Anda di halaman 1dari 10

The Internal Challenges Facing Islamic Finance Industry

TUGAS RESUME
Disusun untuk memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah Fikih Zakat dan Wakaf
dengan dosen pengampu Dr. H. Mokh. Adib Sultan, S.T., M.T., Rida Rosida,
B.Sc., M.Sc., Fitranty

Disusun Oleh:

Destya Faharani 1701154


Muhammad Aly Rizki 170 4791
Rani Nurfajariyati 1701284

PROGRAM STUDI ILMU EKONOMI DAN KEUANGAN ISLAM


FAKULTAS PENDIDIKAN EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
BANDUNG
2020
Judul : The Internal Challenges Facing Islamic Finance
Industry
Penulis : Abdulazeem Abozaid
Nama Jurnal : International Journal of Islamic and Middle Eastern
Finance and Management, Vol. 9 No. 2
Penerbit : Emerald Group Publishing Limited
Terbit : 2016

1. Pegantar/Perkenalan
Sejak awal, industri keuangan Islam telah menghadapi berbagai tantangan.
Beberapa dari tantangan ini bersifat eksternal dan bersifat hukum, dan tantangan
tersebut muncul dari kegagalan untuk mengenali sifat khusus perbankan dan
keuangan Islam sebagai industri yang tidak dapat menjual uang tunai melainkan
hanya sebagai aset dan jasa. Sebagai contoh, beberapa yurisdiksi tidak
mengizinkan bank syariah untuk memperdagangkan aset, sementara undang-
undang lain memperbolehkan bank syariah untuk memiliki aset tetapi
mengenakan pajak pada setiap transfer hak atas aset. Ini telah memaksa beberapa
bank untuk cenderung menghindari pembayaran pajak dengan mengurangi
beberapa langkah kontrak yang diperlukan, yang berpotensi menimbulkan
beberapa kekhawatiran Syariah.
Hukum juga dapat melarang bank untuk menyewakan aset kepada klien, dan
oleh karena itu, bank syariah tidak memiliki pilihan selain menghindari dan
mengeksekusi ijarah (sewa) dalam bentuk penjualan. Selain itu pasar modal
Islam yang vital seperti sukuk belum diatur sepenuhnya karena terkendala
berbagai hukum atua aturan. Selain itu, banyak pengadilan tidak mengakui
hukum Islam (Syariah) saat menangani perselisihan yang berkaitan dengan
keuangan Islam. Terlepas dari keseriusan tantangan hukum yang disebutkan di
atas, keuangan Islam juga menghadapi tantangan internal yang dapat
mempertaruhkan kredibilitasnya dan menimbulkan ancaman yang lebih serius
bagi keberhasilan jangka panjang dan kelangsungan hidupnya. Tantangan-
tantangan ini datang dari dalam industri dan tidak dapat disalahkan pada faktor-
faktor eksternal. Mereka termasuk orang-orang yang berkaitan dengan
kurangnya tata kelola Syariah yang kuat dan dapat ditegakkan, sehingga
menciptakan jalan untuk fatwa (pendapat Syariah yang diberikan oleh para
sarjana Syariah) belanja dan invasi beberapa produk kontroversial.
Selain itu, mereka juga berhubungan dengan metodologi yang digunakan di
bank syariah dalam menyusun produk pembiayaan mereka karena metodologi
ini telah menghasilkan sejumlah produk yang meminjam legitimasi mereka dari
sekadar kepatuhan pada teknik-teknik tertentu yang tidak berguna dan
membingungkan, hanya untuk membuat mereka terlihat berbeda dari
konvensional mereka. rekan-rekan. Tantangan seperti itu memerlukan
pendekatan yang tekun terhadap pengesahan produk dan transaksi Syariah,
terutama dengan meningkatnya kesadaran Syariah dari rata-rata nasabah dan
adanya kasus pengadilan yang belum pernah terjadi sebelumnya yang bersifat
kepatuhan terhadap Syariah.
Diskusi berikut membahas tantangan internal ini dengan terlebih dahulu
menyoroti kekurangan yang ada pada dewan pengawas syariah dan kemudian
kekurangan dalam metodologi pengembangan produk di bank-bank Islam.

2. Tidak Adanya Pemerintahan Syariah yang Tepat


Bukan rahasia bahwa keuangan Islam sedang menghadapi tantangan terkait
dengan kurangnya pemerintahan Syariah yang tepat dan efektif dan bahwa
industri perbankan dan keuangan Islam telah mengatur sendiri sejak awal, tanpa
pengawasan atau intervensi dari pihak berwenang benar-benar independen.
Audit dan Akuntansi Lembaga Keuangan Islam (AAOIFI) adalah otoritas dari
dalam industri, dan telah memperkenalkan standar untuk Tawarruq.
Intervensi dari bank sentral juga telah terbukti tidak berhasil karena masalah
inti perbankan syariah menghadapi berkaitan dengan kredibilitas produk dan
kemiripan mereka dengan produk perbankan konvensional. Tentu, bank sentral
tidak akan senang dengan bank syariah menawarkan produk-produk yang benar-
benar Islam karena produk ini akan kemudian inheren membawa berbagai risiko
usaha. Oleh karena itu, peraturan Syariah yang seimbang sangat diperlukan, dan
kemerdekaan penuh dari setiap potensi otoritas Syariah dari lembaga keuangan
Islam adalah suatu keharusan.
1) Unsur-unsur dasar tata Syariah
Pemerintahan syariah melibatkan berbagai masalah; fokus dalam
makalah ini akan berada di dua elemen dasar: produk perbankan syariah dan
kontrol Syariah.
a. Produk perbankan syariah dan transaksi
b. Kontrol Syariah dan pengawasan.
Pengawasan syariah atas lembaga-lembaga keuangan Islam
seharusnya menjadi persyaratan hukum di setiap lembaga untuk
memastikan kepatuhan kegiatan lembaga dengan aturan Syariah.
Namun, kontrol Syariah di banyak negara telah diserahkan kepada
kebijaksanaan dari lembaga keuangan syariah, dan campur tangan
otoritas yang lebih tinggi hanya berupa aspek teknis dan dangkal, yang
berarti bahwa lembaga keuangan Islam telah secara efektif telah
mandiri dalam hal pengawasan syariah.
Lembaga keuangan Islam yang mampu mengatur dirinya sendiri
telah melakukan pengendalian Syariah namun hanya sebatas yang
akan memungkinkan mereka untuk memasarkan dirinya sebagai
lembaga yang sudah mematuhi aturan Syariah. hal Ini membuat bank
menyewa beberapa orang yang diketahui spesialis Syariah untuk
menjalankan beberapa pengawasan dan pemeriksaan Syariah, Dewan
Pengawasa Syariah (DPS).

2) Beberapa Tata Peraturan yang Diusulkan


Untuk membantu memecahkan kekurangan pemerintahan Syariah
yang disebutkan di atas, berikut ini dapat disarankan:
a. Akreditasi Anggota Dewan Syariah
Dewan Syariah seharusnya hanya yang terakreditasi sarjana
syariah, sehingga tidak ada dewan syariah dari tingkat studi yang
melompat dan beralih sebagai anggota dewan syariah. Sebagai
prasyarat, anggota dewan Syariah harus memiliki gelar MA atau Ph.D
dalam hukum keuangan Islam, di samping beberapa pengetahuan
dasar di bidang perbankan dan keuangan. Dia juga harus diakreditasi
oleh lembaga resmi, melewati beberapa ujian dan mengambil
beberapa kursus intensif jika perlu. Memang benar bahwa ada di dunia
ini para ulama yang tidak memiliki gelar akademis di Syariah yang
kita ambil fatwanya, tapi kita masih perlu menuntut gelar universitas
tinggi di semua anggota dewan Syariah untuk melindungi industri ini
dari penyusup, terutama kini banyak Muslim yang masih gagal dalam
menyadari bahwa seorang pengkhotbah belum tentu seorang sarjana
syariah, dan bahwa hukum Islam dari cabang yang berbeda, yang
paling canggih dari yang merupakan hukum Islam transaksi, sehingga
spesialisasi diperlukan.
b. Kebebasan Dewan Syariah Dan Pengendali Syariah Internal
Kemerdekaan dewan Syariah dan semua kontroler Syariah sangat
penting dan sangat diperlukan untuk integritas dan kredibilitas
pekerjaan mereka. Untuk memastikan independensi dan menghindari
konflik kepentingan, anggota dewan Syariah harus dipilih, diangkat
dan mungkin diberhentikan oleh pihak ketiga yang independen,
seperti bank sentral atau oleh lembaga internasional seperti Dewan
Perbankan Islam dan Lembaga Keuangan. Langkah ini sangat penting,
terutama untuk memastikan integritas dewan Syariah, karena jika
anggota dewan Syariah menemukan dirinya ditunjuk oleh bank,
dibayar oleh bank dan mungkin diberhentikan oleh bank yang
memberikan fatwa untuknya, maka sifat manusianya akan
menyeretnya ke arah pendekatan lunak dalam fatwa untuk
mempertahankan posisinya dan menarik bank Islam lainnya
kepadanya.
c. Menambah Dewan Syariah Keuangan Dan Ahli Hukum.
Langkah ini sangat penting ketika anggota dewan Syariah tidak
memahami cukup hukum, keuangan atau pengalaman di lapangan,
sehingga mereka perlu berkonsultasi pada ahli independen sebelum
mereka agar dapat membuat keputusan. Pada kenyataannya, fatwa
yang salah dalam banyak kasus bisa menjadi hasil dari keliru oleh para
bankir atau kesalahpahaman oleh anggota dewan Syariah.
d. Membatasi Jumlah Dewan Syariah
Fenomena ini jauh dari profesional, karena membawa benih
banyak implikasi negatif pada industri; beberapa dari mereka menjadi
tunduk pada seluruh industri dan mengenai dominasi pandangan
tokoh menjadi terbatas, dan ketidakmampuan mereka untuk secara
efisien dan sepenuhnya melaksanakan tanggung jawab mereka. Oleh
karena itu, jumlah anggota dewan yang dapat bergabung harus
terbatas pada jumlah yang wajar, juga memberikan kesempatan untuk
otak lainnya untuk bergabung dan mendapatkan keuntungan industri.
e. Mengatur Syariah Pengawasan Dewan Internasional
Untuk membantu memecahkan masalah/konflik dalam produk
Islam secara universal, sebuah dewan pengawas Syariah internasional
perlu ditetapkan. Tanggung jawabnya itu akan terjadi untuk
mendukung produk saja, karena tidak akan layak untuk melihat ke
dalam transaksi sehari-hari dan disesuaikan dengan bank syariah yang
beroperasi.

3. Metodologi yang Digunakan Dalam Pengembangan Produk Keuangan


Islam
Tantangan lain yang dihadapi industri keuangan perbankan syariah adalah
metodologi yang digunakan untuk pengembangan produk dalam industri ini.
Pada saat Syariah memerintahkan bahwa aturannya harus diperhatikan dalam
akad, tetapi saat pelaksanaan proses pengembangan produk keuangan
syariahnya, ada beberapa aturan syariah yang tidak benar-benar diamati. Dalam
beberapa apilkasi fikihnya, hal ini terlihat nyata bahwa sekolah-sekolah hukum
Islam telah sepakat dalam beberapa aspek mengenai bentuk akad, namun mereka
tidak bersepakat dalam aspek substansi akad. Sehingga dalam beberapa praktek
pengembangan produk keuangan Islam yang modern telah tersirat sebaliknya,
mereka berfokus pada mengurus formulir/administrasi dan mengabaikan
substansi dari akad itu sendiri.
Kelalaian dalam substansi akad tersebut diwujudkan dalam praktik yang
berbeda, seperti berikut ini.
1) Kelalaian substansi akad berdasarkan tindakan menonaktifkan
beberapa peraturan syariah
Tidak diragukan lagi, adanya aturan dalam akad adalah untuk melayani
kebutuhan nasabah secara adil, positf, dan produktif. Inilah yang menjadi
alasan mengapan menurut Ibnu Qudamah, pihak yang terlibat dalam akad
tidak boleh membuat aturan individu yang bisa membatalkan akad.
Biasanya, saat satu pihak diberi hak mutlak untuk menentukan ketentuan
dalam akad, tentu mereka akan condong untuk membuat ketentuan itu
menjadi menguntungkan dirinya sendiri. Akan tetapi, dalam beberapa kasus,
pihak tersebut ada juga yang saat menentukan ketentuan akad akan
berusahan netral dengan menyesuaikan beberapa klausal atau
menggabungkannya dengan aturan baru.
Contoh hal tersebut bisa terjadi dalam akad ijarah Muntahia Bittamlik
(IMBT) di perbankan yang menjadi dasar dari akad sewa, khususnya dalam
produk leasing (pembiayaan alat berat, kendaraan bermotor, dsb). Dimana
dalam akad IMBT ini produk sewa yang ditawarkan bank, di akhir masa
sewa akan menjadi milik nasabah melalui akad lain yang tidak terikat
dengan sewa, seperti penjualan atau hibah.
Tetapi dalam kasus ini, kelalaian akan substansi akad terjadi pada saat
biaya operasional akad produk IMBT, seperti pajak, asuransi, perawatan
yang menurut aturan syariah seharusnya menjadi tanggungjawab perbankan
sebagai pemilik aset yang disewakan, namun dalam realitanya semua biaya
itu malah ditanggung oleh nasabah. Hal ini tentu justeru membuat
pembiayaan dengan akad IMBT seperti pembiayaan konvensional karena
mereka melanggar aturan risiko dalam syariah, yakni “al-Kharaj bid
Daman”, yang artinya keuntungan muncul bersama biaya/risiko.
Penyimpangan lain dalam IMBT adalah dimana aset yang disewakan
oleh perbankan adalah aset milih nasabah itu sendiri. Dalam hal ini nasabah
membutuhkan uang tunai dan oleh bank diinstruksikan untuk menjual aset
miliknya/refinancing, dan nanti aset itu akan dimiliki kembali oleh nasabah
dengan cara IMBT, sewa diakhiri kepemilikan.

2) Kelalaian substansi akad berdasarkan melekatkan satu akad pada


akad lainnya
Murabahah merupakan salah satu akad pembiayaan komoditas yang
awalnya dirancang oleh aplikasi perbankan untuk membantu nasabah dalam
memiliki aset yang diinginkannya. Namun, murabahah bisa mereka
gunakan untuk tujuan lain yang merugikan nasabah, seperti untuk
menyediakan uang tunai bagi nasabah, bank dapat melakukan siasat dengan
segera menjual aset yang sama yang digunakan untuk murabahah atas nama
nasabah di pasar dengan harga tunai. Mereka mengabaikan peran pemasok
yang seharusnya menjadi pihak yang berhak menjual aset kepada pelanggan.
Nasabah kemudian mendapatkan uang tunai tetapi tetap berhutang kepada
bank untuk murabahah ditangguhkan. Di sini kita memiliki dua akad
penjualan independen yang masing-masingnya adalah sah, tetapi hasil
akhirnya mengeksekusi mereka berturut-turut mengenai teknik pembiayaan
kas yang efektif dan hal ini tidak berbeda dari pembiayaan kas konvensional.

3) Kelalaian substansi akad berdasarkan penyalahgunaan akad


Ada beberapa kelompok fatwa yang membantu banyak produk dalam
lembaga keuangan Islam yang berguna bagi lindung nilai yang kita sebut
“Islamic Derivatif”. Namun, beberapa produk ini telah salah diterapkan dan
bahkan digunakan untuk spekulasi. Transaksi ini melibatkan penggunaan
yang tidak semestinya dari akad yang awalnya dapat berfungsi sebagai alat
lindung nilai untuk mitigasi risiko, menjadi alat untuk spekulasi. Hal ini
terjadi pada saat nasabah melakukan investasi dengan membukan rekening
di bank, dan bank menunjuk manajer investasi untuk mengelola investasi
nasabah tersebut. Namun, baik bank atau nasabah dapat membuat keputusan
sepihak berupa penjualan surat berharga, baik pada saat harga surat berharga
itu rendah atau tinggi. Ini jelas spekulasi, mencari keuntungan dengan
selisih harga saham.

Adapun mengenai alasan mengapa industri keuangan syariah mengabaikan


substansi akad dalam beberapa pembiayaan syariah adalah karena:
a. Keinginan untuk menawarkan fasilitas pembiayaan yang sama dari
konvensional
Bank-bank konvensional memperlakukan uang sebagai komoditas.
Oleh karena itu, mereka tidak memiliki masalah dalam penyediaan
pembiayaan tunai dengan mengambil keuntungan kepada nasabahnya.
pembiayaan tunai ini dapat berupa pinjaman pribadi, fasilitas rancangan
atau refinancing, dan semua melalui pinjaman berbunga. Namun, seperti
pembiayaan dengan bunga adalah haram dalam Islam, bank syariah
kemudian bersedia untuk menawarkan fasilitas pembiayaan yang
menguntungkan ini harus merancang dulu produk-produk tertentu yang
akan melayani tujuan yang sama.
b. Keenggangan bank syariah untuk menanggung risiko
c. Kendala hukum dalam menghadapi aplikasi yang tepat dari aturan
syariah di dalam suatu produk.
Beberapa bank Islam, misalnya, merasa tak terhindarkan untuk
melakukan pembelian komoditas atas nama nasabahnya daripada nama
bank karena menurut beberapa hukum, bank tidak diperbolehkan untuk
melakukan perdagangan aset. Hukum lainnya pun melarang bank-bank
Islam untuk menyewakan aset kepada nasabahnya. Oleh karena itu, pilihan
yang tersisa adalah melakukan ijarah dalam bentuk penjualan.
Peraturan pengenaan pajak tinggi pada saat pendaftaran aset yang dibeli
bank juga merupakan kendala hukum, karena akhirnya mengarah pada
peningkatan biaya kepada nasabah ketika bank diperintahkan oleh hukum
untuk mendaftarkan apa yang mereka beli dengan nama mereka sebelum
mereka menjualnya kepada nasabah. Beberapa bank pun cenderung
menghindari pembayaran pajak yang tinggi dengan mengurangi beberapa
langkah akad yang diperlukan atau dengan memalsukan akad.

4. Kesimpulan
Dari diskusi sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa perbankan dan
keuangan Islam menghadapi beberapa tantangan internal yang membutuhkan
tindakan segera. Sementara menghadapi tantangan eksternal mungkin di luar
kapasitas pemain industri, bank syariah tidak memiliki alasan untuk
mengabaikan atau menutup mata terhadap tantangan internal mereka, tantangan
tersebut dapat dihadapi dengan memberlakukan tata kelola Syariah untuk produk
dan kontrol Syariah. Reformasi metodologi pengembangan produk juga berada
dalam kemampuan bank syariah, dan sebagian besar beban berada di pundak
dewan syariah karena mereka harus memastikan sebelum mengesahkan produk
yang dibahasnya sehingga pada intinya berimplikasi pada syariah.
Jika ada tantangan dan tetap tidak teratasi, dikhawatirkan bahwa suatu hari
akan datang ketika orang akan benar-benar kehilangan kepercayaan pada
keuangan Islam, dan kemudian, bank syariah dan lembaga keuangan akan
kehilangan aset terbesar mereka; yaitu identitas Islam mereka, yang memberi
mereka pijakan yang kuat di industri keuangan global. Dalam analisis akhir,
membuat para pemain industri menyadari dan menghargai perlunya tata
pemerintahan Syariah dan reformasi metodologi produk yang mendesak adalah
tantangan yang sebenarnya, sementara mengerjakan sebuah mekanisme solusi
itu mudah, karena meskipun tidak perlu jenius untuk menilai masalahnya, tidak
ada kemauan tulus dari para pelaku pasar untuk mengubah status quo karena
alasan yang dijelaskan dalam makalah ini.

Anda mungkin juga menyukai