Anda di halaman 1dari 5

CAKUPAN DAN OBJEK FILSAFAT ILMU

Ni Wayan Anggiyani
NIM: 1713011015

I. TUJUAN
1.1 Mengetahui Cakupan Filsafat Ilmu.
1.2 Mengetahui Objek Filsafat Ilmu

II. PEMBAHASAN
2.1 Cakupan Filsafat Ilmu
Berkembangnya filsafat ilmu sehingga menjadi suatu bidang pengetahuan yang
sangat luas dan mendalam mengantarkan berbagai displin ilmu baru tentu semakin
memperluas wilayah kajian filsafat ilmu, baik yang menyangkut cakupan fisika maupun
metafisika.
The Liang Gie (Latif, 2014, hlm. 25) mengemukakan cakupan filsafat ilmu dari
para filsuf dunia yang membagi pokok filsafat ilmu dalam beberapa bidang sebagai
berikut. 1) Peters Angeles: (a) Telaah mengenai berbagai konsep, pra-anggapan, dan
metode ilmu, berikut analisis, perluasan, dan penyusunan untuk memperoleh
pengetahuan yang lebih ajeg dan cermat; (b) Telaah dan pembenaran mengenai proses
penalaran dalam ilmu berikut struktur perlambangannya; (c) Telaah mengenai
keterkaitan antara berbagai ilmu; dan (d) Telaah mengenai akibat pengetahuan ilmiah
bagi hal-hal yang berkaitan dengan penyerapan dan pemahaman manusia terhadap
realitas, entitas, sumber, keabsahan pengetahuan, serta sifat dasar kemanusiaan. 2)
Cornelius Benyamin: (a) Telaah mengenai metode ilmu, lambang ilmiah, dan struktur
logis serta sistem perlambangan ilmiah. Telaah ini banyak menyangkut logika dan teori
pengetahuan, serta teori umum tentang tanda; (b) Penjelasan tentang konsep dasar, pra-
anggapan, dan pangkal pendirian ilmu, berikut landasan empiris, rasional, atau
pragmatis yang menjadi tempat tumpuannya. Dalam hal ini banyak hal yang berkaitan
dengan metafisika, karena mencakup telaah terhadap berbagai keyakinan mengenai
dunia kenyataan, keseragaman alam, dan rasionalitas dari proses alamiah; dan (c) Aneka
telaah mengenai saling keterkaitan antara berbagai ilmu dan implikasinya bagi suatu
karier alam semesta, misalnya idealisme, materialisme, monisme, atau pluralisme. 3)
Marx War Tofsjy: (a) Perenungan-perenungan mengenai konsep dasar, struktur
formal, dan metodologi ilmu; dan (b) Persoalan ontologi dan epistomologi yang khas
bersifat filsafati dengan pembahasan yang memadukan peralatan analitis dari logika
modern dan model konseptual dari penyelidikan ilmiah. 4) Ernest Nagel: (a) Pola logis
yang ditunjukkan oleh penjelasan dalam ilmu; (b) Pembuktian konsep ilmiah; dan (c)
Pembuktian keabsahan ilmiah. 5) Arthur Danto: (a) Persoalan konsep yang memiliki
kaitan erat dengan ilmu itu sendiri, sehingga pemecahannya dapat seketika dipandang
sebagai sumbangan kepada ilmu daripada kepada filsafat; dan (b) Persoalan umum
dengan perkalian umum yang filsafati, sehingga pemecahannya merupakan suatu
sumbangan kepada metafisika atau epistomologi seperti kepada filsafat ilmu yang
sesungguhnya. 6) Israel Scheffier: (a) Peran ilmu dalam masyarakat, yang menelaah
hubungan antara faktor-faktor kemasyarakatan dan ide-ide ilmiah; (b) Dunia
sebagaimana digambarkan oleh ilmu, berusaha melukiskan asal mula dan struktur alam
semesta menurut teori yang terbaik dan penemuan dalam kosmologi; dan (c) Landasan
ilmu, menyelidiki metode ilmu, bentuk logis, cara penyimpulan, dan konsep dasar ilmu.
Faud Ikhsan (Latif, 2014, hlm. 27) mengatakan cakupan filsafat ilmu secara lebih
perinci berdasarkan disiplin ilmu sebagaimana dikemukakan oleh beberapa filsuf
sebagai berikut. 1) Alburey Castell: (a) Theological problem (masalah teologis); (b)
Metaphysical problem (masalah metafisika); (c) Ethical problem (masalah etika); (d)
Political problem (masalah politik); dan (f) Historical problem (masalah sejarah). 2) M.
J. Langevel: (a) Lingkungan masalah-masalah keadaan (seperti metafisika); (b)
Lingkungan masalah-masalah pengetahuan (teori kebenaran, teori pengetahuan, dan
logika); dan (c) Lingkungan masalah nilai (teori nilai, etika, estetika, dan nilai yang
berdasarkan agama). 3) H. De Vos: (a) Metafisika; (b) Logika; (c) Ajaran tentang ilmu
pengetahuan; (d) Filsafat alam; (e) Filsafat kebudayaan; (f) Filsafat sejarah; (g) Sejarah
etika; (h) Estetika; dan (i) Antropologi. 4) Richard H. Pophin dan Avrum Astroll: (a)
Section I, Ethien (etika); (b) Section II, Political Philosophy (filsafat politik); (c) Section
III, Metaphisics; (d) Section IV, Philosophy Of Religion (filsafat agama); (e) Section V,
Theory Of Knowledge (teori pengetahuan); (f) Section VI, Logis (logika); dan (g)
Section VII, Contemporary Philosophy (filsafat kontemporer).
Dalam konteks sejarah filsafat yang menjadi dasar pengembangan filsafat ilmu,
cakupan ini pula dikembangkan oleh para pakar ke berbagai cabang keilmuan
sebagaimana yang dikembangkan oleh: 1) Aristoteles, yang terbagi kedalam empat
cabang, yaitu: (a) Logika (ilmu ini dianggap sebagai ilmu pendahuluan bagi filsafat); (b)
Filsafat teoretis (ilmu fisika yang mempersoalkan dunia materi dari alam nyata, ilmu
matematika yang mempersoalkan benda-benda alam dalam kuantitasnya, ilmu
metafisika yang mempersoalkan tentang hakikat segala sesuatu. Ini merupakan hal yang
paling utama dari filsafat); (c) Filsafat praktis (ilmu etika yang mengatur kesusilaan dan
kebahagiaan dalam hidup perorangan, ilmu ekonomi yang mengatur kesusilaan dan
kemakmuran dalam keluarga atau rumah tangga, ilmu politik yang mengatur kesusilaan
dan kemakmuran dalam negara); dan (d) Filsafat poetika (estetika) seni dan keindahan.
2) Pada zaman Renaisans filsafat berkembang dalam corak yang baru dengan
memiliki beberapa cabang ilmu, yakni: (a) Metafisika, filsafat tentang hakikat yang ada
dibalik alam nyata dan bersifat transenden, diluar jangkauan pengalaman manusia; (b)
Logika, filsafat tentang pikiran yang benar dan salah; (c) Etika, filsafat tentang tingkah
laku yang baik dan yang buruk, estetika, filsafat tentang hal-hal yang berkaitan dengan
keindahan dan kejelekan; (d) Epistomologi, filsafat tentang ilmu pengetahuan; (e)
Politik, filsafat tentang hal-hal yang berkaitan dengan undang-undang atau Negara; serta
(f) Filsafat ilmu lainnya seperti filsafat sejarah, filsafat hukum, filsafat teologi atau
agama, filsafat ekonomi, filsafat manusia, filsafat alam, dan filsafat ilmu yang
tergantung dalam berbagai disiplin ilmu lainnya. (Latif, 2014, hlm. 28)
Pembagian filsafat ilmu berdasarkan pada struktur pengetahuan filsafat yang
berkembang sekarang ini menurut Jujun S. Suriasumantri (Latif, 2014, hlm. 28) terbagi
menjadi tiga bidang yang terdiri dari: 1) Filsafat sistematis: (a) Metafisika; (b)
Epistemologi; (c) Metodologi; (d) Logika; (e) Etika; dan (f) Estetika. 2) Filsafat
khusus: (a) Filsafat seni; (b) Filsafat kebudayaan; (c) Filsafat pendidikan; (d) Filsafat
sejarah; (e) Filsafat bahasa; (f)Filsafat hukum; (g) Filsafat budi; (h) Filsafat politik; (i)
Filsafat agama; (j) Filsafat kehidupan; dan (k) Filsafat nilai. 3) Filsafat keilmuan: (a)
Filsafat matematika; (b) Filsafat ilmu fisik; (c) Filsafat biologi; (d) Filsafat linguistik;
(e) Filsafat psikologi; dan (f) Filsafat ilmu sosial.
Berdasarkan telaah mengenai cakupan filsafat ilmu dari berbagai pendapat yang
telah dikemukakan, dapat disimpulkan bahwa cakupan filsafat ilmu sangatlah luas.
Akan tetapi, dapat dilihat dari bahwa pendapat tersebut pada dasarnya berputar pada
cabang filsafat yang utama yakni logika, fisika, etika, estetika, dan metafisiska.
Walaupun ada filsuf yang membahasnya dari segi cakupan yang berbeda, namun
esensinya tetap sama dan bergerak pada konstruk filsafat (ontologis, epistemologis, dan
aksiologi)
Ontologi membahas keberadaan sesuatu yang bersifat konkret. Tokoh Yunani
yang memiliki pandangan yang bersifat ontologis adalah Thales, Palto, dan Aristoteles.
Hakikat kenyataan atau realitas dapat ditelaah dari sudut ontologi dengan dua macam
sudut pandang, yaitu: (1) Kuantitatif, yaitu dengan mempertanyakan apakah kenyataan
itu tunggal atau jamak; dan (2) Kualitatif, yaitu dengan mempertanyakan apakah
kenyataan (realitas) itu memilki kualitas tertentu. Ontologi adalah hakikat yang ada
merupakan asumsi dasar bagi apa yang disebut sebagai kenyataan dan kebenaran. Ada
sejumlah istilah penting yang terkait dengan ontologi, meliputi: (a) Yang ada (being);
(b) Kenyataan/realitas (reality); (c) Eksistensi (existence); (d) Esensi (essence); (e)
Substansi (substance); (f) Perubahan (change): (g) Tunggal (one); dan (h) Jamak
(many). (Latif, 2014, hlm. 29)
Epistemologi berasal dari bahasa Yunani “episteme” (pengetahuan) dan “logos”
(kata, pembicara, ilmu). Sehingga epistemologi dapat diartikan sebagai cabang filsafat
yang berkaitan dengan asal, sifat, dan jenis pengetahuan. Berdasarkan subjeknya
epitemologi terbagi menjadi empat, yaitu: (a) Akal; (b) Panca indra; (c) Konsepsi
(gambaran tentang sesuatu yang apa adanya); dan (d) Imajinasi (konsep benda yang
tidak ada hubungannya dengan benda yang dituju). (Latif, 2014, hlm. 30)
Aksiologi merupakan cabang filsafat yang mempelajari tentang nilai secara
umum. Ada dua paham pendukung aksiologi ini yakni: (a) Paham absolutism; dan (b)
Paham relativisme nilai-nilai kebenaran, seperti universal, argumentatif, rasional, dan
manusiawi. (Latif, 2014, hlm. 31)

2.2 Objek Filsafat Ilmu


Pada dasarnya, setiap ilmu memiliki dua objek, yaitu objek material dan objek
formal. Objek material adalah objek yang dijadikan sasaran penyelidikan oleh suatu
ilmu, atau objek yang dipelajari oleh suatu ilmu tersebut. Sedangkan objek formal yaitu
yang menjadi pusat perhatian (focus of interest). Seperti tubuh manusia, yaitu objek
material ilmu kedokteran. Adapun objek formalnya yaitu metode untuk memahami
objek material itu, seperti pendekatan indukatif dan deduktif.
Mohammad Adib (Latif, 2014, hlm. 31) mengemukakan ilmu filsafat juga
memiliki objek material dan objek formal. Objek material filsafat ilmu yaitu
pengetahuan itu sendiri, yakni pengetahuan ilmiah “scientific knowledge” pengetahuan
yang telah disusun secara sistematis dengan metode ilmiah tertentu, sehingga dapat
dipertanggungjawabkan kebenarannya secara umum. Adapun objek formal filsafat ilmu
yaitu sudut pandang dari mana sang subjek menelaah materialnya.
Setiap ilmu pasti berbeda dalam objek formalnya. Objek formal filsafat ilmu yaitu
hakikat (esensi) ilmu pengetahuan, artinya filsafat ilmu lebih menaruh perhatian
terhadap problem mendasar ilmu pengetahuan. Problem inilah yang dibicarakan dalam
landasan pengembangan ilmu pengetahuan, yakni landasan ontologis, epistemologis,
dan aksiologis. (Latif, 2014, hlm. 32)
Dalam pandangan ontologis pengembangan ilmu, titik tolak penelaahan ilmu
pengetahuan didasarkan atas sikap dan pendirian filosofis yang dimiliki oleh seorang
ilmuwan. Sikap atau pendirian filosofis secara garis besar dapat dibedakan ke dalam dua
“mainstream”, aliran besar yang sangat mempengaruhi perkembangan ilmu
pengetahuan, yaitu materialisme dan spiritualisme. Materialisme adalah suatu
pandangan fisik yang menganggap bahwa tidak ada hal yang nyata selain materi.
Spiritualisme adalah suatu pandangan metafisika yang menganggap kenyataan terdalam
roh yang mengisi dan mendasari seluruh alam. (Latif, 2014, hlm. 32)
Perkembangan ilmu berdasarkan pada materialisme cenderung pada ilmu-ilmu
kealaman, dan menganggap bidang ilmunya sebagai pengembangan ilmu-ilmu lain.
Dalam pengembangan ilmu modern, aliran ini disuarakan oleh aliran positivism dan
naturalism, sedangkan spiritualisme cenderung pada ilmu-ilmu kerohanian dan
menganggap bidang ilmunya sebagai wadah utama bagi titik tolak pengembangan
bidang-bidang ilmu lain yang dikembangkan lebih banyak dalam paham keagamaan,
sehingga lahir pada filsuf agama. (Latif, 2014, hlm. 32)

SUMBER:
Latif, M. (2014). Orientasi Kearah Pemahaman Filsafat Ilmu. Jakarta: Kencana
Prenadamedia Group.

Anda mungkin juga menyukai