Anda di halaman 1dari 24

AKUNTANSI BERKELANJUTAN

SAP 2

Dosen Pengampu : I Gusti Ayu Nyoman Budiasih, S.E., M.Si

Kelompok II

Mandur Boznai Morin 1306305089

Muhammad Bagas Rinaldi 1707531065

Daffa Fauzan Harahap 1707531082

Bernhard Patria Gomgom 1707530198

FAKULTAS EKONOMI DAN


BISNIS UNIVERSITAS
UDAYANA

1
A. Landasan Pemikiran CSR

Pengertian CSR sudah banyak didefenisikan oleh kelompok tertentu dan para ahli. Namun, tidak
satupun dari mereka yang dapat diterima secara universal. Karena, karena pada dasarnya setiap
orang bisa saja mendefiniskan CSR menurut pandangannya. Meskipun sebenarnya setiap definisi
yang beragam itu memiliki ciri-ciri yang sama terhadap inti dari CSR itu sendiri. Dengan kata lain,
Kendati jenis kata yang digunakan berbeda namun tujuan dan maksud dari kata-kata itu sama.

Berikut definisi CSR menurut beberapa ahli dibidangnya:

1. Menurut Carroll, CSR adalah bentuk kepedulian perusahan terhadap masyarakat sekitar,
meliputi beberapa aspek yaitu aspek ekonomi, hukum, etika serta kontribusi pada isu sosial.

2. World Business Council for sustainable development:

komitmen berkesinambungan dari kalangan bisnis untuk berperilaku etis dan memberi
kontribusi bagi pembangunan ekonomi, seraya meningkatkan kualitas kehidupan karyawan dan
keluarganya, serta komunitas lokal dan masyarakat luas pada umumnya.

3. Commision of the European Communities:

Tanggung jawab sosial perusahaan pada dasarnya adalah sebuah konsep dimana perusahaan
memutuskan secara suka rela untuk memberikan kontribusi demi mewujudkan masyarakat yang
lebih baik dan lingkungan yang lebih bersih.

4. CSR Asia:

Komitmen perusahaan untuk beroperasi secara berkelanjutan berdasarkan prinsip ekonomi,


sosial dan lingkungan, seraya menyeimbangkan beragam kepentingan para pihak yang
berkepentingan.

5. Business for Social Responsibility:

corporate social responsibility (CSR) adalah pencapaian kesuksesan komersil dalam artian
penghargaan terhadap nilai kesusilaan dan penghormatan terhadap manusia, masyarakat dan
lingkungan

2
6. Ethics in Action Awards:

corporate social responsibility (CSR) adalah istilah yang menjelaskan tentang kewajiban
perusahaan yang harus dipertanggungjawabkan kepada para pihak yang berkepentingan
disetiap operasi dan aktivitasnya.

7. Fraderick et al:

corporate social responsibility (CSR) dapat diartikan sebagai prinsip yang menerangkan bahwa
perusahaan harus dapat bertanggungjawab terhadap efek yang berasal dari setiap tindakan
didalam masyarakat maupun lingkungannya.

Dari beberapa penjelasan para ahli di atas dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa CSR itu
merupakan sebuah tindakan atau konsep sosial yang dilakukan oleh sebuah perusahaan untuk
membantu kehidupan termasuk didalamnya lingkungan, ekonomi, dan kesejahteraan masyarakat.
Dengan adanya CSR perusahaan akan lebih mengedepankan sustainability dari pada profitability
perusahaan. Dimana melalui tindakannya itu akan membawa perbaikan pada apa yang dia bantu
dan kelak juga akan membawa dampak fositif pada perusahaan berupa image perusahaan yang
semakin baik di mata masyarakat.

Secara garis besar CSR lebih banyak memiliki dampak positif dari pada dampak negatif. Karena
bagaimanapun juga sesuatu hal yang akan membawa perbaikan dalam hidup (lingkungan, sosial,
ekonomi) adalah sebuah tindakan mulia. Meskipun sebenarnya menolong kehidupan bangsa
sendiri sudah merupakan tanggung jawab semua masyarakat Indonesia. Seperti yang tercakup
dalam UUD 1945 yang menjadi landasan utama berdirinya CSR, yaitu:

• Melindungi segenap warga negara Indonesia

• Mewujudkan kesejahteraan umum

• Mencerdaskan kehidupan bangsa

• Dan ikut melaksanakan ketertiban dunia

Meskipun keempat hal di atas juga disadari oleh sebuah perusahaan. Namun, tetap saja perusahaan
merasa perlu untuk melakukan kegiatan CSR karena CSR juga menjadi sebuah alat ampuh
perusahaan untuk membangun image yang fositif dalam masyarakat. Karena bagaimanapun juga

3
CSR ini juga timbul karena rasa takut perusahaan akan pemberian citra negatif dari masyarakat
karena perusahaan telah mengabaikan mereka dan lingkungannya karena perusahaan lebih
mementingkan hasil produksinya.

Berikut adalah alasan perusahaan menerapkan CSR yaitu:

• Golongan pertama, sekedar basa-basi dan keterpaksaan, artinya CSR dipraktekkan lebih
karena faktor eksternal (external driven), faktor sosial (social driven), faktor lingkungan
(environmental driven) dan faktor reputasi (reputation driven).

• Golongan kedua, dilakukan agar sesuai dengan peraturan (compliance). Artinya CSR ini
diterapkan karena ada regulasi, undang-undang dan peraturan yang mengaturnya.

• Golongan yang ketiga adalah golongan dimana CSR sudah dianggap sebagai budaya kerja
perusahaan. Artinya pada golongan ini, perusahaan sudah mempunyai mindset bahwa
sejalan dengan maksimalisasi profit, kesejahteraan sosial dan lingkungan harus tetap
dikembangkan seiring sejalan. Dalam fase ini CSR sudah tidak lagi dianggap sebagai
keterpaksaan akan tetapi merupakan kebutuhan dengan dasar pemikiran bahwa
menggantungkan perusahaan pada kesehatan finansial saja tidak akan berlangsung lama
jika tidak diimbangi dengan pengembangan sosial dan lingkungan.

Dari ketiga dasar perusahaan melakukan CSR diatas golongan yang paling baik adalah golongan
ketiga. Namun, masih sangat disayangkan karena pada kenyataannya masih banyak perusahaan
yang bertindak pada golongan pertama dan kedua. Banyak dari perusahaan yang melakukan CSR
hanya untuk mendapatkan reputasi dan terikat dengan peraturan pemerintah yang memberi
kewajiban kepada Perseroan Terbatas untuk membantu kehidupan masyarakat sekitarnya.
Kewajiban itu tertuang dalam Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007 pasal 27 ayat (1) dimana
Undang-Undang ini menegaskan bahwa “Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya
dibidang dan atau berkaitan dengan sumber daya alam, wajib melaksanakan tanggung jawab sosial
dan lingkungan.

Undang-Undang nomor 40 di atas tidak bermaksud memaksa perusahaan untuk membagikan


keuntungannya. Dimana pemerintah hanya mengajak perusahaan untuk memperhatikan dunia
sekitarnya. Seperti juga yang terlangsir dalam Pasal 74 UUPT, CSR memliki defenisi yaitu sebagai
komitmen perseroan untuk berperan serta dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna

4
meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat, karena hal itu juga akan
berdampak baik bagi perseroan sendiri.

Pasal-pasal lain yang menjadi landasaran CSR adalah Pasal 74 ayat (1). UU No 25 Tahun 2007
tentang Penanaman Modal. Pasal 15 (b) menyatakan bahwa ”Setiap penanam modal berkewajiban
melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan.” Undang-Undang No 19 Tahun 2003 tentang
BUMN. UU ini kemudiaan dijabarkan lebih jauh oleh Peraturan Menteri Negara BUMN No 4
Tahun 2007. Semua Undang-Undang itu meminta tanggung jawab perusahaan.

B. Sejarah CSR

CSR untuk pertama kali lahir di Amerika. Seiring berjalannya waktu CSR pun merambah hingga
ke Indonesia. Dibawah ini akan dijelaskan alur munculnya atau jalan cerita lahirnya CSR di dunia
dan Indonesia.

1. Sejarah CSR dunia

Sejarah CSR dunia terbagi atas beberapa fase. Untuk fase pertama pertanggungjawaban sosial
perusahaan kepada masyarakat bermula di Amerika Serikat sekitar tahun 1900 atau lebih
dikenal sebagai permulaan abad ke-19. Pada waktu itu Amerika sedang dalam pertumbuhan
yang begitu pesat, ditandai dengan banyaknya perusahaan-perusahaan raksasa yang muncul dan
hidup berdampingan dengan masyarakat. Pasa saat itu, banyak perusahaan besar
menyalahgunakan kuasa mereka dalam hal diskriminasi harga, menahan buruh dan prilaku
lainya yang menyalahi moral kemanusiaan. Dengan katalain, banyak perusahaan yang berbuat
semena-mena terhadap masyarakat. Hal itu jelas membuat emosi masyarakat.

Emosi yang meluap membuat masyarakat melakukan aksi protes. Menanggapi hal itu,
pemerintah Amerika Serikatpun melakukan perubahan peraturan perusahaan untuk mengatasi
masalah tersebut. Dimana perusahaan harus bertindak adil dan menghargai masyarakat. Gaji
buruh harus dikeluarkan dan tidak ada diskriminasi harga kepada masyarakat Amerika.

Fase kedua evolusi munculnya CSR tercetus pada tahun 1930-an. Dimana pada waktu ini
banyak protes yang muncul dari masyarakat akibat ulah perusahaan yang tidak mempedulikan
masyarakat sekitarnya. Segala sesuatu hanya diketahui oleh perusahaan. Ditambah kenyataan
bahwa pada saat itu telah terjadi resesi dunia secara besar-besaran yang mengakibatkan

5
pengangguran dan banyak perusahaan yang bangkrut. Pada masa ini dunia berhadapan dengan
kekurangan modal untuk input produksinya. Buruh terpaksa berhenti bekerja, pengangguran
sangat meluas dan merugikan pekerjannya. Saat itu timbul ketidakpuasan terhadap sikap
perusahaan yang tidak bertanggung jawab terhadap pekerjanya karena perusahaan hanya diam
dan tidak bisa berbuat apa-apa. Menurut masyarakat pada masa ini perusahaan sama sekali tidak
memiliki tanggung jawab moral. Menyadari kemarahan masyarakat muncul beberapa
perusahaan yang meminta maaf kepada masyarakat dan memberi beberapa jaminan kepada para
karyawannya yang dipecat.

Sesuatu yang menarik dari kedua fase ini adalah belum dikenalnya istilah CSR. Meskipun
upaya perusahaan untuk memperhatikan masyarakat sekitarnya sudah jelas terlihat. Namun
usaha itu lebih dikenal sebatas tanggung jawab moral. Sedangkan untuk sejarah awal
penggunaan istilah CSR itu dimulai pada tahun 1970an. Pada saat ini banyak perusahaan yang
memberikan bantuan kepada masyarakat baik berupa bantuan bencana alam, tunjangan dll.

Ketenaran istilah CSR semakin menjadi ketika buku Cannibals With Forks: The Triple Bottom
Line in 21st Century Business (1998) terbit dipasaran. Buku ini adalah karangan John
Elkington. Didalam buku ini ia mengembangkan tiga komponen penting sustainable
development, yakni economic growth, environmental protection, dan social equity, yang
digagas the World Commission on Environment and Development (WCED). dalam Brundtland
Report (1987), Elkington mengemas CSR ke dalam tiga fokus yang senagja ia singkat menjadi
3P yaitu singkatan dari profit, planet dan people.

Di dalam bukunya itu ia menjelaskan bahwa Perusahaan yang baik tidak hanya memburu
keuntungan ekonomi belaka (profit). Melainkan pula memiliki kepedulian terhadap kelestarian
lingkungan (planet) dan kesejahteraan masyarakat (people). Menurut Elkington, sebuah
perusahaan tidak akan pernah menjadi besar jika lingkungan dan masyarakat tidak mendukung.
Bisa dibayangkan jika lingkungannya rusak, maka tidak akan terjadi arus komunikasi dan
transportasi yang bagus untuk kelancaran usaha perusahaan.

2. Sejarah CSR Indonesia

Di Indonesia, istilah CSR dikenal pada tahun 1980-an. Namun semakin populer digunakan
sejak tahun 1990-an. Sama seperti sejarah munculnya CSR didunia dimana istilah CSR muncul

6
ketika kegiatan CSR sebenarnya telah terjadi. Di Indonesia, kegiatan CSR ini sebenarnya sudah
dilakukan perusahaan bertahun-tahun lamanya. Namun pada saat itu kegiatan CSR Indonesia
dikenal dengan nama CSA (Corporate Social Activity) atau “aktivitas sosial perusahaan”.
Kegiatan CSA ini dapat dikatakan sama dengan CSR karena konsep dan pola pikir yang
digunakan hampir sama.

Layaknya CSR, CSA ini juga berusaha merepresentasikan bentuk “peran serta” dan
“kepedulian” perusahaan terhadap aspek sosial dan lingkungan.misalnya, bantuan bencana
alam, pembagian Tunjangan Hari Raya (THR), beasiswa dll. Melalui konsep investasi sosial
perusahaan “seat belt”, yang dibangun pada tahun 2000-an. sejak tahun 2003 Departemen
Sosial tercatat sebagai lembaga pemerintah yang selalu aktif dalam mengembangkan konsep
CSR dan melakukan advokasi kepada berbagai perusahaan nasional. Dalam hal ini departemen
sosial merupakan pelaku awal kegiatan CSR di Indonesia.

Selang beberapa waktu setelah itu, pemerintah mengimbau kepada pemilik perusahaan untuk
memperhatikan lingkungan sekitarnya. Namun, ini hanya sebatas imbauan karena belum ada
peraturan yang mengikat. Sejatinya pemerintah menegaskan bahwa yang perlu diperhatikan
perusahaan bukan hanya sebatas stakeholders atau para pemegang saham. Melainkan
stakeholders, yakni pihak-pihak yang berkepentingan terhadap eksistensi perusahaan.
Stakeholders dapat mencakup karyawan dan keluarganya, pelanggan, pemasok, masyarakat
sekitar perusahaan, lembaga-lembaga swadaya masyarakat, lingkungan, media massa dan
pemerintah.

Setelah tahun 2007 tepatnya Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang kewajiban
Perseroan Terbatas keluar, hampir semua perusahaan Indonesia telah melakukan program CSR,
meski lagi-lagi kegiatan itu masih berlangsung pada tahap cari popularitas dan keterikatan
peraturan pemerintah. Misalnya, masih banyak perusahaan yang jika memberikan bantuan
maka sang penerima bantuan harus menempel poster perusahaan ditempatnya sebagai tanda
bahwa ia telah menerima bantuan dari perusahaan tersebut. Jika sebuah perusahaan membantu
masyarat secara ikhlas maka penempelan poster-poster itu terasa berlebihan.

7
Sejarah Perkembangan dan Pengertian CSR

Darwin (2006) menyebutkan bahwa sejak abad ke 15, perusahaan sudah menghadapi tekanan
dari dua sisi yaitu tekanan untuk mencetak laba dari sisi pemilik dan tuntutan untuk memenuhi
fungsi sosial dari sisi masyarakat. Sebagai contoh, bisnis yang dilakukan ke mancanegara
(dengan menggunakan armada pelayaran) oleh bangsa Portugis, Belanda, Spanyol dan Inggris
dikecam karena banyak kegiatan operasinya yang melanggar HAM, perdagangan budak dicela
habis-habisan dan mendapat perlawanan keras, perdagangan yang dilakukan oleh VOC dinilai
telah merampas hak-hak rakyat lokal, perlakuan yang jelek terhadap kondisi dan kesejahteraan
kaum buruh di Inggris pada abad ke 19 telah memicu terjadinya pergolakan kaum buruh di
beberapa kota industri di Inggris.

Jadi tuntutan terhadap CSR dalam bentuk sederhana sudah muncul sejak 5 abad yang silam.
Sedangkan perkembangan CSR secara konseptual baru mulai dikemas sejak tahun 1980-an
yang sedikitnya dipicu oleh 5 (lima) variabel berikut : (1) Maraknya fenomena “take over” antar
korporasi yang kerap dipicu oleh keterampilan rekayasa finansial. (2) Runtuhnya tembok Berlin
yang merupakan simbol tumbangnya paham komunis dan semakin kokohnya imperium
kapitalisme secara global. (3) Meluasnya operasi perusahaan multi nasional, termasuk di
Indonesia yang dituntut untuk memperhatikan HAM, kondisi sosial dan perlakukan yang adil
terhadap buruh, persis sama dengan yang terjadi pada waktu revolusi industri dua abad yang
lalu. (4) Globalisasi dan menciutnya peran sektor publik (pemerintah) hampir diseluruh dunia
telah menyebabkan tumbuhnya LSM (termasuk asosiasi profesi) yang memusatkan perhatian
mulai dari isu kemiskinan sampai pada kekuatiran akan punahnya berbagai spesies baik hewan
maupun tumbuhan sehingga ekosistem semakin labil. (5) Adanya kesadaran dari sektor
korporasi akan arti penting merk dan reputasi korporat dalam membawa perusahaan menuju
bisnis berkelanjutan. Semakin signifikan merk bagi suatu perusahaan, dengan menggunakan
CSR, akan semakin kokoh pertahanan terhadap serangan atas reputasi perusahaan.

Sedangkan Martani (2006) menjelaskan, secara philosophy, konsep CSR dapat dikategorikan
dalam tiga paradigma; Pristine Capitalist, Enlightenend Self-Interest dan Social Contract.
Pandangan yang pertama merupakan perwakilan sistem ekonomi liberal dan kapitalis, dengan
Milton Friedman sebagai tokohnya. Menurut pandangan ini, satu-satunya tanggung jawab
sosial bagi sebuah bisnis adalah menghasilkan keuntungan bagi pemegang saham, untuk

8
tumbuh, berkembang dan melaksanakan efesiensi ekonomi dengan penggunaan sumber daya
sedemikian rupa selama tetap mentaati peraturan yaitu tidak berlaku curang dalam sebuah
sistem kompetisi bebas dan terbuka. Sehingga semua konotasi tanggung jawab sosial diluar
definisi diatas dianggap sebagai penyalahgunaan dana pemegang saham. Di sisi lain Sosial
Contract berpendapat bahwa seluruh perusahaan dapat berusaha dalam perekonomian karena
adanya kontrak sosial (sosial contract) dengan masyarakat dan oleh karenanya bertanggung
jawab atau terikat dengan keingian masyarakat tersebut. Sehingga dalam pandangan kelompok
ini dengan adanya kontrak sosial tersebut perusahaan bertindak sebagai agen moral sehingga
perusahaan harus perusahaan harus memaksimumkan manfaat/keuntungan sosial bagi
masyarakat. Sedangkan Enlightenend Self-Interest berada di sisi pertengahan, dimana menurut
pandangan ini stabilitas dan kemakmuran ekonomi jangka panjang hanya akan dapat dicapai
jika perusahaan juga memasukkan unsur tanggung jawab sosial kepada masyarakat paling tidak
dalam tingkat yang minimal.

Sejak perkembangannya hingga kini konsep dan definisi mengenai CSR pada hakekatnya
senantiasa berubah baik dari sisi akademisi maupun sisi masyarakat bisnis. Dari sisi akademisi,
definisi paling tua mengenai CSR dikemukakan oleh Howard R Bowen (1953) dalam bukunya
“Social Responsibility of The Bussinessman”. CSR berdasarkan Bowen adalah kewajiban dari
seorang pebisnis untuk mengusahakan dan melaksanakan tindakan-tindakan dalam kerangka
tujuan dan nilai-nilai sosial kemasyarakatan. Namun definisi yang dianggap paling utuh adalah
yang diketengahkan oleh Carroll (1979) yang menyatakan idealnya sebuah perusahaan
memiliki empat macam tanggung jawab sosial yaitu ekonomi, hukum, etika dan diskresioner.
Tanggung jawab ekonomi umumnya merupakan urutan teratas sesuai sifat alami perusahaan
adalah bergerak dibidang ekonomi/bisnis. Tetapi masyarakat akan menuntut agar perusahaan
melaksanakan tanggung jawab ekonominya dalam kerangka hukum dan tanggung jawab etika
untuk hal-hal yang berada diluar batasan hukum. Sedangkan tanggung jawab diskresioner
adalah bagian dari aktivitas filantropi perusahaan yang biasanya dilakukan dengan secara
sukarela. Setelah definisi CSR oleh Carroll ini, tidak ada pengembangan lebih lanjut mengenai
definisi dan konsep CSR di bidang akademis. Definisi oleh Carroll ini selanjutnya senantiasa
dijadikan titik awal untuk mengembangkan dan melakukan analisa empiris atas aktivitas dan
kinerja tanggung jawab sosial perusahaan.

9
Lebih lanjut diuraikan bahwa definisi CSR terkadang juga diambil dari sisi kalangan
masyarakat bisnis dan organisasi profesional, misalnya World Business Council for Sustainable
Development (WBCSD), European Commission (EU Commission), dan Business for Social
Responsibility (BSR). Tren pengembangan CSR oleh pihak non akademisi ini dimulai sejak
pertengahan tahun 1990-an. Dimana hal ini terkait dengan perubahan-perubahan yang terjadi
di dunia bisnis secara global, yang mana CSR menjadi isu yang semakin penting bagi
perusahaan untuk menjaga daya saing, kehumasan, perekrutan calon karyawan yang berkualitas
serta mempertahankan loyalitas karyawan yang ada. Menariknya terdapat perbedaan fokus
antara definisi CSR yang dikembangkan oleh akademisi yang cenderung mendefinisikan CSR
berdasarkan type atau karakteristik tertentu, sedangkan kalangan bisnis cenderung
mendefinisikan CSR dalam terminologi operasional dan hal-hal yang terkait dengan itu.
Misalnya definisi CSR menurut WBCSD adalah “business commitment to contribute to
sustainable economic development, working with employees, their families, the local
community, and society at large to improve their quality of life”. Sementara BSR
mendefinisikan “CSR is viewed as a comprehensive set of policies, practices and programs that
are integrated into business operations, supply chains and decision making processes
throughout the company – wherever the company does business – and includes responsibility
for current and past actions as well as future impacts”.

Meskipun definisi CSR dapat berbeda-beda, dan masing-masing perusahan dapat mengangkat
isu yang berbeda-beda untuk kegiatan CSR mereka, Darwin (2006) menyimpulkan bahwa CSR
pada hakekatnya merupakan suatu mekanisme pengintegrasian isu sosial dan isu lingkungan ke
dalam operasi perusahaan, dan kemudian mengkomunikasikannya dengan para stakeholders.
Oleh sebab itu CSR dianggap sebagai rerangka strategi baru untuk meningkatkan daya saing
dan mencapai bisnis berkelanjutan. Dan secara umum isu CSR tersebut mencakup 5 (lima)
komponen pokok yaitu : (1) Hak Azazi Manusia (HAM); bagaimana perusahaan menyikapi
masalah HAM dan strategi serta kebijakan untuk menghindari terjadinya pelanggaran HAM di
perusahaan. (2) Tenaga Kerja (Buruh); bagaimana kondisi tenaga kerja di supply chain atau di
pabrik milik sendiri mulai dari soal sistem penggajian, kesejahteraan hari tua dan keselamatan
kerja, peningkatan keterampilan dan profesionalisme karyawan, sampai pada soal penggunaan
tenaga kerja di bawah umur. (3) Lingkungan Hidup; bagaimana strategi dan kebijakan yang
berhubungan dengan masalah lingkungan hidup. Bagaimana perusahaan mengatasi dampak

10
lingkungan atas produk atau jasa mulai dari pengadaan bahan baku sampai pada masalah
buangan limbah, serta dampak lingkungan yang diakibatkan oleh proses prosuksi dan distribusi
produk. (4) Sosial – Masyarakat; bagaimana strategi dan kebijakan perusahaan dalam bidang
sosial dan pengembangan masyarakat setempat (community development), serta dampak
operasi perusahaan terhadap kondisi sosial dan budaya masyarakat setempat. (5) Dampak
Produk dan Jasa terhadap Pelanggan; apa saja yang dilakukan oleh perusahaan untuk
memastikan bahwa produk dan jasa bebas dari dampak negatif seperti mengganggu kesehatan,
mengancam keamanan dan produk terlarang.

Sekilas Pelaksanaan CSR di Indonesia

Maraknya pelaksanaan CSR dari hampir seluruh sektor industri di Indonesia (terlepas dari
pemaknaan dan kegiatannya mulai dari yang mungkin hanya bersifat filantropi sampai kepada
yang pelaksanaan CSR yang mendekati hakekatnya), merupakan suatu kegiatan positif yang
perlu dihargai dan diapresiasi dengan baik. Tetapi belum banyak perusahaan yang telah
mengungkapkan kegiatan CSR mereka dalam Laporan Tahunan dan hanya beberapa
perusahaan saja yang membuat Laporan CSR secara tersendiri, terpisah dari Laporan
Tahunnan-nya. Berikut disarikan beberapa contoh perusahaan di Indonesia yang telah
melaksanakan dan melaporkan kegiatan CSR perusahaan mereka, baik yang bersifat wajib
(mandatory) maupun yang bersifat sukarela (voluntary).

Salah satu perusahaan pengelola sumber daya alam yang diwajibkan (mandatory) untuk
melaksanakan dan melaporkan kegiatan tanggung jawab sosial dan lingkungan mereka
(perusahaan biasanya menyebut sebagai kegiatan CSR), yang dapat dijadikan contoh adalah PT
Aneka Tambang (Antam). Antam telah melaksanakan dan melaporkan kegiatan tanggung
jawab sosial dan tanggung jawab lingkungan mereka dengan cukup baik. Laporan tersebut
dibuat secara terpisah dari Laporan Tahunan perusahaan, dengan nama Laporan Keberlanjutan
(Sustainability Report). Antam juga memproklamirkan jika mereka telah mengintegrasikan
konsep keberlanjutan ini dalam strategi perusahaan mereka. Antam telah mempublikasikan
Laporan Keberlanjutan yang mencakup kinerja kegiatan di bidang ekonomi, lingkungan hidup
dan sosial ini dilaporkan secara tersendiri bersama dengan Laporan Tahunan-nya sejak tahun
2005. Dan pada tahun 2006 untuk pertama kalinya, Antam menggunakan format yang

11
mengikuti kerangka kerja yang ditetapkan oleh Global Reporting Initiatives (GRI) yang disebut
dengan “GRI’s G3 Guidelines” (Panduan Pelaporan Global) yang diluncurkan pada tahun
2005. Walaupun sistem pelaporan ini mungkin belum sepenuhya mengikuti panduan GRI’s G3
tersebut, tetapi Antam telah berupaya mematuhinya secermat mungkin dan bertekad akan
mematuhi secara penuh sebelum tahun 2010.

Pada Earth Summit tahun 1992 di Rio di Janeiro, para pemimpin sudah menyepakati berbagai
langkah yang harus diambil untuk menyelamatkan bumi. Sepuluh tahun kemudian, di
Johannesburg, para pemimpin dunia bertemu kembali dalam World Summit on Sustainable
Development, dan menyatakan bahwa kita perlu segera bertindak untuk melestarikan alam yang
tidak kita warisi dari nenek moyang kita melainkan pinjaman dari anak cucu kita. Tidak heran
pula bila inisiatif global tentang sustainability itu juga ditumpukan pada keterlibatan
perusahaan-perusahaan besar terutama perusahaan yang dalam aktivitasnya terkait langsung
dengan sumber daya alam. Sehingga sejak pertengahan tahun 1990-an tersebut juga telah
muncul konsep baru dalam akuntansi yang bertajuk Triple Bottom Line yang juga biasa disebut
dengan Triple P (Profit, Planet, People). Konsep ini percaya bahwa kelangsungan dan
pertumbuhan perusahaan tidak semata-mata bergantung pada laba usaha (Profit), melainkan
juga tindakan nyata yang dilakukan perusahaan terhadap lingkungan (Planet), dan keadilan
sosial (People).

Sayangnya hingga sekarang masih banyak di antara pelaku bisnis yang terjebak dalam
perdebatan menentang konsep Triple Bottom Line itu. Salah satu kelompok mengatakan bahwa
urusan people dan planet bukan bagian dari core competencies dunia bisnis. Antam tidak ingin
terjebak dalam perdebatan yang kontra produktif tersebut. Bagi Antam Triple Bottom
Line bukan sekedar atau sebatas Corporate Social Responsibility (CSR). Antam memahami
dan meyakini bahwa ukuran kinerja perusahaan tidak lagi cukup diukur dengan metrik yang
tradisional dengan komponen modal, kewajiban, laba atau rugi belaka. Sebagai perusahaan
yang ingin survive, Antam bertekad menjadi lembaga usaha yang sustainable dan didasari pada
keadilan sosial sesuai dengan falsafah bangsa. Antam juga mempertahankan hubungan dan
kontak yang baik dengan masyarakat sekitar, yang sebagian besar sudah ada di lokasi semenjak
kegiatan operasi dimulai. Selain itu, Antam juga memiliki standar pengelolaan lingkungan yang

12
setara atau melebihi standar nasional, yang salah satunya ditandai dengan memperoleh
sertifikasi manajemen pengelolaan lingkungan ISO 14001.

Mengingat strategisnya isyu ini Antam juga bersungguh-sungguh dalam melaksanakan CSR-
nya, yang sesuai dengan konsep keberlanjutan yang ditetapkan Antam sebagai salah satu
kebijakan stratesisnya guna merealisasikan konsep Triple Bottom Line perusahaan. Ujud nyata
keseriusan Antam ini dapat terlihat dari kegiatan-kegiatan CSR yang dilakukannya seperti yang
tertuang dalam Laporan Keberlanjutan Antam setiap tahunnya.

Dalam Laporan Keberlanjutan (Sustainability Report) Antam tahun 2006, yang merupakan
tahun kedua Antam mempubikasikan laporan keberlanjutan, dapat dilihat kinerja kegiatan
Antam di bidang ekonomi, lingkungan hidup dan sosial sepanjang tahun 2006. Dimana dalam
rangka kegiatan pelaporan ini, Antam telah mengadakan serangkaian dialog dengan para
pemangku kepentingan (stakeholders) terkait, yang telah terbukti sangat produktif. Sehingga
Antam berupaya mengembangkan keterlibatan stakeholders secara formal, khususnya yang
berkaitan dengan pelaporan keberlanjutan, sebagai upaya mengelola isu-isu keberlanjutan
secara lebih baik. Laporan Keberlanjutan ini juga merupakan sarana manajemen maupun alat
komunikasi yang baik untuk memberikan informasi yang transparan kepada stakeholders dan
memberi umpan balik yang relevan atas hal-hal yang telah dilakukan dan dijanjikan, menuju
keberlanjutan usaha Antam. Sehingga Antam dapat mengidentifikasi bidang-bidang apa saja
yang memerlukan keputusan dan tindakan yang harus segera diambil.

Laporan Keberlanjutan 2006 Antam mencerminkan upaya memaparkan komitmen perusahaan


pada pembangunan berkelanjutan yang merupakan inti dari filosofi Antam. Antam
berkeyakinan bahwa dengan mengukur dan memaparkan kinerja perusahaan menuju
pembangunan berkelanjutan berdasarkan GRI’s G3 atau Inisiatif Pelaporan Global yang baru,
dapat membantu dan memperkokoh strategi perusahaan untuk mencapai keberlanjutan. Dimana
faktor kunci keberhasilan penerapan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (Corporate Social
Responsibility, CSR) dalam sebuah perusahaan adalah komitmen penuh perusahaan dalam
menerapkan CSR. Karena suatu inisiatif atau program yang bertujuan untuk membangun suatu
komunitas atau masyarakat akan gagal bila tidak dikelola secara layak dan terus-menerus,
sesuai dengan komitmen Antam pada keberlanjutan.

13
Inisiatif CSR harus berkesinambungan. Program-program CSR Antam bukan sekedar berupa
donasi. Antam berupaya menerapkan konsep keberlanjutan dengan mengembangkan sebuah
strategi CSR yang mempunyai target, tujuan dan program yang kongkrit demi memenuhi
harapan stakeholders-nya. Komitmen Antam juga berlaku secara jangka panjang, agar strategi
CSR perusahaan dipahami dan didukung oleh stakeholders, khususnya para pegawai. Karena
Antam meyakini bahwa perusahaan serta keberlanjutan perusahaan bergantung pada
pendekatan perusahaan dalam menerapkan CSR. Pada lampiran dapat dilihat ringkasan Kinerja
dan Upaya Antam 2006 berdasarkan GRI’s G3 yang disadur dari Laporan Keberlanjutan Antam
tahun 2006.

Perusahaan lainnya yang juga telah melaksanakan dan melaporkan kegiatan CSR perusahaan
dengan baik adalah PT Unilever Indonesia Tbk (Unilever). Walaupun pelaksanaan dan
pelaporan kegiatan CSR ini bersifat voluntary bagi Unilever, tetapi perusahaan telah
melaporkan kegiatan CSR mereka dalam Sustainability Report, secara terpisah dari Laporan
Tahunan-nya sejak tahun 2006.

Setelah tumbuh sejak tahun 1933 bersama bangsa Indonesia, Unilever sudah menghasilkan 100
produk di pabrik Cikarang dan Rungkut, mulai dari shampo dan teh, sampai sabun cuci dan
margarin. Produk Unilever dapat ditemukan di seluruh Nusantara, di berbagai outlet, mulai dari
warung hingga jaringan supermarket besar. Karena itu, dampak operasi Unilever terasa di
seluruh nusantara. Dengan pengaruh besar ini, Unilever merasa memanggul tanggung jawab
yang besar pula. Unilever telah memahami dinamika ekonomi, masyarakat dan lingkungan
Indonesia, sehingga mereka yakin bahwa keberhasilan mereka saling berkaitan dengan
kekuatan Indonesia. Setiap hari, Unilever berupaya menciptakan solusi yang saling
menguntungkan seperti penghematan energi untuk mengurangi emisi dan biaya produksi,
meningkatkan kapasitas pemasok dan pelanggan mereka; serta membangun reputasi
terbaik brand Unilever dengan berbagai program sosial dan lingkungan untuk mengatasi
permasalahan Indonesia dengan cara inovatif.

Pada tahun 2000, kami membentuk Yayasan Unilever Indonesia Peduli dengan tujuan menjadi
“perwujudan utama tanggung jawab sosial perusahaan Unilever”. Pendirian yayasan ini adalah
langkah nyata untuk menuju pertumbuhan bersama dengan masyarakat dan lingkungan secara
berkelanjutan. Unilever berupaya untuk berbagi sumber daya dalam upaya pencapaian kualitas

14
hidup yang lebih baik. Misi Unilever adalah memberdayakan potensi masyarakat, memberikan
nilai tambah, memperkuat sinergi dan menjadi katalisator yang menginspirasi pengembangan
kemitraan. Unilever terus mengembangkan reputasi perusahaan dengan mempromosikan
prinsip-prinsip berkelanjutan dalam pembangunan lingkungan, masyarakat dan pertumbuhan
dunia usaha.

Setiap inisiatif CSR Unilever dibangun dengan pemikiran dasar yang komprehensif. Unilever
selalu berupaya dari hal kecil untuk menjaga efektivitas pengembangan inisiatif perusahaan
mereka. Setelah itu, mereka segera mereplikasi atau mengembangkan keberhasilan yang telah
dicapai, agar dampak sosial inisiatif yang bersangkutan menjadi lebih

besar. Unilever secara aktif mencari masukan, usulan dan komentar dari para stakeholder,
terutama dari kalangan masyarakat yang menjadi sasaran. Hasilnya adalah kontribusi
perusahaan yang lebih efektif, efisien dan tepat sasaran. Yayasan ini memberikan kesempatan
seluas-luasnya bagi pengembangan inisiatif masyarakat. Yayasan juga memberi peluang untuk
saling berbagi pengetahuan antar program dan inisiatif, yang dikembangkan oleh
berbagai brand Unilever di berbagai daerah. Dengan selalu mengupayakan berbagi sumber
daya, Unilever dapat memberikan kontribusi yang lebih besar kepada masyarakat.

Dalam Sustainability Report-nya, Unilever menjadikan 3 (tiga) inisiatif utama dalam kegiatan
CSR mereka yaitu Kesehatan dan Kebersihan, Program Lingkungan dan Perekonomian Lokal.
Sedangkan kinerja dan kepatuhan pelaksanaan CSR tersebut dikelompokkan ke dalam 6 (enam)
kelompok besar yaitu Konsumen, Pelanggan, Pemasok, Karyawan, Pabrik dan Masyarakat.
Dan PT SGS Indonesia – Systems and Services Certification, yang ditunjuk Unilever untuk
memberikan jaminan yang tidak berpihak atas Sustainability Report 2006 mereka, telah
memberikan opini bahwa semua informasi dan data yang terdapat pada Sustainability
Report 2006 disampaikan secara akurat, reliable dan memberikan gambaran yang seimbang dan
sesuai dengan aktivitas Unilever yang terkait dengan sustainability di tahun 2006.

Contoh perusahaan lainnya yang telah melaksanakan kegiatan CSR dan juga telah melaporkan
kegitan tersebut sebagai bagian dari Laporan Tahunan perusahaan adalah Bank Muamalat
Indonesia (BMI). Tanggung jawab sosial perusahaan terus dilakukan oleh BMI melalui mitra
yang dipercayakan untuk menjalankan kegiatan CSR atas nama Bank Muamalat, yaitu

15
Baitulmaal Muamalat (BMM), yang telah beroperasi sejak tahun 1997 sebagai yayasan amal
nirlaba.

Dalam rangka memperkuat kerjasama strategis dengan BMM sebagai mitra dalam menerapkan
berbagai program CSR, BMI senantiasa meningkatkan jumlah dana amal serta memperluas
jangkauan program untuk mencapai basis populasi yang lebih luas. Selama satu dasawarsa,
BMM terus tumbuh dan mendapat kepercayaan serta dukungan dari masyarakat luas sebagai
suatu organisasi amal nirlaba yang memiliki akuntabilitas serta dapat diandalkan. Di lain pihak,
kemitraan dengan BMI juga memungkinkan BMM untuk memperluas jangkauannya lebih jauh
lagi, dengan memanfaatkan semua infrastruktur BMI yang tersedia.

Pelaksanaan CSR merupakan bagian yang tak terpisahkan dari tujuan usaha BMIuntuk
mengujudkan tatanan masyarakat yang adil dan makmur sejalan dengan prinsip-prinsip dasar
perekonomian syariah. Pada tahun 2007, BMI mengalokasikan dana sebesar Rp 4 miliar untuk
keperluan kegiatan amal BMM dalam kerangka kegiatan CSR, juga sebagai bagian dari tata
kelola perusahaan yang baik. Program CSR BMI ini masih diarahkan kepada pembinaan serta
dukungan yang diberikan dalam rangka memberdayakan usaha mikro dan pengusaha kecil.
Program Komunitas Usaha Mikro Muamalat berbasis Mesjid (KUM3) yang diselenggarakan
BMI bersama BMM terus tumbuh dan mendapat kepercayaan para peserta program. Melalui
KUM3, anggaran sosial perseroan baik berupa zakat maupun dana sosial lainnya mampu
terdistribusi secara langsung dan tepat sasaran. KUM3 mampu menumbuhkan komunitas usaha
mikro yang menganut dan taat kepada azas syariah. Visi dakwah yang dominan dalam program
ini sekurang-kurangnya telah membangun kesadaran beragama para peserta. Hal itu terlihat dari
tumbuhnya kebiasaan peserta menghadiri majelis taklim dan melaksanakan amalan sunnah.

Sejak diluncurkan tahun 1999, program KUM3 ini telah menggalang lebih dari 1.029 peserta
dari kalangan pengusaha kecil dan mikro. Mereka tersebar di 60 jaringan masjid di Indonesia
dan didampingi oleh 54 konsultan (tenaga pendamping), hingga akhir tahun 2007.

Dana ZIS masyarakat yang terakumulasi hingga akhir tahun 2007 mencapai Rp 12 miliar,
meningkat dari Rp 40,6 miliar pada tahun 2006. Dengan mengandalkan sebagian besar sumber
pendanaannya dari zakat maal, dana BMM mampu mencapai tingkat pertumbuhan rata-rata per
tahun yang melebihi 50%. Hal ini menjadi bukti pengakuan masyarakat terhadap akuntabilitas
BMM dalam mengemban amanah. Dan sejak tahun 2006, Menteri Koperasi dan Usaha Kecil

16
Menengah mempercayakan pengelolaan dana bergulir bagi Lembaga Keuangan Mikro Syariah
(LKMS) kepada BMM. Hingga akhir tahun 2007, portofolio dana pemerintah yang dikelola
BMM melalui BMI mencapai Rp 135,3 miliar. Lembaga internasional setingkat Islamic
Relief pun telah menggandeng BMM sebagai mitranya di Indonesia untuk menggarap LKMS
di berbagai provinsi.

Kepeloporan dalam menangani bencana di tanah air juga semakin menguatkan eksistensi
BMM. Sepanjang tahun 2007, bersama dengan BMI, BMM telah menyalurkan dana
kemanusiaan sebesar Rp 9,6 milliar yang terdistribusi ke beberapa wilayah di Indonesia yang
mengalami bencana alam. BMM pun memperoleh kepercayaan dari Islamic Development
Bank (IDB) untuk mengelola sekolah dan program beasiswa bagi 600 anak yatim korban
Tsunami Aceh. Sampai tahun 2007, sesuai rencana, program beasiswa ini telah ditingkatkan
menjadi 1.600 siswa.

Dari uraian di atas juga terlihat bahwa sebagian besar kegiatan CSR yang dilakukan BMI
melalui mitra kerjanya BMM, telah mengarah dan menekankan kepada program yang bersifat
berkelanjutan (sustainability), terutama terkait dengan pertumbuhan dan penguatan ekomoni
rakyat.

CSR sebagai Mata Rantai Pembangunan Indonesia

Dalam pidato ilmiah pengukuhannya sebagai Guru Besar Tetap dalam bidang Ilmu Akuntansi
FEUI pada 14 Nopember 2007 lalu, Prof. Dr. Sidharta Utama, CFA menyebutkan; saat ini
tingkat pelaporan dan pengungkapan CSR di Indonesia masih relatif rendah. Selain itu, apa
yang dilaporkan dan diungkapkan sangat beragam, sehingga menyulitkan pembaca laporan
tahunan untuk melakukan evaluasi. Pada umumnya yang diungkapkan adalah informasi yang
sifatnya positif mengenai perusahaan; sehingga laporan tersebut pada akhirnya hanyalah
merupakan alat public relation perusahaan dan bukan sebagai bentuk akuntabilitas perusahaan
ke publik. Pelaporan saja tidaklah cukup untuk tercapainya akuntabilitas, pelaporan tersebut
perlu didukung oleh infrastruktur yang mendorong perusahaan untuk melaksanakan dan
melaporkan CSR secara obyektif .

Ada beberapa evaluasi terhadap kondisi infrastruktur pendukung pelaporan CSR di Indonesia.
Hingga kini belum ada kesepakatan standar pelaporan CSR yang dapat dijadikan acuan bagi

17
perusahaan dalam menyiapkan laporan CSR. Cakupan standar yang ada sudah cukup
komprehensif, namun, belum adanya laporan yang dapat mengikhtisarkan dampak kegiatan
perusahaan terhadap sosial dan lingkungan akan menyulitkan stakeholders dalam
mengevaluasi efektivitas kegiatan CSR perusahaan. Untuk meningkatkan kredibilitas laporan
CSR, diperlukan jasa assurance terhadap laporan tersebut, tetapi hingga kini
standar assurance terhadap laporan CSR masih dalam proses pengembangan.
Sistem governance di Indonesia menyatakan bahwa Dewan Komisaris dan Direksi dalam
mengelola perusahaan harus mengutamakan kepentingan perusahaan, yang berimplikasi bahwa
tidak hanya kepentingan pemegang saham yang perlu diperhatikan, tetapi juga
kepentingan stakeholders lainnya (konsisten dengan konsep CSR). Namun, karena penunjukan
kedua organ tersebut dilakukan oleh RUPS, maka diperlukan organ yang mendukung
pelaksanaan CSR perusahaan, seperti komite CSR atau perluasan peran organ yang ada, seperti
perluasan peran komite audit. Undang-Undang Perseroan mewajibkan semua perseroan untuk
melaporkan pelaksanaan tanggung jawab sosial dan lingkungan di laporan tahunan; tetapi
belum adanya aturan lanjutan yang mengoperasionalkan kewajiban tersebut akan menyebabkan
laporan yang sangat bervariasi antar perusahaan sehingga menyulitkan pembaca laporan
tersebut. Akuntabilitas terhadap publik, khususnya bagi perusahaan non-terbuka, tidak ada
karena laporan tersebut hanya disampaikan ke pemegang saham. Terakhir, kesadaran publik
atas pentingnya CSR semakin meningkat akhir-akhir ini, namun belum sampai pada tingkat
dimana publik mempunyai kekuatan untuk menekan perusahaan untuk melaksanakan dan
melaporkan kegiatan CSR. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa belum berjalannya
infrastruktur pendukung pelaporan CSR bisa jadi menjelaskan mengapa tingkat pelaporan CSR
di Indonesia relatif rendah.

Dan berikut beberapa rekomendasi yang dapat diberikan untuk meningkatkan tingkat dan
kualitas pelaporan CSR di Indonesia, sehingga tercapai akuntabilitas kegiatan CSR perusahaan
terhadap stakeholders. Pertama, karena Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas telah
diberlakukan, maka perlu segera disiapkan aturan lanjutan yang secara eksplisit menjelaskan:

– sektor usaha yang wajib melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan,

– kapan perusahaan dapat dinyatakan telah melaksanakan tanggung jawabnya sehingga tidak
perlu dikenakan sanksi,

18
– cakupan laporan tanggung jawab sosial yang perlu disampaikan perusahaan.

Selain itu, sebaiknya laporan perusahaan berskala besar dan usahanya terkait dengan sumber
daya alam dapat diakses oleh publik dan perusahaan tersebut didorong agar laporannya diaudit
oleh pihak eksternal yang independen. Kedua, diperlukan riset lebih lanjut untuk
mengembangkan standar pelaporan CSR yang dapat mengikhtisarkan efektivitas kegiatan CSR
perusahaan, serta diperlukan suatu standar pelaporan CSR yang berlaku global sehingga dapat
dijadikan acuan perusahaan di berbagai negara dalam menyiapkan laporan CSR. Ketiga,
standar assurance terhadap laporan CSR yang diterima umum perlu segera disiapkan, dengan
memperhatikan karakteristik laporan CSR yang berbeda dari laporan keuangan. Keempat,
perusahaan perlu didorong (melalui regulasi pemerintah atau asosiasi industri) untuk mengubah
sistem governance yang akomodatif terhadap pelaksanaan dan pelaporan kegiatan CSR
perusahaan. Demikian pula, sistem kompensasi Dewan Komisaris dan Direksi direvisi dengan
mendasarkan besarnya kompensasi tidak hanya pada laba perusahaan tetapi juga pada indikator
kinerja CSR perusahaan. Kelima, perlu terus ditumbuhkan kesadaran publik atas pentingnya
pembangunan berkelanjutan dan bahwa kesejahteraan sosial dan pelestarian sosial adalah
tanggung jawab bersama. Untuk itu, kurikulum pendidikan mulai dari pendidikan dasar hingga
tinggi perlu dirancang untuk menumbuhkan kesadaran dan tanggung jawab ini.

Pambudi (2006) juga menyebutkan bahwa konsep tentang CSR di Indonesia belum sematang
di Eropa dan Amerika. Sebagaimana yang dikutipnya dari tulisan White (2005) dimana di
negara-negara tersebut konsep CSR ini telah memasuki fase yang disebut “integrasi” setelah
melewati tahap pergulatan ide serta introduksi konsep. Fase ini merefleksikan tingkat
kematangan CSR sebagai ide dan pengakuan sebagai bagian dari strategi serta operasi
perusahaan dengan harapannya yang paling canggih adalah menjadikan CSR sebagai
“everyone’s business”. Dan tantangan terbesar untuk CSR pada masa sekarang ini adalah pada
3 (tiga) hal yaitu : (1) Aligment (Penyelarasan), dengan sasaran bisnis dalam strategi
perusahaan. (2) Integrasion, di antara seluruh area fungsional dan entitas bisnis perusahaan.
(3) Institusionalization, dengan cara memasukkan seluruh strategi, kebijakan dan
proses kedalam organisasi.

Lebih jauh diuraikan Pambudi (2006) bahwa, untuk memajukan CSR bahkan menjadikannya
sebagai “everyone’s business”, adalah PR kita bersama dan dibutuhkan koordinasi serta

19
kemitraan (partnership) yang erat di antara 3 (tiga) elemen utama, yang selama ini diyakini
menjadi penggerak CSR yaitu Civil Society, Government dan Business. Pada konteks ini, kita
bisa belajar pada apa yang terjadi di Inggris. Pergerakan CSR menarik Pemerintah Inggris untuk
turut mendorongnya. Pada tahun 2004, keluar peraturan Operating and Financial
Review (OFR) yang mewajibkan perusahaan besar mempublikasikan lebih banyak kinerja
sosial dan lingkungannya. Pemerintah Inggris juga mendirikan CSR Academy di Manchester
untuk mendorong kompetensi CSR melalui serangkaian pelatihan dan pendidikan, dimana
dapat dikatakan inilah sekolah CSR pertama di dunia.

Contoh kemitraan yang apik lainnya juga terjadi di Austria. Pada bulan Mei 2003, Federasi
Industri Austria, Kementrian Ekonomi dan Tenaga Kerja, dan KADIN Austria bergabung
meluncurkan apa yang disebut “Initiative CSR Austria”. Dengan tujuan besarnya adalah
menciptakan Austrian Sustainability Strategy, maka dibuatlah CSR Council-Committee yang
bertugas membangun dialog antara pemerintah, dunia usaha serta masyarakat tentang arti
penting CSR bagi perkembangan bisnis, masyarakat dan Austria. Hasilnya setelah melalui
serangkaian dialog besar, muncullah Austrian CSR Guiding Visions sebagai blue-print CSR,
lalu Austrian CSR Award bernama TRIGOS, juga Austrian Business Academy for Sustainable
Development untuk menyemai lahirnya para ahli CSR.

Lalu bagaimana dengan CSR di Indonesia? Bisakah kita mengoptimalkan pelaksanaan CSR
yang sudah ada selama ini dengan lebih bersinergi antara semua komponen bangsa yang terkait,
guna menciptakan multiplayer efek yang positif bagi kemajuan bangsa dan negara Indonesia?
Belajar dari negara Inggris dan Austria di atas, dengan kondisi Indonesia sekarang, hal ini
mungkin terkesan terlalu idealis, tetapi tidak ada hal yang mustahil jika kita semua bertekat
untuk itu. Karena aktivitas CSR telah dilakukan oleh hampir seluruh sektor industri di
Indonesia. Pemerintah juga telah mewajibkan perusahaan yang bergerak dalam pengelolaan
sumber daya alam untuk melaksanakan dan melaporkan kegiatan CSR mereka, serta adanya
lembaga-lembaga yang memberikan penghargaan melalui berbagai Award kepada para
penggerak CSR untuk mengapresiasi usaha mereka. Sekarang tinggal bagaimana kita dapat
mensinergikan ke semua komponen tersebut untuk satu visi yang lebih besar yaitu “untuk
pembangunan kemajuan dan kesejahteraan bangsa Indonesia”.

20
Sejalan dengan rekomendasi yang diberikan Utama (2007), bibit-bibit untuk sinergi
dan improvement konsep dan pelaksanaan CSR ini di Indonesia juga sudah mulai bermunculan.
Dari sisi kalangan bisnis, seperti Antam mengaku telah mengintegrasikan kegiatan CSR mereka
dengan strategi perusahaan. Antam yang wajib (mandatory) melaksanakan dan melaporkan
kegiatan CSR mereka, telah mengacu kepada GRI’s G3 dan dibuat secara terpisah dari Laporan
Tahunan. Demikian juga dengan Unilever yang secara sekarela (voluntary) melaksanakan dan
melaporkan kegiatan CSR mereka secara terpisah dari Laporan Tahunan, dimana Sustainability
Report tersebut juga telah memperoleh assurance dari PT SGS Indonesia – Systems and
Services Certification. Ataupun BMI yang telah melaksanakan dan melaporkan kegiatan CSR
mereka sebagai bagian dari Laporan Tahunan, yang juga sebagai salah satu bentuk pelaksanaan
dan pengungkapan tata kelola perusahaan yang baik (Good Corporate Governance).

Dari sisi akademisi, dengan diprakarsai oleh Ikatan Akuntan Indonesia-Komparteman Akuntan
Manajemen (IAI-KAM), juga telah mendirikan lembaga semacam GRI pada pertengahan 2005
yang diberi nama “National Center For Sustainability Reporting (NCSR). Lembaga ini bersifat
independen dengan misi “menyusun dan menyebarluaskan pedoman penyusunan laporan
keberlanjutan untuk organisasi/perusahaan di Indonesia. Dimana diharapkan lembaga ini dapat
diakui oleh regulator dan masyarakat sebagai institusi yang credible dan berkompeten dalam
menyusun standar penyusunan laporan keberlanjutan untuk perusahaan atau organisasi di
Indonesia (Darwin, 2006).

Sedangkan dari sisi regulator/pemerintah tentu kita harapkan akan ada tindakan nyata yang
lebih besar untuk menyokong pengembangan konsep dan pelaksanaan CSR ini dengan lebih
baik dan tepat sasaran, demi pembangunan Indonesia yang berkelanjutan. Penetapan Undang-
Undang No 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas adalah salah satu langkah awal yang
menggembirakan. Tetapi tentu dibutuhkan tindakan lebih lanjut dari pemerintah dalam
mengapresiasi usaha semua kalangan yang telah melaksanakan CSR. Salah satunya mungkin
dengan jalan memberikan keringanan atau kompensasi biaya pajak yang ditanggung perusahaan
yang telah melaksanakan CSR. Menurut penulis pengkompensasian biaya CSR yang dilakukan
perusahaan sebagai pengurang biaya pajak penghasilan perusahaan dapat saja dilakukan.
Karena pada hakekatnya pelaksanaan CSR yang sesuai dengan konsep yang sebenarnya telah

21
membantu pemerintah dalam pembangunan bangsa, dimana sejatinya mayoritas sumber
pendapatan pemerintah untuk pembiayaan pembangunan tersebut adalah dari pajak.

Tetapi tentu kompensasi biaya pelaksanaan CSR ini sebagai pengurang pajak membutuhkan
uraian yang lebih terperinci seperti standar kegiatan CSR yang dapat dikompensasikan sebagai
pengurangan pajak, pelaporan yang terstandarisir dan diaudit oleh badan yang kompeten, dan
sebagainya. Salah satu rujukan yang dapat digunakan adalah kebijakan pemerintah terhadap
zakat yang dikeluarkan oleh ummat muslim dan disalurkan kepada badan amil pengelola zakat
yang telah disahkan oleh pemerintah, akan dapat dikompensasikan sebagai biaya pengurang
pajak penghasilan.

Hal ini dapat dipahami, karena penggunaan zakat telah ditetapkan oleh syariah adalah
diperuntukkan bagi Mustahiq delapan ashnaf yaitu fakir, miskin,
amil, muallaf, riqab, gharim, sabilillah, dan ibnussabil, yang di dalam aplikasinya dapat
meliputi orang-orang yang tidak berdaya secara ekonomi seperti anak-anak yatim piatu, orang
jompo, penyandang cacat, orang yang menuntut ilmu, pondok pesantren, anak terlantar, orang
yang terlilit utang, pengungsi yang terlantar, dan korban bencana alam. Dimana pengelolaan
zakat yang dilakukan dilakukan oleh amil zakat dirancang sedemikian rupa, seperti pemberian
zakat yang bersifat usaha produktif dengan pendampingan agar dapat meningkatkan
kesejahteraan penerimanya, sehingga mereka bisa mendiri secara ekonomi dan meningkat
menjadi masyarakat yang wajib mengeluarkan zakat, bukan lagi menerima zakat (adanya
peningkatan ekonomi masyarakat yang berkelanjutan /sustainability economic improvement –
penulis).

Dalam Undang-Undang nomor 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat dan Penjelasan atas
UU tersebut, diuraikan bahwa Zakat sebagai rukun Islam merupakan kewajiban setiap muslim
yang mampu membayarnya dan diperuntukkan bagi mereka yang berhak menerimanya.
Dengan pengelolaan yang baik, zakat merupakan sumber dana potensial yang dapat
dimanfaatkan untuk memajukan kesejahteraan umum bagi seluruh masyarakat. Agar sumber
dana yang dapat dimanfaatkan bagi kesejahteraan masyarakat terutama untuk mengentaskan
masyarakat dari kemiskinan dan menghilangkan kesenjangan sosial, perlu adanya pengelolaan
zakat secara profesional dan bertanggung jawab yang dilakukan oleh masyarakat bersama
pemerintah. Dalam hal ini pemerintah berkewajiban memberikan perlindungan, pembinaan,

22
dan pelayanan kepada muzzaki, mustahiq, dan pengelola zakat. Untuk maksud tersebut, perlu
adanya undang-undang tentang pengelolaan zakat yang berasaskan keimanan dan takwa dalam
rangka mewujudkan keadilan sosial, kemaslahatan, keterbukaan, dan kepastian hukum sebagai
pengamalan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Zakat yang telah dibayarkan kepada
badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang telah ditetapkan pemerintah dapat dikurangkan
dari laba/pendapatan sisa kena pajak dari wajib pajak yang bersangkutan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pengurangan zakat dari laba/pendapatan sisa
kena pajak dimaksudkan agar wajib pajak tidak terkena beban ganda, yakni kewajiban
membayar zakat dan pajak. Kesadaran membayar zakat ini juga dapat memacu kesadaran
membayar pajak.

Belajar dari zakat ini, penulis berpendapat jika kegiatan CSR dengan ketentuan tertentu yang
ditetapkan oleh pemerintah (seperti kriteria bentuk kegiatan, sasaran dan dampak nyata
kegiatannya, pelaksanaan dan akuntabilitas kegiatan, dsb) dapat saja dikompensasikan sebagai
pengurang biaya pajak. Karena semua kegiatan tersebut telah membantu pemerintah dalam
mengelola pembanguanan yang berkelanjutan di Indonesia. Dan dengan suatu sinergi yang
harmonis antara semua komponen seperti zakat yang fokus kepada pemberantasan kemiskinan,
kegiatan CSR yang menyentuh masyarakat disisi lain seperti pemberdayaan ekonomi
masyarakat lemah, pendidikan, kesehatan, lingkungan hidup dan sebagainya akan dapat
mengurangi beban pemerintah yang dibiayai dengan pajak untuk sektor tersebut, dan
mengoptimalkan pembanguan pada sektor lainnya. Sehingga diharapkan zakat dan aktivitas
CSR ini akan dapat menjadi salah satu mata rantai pembangunan di Indonesia, guna
mengujudkan keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.

23
DAFTAR PUSTAKA

Carroll A. B., 1979. “A Three-Dimanesional Conceptual Model of Corporate


Performance”. Academy Management Review, 4(4), pp. 479-505.

Darwin, Ali. Ak., MSc., 2006. “Akuntabilitas, Kebutuhan, Pelaporan dan Pengungkapan CSR
bagi Perusahaan di Indonesia”. Economics Business Accounting Review (EBAR), Edisi
III/September-Desember 2006, hal 83 – 95.

Kalla, M. Jusuf., 2006. “Politisi dan Pebisnis”. Economics Business Accounting


Review (EBAR), Edisi III/September-Desember 2006, hal 5 – 8.

24

Anda mungkin juga menyukai