Anda di halaman 1dari 18

Tingkat Kepatuhan Penggunaan Obat pada Pasien Tuberkulosis di

Puskesmas Bua Tallulolo, Kecamatan Kesu’, Tana Toraja

PROPOSAL PENELITIAN

Disusun Oleh :

Angelita Torromanda 17 04 004


Anggi Sombolayuk 17 04 005
Angriani Palengka’ 17 04 006
Sri Anita 17 04 028

PROGRAM STUDI DIII FARMASI


YAYASAN NAFIRI INDONESIA
AKADEMI FARMASI TORAJA
TANA TORAJA
2019
BAB 1
PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Tuberculosis paru (TB paru) merupakan salah satu penyakit infeksi yang
prevalensinya paling tinggi di dunia. Berdasarkan laporan World Health
Organitation (WHO, 2012) sepertiga populasi dunia yaitu sekitar dua milyar
penduduk terinfeksi Mycobacterium Tuberculosis. Lebih dari 8 juta populasi
terkena TB aktif setiap tahunnya dan sekitar 2 juta meninggal. Lebih dari 90%
kasus TB dan kematian berasal dari negara berkembang salah satunya Indonesia
(Depkes RI, 2012).
Menurut World Health Organization sejak tahun 2010 hingga Maret 2011,
di Indonesia tercatat 430.000 penderita TB paru dengan korban meninggal
sejumlah 61.000. Jumlah ini lebih kecil dibandingkan kejadian tahun 2009 yang
mencapai 528.063 penderita TB paru dengan 91.369 orang meninggal (WHO
Tuberculosis Profile, 2012).
Di Indonesia, tuberculosis merupakan masalah utama kesehatan
masyarakat dengan jumlah menempati urutan ke-3 terbanyak di dunia setelah
Cina dan India, dengan jumlah sekitar 10% dari total jumlah pasien tuberculosisdi
dunia. Diperkirakan terdapat 539.000 kasus baru dan kematian 101.000 orang
setiap tahunnya. Jumlah kejadian TB paru di Indonesia yang ditandai dengan
adanya Basil Tahan Asam (BTA) positif pada pasien adalah 110 per 100.000
penduduk (Riskesdas, 2013).
Tingkat kepatuhan pemakaian obat TB paru sangatlah penting, karena bila
pengobatan tidak dilakukan secara teratur dan tidak sesuai dengan waktu yang
telah di tentukan maka akan dapat timbul kekebalan (resistence) kuman
tuberkulosis terhadap Obat Anti tuberkulosis (OAT) secara meluas atau disebut
dengan Multi Drugs Resistence (MDR), (Depkes RI, 2002).
Ketidakpatuhan terhadap pengobatan akan mengakibatkan tingginya angka
kegagalan pengobatan penderita TB paru, sehingga akan meningkatkan resiko
kesakitan, kematian, dan menyebabkan semakin banyak ditemukan penderita TB
paru dengan Basil Tahan Asam (BTA) yang resisten dengan pengobatan standar.
Pasien yang resisten tersebut akan menjadi sumber penularan kuman yang resisten
di masyarakat. Hal ini tentunya akan mempersulit pemberantasan penyakit TB
paru di Indonesia serta memperberat beban pemerintah (Depkes RI,2015).
Mengingat TB paru merupakan penyakit yang menular sehingga
kepatuhan dalam pengobatan TB paru merupakan hal penting untuk dianalisis,
serta belum adanya gambaran mengenai tingkat kepatuhan pemakaian obat oleh
pasien penderita TB paru di Puskesmas Bua Tallulolo, Kecamatan Kesu’, Toraja
Utara, maka penelitian mengenai hal tersebut perlu dilakukan. Sehingga
diharapkan melalui penelitian ini, dapat diperoleh gambaran mengenai tingkat
kepatuhan pemakaian obat oleh pasien penderita TB paru, yang dapat digunakan
sebagai masukan dalam upaya meningkatkan keberhasilan pengobatan TB paru di
Puskesmas Bua Tallulolo.
Pada penelitian ini bersifat analisa observasional dengan rancangan
penelitian studi cross-sectional, yang mempelajari dinamika korelasi antara faktor
resiko dengan efek, dengan cara pendekatan, observasi atau pengumpulan data
sekaligus pada suatu saat. Artinya setiap subjek penelitian hanya di obsevasi
sekali saja dan pengukuran dilakukan terhadap status karakter atau variable subjek
pada pemeriksaan. Hal ini tidak berarti bahwa semua subjek penelitian diamati
pada waktu yang sama

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, adapun rumusan
masalah yaitu, bagaimana tingkat kepatuhan penggunaan obat pada pasien
tuberkulosis di Puskesmas Bua Tallulolo.

I.3 Tujuan Penelitian


Untuk mengetahui tingkat kepatuhan penggunaan obat pada pasien
tuberkulosis di Puskesmas Bua Tallulolo.

I.4 Manfaat Penelitian


1. Bagi Peneliti Sendiri
Dapat digunakan oleh peneliti dalam mengaplikasikan ilmu yang

telah diperoleh selama menempuh pendidikan, menambah wawasan

serta pengalaman dalam melakukan studi penelitian.


2. Bagi Institusi
Dapat digunakan sebagai acuan atau pedoman bagi peneliti lain

dalam ilmu kefarmasian terkait kepatuhan penggunaan obat pada pasien

tuberkulosis di Puskesmas Bua Tallulolo.

3. Bagi Masyarakat
Sebagai media informasi mengenai penyakit tuberculosis paru dan

tentang kepatuhan penggunaan obat pada pasien tuberkulosis di Puskesmas

Bua Tallulolo dan pengobatannya sehingga dapat digunakan oleh

masyarakat untuk membantu progam pemerintah dalam pemberantasan

tuberculosis paru.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II. 1 Tuberculosis

II.1.1 Defenisi TB
Tuberculosis paru adalah suatu penyakit menular yang disebabkan
oleh kuman Mycrobacterium Tuberculosis. Sebagian besar kuman
tuberkulosis menyarang paru tetpi juga dapat menyerang organ tubuh
lainnya (Depkes, 2008)
Tuberkulosis merupakan infeksi yang disebabkan oleh Mycobacterium
tuberculosis yang dapat menyerang pada berbagai organ tubuh mulai
dari paru dan organ dari luar paru dan organ diluar seperti kulit, tulang,
persendian, selaput otak, usus serta ginjal yang sering disebut dengan
ekstrapulmonal TBC (Chandra, 2012)

II.1.2 Klasifikasi Tuberkulosis


Menurut Sudoyo (2007), klasifikasi tuberkulosis yang banyak
dipakai di Indonesia adalah berdasarkan kelainan klinis, radiologis,
dan mikrobiologis, meliputi :
1. Tuberkulosis paru
2. Bekas tuberkulosis paru
3. Tuberkulosis paru tersangka, yang terbagi dalam :

a. Tuberkulosisi paru tersangka yang diobati. Disini sputum BTA


negatif tetapi tana-tanda lain positif.

b. Tuberkulosisi paru yang tidak terobati. Disini sputum BTA


negatif dan tanda-tanda lain juga meragukan

TB tersangka dalam 2-3 bulan sudah harus dipastikan apakah


termasuk TB paru (aktif) atau bekas TB paru. Dalam klasifikasi ini
perlu dicantumkan status bakteriologi, mikroskopik sputum BTA
(langsung), biakan sputum BTA, status radiologis, kelainan yang
relevan untuk tuberkulosis paru, status kemoterapi, riwayat
pengobatan dengan obat anti tuberkulosis.
II.1.3 Etiologi
Tuberkulosis merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis. Mycobacterium tuberculosis ditemukan
oleh Robet Koch pada tahun 1882. Basil tuberculosis dapat hidup dan
tetap virulen beberapa minggu dalam keadaan kering, tetapi dalam
cairan mati dalam suhu 600 C dalam 15-20 menit. Fraksi protein basil
tuberkulosis menyebabkan nekrosis jaringan, sedangkan lemaknya
menyebabkan sifat tahan asam dan merupakan faktor terjadinya
fibrosis dan terbentuknya sel epiteloid dan tuberkel.(FKUI,2005)
Basil ini tidak berspora sehingga mudah dibasmi dengan
pemanasan sinar matahari dan sinar ultraviolet. Ada dua macam
mikobakterium tuberculosis yaitu tipe human dan tipe bovin. Basil tipe
bovin berada dalam susu sapi yang menderita mastitis tuberkulosis
usus. Basil tipe human bisa berada di bercak ludah (droplet) di udara
yang berasal dari penderita TBC terbuka dan orang yang rentan
terinfeksi TBC ini bila menghirup bercak ini. Perjalanan TBC setelah
terinfeksi melalui udara. Bakteri juga dapat masuk ke sistem
pencernaan manusia melalui benda/bahan makanan yang
terkontaminasi oleh bakteri. Sehingga dapat menimbulkan asam
lambung meningkat dan dapat menjadikan infeksi lambung. (Wim de
Jong, 2005)

II.1.4 Tanda dan gejala


Menurut Nuratif & Hardi (2013) tanda dan gejala tuberkulosis
antar lain : demam 40-410C, Bbatuk/batuk berdarah, sesak nafas, nyari
dada, malaise keringan malam, suara khas perkusi dada, bunyi dada,
peningkatan sel darah putih dengan dominsasi limfosit. Pada anak :
berkruangnya berat badan 2 bulan berturut-turut tanpa sebab yang jelas
atau gagal tumbuh, demm tanpa sebab jelas terutama berlanjut sampai
2 minggu, batuk kronik > minggu dengan atau tanpa wheze, riwayat
kontak dengan pasien Tuberkuloisis paru dewasa.
II.1.5 Patofisiologi
Individu rentan yang menghirup basil tuberkulosis dan menjadi
terinfeksi. Bakteri dipindahkan melalui jalan nafas ke alveoli, tempat
dimana mereka terkumpul dan mulai untuk memperbanyak diri. Basil
juga dipindahkan melalui sistem limfe dan aliran darah ke bagian
tubuh lainnya (ginjal, tulang, korteks serebri), dan area paru-paru
lainnya (lobus atas). Sistem imun tubuh berespon dengan melakukan
reaksi inflamasi. Fagosit (neutrofil dan makrofag) menelan banyak
bakteri; limfosit spesifiktuberkulosis menghancurkan basil-basil dan
jaringan normal sehingga mengakibatkan peumpukan eksudat dalam
alveoli menyebabkan bronkopneumonia (Smeltzer dan Bare, 2002).
Bronkopneumonia ini dapat sumbuh dengan sendirinya, sehingga
tidak meninggalkan sisa atau proses dapat berjalan terus dan
menyebabkan nekrosis yang relatif padat dan seperti keju disebut
nekrosis kaseosa. Jaringan granulomas menjadi lebih fibrosa,
membentuk jaringan parut kolagenosa yang akhirnya akan membentuk
suatu kapsul yang mengelilingi tuberkel. Bagian sentral dari lesi
primer paru disebut fokus Ghon. Kebanyakan infeksi TB paru,
kompleks ghon yang mengalami pengapuran ini tidak terlihat secara
klinis atau dengan radiografi. Jika terjadi nekrosis kaseosa yang berat,
bagian tengah lesi akan mencair dan 13 keluar melalui bronkus dan
meninggalkan kavitas. Kavitas dapat sembuh total tanpa meninggalkan
bekas atau meluas dan menimbulkan perkijuan penuh. Keadaan ini
dapat membentuk lagi hubungan dengan bronkus dan menjadi tempat
peradangan aktif. Penyakit menyebar melalui getah bening atau
pembuluh darah dan menimbulkan lesi pada organ lain, penyebaran ini
disebut limfohematogen yang biasanya sembuh sendiri. Sedangkan
penyebaran hematogen merupakan penyebab TB milier, ini terjadi
apabila nekrotik merusak pembuluh darah sehingga banyak organisme
masuk dan tersebar ke organ-organ lain (Price dan Wilson, 2006).
II.1.6 Pengobatan Pasien TB
Pengobatan TB merupakan salah satu upaya paling efisien untuk
mencegah penyebaran lebih lanjut dari kuman TB (Kemenkes RI,
2014). Dalam proses pengobatan, pasien TB akan diberi OAT (Obat
Anti Tuberkulosis) karena OAT adalah komponen terpenting dalam
pengobatan TB.

Tujuan pengobatan TB adalah:

a. Menyembuhkan pasien dan memperbaiki produktivitas serta


kualitas hidup
b. Mencegah kematian oleh karena TB atau dampak buruk
selanjutnya
c. Mencegah terjadinya kekambuhan TB
d. Menurunkan penularan TB
e. Mencegah terjadinya dan penularan TB resisten obat

Berdasarkan pedoman TB pada tahun 2014, prinsip pengobatan TB


adalah sebagai berikut:
a. OAT adalah komponen terpenting dalam pengobatan
b. Pengobatan TB merupakan salah satu upaya yang paling efisien
untuk mencegah penularan lebih lanjut dari kuman TB
c. Pengobatan diberikan dalam paduan OAT yang tepat mengandung
minimal 4 macam obat untuk mencegah terjadinya resistensi
d. Diberikan dalam dosis yang tepat
e. OAT ditelan secara teratur dan diawasi secara langsung oleh PMO
sampai selesai pengobatan
f. Pengobatan diberikan dalam jangka waktu yang cukup terbagi
dalam tahap awal serta tahap lanjutan untuk mencegah
kekambuhan Pengobatan TB harus meliputi 2 tahap yaitu:
a) Tahap awal: pengobatan diberikan setiap hari. Paduan pengobatan
pada tahap ini adalah dimaksudkan untuk secara efektif
menurunkan jumlah kuman yang ada dalam tubuh pasien dan
meminimalisir pengaruh dari sebagian kecil kuman yang mungkin
sudah resisten sejak sebelum pasien mendapatkan pengobatan.
Pengobatan tahap awal pada semua pasien baru, harus diberikan
selama 2 bulan. Pada umumnya dengan pengobatan teratur dan
tanpa adanya penyulit, daya penularan sudah sangat menurun
setelah pengobatan selama 2 minggu.
b) Tahap lanjutan: tahap ini merupakan tahap yang penting untuk
membunuh sisa kuman yang masih ada dalam tubuh khususnya
kuman persister sehingga pasien dapat sembuh dan mencegah
terjadinya kekambuhan. Obat Anti Tuberkulosis (OAT) yang
digunakan dalam pengobatan TB adalah sebagai berikut:
a. Isoniazid (H)
b. Rimfapisin (R)
c. Parazinamid (Z)
d. Streptomisin (S)
e. Etambutol (E)

Paduan obat yang digunakan di Indonesia sesuai dengan


rekomendasi WHO yang digunakan oleh Program Nasional
Pengendalian Tuberkulosis adalah :

a. Kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)3
Paduan OAT ini diberikan kepada pasien baru yaitu pasien
TB paru yang terkonfirmasi bakteriologis, pasien TB paru yang
terdiagnosis klinis, dan pasien TB ekstra paru.
b. Kategori 2 : 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3
Paduan OAT ini dberikan kepada pasien BTA(+) yang
pernah diobati sebelumnya (pengobatan ulang), yaitu pasien
kambuh, pasien gagal pada pengo3wbatan dengan paduan OAT
kategori 1 sebelumnya, dan pasien yang diobati kembali setelah
putus obat (lost to follow-up).
c. Kategori Anak : 2(HRZ)/4(HR) atau 2HRZA(S)/4-10HR d.
Obat yang digunakan dalam tatalaksana pasien TB resisten obat
di Indonesia terdiri dari OAT lini ke-2 yaitu Kanamisin,
Kapreomisin, Levofloksasin, Etionamide, Sikloserin,
Moksifloksasin dan PAS, serta OAT lini ke-1 yaitu piranizamid
dan etambutol.
Dalam kegiatan pengobatan TB, harus selalu dilakukan
pemantauan. Pemantauan kemajuan dan hasil pengobatan
dilaksanakan dengan pemeriksaan ulang dahak secara
mikroskopis (Kemenkes RI, 2014). Pemeriksaan dahak secara
mikroskopis lebih baik dibandingkan dengan pemeriksaan
radiologis dalam memantau kemajuan pengobatan. Untuk
memantau kemajuan pengobatan dilakukan pemeriksaan dua
contoh uji dahak (sewaktu dan pagi).
Hasil pemeriksaan dinyatakan negatif bila ke 2 contoh uji
dahak tersebut negatif. Bila salah satu contoh uji positif atau
keduanya positif, hasil pemeriksaan ulang dahak tersebut
dinyatakan positif (Kemenkes RI, 2014). Hasil dari pemeriksaan
mikroskopis semua pasien sebelum memulai pengobatan harus
dicatat. Pemeriksaan ulang dahak pasien TB BTA positif
merupakan suatu cara terpenting untuk menilai hasil kemajuan
pengobatan. Setelah pengobatan tahap awal, tanpa
memperhatikan hasil pemeriksaan ulang dahak apakah masih
tetap BTA positif atau sudah menjadi BTA negatif, pasien harus
memulai pengobatan tahap lanjutan (tanpa pemberian OAT
sisipan apabila tidak mengalami konversi). Pada semua pasien
TB BTA positif, pemeriksaan ulang dahak selanjutnya
dilakukan pada bulan ke 5. Apabila hasilnya negatif, pengobatan
dilanjutkan hingga seluruh dosis pengobatan selesai dan
dilakukan pemeriksaan ulang dahak kembali pada akhir
pengobatan (Kemenkes RI, 2014).
II.2 Pengertian Kepatuhan

Kepatuhan adalah tingkat ketepatan perilaku seorang individu


dengan nasehat medis atau kesehatan dan menggambarkan penggunaan
obat sesuai dengan petunjuk pada resep serta mencakup penggunaannya
pada waktu yang benar (Siregar, 2006).

Kepatuhan merupakan suatu hal yang penting agar


dapatmengembangkan rutinitas (kebiasaan) yang dapat membantu dalam
mengikuti jadwal yang kadang kala rumit dan mengganggu kegiatan
sehari-hari. Kepatuhan dapat sangat sulit dan membutuhkan dukungan
agar menjadi biasa dengan perubahan. Dengan mengatur, meluangkan
waktu dan kesempatan yang dibutuhkan untuk menyesuaikan diri.
Kepatuhan terjadi bila aturan pakai obat yang diresepkan serta
pemberiannya diikuti dengan benar (Tambayong,2002).

Jenis ketidakpatuhan pada terapi obat, mencakup kegagalan


menebus resep, melalaikan dosis, kesalahan dosis, kesalahan dalam waktu
pemberian/konsumsi obat, dan penghentian obat sebelum waktunya.
Ketidakpatuhan akan mengakibatkan penggunaan suatu obat yang kurang.
Dengan demikian, pasien kehilangan manfaat terapi dan kemungkinan
mengakibatkan kondisi secara bertahap memburuk. Ketidakpatuhan juga
dapat berakibat dalam penggunaan suatu obat berlebih. Apabila dosis
digunakan berlebihan atau apabila obat dikonsumsi lebih sering daripada
yang dimaksudkan, terjadi resiko reaksi merugikan yang meningkat.
Masalah ini dapat berkembang, misalnya seorang pasien mengetahui
bahwa ia lupa satudosis obat dan menggandakan dosis berikutnya untuk
mengisinya(Siregar,2006).

II.2.1 Faktor ketidakpatuhan terhadap pengobatan


Menurut Tambayong (2002) dan Siregar (2006), beberapa faktor
ketidakpatuhan pasien terhadap pengobatan, antara lain:
a. Kurang pahamnya pasien tentang tujuan pengobatan.
Alasan utama untuk tidak patuh adalah kurang mengerti tentang
pentingnya manfaat terapi obat dan akibat yang mungkin jika obat tidak
digunakan sesuai dengan instruksi.
b. Tidak mengertinya pasien tentang pentingnya mengikuti aturan pengobatan
yang ditetapkan.
c. Sukarnya memperoleh obat diluar rumah sakit.
d. Mahalnya harga obat.
Pasien akan lebih enggan mematuhi instruksi penggunaan obat
yang mahal, biaya dan penghentian penggunaan sebelum waktunya
sebagai alasan untuk tidak menebus resep.

e. Kurangnya perhatian dan kepedulian keluarga, yang mungkin


bertanggungjawab atas pembelian atau pemberian obat.

f. Penyakit

Keadaan sakit pada pasien akan menimbulkan ketidakpatuhan,


kemampuan untuk bekerjasama dan sikap terhadap pengobatan. Pasien
cenderung menjadi putus asa dengan program terapi yang lama dan
tidakmenghasilkan kesembuhan kondisi. Bahkan apabila kesembuhan
dapatdiantisipasi dengan terapi jangka panjang, masalah masih dapat
timbul danpasien sering menjadi tidak patuh selama periode pengobatan
dilanjutkan.

g. Efek merugikan

Efek samping suatu obat yang tidak menyenangkan misalnya


mualmuntah, memungkinkan menghindar dari kepatuhan.

h. Penggunaan/Konsumsi obat

Seorang pasien mungkin bermaksud secara penuh untuk patuhpada


instruksi, ia mungkin kurang hati-hati menerima kuantitas obat yang salah
disebabkan pengukuran obat yang tidak benar atau penggunaan alatukur
yang tidak tepat.
II.2.2 Peningkatan kepatuhan
a. Identifikasi faktor resiko

Semua pasien harus dianggap sebagai seseorang yang mungkin tidak


patuh. Langkah pertama dalam upaya maningkatkan kepatuhan adalah
mengenal individu yang paling mungkin tidak patuh.

b. Pengembangan rencana pengobatan

Rencana pengobatan harus didasarkan pada kebutuhan


pasien,apabila mungkin pasien harus menjadi partisipan dalam
keputusanrencana pengobatan. Untuk membantu ketidaknyamanan dan
kelalaian,dosis obat diberikan pada waktu yang sesuai dengan beberapa
kegiatantetap dalam jadwal harian pasien. apabila resep ditulis harus
sespesifikmungkin untuk menghindari salah interpretasi. Dalam semua
kasus, harusmemastikan bahwa pasien mengerti cara menggunakan
obatnya.

c. Alat bantu kepatuhan


1) Pemberian label
Label tempat obat yang mencantumkan informasi berkaitan
dengan penggunaan, perhatian atau penyimpanan obat akan
meningkatkan pencapaian kepatuhan
2) Kalender pengobatan dan kartu pengingat obat
Berbagai bentuk, seperti kalender pengobatan telah
dikembangkan dan didesain untuk membantu pasien dalam
mengkonsumsi obatnya sendiri. Dalam membantu pasien mengerti obat
yang digunakan dan kapan digunakan, disediakan formulir yang dapat
dicek pasien pada kolom yang sesuai untuk tiap dosis obatyang
digunakan.
d. Pemantauan terapi
Jika dokter atau pelayanan kesehatan lain mengetahui bahwa
pasien tidak menggunakan obat sebagaimana dimaksudkan, ia harus
berupaya memberikan solusi pada setiap masalah.
e. Komunikasi efektif
Keefektifan komunikasi akan menjadi penentu utama kepatuhan
pasien. pasien harus didorong untuk berpartisipasi dalam diskusi dan
apabila mungkin, pasien diikutsertakan dalam proses pembuatan
keputusan. Komunikasi antara dokter atau tenaga kesehatan dan pasien
tentang penggunaan obat, dapat dilakukan baik verbal maupun tertulis,dan
diperkuat oleh instruksi tertulis. Oleh karena itu, libatkan secara langsung
pasien dalam komunikasi dua arah serta memberikankesempatan bagi
pasien mengajukan pertanyaan.
BAB III

METODE PENELITIAN

III.1 Jenis Penelitian


Jenis penelitian yang digunakan, penelitian ini bersifat analisis
observasional dengan rancangan penelitian studi cross-sectional, dengan
cara pendekatan, observasi atau pengumpulan data pada saat penelitian.
Artinya setiap subjek penelitian hanya di obsevasi sekali saja dan
pengukuran dilakukan terhadap status karakter atau variable subjek pada
pemeriksaan. Hal ini tidak berarti bahwa semua subjek penelitian diamati
pada waktu yang sama.

III.2 Tempat dan Waktu Penelitian


Penelitian ini dilaksanakan di Puskesmas Bua Tallulolo, Kecamatan
Kesu’, Kabupaten Toraja Utara. Waktu pengambilan data dilaksanakan
pada satu saat (sekali waktu).

III.3 Variabel Penelitian


Variabel penelitian ini adalah variabel tunggal yaitu mengukur
tentang tingkat kepatuhan penggunaan obat pada pasien tuberkulosis di
Puskesmas Bua Tallu Lolo.

III.4 Populasi dan Sampel


1. Populasi

Populasi target dalam penelitian ini adalah pasien tuberkulosis di

puskesmas Bua Tallu Lolo.

2. Sampel dan Teknik Sampling

a. Sampel

Sampel pada penilititian ini adalah pasien tuberkulosis di

Puskesmas Bua Tallu Lolo.

b. Teknik pengambilan sampel


Pengambilan sampel pada penelitian ini menggunakan metode

cross sectional yaitu data diambil di lapangan pada saat dilakukan

penelitian.

III.5 Instrumen Penelitian


a. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan cara menggunakan

b. Teknik Pengolahan Data dan Analisis Data

Pengolahan data dilakukan dengan cara


DAFTAR PUSTAKA

BPOM. (2006). Kepatuhan Pasien : Faktor Penting dalam


Departemen Kesehatan RI. (2002). Pedoman
Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Cetakan ke-8.
Jakarta: DepKes RI.

Departemen Kesehatan RI. (2005). Pharmaucetical Care Untuk


Penyakit Tuberculosis. Direktorat Bina Farmasi
Komunitas Klinik. Ditjen Bina Bina Farmasi dan Alkes.
Jakarta.

Snewe, F. (2003). Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kepatuhan


Berobat Penderita Tuberkulosis Paru. Depok : Peneliti
Puslitbang Ekologi Kesehatan. Badan Litbangkes,
bul.panel.kesehatan, vol. 30, No.(1) : 31-38.

WHO. (2003). Adherence to Long-Term Therapies :


Evidence of Action. Geneva: World Health
Organization.

Keberhasilan Terapi. Jakarta : Badan POM RI.

Anda mungkin juga menyukai