Anda di halaman 1dari 17

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Perubahan Iklim

Perubahan iklim merupakan suatu kondisi yang ditandai dengan berubahnya pola iklim
dunia yang mengakibatkan fenomena cuaca yang tidak menentu. Perubahan iklim tejadi karena
adanya perubahan variabel iklim, khususnya suhu udara dan curah hujan yang terjadi secara
terus menerus dalam jangka waktu yang panjang antara 50 sampai 100 tahun. Perubahan Iklim
juga dipengaruhi oleh kondisi cuaca yang tidak stabil sebagai contoh curah hujan yang tidak
menentu, sering terjadi badai, suhu udara yang ekstrim, arah angin yang berubah drastis.(8)

2.1.1 Definisi Iklim


Ikilm didefinisikan sebagai ukuran rata-rata dan variabilitas kuantitas dari variabel
tertentu (seperti temperatur, curah hujan atau angin) pada periode waktu tertentu, yang
merentang dari bulanan hingga tahunan atau jutaan tahun. Iklim berubah secara terus menerus
karena interaksi antara komponen-komponennya dan faktor eksternal seperti erupsi vulkanik,
variasi sinar matahari, dan faktor-faktor disebabkan oleh kegiatan manusia seperti misalnya
perubahan pengunaan lahan dan penggunaan bahan bakar fosil.
Perubahan Iklim adalah perubahan signifikan kepada iklim, suhu udara dan curah hujan
mulai dari dasawarsa sampai jutaan tahun. Perubahan iklim terjadi karena meningkatnya
konsentrasi gas karbon dioksida dan gas-gas lainnya di atmosfer yang menyebabkan efek gas
rumah kaca.(9)
Kondisi iklim yang tidak stabil dapat juga menyebabkan peningkatan kejadian bencana
alam, seperti badai, angin siklon puting beliung, kekeringan, dan kebakaran hutan yang
berdampak terhadap kesehatan fisik dan mental masyarakat yang terserang. Pola iklim yang
terganggu juga menyebabkan efek tidak langsung terhadap kesehatan manusia, seperti efek
terhadap pola hujan yang meningkatkan bencana banjir dapat menyebabkan peningkatan
kejadian penyakit perut karena efeknya pada sumber air dan penyediaan air bersih, penyakit
malaria, demam berdarah dengue, chikungunya dan penyakit lainnya yang ditularkan melalui
rodent seperti leptospirosis. Efek secara tidak langsung ini menjadi sangat serius pada daerah
di dunia dengan penduduk miskin.

2.1.2 Unsur yang Mempengaruhi Perubahan Iklim


Perubahan iklim secara statistik didefinisikan sebagai perubahan kecenderungan baik
naik atau turun dari unsur – unsur iklim yang disertai keragaman harian, musiman maupun
siklus yang tetap berlaku untuk satu periode yang panjang. Perubahan iklim diukur berdasarkan
perubahan komponen utama iklim, yaitu suhu atau temperatur, musim (hujan dan kemarau),
kelembaban dan angin. Dari variabel tersebut yang paling banyak dikemukakan adalah suhu
dan curah hujan (BMKG, 2011).

2.1.1.1 Suhu dan Temperatur

Keadaan suhu udara pada suatu tempat di permukaan bumi akan ditentukan oleh faktor-
faktor (Tanudidjaja, 1993) sebagai berikut : (11)

a.) Lamanya Penyinaran Matahari


Semakin lama matahari memancarkan sinarnya disuatu daerah, makin banyak panas
yang diterima. Keadaan atmosfer yang cerah sepanjang hari akan lebih panas daripada
jika hari itu berawan sejak pagi.
b.) Kemiringan Sinar Matahari
Suatu tempat yang posisi matahari berada tegak lurus di atasnya, maka radiasi matahari
yang diberikan akan lebih besar dan suhu ditempat tersebut akan tinggi, dibandingkan
dengan tempat yang posisi mataharinya lebih miring.
c.) Keadaan Awan
Adaya awan di atmosfer akan menyebabkan berkurangnya radiasi matahari yang
diterima di permukaan bumi. Karena radiasi yang mengenai awan, oleh uap air yang
ada di dalam awan akan dipencarkan, dipantulkan, dan diserap.
d.) Keadaan Permukaan Bumi
Perbedaan sifat darat dan laut akan mempengaruhi penyerapan dan pemantulan radiasi
matahari. Permukaan darat akan lebih cepat menerima dan melepaskan panas energy
radiasi matahari yang diterima dipermukaan bumi dan akibatnya menyebabkan
perbedaan suhu udara di atasnya.

2.1.1.2 Curah Hujan

Salah satu indikasi terjadinya perubahan iklim adalah perubahan pola hujan. Hujan
merupakan unsur fisik lingkungan yang paling bervariasi terutama di daerah tropis. Di
Indonesia hujan merupakan unsur iklim yang paling penting karena keragamannya sangat
tinggi baik menurut waktu maupun tempat.
Hujan dipandang sebagai salah satu variabel peramalan cuaca dan iklim yang sangat
penting karena mempengaruhi aktivitas kehidupan manusia di berbagai sektor mulai dari
pertanian, perhubungan, perdagangan, kesehatan, lingkungan hidup dan sebagainya. Dampak
dari peningkatan intensitas hujan secara ekstrem adalah potensi banjir di wilayah padat
penduduk di daerah tropis.(10)

2.1.1.3 Kelembapan

Kelembapan udara adalah banyaknya uap air yang terkandung dalam udara atau
atmosfer. Besarnya tergantung dari masuknya uap air ke dalam atmosfer karena adanya
penguapan dari air yang ada di lautan, danau, dan sungai, maupun dari air tanah. Banyaknya
air di dalam udara bergantung kepada banyak faktor, antara lain adalah ketersediaan air,
sumber uap, suhu udara, tekanan udara, dan angin. Uap air dalam atmosfer dapat berubah
bentuk menjadi cair atau padat yang akhirnya dapat jatuh ke bumi antara lain sebagai hujan.
Kelembapan udara yang cukup besar memberi petunjuk langsung bahwa udara banyak
mengandung uap air atau udara dalam keadaan basah.(11)

2.1.1.4 Angin
Kecepatan angin > 45 km/jam merupakan sebuah keadaan cuaca ekstrem. Pada tanggal
8 November 2017 sekitar pukul 12.30 telah terjadi fenomena cuaca ekstrem hujan lebat dan
angin kencang di Wilayah Banjarnegara, Jawa tengah. Melalui analisis, didapatkan bahwa
faktor utama terjadinya fenomena tersebut karena kondisi atmosfer yang labil, dimana
terpenuhinya indeks labilitas udara pada pengamatan Radiosonde. Terdapat kumpulan awan
konvektif tebal dan meluas (Comulunimbus) yang dilihat dari citra satelit. Selain itu, analisis
Streamline menujukkan adanya belokan angin yang cukup signifikan. Hal ini didukung dengan
teramatinya kelembaban udara yang tinggi pada lapisan udara atas, disebabkan oleh adanya
SST yang cukup hangat yang mendukung terbentuknya awan – awan konvektif. (12)

2.1.3 Penyebab Perubahan Iklim

Peningkatan konsentrasi GRK di atmosfer berbanding lurus dengan peningkatan


jumlah radiasi inframerah yang terjebak di atmosfer yang mendorong terjadinya pemanasan
global (global warming). Fenomena peningkatan suhu permukaan bumi yang disebabkan oleh
efek panas yang ditimbulkan oleh radiasi inframerah yang berasal dari sinar matahari yang
terserap dan dipancarkan kembali ke permukaan bumi oleh GRK yang terdapat pada atmosfer
bumi dikenal dengan istilah efek gas rumah kaca. Intergovernmental Panel on Climate Change
(IPCC) memperkirakan bahwa pada tahun 2100 akan terjadi kenaikan temperatur permukaan
bumi rata-rata antara 1,8°C- 4,0°C. (13)
Menurut Surmaini (2011), ada enam jenis gas yang digolongkan sebagai GRK, yaitu
karbondioksida (CO2), metana (CH4), dinitrooksida (N2O), sulfurheksafluorida (SFx),
perfluorocarbon (PFC), hidrofluorokarbon (HFC). Peningkatan emisi GRK merupakan
penyebab dari aktivitas manusia antara lain pembangunan di berbagai bidang. Perubahan iklim
(climate change) merupakan salah satu dampak pemanasan global yang mempengaruhi suhu
lingkungan. Kenaikan suhu tersebut di Indonesia dapat memberikan dampak yang
signifikan.(14)

2.1.4 Dampak Perubahan Iklim terhadap Kesehatan

Para ahli menyebutkan terjadinya perubahan sistem iklim global telah menimbulkan
ancaman bagi manusia melalui peningkatan kesakitan maupun kematian sebagai akibat suhu
ekstrim (sangat panas/dingin), kekeringan atau banjir, perubahan kualitas udara dan air, dan
berubahnya ekologi penyakit menular.(15) Iklim dan musim merupakan faktor pendukung yang
memengaruhi terjadinya penyakit infeksi. Agen penyakit tertentu ditemukan terbatas pada
daerah geografis tertentu karena mereka membutuhkan reservoir dan vektor untuk
kelangsungan hidupnya.(16) Penularan penyakit oleh parasit dan vektor penyakit sangat
dipengaruhi oleh faktor iklim, khususnya suhu, curah hujan, kelembaban, permukaan air, dan
angin. Begitu juga dalam hal distribusi dan perkembangan dari organisme vektor dan host
intermediate.(17)

Selain itu hal yang perlu diwaspadai di Indonesia adalah dampak pada wilayah miskin
yang sangat rentan terhadap variasi iklim dan cenderung lebih berisiko mengalami kekurangan
pangan. Kemarau panjang diikuti kegagalan panen menimbulkan konsekuensi malnutrisi akut
bagi sebagian penduduk Provinsi Nusa Tenggara Timur merupakan salah satu contoh dampak
perubahan iklim.(18)

2.2 Penyakit Infeksi akibat Perubahan Iklim


Faktor iklim meliputi suhu, kelembaban dan curah hujan diduga berpengaruh terhadap
penyakit infeksi tular vector yang ditemukan di daerah tropis-sub tropis. Kelembaban udara
yang optimum akan mempertahankan daya tahan hidup nyamuk dan selama masa hidupnya
nyamuk akan terus berkembang biak. Curah hujan yang cukup akan menimbulkan banyak
genangan-genangan air sebagai tempat perkembangbiakan larva nyamuk.(19)

Pengendalian vektor yang memadai dapat mencegah penularan malaria dan demam
berdarah. Masalahnya, banyak nyamuk kebal terhadap insektisida dan pemerintah kekurangan
biaya untuk memantapkan system pengendalian vektor, karena biaya yang tersedia harus
digunakan untuk keperluan yang lebih mendesak, misalnya penanggulangan bencana alam,
kurang gizi dan penyakit infeksi lainnya.(20)

2.2.1 Demam Berdarah

Demam berdarah dengue (DBD) merupakan penyakit yang banyak ditemukan di


sebagian besar wilayah tropis dan subtropis, terutama asia tenggara, Amerika tengah, Amerika
dan Karibia. Host DBD adalah manusia, agentnya adalah virus dengue yang termasuk ke dalam
famili Flaviridae dan genus Flavivirus, terdiri dari 4 serotipe yaitu Den-1, Den-2, Den3 dan
Den -4 ditularkan ke manusia melalui gigitan nyamuk yang terinfeksi, khususnya nyamuk
Aedes aegypti dan Ae. albopictus dan hampir terdapat di seluruh Indonesia.

Dinamika penularan demam berdarah peka terhadap perubahan kondisi lingkungan


serta faktor lingkungan. Demam berdarah ditandai dengan demam tinggi mendadak tanpa
sebab yang jelas, berlangsung selama 2-7 hari, manifestasi perdarahan, dan tes tourniquet
positif.(21)

Tren angka kesakitan DBD selama kurun waktu 2010 – 2013 berdasarkan data
Kemenkes RI adalah 27,8%; tahun 2012 meningkat menjadi 37,3% dan tahun 2013 menjadi
45,9%. Kasus DBD mengalami penurunan pada tahun 2014 yaitu sebesar 39,8 %, angka ini
telah mencapai target Renstra Kemenkes RI tahun 2014 yaitu Angka Insiden sebesar 51%.
Walapun, penurunan kasus DBD terjadi pada tahun 2014 namun masih dilaporkan 7
kabupaten/kota di 5 provinsi mengalami Kejadian Luar Biasa (KLB) DBD.(22)

Di Provinsi Banten tiga wilayah endemis yang setiap tahun menyumbang angka DBD
tinggi adalah Kota Tangerang Selatan, Kota Serang dan Kota Cilegon.(23) Di Yogyakarta
jumlah kejadian DBD >200 kasus di tahun 2004, 2006 dan 2010 terjadi saat suhu ±26 C dan
tingkat kelembaban 84-85%.(17)

2.2.2 Diare

Diare adalah salah satu penyakit yang ditularkan melalui air. Kondisi kesehatan
bergantung pada kualitas air, dimana air berfungsi sebagai media penyebaran penyakit ( water
borne disease) akibat air bersih terkontaminasi mikroorganisme (Salmonella sp,
Campylobacter jejuni, Stafilococcus aureus, Bacillus cereus, Cryptosporidium dan
Enterohemorrhagic Escherichia coli).(24) Pada umumnya penyebab kasus diare terjadi karena
adanya fecal-oral transmissions karena adanya kotoran dan masuk ke dalam saluran
pencernaan manusia (WHO, 2009).

Penderita diare meningkat 4% setiap peningkatan 1C di musim kemarau, dan


meningkat 12% setiap peningkatan temperatur 1C di musim penghujan. (24) Badan Kesehatan
Dunia (WHO) menyatakan bahwa meningkatnya suhu udara, berubahnya pola curah hujan,
dan bertambahnya kelembaban dapat berpengaruh terhadap penyakit yang ditularkan melalui
air dan makanan (diare) yang menyebabkan 1,8 juta kematian per tahun di dunia. Dan
berdasarkan penyakit menular di Indonesia, diare merupakan penyebab kematian peringkat
ketiga setelah tuberkulosis dan pneumonia.(15)

Pada tahun 2009, The United Nations Chlidren Fund (UNICEF) dan World Health
Organization (WHO) melaporkan bahwa Asia Selatan merupakan benua tertinggi yang
menderita diare pada balita yakni sebesar 783 juta, kemudian Afrika sebesar 696 juta,
sebagian dari dunia sebesar 480 juta dan Asia Timur dan Pasifik sebesar 435 juta. Pada
tahun 2015 lebih dari 1.400 anak-anak meninggal setiap hari, atau sekitar 526.000 anak
per tahun yang disebabkan karena diare.(25)

2.2.3 ISPA

Perubahan iklim akan menimbulkan efek terhadap kesehatan manusia secara langsung
maupun tidak langsung, efek langsung terhadap kesehatan manusia yaitu efek ekstrim dingin
dan ekstrim panas. Efek tidak langsung berkaitan dengan penyakit infeksi, salah satunya adalah
ISPA yang disebabkan karena polusi udara dan cuaca yang tidak menentu. ISPA adalah
penyakit Infeksi akut yang menyerang salah satu bagian dan atau lebih dari saluran napas mulai
dari hidung (saluran atas) hingga alveoli (saluran bawah) termasuk jaringan adneksanya
seperti sinus, rongga telinga tengah dan pleura. Peningkatan kasus penyakit infeksi
pernafasan dipengaruhi oleh curah hujan ekstrim yang menyebabkan suatu wilayah
menjadi dingin. Musim dingin di negara-negara tropis diikuti oleh peningkatan kasus
infeksi pernafasan.(26)
Pencemaran lingkungan khususnya pencemaran udara di Indonesia cukup tinggi
terutama di pulau Sumatera. Ketika musim kemarau dan terjadi kebakaran hutan baik disengaja
atau pun tidak disengaja, dan kebakaran paling sering terjadi di Provinsi Riau dan Jambi yang
penyebaran asapnya meliputi provinsi tetangga. Asap yang meliputi langit hingga beberapa
hari berpotensi utama penyebaran penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA). Tingginya
tingkat pencemaran udara menyebabkan ISPA memiliki angka yang paling banyak diderita
oleh masyarakat dibandingkan penyakit lainnya yaitu sekitar 20,55%. Meningkatnya ISPA ini
secara tidak langsung distimulir oleh masuknya partikel- partikel asap yang mengandung
senyawa- senyawa berbahaya seperti SO2, NO2, CO dan 03 sehingga mengganggu fungsi
pernapasan dan dapat mengganggu kesehatan, terutama pada saluran pemafasan atas maupun
bawah, dan menyebabakan infeksi paru seperti bronchitis, edema paru dan pneumonia.(27)

2.3 Upaya Adaptasi

Untuk mengantisipasi dampak perubahan iklim perlu dilakukan upaya mitigasi dan
adaptasi. Menurut UNFCCC (United Nations Framework Convention on Climate Change),
mitigasi adalah upaya intervensi manusia dalam mengurangi sumber atau penambah gas rumah
kaca (GRK) yang telah menimbulkan pemanasan global. Sedangkan adaptasi adalah upaya
menghadapi perubahan iklim dengan melakukan penyesuaian yang tepat, bertindak untuk
mengurangi berbagai pengaruh negatifnya, atau memanfaatkan dampak positifnya.(28)
Pengaruh perubahan iklim berbeda-beda berdasarkan jenis pajanan (exposure),
sensitivitas masyarakat (sensitivity), dan kemampuan adaptasi masyarakat (adaptive capacity).
Hal ini menyebabkan adanya perbedaan tingkat kerentanan suatu sistem terhadap perubahan
iklim pada tempat dan waktu yang berbeda. Penilaian kerentanan masyarakat dan individu
dalam menghadapi bahaya akibat perubahan iklim dapat dimanfaatkan untuk pencegahan,
mitigasi, persiapan, tanggapa, dan pemulihan terhadap dampak dari bencana alam yang ada di
Indonesia.(29)

2.3.1 Upaya Adaptasi terhadap Perubahan Iklim di Provinsi Banten


Berdasarkan Pasal 63 ayat (1) huruf j dan huruf w, Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, pemerintah berwenang
menetapkan dan melaksanakan kebijakan di bidang pengendalian dampak perubahan iklim.
Bahwa untuk mengendalikan dampak perubahan iklim dikembangkan program yang
mendorong peningkatan kapasitas adaptasi dan mitigasi perubahan iklim di tingkat lokal.
berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud, perlu menetapkan Peraturan Gubernur
Banten tentang Program Terpadu Kampung Iklim berupa : (30)

1. Perencanaan dan rancangan kampung iklim 


Perencanaan dan rancangan kampung iklim adalah perencanaan tata ruang yang
berprinsip pada konsep pembangunan kampung iklim yang adaptif terhadap perubahan

iklim dan berkelanjutan. 


2. Penyediaan ruang terbuka hijau
 Ruang terbuka hijau

Berguna dalam mengurangi polusi, menambah estetika, serta menciptakan iklim mikro
yang nyaman, juga bisa berguna sebagai strategi dalam peningkatan ketahanan pangan

bagi masyarakat. 


3. Manajemen sumber daya air dan kesehatan masyarakat

Meminimalkan dampak perubahan iklim terhadap pendayagunaan, pengusahaan,


konservasi, dan pengendalian daya rusak sumber daya air sebagai komponen penting
dalam menunjang kehidupan dan kesehatan masyarakat.

4. Bangunan ramah lingkungan

Bersifat efisien, baik dalam rancangan, konstruksi, perawatan, renovasi bahkan dalam
upaya penanggulangan resiko perubahan iklim. Bangunan ramah lingkungan harus
bersifat ekonomis, tepat guna, tahan lama, serta nyaman. Bangunan ramah lingkungan
dirancang untuk mengurangi dampak negatif perubahan iklim, adaptif terhadap
lingkungan dengan penggunaan energi, air, dan lain-lain yang efisien, menjaga
kesehatan penghuni serta mampu mengurangi resiko bahaya terhadap penghuni akibat
bencana alam dan kerusakan lingkungan.

5. Pengelolaan sampah ramah lingkungan

Berprinsip pada reduce (pengurangan), reuse (penggunaan ulang) dan recycle (daur

ulang). 


6. Energi ramah lingkungan 


Fokus pada pengurangan penggunaan energi melalui penghematan penggunaan serta


peningkatan penggunaan energi baru terbarukan, seperti listrik tenaga surya, listrik

tenaga angin, listrik tenaga air, listrik dari emisi methana TPA dan lain-lain. 


7. Komunitas ramah lingkungan

Pelibatan berbagai stakeholder dari kalangan pemerintah, kalangan bisnis dan kalangan

masyarakat dalam pembangunan kampung iklim. Komunitas ramah lingkungan


bertujuan untuk menciptakan partisipasi nyata stakeholder dalam pembangunan dan
membangun masyarakat yang memiliki karakter dan kebiasaan yang ramah lingkungan,
termasuk dalam kebiasaan membuang sampah dan partisipasi aktif masyarakat dalam

program-program kampung iklim. 


2.3.2 Tahapan dan Tata Cara Penetapan Hasil Penilaian

2.3.2.1 Tahapan Penetapan Hasil Penilaian

a. Penilaian Teknis oleh Tim Teknis yaitu tahapan pemberian penilaian (scoring)
berdasarkan hasil verifikasi lapangan untuk menilai kesesuaian antara kegiatan yang

telah dilakukan selama ini dengan komponen Program Terpadu Kampung Iklim. 


b. Penyerahan hasil Penilaian Kampung Iklim dari Tim Teknis ke Pengarah. 


2.3.2.2 Tata Cara Penetapan Hasil Penilaian 



Tim Teknis bertugas untuk melakukan evaluasi teknis dan penentuan skor dari setiap
komponen dan indikator Program Terpadu Kampung Iklim merujuk pada hasil verifikasi

lapangan.
 Tim Teknis terdiri dari pejabat setingkat Eselon IV dan Golongan III dari lintas

SKPD Provinsi Banten dan apabila diperlukan dapat melibatkan pakar atau praktisi yang
mempunyai keahlian terkait pelaksanaan Program Terpadu Kampung Iklim.

Secara umum, penilaian dilakukan dengan mengikuti aturan sebagai berikut:

1) Memastikan apakah setiap indikator Program Terpadu Kampung Iklim 
 tersebut


ada atau tidak ada di lokasi; 


2) Melakukan penilaian pada indikator yang ada. Setiap indikator memiliki 
 bobot
tertentu yang menggambarkan tingkat kepentingan dan prioritas; 


3) Melakukan penjumlahan terhadap penilaian secara total dari semua 
 indikator


yang ada. 

2.5 Kerangka Teori

Perubahan iklim merupakan salah satu bagian dari faktor lingkungan fisik yang secara
langsung maupun tidak langsung dapat mempengaruhi masalah kesehatan. Dibawah ini adalah

Dampak pada
Lingkungan :

Bencana alam
Degradasi ekosistem
Pencemaran udara
Dinamika penularan
penyakit Masalah kesehatan :
Peningkatan alergen Perubahan Iklim :
Penyakit pernafasan
Kenaikan temperatur Penyakit kardiovaskular
Cuaca ekstrem Penyakit pencernaan
Kenaikan permukaan air laut Penyakit bawaan vector,
Dampak pada Peningkatan kadar level CO2 makanan, minuman
Manusia :

Migrasi
Konflik masyarakat
Kesehatan Mental
Cedera dan kematian Peraturan atau kebijakan

Evaluasi dan implementasi


pada komunitas

kerangka teori yang diambil dari CDC's Building Resilience Against

Pencegahan
Climate Effects (BRACE) Framework atau Membangun Kerangka Ketahanan Terhadap Efek
Iklim.

Gambar …(ke berapa) Kerangka Teori


Sumber : CDC, 2016
Peneliti Lokasi Studi Subjek Variabel yang Waktu Hasil
peneliti desain peneliti diteliti studi
Nisaa A, Kecamatan Observasi Warga Kec. Data sekunder Maret - Terdapat 5
dkk.(31) Colomadu, onal Colomadu, kasus DBD Juni kelompok sebaran
Kabupaten analitik Kab. dan data 2015 kejadian DBD
Karanganyar Karanganyar faktor fisik yang terbukti
yang meliputi signifikan terjadi
suhu, curah cluster pada
hujan, wilayah
kecepatan permukiman pada
angin, kondisi curah
kelembaban hujan sedang,
dan suhu tinggi dan
penggunaan kelembaban
lahan rendah

Vidyah Kabupaten Studi Warga Semua Mei Tidak ada salah


Dini AM, Serang, deskriptif Kabupaten kejadian DBD 2009 satu pun dari
dkk (32) Serang
Banten yang tercatat faktor iklim yang
di Kabupaten diteliti (suhu,
Serang tahun curah hujan, hari
2007- 2008 hujan, lama
penyinaran
matahari,
kelembaban, dan
kecepatan angin)
yang memiliki
hubungan
bermakna dengan
insiden DBD di
Kabupaten
Serang tahun
2007-2008.
Dedi Kab. Masyarakat menggali 2012-
Supriadi Probolinggo, nelayan Desa persepsi dan 2013
A, dkk(33) Jawa Timur Kalibuntu indikasi yang
Kabupaten dirasakan dan
Probolinggo, dialami
Jawa Timur masyarakat
tentang
perubahan
iklim dan
dampaknya

2.6 Ringkasan Pustaka


8. Chairul Muslim. Mitigasi Perubahan Iklim dalam Mempertahankan Produktivitas
Tanah Padi Sawah (Studi kasus di Kabupaten Indramayu).
file:///Users/Macintosh/Downloads/190-366-1-SM.pdf
9. http://ditjenppi.menlhk.go.id/kcpi/index.php/info-iklim/perubahan-iklim (masih dicari
sumbernya karena hilang)
10. Suripin, Kurniani D. Pengaruh Perubahan Iklim terhadap Hidrograf Banjir di Kanal
Banjir Timur Kota Semarang. Volume 22, no. 2, Desember 2016.
11. Fadholi A. Pemanfaatan suhu udara dan kelembapan udara dalam persamaan regresi
untuk simulasi prediksi total hujan bulanan di pangkalpinang. Volume 3 No. 1
November 2013.
12. Mughozali SA, Firdianto PU, Irawan AM. Analisis Hujan Lebat dan Angin Kencang
di Wilayah Banjarnegara Study Kasus Rabu 8 November 2017. Unnes Physics Journal
6 (1) (2017).
13. Wahyudi J. Mitigasi emisi gas rumah kaca The mitigation of greenhouse gases emission.
Jurnal Litbang Vol. XII, No. 2 Desember 2016: 104-112.
14. Lailaty IQ. Dampak Perubahan Iklim Global terhadap Stabilitas Kehidupan :
Pembangunan vs Konservasi. Oktober 2015.
15. Cahyorini, Anwar A. "Hubungan Variabilitas Iklim (Curah Hujan, Suhu, Dan
Kelembaban) Dengan Kejadian Diare Di Kota Denpasar, Provinsi Bali" Jurnal Ekologi
Kesehatan 15.3 (2016): 167-178.
16. Oktavia L, Ashar T, Dharma S. Hubungan Iklim (Curah Hujan, Suhu Udara,
Kelembaban Udara dan Kecepatan Angin) dengan Kejadian Diare di Kota Jakarta Pusat
pada Periode Tahun 2004-2013. Lingkungan dan Keselamatan Kerja 4.1 (2015).
17. Puspita T, Ariati J, Perwitasari D. Kondisi Iklim dan Pola Kejadian Demam Berdarah
Dengue di Kota Yogyakarta Tahun 2004-2011. Media Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan 25.4 (2015): doi:10.22435/mpk.v25i4.4591.243-248.
18. Adigoya W, Basuki R S. Persepsi Petani Sayuran Tentang Dampak Perubahan Iklim di
Sulawesi Selatan (Perception of Vegetable Farmers on the Impact of Climate Change
in South Sulawesi) J. Hort. Vol. 28 No. 1, Juni 2018 : 133-146.
19. Rahayu KD, Winahju WS, Mukarromah A. Pemodelan Pengaruh Iklim terhadap Angka
Kejadian Demam Berdarah Dengue Surabaya. Jurnal Sains dan Seni ITS Vol. 1, (sept,
2012).
20. Lanti Y, Dewi R. "Perubahan Iklim dan Potensi Gangguan Kesehatan di
Indonesia" Seminar Nasional IX Pendidikan Biologi FKIP UNS 2012, 2012.
21. Syamsul M. Faktor-faktor Lingkungan Meningkatkan Insidensi Demam Berdarah di
Sulawesi Selatan. Vol. 1, No. 1, Agustus 2019.
22. Yudianto, dkk. Kementerian Kesehatan RI. Profil kesehatan Indonesia tahun 2014.
Jakarta: Kementerian Kesehatan RI; 2015.
23. Dinkes Provinsi Banten. Laporan bulanan kasus DBD bulan Januari-Februari 2016.
Bidang Pemberantasan Penyakit Lingkungan. Laporan. Serang; 2016.
24. Padji H M, Sudarmadji. "Curah hujan, kelembapan, kecepatan angin ketersediaan air
bersih dan kasus diare di daerah kering Kupang". Berita Kedokteran Masyarakat,
Volume 33 No. 10 Tahun 2017.
25. Gultom MMK, Onibala F, Bidjuni H. Hubungan Konsumsi Makanan Jajanan dengan
Diare Pada Anak Di SDN 3 Gogagoman Kecamatan Kotamobagu Barat Kota
Kotamobagu. Volume 6 nomor 1, februari 2018.
26. Ernyasih, Fajrini F, Latifah N. Analisis Hubungan Iklim (Curah Hujan, Kelembaban,
Suhu Udara dan Kecepatan Angin) dengan Kasus ISPA di DKI Jakarta Tahun 2011–
2015. Vol. 07, No. 03, September 2018.
27. Handayuni L, Amran A, Razak A. Kajian Dampak Kebakaran Hutan dan Lahan
Provinsi Riau terhadap Biaya Pelayanan Kesehatan pada Penyakit Ispa di Kota
Payakumbuh Sumatera Barat. Jakarta, 2 Agustus 2018.
28. Qodriyatun SN.Upaya Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim. Vol. VIII, No.
01/I/P3DI/Januari/2016.
29. Masyruha I. Perubahan Iklim dan Kerentanan Sosial di Indonesia (Analisis Data Podes
Tahun 2014). Universitas Gadjah Mada, 2018.
30. Peraturan Gubernur Banten Nomor 43 Tahun 2016 Tentang Program Terpadu
Kampung Iklim.
31. Nisaa A, Hartono, Sugiharto E. Analisis Spasial Dinamika Lingkungan Pada Kejadian
DBD Berbasis GIS di Kecamatan Colomadu Kabupaten Karanganyar. Vol. 1, No. 2,
Agustus 2016.
32. Dini AMV, Fitriany RN, Wulandari RA. Faktor Iklim dan Angka Insiden Demam
Berdarah Dengue Di Kabupaten Serang. Makara, Kesehatan, Vol. 14, No. 1, Juni 2010:
37-45.
33. Adhuri DS, dkk. Membangun dari Bawah: Strategi Adaptasi dan Mitigasi Perubahan
Iklim di Komunitas Pesisir. Desember 2014.

Anda mungkin juga menyukai