamasi :
a. Deksametason, dapat mencapai waktu perbaikan
klinis lebih cepat dibandingkan kelompok kontrol
yaitu kelompok terapi standar tanpa
antiinflamasi.
b. Pravastatin, waktu perbaikan klinis yang dicapai
tidak berbeda dibandingkan dengan kelompok
kontrol yaitu kelompok terapi standar tanpa
antiinflamasi.
c. Azitromisin, dapat mencapai waktu perbaikan
klinis lebih cepat dibandingkan kelompok kontrol
yaitu kelompok terapi standar tanpa
antiinflamasi.

B. Saran
1. Pemberian antiinflamasi deksametason dan
azitromisin direkomendasikan sebagai terapi
tambahan, sebagai pendamping antibiotik pada
kasus pneumonia. Untuk pemberian pravastatin
dapat dipertimbangkan sebagai antiinflamasi dalam
tatalaksana pneumonia terutama pada kasus tanpa
penyakit penyerta yang berat.
2. Perlu dilakukan penelitian multi center di Indonesia,
karena pada penelitian ini pengaruh strain bakteri di
sirkulasi berbeda antar lokasi, mungkin akan
berpengaruh terhadap hasil terapi.

144
PNEUMONIA: adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

3. Perlu dilakukan penelitian lanjutan yaitu untuk


kasus pneumonia rawat jalan, karena setting dari
penelitian ini adalah rawat inap di rumah sakit.

145
PNEUMONIA: Adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

DAFTAR PUSTAKA
Abbas AK. 2012. Innate immunity. In: Abbas AK, Lichtman
AH, Pillai S, editors. Cellular and molecular
immunology. 7th edition. Philadelphia: Saunders
Elsevier. hlm. 55-88.
Abraham SM, Lawrence T, Kleiman A, Warden P,
Medghalchi M, Tuckermann J, et al. 2006.
Antiinflammatory effects of dexamethasone are
partly dependent on induction of dual specificity
phosphatase 1. JEM. vol. 203(8). hlm. 1883-9.
Akram AR, Chalmers JD, Taylor JK, Rutherford J. 2013. An
evaluation of clinical stability criteria to predict
hospital course in community-acquired
pneumonia. Clin Microbiol Infect. vol.19. hlm.
1174–80.
Alcon A, Fabregas N, Torres A. 2005. Pathophysiology of
pneumonia. Clin Chest Med. vol. 26. hlm. 39-46.
Aliberti S, Peyrani P, Filardo G, Mirsaedi M, Amir A, Blasi F,
et al. 2011. Association between time to clinical
stability and outcomes after discharge in
hospitalized patients with community acquired
pneumonia. Chest. vol. 140(2). hlm. 482-8.
Al-Shirawi N, Al-Jahdali H, Al Shimemeri A. 2006.
Pathogenesis, etiology and treatment of
bronchiectasis. Annals of Thorasic Medicine. vol 1.
hlm. 41-51.
Amsden GW. 2005. Anti-inflammatory effects of macrolides-
an underappreciated benefit in the treatment of
community-acquired respiratory tract infections
and chronic inflammatory pulmonary conditions.
Journal of antimicrobial chemotherapy. vol. 55.
hlm. 10-21.
Andrijevic I, Matijasevic J, Andrijevic L, Kovacevic T, Zaric
B. 2014. Interleukin-6 and procalcitonin as
biomarkers in mortality prediction of hospitalized
patients with community acquired pneumonia.
Annals of Thoracic Medicine. vol. 9. hlm. 162-167.

146
PNEUMONIA: adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

Arnold FW, Summersgill JT, Lajoie AS, Peyrani P, Marrie TJ,


Rossi P. 2007. A worldwide perspective of atypical
pathogens in community acquired pneumonia. Am
J Respir Crit Care Med. vol.175. hlm. 1086-93.
Azeem AAE, Hamdy G, Saraya M, Fawzy E, Anwar E,
Abdulattif S. 2013. The role of procalcitonin as a
guide for the diagnosis, prognosis, and decision of
antibiotic therapy for lower respiratory tract
infections. Egyptian Journal of Chest Diseases and
Tuberculosis. vol. 62. hlm. 687-95.
Azhdarzadeh M, Lotfipour F, Zakeri-milani P, Mohammadi
G, Valizadeh H. 2012. Antibacterial performance of
azithromycin nanoparticles as colloidal drug
delivery system against different gram-negative
and gram positive bacteria. Advanced
pharmaceutical bulletin. vol. 2(1). hlm. 17-24.
Bacci MR, Leme RCP, Zing NCP, Murad N, Adami F, Hinnig
PF, et al. 2015. Chagas ACP, Fonseca FLA. IL-6
and TNF-a serum levels are associated with early
death in community-acquired pneumonia patients.
Brazilian Journal of Medical and Biological
Research. vol. 48(5). hlm. 427-32.
Balamayooran G, Batra S, Fessler MB, Happel KI,
Jeyaseelan S. 2010. Mechanism of neutrophil
accumulation in the lungs against bacteria. Am J
Respir Cell Mol Biol. vol. 43. hlm. 5-16.
Baratawidjaja GK, Rengganis I. 2009. Imunologidasar. Edisi
ke-8. Jakarta: FKUI. hlm. 226-8.
Barnes P. 1998. Antiinflammatory actions of
glucocorticoids: molecularmechanisms. Clinical
Science. vol. 94. hlm. 557-72.
Bbosa GS, Mwebaza N, Odda J, Kyegombe DB, Ntale M.
2014. Antibiotics/antibacterial drug use, their
marketing and promotion during the post-
antibiotic golden age and their role in emergence of
bacterial resistance. I Health. vol. 6. hlm. 410-25.

147
PNEUMONIA: Adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

Bordon J, Aliberti S, Botran RF, Uriarte SM, Rane MJ,


Duvvuri P, et al. 2012. Understanding the roles of
cytokines and neutrophil activity and neutrophil
apoptosis in the protective versus deleterious
inflammatory response in pneumonia. International
Journal of Infectious Diseases. vol. 17. hlm. 76-83.
Borovac DN, Pejcic T, Petkovic TR, Dordevic D, Dordevic I,
Stankovic I, et al. 2011. Scientific Journal of the
Faculty of Medicine. vol. 28. hlm. 147-54.
Boureux A, Vignal E, Faure S, Fort P. 2007. Evolution of the
rho family of ras-like GTP-ases in eukaryotes. Mol.
Biol. Evol. vol. 24(1). hlm. 203-16.
Bradley JR. 2008. TNF mediated inflammatory disease.
Journal of Pathology. vol. 214. hlm. 149-60.
British Thoracic Society (BTS). 2009. Guidelines for the
management of community in adults:update 2009.
Thorax. vol. 64. hlm. 1-15.
Bulska M and Orszulak-michalak D. 2014.
Immunomodulatory and antiinflamatory properties
of macrolides. Curr issues pharm med sci. vol. 27.
hlm. 61-4.
Caballero J and Rello J. 2011. Combination antibiotic
therapy for community acquired pneumonia.
Annals of intensive care. vol. 1. hlm. 48.
Chalmers JD, Short PM, Mandal P, Akram AR, Hill AT.
2010. Statins in community acquired pneumonia:
evidence from experimental and clinical studies.
Respiratory Medicine. vol. 104(8). hlm. 1081-91.
Chamberlain RS, Shayota BJ, Nyberg C, Sridharan P. 2014.
The utilityof procalcitonin as a biomarker to limit
the duration of antibiotic therapy in adult sepsis
patients. Surgical Science. vol. 5. hlm. 342-53.
Chambers HF. 2001. Antimicrobial agents: Protein
synthesis inhibitors and miscellaneous
antibacterial agents. In: Hardman JG, Limbird LE,
editors. Goodman & Gilman’s the pharmacological
basis of therapeutics. 10th edition. McGraw-Hill.
hlm. 1239-65.

148
PNEUMONIA: adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

Chopra V, Flanders SA. 2009. Does statin use improve


pneumonia outcomes?. Chest. vol. 136. hlm. 1381-
88.
Chow CW, Moraes TJ, Downey GP. 2008. Host defenses. In:
Albert RK, Spiro SG, Jett JR, editors. Clinical
respiratory medicine. 3rd edition. Philadelphia:
Elsevier. hlm. 166-76.
Christ-Crain M, Mu¨ller B. 2007. Biomarkers in respiratory
tract infections: diagnostic guides to antibiotic
prescription, prognostic markers and mediators.
Eur Respir J. vol. 30. hlm. 556–73.
Chun SK, Jessica KY, Richard MT, Rodrigo C, Sonal S, Yoon
KL. 2012. Statins and associated risk of
pneumonia: a systematicreview and meta-analysis
of observational studies. Eur J Clin Pharmacol. vol.
68. hlm. 747–55.
Chung SD, Tsai MC, Lin HC, Kang JH. 2014. Statin use and
clinical outcomes among pneumonia patients. Clin
Microbiol Infect. vol. 20. hlm. 879-85.
Compos DB, Ibiapina CC. 2011. The role of macrolides in
noncystic fibrosis bronchiectasis. Hindawi
Publishing Corporation Pulmonary Medicin. vol. 4.
hlm. 1-5.
Craig A, Mai J, Cai S, Jeyaseelan S. 2009. Neutrophil
recruitment to the lungs during bacterial
pneumonia. Infection and Immunity. vol. 77. hlm.
568-75.
Davies L, Angus RM, Calverley PM. 1999. Oral
corticosteroids in patients admitted to hospital
with exacerbations of chronic obstructive
pulmonary disease: a prospective randomised
controlled trial. Lancet. vol. 354. Hlm. 456-60.
Gazzerro P, Proto MC, Gangemi G, Malfitano AM, Ciaglia E,
Pisanti S, et al. 2012. Pharmacological actions of
statins: a critical appraisal in the management of
cancer. vol. 64. hlm. 102-146.

149
PNEUMONIA: Adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

Ghanei M, Mehdi GZ, Majid S. 2005. Improvement of


respiratory symptoms by long-term low-dose
erythariomycin in sulfur mustard exposed cases: a
pilot study. Journal of Medical Chemical, Biological,
Radiological Defense. vol. 3. hlm. 1-9.
Goetz MB, Rhew DC, Torres A. 2005. Pyogenic bacterial
pneumonia, lung abscess and empyema. In:
Mason RJ, Broaddus VC, Murray JF, Nadel JA,
editors. Murray and Nadels Textbook of
Respiratory Medicine. 4th ed. Philladelphia:
Elsevier Inc. hlm. 979-1032.
Groenewegen KH, Schols AM, Wouters EF. 2008. Mortality
and mortality-related factors after hospitalization
for acute exacerbation of COPD. Chest. vol. 124.
hlm. 459-67
Gupta P, Bhatia V. 2008. Corticosteroid physiology and
principles of therapy. Indian Journal of Pediatrics.
vol. 75(10). Hlm. 1039-44.
Guzman C, Calleros CH, Griego LL, Montor JM. 2010.
Interleukin-6: a cytokine with a pleiotropic role in
the neuroimmunoendocrine network. The Open
Neuroendocrinology Journal. vol. 3. hlm. 152-160.
Haworth CS, Bilton D Elborn JS. 2014. Long – term
macrolide maintenance therapy in non – cf
bronchiectasis : evidence and questions.
Respiratory Medicine. vol. 108. hlm. 1397-1408.
Haworth CS. 2011. Antibiotics treatment strategies in
adults with bronchiectasis. Eur Respir Mon. vol.
52. hlm. 211-22.
Hedlun J, Hansson LO. 2000. Procalcitonin and c-reactive
protein levels in community acquired pneumonia:
correlation with etiology and prognosis. Infection.
vol. 28. hlm. 68-73
Hilde HF, Bos WJ, Sabine CA, Rijkers GT, Biesma DH,
Velzen-Blad H, et al. 2012. Dexamethasone
Downregulates the Systemic Cytokine Response in
Patients with Community-Acquired Pneumonia.
Clinical and Vaccine Immunology. vol. 19(9). hlm.
1532-8.

150
PNEUMONIA: adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

Idriss HT, Naismith JH. 2013. TNF alpha and the TNF
receptor superfamily: structure-function
relationship(s). Microsc Res Tech. vol. 50(3). hlm.
184-95.
Irfan M, Farooqi J, Hasan R. 2013. Community acquired
pneumonia. Curr Opin PulmMed. vol. 19. hlm. 1-
11.
Iwata A, Shirai R, Ishii H, Kushima H, Otani S, Hashinaga
K. 2012. Inhibitory effect of statins on
inflammatory cytokine production from human
bronchial epithelial cells. Clinical and Experimental
Immunology. vol. 168. hlm. 234-40.
Jain MK, Ridker PM. 2005. Antiinflammatory effects of
statins: clinical evidence and basic mechanisms.
Nature Reviews. vol. 4. hlm. 977-87.
Jenks K. 2008. Corticosteroid. editor, In: Clinical drug
therapy. 6th edition.Philadelphia: Lipponcott. hlm.
352-72.
Kanoh S and Rubin BK. 2010. Mechanism of action and
clinical application of macrolides as
immunomodulatory medications. Clinical
microbiology reviews. vol. 23(3). hlm. 590-615.
Katzung B. 2006. Adenocortocosteroid and adrenocortical
antaogonis, editor. In:Basic and clinical
pharmacology. 10th edition. Newyork: Mcgraw Hill.
hlm. 1163-94.
Kiriyama Y, Nomura Y, Tokumitsu Y. 2002. Calcitonin gene
expression induced by lipopolysaccharide in the
rat pituitary. Am J Physiology Endocrinol Metab.
vol. 282. hlm. 1380-4.
Kishimoto T. 2010. IL-6: from its discovery to clinical
applications. International Immunology. vol. 22(5).
hlm. 347-52.
Kolditz M, Ewig S, Hoffken G. 2013. Managementbased risk
prediction in community-acquired pneumonia by
scores and biomarkers. Eur Respir J. vol. 41. hlm.
974-84.

151
PNEUMONIA: Adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

Kosanke R, Beier W, Lipecky R, Meisner M. 2008. Clinical


benefits of procalcitonin. Tanaffos. vol. 7. hlm. 14-
18.
Kristiansen OP, Mandrup-Poulsen T. 2005. Interleukin-6
and diabetes: the good, the bad, or the indifferent?
Diabetes. Suppl. vol. 2. hlm. 114-24.
Lee H. 2013. Procalcitonin as a biomarker of infectious
Diseases. Korean J Intern Med. vol. 28. hlm. 285-
91.
Lentino JR and Krasnicka B. 2002. Association between
initial empirical therapy and decreased length of
stay among veteran patients hospitalized with
community acquired pneumonia. International
journal of antimicrobial agents. vol. 19(1). hlm. 61-
6.
Liao JK, Laufs U. 2005. Pleiotropic effects of statins. Annu
Rev Pharmacol Toxicol. vol. 45. hlm. 89-118.
Lim WS, Macfarlane JT, Boswell TCJ, Harrison TG, Rose D,
Leinonen M, et al. 2001. Study of community
acquired pneumonia aetiology (SCAPA) in adults
admitted to hospital: implications for management
guidelines. Thorax. vol. 56. hlm. 296-301.
Lionakis M, Kontoyiannis D. 2003. Glucocorticoids and
invasive fungal infections. Lancet. vol. 362. hlm.
1828-38.
Loecker ID, Preiser JC. 2012. Statins in the critically ill.
Annals of Intensive Care. vol. 2. hlm. 1-12.
Lorenzo MJ, Moret I, Sarria B, Cases E, Cortijo J, Mendez R,
et al. 2015. Lung inflammatory pattern and
antibiotic treatment in pneumonia. Respiratory
research. vol. 16. hlm. 15
Maitra A, Kumar V. The lung. 2007. In: Kumar, Abbas,
Fausto, Mitchell, editors.Robbin Basic Pathology.
8th ed.Philladelphia: Saunders Elsevier. hlm. 508-
28.

152
PNEUMONIA: adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

Makris D, Manoulakas E, Komnos A, Papakrivou E,


Tzovaras N, Hovas A, et al. 2011. Effect of
pravastatin on the frequency of ventilator-
associated pneumonia and on intensive care unit
mortality: Open-label, randomized study. Crit Care
Med. vol. 39(11). hlm. 2440-46.
Mandell LA, Wunderink RG, Anzueto A, Bartlett JG,
Campbell GD, Dean NC, et al. 2007. Infectious
diseases society of america/american thoracic
societycon sensus guidelines on the management
of community-acquired pneumonia in adults.
Clinical Infectious Diseases. vol. 44. hlm. 27-72.
Martinez R, Menedez R, Reyes S, Polverino E, Cilloniz C,
Martinez A, et al. 2011. Factors associated with
inflammatory cytokine patterns in community-
acquired pneumonia. Eur Respir J. vol. 37. hlm.
393-9.
Maruna P, Nedelkova K, Gurlich R. 2000. Physiology and
genetics of procalsitonin. Physiol Res. vol. 49. hlm.
57-61.
Masakela R, Green RJ. 2012. The role of macrolides in
childhood-non cystic fibrosis-related
bronchiectasis. Hindawi Publishing Corporation
Mediators of Inflammation. hlm. 1-7.
Masia M, Gutierrez F, Shum C, Padilla S, Navarro JC,
Flores E, et al. 2005. Usefulness of procalcitonin
levels in community-acquired pneumonia
according to the patients outcome research team
pneumonia severity index. Chest. vol. 128. hlm.
2223–9.
Mason CM, Nelson S. 2005. Pulmonary host defenses and
factors predisposing to lung infection. Clin Chest
Med. vol. 26. hlm. 11-7.
Medchrome. Mechanism of action of steroid hormones:
animation. [cited April 14th2015]. Available from:
http://tube.medchrome.com/2011/10/mechanis
m-of-action-of-steroid-hormones.html
Medzhitov R. 2010. Inflammation 2010: new adventures of
an old flame. Cell. vol. 140. hlm. 771-6.

153
PNEUMONIA: Adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

Meijvis SCA, Hardeman H, Remmelts FH, Heijligenberg R,


Rijkers GT, Velzen-Blad H, et al. 2011.
Dexamethasone and length of hospital stay in
patients with community-acquired pneumonia: a
randomised, double-blind, placebo-controlled trial.
Lancet. vol. 377(9782). hlm. 2023-30.
Meijvis SCA, Van de Garde EMW, Rijkers GT, Bos WJW.
2012. Treatment with anti-inflammatory drugs in
community acquired Pneumonia. J Intern Med. vol.
272. hlm. 25–35.
Meisner M. 2013. Current status of procalcitonin in the
ICU. Neth J Crit Care. vol. 17(2). hlm. 4-12.
Menendez R, Torres A, Rodriguez de castro F, Zalacain R,
Aspa J, Borderias L, et al. 2004. Reaching stability
in community-acquired pneumonia: the effects of
the severity of the disease, treatment, and the
characteristics of patients. Clinical infectious
diseases. vol. 39. hlm. 1783-90.
Meynaar IA, Droog W, Batstra M, Vreede R, Herbrink P.
2011. In critically ill patients, serum procalcitonin
is more useful in differentiating between sepsis
and SIRS than CRP, Il-6, or LBP. Critical Care
Research and Practice. hlm. 1-6.
Mizgerd JP. 2008. Acute lower respiratory tract infection. N
Engl J Med. vol. 358. hlm. 716-27.
Moldoveanu B, Otmishi P, Jani P, Walker J, Sarmiento X,
Guardiola J, et al. 2009. Inflammatory
mechanisms in the lung. Journal of inflammation
research. vol.2. hlm. 1-11.
Mor A, Thomsen RW, Ulrichsen SP, Sorensen HT. 2013.
Chronic heart failure and risk of hospitalization
with pneumonia: a population-based study.
European Journal of Internal Medicine. vol. 24. hlm.
349-53.
Mueller C, Muller B, Perruchoud AP. 2008. Biomarkers:
past, present, and future. Swiss Med Wkly.
vol. 138. hlm. 225-9.

154
PNEUMONIA: adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

Mukaida N. 2003. Pathophysiologycal roles of interleukin-


8/CXCL8 in pulmonary diseases. AJP Lung Cell
Mol Physiol. vol. 284. hlm. 566-77.
Nakamura M, Kono R, Nomura S, Utsunomiya H. 2013.
Procalcitonin: Mysterious Protein in Sepsis.
Journal of Basic & Clinical Medicine. vol.2(1). hlm.
7-11.
Naugler EW, Karin M. 2007. The wolf in sheep’s clothing:
the role of interleukin-6 in immunity, inflammation
and cancer. Trends In Molecular Medicine. vol. 12.
hlm. 1-11.
Nicod LP. 2005. Lung defences: an overview. Eur Respir Rev.
vol. 14. hlm. 45-50.
Novack V, Eisinger V, Frenkel A, Terblanche M, Adhikari
NKJ, Douvdevani A, et al. 2009. The effects of
statin therapy on inflammatory cytokines in
patients with bacterial infections: a randomized
double-blind placebo controlled clinical trial.
Intensive Care Med. vol. 35. hlm. 1255-60.
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI). 2014.
Pneumonia komunitas. Pedoman Diagnosis dan
Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta: PDPI.
Prasetyo SE, Reviono, Suradi. 2016. Pengaruh omega 3
fatty acid terhadap kadar prokalsitonin dan
perbaikan klinis pada pasien pneumonia
komunitas. J Respir Indo. vol. 36, hlm. 138-46.
Purba JYL, Reviono, Suradi, Harsini, Aphridasari J. 2017.
Pengaruh pravastatin terhadap kadar IL-6, pro-CT,
dan lama perbaikan klinis pada penderita
pneumonia. J Respir Indo. vol. 37. hlm. 75-83.
Purba JYL. 2016. Pengaruh pravastatin terhadap kadar
IL-6, pro-CT, dan lama perbaikan klinis pada
penderita pneumonia. Tesis. Program Pendidikan
Dokter Spesialis Pulmonologi dan Kedokteran
Respirasi. Fakultas Kedokteran. Universitas
Sebelas Maret. Surakarta.

155
PNEUMONIA: Adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

Ramirez SH, Heilman D, Morsey B, Potula R, Haorah J,


Persidsky Y. 2008. Activation of peroxisome
proliferator-activated receptor γ (PPARγ)
suppresses rho GTPases in human brain
microvascular endothelial cells and inhibits
adhesion and transendothelial migration of HIV-1
infected monocytes. J Immunol. vol. 180. hlm.
1854-65.
Reinhart K, Karzai W, Meisner M. 2000. Procalcitonin: a
new marker of the systemic inflammatory response
to infections. Intensive Care Med. vol. 26. hlm.
1193-1200.
Rhen T, Cidlowski JA. 2005. Antiinflammatory Action of
Glucocorticoids - New Mechanisms for Old Drugs.
N Engl J Med. vol. 353. hlm. 1711-23.
Rhren T, Cidlowski J. 2005. Antiinflamatory action of
glucocorticoids newmechanisms for old drugs. New
England Journal of Medicine. vol. 353. hlm. 1711-
23.
Rubin R. 2011. Adrenocortical hormones and drugs
affecting the cortex adrenal, editor. In: Modern
pharmacology with clinical application, 5th edition.
Scheller J, Chalaris A, Arras DS, John SR. 2011. The pro
and antiinflammatory properties of the cytokine
interleukin-6. Biochimica et Biophysica Acta. vol.
1813. hlm. 878-88.
Schleicher GK, Herbert V, Brink A, Martin S, Maraj
R, Galpin JS, et al. 2005. Procalcitonin and C-
reactive protein levels in HIV-positive subjects with
tuberculosis and pneumonia. European
Respiratory Journal. vol. 25. hlm. 688-92.
Sevilla-sanchez D, Soy-muner D, Soler-porcar N. 2010.
Usefulness of macrolides as anti-inflammatories in
respiratory diseases. Arch bronchoneumol. vol.
46(5). hlm. 244-54.
Sharma S, Jaffe A, Dixon G. 2007. Immunomodulatory
effects of macrolide antibiotics in respiratory
disease: therapeutic implications for asthma and
cystic fibrosis. Pediatric Drugs. vol. 9. hlm. 107-18.

156
PNEUMONIA: adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

Simanjutak LH. 2016. Pengaruh azitromisin dosis rendah


terhadap lama waktu perbaikan klinis, kadar IL-8
dan neutrophil sputum penderita pneumonia.
Tesis. Program Pendidikan Dokter Spesialis
Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi. Fakultas
Kedokteran. Universitas Sebelas Maret. Surakarta.
2016.
Simon L, Gauvin F, Amre DK, Saint-Louis P, Lacroix J.
2004. Serum procalcitonin and c-reactive protein
levels as marker of bacterial infection : a
systematic review and meta-analysis. CID. vol. 39.
hlm. 206-16.
Sing B. Pengaruh kadar prokalsitonin dan TNF-α terhadap
perbaikan klinis setelah pemberian deksametason
selama lima hari pada pasien pneumonia. Tesis.
Program Pendidikan Dokter Spesialis Pulmonologi
dan Kedokteran Respirasi. FakultasKedokteran.
UniversitasSebelasMaret. Surakarta. 2015.
Stancu C, Sima A. 2001. Statins: mechanism of action and
effects. J Cell Mol Med. vol. 5(4). hlm. 378-87.
Steel HC, Cockeran R, Anderson R, Feldman C. 2013.
Overview of community-acquired pneumonia and
the role of inflammatory mechanisms in the
immunopathogenesis of severe pneumococcal
disease. Mediators of Inflammation. vol. 2013. hlm.
1-18.
Stellari FF, Sala A, Donofrio G, Ruscitti F, Caruso P, Topini
TM, et al. 2014. Azithromycin inhibits nuclear
factor-κB activation during lung inflammation: an
in vivo imaging study. Pharma Res Per. vol. 2(5).
hlm. 1-9.
Summah H, Qu JM. 2009. Biomarkers: a definite plus in
pneumonia. Hindawi Publishing Corporation. vol. 9.
hlm. 1-9.

157
PNEUMONIA: Adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

Surjanto E, Sutanto YS, Reviono, Harsini, Indrayati D.


2013. Perbandingan Tiga Metode Prediksi secara
Retrospektif dalam Menilai Derajat Pneumonia
Komunitas pada Pasien Lanjut Usia di Rumah
Sakit Dr. Moewardi Surakarta. J Respir Indo. vol.
33. hlm. 34-9.
Tamaoki J. 2004. The effects of macrolides on inflammatory
cells. Chest. vol. 125. hlm. 41-51.
Tamariz L, Hare HM. 2010. Inflammatory cytokines in heart
failure: roles in aetiology and utility as biomarkers.
European Heart Journal. vol. 31. hlm. 768-770.
Tong L, Tergaonkar V. 2014. Rho protein GTPases and their
interactions with NFκβ: crossroads of
inflammation and matrix biology. Biosci Rep. vol.
34(3). hlm. 283-95.
Tsang KWT, Ho PI, Chan KN, Lam WK, Yuen KY, Ooi GC.
1999. A Pilot study of low-dose erythariomycin in
bronchiectasis. Eur Respir J. vol. 13. hlm. 361-4.
Unger NR and Gauthier TP. 2015. Protein synthesis
inhibitors. In: Whalen K, Finkel R, Panavelil TA,
editors. Lippincott illustrated reviews:
pharmacology. 6th edition. Walters Kluwer. hlm.
499-512.
Vanaudenaerde BM, Robin V, Meyts I, Stephanie I,
Vleeschauwer D, Verleden SE, et al. 2008.
Makrolide therapy target a specific phenotype in
respiratory medicine: from clinical experience to
basic science and back. Inflammation and allergy.
Drugs Target. vol. 7. hlm. 279-87.
Verleden GM, Vanaudenaerde BM, Dupont LJ, Van
Raemdonck DE. 2006. Azithromycin reduces
airway neutrophilia and interleukin-8 in patients
with bronchiolitis obliterans syndrome. Am J
Respir Crit Care Med. vol. 174. hlm. 566-70.
Viasus D, Vidal G, Gudiol F, Carratala J. 2010. Statins for
community-acquired pneumonia: current state of
the science. Eur J Clin Microbiol Infect Dis. vol. 29.
hlm. 143-152.

158
PNEUMONIA: adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

Vrancic M, Banjanac M, Nujic K, Bosnar M, Murati T,


Munic V, et al. 2011. Azithromycin distinctively
modulates classical activation of human
monocytes in vitro. British Journal of
Pharmacology. vol. 165. hlm. 1348-60.
Watson J. 2012. Raised inflammatory markers. BMJ. vol.
344. hlm. 1-5.
Wright HL, Moots RJ, Bucknall RC, Edwards SW. 2010.
Neutrophil function in inflammation and
inflammatory diseases. Rheumatology. vol. 49.
hlm. 1618-31.
Wu Q, Shen W, Cheng H, Zhou X. 2014. Long – term
macrolides for non – cystic fibrosis bronchiectasis :
a systematic review and meta – analysis.
Respirology. vol. 19. hlm. 321-29.
Xiao H, Qin X, Ping D. 2013. Inhibition of rho and rac
geranylation by atorvastatin is critical for
preservation of endothelial junction integrity. Plos
One. vol. 8(3). hlm. 1-10.
Yanagihara K, Izumikawa K, Higa F, Tateyama M,
Tokimatsu I, Hiramatsu K, et al. 2009. Efficacy of
azithromycin in the treatment of community
acquired pneumonia, including patients with
macrolide resistant streptococcus pneumoniae
infection. Inter Med. vol. 48. hlm. 527-35.
Yang XY, Wang LH, Farrar WL. 2008. A Role for PPARγ in
the regulation of cytokines in immune cells and
cancer. PPAR Research. halm. 1-12.
Yano M, MatsumuraT, Senokuchi T, Ishii N, Murata Y,
Taketa K, et al. 2007. Statins activate peroxisome
proliferator-activated receptor through
extracellular signal-regulated kinase 1/2 and p38
mitogen-activated protein kinase–dependent
cyclooxygenase-2 expression in macrophages. Circ
Res. vol. 100. hlm. 1442-51.
Zeilhofer HU and Schorr W. 2000. Role of interleukin-8 in
neutrophil signaling. Current Opinion in
Hematology. vol. 7. hlm. 178-82.

159
PNEUMONIA: Adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

Daftar Singkatan
KDO : 2-Keto-3-deoksi asam octanoat
HMG-CoA : 3-hydroxy-3-methylglutaryl-CoA
AP-1 : Activator protein -1
ARDS : Acute Respiratory Distress Syndrome
ACTH : adrenocorticotrophic hormone
IKK : aktivasi inhibitor I-κβ kinase
ATS : American thoracic society
APC : Antigen presenting cell
APC : Antigen presenting cell
BPI : Bacterial permeability-increasing protein
CRP : C reactive protein
CALC : Calsitonin
CREB : cAMP response element binding
CAMPs : Cationic antimicrobial peptides
CD : Cluster of differentiation
CD : Cluster of differentiation
CAP : Community-acquired pneumonia
CURB-65 : Confusion, urea, respiratory rate, blood pressure, age
65 ≥ years
CHF : Congestive Heart Failure
CBH : corticosteroid binding globulin
CRH : corticotrophin releasing hormone
CBP : CREB binding protein
CFR : crude fatality rate
c-AMP : cyclic adenosin monophosphate
Camp : Cyclic adenosine monophospate
CFTR : cystic fibrosis transmembrane conductance regulator
protein
CINC/gro : cytokine induced neutrophil chemoattractant/ growth
related oncogene
DNA : Deoxyribonuvleid acid
DAG : Diacylglycerol
DPB : diffuse panbronchiolitis

160
PNEUMONIA: adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

DUSP : Dual specificity phospatase


eNOS : endothelial nitric oxide synthetase
ELFA : enzyme-linked fluorescent assay
EGFR : epidermal growth factor receptor
ERK ½ : Extracellular signal – regulated kinase
ERK : extracellular signal-regulated kinase
FPP : farnesyl pyrophosphate
PLCβ : Fosfolipase β
GPCR : G Protein – coupled chemokine receptors
GERD : Gastro-esofageal refluxdisorder
GR : Glucocorticoid receptors
GRS : Glucocorticoid receptors
GRE : Glucocoticoid response element
GM-CSF : Granulocyte-monocyte colony stimulating factor
GDP : Guanosine diphospate
GTP : Guanosine diphospate
HCAP : Healt care associated pneumonia
HSP : heat shock protein
Hsp : heat shock protein
HHD : Hipertensi Heart Disease
HDAC : Histone deacetylase
HDAC : Histone deacetylase
HAT : Histone ecetyltransferase
HAP : Hospital acquired pneumonia
HIV : Human Immunodeficiency Virus
HLA : Human Leukocyte Antigen
k-B : I-kappa-betha
IRAK : IL-1 receptor – associated kinase
IDSA : Infectious Disease Society of America
NF-kB (Iκβ) : inhibitor
IP3 : Inositol 3,4,5 triphosphate
ICU : Intensive Care Unit
ICAM : Intercellular adhesion molecule
IL : interleukin
IKK : Iκβ kinase

161
PNEUMONIA: Adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

JAM : Juctional adhesion molecule


kD : kilo-dalton
LPS : Lipopolisakarida
LBP : Lipopolysaccharide binding protein
LTA : Lipoteichoic acid
MIP : Macrophage inflallatory protein
Mac – 1 : Macrophage-1 antigen
MCH : Major histocompabilyti complex
MHC : Major histocompatibility complex
MMP : Matrix metalloproteinase
mRNA : messenger ribonucleic acid
MAPK : Mitogen activated protein kinase
MAPK : Mitogen-actived protein kinase
MCP : Monocyte chemotactic protein
MDR P- : multi-drug-resistant protein
glycoprotein
MyD88 : Myleoid differintiation primary response gene 88
MPO : Myloperoxidase
NK : Natural killer
NET : Neutrophil extracellular trap
fMLP : N-formylmethionyl-leucyl- fenilalanin
NADPH : nicotinamide adenine dinucleotide phosphate-oxidase
NLRs : NOD – like receptor
NSAIDS : non steroidal antiinflamatory agents
NF –k β : Nuclear factor – kappa beta
NF-β : Nuclear factor-β
NOD : Nucleotide oligomerization domain
PSGL-1 : P selectin glycoprotein ligand-1
pCAF : P300/ CBP activating factor
PAMP : pathogen associated molecular pattern
PAMP : Pathogen associated molecullar pattern
PAMPs : Pathogen azzociated molecular patterns
PRRs : Pattern – recognition receptors
PRRs : Pattern recognition receptor
PDPI : Perhimpunan Dokter Paru Indonesia

162
PNEUMONIA: adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

PPAR : peroxisome proliferator activated receptor


PI3K : phosphatidylinositol-3-hydroxykinase
PLC : phospholipase C
PECAM-1 : Platelet endothelial cell adhesion molecule
PSI : Pneumonia severity index
PMN : polimorfonuklear
PCR : Polymerase chain reaction RIG – I like receptors
: PORT
PCT : procalcitonin
PCT : procalcitonin
PKC : Protein kinase C
QsM : quorum sensing molecul
ROI : Reactive oxygen species
ROS : reactive oxygen species
RIP : Receptor interacting protein
RTK : Receptor tyrosine kinase
CR : reseptor komplemen
RNA : Ribonucleic acid
RLRs : RIG-I like receptors
SLPI : Secretory leukoprotease inhibitor
SST : serum separator tube
SOOD : Silencer of death domain
SGRQ : St. George Respiratory Questionnaire
TCR : T cell receptor
Th : T helper
TCR : T-cell receptor
PaO2 : tekanan parsial oksigen arteri
CDC : The centers for disease control
TNFR-1 : TNF receptor -1
TRAF6 : TNF receptor-associated factor 6
TRADD : TNFR-associated death-domain
TLR : Toll like receptors
TLRs : Toll-like receptors
TAK I : Transforming growth factor-β-activated kinase 1
TIR : Translocated intimin receptor

163
PNEUMONIA: Adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

TNF-α : Tumor necrosis factor 6


Vβ : Variable β

164
PNEUMONIA: adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ?

Dr. Reviono, dr., Sp.P(K)

Dilahirkan di Bojonegoro 30
Oktober 1965. Lulus sebagai
dokter dari Fakultas Kedokteran
Universitas Gadjah Mada tahun
1990. Pada tahun 2003 lulus
sebagai dokter spesialis paru dari
Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Selanjutnya pada tahun
2010 secara bersama-sama,
menyelesaikan studi S3 di Pascasarjana Universitas
Airlangga dan memperoleh sertifikat konsultan infeksi paru
dari Kolegium Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Saat ini
mengajar S1 untuk blok Respirasi dan Infeksi, mengajar
Program Pendidikan Dokter Spesialis Paru untuk Infeksi
Paru dan mengajar S3 di Pascasarjana Universitas Sebelas
Maret untuk mata kuliah Radikal Bebas.

Selain kegiatan mengajar juga aktif sebagai ketua Tim


Medis Penanggulangan Wabah (Avian Influenza) dan Ketua
Tim Penanggulangan Tuberkulosis strategi DOTS di RSUD
Dr. Moewardi Surakarta. Kegiatan lainnya aktif di Jejaring
Riset TB Kementerian Kesehatan. Aktivitas lain adalah
sebagai kontributor penyusunan buku Pneumonia
Komunitas : Pedoman diagnosis dan penatalaksanaan di
Indonesia (2014), diterbitkan oleh Perhimpunan Dokter
Paru Indonesia dan Pedoman Nasional Pengendalian
Tuberkulosis yang diterbitkan oleh Kementerian Kesehatan
(2014) yang disusun bersama tim penerbitan buku
Kementerian Kesehatan. Serta baru saja diselesaikan
Pedoman Tatalaksana Infeksi TB Laten (2016) bersama
Kelompok Kerja Infeksi Paru dari Perhimpunan Dokter Paru
Indonesia.

165

Anda mungkin juga menyukai