Anda di halaman 1dari 14

B.

Cassandra Tyas Olivia

111911133202

Biopsikologi kelas D-1

Word Count : 3227

Bunuh Diri Bukan Jalan Terbaik bagi Orang dengan Gangguan Depresi

O’Connor dan Nock (2014) mengatakan bahwa perilaku bunuh diri mengacu pada
pikiran-pikiran dan perilaku yang terkait dengan intensi individual untuk mengakhiri
hidup mereka sendiri. Salah satu penyebab bunuh diri yang paling dominan adalah
depresi. Depresi merupakan salah satu gangguan mood yang ditandai oleh hilangnya
perasaan kendali dan pengalaman subjektif karena adanya penderitaan berat . Beck
(1967) mengatakan bahwa adanya proses berpikir yang salah yang menyebabkan
orang mengalami depresi. Biasanya, mereka yang bunuh diri akan melalui tiga tahap
depresi, yaitu minor depression, moderate depression, major depression, hingga
akhirnya mereka memutuskan untuk mengakhiri hidupnya.

Penelitian awal mengenai dasar penyebab biologis dari depresi pada tahun 1950
berfokus pada berkurangnya tingkat neurotransmiter dalam otak. Pada umumnya
mood yang secara dominan muncul adalah perasaan tidak berdaya dan kehilangan
harapan. Dari perasaan-perasaan negatif tersebutlah bisa timbul pikiran-pikiran yang
bisa membahayakan; bunuh diri adalah salah satu dampaknnya. Disamping itu,
adanya penurunan serotonin dapat menyebabkan depresi yang berkontribusi
terjadinya resiko bunuh diri. Hal ini dikarenakan, fungsi serotonin adalah mengatur
reaksi-reaksi emosional pada manusia. Teori psikologi Sigmund Freud dan Karl
Menninger meyakini bahwa bunuh diri merupakan hasil dari marah yang diarahkan
pada diri sendiri.
Berdasarkan data WHO, hampir 800 000 orang meninggal karena bunuh diri setiap
tahun. Ada lebih banyak orang yang mencoba bunuh diri setiap tahun. Meskipun ada
banyak faktor yang dapat mempengaruhi keputusan seseorang untuk bunuh diri, yang
paling umum adalah orang tersebut mengalami depresi berat. Depresi dapat membuat
orang merasakan sakit emosional yang hebat dan kehilangan harapan, membuat
mereka tidak dapat melihat cara lain untuk menghilangkan rasa sakit selain
mengakhiri hidup mereka sendiri.

Terdapat dua aliran filsafat yang membahas bunuh diri, yakni aliran yang setuju dan
aliran yang tidak setuju. Aliran yang setuju dimotori oleh Montaigne, David Hume,
Bertnard Russel, dan Nietzsche. Kelompok yang tidak setuju dimotori oleh
Phytagoras (570 SM) dengan alasan, tindakan bunuh diri merupakan perlawanan
terhadap hukum dewa. Plato (427-347 SM) berpendapat bahwa bunuh diri perlu
mendapatkan hukuman dari negara. Secara umum, agama dan agamawan menolak
tindak bunuh diri karena mengingkari kodrat Tuhan. Secara sosiologis, tindak bunuh
diri merupakan penyimpangan sosial yang dipengaruhi kondisi sosial masyarakat.

Analisis Soejono (1989) bunuh diri dilarang didasarkan argumen pertama, kewajiban
terhadap Tuhan (yang telah memberikan kehidupan), manusia wajib mempertahankan
dan melindungi hak hidup yang telah diterimanya. Kedua, kebebasan bertindak
hendaknya diikuti kewajiban manusia terhadap sesamanya (termasuk dengan dirinya).
Ketiga, kewajiban terhadap sesamanya bisa diperluas menjadi kewajiban terhadap
masyarakat, dan keempat, manusia hendaknya berbudi pekerti luhur, bunuh diri
merupakan tindak penyimpangan budi pekerti luhur.

Dilarangnya bunuh diri karena pertama, mendahului kehendak Tuhan (dalam hal
kematian). Kedua, menandaskan ketidaksediaan menerima realitas dan dinamika
kehidupan yang menimpa pelaku. Ketiga, menandakan ketidaksiapsiagaan
menyongsong masa depan yang tidak lekang dari tantangan dan halangan-rintangan.
Semua realitas itu disikapi dengan mawas diri, instropeksi diri, tegar diri, dan
bertawakal dengan sepenuh hati keharibaan Tuhan yang menguasai kehidupan dan
masa depan hamba-Nya, bukan lari dari kenyataan dengan jalan pintas.

Menurut Ida Rochmawati, bunuh diri merupakan gangguan mental yang akut. Jika
tidak ditangani dengan maksimal, sangat memungkinkan warga yang mengalami
gangguan mental kuat tersebut memilih mengakhiri hidup dengan bunuh diri.Ida juga
memaparkan sebuah teori berdasarkan penelitian bidang sosial dan kepribadian yang
menyatakan bahwa beberapa tindakan bunuh diri dilakukan karena keinginan yang
kuat untuk lari dari kesadaran diri yang menyakitkan. Lari dari realitas boleh jadi
merupakan pilihan yang dapat ditoleransi ketimbang terus menerus dalam kesadaran
yang menyakitkan.Sehingga nampaknya bunuh diri merupakan jalan pembebasan dari
penderitaan.Tidak adanya harapan untuk lepas dari masalah dan tidak dapat melihat
alternatif lain dari penyelesaian masalah. Bunuh diri dianggap sebagai jalan keluar
untuk mengakhiri penderitaan mereka. Keputusan mereka didasarkan pada
pertimbangan bahwa hidup tidak berharga dan bermakna lagi untuk dijalani dengan
adanya penderitaan yang berkepanjangan.

Semua orang yang menganggap bunuh diri merasa bahwa hidup ini tidak tertahankan.
Mereka memiliki perasaan putus asa, tidak berdaya, dan putus asa yang ekstrem.
Dengan beberapa jenis penyakit mental, orang mungkin mendengar suara-suara atau
memiliki delusi yang mendorong mereka untuk bunuh diri. Dalam hasil penelitian
yang dibuat oleh Witrin Gamayanti (2014), ia memaparkan bagimana dinamika
percobaan bunuh diri pada salah satu partisipan yang ditelitinya. Partisipan ini
memiliki kebiasaan mencuri. Ketika pencurian diketahui oleh pihak sekolah, ia
menjadi malu. Rasa bersalah muncul seiring dengan kesadaran bahwa perbuatannya
adalah salah dan dosa. Nasehat dari ustadz-ustadz-nya membuat rasa bersalah
semakin besar. Ditambah lagi dengan permasalahan rumah yang masih
membayanginya, kondisi ayah, konflik di keluarga serta incest yang dilakukan kakak.
Semua itu memperkuat permasalahan yang di alaminya. Ia semakin tidak berdaya,
rasa bersalah dan dosa yang semakin besar membuat ia mencari jalan untuk lari dari
masalah. Godaan bunuh diri semakin besar, dengan “bantuan“ media ia bisa
menemukan cara yang tepat dalam menyelesaikan masalahnya dengan memilih cara
bunuh diri yang dianggapnya tepat.

Salah satu hal yang peneliti lihat dari hasil penelitian ini adalah adanya ambivalensi
dari partisipan ketika melakukan usaha bunuh diri. Perilaku bunuh diri yang
dilakukan responden kemungkinan adalah attention seeking. Seperti yang dikatakan
Shneidman (1970) bahwa sebagian orang yang berniat melakukan usaha bunuh diri
tidak yakin kalau mereka benar-benar ingin mati. Kondisi ini mematahkan mitos
bahwa orang yang ingin bunuh diri betul-betul ingin mati. Hal ini juga dikatakan oleh
Maris, Berman, dan Silverman (2000) dalam kelompok non fatal suicide atau
attempted suicide terdapat orang yang ambivalent. Satu sisi ia melakukan usaha
bunuh diri namun tidak sepenuhnya menginginkan kematian.

Meskipun mungkin terlihat jelas bagi pengamat luar bahwa segalanya akan menjadi
lebih baik, orang dengan depresi mungkin tidak dapat melihat ini karena pesimisme
dan keputusasaan yang menyertai penyakit ini. Kebanyakan orang yang ingin bunuh
diri sebenarnya tidak ingin mati, melainkan mereka hanya ingin mengakhiri rasa
sakit. Ada banyak keadaan yang dapat berkontribusi pada keputusan seseorang untuk
memilih mengakhiri hidupnya, tetapi perasaan seseorang tentang keadaan itu lebih
penting daripada keadaan itu sendiri. Orang-orang yang berbicara tentang mati karena
bunuh diri atau berusaha untuk bunuh diri tidak selalu ingin mati. Seringkali, mereka
mencari bantuan. Seorang yang mengalami depresi kemudian melakukan bunuh diri
tidak mampu melakukan pertimbangan karena dirinya berada di luar sadar. Sehingga
efek lain setelah dirinya melakukan hal yang ingin dilakukan tidak terpikirkan
olehnya. Yang ada dipikiranya hanyalah satu tujuan bagaimana cara mencapai
keinginan atau kebahagiaan yang ia inginkan, yaitu bebas dari penderitaan.

Pola pikir pesimisme dapat menimbulkan perasaan depresi seseorang, dimana mereka
akan cenderung menyalahkan diri sendiri, orang lain dan lingkungan (Saam
&Wahyuni, 2012). Menurut Baxt (2013) seseorang yang mempunyai pola pikir
pesimisme seringkali tidak santai dan tidak mudah diajak bergaul. Jika seseorang
seringkali tidak santai dalam kurun waktu yang lama, mereka akan bisa menjadi
cemas. Dari cemas itu mereka dapat menjadi lambat dalam merespon usaha-usaha
yang bisa membantu mereka keluar dari masalah. Dengan demikian meraka akan
memilih pasrah, menyangkal dan diam tanpa mau melakukan apapun untuk
mengatasi masalahnya. Orang yang pesimis memandang negatif terhadap diri sendiri,
dunia, dan masa depannya sehingga hal ini akan menimbulkan perasaan putus asa.
Orang yang mengadopsi cara berpikir yang negatif ini memiliki resiko yang lebih
besar untuk menjadi depresi jika dihadapkan pada pengalaman hidup yang menekan
atau mengecewakan.

Mereka yang melakukan percobaan bunuh diri cenderung tidak berpikir sistematis, ini
bertentangan dengan teori perkembangan Piaget yang menyatakan adanya
kematangan logika berpikir dan cenderung berpikir sistematis sebelum mengambil
tindakan lebih jauh. Hal ini dipengaruhi oleh depresi yang timbul sebelum percobaan
bunuh diri berlangsung. Depresi juga didukung karena adanya tekanan dari
lingkungan sosial dan subjek tidak mampu menyesuaikan dirinya, didukung dengan
adanya faktor internal yaitu pandangan negatif pada diri dan masa depan, maka
timbul rasa frustrasi yang diwujudkan dengan percobaan bunuh diri.

Percobaan bunuh diri ditakukan karena adanya emosi-emosi negatif yang


dirasakannya. Hal ini terjadi karena ego yang lemah, gagal membelokkan agresi pada
objek diluar dirinya. Ego ini dibentuk oleh keluarga dan lingkungan sosialnya,
percobaan bunuh diri merupakan jalan keluar dari masalah yang dihadapi, percobaan
bunuh diri juga dianggap sebagai suatu cara untuk mengubah realitas yang terjadi.
Pengambilan keputusan dalam bunuh diri cenderung menggunakan pendekatan
heuristis, yang bersifat tidak sistematis dan cepat. Hal ini juga dipengaruhi oleh
depresi yang dialami, depresi di sini ditandai oleh tiga hal yang kemudian
membentuk skema kongnitif yang bersifat negatif. Tiga hal ini meliputi pandangan
negatif pada diri dan masa depan, adanya pengulangan ide bunuh diri dan pikiran
ambivalen, dan distorsi kognitif yang membuat seseorang tidak bisa berpikir
mengenai solusi lain yang lebih baik. Tanpa dapat memikirkan jalan penyelesaian
dengan akal yang waras, mereka memilih untuk membunuh diri.

Ketika seseorang dihadapkan pada suatu permasalahan, maka seseorang memiliki dua
pilihan, yaitu menyelesaikan permasalahan tersebut dengan cara yang positif atau
dengan cara yang negatif yaitu, bunuh diri. Ketidakmampuan individu mengelola
stres akan mengarahkan perilaku individu pada perilaku destruktif, dimana puncak
dari perilaku destruktif adalah bunuh diri . Percobaan bunuh diri dilakukan karena
adanya rasa kehilangan dan sebagai sarana untuk mengekspresikan emosi-emosi
negatif yang dirasakan. Hal ini disebabkan oleh depresi yang muncul tidak dapat
direduksi oleh ego. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Jolliant
dkk. (2005) (dalam Halgin & Whitbourne, 2011) adanya penurunan kemampuan
dalam mengambil keputusan pada pelaku percobaan bunuh diri yang cenderung
mengambil keputusan yang tidak bijaksana. Keputusan ini juga dipengaruhi oleh
depresi yang dialami. Depresi pada pelaku ditandai oleh pandangan negatif pada diri
dan masa depan, adanya pengulangan ide bunuh diri dan pikiran ambivalen, dan
distorsi kognitif yang membuat seseorang tidak bisa berpikir mengenai solusi lain
yang lebih baik. Pengambilan keputusan diwarnai pikiran-pikiran yang cenderung
mengandung tema depresif dan memperlihatkan tema kemunduran (personal
deficiency).

Dari hasil penelitian ditemukan bahwasanya pelaku percobaan bunuh diri, cenderung
fokus pada permasalahanya dan tidak berpikir mengenai solusi atau pertimbangan
lain,sebelum melakukan percobaan bunuh diri. Hal ini bisa dikarenakan adanya
depresi yang mengakibatkan penurunan fungsi kognitif. Menurut Kartono (2000)
salah satu karakteristik orang yang cenderung melakukan percobaan bunuh diri, yaitu
selalu dihantui atau dikejar-kejar rasa cemas, takut, tegang, depresi, marah, dendam,
dosa atau bersalah.

Ketika membuat keputusan, tidak hanya dua tetapi sejumlah pilihan atau keinginan
yang tersedia. Ketika salah satu pilihan 'ingin terus hidup' ini mungkin menunjukkan
bahwa dia ingin menikmati berbagai aspek kehidupan. Sementara, keputusan untuk
'ingin mengakhiri hidup seseorang' mungkin didorong oleh motivasi untuk
menghindari atau melarikan diri dari sejumlah pengalaman emosional negatif seperti
sedih, takut, marah, rasa bersalah, atau malu. Hal ini harus dipahami dengan baik,
bahwa selama pengalaman emosional yang intens, penghambatan kognitif dapat
dikurangi dan dengan demikian dapat menjadi faktor untuk kemungkinan mengubah
pemikiran (dari ide bunuh diri) untuk bertindak. Sistem keyakinan individual
merupakan faktor penting yang mempengaruhi pengambilan keputusan selama ide
bunuh diri. Kepercayaan harapan, berpikir bahwa masalah ini akan berakhir tak lama,
dapat memperkuat 'keinginan untuk terus hidup' dan menunda atau membasmi ide
bunuh diri. Kepercayaan pada 'keputusasaan, ketidakberdayaan dapat
mengintensifkan 'keinginan untuk mengakhiri hidup seseorang'. Ketika individu
berfokus pada pemikiran negatif, sering terjadi keyakinan ilusi bahwa masalah ini
mungkin tidak pernah diatasi. Kemampuan kognitif seseorang juga bisa menurun,
karena ada bukti bahwa orang yang rentan dengan masalah kesehatan mental yang
berat mempengaruhi kemampuan kognitif, terutama pengambilan keputusan.

Aspek regulasi emosional ditambah dengan gangguan kemampuan pengambilan


keputusan sering tidak terintegrasi ke dalam aspek kesehatan mental dan pemikiran
bunuh diri. Aspek ini dan perbedaan individu dalam kemampuan untuk mengatur
emosi seseorang perlu dimasukkan ke dalam pemahaman dan pengelolaan ide bunuh
diri. Bukti neuroimaging menunjukkan control perhatian dan perubahan kognitif
mungkin terdapat dua jenis regulasi kognitif. Bentuk regulasi emosional ini
melibatkan daerah seperti korteks pre-frontal (PFC), orbito-frontal cortex (OFC) dan
anterior cingulate cortex (ACC).

Kurangnya fungsi eksekutif atau gangguan kemampuan pengambilan keputusan bisa


jadi hasil dari berkurangnya kerja memori yang mungkin disebabkan oleh banyak
faktor termasuk stres, emosi yang parah dan juga gangguan kemampuan dalam
mengharapan penghargaan. Paparan tingkat stres yang tinggi atau bahkan stres akut
ringan dapat menyebabkan cepat dan drastis hilangnya kemampuan kognitif
prefrontal. Lebih khususnya, stres ini dapat mengurangi kemampuan korteks
prefrontal untuk mengatur respon emosional yang dengan demikian pola pikir pada
individu seperti ini mungkin didorong oleh amigdala atau dasar emosi. Gangguan
fungsi pre-frontal juga dikenal memiliki interaksi dengan perasaan mengharapan
dihargai .

Dalam kasus individu dengan pemikiran bunuh diri, ini mungkin berhubungan
dengan pengalaman rasa sakit negatif yang parah atau keyakinan bahwa kematian
akan menjadi solusi. Kemampuan mereka untuk merasakan manfaat futuristik dapat
dihambat bersama dengan kemungkinan menahan diri dari rasa takut, meskipun
penelitian menunjukkan bahwa mencoba bunuh diri menunjukkan gangguan
kebalikan pembelajaran probabilistik dibandingkan dengan orang dewasa yang tidak-
bunuh diri, mungkin kemampuan ini yang menggeser keseimbangan dari ide ke
mencoba untuk mengakhiri hidup. Neuringer menemukan bahwa orang-orang yang
ingin bunuh diri cenderung memiliki pola pemikiran yang kaku yang membuat
mereka miskin dalam mengenali solusi atas masalah-masalah yang mereka hadapi.

Ketidakberdayaan sejak lama telah menjadi terminologi yang menyatu dengan


depresi sehingga postulasi awal yang berkembang adalah teori ketidakberdayaan dari
depresi. Ketidakberdayaan menurut Wenzel, Brown dan Beck (2009) adalah suatu
keyakinan bahwa masa depan itu menakutkan dan persoalan-persoalan yang dihadapi
tidak memiliki jalan keluar. Westefeld Range, Rogers, Maples, Bromley, & Alcorn
(2000) mengatakan ketidakberdayaan adalah prediktor yang baik bagi bunuh diri.

Menurut Fromm (1995) alienasi merupakan konsep yang paling tepat untuk
menjelaskan maraknya penurunan taraf kesehatan mental masyarakat, khususnya
masyararakat modern. Alienasi dapat diartikan sebagai suatu pengalaman hidup
dimana seorang individu mengalami dirinya sebagai sosok yang terasing atau ia
merasa asing dengan dirinya sendiri. Manusia tidak mengalami dirinya sebagai pusat
dunianya, sebagai pencipta aktivitas-aktivitasnya sendiri, tetapi semua tindakan dan
konsekuensi dari tindakannya menjadi majikan yang harus ia taati dan harus ia
sembah. Era kapitalisme yang menjanjikan kesejahteraan dan pemenuhan kebutuhan
hidup tak terbatas, harus dibayar mahal dengan merebaknya berbagai sindrom
kesehatan mental seperti kecanduan alkohol, bunuh diri, meningkatnya kekerasan.

Menurut Viktor Frankl (dalam Koesworo, 1992) orientasi materialisme menyebabkan


orang sering lupa untuk mengolah sisi psikis dan spiritualitasnya. Keadaan ini
memicu ketidakseimbangan dan krisis makna, terutama karena manusia begitu
terobsesi pada pencapaian makna melalui simbol-simbol yang bersifat material.
Orang modern juga mengalami krisis makna. Dalam ungkapan Viktor Frankl (dalam
Koeswara, 1995), manusia modern mengalami sidrom ketidakbermaknaan (syndrome
of meaninglesness).

Gagasan-gagasan bunuh diri secara obsesif selalu menghantui individu yang


mengalami depresi karena kehilangan makna hidup. Namun demikian upaya untuk
memutuskan mengakhiri hidup melalui bunuh diri bukanlah proses yang spontan.
Pertimbangan hati nurani, moral, rasa berdosa mungkin menjadi faktor yang
menghambat. Pada orang normal pun terkadang timbul ide-ide bunuh diri karena
ingin menyerah dari penderitaan yang terlalu berat. Namun apakah ide bunuh diri
tersebut diteruskan menjadi tindakan atau tidak, tergantung pada kesehatan mental
individu.

Orang-orang yang berkarakter dinamis, periang, optimistis sangat mungkin


melakukan bunuh diri, asalkan ada pemicu yang jelas dan terlalu berat untuk
ditanggung. Misalnya masalah keuangan yang berat, dituduh melakukan korupsi dan
skandal, tidak kuat menahan aib atau tekanan sosial. Tindakan mengakhiri hidup
dengan bunuh diri secara subjektif diputuskan ketika sakit tersebut sudah tak
tertahankan lagi. Pada umumnya tindakan bunuh diri masih berada dalam kendali
kesadarannya. Menurut pandangan Prof. Johana Endang Prawitasari PhD (dalam
Kompas Cyber Media, 7 Agustus 2004) tindakan bunuh diri memerlukan keberanian.
Tanpa keberanian maka pada detik-detik terakhir ia bisa membatalkan tindakannya
tersebut .
Dalam pandangan Sutanto (2003), bunuh diri merupakan tindakan akhir manusia
yang kehabisan pengharapan. Menurutnya, selama manusia masih memiliki
pengharapan, kendati dirinya mengalami penderitaan yang amat berat, ia tidak akan
bunuh diri. Di sisi lain, kendati secara riil objektif seseorang tidak mengalami
penderitaan yang sungguh-sungguh berat, jika dirinya kehabisan pengharapan dia
bisa bunuh diri. Hal ini menunjukkan bahwa pengharapan adalah suatu nilai yang
harus tetap ada dalam kehidupan, perlu terus dirawat, selalu ditumbuh kembangkan
dalam kehidupan psikososial kita.

Ada hubungan antara dukungan sosial (dari sumber keluarga, teman, dan significant
others) dengan ide bunuh diri (Alifia Salsabhilla, 2019). Persepsi dukungan sosial dan
ikatan yang terbangun diantara individu dan sistem sosial dapat menolong adaptasi
terhadap situasi stres . Hubungan yang kurang baik dengan salah satu orang tua atau
dengan kedua orang tua meningkatkan risiko bunuh diri dengan atau tanpa depresi.
Keluarga adalah sumber dukungan primer yang dihubungkan dengan rendahnya ide
bunuh diri . kekuatan hubungan antara dukungan sosial significant others dengan ide
bunuh diri memiliki kekuatan yang paling lemah dibandingkan hubungan dukungan
sosial sumber lain dengan ide bunuh diri.

Hingga saat ini, belum ada cara yang terbukti dapat mencegah tindakan bunuh diri
secara total dan memberikan perlindungan pada pasien dari kemungkinan bunuh diri.
Ada beberapa langkah yang bisa dilakukan, yakni pencegahan primer, sekunder, dan
tersier . Pencegahan primer merupakan metode pencegahan yang ideal untuk
melawan keinginan bunuh diri dan dapat melindungi masyarakat dari hal tersebut.
Penanganan yang efektif terhadap gangguan psikiatri, terutama gangguan mood
sangat dibuthkan. Memodifikasi kondisi sosial, ekonomi dan biologis, seperti
menurunkan angka kemiskinan, kekerasan, perceraian, dan promosi pola hidup yang
sehat dapat secara signifikan berkontribusi terhadap pencegahan primer. Dokter dapat
mempromosikan faktor-faktor protektif, seperti kesehatan fisik, latihan yang tepat,
pola makan yang tepat dan tidur yang cukup.
Pencegahan sekunder merujuk pada deteksi dini dan memberi penanganan yang tepat
pada individu yang memiliki keinginan bunuh diri. Manajemen terhadap pasien
bunuh diri meliputi diagnosis dan penanganan terhadap gangguan psikiatri yang
sedang dideritanya, menilai risiko untuk melakukan bunuh diri, dan mengurangi
akses terhadap hal-hal yang membahayakan untuk terlaksananya bunuh diri tersebut,
seperti misalnya tersedianya pistol, pisau, tali, dan sebagainya.

Pencegahan tersier dilakukan untuk mengurangi konsekuensi dari percobaan bunuh


diri.Peningkatan edukasi terhadap tenaga kesehatan profesional tentang cara menilai
dan menangani pasien dengan risiko bunuh diri dapat membantu deteksi secara cepat
dan membatasi kerusakan yang ditimbulkan. Intervensi yang dapat dilakukan pada
tahap ini adalah menilai anggota keluarga siapa sajakah yang mungkin terpengaruh
tindakan bunuh diri tersebut sehingga diapun ingin membunuh dirinya sendiri.

Bagaimanpun, pilihan bunuh diri untuk mengakhiri rasa sakit itu bukanlah pilihan
yang tepat, karena pilihan itu di ambil bukan dengan akal sehat, melainkan
dipengaruhi oleh gangguan kesehatan mental. Orang-orang yang memilih bunuh diri
biasanya adalah orang yang berada di tingkat putus asa yang tinggi dan sudah tidak
tahu lagi hendak melakukan apa. Mereka cenderung memilih bunuh diri sebagai
solusi terbaik untuk mendapatkan yang lebih baik. Setelah mati, mereka berpikir
semuanya sudah selesai, tidak ada yang perlu dikhawatirkan lagi. Tidak ada lagi rasa
sedih dan mereka bebas dari penderitaan. Padahal, mereka tidak benar-benar
mengetahui apa yang akan terjadi setelah mengambil keputusan untuk bunuh diri
tersebut. Seorang yang bunuh diri tidak memikirkan bahwa masih ada kehidupan lagi
setelah hidup di dunia,yang mana 6 agama di Indonesia mengakui hal ini.

Pengambilan keputusan oleh orang dengan gangguan depresi dilakukan secara tidak
bjaksana , di mana keadaan psikologis yang tidak seimbang atau ingin lari dari rasa
sakit yang dirasakan. Keadaan psikologis yang tidak seimbang ini juga berkaitan
dengan pola pikir yang salah mengenai pemaknaan hidup, yang mana pola pikir
manusia ini bisa diperbaiki bahkan diubah .
Bunuh diri merupakan gambaran dari makna hidup yang terdevaluasi sampai pada
titik terendah, yaitu ketika manusia tidak lagi memiliki pegangan untuk melanjutkan
hidup. Hidup ditentukan oleh tujuan dan makna yang dirasakan. Ditengah segala
kesulitan hidup tetap lebih banyak orang yang tetap bertahan sampai kematian
menjemput. Mungkin mereka menjadi orang yang semakin mendekatkan diri kepada
Tuhan, mencoba menikmati hidup dengan tetap mempertahankan semangat hidupnya
walaupun dalam batas minimal.

Bagi seorang yang memiliki pemikiran dangkal, menyelesaikan masalah yang tidak
bisa diselesaikan olehnya adalah dengan mengakiri hidupnya. Saat ia mati, ia berpikir
masalah akan selesai. Dapat dikataan bahwa korban bunuh diri memiliki hati nurani
sesat karena memilih jalan yang salah untuk penyelesaian dalam masalahnya.

Sistem keyakinan individual merupakan faktor penting yang mempengaruhi


pengambilan keputusan selama ide bunuh diri. Kepercayaan harapan, berpikir bahwa
masalah ini akan berakhir tak lama, dapat memperkuat 'keinginan untuk terus hidup'
dan menunda atau membasmi ide bunuh diri.

Pencegahan merupakan tindakan yang tepat dan efektif untuk meminimalisasi angka
kejadian percobaan atau tindakan bunuh diri yang dipicu oleh depresi. Penilaian
risiko keinginan bunuh diri pada seorang pasien dapat membantu dokter untuk
memprediksikan suatu tindakan bunuh diri. Pencegahan keinginan bunuh diri dapat
dilakukan melalui tiga tahapan, yakni pencegahan primer, sekunder, dan tersier.
Pencegahan primer bertujuan untuk mereduksi jumlah kasus baru. Pencegahan
sekunder merujuk pada deteksi dini dan memberi penanganan yang tepat pada
individu yang memiliki keinginan bunuh diri. Pencegahan tersier ditujukan untuk
mengurangi konsekuensi dari percobaan bunuh diri dengan cara memberikan edukasi
pada tenaga profesional dalam menilai adanya risiko bunuh diri pada seorang pasien .
Daftar Pustaka

Alifia Salsabhilla, R. U. (2019). DUKUNGAN SOSIAL DAN HUBUNGANNYA DENGAN IDE


BUNUH DIRI PADA MAHASISWA RANTAU. Keperawatan Jiwa , 107-114.

Alifia Salsabhilla, R. U. (2019). DUKUNGAN SOSIAL DAN HUBUNGANNYA DENGAN IDE


BUNUH DIRI PADA MAHASISWA RANTAU. Keperawatan Jiwa , 7 No 1, 107-114.

Bagaspati, A. (2016). Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

Dera Lukita Sari, E. W. (2019). Hubungan Pola Pikir Pesimisme dengan Resiko Depresi pada
Remaja. Nursing News : Jurnal Ilmiah Keperawatan , Vol.4 No.1.

Gamayanti, W. (2014). Usaha Bunuh Diri Berdasarkan Teori Ekologi Bronfenbrenner.


Psympathic : Jurnal Ilmiah Psikologi , Vol.1,No.2, 204-230.

Kusuma, D. H. (2018). Tugas Filsafat Moral "Bunuh Diri dengan Menembak Kepala".
Universitas Katolik Widya Mandala Madiun.

Lester, D. (2012). The Role of Irrational Thinking in Suicidal Behavior. Comprehensive


Psychology , Volume 1.

Luluk Mukarromah, F. L. (2014). DINAMIKA PSIKOLOGIS PADA PELAKU PERCOBAAN BUNUH


DIRI. Jurnal Psikoislamika , Volume 11. Nomor 2.

M.C. Ruswahyuningsih, T. A. (2015). Resiliensi pada Remaja Jawa. GADJAH MADA JOURNAL
OF PSYCHOLOGY , VOLUME 1, NO. 2.

Manangsang, A. R. (2018, Desember 12). Peran Pengambilan Keputusan pada Pemikiran


Bunuh Diri.

Mental Health First Aid Australia. (2016). Suicidal Thoughts & Behaviour.

Riasnugrahani, M. (n.d.). Mengapa Bunuh Diri? Euangelion .

Rosyid, M. (2014). Kontribusi Penyuluh Agama dalam Meminimalisasi Bunuh Diri. Vol. 5, No.
2.

Santoso, M. B. (2017). bunuh diri dan depresi dalam perspektif pekerjaan sosial. prosiding
penelitian & pengabdian kepada masyarakat , vil.4 no: 3, 390-447.

Suicide. (2019, September). Neewsroom .


Susetyo, D. B. (2011, April 30). Bunuh diri sebuah tragedi atau pilihan.

Tience Debora Valentina, A. F. (2016). Ketidakberdayaan dan Perilaku Bunuh Diri: Meta-
Analisis. Buletin Psikologi , Vol.24 No.2, 123-135.

Undarwati, J. P. (2014). Suicide Ideation Pada Remaja di Kota Semarang. Developmental and
Clinical Psychology , Vol.3 No.1.

WE Supyanti, A. W. (2012). PENCEGAHAN PERCOBAAN BUNUH DIRI PADA ANAK DAN


REMAJA DENGAN GANGGUAN DEPRESI. E-Jurnal Medika Udayana , Vol 1 No 1.

Anda mungkin juga menyukai