Anda di halaman 1dari 26

Percobaan 4

Kromatografi Lapis Tipis


Isolasi Kurkumin dari Kunyit (Curcuma Longa. L)

I. Tujuan Percobaan
1. Isolasi senyawa kurkumin dari kunyit dengan metode refluks.
2. Pemurnian/pemisahan hasil isolasi dengan metode kromatografi kolom.
3. Pemurnian hasil isolasi dengan metode Kromatografi Lapis Tipis (KLT)

II. Prinsip Percobaan


1. Metode Refluks adalah ekstraksi padat cair dengan cara panas berdasarkan

perbedaan kepolaran.
2. Kromatografi kolom adalah metode pemisahan senyawa berdasarkan

perbedaan kepolaran dan kecepatan migrasi


3. Kromatografi Lapis Tipis merupakan metode pemisahan senyawa

berdasarkan kepolaran dan kecepatan migrasi

III. Teori Dasar

3.1 Klasifikasi Kunyit

3.1.1 Kunyit

Kunir atau kunyit, (Curcuma longa Linn. syn. Curcuma domestica Val.),
adalah termasuk salah satu tanaman rempah dan obat asli dari wilayah Asia
Tenggara. Tanaman ini kemudian mengalami penyebaran ke daerah Malaysia,
Indonesia, Australia bahkan Afrika. Hampir setiap orang Indonesia dan India serta
bangsa Asia umumnya pernah mengonsumsi tanaman rempah ini, baik sebagai
pelengkap bumbu masakan, jamu atau untuk menjaga kesehatan dan kecantikan.
Kunyit mengandung beberapa komponen yang bersifat sebagai antioksidan dan
antibakteri (Aggarwal et al., 2006).

Kunyit tergolong dalam kelompok jahe-jahean, Zingiberaceae. Kunyit


dikenal di berbagai daerah dengan beberapa nama lokal, seperti Turmeric
(Inggris), Kurkuma (Belanda), Kunyit (Indonesia dan Malaysia), Kunir (Jawa),
Koneng (Sunda), Konyet (Madura) (Aggarwal et al., 2006).
Kurkumin di alam terdapat dalam dua bentuk tautomer, keto dan enol.
Substituen pendorong dan penarik elektron berpengaruh pada stabilisasi tautomer
keto-enol krkumin dan turunannya. Gugus dengan sifat pendorong elektron
cenderung menstabilkan tautomer keto, sedangkan gugus penarik elektron
cenderung menstabilkan tautomer bentuk enol. Bentuk tautomer tersebut
berpengaruh terhadap sebaran muatan parsial positif struktur kurkumin dan
turunannya. Semakin bertambah sebaran muatan parsial positif, menunjukkan
aktivitas yang semakin meningkat. Stabilisasi struktur keto bertanggung jawab
terhadap peningkatan aktivitas turunan kurkumin (Supardjan dan Muhammad
Da’i, 2005).

Kunyit adalah rempah-rempah yang biasa digunakan dalam masakan di


negara-negara Asia. Kunyit sering digunakan sebagai bumbu dalam masakan
sejenis gulai, dan juga untuk memberi warna kuning pada masakan, atau sebagai
pengawet. Produk farmasi berbahan baku kunyit, mampu bersaing dengan
berbagai obat paten, misalnya untuk peradangan sendi (arthritis- rheumatoid) atau
osteo-arthritis berbahan aktif natrium deklofenak,piroksikam, dan fenil butason
dengan harga yang relatif mahal atau suplemen makanan (Vitamin-plus) dalam
bentuk kapsul. Produk bahan jadi dari ekstrak kunyit berupa suplemen makanan
dalam bentuk kapsul (Vitamin-plus) pasar dan industrinya sudah berkembang.
Suplemen makanan dibuat dari bahan baku ekstrak kunyit dengan bahan
tambahan Vitamin B1, B2, B6, B12, Vitamin E, Lesitin, Amprotab, Mg-
stearat,Nepagin dan Kolidon 90. (Supardjan dan Muhammad Da’i, 2005).

3.1.2 Klasifikasi tanaman Kunyit (Curcuma Longa Linn.)


Gambar Tanaman Kunyit

Divisi : Spermatophyta
Subdivisi : Angiospermae
Kelas : Monocotyledonae
Bangsa : Zingiberales
Suku : Zingiberaceae
Marga : Curcuma
Spesies : Curcuma longa Linn. (Syamsuhidayat dan Hutapea, 1991).

3.1.3 Uraian tanaman

Tumbuhan berbatang basah, tinnginya 0,75 - 1 meter, daun berbentuk


lonjong, bunga majemuk berwarna merah atau merah muda. Tanaman herba
tahunan ini menghasilkan umbi utama berbentuk rimpang berwarna kuning tua
atau jingga terang. Perbanyakan dengan anaka. Kunyit ternasuk salah satu
tanaman rempah dan obat, habitat tanaman ini meliputi wilayah asia khususnya
Asia khususnya Asia Tenggara. Tanaman ini kemudian mengalami persebaran
kedaerah Indo-malaysia, Indonesia, Australia bahkan Afrika. Hampir setiap orang
Indonesia dan India serta bangsa asia umumnya pernah mengkonsumsi tanaman
rempah ini, baik sebagai pelengkap bumbu masakan jamu atau untuk menjaga
kesehatan dan kecantikan (Syamsuhidayat dan Hutapea, 1991).

 Nama Daerah
Sumatra: Kunyet (Aceh), Hunik (Batak), Undre (Nias)
Jawa: Kunyir, Koneng (Sunda), Kunir (Jawa)
Kalimantan: Kunit, Janar (Banjar), Cahang (Dayak)
Sulawesi: Kuni (Toraja), Kunyi (Makasar)
Irian: Rame, Mingguai

 Habitat
Tumbuh diladang dan dihutan, terutama di hutan jati. Banyak juga ditanam di
pekarangan. Dapat tumbuh didataran rendah sampai ketinggian 2000 m dpl.

 Bagian tanaman yang digunakan


Rimpang

 Khasiat
- Obat tradisional
1. Obat Dalam : panas dalam, diare (disentri), sesak nafas, gusi bengkak,
berak lender, keputihan, haid tidak lancar, mempelancar ASI
2. Obat Luar : gatal–gatal, obat borok (sebagai antiseptik dan antibakteri),
eksim, bengkak, caranya dengan dibakar lalu dihirup atau dapat juga
dikonsumsi dalam bentuk perasan (filtrat)
- Obat Modern
Kurkumin dan minyak atsiri berfungsi untuk pengobatan hepatitis,
antioksidan, antimikroba (broad spectrum), anti kolesterol, anti HIV, anti
tumor (karena mengandung apostosis untuk hormone dependent and
independent dan dose–independent), anti invasi, anti rheumatoid arthritis
(rematik), diabetes mellitus, tifus, usus buntu, amandel. (Syamsuhidayat dan
Hutapea, 1991).

3.1.4 Kandungan Kimia

Kunyit mengandung senyawa yang berkhasiat obat, yang disebut


kurkuminoid yang terdiri dari kurkumin , desmetoksikumin sebanyak 10% dan
bisdesmetoksikurkumin sebanyak 1-5% dan zat- zat bermanfaat lainnya seperti
minyak atsiri yang terdiri dari Keton sesquiterpen, turmeron, tumeon 60%,
Zingiberen 25%, felandren , sabinen , borneol dan sineil. Kunyit juga
mengandung Lemaksebanyak 1 -3%, Karbohidrat sebanyak 3%, Protein 30%, Pati
8%, Vitamin C 45-55%, dan garam-garam mineral, yaitu zat besi, fosfor, dan
kalsium. Dari ketiga senyawa kurkuminoid tersebut, kurkumin merupakan
komponen terbesar. Sering kadar total kurkuminoid dihitung sebagai % kurkumin,
karena kandungan kurkumin paling besar dibanding komponen kurkuminoid
lainnya. Karena alasan tersebut beberapa penelitian baik fitokimia maupun
farmakologi lebih ditekankan pada kurkumin. (Sumiati , 2004).

Rimpang kunyit mengandung 28% glukosa, 12% fruktosa, 8% protein,


vitamin C dan mineral kandungan kalium dalam rimpang kunyit cukup tinggi
(Rismunandar, 1998), 1,3-5,5% minyak atsiri yang terdiri 60% keton seskuiterpen,
25% zingiberina dan 25% kurkumin berserta turunannya. Keton Seskuiterpen
yang terdapat dalam rimpang kunyit adalah tumeron dan antumeron, sedangkan
kurkumin dalam rimpang kunyit meliputi kurkumin (diferuloilmetana),
dimetoksikurkumin (hidroksisinamoil feruloilmetan), dan bisdemetoksi-kurkumin
(hidroksisinamoil metana) (Stahl, 1985).

3.1.5 Metabolit Sekunder

Kurkumin merupakan salah satu produk senyawa metabolit sekunder dari


tanaman Zingiberaceae, khusunya kunyit dan temulawak yang telah dimanfaatkan
dalam industry farmasi, makanan, farfum dan lain-lain (Joe et al. 2004). Senyawa
kurkumin ini, seperti halnya senyawa kimia lain seperti antibiotic, alkaloid,
steroid, minyak atsiri, resin, fenol yang merupakan hasil dari metabolit sekunder
suatu tanaman (Indrayanto, 1987).

Kurkominoid adalah sekelompok senyawa fenolik yang terkandung dalam


rimpang tanaman family Zingiberaceae antara lain: Curcuma longa syn. Curcuma
domestica (kunyit) dan Curcuma xanthorhiza (temulawak). Kurkumanoid
bermanfaat untuk mencegah timbulnya infksi berbagai penyakit. Kandungan
utama dari kurkumanoid adalah kurkumin yang berwarna kuning. Kandungan
kurkumin di dalam kunyit berkisar 3-4% Kurkumin tidak dapat larut dalam air
tetapi dapat larut dalam etanol dan aseton (Joe et al, 2004).

Metabolit sekunder seperti kurkumin dari tanaman kunyit dan temulawak


dapat dibentuk dengan cara menginduksi jaringan tanaman pada media yang
mengandung zat pengatur tumbuh untuk membentuk kalus. Kalus berasal dari
potongan organ yang telah steril dalam media yang telah mengadung auksin dan
kadangkala sitokinin. Kalus selanjutnya diperbanyak dengan cara kultur kalus
ataupun suspensi dan dapat juga menggunakan elisitor dalam fermentor atau
bioreactor, contohnya ginseng (Furaya, 1982).

Senyawa metabolit sekunder melalui kultur jaringan dapat diisolasi dari


kalus atau sel. Kandungannya dapat ditingkatkan melalui seleksi bahan tanaman
atau jaringan, tingkat pertumbuhan tanaman, pemakaian zat pengatur tumbuh dan
prekusor, pemakaian mutagen baik secara fisik maupun kimia serta manipulasi
faktor lingkungan. Kalus sebagai bahan senyawa sekunder dan produk lainnya
dapat dipacu pembentukan dan pertumbuhannya dengan pemakaian zat pengatur
tumbuh 2,4D, NAA, dan sering pula direkombinasikan dengan sitokinin.
Adakalanya, kombinasi auksin dengan sitokinin selain slain dapat merangsang
proses pembelahan sel juga mempengaruhi kandungan senyawa sekundernya.
Hasil penelitian Staba (1976) mendapatkan peningkatan kandungan diosgenin
dengan penggunaan 2,4D pada tanaman Dioscarea deltoidea (Furaya, 1982).

Senyawa metabolit sekunder dari tanaman kunyit dan temulawak berada


pada rimpangnya. Salah satu kandungannya metabolit sekunder yaitu kurkumin
sebanyak 3-4%. Kurkumoanoid merupakan senyawa fenolik yang bermanfaat
untuk mencegah timbulnya infeksi berbagai penyakit. (Harborne, 1996).

3.1.6 Stuktur Kurkumin

Gambar 3.3 Struktur dari Kurkumin.

Curcumin (1,7-bis(4′ hidroksi-3 metoksifenil)-1,6 heptadien, 3,5-dion


merupakan komponen penting dari Curcuma longa Linn. yang memberikan warna
kuning yang khas. Curcumin termasuk golongan senyawa polifenol dengan
struktur kimia mirip asam ferulat yang banyak digunakan sebagai penguat rasa
pada industri makanan. Serbuk kering rhizome (turmerik) mengandung 3-5%
Curcumin dan dua senyawa derivatnya dalam jumlah yang kecil yaitu desmetoksi
kurkumin dan bisdesmetoksikurkumin, yang ketiganya sering disebut sebagai
kurkuminoid. Curcumin tidak larut dalam air tetapi larut dalam etanol atau
dimetilsulfoksida (DMSO). Degradasi Curcumin tergantung pada pH dan
berlangsung lebih cepat pada kondisi netral-basa. Curcumin dapat mengganggu
siklus sel kanker paru A549 dan menekan pertumbuhan sel. Efek penekanan
tergantung pada konsentrasi. Efek tidak hanya bergantung dari sitotoksik
nonspesifik, tetapi juga dari induksi apoptosis (Aggarwal et al., 2006).

3.2 Ekstraksi

Ekstraksi adalah proses penyarian zat-zat berkhasiat atau zat-zat aktif dan
bagian tumbuhan obat, hewan dan beberapa jenis ikan termasuk biota laut. Zat-zat
aktif tersebut terdapat di dalam sel, namun sel tumbuhan dan hewan memiliki
perbedaan begitu pula ketebalannya sehingga diperlukan metode ekstraksi dan
pelarut tertentu untuk mengekstraksinya ( Tobo F, 2001).

Ekstraksi digunakan untuk memisahkan senyawa yang mempunyai


kelarutan berbeda-beda dalam berbagai pelarut. Seringkali senyawa yang hendak
diekstraksi diubah secara kimia terlebih dahulu agar larut dalam air atau pelarut
organik. Sebagai contoh, pada ekstraksi cair-cair sering digunakan dua zat cair
yang tidak saling melarutkan seperti larutan air dan pelarut organik untuk
melakukan estraksi. Corong pisah beserta krannya sangat berguna untuk
memisahkan dua zat cair yang tidak saling melarutkan tersebut (Stephen, 1996).

Berdasarkan bentuk campuran yang diekstraksi, suatu ekstraksi dibedakan


menjadi :

1. Ekstraksi padat-cair (ekstraksi soxhlet)


zat yang diekstraksi pada ekstraksi padat-cair yaitu zat terdapat di
dalam campuran yang berbentuk padatan. Ekstraksi jenis ini banyak
dilakukan di dalam usaha mengisolasi zat berkhasiat yang terkandung di
dalam bahan alam seperti steroid, hormon, antibiotika dan lipida pada biji-
bijian (Yazid ,2005).

Ekstraksi padat cair digunakan untuk memisahkan analit yang terdapat


pada padatan menggunakan pelarut organik. Padatan yang akan diekstrak
dilembutkan terlebih dahulu, dapat dengan cara ditumbuk atau dapat juga
diiris-iris menjadi bagian yang tipis-tipis. Kemudian padatan yang telah halus
dibungkus dengan kertas saring. Padatan yang telah terbungkus kertas saring
dimasukkan ke dalam alat ekstraksi soxhlet. Pelarut organik dimasukkan ke
dalam pelarut godog. Kemudian peralatan ekstraksi dirangkai dengan
menggunakan pendingin air. Ekstraksi dilakukan dengan memanaskan pelarut
organik sampai semua analit terekstrak (khamidinal, 2009 : 139-140).

Alat yang digunakan pada ekstraksi padat-cair, yaitu :

2. Ekstraksi cair-cair;
zat yang diekstraksi pada ekstraksi cair-cair yaitu zat terdapat di
dalam campuran yang berbentuk cair. Ekstraksi cair-cair sering juga disebut
ekstraksi pelarut banyak dilakukan untuk memisahkan zat seperti iod atau
logam-logam tertentu dalam larutan air (Yazid, 2005).
Ekstraksi cairan-cairan merupakan suatu teknik dalam suatu larutan
(biasanya dalam air) dibuat bersentuhan dengan suatu pelarut kedua (biasanya
organik), yang pada dasarnya tidak saling bercampur dan menimbulkan
perpindahan satu atau lebih zat terlarut (solut) ke dalam pelarut kedua itu.
Pemisahan itu dapat dilakukan dengan mengocok-ngocok larutan dalam
sebuah corong pemisah selama beberapa menit (Shevla, 1985).

Ekstraksi cair-cair digunakan untuk memisahkan senyawa atas dasar


perbedaan kelarutan pada dua jenis pelarut yang berbeda yang tidak saling
bercampur. Jika analit berada dalam pelarut anorganik, maka pelarut yang
digunakan adalah pelarut organik, dan sebaliknya (khopkar, 1990 : 87).

Pada metode ekstraksi cair-cair, ekstraksi dapat dilakukan dengan cara


bertahap (batch) atau dengan cara kontinyu. Cara paling sederhana dan
banyak dilakukan adalah ekstraksi bertahap. Tekniknya cukup dengan
menambahkan pelarut pengekstrak yang tidak bercampur dengan pelarut
pertama melalui corong pemisah, kemudian dilakukan pengocokan sampai
terjadi kesetimbangan konsentrasi solut pada kedua pelarut. Setelah
didiamkan beberapa saat akan terbentuk dua lapisan dan lapisan yang berada
di bawah dengan kerapatan lebih besar dapat dipisahkan untuk dilakukan
analisis selanjutnya (khopkar, 1990 : 87).

Ekstraksi cair-cair selalu terdiri atas sedikitnya dua tahap, yaitu


pencampuran secara intensif bahan ekstraksi dengan pelarut dan pemisahan
kedua fasa cair itu sesempurna mungkin. Pada saat pencampuran terjadi
perpindahan massa, yaitu ekstrak meninggalkan pelarut yang pertarna (media
pembawa) dan masuk ke dalam pelarut kedua (media ekstraksi). Sebagai
syarat ekstraksi ini, bahan ekstraksi dan pelarut tidak saling melarut (atau
hanya dalam daerah yang sempit). Agar terjadi perpindahan masa yang baik
yang berarti performansi ekstraksi yang besar haruslah diusahakan agar
terjadi bidang kontak yang seluas mungkin di antara kedua cairan tersebut.
Untuk itu salah satu cairan distribusikan menjadi tetes-tetes kecil misalnya
dengan bantuan perkakas pengaduk (Abdul Rohman, 2007 : 49-50).
Kebanyakan prosedur ekstraksi cair-cair melibatkan ekstraksi analit
dari fasa air kedalam pelarut organic yang bersifat non-polar atau agak polar
seperti n-heksana, metil benzene atau diklorometana.Meskipun demikian,
proses sebaliknya juga mungkin terjadi.Analit-analit yang mudah tereksitasi
dalam pelarut organic adalah molekul-molekul netral yang berikatan secara
kovalen dengan konstituen yang bersifat non-polar atau agak polar (Abdul
Rohman, 2007 : 46).
Alat yang digunakan pada ekstraksi cair-cair, yaitu :

3. Ekstraksi Fase Padat (Solid Phase Extraction)

Jika dibandingkan dengan ekstraksi cair-cair, SPE merupakan teknik


yang relative baru, akan tetapi SPE cepat berkembang sebagai alat yang utama
untuk praperlakuan sampel atau untuk clean-up sampel-sampel kotor, misalnya
sampel-sampel yang mempunyai kandungan matriks yang tinggi seperti garam-
garam, protein, polimer, resin dan lain-lain. Keunggulan SPE dibandingkan
dengan ekstraksi cair-cair adalah (Abdul Rohman, 2007 : 52).

Ekstraksi digunakan untuk memisahkan senyawa yang mempunyai


kelarutan berbeda-beda dalam berbagai pelarut. Seringkali senyawa yang hendak
diekstraksi diubah secara kimia terlebih dahulu agar larut dalam air atau pelarut
organik. Sebagai contoh, pada ekstraksi cair-cair sering digunakan dua zat cair
yang tidak saling melarutkan seperti larutan air dan pelarut organik untuk
melakukan estraksi. Corong pisah beserta krannya sangat berguna untuk
memisahkan dua zat cair yang tidak saling melarutkan tersebut (Stephen, 1996).

 Refluks

Gambar Alat Refluks


Metode Refluks adalah salah satu metode sintesis senyawa anorganik
adalah refluks, metode ini digunakan apabila dalam sintesis tersebut
menggunakan pelarut yang volatil. Pada kondisi ini jika dilakukan pemanasan
biasa maka pelarut akan menguap sebelum reaksi berjalan sampai selesai. Prinsip
dari metode refluks adalah pelarut volatil yang digunakan akan menguap pada
suhu tinggi, namun akan didinginkan dengan kondensor sehingga pelarut yang
tadinya dalam bentuk uap akan mengembun pada kondensor dan turun lagi ke
dalam wadah reaksi sehingga pelarut akan tetap ada selama reaksi berlangsung.
Sedangkan aliran gas N2 diberikan agar tidak ada uap air atau gas oksigen yang
masuk terutama pada senyawa organologam untuk sintesis senyawa anorganik
karena sifatnya reaktif. (Dirjen POM, 1986)
Prinsip kerja pada metode refluks yaitu penarikan komponen kimia yang
dilakukan dengan cara sampel dimasukkan ke dalam labu alas bulat bersama-sama
dengan cairan penyari lalu dipanaskan, uap-uap cairan penyari terkondensasi pada
kondensor bola menjadi molekul-molekul cairan penyari yang akan turun kembali
menuju labu alas bulat, akan menyari kembali sampel yang berada pada labu alas
bulat, demikian seterusnya berlangsung secara berkesinambungan sampai
penyarian sempurna, penggantian pelarut dilakukan sebanyak 3 kali setiap 3-4
jam. Filtrat yang diperoleh dikumpulkan dan dipekatkan (Akhyar,2010).
Kelebihan dari metode refluks adalah digunakan untuk mengekstraksi
sampel-sampel yang mempunyai tekstur kasar, dan tahan pemanasan langsung.
Kekurangan dari metode refluks adalah membutuhkan volume total pelarut yang
besar,dan Sejumlah manipulasi dari operator (Mandiri, 2013).

3.3 Kromatografi

Kromatografi adalah suatu teknik pemisahan molekul berdasarkan


perbedaan pola pergerakan antara fase gerak dan fase diam untuk memisahkan
komponen (berupa molekul) yang berada pada larutan.Molekul yang terlarut
dalam fase gerak, akan melewati kolom yang merupakan fase diam.Molekul yang
memiliki ikatan yang kuat dengan kolom akan cenderung bergerak lebih lambat
dibanding molekul yang berikatan lemah.Dengan ini, berbagai macam tipe
molekul dapat dipisahkan berdasarkan pergerakan pada kolom (Gandjar, 2007).

Kromatografi ada bermacam-macam diantaranya kromatografi kertas,


kromatografi lapis tipis, penukar ion, penyaringan gel dan elektroforesi.
1. Kromatografi Kertas
kromatografi kertas merupakan kromatografi cairan-cairan dimana sebagai
fasa diam adalah lapisan tipis air yang diserap dari lembab udara oleh kertas
jenis fasa cair lainnya dapat digunakan. kromatografi kolom bertujuan untuk
purifikasi dan isolasi komponen dari suatu campurannya. Teknik ini sangat
sederhana. Prinsip dasar kromatografi kertas adalah partisi multiplikatif suatu
senyawa antara dua cairan yang saling tidak bercampur. Jadi partisi suatu
senyawa terjadi antara kompleks selulosa-air dan fasa mobil yang melewatinya
berupa pelarut organik yang sudah dijenuhkan dengan air atau campuran pelarut
(Gandjar, 2007).
Cara melakukannya, ciplikan yang mengandung campuran yang akan
dipisahkan diteteskan/diletakkan pada daerah yang diberi tanda di atas sepotong
kertas saring dimana ia akan meluas membentuk noda yang bulat. Bila noda
telah kering, kertas dimasukkan dalam bejana tertutup yang sesuai dengan satu
ujung, dimana tetesan cuplikan ditempatkan, tercelup dalam pelarut yang
dipilih sebagai fasa bergerak, jangan sampai noda tercelup karena berarti
senyawa yang akan dipisahkan akan terlarut dari kertas (Gandjar, 2007).
Pelarut bergerak melalui serat dari kertas oleh gaya kapiler dan
menggerakkan komponen dari campuran cuplikan pada perbedaan jarak dalam
arah aliran pelarut. Bila permukaan pelarut telah bergerak sampai jarak yang
cukup jauhnya atau setelah waktu yang telah ditentukan, kertas diambil dari
bejana dan kedudukan dari permukaan pelarut diberi tanda dan lembaran kertas
dibiarkan kering. Jika senyawa-senyawa berwarna maka mereka akan terlihat
sebagai pita atau noda yang terpisah. Jika senyawa tidak berwarna harus
dideteksi dengan cara fisika dan kimia. Yaitu dengan menggunakan suatu
pereaksi-pereaksi yang memberikan sebuah warna terhadap beberapa atau
semua dari senyawa-senyawa. Bila daerah dari noda yang terpisah telah
dideteksi, maka perlu mengidentifikasi tiap individu dari senyawa. Metoda
identifikasi yang paling mudah adalah berdasarkan pada kedudukan dari noda
relatif terhadap permukaan pelarut, menggunakan harga Rf (Gandjar, 2007).

2. Kromatografi lapis tipis

Kromatografi lapis tipis (KLT) adalah salah satu metode pemisahan


komponen menggunakan fasa diam berupa plat dengan lapisan bahan adsorben
inert. KLT merupakan salah satu jenis kromatografi analitik. KLT sering
digunakan untuk identifikasi awal, karena banyak keuntungan menggunakan KLT,
di antaranya adalah sederhana dan murah. KLT termasuk dalam kategori
kromatografi planar, selain kromatografi kertas. Kromatografi juga merupakan
analisis cepat yang memerlukan bahan sangat sedikit, baik penyerap maupun
cuplikannya. KLT dapat digunakan untuk memisahkan senyawa – senyawa yang
sifatnya hidrofobik seperti lipida – lipida dan hidrokarbon yang sukar dikerjakan
dengan kromatografi kertas. KLT juga dapat berguna untuk mencari eluen untuk
kromatografi kolom, analisis fraksi yang diperoleh dari kromatografi kolom,
identifikasi senyawa secara kromatografi, dan isolasi senyawa murni skala kecil
(Fessenden,2003)

Sebagai fasa diam dalam KLT berupa serbuk halus dengan ukuran 5 – 50
mikrometer. Serbuk halus ini dapat berupa adsorben penukar ion. Bahan adsorben
sebagai fasa diam dapat digunakan gel, alumina, dan serbuk selulosa. Partikel
silica gel mengandung gugus hidrosil dipermukaannya yang akan membentuk
ikatan hydrogen dengan molekul – molekul polar (J. Marray, 2004).
Pemisahan campuran dengan cara kromatografi didasarkan pada
perbedaan kecepatan merambat antara partikel-partikel zat yang bercampur pada
medium tertentu. Dalam kehidupan sehari-hari pemisahan secara kromatografi
dapat kita temui pada rembesan air pada dinding yang menghasilkan garis-garis
dengan jarak ternentu (J. Marray, 2004).

3. Kromatografi penukar ion


Kromatografi pertukaran ion adalah salah satu teknik pemurnian senyawa
spesifik di dalam larutan campuran. Prinsip utama dalam metode ini didasarkan
pada interaksi muatan positif dan negatif antara molekul spesifik dengan
matriks yang barada di dalam kolom kromatografi metode ini pertama kali
dikembangkan oleh seorang ilmuwan bernama Thompson pada tahun 1850.
Secara umum, teradapat dua jenis kromatografi pertukaran ion, yaitu:
a. Kromatografi pertukaran kation, bila molekul spesifik yang diinginkan
bermuatan positif dan kolom kromatografi yang digunakan bermuatan
negatif.Kolom yang digunakan biasanya berupa matriks dekstran yang
mengandung gugus karboksil (-CH2-CH2-CH2SO3- dan -O-
CH2COO-). Larutan penyangga (buffer) yang digunakan dalam sistem ini
adalah asam sitrat, asam laktat, asam asetat, asam malonat, buffer MES dan
fosfat.
b. kromatografi pertukaran anion, bila molekul spesifik yang diinginkan
bermuatan negatif dan kolom kromatografi yang digunakan bermuatan
positif. Kolom yang digunakan biasanya berupa matriks dekstran yang
mengandung gugus -N+(CH3)3, -N+(C2H5)2H, dan –N+(CH3)3. Larutan
penyangga (buffer) yang digunakan dalam sistem ini adalah N-metil
piperazin, bis-Tris, Tris, dan etanolamin (Yasid, 2005)

4. Kromatografi elektroforesis
Kromatografi elektroforesis menyangkut perbedaan migrasi spesies-
spesies bermuatan dalam suatu larutan di bawah pengaruh dari penggunaan
suatu gradient potensial. Kecepatan migrasi setiap spesies tergantung atas
ukuran, bentuk dan muatan spesiesnya. Metoda elektroforesis merupakan
metoda pemisahan suatu zat berdasarkan perbedaan muatan dan massa melekul
relative dari komponen-komponennya. Pemisahan terjadi karena perbedaan
laju migrasi komponen-komponen bermuatan oleh pengaruh medan listrik
(Stacy, 2003).

5. Kromatografi Gas
Campuran gas dapat dipisahkan dengan kromatografi gas. Fasa stationer
dapat berupa padatan (kromatografi gas-padat) atau cairan (kromatografi gas-
cair). (Alimin, 2007)
Umumnya, untuk kromatografi gas-padat, sejumlah kecil padatan inert
misalnya karbon teraktivasi, alumina teraktivasi, silika gel atau saringan
molekular diisikan ke dalam tabung logam gulung yang panjang (2-10 m) dan
tipis. Fasa mobil adalah gas semacam hidrogen, nitrogen atau argon dan disebut
gas pembawa. Pemisahan gas bertitik didih rendah seperti oksigen, karbon
monoksida dan karbon dioksida dimungkinkan dengan teknik ini (Alimin,
2007).
Metoda ini khususnya sangat baik untuk analisis senyawa organik yang
mudah menguap seperti hidrokarbon dan ester. Analisis minyak mentah dan
minyak atsiri dalam buah telah dengan sukses dilakukan dengan teknik ini
(Alimin, 2007).
Efisiensi pemisahan ditentukan dengan besarnya interaksi antara sampel
dan cairannya. Disarankan untuk mencoba fasa cair standar yang diketahui
efektif untuk berbagai senyawa. Berdasarkan hasil ini, cairan yang lebih khusus
kemudian dapat dipilih. Metoda deteksinya, akan mempengaruhi kesensitifan
teknik ini. Metoda yang dipilih akan bergantung apakah tujuannya analisik atau
preparative (Hendayana, 2006).

3.4 fase gerak dan fase diam


1) Fase diam (Stationary phase) merupakan salah satu komponen yang penting
dalam proses pemisahan dengan kromatografi karena dengan adanya interaksi
dengan fase diamlah terjadi perbedaan waktu retensi (tR) dan terpisahnya
komponen suatu senyawa analit termasuk asam amino. Fase diam dapat
berupa bahan padat atau porous (berpori) dalam bentuk molekul kecil atau
cairan yang umumnya dilapiskan pada padatan pendukung (Hendayana,
2006).
2) Fase gerak (Mobile phase) merupakan pembawa analit (asam amino), dapat
bersifat inert maupun berinteraksi dengan analit tersebut. Fase gerak dapat
berupa bahan cair dan dapat juga berupa gas inert yang umumnya dapat
dipakai sebagai carrier gas senyawa mudah menguap (volatil) (Hendayana,
2006).

3.5 Sifat Adsorben dan Pelarut


Harus memiliki luas permukaan besar internal. Kecepatan adsorbsi akan
semakin bertambah dengan semakin kecilnya ukuran diameter adsorben. Daerah
tersebut harus dapat diakses melalui pori-pori cukup besar untuk mengakui
molekul untuk teradsorpsi. Ini adalah bonus jika pori-pori juga cukup kecil untuk
mengecualikan molekulyang tidak diinginkan untuk menyerap adsorben harus
mampu menjadi mudah diregenerasi adsorben seharusnya tidak mengalami
penuaan yang cepat, yang kehilangan kapasitas serap melalui daur ulang terus-
menerus harus adbsorbent mekanik cukup kuat untuk menahan penanganan
massal dan getaran yang merupakan fitur dari setiap unit industri.Pemilihan
pelarut tergantung dari sifat kelarutannya, akan tetapi lebih baik untuk memilih
suatu pelarut yang tidak tergantung pada kekuatan elusi sehingga zat-zat elusi
yang lebih kuat dapat dicoba. “kekuatan” dari zat elusi adalah daya penyerapan
pada penyerap dalam kolom. (Sawitri, 2008).
Adsorbsi terjadi karena adanya perbedaan potensial antara molekul-
molekul adsorbat dengan permukaan aktif pada pori-pori adsorbent. Gaya tersebut
yang menyebabkan molekul-molekul adsorbate secara difusional terjerap ke
dalam pori-pori adsorbent, dan terikat untuk waktu tertentu. Faktor-faktor yang
mempengaruhi adsorpsi adalah jenis adsorbent, jenis adsorbate, konsentrasi
adsorbate, luas permukaan aktif adsorbent, daya larut adsorbent, dan
kemungkinan terjadinya koadsorbsi pabila terdapat lebih dari satu jenis adsorbat
(Sawitri, 2008).

Proses adsorpsi dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain: (Sawitri, 2008).
a. Sifat Adsorbat
Besarnya adsorpsi zat terlarut tergantung pada kelarutannya pada pelarut.
Kenaikan kelarutan menunjukkan ikatan yang kuat antara zat terlarut dengan
pelarut. Apabila adsorbat memiliki kelarutan yang besar, maka ikatan antara
zat terlarut dan pelarut makin kuat sehingga adsorpsi akan semakin kecil
karena sebelum adsorpsi terjadi diperlukan energi yang besar untuk
memecahkan ikatan zat terlarut dengan pelarut.
b. Konsentrasi Adsorbat
Adsorpsi akan meningkat dengan kenaikan konsentrasi adsorbat. Adsorpsi
akan konstan jika terjadi kesetimbangan antara konsentarasi adsorbat yang
terserap dengan konsentrasi yang tersisa dalam larutan.
c. Sifat Adsorben
Adsorpsi secara umum terjadi pada semua permukaan, namun besarnya
ditentukan oleh luas permukaan adsorben yang kontak dengan adsorbat. Luas
permukaan adsorben sangat berpengaruh terhadap proses adsorpsi. Adsorpsi
merupakan suatu kejadian permukaan sehingga besarnya adsorpsi sebanding
dengan luas permukaan. Semakin banyak permukaan yang kontak dengan
adsorbat maka akan semakin besar pula adsorpsi yang terjadi.
d. Temperatur
Reaksi yang terjadi pada adsorpsi biasanya eksotermis, oleh karena itu
adsorpsi akan besar jika temperatur rendah.
e. Waktu Kontak dan Pengocokan
Waktu kontak yang cukup diperlukan untuk mencapai kesetimbangan
adsorpsi. Jika fasa cair berisi adsorben diam, maka difusi adsorbat melalui
permukaan adsorben akan lambat. Oleh karena itu, diperlukan pengocokan
untuk mempercepat proses adsorpsi.
f. pH (Derajat Keasaman)
Untuk asam-asam organik adsorpsi akan meningkat bila pH diturunkan
dengan penambahan asam-asam mineral. Hal ini disebabkan karena
kemampuan asam mineral untuk mengurangi ionisasi asam organik tersebut,
sebaliknya bila pH asam organik dinaikkan yaitu dengan menambahkan alkali,
adsorpsi akan berkurang sebagai akibat terbentuknya garam.

Berdasarkan sifatnya, adsorpsi dapat digolongkan menjadi adsorpsi fisik


dan kimia. Adsorpsi fisik adalah adsorpsi yang melibatkan gaya intermolekul
(gaya Van der Walls dan ikatan hidrogen) antar adsorbat dan substrat (adsorben).
Pada adsorpsi ini adsorbat tidak terikat kuat pada permukaan adsorben sehingga
dapat bergerak dari satu bagian kebagian lain dalam adsorben. Sifat adsorpsinya
adalah reversible yaitu dapat dilepaskan kembali dengan adanya penurunan
konsentrasi larutan dan membentuk lapisan multilayer. Adsorpsi kimia adalah
adsorpsi yang melibatkan ikatan kovalen. Ikatan tersebut terjadi sebagai hasil dari
pemakaian bersama elektron oleh adsorben dan adsorbat. Dalam adsorpsi kimia
partikel melekat pada permukaan dengan membentuk ikatan kimia yaitu ikatan
kovalen. Sifat adsorpsinya adalah irreversible dan membentuk lapisan monolayer
(Sawitri, 2008).

Nilai Rf sangat karakterisitik untuk senyawa tertentu pada eluen tertentu.


Hal tersebut dapat digunakan untuk mengidentifikasi adanya perbedaan senyawa
dalam sampel. Senyawa yang mempunyai Rf lebih besar berarti mempunyai
kepolaran yang rendah, begitu juga sebaliknya. Hal tersebut dikarenakan fasa
diam bersifat polar. Senyawa yang lebih polar akan tertahan kuat pada fasa diam,
sehingga menghasilkan nilai Rf yang rendah. Rf KLT yang bagus berkisar antara
0,2 - 0,8. Jika Rf terlalu tinggi, yang harus dilakukan adalah mengurangi
kepolaran eluen, dan sebaliknya (Gandjar,2007).

IV. Alat dan Bahan


Alat yang digunakan pada percobaan kali ini adalah Batang pengaduk,
Chamber, gelas kimia, kromatografi kolom, lampu UV, pemanas, pipa kapiler, plat
KLT, plat KLT preparative, rak tabung reaksi, Rotary Evaporator, saringan
vakum, timbangan, dan tabung reaksi

Bahan yang digunakan pada percobaan kali ini adalah Diklorometana,


Kertas perkamen, Kertas saring Buchner, n- heksana, Metanol, Silika Gel, dan
Rimpang kunyit.

V. Prosedur
Disiapkan alat dan bahan yang besih dan diusahakan dalam keadaan
kering. Rimpang kunyit ditimbang sebanyak 20 gram lalu dimasukkan
kedalam labu bundar alat refluks dan ditambahkan 50 mL Diklorometana
kemudian dinyalakan alat dan dilakukan refluks selama 1 jam. Hasil refluks
disaring sehingga didapatkan destilat larutan kuning. Larutan kuning tersebut
dimasukkan kedalam labu bundar alat rotary evaporator dan ditambahkan
larutan aseton sebanyak 20 mL. Larutan tersebut diuapkan pelarutnya hingga
terbentuk padatan. padatan yang didapatkan lalu dianalisis dengan cara
menotolkan pada plat KLT dan dielusikan menggunakan eluen Diklorometana
dan metanol dengan perbandingan 99:1.
Untuk kromatografi kolom dibuat bubur silika terlebih dahulu dengan cara
±15 gram silika padat dicampurkan dengan larutan eluen dimana eluen yang
digunakan adalah Diklorometana dan metanol dengan perbandingan 9:1
sebanyak 200 mL. silika padat yang telah dicampurkan dengan eluen akan
membentuk massa bubur, lalu dimasukkan kedalam kolom yang terlebih
dahulu telah dimasukkan sedikit kapas berlemak. Bubur silika dimasukkan
setinggi 15-20 cm, lalu hasil ekstrak kasar dimasukkan dengan cara ditetesi
pada bagian atas kolom sampai komponen pertama habis. Hasil fraksi
ditampung sebanyak 10 tabung lalu hasil fraksi diuji menggunakan KLT.
HItung nilai Rf antara kesepuluh tabung.
Untuk kromatografi lapis tipis preparatif disiapkan ekstrak asar yang telah
dilarutkan dalam eluen lalu ditotolkan memanjang membentuk pita pata
sebuah plat KLT preparatif. Eluen yang digunakan diklorometana dan metanol
dengan perbandingan 9:1 lalu dielusikan sampai tanda batas. Setelah itu hasil
yang didapatkan dilihat dibawah lampu UV.

VI. Hasil Pengamatan


4.1 Kromatografi Kolom Ekstrak Kunyit
Bobot Rimpang Kunyit yang digunakan : 20 gram
Volume Diklometana : 150 mL
4.2 Kromatografi Kolom Ekstrak Kunyit
Hasil ekstraksi kunyit didapatkan bobot kristal kurkumin.
Bobot labu kosong : 102,44 gram
Bobot labu + kristal : 103,20 gram
Bobot kristal = 103,20 – 102,44 = 0,76 gram

% Rendemen =

Hasil ekstraksi di lakukan KLT sehingga didapatkan data sebagai berikut :


Panjang bercak 1 : 1,1 cm
Panjang bercak 2 : 1,5 cm
Panjang bercak 3 : 2,5 cm
Jarak elusi eluen : 4,5 cm

Rf1 =

Rf2 =

Rf3 =

4.3 Kromatografi Kolom Ekstrak Kunyit


Bobot silika gel yang digunakan : 15 gram
Dibutuhkan eluen sebanyak 100 mL dengan perbandingan Diklorometana :

Metanol = 99 : 1
Volume Diklorometana :

Volume Metanol :

4.4 KLT Hasil Fraksinasi.


Nilai Rf tabung 1

Bercak 1 =

Nilai Rf tabung 2

Bercak 1 =

Bercak 2 =

Bercak 3 =

Nilai Rf tabung 3

Bercak 1 =

Bercak 2 =

Bercak 3 =

Nilai Rf tabung 4

Bercak 1 =

Bercak 2 =

Bercak 3 =

Nilai Rf tabung 5

Bercak 1 =

Bercak 2 =

Nilai Rf tabung 6

Bercak 1 =
Nilai Rf tabung 7

Bercak 1 =

Nilai Rf tabung 8

Bercak 1 =

Nilai Rf tabung 9

Bercak 1 =

Gambar hasil Fraksinasi (tabung 1-9):

4.5 Hasil KLT Preparatif

VII. Pembahasan

Pada praktikum kali ini dilakukan isolasi senyawa kurkumin yang


terkandung didalam kunyit (Curcuma Longa Linn.). Tahap isolasi yang dilakukan
yaitu menggunakan ekstraksi refluks dimana prinsip dari alat refluks adalah
pelarut volatil yang digunakan akan menguap pada suhu tinggi, namun akan
didinginkan dengan kondensor sehingga pelarut yang tadinya dalam bentuk uap
akan mengembun pada kondensor dan turun lagi ke dalam wadah reaksi sehingga
pelarut akan tetap ada selama reaksi berlangsung. Rimpang kunyit diambil
sebanyak 20 gram lalu ditambahkan diklorometana sebanyak 50 mL, dan
dimasukkan kedalam labu bundar. Penambahan diklorometana pada rimpang
kunyit ini memiliki tujuan untuk melarutkan senyawa yang akan diuji yaitu
kurkumin, dimana senyawa kurkumin memiliki sifat yang non-polar. Proses
ekstraksi yang dilakukan yaitu dengan menggunakan metode refluks dimana
proses ekstraksi ini di bantu dengan adanya pemanasan. Metode refluks dipilih
karena metode ini cocok untuk kunyit dimana kunyit adalah senyawa yang
memiliki tekstur kasar dan termolabil, serta proses ekstraksi tidak membutuhkan
waktu yang sangat lama. Tidak lupa kedalam labu bundar ditambahkan batu didih
dengan tujuan agar tidak terjadinya percikan atau bumping. Hasil yang didapatkan
setelah selesai proses refluks, selanjutnya disaring untuk diambil filtrat yang
berwarna kekuningan sedangkan ampas atau rimpang kunyit yang sudah tidak
terpakai dibuang. Filtrat yang didapat selanjutnya dimasukkan kedalam alat rotary
evaporator sampai didapatkan residu berwarna kemerahan yang telah terpisah dari
pelarutnya yaitu diklorometana. Residu yang didapatkan kemudian ditambahkan
aseton, Penambahan aseton pada campuran ini memiliki tujuan untuk
menggumpalkan campuran menjadi padat, memisahkan diri dari pelarut.
Kemudian dihitung nilai rendemen kotor yang didapatkan. rendemen hasil
ekstraksi adalah 3,8 %. Angka yang didapatkan lebih kecil dibandingkan hasil
rendemen pada umunya yang berkisar antara >10%. Faktor ini dapat disebabkan
oleh ukuran partikel dari sampel, sampel yang digunakan berupa rimpang
rajangan, seharusnya rimpang tersebut dihaluskan terlebih dahulu sehingga
ukuran partikel nya lebih kecil dan luas permukaannya lebih besar sehingga
kontak antara sampel dan pelarut akan semakin besar serta pelarut mudah menarik
senyawa didalam sampel dan dapat mempengaruhi nilai rendemen yang
didapatkan.

Hasil dari padatan kemudian diambil sedikit lalu dilarutkan menggunakan


eluen. Larutan tersebut dipersiapkan untuk dilakukan uji Kromatografi Lapis Tipis
dimana eluen yang digunakan adalah CH2Cl2 : MeOH dengan perbandingan 99 : 1
eluen yang digunakan terlebih dahulu dijenuhkan dengan indikator yang
digunakan adalah kertas saring dimana jika kertas saring yang terdapat dalam
chamber telah terbasahi semua maka eluen telah siap digunakan. Larutan yang
akan diuji ditotolkan menggunakan pipa kapiler, lalu dielusikan sampai tanda
batas. Hasil KLT yang didapatkan kemudian dihitung nilai Rf nya, sehinga
didapatkan 3 nilai Rf yaitu Rf1 (0,244), Rf2 (0,333) dan Rf3 (0,556).

Sisa dari hasil padatan tersebut ditambahkan larutan eluen CH 2Cl2 dan
MeOH dengan perbandingan 99:1, dan digunakan sebagai larutan uji. Pada
pengujian ini digunakan metode kromatografi kolom dimana prinsipnya sama
seperti prinsip KLT namun arah elusinya mengikuti gaya gravitasi. Metode
kromatografii kolom digunakan untuk memisahkan senyawa agar didapatkan
senyawa yang lebih sederhana atau fraksinasi. Pada proses kromatografi kolom
terlebih dahulu kolom yang digunakan dikeringkan supaya semua air yang
terkandung atau masih menempel pada kolom telah hilang seluruhnya, karna
kandungan air yang sedikit saja dapat mempengaruhi proses elusi dimana air akan
menepat pada bagian atas dari fase diam. Kolom yang telah siap digunakan
ditambahkan kapas berlemak dengan tujuan menyaring dan menahan penyerap
atau fase diam, namun lebih baik digunakan glass wool. Pada pembuatan fase
diam digunakan cara basah dimana silika dicampurkan terlebih dahulu dengan
eluen sampai membentuk massa seperti bubur, lalu bubur silika dimasukkan
kedalam kolom. Cara basah lebih bagus dibandingkan cara kering karena proses
pembasahan silika membutuhkan waktu lama jika menggunakan cara kering.
Kemudian larutan uji dimasukkan kedalam kolom dengan cara ditetesi di bagian
atas dengan menggunakan pipet tetes. Pada percobaan ini dilakukan penampungan
sebanyak 10 tabung hasil fraksinasi, tiap tabung selanjutnya dilakukan uji KLT.
Hasil KLT dari 10 tabung yang memiliki Rf terbesar adalah pada tabung 1 dimana
Rf nya yaitu (0,889), hal ini menunjukan bahwa tabung 1 adalah tabung yang
paling banyak mengandung kurkumin. Hasil KLT yang didapatkan berbeda-beda
sedangkan proses yang digunakan sama, berarti ada beberapa faktor yang
mempengaruhi nilai Rf yaitu jumlah cuplikan yang digunakan, jenis dan mutu dari
fase diam, banyak sampel yang digunakan dan kemungkinan adanya pengotor.

Prosedur terakhir yaitu hasil padatan yang telah dilarutkan dengan eluen
CH2Cl2 dan MeOH dengan perbandingan 99:1 ditotolkan memanjang diatas KLT
preparatif (KLTP) sehingga membentuk pita. Kemudian dilakukan proses elusi
seperti pengerjaan KLT pada umumnya. Setelah mencapai batas elusi selanjutnya
hasil yang didapat dikeringkan dan dilihat dibawah lampu UV. Prosedur kerja
selanjutnya tidak dilakukan karena keterbatasan waktu sehingga hasil yang
dapatkan hanya berupa foto.

VIII. Kesimpulan
Dari percobaan yang telah dilakukan dapat disimpulkan, bahwa :
1. Senyawa kurkumin dapat diisolasi dari kunyit dengan cara ekstraksi padat
cair cara panas metode refluks dari 20 gram rimpang kunyit kering
menghasilkan rendemen kotor sebesar 3,8%.
2. Pemurnian senyawa kurkumin dengan metode kromatografi kolom
menghasilkan 9 fraksi yang masing-masing memiliki nilai Rf yang
berbeda-beda.
3. Pemurnian senyawa kurkumin dengan metode kromatografi lapis tipis
menghasilkan tiga komponen yang masing-masing memiliki nilai Rf.

IX. Daftar Pustaka

Aggarwal, B. B., Sundaram, C., Malani, N. and H. Ichikawa. (2006). Curcumin:


The Indian Solid Gold.
Alimin, dkk, (2007). Kimia Analitik, Alauddin press : Makasar.

Abdul Rohman, (2007). Kimia Farmasi Analisis. Pustaka Pelajar : Yogyakarta,


hal 49-50.

Akhyar. (2010). Uji Daya Hambat dan Analisis Klt Bioautografi Ekstrak Akar
dan Buah Bakau (Rhizophora stylosa griff.) terhadap vibrio harveyi.
Makassar: Program Studi Farmasi Fakultas Farmasi Universitas
Hasanuddin
Direktorat Jendral Pengawas Obat dan Makanan. (1979). Farmakope Indonesia
Edisi III. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Fessenden R.J dan J.S Fessenden, (2003). Dasar-dasar kimia organik. Erlangga :
Jakarta

Furaya, T., (1982). Production of pharmacologically active principles in plant


tissue culture. Proc.5th Intl.Cong. Plant tissue and Cell Culture. Plant
Tissue Culture.

Gandjar, Ibnu Gholib dan Abdul Rohman, (2007). Kimia Farmasi Analisis.
Pustaka Pelajar : Yogyakarta.
Hendayana, sumar (2006). Kimia Pemisahan. PT. Remaja Rosdakarya : Bandung.

J. Marray, (2004). Kromatigrafi. Balai Pustaka : Jakarta.

Khamidinal, (2009). Teknik Laboratorium Kimia.Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Khopkar, S.M, (1990). Konsep Dasar Kimia Analitik. UI Press : Jakarta.

Stephen D. Bresnick, (1996). High Yield Organic Chemistry, terj. Hadian Kotong,
Intisari Kimia Organik. Hipokrates : Jakarta

Shevla, (1985). Analisis Anorganik Kualitatif Makro dan Semimakro. Cetakan


Pertama. Penerbit PT Kalman Media Pustaka : Jakarta

Stacy, (2003). Kimia Dasar dan Terapan Modern. Erlangga : Jakarta

Syamsuhidayat, Sri Sugati. Hutapea, Johny Ria. (1991). Inventaris Tanaman Obat
Indonesia (1). Jakarta: Bakti Husada
Supardjan, A.M. dan Muhammad Da’I, (2005), Hubungan Struktur dan Aktivitas
Sitotoksik Turunan Kurkumin terhadap Sel Myeloma, Majalah Farmasi

Tobo, F. (2001). Buku Pengangan Laboratorium Fitokimia I. Universitas


Hasanuddin : Makassar.

Yasid (2005). Kromatografi. Erlangga : Semarang.

Yazid Estein (2005). Kimia Fisika paramedis. Andi : Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai