BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Penelitian yang dilakukan Wang et al (2018) bahwa failure mode and effect
analisys (FMEA) merupakan salah satu metode analisis risiko yang paling efektif dan
telah banyak diadopsi oleh berbagai bidang dalam meningkatkan keamanan dan
keandalan sistem. Evaluasi risiko dan penentuan prioritas mode kegagalan merupakan
masalah penting dalam pendekatan FMEA dan kemudian dianggap sebagai hambatan
dalam menentukan MCDM (multi-criteriadecision) sehingga penerapan metode ini tentu
memiliki dampak yang besar untuk memvalidasi efektivitas model perbaikan sistem yang
baru berdasarkan faktor – faktor resiko yang mempengaruhi pengambilan keputusan
dalam menentukan summary (RPN). Hasil penggunaan sistem FMEA dengan MCDM
yaitu terdapat 10 kategori failure yang tercatat dan berdasarkan grafik MCDM yang
memiliki nilai RPN terbesar dan merupakan kegagalan paling berbahaya yaitu Failure
23
Mode 5 (FM 5). Pendekatan FMEA tentu memiliki berbagai kelemahan makadari itu
perlu adanya dorongan dari metode lain untuk menyempurnakannya. Metode yang
sempurna untuk berkolaborasi dengan metode ini yaitu dengan menggunakan pendekatan
AHP sehingga model prioritas risiko baru dapat efektif dalam membantu menganalisis
mode kegagalan yang berisiko tinggi dan menciptakan strategi pemeliharaan yang sesuai.
FMEA yang diusulkan dapat mengatasi kekurangan dan meningkatkan efektivitas FMEA
tradisional. Khususnya, ketergantungan serta interaksi antara berbagai mode kegagalan
telah diatasi dengan metode analisis kegagalan baru disempurnakan. Berdasarakan hasil
yang didapatkan terdapat beberapa skala prioritas jika menggunakan metode AHP dan
juga failure yang ada dikelompokkan berdasarkan kategori resiko berdasarkan nilai RPN
nya. Dan hasil yang didapat terdapat dua kategori kelompok failure yaitu The cause group
dan The effect group (Hu-Chen et al, 2015).
melengkapi untuk mengeleminasi failure list yang ada. Berdasarkan penelitian yang
dilakukan maka didapatkan hasil FCU3 dan FCU2 yang memiliki nilai RPN tertinggi dan
juga FTA yang paling detail sehingga assembly technology terhambat akibat failure
(Povolotskaya, E. & Mach, P. 2013).
Ada dua fase utama dalam metode FMEA. Fase pertama berkaitan dengan
identifikasi mode kegagalan potensial dan pengaruhnya. Hal ini termasuk dalam
menentukan potensi kegagalan komponen produk, sub-rakitan, perakitan akhir dan proses
manufakturnya, dan fase kedua berkaitan dengan melakukan analisis kekritisan untuk
menentukan tingkat keparahan mode kegagalan dengan mengevaluasi dan memberi
peringkat (RPN) di setiap kegalan sesuati dengan tingkat kekritisan suatu failure
(Mirghafoori et al. 2014). Sedikit kekurangan dari penggunaan metode FMEA tradisional
yaitu kurang akurat dalam menentukan keputusan melakukan suatu perbaikan. Hal
tersebut terjadi karena pemberian risk priority number (RPN) sering mengalami
kesalahan sehingga perlu dikembangkan dengan menggunakan metode CORPAS yang
bertujuan untuk menentukan urutan peringkat dari mode kegagalan yang ada (Wang, Z.
L. et al, 2017). Nilai occurrence, nilai detection dan nilai severity seringkali kurang akurat
jika hanya dilihat dari visualnya saja namun juga harus dicek hingga kedalam proses yang
sedang berlangsung. Namun perbaikan yang dilakukan tetap harus memperhatikan skala
prioritas yaitu nilai RPN tertinggi ke RPN terendah (Novrizal, D & Kurniawan, P. P,
2013).
Metode failure mode and effect analysis memiliki beberapa fokus kerja, salah
satunya yaitu Software failure mode and effect analysis (SFMEA). Hal ini menunjukkan
bahwa analisis untuk mengindentifikasi kesalahan (failure) bukan hanya mesin,
peralatan, design dan manufaktur namun juga terhadap aplikasinya. Untuk itu, perlu
adanya modifikasi FMEA agar penggunaannya dapat mencegah terjadinya kegagalan
system yang berulang (Vanyi, 2016). Analisis mode kegagalan dan evaluasi efek dari
suatu proses produksi memiliki hubungan sebab-akibat dalam mengetahui kemungkinan
cacat produk atau suatu proses yang disebabkan oleh ketidakteraturan timing process
yang terjadi selama proses produksi. Dalam penggunaan metode FMEA perlu
diperhatikan sepuluh skala poin (indikator) yang ada agar pemberian skor pada severity,
occurrence dan detection bisa sesuai dengan keadaan yang terjadi (J Piatkowski, 2017).
25
Menurut Rizal (2013) penjelasan dari Aliran Data untuk mengetahui kerusakan mesin
yaitu sebagai berikut:
1. Pada proses ini sistem akan melakukan pengecekan sebab kerusakan terhadap jenis
kerusakan yang dipilih oleh user. Pengecekan dilakukan dengan mencocokkan data
dari sumber data yang ada pada tabel tindakan perbaikan. Pada saat proses ini
berlangsung, peran sang user sangat mempengaruhi karena user yang akan memilih
opsi-opsi yang ada dalam sistem pakar. Sehingga data jenis kerusakan yang
26
dimasukkan oleh user akan mempengaruhi hasil akhir dari diagnosis yang akan
dilakukan oleh sistem pakar.
2. Pada proses ini, setelah sebab kerusakan ditemukan maka sistem akan melakukan
pengecekan tindakan perbaikan terhadap jenis kerusakan yang dipilih oleh user.
Pengecekan dilakukan dengan mencocokkan data dari sumber data yang ada pada
tabel tindakan perbaikan.
3. Pada proses ini, data yang telah direkam kemudian akan dicocokkan dengan sumber
data pada tabel tindakan perbaikan. Setelah data tersebut didiagnosis, maka akan
muncul hasil akhir yang berupa hasil diagnosa (solusi) yang akan digunakan oleh
user.
4. Proses ini adalah proses update yang hanya dilakukan oleh pakar yang telah diakui
oleh pengguna sistem. Yang bertujuan untuk memodifikasi sumber data pada tabel
tindakan perbaikan. Pada proses ini, pakar dapat memberikan masukan pada sistem
berupa masukan update knowledge base jika hal tersebut dirasakan perlu.
Mesin dan peralatan proses produksi yang bekerja secara terus menerus akan
mengalami keausan atau kerusakan yang diakibatkan berbagai factor mulai dari kesalahan
sistem hingga tidak ada controlling. Untuk itu salah satu cara yang efisien untuk
mengurangi frekuensi terjadinya kerusakan mesin dan peralatan produksi yaitu dengan
pemeliharan preventif (Rosales et al, 2018). Kegiatan pemeliharaan diperlukan untuk
mempertahankan atau mengembalikan peralatan ke keadaan tertentu dan menjamin
layanan yang diinginkan. Terdapat dua kalsifikasi pemeliharaan yaitu Pemeliharaan
Korektif (CM) dan Preventive Maintenance (PM) strategi. CM digunakan untuk
mengembalikan (memperbaiki atau mengganti) beberapa peralatan ke fungsi yang
diperlukan setelah gagal, sementara PM melibatkan kinerja kegiatan pemeliharaan
sebelum kegagalan peralatan terjadi. Pemeliharaan preventif dapat efektif untuk
mempertahankan mesin dengan tingkat keandalan yang tinggi. Namun, menerapkan
kegiatan perawatan terjadwal juga dapat menyebabkan ketidaktersediaan mesin rusak
atau yang bermasalah saat pemeliharaan sedang dilakukan (Xiao et al, 2016).
FMEA terbagi kedalam beberapa jenis sesuai dengan fokus record failure sistem, jenis –
jenis sebagai berikut:
1. Process Failure Mode and Effect Analysis (PFMEA) merupakan metode pencegahan
yang penting untuk menjaga mutu atau kualitas suatu komponen atau sistem yang
berfokus kepada bahan dan material yang digunakan sehingga mampu mengambil
keputusan berdasarkan tingkat keparahan, probabilitas kejadian dan deteksi mode
kegagalan untuk meningkatkan kualitassuatu komponen atau sistem (Mikos et al,
2016).
2. Design Failure Mode and Effect Analysis (DFMEA) berfokus pada kekurangan yang
terkait desain dengan penekanan pada peningkatan desain dan memastikan operasi
atau proses pembuatan produk aman dan tepat selama peralatan berjalan dengan
normal (Carlson, C. S, 2014).
3. Software Failure Mode and Effect Analysis (SFMEA) merupakn metode yang
memiliki tujuan utama untuk menemukan cacat pada perangkat lunak atau jalur
sistem yang mengalami kegagalan pada perangkat lunak yang dapat merambat
kedalam sistem pusat pada perangkat lunak dan juga mampu mempengaruhi
keamanan sistem dimana perangkat lunak dipasang (Gee-Yong et al, 2014).
Mode kegagalan didefinisikan sebagai cara di mana komponen, subsistem, sistem, proses
memiliki potensi tidak dapat memenuhi desain atau mengalami kegagalan. Penyebab
kegagalan didefinisikan sebagai kelemahan yang dapat menyebabkan kegagalan. Untuk
setiap mode kegagalan yang teridentifikasi, efek utamanya perlu ditentukan yang
biasanya dilakukan oleh tim FMEA. Efek kegagalan didefinisikan sebagai hasil dari mode
kegagalan pada fungsi produk / proses yang dirasakan oleh pelanggan. Tujuan RPN
31
adalah untuk menentukan peringkat berbagai parameter; perhatian harus diberikan untuk
setiap metode yang tersedia untuk mengurangi RPN Nomor Prioritas Risiko (RPN)
adalah produk dari Severity (S), Occurence (O), dan Detection (D) dan dihitung oleh
formula (Mirghafoori et al, 2014):
RPN = S x O x D (2.1)
Dengan,
S = Severity
O = Occurance
D = Detection
RPN = Risk Priority Number
Kategori kuisioner yang berkaitan tengang USE untuk melakukan usability testing
selengkapnya sebagai berikut (Lund A.M, 2013):
a. Usefulness (Kebergunaan)
Dalam kategori ini menggambarkan seberapa efektif dan efisien pemanfaatan suatu
sistem. Agar dapat dikatakan efektif dan efisien maka suatu sistem harus memenuhi:
1. It helps me be more effective.
2. It helps me be more productive.
3. It is useful.
4. It gives me more control over the activities in my life.
5. It makes the things I want to accomplish easier to get done.
32
d. Satisfaction (Kepuasan)
Kategori ini menggambarkan tingkat kepuasan pengguna terhadap pemanfaatan
suatu sistem. Agar dapat dikatakan memiliki kepuasan yang tinggi maka suatu sistem
harus memenuhi:
1. I am satisfied with it.
33
Usability testing menggambarkan tentang fungsi atau kegunaan dari suatu sistem yang
sedang digunakan dengan melakukan pengukuran sejauhmana keberhasilan penerapan
suatu sistem yang dapat dirasakan oleh pengguna dalam mencapai suatu tujuan dari
penggunaan sistem tersebut. Hasil pengukuran keberhasilan diekpresikan secara empiris
dan data yang digunakan secara kualitatif (Kusuma et al. 2016).