Anda di halaman 1dari 35

REFERAT

Intravaginal misoprostol versus Foley catheter


for labour induction: a meta-analysis

Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik


di Bagian Ilmu Obstetri dan Ginekologi RSUD Panembahan Senopati Bantul

Disusun Oleh :
Yanuar Mahatma Hata Sari
20120310108

Diajukan Kepada :
dr. Erick Yuane, Sp. OG

BAGIAN ILMU OBSTETRI DAN GINEKOLOGI


RSUD PANEMBAHAN SENOPATI BANTUL
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMDIYAH YOGYAKARTA
2017
LEMBAR PENGESAHAN

REFERAT

Intravaginal misoprostol versus Foley catheter


for labour induction: a meta-analysis

Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Syarat


Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik di Bagian Obstetri dan Ginekologi
RSUD Panembahan Senopati Bantul

Disusun Oleh :
Yanuar Mahatma Hata Sari
20120310108

Telah dipresentasikan dan disetujui


Bantul, …………………….....

Dokter Penguji :

dr. Erick Yuane, Sp. OG

2
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN .............................................................................................................. 2


DAFTAR ISI .................................................................................................................................... 3
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................................ 4
A. Latar Belakang...................................................................................................................... 4
B. Tujuan................................................................................................................................... 6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................................................... 7
A. Misoprostol ........................................................................................................................... 7
B. Kateter Foley ...................................................................................................................... 20
C. Induksi Persalinan .............................................................................................................. 22
BAB III PEMBAHASAN .............................................................................................................. 27
BAB IV KESIMPULAN ................................................................................................................ 33
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................................... 34

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Persalinan adalah sebuah proses dimana terjadi perpindahan bayi dari lingkungan

intrauterine ke ekstrauterine (Permana, dkk, 2014). Dekade terakhir ini, telah terjadi

peningkatan yang cukup besar dalam tingkat induksi persalinan, metode yang umum

dalam penghentian kehamilan. Kira-kira, 20% dari semua kelahiran dimulai dengan

metode induksi (Roudsari, F. V., et al, 2010).

Induksi persalinan adalah suatu intervensi kebidanan secara tidak alami / buatan

dalam memulai proses penipisan serviks, dilatasi, kontraksi rahim, dan akhirnya

kelahiran bayi. Ini bertujuan untuk mengakhiri kehamilan melalui persalinan per

vaginam, ketika melanjutan kehamilan malah dapat membahayakan kondisi ibu atau

bayinya, dan persalinan ini seharusnya memiliki hasil yang lebih dibandingkan dengan

kehamilan yang berlanjut. Pada wanita dengan serviks yang tidak baik, induksi persalinan

dimulai dengan pematangan serviks, yang dapat dicapai dengan metode mekanis, seperti

kateter Foley, atau farmakologis, dengan prostaglandin analog E1 atau E2. Meskipun

metode mekanis banyak digunakan dalam tiga dekade terakhir, proses induksi persalinan

telah menggunakan prostaglandin.

Pengenalan prostaglandin tidak didukung oleh bukti kuat keamanan dan

efektivitas yang lebih baik daripada metode yang terdahulu. Induksi persalinan dengan

kateter Foley menghasilkan perdarahan pasca persalinan dan asfiksia yang lebih sedikit,

namun tingkat kelahiran pervaginamnya menjadi serupa jika dibandingkan dengan

penggunaan gel dinoprostone (prostaglandin E2). Misoprostol merupakan analog

prostaglandin E1 yang diperkenalkan pada tahun 1990, sama efektifnya dengan

dinoprostone untuk menginduksi kelahiran per-vagina, dengan sedikit efek samping.

4
Pemberian misoprostol 50 μg secara oral dikaitkan dengan sedikitnya kejadian

hiperstimulasi dan asfiksia daripada pemberian 25 μg melalui vagina. Meskipun tidak

diberi lisensi untuk induksi persalinan, Misoprostol direkomendasikan oleh WHO dan

American College of Obstetricians and Gynecologists (ACOG) (Eikelder, et.al., 2016).

Meskipun ada banyak metode yang tepat untuk pematangan serviks, tidak ada

kesepakatan mengenai pemilihan induksi persalinan terbaik dan paling tepat untuk kasus

dengan serviks yang belum matang. Di antara metode ini, kateter Foley servikal dan

misoprostol vagina (prostaglandin E1) digunakan untuk induksi persalinan dan

pematangan serviks (3-5). Karena misoprostol relatif murah, stabil pada suhu kamar dan

memiliki efek yang baik, hal ini sering digunakan pada obstetrik dan ginekologi untuk

penghentian kehamilan terutama pada trimester ketiga (Roudsari, F. V., et al, 2010)

Mengenai pemberian prostaglandin E2 atau misoprostol telah terbukti menjadi

agen pematangan serviks yang efektif. Misoprostol bertindak terutama sebagai agen

farmakologis eksogen dengan efek yang baik pada pematangan serviks maupun kontraksi

uterus. Tinjauan Cochrane pada tahun 2001 membandingkan semua bentuk

dilatasi/pelebaran mekanis dengan semua prostaglandin menyimpulkan bahwa tidak

cukup bukti untuk menilai keefektifan metode mekanis, dibandingkan dengan

prostaglandin pada wanita dengan serviks yang belum matang. Penggunaan metode ini,

dibandingkan dengan penggunaan prostaglandin, dikaitkan dengan episode kontraksi

uterus yang lebih sedikit, tanpa modifikasi risiko operasi caesar.

Di institusi ini, dua metode pematangan serviks yang umum digunakan adalah

misoprostol vagina dan kateter Foley transcervical. Ada sejumlah penelitian acak yang

membandingkan kedua metode ini, yang sebagian besar diterbitkan setelah ulasan

Cochrane 2001. Dengan frekuensi induksi persalinan, pengetahuan tentang perbedaan

kecil antara metode induksi bisa sangat berguna bagi penyedia obstetri individual, dan

5
juga sistem rumah sakit yang lebih besar. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk

meninjau kembali bukti dari percobaan acak/ randomized trials yang membandingkan

keefektifan misoprostol vagina dan kateter Foley transcervical untuk tujuan pematangan

serviks dan induksi persalinan (Fox, N.S., et al, 2011)

B. Tujuan

Membandingkan keefektifan misoprostol vagina dan kateter Foley transervikal

untuk pematangan serviks dan induksi persalinan.

6
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Misoprostol

1. Definisi

Itu dikembangkan untuk pencegahan dan pengobatan ulkus peptik karena sifat

anti-sekretori asam lambung dan berbagai sifat pelindung mukosanya. Ini telah menjadi

obat penting dalam praktik kebidanan dan ginekologi karena tindakan priming

histerotonik dan serviksnya. Dibandingkan dengan analog prostaglandin lainnya,

misoprostol memiliki kelebihan karena harganya murah, banyak tersedia, stabil pada

suhu kamar dan memiliki sedikit efek samping. Aplikasi klinisnya meliputi aborsi medis,

evakuasi medis untuk keguguran, perawatan serviks sebelum prosedur pembedahan,

induksi persalinan dan penanganan perdarahan postpartum (Tang, O.S., et al,2007).

2. Struktur dan kimia misoprostol

Gambar. 1 menunjukkan struktur misoprostol dan kejadian alami prostaglandin

E1. Prostaglandin E yang terjadi secara alami ditemukan untuk menghambat sekresi

asam lambung pada tahun 1967 oleh Robert et al. Namun, secara alami prostaglandin

memiliki tiga kekurangan yang menghambat penerapan klinisnya. Masalah ini adalah:

(1) metabolisme yang cepat sehingga menyebabkan aktivitas oral tidak lancar dan durasi

tindakan yang pendek saat pemberian parenteral, (2) banyak efek samping, dan (3)

ketidakstabilan kimia yang menyebabkan masa simpannya pendek. Misoprostol berbeda

secara struktural dari prostaglandin E dengan adanya metil ester pada C-1, gugus metil

7
pada C-16 dan gugus hidroksil pada C-16 daripada C-15. Metil ester pada C-1

meningkatkan potensi anti-sekresi dan durasi tindakan misoprostol, sementara

pergerakan kelompok hidroksil dari C-15 sampai C-16 dan penambahan gugus metil

pada C-16 meningkatkan aktivitas oral, meningkat durasi tindakan, dan memperbaiki

profil keamanan obat.

3. Farmakokinetik dari berbagai rute pemberian misoprostol

Tablet misoprostol dikembangkan untuk digunakan secara oral. Rute pemberian

lainnya, termasuk pervagina, sub-lingual, bukal dan rektal juga telah banyak digunakan

dalam aplikasi kebidanan dan ginekologi. Selama dekade terakhir ada sejumlah penelitian

yang melihat profil farmakokinetik dari berbagai rute pemberian misoprostol. Waktu

mencapai konsentrasi puncak (Tmax) mewakili seberapa cepat obat tersebut dapat

diserap; waktu konsentrasi puncak (Cmax) mencerminkan seberapa baik obat diserap,

sementara Area Under Curve atau daerah di bawah konsentrasi serum terhadap kurva

waktu (AUC, setara dengan bioavailabilitas} menerangkan jumlah paparan total obat

tersebut dalam plasma.

3.1. Rute Oral

Studi awal terkonsentrasi pada sifat farmakokinetik pemberian oral. Setelah

pemberian oral, misoprostol dengan cepat dan hampir sepenuhnya diserap dari saluran

pencernaan. Namun, obat tersebut mengalami metabolisme yang sangat cepat (de-

esterifikasi) untuk membentuk asam misoprostol. Berikut dosis tunggal misoprostol oral

adalah 400 mikrogram, tingkat misoprostol dalam plasma meningkat dengan cepat dan

mencapai puncak sekitar 30 menit (fig.2), menurun dengan cepat dalam 120 menit dan

tetap rendah setelahnya.

8
3.2. Rute vagina

Ditemukan dalam studi klinis bahwa pemberian per vagina lebih efektif daripada

pemberian oral dalam kasus aborsi medis. Zieman et al, melakukan studi farmakokinetik

pertama yang membandingkan rute pemberian oral dan vagina. Berbeda dengan rute oral,

konsentrasi plasma meningkat secara bertahap setelah pemberian vagina, mencapai

tingkat maksimum setelah 70-80 menit sebelum perlahan-lahan menurun dengan kadar

obat yang masih dapat terdeteksi setelah 6 jam.

Meskipun konsentrasi puncak setelah pemberian oral lebih tinggi daripada

pemberian vagina, "area di bawah kurva"atau AUC lebih tinggi bila diberikan secara

vagina. Bioavailabilitas misoprostol pada vagina yang lebih besar menjelaskan mengapa

rute pemberian vagina lebih efektif dalam aborsi medis.

Telah ditunjukkan bahwa koefisien variasi AUC atau kadar obat dalam plasma

setelah pemberian vagina lebih besar daripada pemberian oral, ini berarti bahwa

penyerapan misoprostol pada vagina tidak konsisten. Dalam praktik klinis, sisa tablet

terkadang terlihat berjam-jam setelah pemberian pervagina, menunjukkan bahwa

penyerapannya bervariasi dan tidak sempurna. Hal ini mungkin disebabkan oleh variasi

dalam segi jumlah dan pH dari discharge/lendir antara wanita. Variasi jumlah perdarahan

9
selama aborsi medis juga dapat mempengaruhi penyerapan misoprostol melalui mukosa

vagina.

3.3.Rute Sublingual

Baru-baru ini, pemberian misoprostol sublingual telah dipelajari untuk kasus

aborsi medis dan pemeriksaan serviks. Tablet misoprostol sangat mudah larut dan dapat

larut dalam 20 menit saat diletakkan di bawah lidah/ sublingual.

Studi farmakokinetik membandingkan penyerapan kinetik pada pemberian

misoprostol secara oral, vagina, dan sublingual. Ditemukan bahwa misoprostol sublingual

memiliki waktu terpendek untuk mencapai konsentrasi puncak, konsentrasi puncak

tertinggi dan bioavailabilitasnya terbesar dibandingkan dengan rute lainnya.

Konsentrasi puncak dicapai sekitar 30 menit setelah pemberian sublingual dan

oral, dimana pada pemberian pervagina, dibutuhkan waktu 75 menit. Oleh karena itu,

tampak bahwa rute sublingual dan oral memiliki onset tindakan tercepat. Dengan 400

mikrogram misoprostol, dosis sublingual mencapai konsentrasi puncak yang lebih tinggi

daripada pemberian oral dan vagina. Hal ini disebabkan oleh penyerapan yang cepat

melalui mukosa sublingual serta penghindaran metabolisme yang cepat melalui hati.

Suplai darah berlimpah di bawah lidah dan pH yang relatif netral di rongga bukal

mungkin merupakan faktor penyebabnya. Onset cepat dan konsentrasi puncak yang tinggi

berarti bahwa dari semua kemungkinan rute dengan bioavailabilitas yang sistematis,

seperti yang diukur oleh AUC dalam 6 jam pertama, paling besar adalah pemberian

melalui rute sublingual. Berbeda dengan penelitian sebelumnya oleh Zieman dkk, AUC

setelah pemberian oral dan vagina yang serupa tetapi hanya 54% dan 78% secara

berurutan setelah pemberian sublingual. Perbedaan temuan bioavailabilitas kedua studi ini

mungkin disebabkan oleh variasi yang luas dalam penyerapan misoprostol melalui

mukosa vagina antara wanita yang berbeda. Di sisi lain, meskipun penyerapan vagina

10
telah terbukti menjadi lebih rendah dan konsentrasi puncaknya lebih rendah dari rute

lainnya, tingkat serum misoprostol masih dipertahankan pada tingkatan yang rendah

untuk jangka waktu yang lebih lama. Sebenarnya, pada akhir 6 jam tingkat serum asam

misoprostol setelah pemberian per vagina lebih tinggi daripada rute sublingual dan oral.

Oleh karena itu, efek misoprostol dapat berlangsung lebih dari 6 jam setelah satu dosis,

meskipun ambang tingkat serum untuk tindakan klinis tidak diketahui. Mekanisme serupa

mungkin ada untuk penyerapan misoprostol dan dapat menjelaskan peningkatan kinerja

klinis pada pemberian pervagina.

3.4. Rute Bukal

Pemberian bukal adalah cara lain untuk memberi misoprostol. Obat tersebut

ditempatkan di antara gigi dan pipi dan diserap ke dalam mukosa bukal. Pada studi klinis,

walaupun terbatas dibandingkan dengan rute lain, telah menunjukkan bahwa rute bukal

juga efektif untuk aborsi medis, induksi serviks dan induksi persalinan.

Bentuk kurva pada rute penyerapan bukal sangat mirip dengan penyerapan vagina

namun kadar obat dalam plasma yang dicapai lebih rendah selama periode 6 jam.

Setelah pemberian bukal, Tmax-nya adalah 75 menit yang serupa dengan

pemberian vagina, namun AUC pemberian bukal hanya setengah dari pemberian vagina.

11
Studi lain yang membandingkan pemberian secara sublingual dan bukal juga

menunjukkan bahwa AUC misoprostol sublingual adalah 4 kali lipat dari pemberian

bukal. Rute pemberian misoprostol secara bukal menjanjikan dan masih banyak

penelitian yang diperlukan untuk membandingkannya dengan rute pemberian lainnya.

3.5. Rute rektal

Rute pemberian melalui rektal telah dipelajari baru-baru ini untuk penanganan

perdarahan pascapartum, namun pemberian ini kurang umum digunakan untuk aplikasi

kasus lainnya. Bentuk kurva penyerapan setelah pemberian perrektal mirip dengan

pemberian secara vagina tapi AUC-nya hanya 1/3 dari pemberian vagina. Rata-rata

Tmaks setelah pemberian rektal adalah 40-65 menit, meskipun sebuah penelitian baru-

baru ini melaporkan Tmax menjadi 20 menit yang berarti jauh lebih pendek.

Pemahaman tentang sifat farmakokinetik dari rute pemberian yang berbeda dapat

membantu merancang regimen/sediaan terbaik untuk digunakan di berbagai aplikasi

klinis. Namun, hal itu mungkin tidak dapat digunakan untuk memprediksi hasil klinis dari

berbagai indikasi klinis. Misoprostol sublingual, yang memiliki Tmax terpendek, mungkin

berguna untuk aplikasi klinis yang memerlukan onset cepat pada tindakan klinis, seperti

perdarahan postpartum atau pemeriksaan serviks. Misoprostol vagina di sisi lain, yang

memiliki bioavailabilitas tinggi dan tingkat serum yang berkelanjutan, berguna untuk

indikasi yang memerlukan waktu lebih lama untuk manifestasi efek klinisnya, seperti

aborsi medis. Penyerapan kinetik juga dapat menjelaskan mengapa beberapa rute

pemberian dikaitkan dengan insiden efek samping yang lebih tinggi. Pemberian

sublingual, yang memberi Cmax tertinggi (kadar maksimum obat dalam plasma),

dikaitkan dengan kejadian efek samping tertinggi bila dibandingkan dengan rute lainnya

(Tang, O.S., et al,2007).

12
Pada tabel penelitian diatas menunjukkan bahwa dilatasi serviks maksimal

ada pada rute pemberian misoprostol sublingual, kemudian diikuti dengan rute pemberian

pervaginam dan terakhir diikuti oleh rute pemberian oral. Hasil ini memiliki makna yang

signifikan dengan P<0,001. Begitu juga pada durasi lamanya tindakan, pemberian

misoprostol sublingual memberikan hasil durasi waktu yang lebih singkat dari pada yang

lain. Namun, pada efek kejadian kehilangan darah saat operasi paling tinggi ada pada

pemberian misoprostol sublingual. Namun disimpulkan bahwa pemberian misoprostol

sublingual lebih dipilih dari pada pemberian misoprostol oral ataupun pervaginam sebagai

agen pematangan serviks untuk metode pembedahan ataupun terminasi kehamilan (Sinha,

D., et al. 2017).

4. Dosis

13
Tabel dosis dan indikasi klinis misoprostol menurut FIGO (2012)

Pemberian misoprostol secara oral dinilai efektif sebagai agen induksi persalinan

pervagina. Dalam data review Alfrevic et al (2014) disebutkan bahwa pemberian

misoprostol secara oral maupun pervagina sama efektifnya dan menghasilkan lebih

sedikit kejadian operasi sesar dibandingkan dengan dinoproston pervagina ataupun

pemberian oksitosin.

Bukti menunjukkan bahwa dosis misoprostol oral harus 20 sampai 25 mcg dalam

larutan. Mengingat bahwa keselamatan adalah perhatian utama,, bukti tersebut

mendukung penggunaan sediaan oral daripada sediaan vagina. Hal ini sangat penting

14
dalam situasi di mana risiko infeksi meningkat dan kurangnya staf kesehatan berarti

bahwa perempuan tidak dapat dipantau secara intensif.

Gambar diatas menunjukkan dosis misoprostol pervaginal untuk menimbulkan

kontraksi uterus di berbagai usia kehamilan. Pada trimester pertama 800 mikrogram

single dose per 24 jam dapat digunakan secara aman. Pada trimester kedua digunakan

umumnya dosis yang digunakan 200 mikrogram per 12 jam, sementara untuk usia lebih

dari 24 minggu dosis misoprostol adalah 25 mikrogram per 6 jam. Jika menggunakan

dosis yang lebihtinggi dari biasanya dapat terjadi hiperstimulasi uterus, rupture uterus

atau pun fetal distress.

World Health Organization (WHO, 2011) merekomendasikan pemberian

misoprostol untuk induksi persalinan, pemberian misoprostol oral adalah 25 mikrogram

setiap 2 jam, sementara pemberian dosis rendah pervagina adalah 25 mikrogram setiap 6

jam merupakan rekomendasi untuk induksi persalinan. Misoprostol tidak

direkomendasikan pada wanita yang sebelumnya pernah menjalani operasi seksio sesaria.

Untuk pemberian misoprostol melalui rute bukal ataupun sublingual pada review

Cochrane disebutkan bahwa pemberian misoprostol rute bukal dikaitkan dengan

kecenderungan operasi seksio sesaria yang lebih sedikit dibandingkan dengan rute vagina

(18/73 versus 28/79).

15
Pada rute sublingual versus oral, rute sublingual dikaitkan dengan sedikit

kegagalan untuk mencapai persalinan pervagina dalam waktu 24 jam (12/50 versus

19/50), dan kejadian operasi caesar yang lebih sedikit (8/50 versus 15/50).

5. Efek pada uterus dan serviks

Efek uterotonika dan pematangan servik pada organ wanita awalnya dianggap

sebagai efek samping dari pada sebagai efek terapi dari misoprostol.

Efek misoprostol pada kontraktilitas uterus telah dipelajari oleh Gemzell-

Danielsson et al., dan Aronsson et al. Setelah pemberian misoprostol single dose terdapat

peningkatan tonus uterus, namum untuk menghasilkan kontraksi yang regular dibutuhkan

kadar misoprostol yang berkelanjutan dalam plasma dan ini membutuhkan dosis oral

yang berulang.

Efek pemberian misoprostol single dose pervagina pada kontraksi uterus mirip

dengan pemberian misoprostol secara oral: yaitu meningkatkan tonus dari uterus. Satu

sampai dua jam pemberian misoprostol, muncul kontraksi uterus yang regular dan

bertahan sampai 4 jam setelah pemberian. Pada perkembangan kontraksi uterus yang

regule rpada pemberian pervagina menjelaskan keberhasilan klinis yang lebih baik ketika

dibandingkan dengan pemberian oral.

Aronsson et al. membandingkan kontraksi uterus pada berbagai rute pemberian

misoprostol, didapatkan peningkatan tonus uterus yang cepat dan produksi yang jelas

setelah pemberian misoprostol melalui oral dan sublingual dari pada pemberian

pervagina. Rata-rata waktu untuk mencapai tonus maksimal juga lebih cepat dan

signifikan pada pemberian misoprostol oral dan sublingual. Satu sampai dua jam setelah

pemberian oral tonus uterus mulai menurun, namun pada pemberian pervagina dan

sublingual perlahan-lahandigantikan dengan kontraksi uterus yang regular. Kontraksi

16
regular ini berlangsung lebih lama pada pemberian pervagina dan mulai menurun setelah

4 jam, dibandingkan pada sublingual mulai menurun setelah 3 jam.

Studi efek pemberian misoprostol bukal dan rektal pada uterus dilakukan oleh

Meckstroth et al. Disini digambarkan bahwa pola dari tonus dan kontraksi uterus pada

pemberian bukal mirip dengan pemberian pervagina, meskipun AUC nya dua kali lebih

singkat. Pemberian per rektal dimana AUC nya paling rendah, menunjukkan aktifitas

tonus maupun kontraksi yang paling rendah.

Banyak studi klinis dilakukan untuk mengetahui efek misoprostol pada

pematangan serviks pada kehamilan. Misoprostol telah digunakan sebagai agen

pematangan serviks sebelum induksi persalinan dan untuk operasi evakuasi dari uterus.

Sementara efek pematangan serviks menjadi efek sekunder dari kontraksi uterus yang

diinduksi misoprostol, ini cenderung disebabkan oleh efek langsung misoprostol pada

serviks it sendiri.

Uterus serviks pada dasarnya adalah jaringan ikat. Sel otot halus menyumbang

kurang dari 8% pada bagian distal serviks. Mekanisme pasti pada pematangan serviks

fisiologis tidak diketahui. Kejadian biokimia yang terlibat pada pematangan serviks

adalah penurunan total kolagen,peningkatan pada kelarutan kolagen,dan kenaikan pada

aktivitas collagenolytic. Perubahan pada komponen matriks ekstraseluler selama

pematangan serviks mirip seperti respon inflamasi. Perubahan histokimia pada serviks

wanita hamil setelah pemberian misoprostol di pelajari dengan mikroskop electron dan

pemeriksaan proline uptake, nilai penggabungan rata-rata proline permikrogram protein

dan berat jenis kolagen, diperkirakan intensitasnya rendah dan lebih rendah daripada

kontrolnya. Ini menunjukkan aksi misoprostol muncul pada stroma jaringan ikat.

Sebagian besar penelitian tentang kontraktilitas uterus dan perlunakan serviks

adalah menggunakan misoprostol pada wanita hamil. Meskipun begitu perubahan inijuga

17
terjadi pada uterus dari wanita yang tidak hamil. Beberapa wanita yang belum hamil

mengalami kram uterus setelah pemberian misoprostol,tetap memiliki efek pematangan

serviks pada wanita yang tidak hamil.

6. Efek samping dan insiden malforasi janin

Misoprostol aman dan obat yang dapat ditoleransi dengan baik. Diare adalah

reaksi buruk utama yang telah dilaporkan secara konsisten dengan misoprostol, namun

biasanya ringan dan membatasi diri. Mual dan muntah juga bisa terjadi dan akan sembuh

dalam 2-6 jam.

Beberapa merasa tidak enak atau tidak nyaman setelah mendapat misoprostol secara

sublingual atau bukal. Sensasi mati rasa pada seluruh mulut dan tenggorokan juga

dilaporkan pada pemberian sublingual.

Dosis toksik tidak diketahui, tapi obat ini telah ditetapkan menjadi obat yang sangat

aman. Bagaimanapun, case report sebelumnya mengidentifikasi wanita yang meninggal

karena kegagalan multi organ pada kasus over dosis misoprosol (60 tablet lebih dalam 2

hari).

Demam dan menggigil juga dilaporkan setelah pemberian misoprostol dosis tinggi

pada trimester ketiga atau pemberian secara cepat pada wanita setelah melahirkan. Situasi

ini biasa terlihat ketika misoprostol digunakan untuk mencegah atau menangani

perdarahan pasca melahirkan. Pada pemberian misoprostol untuk mencegah perdarahan

pasca melahirkan, kejadian menggigil dilaporkan sebanyak 32%-57%. Hiperpireksia

(>400 C) dilaporkan pada beberapa kasus setelah mendapat dosis 600 mikrogram.

Perhatian lain pada penggunaan misoprostol adalah resiko dari ruptur uterus, khususnya

pada wanita yang memiliki bekas luka pada uterusnya, bukti dari literature menunjukkan

ruptur uterus beresiko pada induksi persalinan trimester tiga pada wanita yang memiliki

luka pada uterusnya.

18
Hiperpireksia adalah pergeseran ke atas dari set point hipotalamus yang memicu

tubuh untuk memproduksi panas guna mencapai set point yang baru. Prostaglandin E-

series (PGEs) terlibat dalam mekanisme pirogen endogen demam, dimana prostaglandin

E2 (PGE2) memang diakui sebagai mediator utama terjadinya demam yang berinteraksi

dengan reseptor EP3. Namun selain itu analog prostaglandin E1, misoprostol, bentuk

aktifnya berupa asam misoprostol, terbukti mengikat reseptor EP3. Dari sini dapat

dikatakan bahwa misoprostol dapat meniru PGE2 dalam termoregulasi dengan menggeser

set point hipotalamus ke atas dan menstimulasi kenaikan suhu. Kenaikan suhu yang tiba-

tiba dikompensasi dengan vasokonstriksi, peningkatan metabolisme dan menggigil untuk

mencapai set point yang baru (Durocher, J., et al. 2010)

Pemberian misoprostol pada kehamilan awal dihubungkan dengan kecacatan

ganda pada janin. Namun, studi mutagenik pada misoprostol tidak terbukti sebagai

embriotoksik, fetotoksik, atau teratogenik. Malformasi ini mungkin terjadi akibat

terganggunya suplai darah untuk perkembangan embrio selama kontraksi saat induksi

misoprostol. Sindrom Mobius yang dikategorikan dengan kelumpuhan wajah kongenital


19
dengan atau tanpa kecacatan anggota tubuh, dikaitkan dengan pemaparan misoprostol.

Malforasi janin umumnya lebih dikaitkan dengan penggunaan misoprostol dibandingkan

dengan mifepristone. Itu mungkin disebabkan pengulangan dosis tinggi misoprostol.

Maka dari itu induksi aborsi dengan misoprostol harus dibawah pengawasan dokter

(Tang, O.S., et al,2007).

B. Kateter Foley

Penggunaan kateter Foley untuk pematangan serviks pertama kali dijelaskan oleh

Embrey dan Mollison pada tahun 1967. Penggunaan balon kateter ekstra amnion

memiliki keuntungan karena sederhana, biaya rendah, reversibilitas, dan kurangnya efek

samping yang serius dibandingkan dengan penggunaan metode pengobatan untuk

pematangan serviks. Akibatnya, metode ini telah mendapatkan popularitas sebagai cara

mekanik untuk pematangan serviks pada pasien dengan kondisi serviks yang tidak baik

(Levy, et al. 2004).

Kateter Foley merupakan alternatif yang efektif untuk mematangkan serviks dan

induksi persalinan. Akan tetapi tindakan ini tidak boleh digunakan pada ibu yang

mengalami servisitis, vaginitis, pecah ketuban, dan terdapat riwayat perdarahan. Kateter

Foley diletakkan atau dipasang melalui kanalis servikalis (os seviks interna) di dalam

segmen bawah uterus. tekanan kearah bawah yang diciptakan dengan menempelkan

kateter pada paha dapat menyebabkan pematangan serviks. Modifikasi cara ini, yang

disebut dengan extra-amnionic saline infusion (EASI), cara ini terdiri dari infuse salin

kontinu melalui kateter ke dalam ruang antara os serviks interna dan membran plasenta.

Di sisi lain, terdapat penemuan bahwa pematangan serviks menggunakan teknik EASI,

dikaitkan dengan tingkat sesar yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelahiran spontan.

(Cunningham, 2013).

20
Cara pemasangan kateter Foley, kateter dimasukkan langsung ke dalam kanal

endoserviks menggunakan spekulum steril setelah membersihkan serviks dengan larutan

antiseptik. Balon kateter kemudian diisi dengan cairan steril sampai 80 mL. Traksi lembut

diterapkan dengan memfiksasi ujung kateter ke paha wanita. Wanita diizinkan untuk tetap

bergerak ataupun berjalan dan diperiksa setiap 4 jam setelah pemasangan kateter Foley.

Pemantauan janin dilakukan setelah penyisipan balon dan setiap 6 jam setelahnya. Kateter

Foley dilepas setelah 12 jam, atau saat pemantauan tercatat keadaan janin yang

mencurigakan.

Pada penelitian yang dilakukan Gonsalves, et al. (2016), tentang induksi

persalinan dengan kateter Foley untuk kasus persalinan pervagina setelah sebelumnya

operasi sesar atau biasa disebut dengan VBAC (vaginal birth after Caesarean section).

Dikatakan bahwa induksi kateter Foley pada wanita yang sebelumnya melahirkan secara

sesar menjadi pilihanyang aman dengan angka kesuksesan yang baik dansedikitnya

komplikasi pada ibu dan janin. Dalam penelitian tersebut digunakan ukuran kateter Foley

adalah ukuran 18 untuk induksi persalinan.

Pada penelitian yang dilakukan Levy, et al, pada 2014 tentang perbandingan

penggunaan kateter Foley 30mL dan 80mL untuk pematangan serviks didapatkan

kesimpulan bahwa pematangan serviks yang tidak baik pada wanita primipara dengan

balon kateter Foley dengan 80 mL cairan steril memberikan dilatasi yang lebih efektif,

persalinan yang lebih cepat, dan penurunan kebutuhan oksitosin dibandingkan dengan

balon dengan 30 ml cairan steril.

Kateter Foley dianggap aman dan efektif digunakan untuk pre-induksi

pematangan serviks. Efek utamanya adalah dilatasi secara mekanis, dimana dari efek ini

perlu untuk lebih diperhatikan penggunaannya untuk pematangan serviks karena mungkin

21
dapat merusak atau mencederai serviks itu sendiri dan akhirnya dapat meningkatkan

kejadian kelahiran premature pada kehamilan selanjutnya (Sciscione, A., et al. 2004).

C. Induksi Persalinan

1. Definisi

Induksi persalinan adalah inisiasi awal persalinan sebelum terdapat onset

spontannya untuk melahirkan janin dan plasenta. Induksi persalinan bertujuan

menginisiasi kontraksi pada wanita hamil yang tidak ada sebelumnya untuk

membantunya mencapai kelahiran vagina dalam waktu 24 sampai 48 jam. Induksi yang

berhasil didefinisikan sebagai persalinan per vaginam dalam waktu 24 hingga 48 jam

setelah dilakukannya induksi persalinan (Leduc, et al., 2013).

2. Epidemiologi

Frekuensi terjadinya induksi bervariasi menurut lokasi dan institusinya. Tingkat

induksi di Kanada telah meningkat dengan mantap dari 12,9% pada tahun 1991-1992

menjadi 19,7% pada tahun 1999-2000. Angka tersebut mencapai angka tertinggi 23,7%

pada tahun 2001-2002, sedikit menurun menjadi 21,8% pada tahun 2004-2005, dan sejak

itu tetap stabil. Hasil survei demografi kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2009

menunjukkan bahwa jumlah kasus pada ibu hamil yang dilakukan induksi pada saat

persalinan sebanyak 250 ibu hamil, yang didapat dari hasil penelitian yang dilakukan di

sejumlah rumah sakit umum di Indonesia. (Depkes RI, 2009).

3. INDIKASI

Induksi diindikasikan saat risiko melanjutkan kehamilan, untuk ibu atau janin,

melebihi risiko yang terkait dengan persalinan dan persalinan yang dipacu/ diinduksi.

Alasan dan metode induksi harus dibahas antara penyedia layanan dan wanita agar

mendapatkan persetujuan yang jelas. Induksi harus diprioritaskan oleh tim perawat

22
kesehatan sesuai dengan urgensi klinis dan ketersediaan sumber daya. Berikut daftar

indikasi induksi persalinan:

a. Prioritas tinggi :

 Preeklamsia ≥ 37 minggu
 Penyakit maternal yang signifikan tidak merespons pengobatan
 Perdarahan antepartum yang signifikan namun stabil
 Chorioamnionitis
 Diduga fetal compromise
 Ruptureof membranes
b. Indikasi lainnya

 Kehamilan pascabencana (> 41 + 0 minggu) atau post-term (> 42 + 0


minggu)
 Kehamilan kembar tanpa komplikasi ≥ 38 minggu
 Diabetes mellitus (kontrol glukosa dapat mendikte urgensi)
 Penyakit alloimun pada atau dekat
 Pembatasan pertumbuhan intrauterine
 Oligohidramnion
 Hipertensi gestasional ≥ 38 minggu
 Kematian janin intrauterine
 PROM pada atau dekat, GBS negatif
 Masalah logistik (sejarah persalinan cepat, jarak ke rumah sakit)
 Kematian intrauterin pada kehamilan sebelumnya (Induksi dapat
dilakukan untuk mengurangi kecemasan orang tua, namun tidak
diketahui keuntungan medis atau outcome ibu dan bayi.)
c. Indikasi yang Tidak Dapat Diterima

 Penyedia perawatan atau kenyamanan pasien


 Diduga makrosomia janin (diperkirakan berat janin 4000 gm) pada
wanita non-diabetes adalah indikasi yang tidak dapat diterima karena
tidak ada penurunan kejadian distosia bahu namun dua kali risiko SC
4. Kontaindikasi

23
 Induksi harus dihindari jika ada kontraindikasi persalinan atau persalinan
per vaginam. Ini termasuk, namun tidak terbatas pada hal berikut:
 Plasenta atau vasa previa atau presentasi kabel
 Kebohongan atau presentasi janin abnormal (misal: dusta melintang atau
sungsang kaki)
 Insisi uterus klasik atau terbalik sebelumnya
 Operasi uterus yang signifikan sebelumnya (misalnya miomektomi
ketebalan penuh)
 Herpes genital aktif
 Kelainan struktur panggul
 Karsinoma serviks invasif
 Ruptur uterus sebelumnya
5. PENILAIAN PRA-INDUKSI

Tujuan induksi persalinan adalah untuk mencapai persalinan per vaginam yang

berhasil, walaupun induksi menghadapkan wanita pada risiko SC yang lebih tinggi

daripada persalinan spontan. Sebelum induksi, ada beberapa elemen klinis yang perlu

diperhatikan untuk memperkirakan keberhasilan induksi dan meminimalkan risiko SC.

Faktor-faktor yang telah terbukti mempengaruhi tingkat keberhasilan induksi meliputi

skor Bishop, paritas (persalinan per vaginam), BMI, usia ibu, perkiraan berat badan janin,

dan diabetes.

Skor Bishop dikembangkan pada tahun 1964 sebagai prediktor kesuksesan untuk

induksi elektif. Sistem penilaian awal menggunakan 5 faktor penentu (dilatasi,

pengosongan, stasiun, posisi, dan konsistensi) yang menghubungkan nilai 0 sampai 2 atau

3 poin masing-masing (untuk skor maksimum 13). Bishop menunjukkan bahwa wanita

dengan skor> 9 sama-sama cenderung melahirkan secara vaginal apakah diinduksi atau

diizinkan untuk melahirkan secara spontan.

24
Penilaian status serviks sangat penting bagi klinisi untuk memperkirakan

kemungkinan kelahiran vagina yang sukses. Dari kriteria skor Bishop untuk memprediksi

induksi yang berhasil, yang terpenting adalah dilatasi serviks, diikuti dengan penekanan,

bidang hodge/ station, dan posisi, dan yang terakhir adalah konsistensi dari serviks.

Beberapa penelitian telah menunjukkan tingkat peningkatan induksi dan SC yang gagal

saat wanita diinduksi dengan serviks yang tidak baik. Penelitian prospektif Xenakis

terhadap 597 kehamilan yang distratifikasi oleh skor Bishop yang rendah (4 sampai 6)

dan sangat rendah (0 sampai 3). Bishop skor menemukan risiko SC tertinggi pada wanita

nulipara dan multipara dengan skor 0 sampai 3 dibandingkan dengan skor Bishop> 3.

Bahkan wanita dengan skor 4 sampai 6 memiliki risiko CS yang jauh lebih tinggi secara

signifikan. Dibandingkan dengan melahirkan secara normal (Gambar). Tingkat induksi

yang gagal lebih tinggi pada wanita dengan skor Bishop yang sangat rendah (0 sampai 3)

pada wanita nulipara dan multipara.

25
26
BAB III

PEMBAHASAN

Pada meta analisis ini mempunyai tujuan untuk meninjau kembali bukti dari

percobaan acak / randomised trials yang membandingkan keefektifan pemberian

misoprostol pervagina dan kateter Foley transervikal untuk pematangan serviks dan

induksi persalinan. Ada sejumlah penelitian acak yang membandingkan kedua metode ini,

yang sebagian besar diterbitkan setelah adanya review/ tinjauan pada Cochrane tahun

2001.

Pada pengumpulan data dilakukan penelusuran literatur di Embase (Januari 1980-

November 2010) dan PubMed (US National Library of Medicine, Januari 1966-

November 2010) untuk mengidentifikasi percobaan prospektif, percobaan acak dengan

data yang dipublikasikan dalam bahasa Inggris yang membandingkan penggunaan

misoprostol intravaginal dan kateter Foley transervikal yang bertujuan untuk pematangan

serviks dan induksi persalinan. Kata kunci pada review ini meliputi 'misoprostol', 'Foley',

'balon', 'induksi', dan 'pematangan serviks'. Kata 'DAN' digunakan untuk menggabungkan

istilah-istilah ini dalam berbagai kombinasi. Tidak ada pembatasan tanggal yang

digunakan. Bibliografi dari semua artikel yang relevan dan memenuhi syarat ditinjau

untuk dijadikan referensi yang lebih lanjut. Selain itu, the Cochrane Library Database of

Systematic Reviews dan situs ClinicalTrials.gov dicari untuk mengidentifikasi adanya

percobaan yang sedang berlangsung atau percobaan yang telah selesai.

Penelitian yang termasuk dalam meta analisis ini adalah penelitian dengan pasien

yang secara acak mendapatkan induksi misopostol pervagina atau kateter Foley

transervikal. Penelitian ini mengeksklusi penelitian retrospektif dan observasional, juga

pasien yang termasuk dalam dua grup intervensi namun mendapat terapi agen induksi lain

27
yang diberikan bersamaan dengan misoprostol pervagina dan kateter Foley. Namun

dalam meta analisis ini tidak mengeksklusi pasien yang diberikan agen induksi lain yang

cara pemberiannya dengan diberikan setelah pemberian dosis terakhir dari misoprostol

atau setelah kateter Foley dilepas. Dalam meta analisis ini hanya mengambil data untuk

kelompok misoprostol dan kateter Foley.

Meta analisis ini mengambil sembilan penelitian acak dengan jumlah sampel 1603

yang dijabarkan pada table dibawah. Karakteristik agen induksi yang digunakan masing-

masing penelitian berbeda-beda, baik penggunaan dosis misoprostol ataupun banyaknya

aquades dalam kateter Foley yang digunakan untuk induksi persalinan.

28
Hasil utama atau outcome pada meta analisis ini adalah waktu persalinan, angka

kejadian seksio sesaria, takisistol uterus dan korioamnionitis. Dimana pengertian takisitol

menurut pada pengertian dari penulis penelitian yang diambil, takisistol adalah enam atau

lebih kontraksi yang yang terjadi dalam 10 menit yang berlangsung lebih dari dua kali

secara berturut-turut dalam interval 1 menit.

Pada hasil waktu persalinan dengan menggunakan random-effects estimate, tidak

ada perbedaan bermakna dalam waktu persalinan antara wanita yang menerima

misoprostol dibandingkan dengan wanita dengan kateter Foley transervikal (rata-rata

perbedaannya 1,08 sampai 2,19 jam lebih pendek untuk misoprostol, dengan nilai P =

0,2348). Heterogenitas antara penelitian signifikan, dengan P <0,0001. Perkiraan I2

adalah 84% yang menandakan heterogenitas dari penelitian ini tinggi.

29
Pada angka kejadian persalinan sesar dengan menggunakan random-effects

estimate, tidak ada perbedaan yang signifikan dalam tingkat persalinan sesar antara

wanita yang menerima misoprostol dibandingkan dengan kateter Foley transervikal.

Heterogenitas antara penelitian tidak signifikan, dengan P = 0,4840. Perkiraan I2 adalah

0% yang menunjukkan penelitian ini homogen.

Pada kejadian korioamnionitis dengan menggunakan fixed-effects

estimate/perkiraan efek tetap, tidak ada perbedaan yang signifikan dalam tingkat

30
korioamnionitis antara wanita yang menerima misoprostol dibandingkan dengan kateter

Foley transcervical. Heterogenitas antara penelitian tidak signifikan, dengan P = 0,3900.

Perkiraan I2 adalah 0% yang juga menunjukkan bahwa penelitian ini homogen.

Kejadian takisistol dengan menggunakan random-effects estimate, pasien yang

menerima misoprostol memiliki tingkat takisistol yang jauh lebih tinggi dibandingkan

dengan wanita yang menerima kateter Foley transervikal. Heterogenitas antara penelitian

tidak signifikan, dengan P = 0,5230. Perkiraan I2 adalah 0%.

Dalam meta analisis ini didapatkan hasil keefektifan yang serupa pada pemberian

misoprostol pervagina maupun kateter Foley dalam mencapai persalinan pervaginam.

31
Pada angka kejadian seksio sesaria tidak didapatkan perbedaan yang signifikan antara

kedua kelompok, begitu pula pada kejadian korioamnionitis. Namun, ada peningkatan 2,8

kali lipat tingkat takisistol uterus dengan penggunaan misoprostol, dibandingkan dengan

penggunaan kateter Foley transervikal. Meskipun penelitian ini tidak melaporkan adanya

hasil buruk pada ibu atau bayi baru lahir sehubungan dengan takisistol, hal ini harus

menjadi peringatan jika menggunakan misoprostol dibandingkan dengan kateter Foley

untuk induksi persalinan.

Dalam penelitian klinis lain yang dilakukan oleh Noor et al (2015) yang

membandingkan penggunaan kateter Foley dengan misoprostol pervaginal untuk induksi

persalinan didapatkan jarak antara pemberian induksi dan persalinan lebih pendek dengan

agen misoprostol daripada dengan kateter Foley, dan juga angka persalinan pervaginam

lebih tinggi pada induksi misoprostol (76%), meskipun diikuti juga dengan hiperstimulasi

pada kontraksi uterus.

32
BAB IV

KESIMPULAN

Induksi persalinan adalah suatu intervensi kebidanan secara tidak alami / buatan

dalam memulai proses penipisan serviks, dilatasi, kontraksi rahim, dan akhirnya

kelahiran bayi. Ini bertujuan untuk mengakhiri kehamilan melalui persalinan pervaginam,

ketika melanjutan kehamilan malah dapat membahayakan kondisi ibu atau bayinya, dan

persalinan ini seharusnya memiliki hasil yang lebih baik dibandingkan dengan kehamilan

yang dilanjutkan. Pada wanita dengan serviks yang tidak baik, induksi persalinan dimulai

dengan pematangan serviks, yang dapat dicapai dengan metode mekanis, seperti kateter

Foley, atau farmakologis, dengan prostaglandin analog E1 atau E2.

Misoprostol intravaginal dan kateter Foley transervikal memiliki keefektifan yang

sama seperti agen induksi lain untuk digunakan sebagai agen induksi persalinan.

Misoprostol dan kateter Foley transervikal keduanya dianggap sebagai agen induksi yang

tepat oleh ACOG. WHO (2011) merekomendasikan pemberian misoprostol untuk induksi

persalinan, pemberian dosis rendah pervagina adalah 25 mikrogram setiap 6 jam

merupakan rekomendasi untuk induksi persalinan. Sedangkan untuk kateter Foley dengan

80 mL cairan steril memberikan dilatasi yang lebih efektif, persalinan yang lebih cepat,

dan penurunan kebutuhan oksitosin dibandingkan dengan balon dengan 30 ml cairan

steril (Levy, et al 2004).

Namun demikian dari meta analisis ini lebih condong pada induksi persalinan

dengan pemasangan kateter Foley transervikal sebagai agen induksi, melihat insidensinya

yang rendah terhadap kejadian takisistol atau hiperstimulasi kontraksi uterus pada saat

persalinan serta resiko nterjadinya ruptur uteri.

33
DAFTAR PUSTAKA

1. Permana, GA., Kemara, Putera, Megadhana, I Wayan. 2014. Misoprostol untuk


Induksi Persalinan pada Kehamilan Aterm. Denpasar: Bagian Obstetri dan
Ginekologi Fakultas Kedokteran Udayana/Rumah Sakit Umum Sanglah Denpasar.
2. Eikelder, Meike L. G., et al 2016. Induction of labour at term with oral
misoprostol versus a Foley catheter (PROBAAT-II): a multicenter randomized
controlled non-inferiority trial. Lancet 2016.
3. Roudsari, Fatemah Vahid., Ayati, Sedigheh., Ghasemi, Marzieh., Mofrad,
Maliheh Hasanzeadeh, Shakeri, Mohamad Taghi., Farshidi, Farnoush., Shahabian,
Masoud. 2010. Comparison of vaginal Misoprostol with Foley Catheter for
Cervical Ripening and Induction of Labor. Iranian Journal of Pharmaceutical
Research (2010). 10(1): 147-154.
4. Fox, N.S., Saltzman, D.H., Roman, A.S., Klauser, C.K., Moshier, E., Rebarber,
A., 2011. Misoprostol versus Foley catheter for labour induction: a meta-analysis.
British Journal of Obstetrics and Gynecology: 647-654.
5. Tang, O.S., Gemzell-Danielsson, K., Ho, P.C. 2007. Misoprostol:
Pharmacokinetic profiles, effects on the uterus and side-effect. International
Journal of Gynecology and Obstetrics (2007) 99, S160-S167.
6. Levy, Roni., Kanengiser, Bibi., Furman, Boris., Arie,A.B., Brown,Dov., Hagay,
Z.J. 2004. A Randomized trial comparing a 30-mL and an 80-mL Foleycatheter
balloon for preinduction cervical ripening. American Journal of Obstetricand
Gynecology (2004): 191, 1632-6.
7. Departemen Kesehatan R.I., 2009, Sistem Kesehatan Nasional. Jakarta.

8. Leduc, et al. 2013. Induction of Labour. Journal of Obstetric and Gynecology


Canada (2013);35(9):840–857

9. Alfirevic Z, Aflaifel N, Weeks A. 2014. Oral misoprostol for induction of labour.


Cochrane Database of Systematic Reviews (2014), Issue 6. Art. No.: CD001338

34
10. WHO. 2011. WHO recommendationsfor induction of labour. World Health
Organization, Dept. of Reproductive Health and Research.
11. FIGO. 2012.MisoprostolRecommended Dosages.
http://www.figo.org/search?cx=%2527006260962696807358306%253Ack4j2ap-
l1u&cof=FORID%253A11&ie=ISO-8859-1&query=misoprostol. Diakses dan
diunduh pada Kamis, 22 Juni 2017.
12. Noor,N.,Ansari, M.,Ali,S.M.,Parveen, S. 2015. ClinicalStudy: Foley Catheter
versus Vaginal Misoprostol for Labour Induction. International Journal of
Reproduction Medicine.
13. Durocher J, Bynum J, Leo´n W, Barrera G, Winikoff B. 2010. High fever
following postpartum administration of sublingual misoprostol. BJOG
2010;117:845–852.
14. Gonsalves, H., et al. 2016. Use of Intracervical Foley Catheter for Induction of
Labour in Cases of PreviousCaesarean Section. Sultan Qaboos University Med J,
November 2016, Vol. 16, Iss. 4, pp. e445–450, Epub. 30 Nov 16Sultan Qaboos
University Med J, November 2016, Vol. 16, Iss. 4, pp. e445–450.
15. Sciscione, A., et al. 2004. Preinduction cervical ripening with the Foley catheter
and the risk of subsequent preterm birth. ACOG.
16. Sinha D et al. 2017. A comparative study of oral, sublingual and vaginal route of
misoprostol as cervical ripening agent before surgical method of termination of
first-trimester pregnancy. Int J Reprod Contracept Obstet Gynecol. 2017
Apr;6(4):1295-1298.

35

Anda mungkin juga menyukai