Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

Ikterus adalah kekuningan pada kulit, sklera, membran mukosa dan cairan
tubuh. Ikterus merupakan penemuan klinis umum yang ditemukan pada 2 minggu
pertama kelahiran, terjadi pada 15% sampai 24% bayi baru lahir. Ikterus paling umum
adalah ikterus yang tidak langsung (indirect)/bilirunin yang tidak terkonyugasi dan
dapat sembuh secara spontan tanpa intervensi. Ikterus persisten merupakan kondisi yang
abnormal dan merupakan tanda dari kerusakan hepatobilier dan metabolik. Saat ikterus
lebih dari 2 minggu (persisten), harus dipikirkan kolestasis atau hiperbilirubin
terkonyugasi. 1
Kolestasis menandakan rusaknya aliran empedu yang disebabkan oleh gangguan
intrahepatik atau ekstrahepatik. Untuk membedakan kolestasis dari ikterus lainnya,
serum bilirubin harus difraksikan ke dalam konyugasi atau level bilirubin direk lebih
besar dari 1mg/dL ketika jumlah total bilirubin kurang dari 5mg/dL atau lebih dari 20%
dari jumlah bilirubin total jika jumlah total bilirubin lebih dari 5mg/dL. Hiperbilirunin
terkonyugasi bukan merupakan hal yang fisiologis. Serbaliknya, hiperbilirubin yang
tidak terkonyugasi merupakan hal yang umum terjadi akibat ikterus fisiologis,
breastfeeding and human milk–associated jaundice, hemolisis sel darah merah,
hipotiroid, sidrom gilbert atau sindrom Crigler-Najjar. Kunci untuk mendiagnosis
kolestasis diantaranya hepatomegali, diare, peningkatan berat badan yang rendah,
hipopigmentasi atau feses alkolik, dan urin yang berwarna pekat atau memberikan
warna pada popok1.
Kolestasis merupakan suatu gejala dengan etiologi yang bermacam-macam dan
salah satu penyebabnya, yakni infeksi virus, bakteri, dan parasit. Kolestasis pada
neonatus terjadi pada ±1:2.500 kelahiran hidup. Di Instalasi Rawat Inap Anak RSU Dr.
Sutomo Surabaya antara tahun 1999-2004 terdapat 19.270 pasien rawat inap, di
antaranya 96 pasien dengan neonatal kolestasis. Pada periode Januari sampai dengan
Desember 2003 di Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI/RSCM tercatat 99 pasien
dengan kolestasis, 68 di antaranya dengan kolestasis intrahepatik. Penelitian Bachtiar

1
menunjukkan berbagai faktor risiko seperti nilai laboratorium (leukosit, C-reactive
protein/ CRP, imature total ratio/IT ratio) serta gejala klinis sepsis neonatorum tidak
bermakna secara statiskik dengan kejadian kolestasis, sedangkan lama rawat 15 hari
2,45 kali berisiko untuk terjadi kolestasis. Penelitian Wrigth dkk11 menunjukkan berat
badan, durasi pemberian nutrisi parenteral, dan penggunaan nutrisi parenteral bermakna
untuk terjadi kolestasis2.
Neonatus yang masih kekuningan lebih dari 2-3 minggu harus dievaluasi untuk
untuk mengeksklusi kolestasis neonatal, dan jika ada, dapat lebih cepat diidentifikasi
penyebab kolestasis untuk kemudian ditangani secara medis ataupun operasi. Meskipun
penatalaksanaan spesifik tidak tersedia, konsumsi nutrisi yang baik dapat mencegah
komplikasi. Data menunjukkan diagnosis dini kolestasis dan etiologinya berpotensial
menyelamatkan pasien lebih banyak1.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Batasan Kolestasis

Kolestasis adalah kegagalan aliran cairan empedu masuk duodenum dalam


jumlah normal. Gangguan dapat terjadi mulai dari membrana-basolateral dari
hepatosit sampai tempat masuk saluran empedu ke dalam duodenum4. Dari segi
klinis didefinisikan sebagai akumulasi zat-zat yang diekskresi kedalam empedu
seperti bilirubin, asam empedu, dan kolesterol didalam darah dan jaringan tubuh.
Secara patologi-anatomi kolestasis adalah terdapatnya timbunan trombus empedu
pada sel hati dan sistem bilier3.

2.2 Epidemiologi Kolestasis

Kolestasis pada bayi terjadi pada ± 1:25.000 kelahiran hidup. Insiden


hepatitis neonatal 1:5000 kelahiran hidup, atresia bilier 1:10000-1:13000,
defisiensi α-1 antitripsin 1:20000. Penyebab hepatoseluler ( intrahepatal) sekitar
45 hingga 69%, sementara penyebab obstruktif 19 hingga 55% dari seluruh kasus.
Sekitar 20 hingga 30% penyebab kolestasis neonatal adalah idiopatik pada studi
terakir ini, laporan yang terakir menunjukan bahwa proporsi ini lebih randah.
Publikasi yang terakir dilakukan menunjukan bahwa Pi-Z dan Pi-S alleles gen
bertanggujng jawab untuk terjadinya devisiensi enzim alpha -1 antitrypsin yang
meskipun jarang terjadi di populasi kita. 1.
Di Instalasi Rawat Inap Anak RSU Dr. Sutomo Surabaya antara tahun 1999-
2004 dari 19270 penderita rawat inap, didapat 96 penderita dengan neonatal
kolestasis. Neonatal hepatitis 68 (70,8%), atresia bilier 9 (9,4%), kista duktus
koledukus 5 (5,2%), kista hati 1 (1,04%), dan sindroma inspissated-bile 1
(1,04%). Prevalensi kolestasis yang disebabkan oleh sepsis berkisar 3%-8%.
Penelitian Bachtiar di Jakarta, menemukan 65,9% angka kejadian kolestasis pada
sepsis neonatorum. Mortalitas sepsis neonatorum cukup tinggi berkisar 13%-25%
dan angka mortalitas tersebut meningkat pada bayi kurang bulan dan bayi dengan
sakit berat pada saat awal. Sepsis sendiri dapat menyebabkan kolestasis

3
intrahepatik serta berperan dalam meningkatkan angka kematian 52,8%. Sepsis
sebagai penyebab kolestasis umumnya disebabkan oleh bakteri Gram negative2.

2.3 Klasifikasi

Secara garis besar kolestasis dapat diklasifikasikan menjadi:


1. Kolestasis ekstrahepatik, obstruksi mekanis saluran empedu ekstrahepatik
Secara umum kelainan ini disebabkan lesi kongenital atau didapat. Merupakan
kelainan nekroinflamatori yang menyebabkan kerusakan dan akhirnya
pembuntuan 2 saluran empedu ekstrahepatik, diikuti kerusakan saluran empedu
intrahepatik. Penyebab utama yang pernah dilaporkan adalah proses imunologis,
infeksi virus terutama CMV dan Reo virus tipe 3, asam empedu yang toksik,
iskemia dan kelainan genetik. Biasanya penderita terkesan sehat saat lahir
dengan berat badan lahir, aktifitas dan minum normal. Ikterus baru terlihat
setelah berumur lebih dari 1 minggu. 10-20% penderita disertai kelainan
kongenital yang lain seperti asplenia, malrotasi dan gangguan kardiovaskuler4.
Deteksi dini dari kemungkinan adanya atresia bilier sangat penting sebab
efikasi pembedahan hepatik-portoenterostomi (Kasai) akan menurun apabila
dilakukan setelah umur 2 bulan. 12 Pada pemeriksaan ultrasound terlihat
kandung empedu kecil dan atretik disebabkan adanya proses obliterasi, tidak
jelas adanya pelebaran saluran empedu intrahepatik. Gambaran ini tidak
spesifik, kandung empedu yang normal mungkin dijumpai pada penderita
obstruksi saluran empedu ekstrahepatal sehingga tidak menyingkirkan
kemungkinan adanya atresia bilier. Gambaran histopatologis menemukan
adanya portal tract yang edematus dengan proliferasi saluran empedu,
kerusakan saluran dan adanya trombus empedu didalam duktuli. Pemeriksaan
kolangiogram intraoperatif dilakukan dengan visualisasi langsung untuk
mengetahui patensi saluran bilier sebelum dilakukan operasi Kasai4.
2. Kolestasis intrahepatik
a. Saluran Empedu Digolongkan dalam 2 bentuk, yaitu: (a) Paucity saluran
empedu, dan (b) Disgenesis saluran empedu. Oleh karena secara embriologis
saluran empedu intrahepatik (hepatoblas) berbeda asalnya dari saluran

4
empedu ekstrahepatik (foregut) maka kelainan saluran empedu dapat
mengenai hanya saluran intrahepatik atau hanya saluran ekstrahepatik saja.
Beberapa kelainan intrahepatik seperti ekstasia bilier dan hepatik fibrosis
kongenital, tidak mengenai saluran ekstrahepatik. Kelainan yang disebabkan
oleh infeksi virus CMV, sklerosing kolangitis, Caroli’s disease mengenai
kedua bagian saluran intra dan ekstra-hepatik. Karena primer tidak
menyerang sel hati maka secara umum tidak disertai dengan gangguan
fungsi hepatoseluler. Serum transaminase, albumin, faal koagulasi masih
dalam batas normal. Serum alkali fosfatase dan GGT akan meningkat.
Apabila proses berlanjut terus dan mengenai saluran empedu yang besar
dapat timbul ikterus, hepatomegali, hepatosplenomegali, dan tanda-tanda
hipertensi portal4.
Paucity saluran empedu intrahepatik lebih sering ditemukan pada
saat neonatal dibanding disgenesis, dibagi menjadi sindromik dan
nonsindromik. Dinamakan paucity apabila didapatkan < 0,5 saluran empedu
per portal tract. Contoh dari sindromik adalah sindrom Alagille, suatu
kelainan autosomal dominan disebabkan haploinsufisiensi pada gene
JAGGED. Sindroma ini ditemukan pada tahun 1975 merupakan penyakit
multi 3 organ pada mata (posterior embryotoxin), tulang belakang (butterfly
vertebrae), kardiovaskuler (stenosis katup pulmonal), dan muka yang
spesifik (triangular facial yaitu frontal yang dominan, mata yang dalam, dan
dagu yang sempit) Nonsindromik adalah paucity saluran empedu tanpa
disertai gejala organ lain. Kelainan saluran empedu intrahepatik lainnya
adalah sklerosing kolangitis neonatal, sindroma hiper IgM, sindroma
imunodefisiensi yang menyebabkan kerusakan pada saluran empedu4.
b. Kelainan hepatosit
Kelainan primer terjadi pada hepatosit menyebabkan gangguan pembentukan
dan aliran empedu. Hepatosit neonatus mempunyai cadangan asam empedu
yang sedikit, fungsi transport masih prematur, dan kemampuan sintesa asam
empedu yang rendah sehingga mudah terjadi kolestasis. Infeksi merupakan
penyebab utama yakni virus, bakteri, dan parasit. Pada sepsis misalnya

5
kolestasis merupakan akibat dari respon hepatosit terhadap sitokin yang
dihasilkan pada sepsis. Hepatitis neonatal adalah suatu deskripsi dari variasi
yang luas dari neonatal hepatopati, suatu inflamasi nonspesifik yang
disebabkan oleh kelainan genetik, endokrin, metabolik, dan infeksi intra-
uterin. Mempunyai gambaran histologis yang serupa yaitu adanya
pembentukan multinucleated giant cell dengan gangguan lobuler dan
serbukan sel radang, disertai timbunan trombus empedu pada hepatosit dan
kanalikuli. Diagnosa hepatitis neonatal sebaiknya tidak dipakai sebagai
diagnosa akhir, hanya dipakai apabila penyebab virus, bakteri, parasit,
gangguan metabolik tidak dapat ditemukan1.

Tabel 1. Etiologi kolestasis


Saluran Empedu Ekstrahepatik Biliary atresia
Biliary atresia
Choledochal cyst dan choledochocele
Biliary hipoplasia
Choledocholithiasis
Bile duct perforation
Neonatal sclerosing cholangitis
Saluran empedu intrahepatik Syndromic paucity (sindrom Alagille,
mutasi pada JAGGED1)
Nonsyndromic paucity
Hypothyroidism
Bile duct dysgenesis
Congenital hepatic fibrosis
Ductal plate malformation
Polycystic kidney disease
Caroli’s disease
Hepatic cyst
Cystic fibrosis

6
Langerhans’ cell histiocytiosis

2.4 Patofisiologi

Empedu adalah cairan yang disekresi hati berwarna hijau kekuningan


merupakan kombinasi produksi dari hepatosit dan kolangiosit. Empedu
mengandung asam empedu, kolesterol, phospholipid, toksin yang terdetoksifikasi,
elektrolit, protein, dan bilirubin terkonyugasi. Kolesterol dan asam empedu
merupakan bagian terbesar dari empedu sedang bilirubin terkonyugasi merupakan
bagian kecil. Bagian utama dari aliran empedu adalah sirkulasi enterohepatik dari
asam empedu. Hepatosit adalah sel epetelial dimana permukaan basolateralnya
berhubungan dengan darah portal sedang permukaan apikal (kanalikuler)
berbatasan dengan empedu. Hepatosit adalah epitel terpolarisasi berfungsi sebagai
filter dan pompa bioaktif memisahkan racun dari darah dengan cara metabolisme
dan detoksifikasi intraseluler, mengeluarkan hasil proses tersebut kedalam
empedu. Salah satu contoh adalah penanganan dan detoksifikasi dari bilirubin
tidak terkonyugasi (bilirubin indirek). Bilirubin tidak terkonyugasi yang larut
dalam lemak diambil dari darah oleh transporter pada membran basolateral,
dikonyugasi intraseluler oleh enzim UDPGTa yang mengandung P450 menjadi
bilirubin terkonyugasi yang larut air dan dikeluarkan kedalam empedu oleh
transporter mrp2. mrp2 merupakan bagian yang bertanggungjawab terhadap aliran
bebas asam empedu. Walaupun asam empedu dikeluarkan dari hepatosit kedalam
empedu oleh transporter lain, yaitu pompa aktif asam empedu. Pada keadaan
dimana aliran asam empedu menurun, sekresi dari bilirubin terkonyugasi juga
terganggu menyebabkan hiperbilirubinemia terkonyugasi. Proses yang terjadi di
hati seperti inflamasi, obstruksi, gangguan metabolik, dan iskemia menimbulkan
gangguan pada transporter hepatobilier menyebabkan penurunan aliran empedu
dan hiperbilirubinemi terkonyugasi5.

a. Perubahan fungsi hati pada kolestasis


Pada kolestasis yang berkepanjangan terjadi kerusakan fungsional dan struktural:

7
1. Proses transpor hati
Proses sekresi dari kanalikuli terganggu, terjadi inversi pada fungsi polaritas dari
hepatosit sehingga elminasi bahan seperti bilirubin terkonyugasi, asam empedu,
dan lemak kedalam empedu melalui plasma membran permukaan sinusoid
terganggu5.
2. Transformasi dan konyugasi dari obat dan zat toksik
Pada kolestasis berkepanjangan efek detergen dari asam empedu akan
menyebabkan gangguan sitokrom P-450. Fungsi oksidasi, glukoronidasi, sulfasi
dan konyugasi akan terganggu5.
3. Sintesis protein
Sintesis protein seperti alkali fosfatase dan GGT, akan meningkat sedang
produksi serum protein albumin-globulin akan menurun5.
4. Metabolisme asam empedu dan kolesterol
Kadar asam empedu intraseluler meningkat beberapa kali, sintesis asam empedu
dan kolesterol akan terhambat karena asam empedu yang tinggi menghambat
HMG-CoA reduktase dan 7 alfa-hydroxylase menyebabkan penurunan asam
empedu primer sehingga menurunkan rasio trihidroksi/dihidroksi bile acid
sehingga aktifitas hidropopik dan detergenik akan meningkat. Kadar kolesterol
darah tinggi tetapi produksi di hati menurun karena degradasi dan eliminasi di
usus menurun5.
5. Gangguan pada metabolisme logam
Terjadi penumpukan logam terutama Cu karena ekskresi bilier yang menurun.
Bila kadar ceruloplasmin normal maka tidak terjadi kerusakan hepatosit oleh Cu
karena Cu mengalami polimerisasi sehingga tidak toksik5.
6. Metabolisme cysteinyl leukotrienes
Cysteinyl leukotrienes suatu zat bersifat proinflamatori dan vasoaktif
dimetabolisir dan dieliminasi dihati, pada kolestasis terjadi kegagalan proses
sehingga kadarnya akan meningkat menyebabkan edema, vasokonstriksi, dan
progresifitas kolestasis. Oleh karena diekskresi diurin maka dapat menyebabkan
vaksokonstriksi pada ginjal5.
7. Mekanisme kerusakan hati sekunder

8
a. Asam empedu, terutama litokolat merupakan zat yang menyebabkan
kerusakan hati melalui aktifitas detergen dari sifatnya yang hidrofobik. Zat
ini akan melarutkan kolesterol dan fosfolipid dari sistim membran sehingga
intregritas membran akan terganggu. Maka fungsi yang berhubungan
+ + ++
dengan membran seperti Na , K -ATPase, Mg -ATPase, enzim-enzim lain
dan fungsi transport membran dapat terganggu, sehingga lalu lintas air dan
(28)
bahan-bahan lain melalui membran juga terganggu. Sistim transport
kalsium dalam hepatosit juga terganggu. Zat-zat lain yang mungkin
berperan dalam kerusakan hati adalah bilirubin, Cu, dan cysteinyl
leukotrienes namun peran utama dalam kerusakan hati pada kolestasis
adalah asam empedu5.
b. Proses imunologis, pada kolestasis didapat molekul HLA I yang mengalami
display secara abnormal pada permukaan hepatosit, sedang HLA I dan II
diekspresi pada saluran empedu sehingga menyebabkan respon imun
terhadap sel hepatosit dan sel kolangiosit. Selanjutnya akan terjadi sirosis
bilier5.

2.5 Manifestasi Klinis

Gambaran klinis kolestasis pada umumnya disebabkan karena adanya


keadaan seperti Terganggunya aliran empedu memasuki usus: (1) tinja berwarna
dempul, (2) urobilin dan sterkobilin tinja menurun, (3) urobilinogen urin
menurun, (4) malabsorpsi lemak dan vitamin yang larut dalam lemak, (5)
hipoprotrombinemia; Akumulasi empedu dalam darah: (1) Ikterus, (2) Gatal-
gatal, (3) Hiperkolesterolemia, (4) Kerusakan sel hepar sebagai akibat
penumpukan garam empedu, (5) SGOT, SGPT, alkali fosfatase, glutamil
transpeptidase meningkat.

9
Gambar 1. Manifestasi umum kolestasis

2.6 Diagnosis
Tujuan utama evaluasi bayi dengan kolestasis adalah membedakan antara
kolestasis intrahepatik dengan ekstrahepatik sendini mungkin. Diagnosis dini
obstruksi bilier ekstrahepatik akan meningkatkan keberhasilan operasi. Kolestasis
intrahepatik seperti sepsis, galaktosemia atau endrokinopati dapat diatasi dengan
medikamentosa6.
a. Anamnesis
1. Adanya ikterus pada bayi usia lebih dari 14 hari, tinja akolis yang persisten
harus dicurigai adanya penyakit hati dan saluran bilier6.

10
2. Pada hepatitis neonatal sering terjadi pada anak laki-laki, lahir prematur atau
berat badan lahir rendah. Sedang pada atresia bilier sering terjadi pada anak
perempuan dengan berat badan lahir normal, dan memberi gejala ikterus dan
tinja akolis lebih awal6.
3. Sepsis diduga sebagai penyebab kuning pada bayi bila ditemukan ibu yang
demam atau disertai tanda-tanda infeksi6.
4. Adanya riwayat keluarga menderita kolestasis, maka kemungkinan besar
merupakan suatu kelainan genetik/metabolik (fibro-kistik atau defisiensi α1-
antitripsin)6.
b. Pemeriksaan fisik
Pada umumnya gejala ikterik pada neonatus baru akan terlihat bila kadar
bilirubin sekitar 7 mg/dl. Secara klinis mulai terlihat pada bulan pertama. Warna
kehijauan bila kadar bilirubin tinggi karena oksidasi bilirubin menjadi biliverdin.
Jaringan sklera mengandung banyak elastin yang mempunyai afinitas tinggi
terhadap bilirubin, sehingga pemeriksaan sklera lebih sensitif6.
Dikatakan pembesaran hati apabila tepi hati lebih dari 3,5 cm dibawah
arkus kota pada garis midklavikula kanan. Pada perabaan hati yang keras, tepi
yang tajam dan permukaan noduler diperkirakan adanya fibrosis atau sirosis.
Hati yang teraba pada epigastrium mencerminkan sirosis atau lobus Riedel
(pemanjangan lobus kanan yang normal). Nyeri tekan pada palpasi hati
diperkirakan adanya distensi kapsul Glisson karena edema. Bila limpa
membesar, satu dari beberapa penyebab seperti hipertensi portal, penyakit
storage, atau keganasan harus dicurigai. Hepatomegali yang besar tanpa
pembesaran organ lain dengan gangguan fungsi hati yang minimal mungkin
suatu fibrosis hepar kongenital. Perlu diperiksa adanya penyakit ginjal polikistik.
Asites menandakan adanya peningkatan tekanan vena portal dan fungsi hati
yang memburuk. Pada neonatus dengan infeksi kongenital, didapatkan
bersamaan dengan mikrosefali, korioretinitis, purpura, berat badan rendah, dan
gangguan organ lain6.
Alagille mengemukakan 4 keadaan klinis yang dapat menjadi patokan
untuk membedakan antara kolestasis ekstrahepatik dan intrahepatik. Dengan

11
kriteria tersebut kolestasis intrahepatik dapat dibedakan dengan kolestasis
ekstrahepatik ± 82% dari 133 penderita. Moyer menambah satu kriteria lagi
gambaran histopatologi hati6.

Tabel 2. Beberapa tanda dan gejala kolestasis 3


Kriteria Ekstrahepatik Intrahepatik
Warna tinja
pucat 79 % 26%
kuning 21% 74%
Berat lahir (g) 3226 ± 45 2678 ± 65

Usia saat tinja dempul 16 ± 1,5 30 ± 2


(hari) ± 2 minggu ± 1 bulan
Gambaran hati
- Normal 13 % 47 %
- Hepatomegali
 Konsistensi normal 12 35
 Konsistensi padat 63 47
24 6
 Konsistensi keras

c. Pemeriksaan penunjang
1. Darah tepi lengkap, gambaran hapusan darah tepi
2. Biokimia darah : bilirubin direk dan indirek, ALT (SGPT) AST (SCOT),
γGT, masa protrombin, albumin, globulin, kolesterol, trigliserida, gula darah
puasa, ureum, kreatinin
3. Urin : rutin (lekosit, bilirubin, urobilinogen, reduksi) dan kultur
4. Tinjauan 3 porsi (dilihat warna tinja pada 3 periode dalam 24 jam)
5. Pemeriksaan etiologi infeksi : TORCH (toxoplasma, rubella, CMV, herpes
simpleks), hepatitis virus B/C
6. Pencitraan
a. USG 2 fase (puasa 6-8 jam dan sesudah minum)
b. USG doppler bila sudah sirosis

12
7. Biopsi Hati : pada evaluasi tersangka atresia bilier dan untuk mencari
etiologi kolestasis intrahepatik yang tidak dapat ditentukan dengan cara yang
non invasive7

Tabel 3. Data laboratorium awal pada bayi kolestasis


Kolestasis Kolestasis
intrahepatik ekstrahepatik
Bilirubin total (mg/dL) 12,1±9,6 10,2±4,5
Bilirubin total (mg/dL) 8,0±6,8 6,2±2,6
SGOT (peningkatan dari N) >20x <5x
SGPT (peningkatan dari N) >10x <5x
γGT (peningkatan dari N) <5x >5x

13
Gambar 2. Algoritma evaluasi kolestasis

2.7 Penatalaksanaan

Tujuan tatalaksana kolestasis adalah2 :

A. Memperbaiki aliran empedu dengan cara :


Mengoreksi/mengobati etiologi kolestasis dengan operasi pada kolestasis obstruktif
dan medikamentosa pada kolestasis hepatoseluler yang dapat diobati. Operasi
portoenterostomi kasai untuk atresia bilier seyogyanya dikerjakan pada umur < 6-8

14
minggu karena angka keberhasilannya mencapai 80-90 %, sementara bila dilakukan
pada umur 10-12 minggu angka keberhasilannya hanya sepertiga.

B. Menstimulasi aliran empedu dengan :


a. Fenobarbital : dapat menginduksi enzim glukoronil transferase, sitokrom P-450
dan NaKATPase. Dosisnya 3 – 10 mg/ kgBB/ hr dibagi dalam dua dosis.
b. Asam ursodeoksikolat : asam empedu tersier yang mempunyai sifat hidrofilik
serta tidak hepatotoksik bila dibandingkan dengan asam empedu primer serta
sekunder. Jadi asam ursodeoksikolat merupakan competitive binding terhadap
asam empedu toksik, sebagai suplemen empedu, hepatoprotektor serta bile flow
inducer. Dosis : 10-30 mg/kgbb/hari.
c. Kolestiramin  0,25 – 0,5 g/ kgBB/ hr
a) Menyerap empedu toksik
b) Menghilangkan gatal
d. Rifampisin  10 mg/ kgBB/ hr
a)  aktivitas mikrosom
b) Menghambat ambilan empedu

C. Menjaga tumbuh kembang bayi seoptimal mungkin dengan :


 Terapi nutrisi
- Formula MCT ( medium chain trigyceride ), menghindarkan makanan
yang banyak mengandung kuprum.
 Vitamin yang larut lemak A,D,E,K
- A 5.000 – 25.000 U/ hr
- D3 0,05 – 0,2 μg/ kgBB/ hr
- E 25 – 50 IU/ kgBB/ hr
- K1 2,5 – 5 mg/ 2 – 7 x/ mig
 Mineral dan trace element  Ca, P, Mn, Zn, Se, Fe

15
2.8 Prognosis
Prognosis kolestasis intrahepatik tergantung pada penyakit penyebab dan
banyaknya kerusakan sel-sel hati. Kolestasis yang terjadi oleh karena sepsis,
prognosisnya baik. pada kasus kolestasis ekstrahepatik seperti atresia bilier,
setelah dilakukan operasi kasai 30-60% bisa bertahan sampai 5 tahun7.

16
BAB III

KESIMPULAN

Kolestasis adalah suatu sindroma klinis yang disebabkan oleh terganggunya


aliran empedu ke usus. Kolestasis tidak selalu disertai dengan adanya ikterus, terutama
pada fase-fase awal penyakit. Karenanya pada beberapa penyakit hepar, ikterus sudah
merupakan gejala lanjut karena sebenarnya kolestasisnya sudah berjalan agak lama.
Penyebab kolestasis ekstrahepatik neonatal yang terbanyak adalah atresia bilier.
Atresia bilier terjadi karena proses inflamasi berkepanjangan yang menyebabkan
kerusakan progresif pada duktus bilier ekstrahepatik sehingga menyebabkan hambatan
aliran empedu.
Belum ada satu pun pemeriksaan penunjang yang dapat sepenuhnya diandalkan
untuk membedakan antara kolestasis intrahepatik dan ekstrahepatik. Secara garis besar,
pemeriksaan dapat dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu pemeriksaan laboratorium rutin
dan khusus untuk menentukan etiologi dan mengetahui fungsi hati (darah, urin, tinja),
Pencitraan, dan Biopsi hati.
Penggobatan paling rasional untuk kolestasis adalah perbaikan aliran empedu ke
dalam usus. Pada prinsipnya ada beberapa hal pokok yang menjadi pedoman dalam
penatalaksanaannya. Perbaikan aliran empedu: pemberian fenobarbital dan
kolestiramin, ursodioxy cholic acid (UDCA). Asam ursodeoksikolat, 310
mg/kgBB/hari, dibagi 3 dosis, per oral. Fenobarbital 5 mg/kgBB/hari dibagi 2 dosis, per
oral akan merangsang enzim glukuronil transferase (untuk mengubah bilirubin indirek
menjadi bilirubin direk); enzim sitokrom P-450 (untuk oksigenisasi toksin), enzim
Na+K+ATPase (menginduksi aliran empedu).

17
DAFTAR PUSTAKA

1. Feldman A & Sokol R, 2013, Neonatal Cholestasis, NeoReview, 14(.2).p.. 63-73.


Download from http://neonatologia.eu/files/publikacje/neocholestasis.pdf,
th
Accessed on : 18 October 2015

2. Karyana G, Putra S, Yanti V, 2012, Kolestasis pada Sepsis Neonatorum di


RSUP Sanglah, Denpasar, Sari Pediatri, 14(4).p.211-217. Download from
http://saripediatri.idai.or.id/pdfile/14-4-1.pdf, Accessed on : 18th October 2015

3. Bhatia V, Bavdekar A, Matthai S, Waikar Y & Anupam Sibal, 2014,


Management of Neonatal Cholestasis: Consensus Statement of the Pediatric
Gastroenterology Chapter of Indian Academy of Pediatrics, Indian Pediatric,
51.p.203-210. Download from http://indianpediatrics.net/mar2014/203.pdf,
Accessed on : 18th October 2015

4. Aronson P & Werner H, 2011, Netter’s Pediatrics, USA: Elsevier

5. Kleggman L, Stanton B, Schor N & Geme J, 2011 Nelson Textbook of


Pediatrics, Philladelphia: Elsevier

6. GötzeG, Blessing H, Grillhösl C, Gerner P & Hoerning A, 2015, Neonatal


cholestasis – differential diagnoses, current diagnostic procedures, and
treatment, Frontiers in pediatrics, doi: 10.3389/fped.2015.00043, Downliad
from http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4470262/,Accessed on :
18th October 2015

7. Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2010. Pedoman Pelayanan Medis. Jakarta :


IDAI

18

Anda mungkin juga menyukai