Anda di halaman 1dari 12

22

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kajian Induktif


Failure Mode and Effect Analysis mengedepankan penggunaan analisis penyebab
kegagalan dan dampaknya sebagai alat pencegahan dalam mengontrol kualitas proses
produksi pada suatu perusahaan. Untuk itu, penerapan pendekatan dengan metode ini
memungkinkan untuk mengambil langkah atau tindakan memperbaiki suatu proses
pengoperasian manajemen mutu secara sistemik. Failure mode and effect analysis dapat
digunakan sebagai dokumen atau record untuk mengidentifikasi sesuatu hal yang
berpotensi adanya kesalahan seperti membuat kecacatan atau tidak sesuai spesifikasi yang
telah ditentukan dalam proses produksi suatu produk. Berdasarkan hasil yang diteliti
terdapat dua jenis failure mode yaitu machining (milling, drilling, theading) memiliki
nilai RPN terbesar yaitu 84 sedangkan Washing Processing memiliki nilai RPN sebesar
48. Kecacatan atau failure terbesar diakibatkan seringnya terjadi gesekan antar tools yang
menyebabkan keausan pada mesin tersebut sehingga perawatan mesin tersebut dilakukan
setelah mesin melakukan proses operasi setiap 1000 pcs (Barosz et al, 2017).

Penelitian yang dilakukan Wang et al (2018) bahwa failure mode and effect
analisys (FMEA) merupakan salah satu metode analisis risiko yang paling efektif dan
telah banyak diadopsi oleh berbagai bidang dalam meningkatkan keamanan dan
keandalan sistem. Evaluasi risiko dan penentuan prioritas mode kegagalan merupakan
masalah penting dalam pendekatan FMEA dan kemudian dianggap sebagai hambatan
dalam menentukan MCDM (multi-criteriadecision) sehingga penerapan metode ini tentu
memiliki dampak yang besar untuk memvalidasi efektivitas model perbaikan sistem yang
baru berdasarkan faktor – faktor resiko yang mempengaruhi pengambilan keputusan
dalam menentukan summary (RPN). Hasil penggunaan sistem FMEA dengan MCDM
yaitu terdapat 10 kategori failure yang tercatat dan berdasarkan grafik MCDM yang
memiliki nilai RPN terbesar dan merupakan kegagalan paling berbahaya yaitu Failure
23

Mode 5 (FM 5). Pendekatan FMEA tentu memiliki berbagai kelemahan makadari itu
perlu adanya dorongan dari metode lain untuk menyempurnakannya. Metode yang
sempurna untuk berkolaborasi dengan metode ini yaitu dengan menggunakan pendekatan
AHP sehingga model prioritas risiko baru dapat efektif dalam membantu menganalisis
mode kegagalan yang berisiko tinggi dan menciptakan strategi pemeliharaan yang sesuai.
FMEA yang diusulkan dapat mengatasi kekurangan dan meningkatkan efektivitas FMEA
tradisional. Khususnya, ketergantungan serta interaksi antara berbagai mode kegagalan
telah diatasi dengan metode analisis kegagalan baru disempurnakan. Berdasarakan hasil
yang didapatkan terdapat beberapa skala prioritas jika menggunakan metode AHP dan
juga failure yang ada dikelompokkan berdasarkan kategori resiko berdasarkan nilai RPN
nya. Dan hasil yang didapat terdapat dua kategori kelompok failure yaitu The cause group
dan The effect group (Hu-Chen et al, 2015).

Kunci penting dalam mengetahui perilaku kegagalan adalah dengan merancang


program pemeliharaan terhadap suatu sistem. Metode yang paling tepat yaitu dengan
menggunakan FMEA karena berguna untuk menilai tingkat kritis suatu kegagalan pada
sistem sehingga perlu adanya kolaborasi antara FMEA dan FTA agar kedua metode
tersebut mampu mengupas secara lebih mendalam terhadap suatu resiko kegagalan.
Berdasarakan hasil yang didapat terdapat 18 penyebab terjadinya kegagalan dengan 6
diantaranya harus dilakukan action control sesegera mungkin karena nilai RPN sudah
memasuki kategori High (Peeters et al, 2018). Terdapat usaha untuk mencoba
mengembangkan Failure Mode dan Effect Analysis (FMEA) yang dimodifikasi sebagai
sarana untuk mengakses kekritisan waste dalam operasi pengendalian mutu. Kemudian
dalam upaya untuk memfasilitasi pengambilan keputusan serta menilai kekritisan
terjadinya waste dibagian pemeliharaan, model yang ada kemudian diperbaiki untuk
menentukan peringkat risiko mode pemeliharaan dengan menggunakan Waste Priority
Waste (WPN) yang telah diusulkan. Kesimpulan yang dapat diangkat yaitu metode FMEA
bukan saja digunakan untuk mengidentifikasi kecacatan suatu proses namun juga dapat
dikembangkan untuk maintenance waste dengan hasil tertinggi yang memiliki WPN yaitu
duplicating maintenance data sebesar 230. (Sutrisno et al, 2015). Terdapat pembahasan
mendetail mengenai fungsi dan kelebihan penggunaan FMEA pada suatu proses produksi
namun lebih sempurna tingkat pencegahan terjadinya failure mode jika metode tersebut
dilengkapi dengan fault tree analysis (FTA) sehingga kedua metode tersebut bisa saling
24

melengkapi untuk mengeleminasi failure list yang ada. Berdasarkan penelitian yang
dilakukan maka didapatkan hasil FCU3 dan FCU2 yang memiliki nilai RPN tertinggi dan
juga FTA yang paling detail sehingga assembly technology terhambat akibat failure
(Povolotskaya, E. & Mach, P. 2013).

Ada dua fase utama dalam metode FMEA. Fase pertama berkaitan dengan
identifikasi mode kegagalan potensial dan pengaruhnya. Hal ini termasuk dalam
menentukan potensi kegagalan komponen produk, sub-rakitan, perakitan akhir dan proses
manufakturnya, dan fase kedua berkaitan dengan melakukan analisis kekritisan untuk
menentukan tingkat keparahan mode kegagalan dengan mengevaluasi dan memberi
peringkat (RPN) di setiap kegalan sesuati dengan tingkat kekritisan suatu failure
(Mirghafoori et al. 2014). Sedikit kekurangan dari penggunaan metode FMEA tradisional
yaitu kurang akurat dalam menentukan keputusan melakukan suatu perbaikan. Hal
tersebut terjadi karena pemberian risk priority number (RPN) sering mengalami
kesalahan sehingga perlu dikembangkan dengan menggunakan metode CORPAS yang
bertujuan untuk menentukan urutan peringkat dari mode kegagalan yang ada (Wang, Z.
L. et al, 2017). Nilai occurrence, nilai detection dan nilai severity seringkali kurang akurat
jika hanya dilihat dari visualnya saja namun juga harus dicek hingga kedalam proses yang
sedang berlangsung. Namun perbaikan yang dilakukan tetap harus memperhatikan skala
prioritas yaitu nilai RPN tertinggi ke RPN terendah (Novrizal, D & Kurniawan, P. P,
2013).

Metode failure mode and effect analysis memiliki beberapa fokus kerja, salah
satunya yaitu Software failure mode and effect analysis (SFMEA). Hal ini menunjukkan
bahwa analisis untuk mengindentifikasi kesalahan (failure) bukan hanya mesin,
peralatan, design dan manufaktur namun juga terhadap aplikasinya. Untuk itu, perlu
adanya modifikasi FMEA agar penggunaannya dapat mencegah terjadinya kegagalan
system yang berulang (Vanyi, 2016). Analisis mode kegagalan dan evaluasi efek dari
suatu proses produksi memiliki hubungan sebab-akibat dalam mengetahui kemungkinan
cacat produk atau suatu proses yang disebabkan oleh ketidakteraturan timing process
yang terjadi selama proses produksi. Dalam penggunaan metode FMEA perlu
diperhatikan sepuluh skala poin (indikator) yang ada agar pemberian skor pada severity,
occurrence dan detection bisa sesuai dengan keadaan yang terjadi (J Piatkowski, 2017).
25

2.2 Kajian Deduktif


2.2.1 Kualitas Produk
Kualitas produk adalah sekumpulan ciri-ciri karakteristik dari barang dan jasa yang
mempunyai kemampuan untuk memenuhi kebutuhan yang merupakan suatu pengertian
dari gabungan daya tahan, keandalan, ketepatan, kemudahan pemeliharaan serta atribut-
atribut lainnya dari suatu produk (Japarianto, 2013). Kualitas produk merupakan faktor
penentu kepuasan konsumen setelah melakukan pembelian dan pemakaian terhadap suatu
produk. Jika mutu produk yang diterima lebih tinggi dari yang diharapkan, maka kualitas
produk yang dipersepsikan akan memuaskan. (Irawan, D. & Japarianto, E., 2013).
Pentingnya kualitas suatu produk, komponen atau sistem dalam ilmu engineering dapat
mempengaruhi baik dan buruknya mutu atau kualitas sehingga kualitas suatu produk,
komponen atau sistem merupakan factor penting untuk menjadi prioritas yang harus
diterapkan pada suatu perusahaan (Kiefer et al, 2017).

2.2.2 Mesin dan Peralatan Produksi


Perkembangan teknologi mesin industri yang semakin meningkat akan mendorong semua
perusahaan industri agar dapat mengadopsi teknologi tersebut untuk menghasilkan
produk yang berkualitas terlepas dari biaya investasi yang harus dikeluarkan (Jasasila,
2017). Mesin dan peralatan proses produksi merupakan satu kesatuan yang sangat
memperngaruhi sistem penciptaan produk. Dengan adanya mesin dan peralatan produksi,
target pembuatan produk dan permintaan konsumen bisa tercapai namun perlu adanya
perhatian khusus untuk mengontrol kestabilan mesin dan peralatan produksi agar dapat
mencegah terjadinya kerusakan atau mengurangi frekuensi kerusakan yang sering terjadi
(Behnam E. M, 2014).

Menurut Rizal (2013) penjelasan dari Aliran Data untuk mengetahui kerusakan mesin
yaitu sebagai berikut:
1. Pada proses ini sistem akan melakukan pengecekan sebab kerusakan terhadap jenis
kerusakan yang dipilih oleh user. Pengecekan dilakukan dengan mencocokkan data
dari sumber data yang ada pada tabel tindakan perbaikan. Pada saat proses ini
berlangsung, peran sang user sangat mempengaruhi karena user yang akan memilih
opsi-opsi yang ada dalam sistem pakar. Sehingga data jenis kerusakan yang
26

dimasukkan oleh user akan mempengaruhi hasil akhir dari diagnosis yang akan
dilakukan oleh sistem pakar.
2. Pada proses ini, setelah sebab kerusakan ditemukan maka sistem akan melakukan
pengecekan tindakan perbaikan terhadap jenis kerusakan yang dipilih oleh user.
Pengecekan dilakukan dengan mencocokkan data dari sumber data yang ada pada
tabel tindakan perbaikan.
3. Pada proses ini, data yang telah direkam kemudian akan dicocokkan dengan sumber
data pada tabel tindakan perbaikan. Setelah data tersebut didiagnosis, maka akan
muncul hasil akhir yang berupa hasil diagnosa (solusi) yang akan digunakan oleh
user.
4. Proses ini adalah proses update yang hanya dilakukan oleh pakar yang telah diakui
oleh pengguna sistem. Yang bertujuan untuk memodifikasi sumber data pada tabel
tindakan perbaikan. Pada proses ini, pakar dapat memberikan masukan pada sistem
berupa masukan update knowledge base jika hal tersebut dirasakan perlu.

2.2.3 Manajemen Perawatan


Menurut Sahoo & Yadav (2018) sebagian besar perusahaan manufaktur melakukan
pemeliharaan dan praktik manajemen kualitas yang memiliki kecenderungan untuk
kembali ke kebiasaan lama dalam praktik tradisional, sehingga semakin merusak proses
standardisasi. Selanjutnya jika tidak cukup memiliki wawasan tentang manajemen dan
kemampuan organisasi maka akan berakibat pada kesalahan penerapan praktik
manajemen kualitas sehingga menyebabkan kegagalan kualitas produk dan peningkatan
pengeluaran (Manohar, J. & Majumdar, B. M. 2016). Kegiatan pemeliharaan mesin yang
diperlukan oleh perusahaan industri, tentunya berkaitan dengan efisiensi dan efektivitas
berproduksi. Adapun tujuan utama fungsi pemeliharaan adalah untuk menjaga agar
kemampuan produksi dapat memenuhi kebutuhan sesuai dengan rencana produksi pada
tingkat yang tepat agar memenuhi apa yang dibutuhkan oleh produk itu sendiri dan
kegiatan produksi yang tidak terganggu dan juga untuk membantu mengurangi
pemakaian dan penyimpangan yang diluar batas dan menjaga modal yang diinvestasikan
dalam perusahaan selama waktu yang ditentukan sesuai dengan kebijaksanaan
perusahaan mengenai investasi tersebut (Jasasila, 2017).
27

Mesin dan peralatan proses produksi yang bekerja secara terus menerus akan
mengalami keausan atau kerusakan yang diakibatkan berbagai factor mulai dari kesalahan
sistem hingga tidak ada controlling. Untuk itu salah satu cara yang efisien untuk
mengurangi frekuensi terjadinya kerusakan mesin dan peralatan produksi yaitu dengan
pemeliharan preventif (Rosales et al, 2018). Kegiatan pemeliharaan diperlukan untuk
mempertahankan atau mengembalikan peralatan ke keadaan tertentu dan menjamin
layanan yang diinginkan. Terdapat dua kalsifikasi pemeliharaan yaitu Pemeliharaan
Korektif (CM) dan Preventive Maintenance (PM) strategi. CM digunakan untuk
mengembalikan (memperbaiki atau mengganti) beberapa peralatan ke fungsi yang
diperlukan setelah gagal, sementara PM melibatkan kinerja kegiatan pemeliharaan
sebelum kegagalan peralatan terjadi. Pemeliharaan preventif dapat efektif untuk
mempertahankan mesin dengan tingkat keandalan yang tinggi. Namun, menerapkan
kegiatan perawatan terjadwal juga dapat menyebabkan ketidaktersediaan mesin rusak
atau yang bermasalah saat pemeliharaan sedang dilakukan (Xiao et al, 2016).

2.2.4 Failure Mode and Effect Analysis (FMEA)


Failure Mode and Effects Analysis (FMEA) adalah metodologi yang kuat yang dapat
digunakan untuk mengidentifikasi, mengklasifikasikan, dan menganalisa potensi risiko
(Wessiani, N. A. & Sarwoko, S. O, 2015). Metode FMEA juga direkomendasikan oleh
standar internasional sebagai salah satu teknik analisis risiko. Dengan menerapkan
metodologi ini, perusahaan dapat memiliki proses yang sistematis untuk mengidentifikasi
potensi kegagalan untuk memenuhi fungsi yang dimaksudkan, untuk mengidentifikasi
kemungkinan penyebab kegagalan sehingga penyebabnya dapat dihilangkan serta untuk
menemukan kegagalan dampaknya sehingga dampaknya bisa dikurangi (Dyadem E,
2015). Kegagalan dikelompokkan berdasarkan dampak yang diberikan terhadap
kesuksesan suatu misi dari sebuah sistem. Secara umum, FMEA didefinisikan sebagai
sebuah metode yang mengidentifikasi tiga hal yaitu (Hanif et al, 2015):
1. Penyebab kegagalan yang potensial dari produk, desain, system dan proses yang
sedang berlangsung.
2. Efek atau dampak yang ditimbulkan dari suatu kegagalan yang terjadi pada suatu
produk, komponen atau sistem.
3. Tingkat kekritisan efek kegagalan terhadap fungsi sistem, desain, produk, dan proses.
28

FMEA terbagi kedalam beberapa jenis sesuai dengan fokus record failure sistem, jenis –
jenis sebagai berikut:
1. Process Failure Mode and Effect Analysis (PFMEA) merupakan metode pencegahan
yang penting untuk menjaga mutu atau kualitas suatu komponen atau sistem yang
berfokus kepada bahan dan material yang digunakan sehingga mampu mengambil
keputusan berdasarkan tingkat keparahan, probabilitas kejadian dan deteksi mode
kegagalan untuk meningkatkan kualitassuatu komponen atau sistem (Mikos et al,
2016).
2. Design Failure Mode and Effect Analysis (DFMEA) berfokus pada kekurangan yang
terkait desain dengan penekanan pada peningkatan desain dan memastikan operasi
atau proses pembuatan produk aman dan tepat selama peralatan berjalan dengan
normal (Carlson, C. S, 2014).
3. Software Failure Mode and Effect Analysis (SFMEA) merupakn metode yang
memiliki tujuan utama untuk menemukan cacat pada perangkat lunak atau jalur
sistem yang mengalami kegagalan pada perangkat lunak yang dapat merambat
kedalam sistem pusat pada perangkat lunak dan juga mampu mempengaruhi
keamanan sistem dimana perangkat lunak dipasang (Gee-Yong et al, 2014).

Menurut Anugrah et al (2015) beberapa terminologi yang berhubungan dengan


penggunaan Failure Mode and Effect Analysis adalah sebagai berikut:
1. Component merupakan komponen suatu sistem atau alat yang sedang dilakukan
analisis.
2. Potential Failure Mode menjelaskan atau menggambarkan cara dimana sebuah
produk atau proses bisa gagal untuk melaksanakan fungsi yang diperlukan.
3. Failure Effect adalah dampak atau akibat yang ditimbulkan jika komponen tersebut
gagal atau mengalami kendala seperti yang telah disebutkan dalam potential failure
mode.
4. Severity (S) merupakan menentukan seberapa serius dan bahaya suatu kondisi yang
diakibatkan pada suatu komponen jika terjadi kegagalan sesuai yang disebutkan
dalam Failure Effect.
5. Causes merupakan penyebab atau sumber yang mengakibatkan terjadinya kegagalan
pada suatu komponen sehingga mampu mengganggu fungsi utama dari suatu
komponen atau sistem.
29

6. Occurance (O) pemeringkatan seberapa sering penyebab kegagalan spesifik dari


suatu sistem tersebut terjadi. Metode yang terbaik untuk menetukan rating occurence
adalah menggunakan data aktual yang ada, jika data aktual tidak ada, tim harus
memperkirakan seberapa sering suatu failure mode terjadi.
7. Detection (D) menunjukkan tingkat kemungkinan lolosnya penyebab kegagalan dari
kontrol yang sudah dipasang.
8. Risk Priority Number (RPN) merupakan hasil perkalian bobot dari severity,
occurance dan detection. RPN juga berguna sebagai alat tolak ukur untuk
dibandingkan dengan New RPN setelah dilakukan perbaikan atau action.

Adapun penentuan kategori berdasarkan nilai severity, occurance dan detection (J


Piatkowski, 2017) :
Tabel 2.1 Rating Saverity (S)
Rating Kriteria
The defect does not affect the quality (Bentuk kegagalan
1
tidak mempegaruhi kualitas) tidak menimbulkan dampak
2
yang begitu berarti atau dapat diabaikan.
Very low and Low (Kegagalan berpengaruh ringan).
3
Menimbulkan dampak yang sangat kecil dan memerlukan
4
biaya perbaikan yang rendah
Transitory (Kegagalan yang menimbulkan sedikit
5
kesulitan).
Avarage (Kegagalan menyebabkan kualitas produk
6
sedikit terpengaruh)
Significant (Kegagalan berdampak signifikan). Perlu
7
adanya sedikit perbaikan produk atau sistem.
High (Kegagalan yang terjadi memiliki dampak yang
8 tinggi) Perbaikan yang dilakukan menggunakan biaya
besar
Very High (Kegagalan yang terjadi mempengaruhi
9
kelayakan dan kegunaan produk atau sistem).
Product Rejection (Kegagalan yang terjadi menyebabkan
10
kerusakan total)

Tabel 2.2 Rating Occurance (O)


Rating Probabilitas Kegagalan No. dari Kegagagalan
1 Tidak mungkin terjadinya <1 per 1.000.000
2 kegagalan 1 per 100.000
3 Kegagalan sangat jarang 1 per 50.000
4 terjadi 1 per 10.000
30

Rating Probabilitas Kegagalan No. dari Kegagagalan


5 Kegagalan hanya terjadi 1 per 5000
6 sesekali 1 per 1000
7 Kegagalan terjadi secara 1 per 600
8 berulang diarea yang sama 1 per 400
9 1 per 100
Kegagalan selalu berulang
10 1 per 10

Tabel 2.3 Rating Detection (D)


Rating Kategori Tingkat Mendeteksi
1 Sangat besar kemungkinan
Sangat Tinggi untuk mendeteksi penyebab
2
yang berpotensi merusak
3 Besar kemungkinan untuk
Tinggi mendeteksi penyebab yang
4 berpotensi merusak
5 Sedang kemungkinan untuk
6 Sedang mendeteksi penyebab yang
berpotensi merusak
7 Kecil, kemungkinan untuk
8 Rendah mendeteksi penyebab yang
berpotensi merusak
9 Mustahil, kemungkinan
10 Sangat Rendah untuk mendeteksi penyebab
yang berpotensi merusak

Tabel 2.4 Penentuan Kategori Resiko

Nilai Risk Priority Kategori Perlakuan


Number (RPN)

192 - 1000 Tinggi Lakukan perbaikan saat ini

65 - 191 Sedang Upaya untuk melakukan


perbaikan

0 – 64 Rendah Resiko dapat diabaikan

Mode kegagalan didefinisikan sebagai cara di mana komponen, subsistem, sistem, proses
memiliki potensi tidak dapat memenuhi desain atau mengalami kegagalan. Penyebab
kegagalan didefinisikan sebagai kelemahan yang dapat menyebabkan kegagalan. Untuk
setiap mode kegagalan yang teridentifikasi, efek utamanya perlu ditentukan yang
biasanya dilakukan oleh tim FMEA. Efek kegagalan didefinisikan sebagai hasil dari mode
kegagalan pada fungsi produk / proses yang dirasakan oleh pelanggan. Tujuan RPN
31

adalah untuk menentukan peringkat berbagai parameter; perhatian harus diberikan untuk
setiap metode yang tersedia untuk mengurangi RPN Nomor Prioritas Risiko (RPN)
adalah produk dari Severity (S), Occurence (O), dan Detection (D) dan dihitung oleh
formula (Mirghafoori et al, 2014):

RPN = S x O x D (2.1)

Dengan,
S = Severity
O = Occurance
D = Detection
RPN = Risk Priority Number

2.2.5 USE (Usefulness, Satisfaction and Ease for use)


Usability merupakan salah satu parameter penting pada pengukuran kualitas sistem
informasi atau perangkat lunak. Usability mengacu pada efektivitas, efisiensi dan
kepuasan pengguna. Tingkat usability yang tinggi biasanya berkaitan erat dengan
populernya dan tingginya pemanfaatan sistem / perangkat lunak tersebut oleh user untuk
membantu tugas mereka. Sistem dengan tingkat usability rendah biasanya pada akhirnya
akan ditinggalkan oleh user. Oleh karena itu, sangat penting untuk mengetahui tingkat
usabilitas suatu sistem. Hasil pengukurannya dapat digunakan sebagai masukan berharga
untuk memperbaiki sistem tersebut di masa mendatang (Aelani, K. & Falahah. 2013).

Kategori kuisioner yang berkaitan tengang USE untuk melakukan usability testing
selengkapnya sebagai berikut (Lund A.M, 2013):
a. Usefulness (Kebergunaan)
Dalam kategori ini menggambarkan seberapa efektif dan efisien pemanfaatan suatu
sistem. Agar dapat dikatakan efektif dan efisien maka suatu sistem harus memenuhi:
1. It helps me be more effective.
2. It helps me be more productive.
3. It is useful.
4. It gives me more control over the activities in my life.
5. It makes the things I want to accomplish easier to get done.
32

6. It saves me time when I use it.


7. It meets my needs.
8. It does everything I would expect it to do.

b. Ease of Use (Kemudahan Penggunaan)


Kategori ini menggambarkan seberapa mudah pemanfaatan suatu sistem
dioperasikan. Agar dapat dikatakan mudah maka suatu sistem harus memenuhi:
1. It is easy to use.
2. It is simple to use.
3. It is user friendly.
4. It requires the fewest steps possible to accomplish what I want to do with it.
5. It is flexible.
6. Using it is effortless.
7. I can use it without written instructions.
8. I don't notice any inconsistencies as I use it.
9. Both occasional and regular users would like it.
10. I can recover from mistakes quickly and easily.
11. I can use it successfully every time.

c. Ease of Learning (Kemudahan mempelajari)


Dalam kategori ini menggambarkan seberapa mudah pemanfaatan suatu sistem untuk
dipahami. Agar dapat dikatakan mudah untuk dipahami maka suatu sistem harus
memenuhi:
1. I learned to use it quickly.
2. I easily remember how to use it.
3. It is easy to learn to use it.
4. I quickly became skillfull with it.

d. Satisfaction (Kepuasan)
Kategori ini menggambarkan tingkat kepuasan pengguna terhadap pemanfaatan
suatu sistem. Agar dapat dikatakan memiliki kepuasan yang tinggi maka suatu sistem
harus memenuhi:
1. I am satisfied with it.
33

2. I would recommend it to a friend.


3. It is fun to use.
4. It works the way I want it to work.
5. It is wonderful.
6. I feel I need to have it.
7. It’s Pleasant to use.

Usability testing menggambarkan tentang fungsi atau kegunaan dari suatu sistem yang
sedang digunakan dengan melakukan pengukuran sejauhmana keberhasilan penerapan
suatu sistem yang dapat dirasakan oleh pengguna dalam mencapai suatu tujuan dari
penggunaan sistem tersebut. Hasil pengukuran keberhasilan diekpresikan secara empiris
dan data yang digunakan secara kualitatif (Kusuma et al. 2016).

Gambar 2.1 Summary of Usability Testing


Sumber : Wahyu et al, 2016

Anda mungkin juga menyukai