MANAJEMEN PAJAK
Dosen Pengajar :
DR. Suhirman Madjid, SE. MSi. AK. CA
Disusun Oleh:
UNIVERSITAS YARSI
FAKULTAS EKONOMI
AKUNTANSI EKSTENSION
2019/2020
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Pendahuluan
Perusahaan merupakan salah satu subjek pajak penghasilan,yaitu subjek pajak badan.
Penjelasan Undang-Undang No. 36 Tahun 2008 pasal 2 ayat (1) huruf b menjelaskan
bahwa subjek pajak badan adalah Sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan
kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang
meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha
milik negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan bentuk apapun, firma,
kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi
massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga, dan bentuk badan
lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap lainnya.
Perusahaan ketika menerima atau memperoleh penghasilan akan merubah status
perpajakannya menjadi wajib pajak dan akan dikenai pajak penghasilan. Penjelasan
Undang-Undang No. 36 Tahun 2008 pasal 1 menjelaskan bahwa pajak penghasilan
dikenakan terhadap Subjek Pajak atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya
dalam tahun pajak. Subjek pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan,
dalam undang-undang disebut wajib pajak. Wajib pajak akan dikenakan pajak atas
penghasilan yang diterima atau diperolehnya selama satu tahun pajak atau dapat pula
dikenakan pajak untuk penghasilan dalam bagian tahun pajak, apabila kewajiban
pajak subjektifnya dimulai atau berakhir dalam tahun pajak.
Namun yang tentunya menjadi objek pajak penghasilan adalah bentuk usaha Swasta,
yang mana hal itu bertujuan semata-mata untuk mencari keuntungan dan menambah
kekayaan. Bentuk usaha Swasta sendiri terbagi 5 yaitu perseorangan, CV
(persekutuan komanditer), Firma, PT(Perseroan Terbatas) dan Yayasan. Di antara
semua itu tentunya memiliki perlakuan pajak yang berbeda-beda.
Perusahaan dalam penghitungan pajaknya menggunakan dasar penghasilan kena
pajak dan tarif yang berlaku sesuai dengan Undang-Undang No. 36 Tahun 2008.
Undang-Undang No. 36 Tahun 2008 pasal 6 ayat (1) menjelaskan bahwa penghasilan
kena pajak ditentukan berdasarkan penghasilan bruto dikurangi dengan biaya untuk
mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan. Darmadi (2013) mengatakan
bahwa Tarif pajak badan yang berlaku di Indonesia diatur dalam Undang-Undang No.
36 Tahun 2008 pasal 17 ayat (1) huruf b, ayat (2), ayat (2) huruf a, huruf b, dan pasal
(31E).
Manajemen pajak dapat dilakukan oleh perusahaan untuk menekan serendah mungkin
kwajiban pajaknya. Pohan (2013:13) menyatakan bahwa manajemen pajak adalah
usaha menyeluruh yang dilakukan tax manager dalam suatu perusahaan atau
organisasi agar hal-hal yang berhubungan dengan perpajakan dari perusahaan atau
organisasi tersebut dapat dikelola dengan baik, efisien dan ekonomis, sehingga
memberi kontribusi maksimum bagi perusahaan. Agar tidak menjurus kepada
pelanggaran norma perpajakan atau penghindaran pajak, manajemen pajak harus
dilakukan dengan baik.
1.2. Rumusan Masalah
1. Apa saja bentuk usaha yang ada di indonesia?
2. Bagaimana bentuk pemilihan usaha orang pribadi dan badan?
3. Bagaimana pengaruh bentuk usaha untuk melakukan manajemen perpajakan?
Memilih bentuk usaha yang tepat merupakan hal pertama yang harus diperhatikan oleh
investor/pengusaha, selain untuk menentukan bentuk usaha apa yang dapat memberikan
kontribusi profit paling besar dengan tingkat risiko yang paling rendah. Terkait ketentuan
perpajakan yang berlaku, investor/pengusaha juga harus menentukan bentuk usaha yang
mana yang memberikan kontribusi profit yang paling besar namun dengan beban pajak yang
paling kecil, dan yang paling penting dari pemilihan bentuk usaha adalah tentu saja untuk
mempertimbangkan keberlangsungan usaha dalam jangka panjang.
Dalam peraturan perpajakan, sebenarnya banyak celah hukum yang dapat dimanfaatkan untuk
meminimalisir beban pajak tanpa harus berhadapan dengan petugas pajak dan tanpa keluar
dari bingkai peraturan perpajakan. Salah satunya adalah dengan melakukan Strategi
Perencanaan Pajak (Tax Planning) termasuk dalam urusan pemilihan badan usaha. Strategi
tersebut dapat dimulai sejak awal memulai bisnis dengan melakukan setting up badan usaha
yang dipilih.
Ada beberapa faktor yang harus dipertimbangkan dalam pemilihan bentuk badan usaha, Pohan
(Zain, 2003:97) memberikan faktor-faktor yang harus dipertimbangkan dalam pemilihan
bentuk usaha, diantaranya:
1. Bagaimana hubungan antara tarif pajak penghasilan orang pribadi dan tarif pajak
penghasilan wajib pajak badan, termasuk ketentuan khusus yang mengatur hal itu.
2. Pengenaan pajak penghasilan secara berganda, baik atas laba bruto usaha, maupun
penghasilan dari pembagian keuntungan (dividen) kepada para pemegang sahamnya.
3. Kesempatan untuk menunda pembayaran pajak pada tarif pajak penghasilan lebih
kecil/besar apabila dibandingkan dengan kesempatan yang terdapat pada tarif pajak
penghasilan dari akumulasi penghasilan perusahaan.
4. Adanya ketentuan mengenai kerugian hasil usaha neto (kompensasi kerugian) dan
kredit investasi yang berlaku bagi bentuk usaha tertentu.
5. Kemungkinan pengajuan perlakuan khusus terhadap pajak atas akumulasi laba, pajak
atas penghasilan personal, holding company, dan seterusnya.
6. Liberalisasi ketentuan yang mengatur fringe benefit dan atau payment in kind.
Fokus penjelasan dari tulisan ini hanya akan menekankan pada pemilihan badan usaha swasta
yang berbentuk PT (Perseroan Terbatas), usaha orang pribadi (individual basis), CV
(Commanditaire vennootschap), dan juga Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM).
2.1. PERSEROAN TERBATAS (PT)
Perseroan terbatas adalah suatu entitas bisnis yang banyak digunakan di Indonesia, Dalam
Pasal 97 UU No, 40 tahun 2000 mengatur bahwa perbedaan terbesar antara PT dengan
badan hukum lainnya adalah, dalam PT tanggung jawab perusahaan dibebankan kepada
Direksi, bukan kepada shareholder, Hal ini berarti selama Pemegang Saham tidak
merangkap sebagai pengurus perusahaan, maka dia tidak dapat dimintai
pertanggunjawaban terhadap tindakan operasional perusahaan oleh pihak manapun.
Dalam perpajakan sesuai pasal 6 dan pasal 23 UU Nomor 7 tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan UU Nomor 17
Tahun 2000, pengenaan pajak PT dikenakan pada level net income dan pada saat
pembagian dividen perusahaan kepada pemegang saham
Terdapat beberapa kelebihan dan kelemahan dari PT sebagaimana diuraikan oleh Santoso
dan Rahayu (2013:100-101) adalah sebagai berikut :
Perpajakan memandang bahwa antara pemegang saham dengan PT adalah dua Wajib
Pajak yang berbeda dan terpisah. Sehingga jika ada pengalihan kekayaan atau harta
baik berupa sumber daya atau resources dari perusahaan kepada pemilik dianggap
telah terjadi arus mengalirnya penghasilan. Dengan demikian dividen yang diterima
oleh pemegang saham dianggap sebagai penghasilan yang akan dikenai pajak.
Sebaliknya karena dividen itu dihitung dari laba setelah pajak, maka di sisi
perusahaan dividen tersebut tidak berpengaruh terhadap besarnya keuntungan usaha
atau laba usaha yang dikenai pajak. Bisa dikatakan bahwa atas keuntungan atau laba
usaha akan dikenai pajak di PT dan ketika keuntungan atau laba tersebut dibagi
kepada para pemegang saham akan dikenai pajak lagi di pemegang saham
(perorangan).
Pembagian dividen kepada pemegang saham (pesero) tidak bisa dibebankan sebagai
biaya perusahaan, dikenakan pemotongan PPh Pasal 23 sebesar 15%. Namun
berdasarkan Pasal 4 ayat (3) huruf f UU PPh, bahwa yang dikecualikan dari objek
pajak adalah dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh Perseroan
Terbatas (PT) sebagai Wajib Pajak dalam negeri, koperasi, badan usaha milik negara,
atau badan usaha milik daerah, dari penyertaan modal pada badan usaha yang
didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia. Sehingga, pada saat laba usaha
dibagikan kepada para pemegang saham, dikenai PPh atas dividen sebesar 10%.
Dengan demikian pada Perseroan Terbatas (PT) terdapat double taxation.
Keuntungan yang diperoleh dari suatu usaha yang dijalankan secara perorangan adalah
seluruh keuntungan atau laba usaha akan dinikmati dan masuk ke kantong pribadi
perorangan. Keuntungan tersebut akan dikenai pajak sesuai dengan lapisan tarif pajak
perorangan yang diatur dalam Pasal 17 UU PPh. Jika keuntungan yang diperoleh di atas
Rp500.000.000,00 kelebihannya akan dikenai tarif tertinggi perpajakan sebesar 30%.
Usaha Orang Pribadi / Perseorangan juga memiliki kelemahan yaitu keterbatasan dalam
mendapatkan modal karena seluruh kegiatan usaha dimiliki oleh pribadi, sehingga tidak
memiliki inestor yang dapat membantu menanamkan modal di dalam usahanya.
Ada beberapa hak dan kewajiban perpajakan yang harus dipatuhi oleh usaha orang
pribadi atau perseorangan, yaitu:
1. Memiliki dan menggunakan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) orang pribadi, yaitu
pemilik yang sebenarnya dari usaha tersebut untuk keperluan perpajakan.
2. Pengusaha wajib menjalankan pembukuan dalam menjalankan kegiatan usahanya.
Namun apabila dalam hal peredaran usaha pengusaha dalam satu tahun pajak penghasilan
bruto tidak melebihi Rp4,8 miliar pengusaha boleh tidak melakukan pembukuan, namun
wajib membuat pencatatan. Dalam menghitung penghasilan neto untuk keperluan
perpajakan, pengusaha menggunakan norma. Ketentuan mengenai pembukuan diatur
dalam Pasal 28 UU KUP, ketentuan mengenai norma penghitungan penghasilan neto
diatur dalam Pasal 14 UU PPh dan Peraturan Direktur Jenderal Pajak nomor PER-
17/PJ/2015.
3. Selain boleh dikurangkan dengan biaya-biaya yang dapat dikurangkan sesuai ketentuan
UU PPh, pengusaha juga boleh mengurangkan penghasilan netonya dengan Penghasilan
Tidak Kena Pajak (PTKP). PTKP ini dihitung berdasarkan keadaan/status perkawinan
Wajib Pajak dan jumlah tanggungannya. Ketentuan mengenai biaya yang dapat
dikurangkan diatur dalam Pasal 6 UU PPh, ketentuan mengenai PTKP diatur dalam Pasal
7 UU PPh.
4. Dalam penghitungan pajak terutang berlaku tarif pajak progresif, yaitu tarif pajak yang
semakin meningkat seiring besarnya penghasilan kena pajak. Ketentuan mengenai tarif
pajak diatur dalam Pasal 17 UU PPh.
Pertimbangan Pertanggung-jawaban Utang Pajak
Aktiva yang dimiliki oleh wajib pajak perseorangan tidak terpisahkan dengan aktiva
dari kegitan usahanya, sehingga keuntungan yang didapat dari semua kegiatan usaha dalam
bentuk perseorangan itu akan diakuinya sendiri. Sebaliknya untuk kerugian, semua kesulitan
dalam kegiatan usaha dari bentuk perseorangan sepenuhnya menjadi tanggung jawab pribadi
wajib pajak. Berbeda halnya dengan badan usaha yang harus memisahkan aktiva yang
dimiliki oleh pemilik dan aktiva yang dimiliki perusahaan berbentuk badan usaha dimana
keuntungan maupun kerugian akan diakui sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati
baik yang dimasukkan kedalam anggaran dasar atau tidak.
Namun dalam ketentuan perpajakan ada beberapa tanggung jawab bagi badan usaha
yang tidak dapat dipisahkan dengan tanggung jawab pemiliknya yaitu utang pajak. Harta
pemilik modal badan usaha merupakan barang yang dapat disita apabila terdapat utang pajak
dari wajib pajak badan yang tidak dibayar walaupun telah dilakukan tindakan surat paksa
oleh juru sita pajak Negara.
Jika seseorang ingin memutuskan untuk menanamkan modal pada badan usaha atau
berusaha sendiri melalui bentuk perseorangan, selain mempertimbangkan kemungkinan
besarnya laba yang akan diterima juga harus mempertimbangkan seandainya terjadi kerugian
atau mempunyai utang pajak.
Penanggung utang pajak tetap harus dilakukan walaupun pemilik modal badan usaha
tersebut bersifat pasif. Kalau terjadi perrmasalahan dengan utang pajak, hartanya dapat
diminta untuk membayar utang pajak dari badan usah dimana dia menanamkan modalnya.
Sebagai sebuah badan usaha maka CV atau Firma berkewajiban untuk mendaftarkan
Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) yang terpisah dengan kewajiban para
pemiliknya. Keuntungan usaha merupakan penghasilannya CV yang akan dikenai
pajak dan dilaporkan oleh CV sebagai Wajib Pajak. Sedangkan penghasilan seorang
investor dari penanaman modal di CV adalah penghasilan berupa pembagian laba.
Jika seorang investor juga aktif menjalankan usaha, investor dapat saja menerima
tambahan penghasilan lain berupa gaji dan tunjangan-tunjangan lainnya.
Dalam ketentuan perpajakan, bergesernya aliran penghasilan dari CV kepada pemilik
tidak dianggap sebagai terjadinya aliran penghasilan, sehingga pajak tidak mengakui
adanya pengurangan berupa biaya gaji pemilik di CV. Sebaliknya penerimaan berupa
gaji oleh pemilik tidak dianggap sebagai adanya penghasilan bagi si pemilik.
Demikian juga atas pembagian laba yang diterima oleh pemilik.
Pajak memandang bahwa antara anggota atau pemilik dengan CV diperlakukan
sebagai satu kesatuan dalam penghitungan PPh atas keuntungan usaha. Satu kesatuan
dalam hal ini adalah tambahan kemampuan ekonomis dari usaha CV atau Firma
hanya akan dikenai PPh satu kali yaitu di CV atau Firma.
Dengan demikian antara CV dengan usaha perorangan memiliki persamaan
perlakuan perpajakan yaitu keuntungan usaha sama-sama diperlakukan sebagai satu
kesatuan dengan penghasilan pemiliknya. Hanya bedanya keuntungan usaha
perorangan dikenai pajak di sisi perorangan sebagai Wajib Pajak Orang Pribadi
(WPOP) sedangkan keuntungan usaha CV dikenai pajak di sisi CV sebagai WP
Badan.
Keduanya sama-sama tidak diperkenankan memperhitungkan pengurangan biaya
berupa gaji pemilik dan pembagian keuntungannya. Dipandang dari sudut
penghematan pajak, CV memiliki keunggulan jika dibandingkan dengan usaha
perorangan yaitu dari sisi tarif pajak. Sebagaimana dijelaskan di atas, tarif pajak bagi
CV adalah 25% sedangkan tarif pajak perorangan tertinggi adalah 30%. Sehingga,
bila dipandang dari sudut penghematan pajak, CV memiliki keunggulan jika
dibandingkan dengan usaha perorangan yaitu dari sisi tarif pajak.
Atas keuntungan CV dikenakan pajak penghasilan badan dengan Tarif Pasal 17
Undang-Undang PPh (sama dengan PT) yaitu sebesar 25%.. Pembagian keuntungan
kepada pemegang saham (pesero) tidak bisa dibebankan sebagai biaya CV, tidak
dipotong PPh pasal 23 dan bagi yang menerima bukan sebagai obyek pajak. Dengan
kata lain, Pajak penghasilan hanya dikenakan pada Perusahaan (Badan) saja sehingga
CV tidak mengalami double taxation.
KRITERIA
No. URAIAN
ASSET OMZET
1 USAHA MIKRO Maks. 50 Juta Maks. 300 Juta
2 USAHA KECIL > 50 Juta – 500 Juta > 300 Juta – 2,5 Miliar
USAHA > 500 Juta – 10 > 2,5 Miliar – 50
3
MENENGAH Miliar Miliar
Pajak Penghasilan yang diatur oleh PP Nomor 46 Tahun 2013 termasuk dalamnya
adalah setoran bulanan dimaksud merupakan PPh Pasal 4 ayat (2) atau PPh Final,
bukan PPh Pasal 25. Tarif pajak PPh yang digunakan oleh Pemerintah bagi para
pelaku UMKM diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 46 Tahun 2013.
Sasara dari Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 46 Tahun 2013 adalah wajib pajak
(WP) pribadi maupun badan yang punya usaha dengan peredaran bruto atau omzet
kurang dari Rp4.800.000.000 dalam setahun. Tarif Pajak PPh yang dikenakan untuk
UMKM berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 46 Tahun 2013 merupakan
PPh Final yang mana tarifnya sebesar 1%. Selain itu, perhitungan pajak yang
berdasarkan omzet dimaksudkan agar pelaku UMKM dapat lebih mudah menghitung
pajak yang harus dibayarkan tanpa keharusan atas pembukuan yang lengkap.
Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) yang diatur dalam PP no 46 Tahun 2013
meliputi beberapa usaha dibawah ini:
a. Usaha dagang
b. Industri
c. Jasa seperti misalnya bengkel, toko elektronik, penjahit, rumah makan, salon,
kios/toko kelontong
BAB III
Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa semua bentuk badan usaha
memiliki masing-masing kelebihan dan kelemahannya. Untuk dalam hal manajemen pajak
pun masing-masing badan usaha memiliki kelebihan dan kekurangannya dalam memanage
pajak, semua bergantung kebutuhan dari si pengusaha.
- Bila pengusaha berniat mendirikan usaha tidak untuk berinvestasi dengan peusahaan lain
maka lebih baik pengusaha mendirikan bentuk usaha CV, sebaliknya jika pengusaha
berniat mendirikan usaha untuk berinvestasi dengan perusahaan lain maka lebih baik
mendirikan bentuk usaha PT. Karena persyaratan dividen yang bukan objek pajak pada
Pasal 4 Ayat (3) Huruf f, dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh Perseroan
Terbatas sebagai Wajib Pajak Dalam Negeri (WPDN), koperasi, BUMN, atau BUMD,
dari penyertaan modal pada Badan Usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di
Indonesia dengan syarat dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan, dan
kepemilikan saham paling rendah 25% dari jumlah modal yang disetor bagi PT, BUMN
atau BUMD yang menerima dividen.
- Bila pengusaha ingin penghasilan nettonya tidak dikenakan pajak atas dividen yang
dibagikan maka lebih baik mendirikan CV.
- Jadi bila perusahaan masih memiliki omset yang dibawah 4,8M diatas 500.000.000 dalam
setahun dan memiliki sedikit beban operasional lebih baik mendirikan UMKM dikenakan
tarif pph final 1% dari omzet.
- Bila perusahaan memliki omzet diatas 500.000.000 dalam setahun dan tujuan pengusaha
mendirikan usaha bukan untuk berinvestasi pada perusahaan lain maka perusahaan
perseorangan lebih baik dipilih sebagai bentuk usaha karena kelebihannya hanya akan
dikenai tarif tertinggi 30%.
Referensi :
https://www.ortax.org/ortax/?mod=issue&page=show&id=85&list=1&q=&hlm=3
https://klikakuntansi.wordpress.com/2014/12/18/peluang-penghematan-pajak-melalui-pemilihan-
bentuk-usaha/
http://anglgita26.blogspot.com/2018/05/yuk-memilih-bentuk-usaha-swasta-yang.html