Anda di halaman 1dari 43

LAPORAN DISKUSI KELOMPOK PEMICU 2

MODUL GASTROINTESTINAL

DISUSUN OLEH:

KELOMPOK 2

1. Amalia Putri S. (I1011161015)


2. Christy Yella Harianja (I1011161067)
3. Tasya Fathia Zhafira (I1011181013)
4. Jonathan Edgar (I1011181023)
5. Anggraini Millennia Lo (I1011181036)
6. Thessalonica Gabrielliany (I1011181039)
7. Diva Herti Aryani (I1011181057)
8. Abi Sarwan Zharif (I1011181062)
9. Muhammad Agung Fadillah (I1011181072)
10. Siti Hanna (I1011181073)
11. Glorie Hosiana Maria S. (I1011181080)
12. Melatiana Lestari (I1011181090)
13. Abed Nego Kei (I1011181092)

PROGRAM STUDI KEDOKTERAN

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS TANJUNGPURA

2020
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Pemicu
Seorang laki-laki berusia 28 tahun datang ke Unit Gawat Darurat RS
pada malam hari dengan keluhan buang air besar cair. Keluhan dirasakan
sejak pagi hari dan terus sampai malam hari. Buang air besar cair sudah 7
kali dalam satu hari, dengan awalnya lembek, kemudian cair dan 2 kali
terakhir hanya air saja yang keluar. Buang air besar tidak disertai lendir,
tidak disertai darah. Saat buang air besar terkadang seperti menyemprot.
Pasien mengeluhkan mual tetapi tidak sampai muntah, serta sakit di bagian
perut daerah pusar sampai perut bagian bawah. Pasien merasa lemas dan
sedikit pusing. Pasien mengatakan beberapa kali mengalami buang air besar
cair tetapi tidak sebanyak dan selama ini. Pasien sudah mengkonsumsi obat
anti diare sebanyak 2 tablet dari pagi hari tetapi belum ada perbaikan.
Pasien merupakan pekerja swasta dengan kesibukan yang cukup padat
sehingga pola makan tidak teratur. Jenis makanan yang dikonsumsi pun
tidak banyak variasinya seperti mie instan, gorengan dan minuman-
minuman dingin. Pasien tidak memiliki alergi terhadap makanan tertentu,
dan malam sebelumnya mengaku makan makanan kaleng.
Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan: BB 57 Kg, TB 165 cm, TD
110/60mmHg, Nadi 108 x/menit, respirasi 22x/menit, suhu 36,1° C.
kesadaran compos mentis, keadaan umum tampak pucat dan sakit berat,
thorax dalam batas normal, terdapat nyeri tekan di regio abdomen inferior
dextra et sinistra, peristaltik meningkat 20x/menit, turgor kulit menurun,
akral manus dan pedis dingin. Dari pemeriksaan feses didapatkan hasil
berupa konsistensi cair, warna kekuningan, pH 9, tanpa darah dan lender,
serta tidak terdapat bakteri dalam feses.

1.2. Klarifikasi dan Definisi


Diare: BAB dengan konsistensi cair sebanyak 3 kali atau lebih dalam sehari.

1.3. Kata Kunci


1. Pria, 28 tahun
2. BAB cair
3. Frekuensi 7 kali sehari
4. Lendir (-)
5. Darah (-)
6. Merasa lemah
7. Sedikit pusing
8. Pekerja swasta
9. Mengonsumsi makanan kaleng
10. Tidak ada perbaikan setelah minum obat anti diare
11. Alergi makanan (-)
12. TD 110/60 mmHg
13. HR 108 kali/menit
14. RR 22 kali/menit
15. Kesadaran kompas mentis
16. Thorax dalam batas normal
17. Nyeri tekan di region abdomen inferior dextra et sinistra
18. Peristaltik meningkat 20 kali/menit
19. Tugor kulit menurun
20. Akral manus dan pedis dingin

1.4. Rumusan Masalah


Pria 28 tahun dating dengan keluhan BAB cair sebanyak 7 kali dalam sehari
yang tidak disertai lender dan darah, terdapat nyeri perut bagian bawah, serta
tidak ada perbaikan setelah minum obat anti diare.
1.5. Analisis Masalah

Dehidrasi Pria, 28 tahun

BAB cair 7 kali dalam sehari

Anamnesis: Pemeriksaan Fisik:

- Lemah, pusing, - BMI normal


sakit perut bagian
bawah - TD 110/60 mmHg

- Minum obat diare - RR 22 kali/menit


tidak sembuh
- Peristaltik meningkat
- Alergi makanan (-)
- Nyeri tekan pada
- Pola makan tidak
teratur region abdomen
inferior
- Mengonsumsi
makanan kaleng - HR 108 kali/menit

- Tugor kulit menurun

DD:

Gastroenteritis

Botulisme

Diare Akut

Pemeriksaan Penunjang

Diagnosis Utama

Tatalaksana
1.6. Hipotesis
Pria 28 tahun mengalami gastroenteritis yang disertai dehidrasi.

1.7. Pertanyaan Diskusi


1. Gastroenteritis
a) Definisi
b) Etiologi
c) Epidemiologi
d) Klasifikasi
e) Faktor Resiko
f) Prognosis
g) Patofisiologi
h) Manifestasi Klinis
i) Diagnosis dan Pemeriksaan Penunjang
j) Tatalaksana
k) Edukasi dan Pencegahan

2. Komplikasi Botulisme
a) Definisi
b) Etiologi
c) Epidemiologi
d) Klasifikasi
e) Faktor Resiko
f) Prognosis
g) Patofisiologi
h) Manifestasi Klinis
i) Diagnosis dan Pemeriksaan Penunjang
j) Tatalaksana
k) Edukasi dan Pencegahan
l) Komplikasi

3. Diare Akut
a) Definisi
b) Etiologi
c) Epidemiologi
d) Klasifikasi
e) Faktor Resiko
f) Prognosis
g) Patofisiologi
h) Manifestasi Klinis
i) Diagnosis dan Pemeriksaan Penunjang
j) Tatalaksana
k) Edukasi dan Pencegahan
l) Komplikasi

4. Dehidrasi
a) Definisi
b) Klasifikasi
c) Etiologi
d) Epidemiologi
e) Manifestasi Klinis
f) Diagnosis
g) Tatalaksana
h) Komplikasi
i) Edukasi dan Pencegahan
BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Gastroenteritis
A. Definisi
Gastroentritis berasal dari kata Yunani gastron, yang berarti lambung
dan enteron yang berarti usus kecil. Sehingga gastroenteritis adalaha
infeksi lambung dan usus kecil. Secara medis, gastroenteritis
didefinisikan sebagai penyakit diare, dengan kata lain, peningkatan
frekuensi buang air besar dengan atau tanpa muntah, demam, dan sakit
perut.[1]
B. Etiologi[2]
Gastroenteritis akut dapat disebabkan oleh berbagai macam faktor,
World Gastroenterology Organisation mengatakan terdapat beberapa
agen yang bisa mengakibatkan terjadinya gastroenteritis akut yaitu agen
infeksi dan non-infeksi. Faktor infeksi dapat berupa sebagai berikut:

1. Virus
Virus merupakan penyebab tersering terjadinya gastroenteritis di
negara berkembang dan industrial. Beberapa virus penyebabnya
yaitu Rotavirus, Human Caliciviruses (HuCVs), Adenovirus.
2. Bakteri
Infeksi bakteri juga menjadi salah satu penyebab terjadinya
gastroenteritis akut yang sering disebabkan oleh Diarrheagenic,
Escherichia coli, Shigella species, Vibrio cholera dan Salmonella.

Faktor non-infeksi dapat diakibatkan terjadinya malabsorpsi yaitu


kekurangan penyerapan seperti karbohidrat, lemak, asam amino, protein,
vitamin dan mineral. Selain itu juga dapat disebabkan beberapa faktor
lain yaitu:

1. Imunodefisiensi
2. Terapi obat
Orang yang mengonsumsi antibiotic, antasida dan masin dalam masa
kemoterapi juga dapat menyebabkan gastroenteritis akut. Tindakan
gastrektomi, terapi radiasi dengan dosis tinggi, neuropati diabetes
juga dapat mengakibatkan gastroenteritis akut.
C. Epidemiologi
1. Distribusi
1) Distribusi Berdasarkan Orang[3]
Gastroenteritis merupakan salah satu penyakit infeksi yang
terjadi diseluruh dunia. Gastroenteritis sering terjadi pada bayi
yang berumur 0-12 bulan atau dibawah satu tahun, Kejadian
gastroenteritis pada laki-laki hampir sama dengan perempuan.
Gastroenteritis lebih sering terjadi pada anak-anak dan lansia
disebabkan daya tahan tubuh yang lemah dan mudah mengalami
dehidrasi. Gastroenteritis biasanya terjadi pada masyarakat yang
berpendidikan rendah dan berpendapatan rendah, hal ini
dikaitkan dengan tingkat kesehatan yang kurang.
2) Distribusi Berdasarkan Tempat[3]
Gastroenteritis merupakan salah satu penyebab kematian bayi
di daerah tropis. Di negara yang sedang berkembang, kejadian
gastroenteritis lebih tinggi pada penduduk perkotaan yang padat
dan kumuh. Sedangkan di negara maju dengan tingkat
pendidikan dan kesehatan tinggi, kejadian gastroenteritis jauh
lebih rendah. Hal ini erat kaitannya dengan kurangnya
pencemaran minuman pada anak dan sebagian lagi dikarenakan
faktor pencegahan imunologik dari ASI.
3) Distribusi Berdasarkan Waktu[4]
Di negara-negara yang beriklim empat musim, gastroenteritis
yang disebabkan oleh bakteri sering terjadi pada musim panas,
sedangkan yang disebabkan oleh virus terjadi pada musim
dingin. Di Indonesia, gastroenteritis yang disebabkan oleh
rotavirus dapat terjadi sepanjang tahun, dengan puncak kejadian
pada pertengahan musim kemarau (Juli-Agustus), sedangkan
yang disebabkan oleh bakteri puncaknya pada pertengahan
musim hujan (Januari-Februari).
2. Frekuensi[5]
Gastroenteritis merupakan penyebab utama kesakitan dan
kematian pada bayi dan anak-anak di negara berkembang. Menurut
Centers of Disease and Prevention (CDC) terdapat 1,3 miliar kasus
gastroenteritis dan 3,2 juta kematian setiap tahunnya pada bayi dan
balita. Secara keseluruhan anak mengalami ratarata 3,3 kasus
gastroenteritis pertahun dan terdapat lebih dari 9 episode
pertahunnya. Sekitar 80% bayi dan balita disebabkan oleh dehidrasi
sebagai akibat kehilangan cairan elektrolit melalui tinjanya. Menurut
laporan Departemen Kesehatan Indonesia setiap anak mengalami
gastroenteritis (diare) 1,6-2 kali setahun. Hasil Riset Kesehatan
Dasar (Riskesdas) yang dilaksanakan dibeberapa Propinsi di
Indonesia pada tahun 2011, melaporkan bahwa angka nasional
prevalensi klinis gastroenteritis sebesar 9,0%, dengan rentang 4,2%-
18,9%. Beberapa provinsi mempunyai prevalensi gastroenteritis
diatas angka nasional (9%) di 14 provinsi, prevalensi tertinggi di
NAD sebesar 18,9% dan terendah di DI Yogyakarta sebesar 4,2%.13
Pada tahun 2010 terdapat 318 penderita gastroenteritis yang dirawat
inap di RSUD Puri Husada Tembilahan dengan dehidrasi ringan
sebanyak 98 orang, dehidrasi sedang sebanyak 148 orang dan
dehidrasi berat sebanyak 72 orang.
D. Klasifikasi
Klasifikasi gastroenteritis menurut depkes RI 2007 , diare
diklasifikasikan menjadi diare akut dan kronis.[6]

1. Diare akut adalah diare yang serangannya tiba-tiba dan berlangsung


kurang dari 14 hari. Diare akut diklasifikasikkan kembali secara
klinis menjadi:
a. Diare noninflamasi
Diare ini disebabkan oleh enterotoksin dan menyebabkan diare
menjadi cair dengan volume besar tanpa lender dan darah.
Keluhan abdomen jarang terjadi atau bahkan tidak ada sama
sekali. Dehidrasi cepat terjadi apabila tidak mendapatkan cairan
yang seseuai sebagai pengganti. Tidak ditemukan leukosit pada
pemeriksaaan feses rutin.
b. Diare inflamasi
Diare ini disebabkan oleh invasi bakteri dan pengeluaran
sitotoksin di kolon. Gejala klinis ditandai dengan adanya mulas
sampai dengan nyeri kolik, mual, muntah, demam, tenesmus,
tanda dan gejala dehidrasi. Secara makroskopis terdapat lender
dan darah pada pemeriksaan feses rutin dan secara mikroskopis
terdapat sel leukosit polimorphonuklear (PMN).
2. Diare kronis berlangsung lebih dari 14 hari. Mekanisme terjadinya
diare akut dak kronis meliputi:
a. Diare sekresi
Diare dengan volume feses banyak yang biasanya disebabkan
oleh gangguan transport elektrolit akibat peningkatan produksi
dan sekresi air dan elektrolit namun kemampuan absorbs mukosa
usus ke dalam usus menurun. Penyebabnya adalah toksin bakteri
seperti toksin kolera, pengaruh garam empedu, asam lemak rantai
pendek, laksatifnon osmotic dan hormone intestinal (gastrin
vasoaktif intestinal polypeptide(VIP))
b. Diare osmotic
Terjadi bila terdapat partikel yang tidak dapat diabsorbsi oleh
usus sehingga osmolaritas lumen meningkat dan air tertarik dari
dalam plasma ke lumen usus sehingga terjadilah diare. Misalnya
malabsorbsi karbohidrat akibat defisiensi lactase atau akibat
garam magnesium.
c. Diare eksudatif
Inflamasi akan mengakbatkan kerusakan mukosa baik usus halus
maupun usus besar. Inflamasi dan eksudat dapat terjadi akibat
infeksi bakteri atau bersifat noninfeksi seperti gluten sensitive
enteropathy, inflammatory bowel disease ataupun akibat radiasi.
d. Kelompok lain
Akibat gangguan motilitas yang mengakibatkan waktu transit
makanan dan minuman di usus menjadi lebih cepat. Pada kondisi
tirotoksikosis, sindroma usus iritabel atau diabetes mellitus dapat
muncul diare ini.
E. Faktor Resiko
Kondisi lingkungan merupakan salah satu factor penting dalam
penyebaran gastroenteritis. Sanitasi,penyediaan air bersih, dan pola
makan dapat menjadi factor-faktor yang menimbulkan penyakit ini. Jika
dilihat berdasarkan kelompok manusianya, Faktor resiko dibagi
menjadi tiga bagian:[7]
1. Anak-anak
Balita atau anak-anak belum daya tahan tubuh yang kuat, sehingga
mudah terserang infeksi.
2. Penghuni asrama
Tingginya tingkat interaksi antarpelajar di lingkungan sekolah dan
asrama dapat meningkatkan risiko penularan gastroenteritis.
3. Lansia
Lansia cenderung mengalami penurunan daya tahan tubuh, sehingga
lebih mudah terinfeksi flu perut atau gastroenteritis.
4. Orang dengan sistem kekebalan tubuh yang melemah
Orang dengan gangguan sistem kekebalan tubuh, misalnya
penderita AIDS atau penderita kanker yang sedang
menjalani kemoterapi, memiliki daya tahan tubuh yang lemah,
sehingga dapat lebih mudah tertular virus.
F. Prognosis
Dengan penggantian cairan yang adekuat, perawatan yang
mendukung, dan terapi antimikrobial jika diindikasikan, prognosis diare
infeksius sangat baik dengan morbiditas dan mortalitas minimal. Seperti
kebanyakan penyakit, morbiditas dan mortalitas terutama pada anak-
anak dan pada lanjut usia. Di Amerika Serikat, mortalitas berhubungan
dengan diare infeksius < 1,0%. Pengecualiannya pada infeksi EHEC
dengan mortalitas 1,2% yang berhubungan dengan sindrom uremik
hemolitik.[8]
G. Patofisiologi
Pada umumnya gastroenteritis akut 90% disebabkan oleh agen
infeksi yang berperan dalam terjadinya gastroenteritis akut terutama
adalah faktor agent dan faktor host. Faktor agent yaitu daya penetrasi
yang dapat merusak sel mukosa, kemampuan memproduksi toksin yang
mempengaruhi sekresi cairan usus halus serta daya lekat kuman. Faktor
host adalah kemampuan tubuh untuk mempertahankan diri terhadap
organisme yang dapat menimbulkan diare akut, terdiri dari faktor-faktor
daya tangkis atau lingkungan internal saluran cerna antara lain:
keasaman lambung, motilitas usus, imunitas, dan lingkungan mikroflora
usus, Patogenesis diare karena infeksi bakteri/parasit terdiri atas:[9]
a. Diare karena bakteri non-invasif (enterotoksigenik)
Diare jenis ini biasanya disebut juga sebagai diare tipe sekretorik
dengan konsistensi berair dengan volume yang banyak. Bakteri yang
memproduksi enterotoksin ini tidak merusak mukosa seperti V.
cholerae Eltor, Eterotoxicgenic E. coli (ETEC) dan C. Perfringens.
V.cholerae Eltor mengeluarkan toksin yang terkait pada mukosa usus
halus 15-30 menit sesudah diproduksi vibrio. Enterotoksin ini
menyebabkan kegiatan berlebihan nikotinamid adenin di nukleotid
pada dinding sel usus, sehingga meningkatkan kadar adenosin 3’-5’-
siklik monofosfat (siklik AMP) dalam sel yang menyebabkan sekresi
aktif anion klorida ke dalam lumen usus yang diikuti oleh air, ion
bikarbonat, kation, natrium dan kalium.
b. Diare karena bakteri/parasite invasive (enterovasif)
Diare yang diakibatkan bakteri enterovasif disebut sebagai diare
Inflammatory. Bakteri yang merusak (invasif) antara lain
Enteroinvasive E. coli (EIEC), Salmonella, Shigella, Yersinia, C.
perfringens tipe C. diare disebabkan oleh kerusakan dinding usus
berupa nekrosis dan ulserasi. Sifat diarenya sekretorik eksudatif.
Cairan diare dapat tercampur lendir dan darah. Kuman salmonella
yang sering menyebabkan diare yaitu S. paratyphi B, Styphimurium,
S enterriditis, S choleraesuis. Penyebab parasite yang sering yaitu E.
histolitika dan G. lamblia.3 Diare inflammatory ditandai dengan
kerusakan dan kematian enterosit, dengan peradangan minimal
sampai berat, disertai gangguan absorbsi dan sekresi. Setelah
kolonisasi awal, kemudian terjadi perlekatan bakteri ke sel epitel dan
selanjutnya terjadi invasi bakteri kedalam sel epitel, atau pada IBD
mulai terjadinya inflamasi. Tahap berikutnya terjadi pelepasan
sitokin antara lain interleukin 1 (IL-l), TNF-α, dan kemokin seperti
interleukin 8 (IL-8) dari epitel dan subepitel miofibroblas. IL8 adalah
molekul kemostatik yang akan mengaktifkan sistim fagositosis
setempat dan merangsang sel-sel fagositosis lainnya ke lamina
propia. Apabila substansi kemotaktik (IL-8) dilepas oleh sel epitel,
atau oleh mikroorganisme lumen usus (kemotaktik peptida) dalam
konsentrasi yang cukup kedalam lumen usus, maka neutrofil akan
bergerak menembus epitel dan membentuk abses kripta, dan
melepaskan berbagai mediator seperti prostaglandin, leukotrin,
platelet actifating factor, dan hidrogen peroksida dari sel fagosit akan
merangsang sekresi usus oleh enterosit, dan aktifitas saraf usus.
H. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis dari gastroenteritis akut biasanya bervariasi. dari
salah satu hasil penelitian yang dilakukan pada orang dewasa, mual
(93%), muntah (81%) atau diare (89%), dan nyeri abdomen (76%)
umumnya merupakan gejala yang paling sering dilaporkan oleh
kebanyakan pasien. Selain itu terdapat tanda-tanda dehidrasi sedang
sampai berat, seperti membran mukosa yang kering, penurunan turgor
kulit, atau perubahan status mental, terdapat pada <10 % pada hasil
pemeriksaan. Gejala pernafasan, yang mencakup radang tenggorokan,
batuk, dan rinorea, dilaporkan sekitar 10%. Sedangkan gatroenteritis
akut karena infeksi bakteri yang mengandung atau memproduksi toksin
akan menyebabkan diare sekretorik (watery diarhhea) dengan gejala-
gejala mual, muntah, dengan atau tanpa demam yang umumnya ringan,
disertai atau tanpa nyeri/kejang perut, dengan feses lembek atau cair.
Umumnya gejala diare sekretorik timbul dalam beberapa jam setelah
makan atau minuman yang terkontaminasi.Diare sekretorik (watery
diarhea) yang berlangsung beberapa waktu tanpa penanggulangan medis
yang adekuat dapat menyebabkan kematian karena kekurangan cairan
yang mengakibatkan renjatan hipovolemik atau karena gangguan
biokimiawi berupa asidosis metabolik yang lanjut. Karena kehilangan
cairan seseorang akan merasa haus, berat badan berkurang, mata menjadi
cekung, lidah kering, tulang pipi menonjol, turgor kulit menumn serta
suara menjadi serak. Keluhan dan gejala ini disebabkan deplesi air yang
isotonik.Sedangkan kehilangan bikarbonas dan asam karbonas berkurang
yang mengakibatkan penurunan pH darah. Penurunan ini akan
merangsang pusat pernapasan sehingga frekuensi nafas lebih cepat dan
lebih dalam (pernafasan Kussmaul). Reaksi ini adalah usaha badan untuk
mengeluarkan asam karbonas agar pH darah dapat kembali normal.
Gangguan kardiovaskular pada tahap hipovolemik yang berat dapat
berupa renjatan dengan tanda-tanda denyut nadi yang cepat, tekanan
darah menurun sampai tidak terukur. Pasien mulai gelisah muka pucat
ujung-ujung ektremitas dingin dan kadang sianosis karena kehilangan
kalium pada diare akut juga dapat timbul aritmia jantung.[10]
Gejala yang paling umum ditemukan pada pasien gastroenteritis
adalah sebagai berikut:[1]
1. Mual
2. Diare (berair atau berdarah saat disentri)
3. Muntah
4. Sakit perut
5. Demam (menunjukkan organisme invasif sebagai penyebabnya)
Pada pemeriksaan fisik, perut terasa lunak, tetapi mungkin juga
tidak. Palpasi dapat menimbulkan nyeri ringan hingga sedang. Demam
menunjukkan penyebabnya yaitu patogen invasif. Tanda-tanda dehidrasi
adalah hal terpenting yang harus ditemukan saat melakukan pemeriksaan
fisik; beberapa kasus mungkin mengkhawatirkan dan membantu
mengidentifikasi pasien mana yang perlu dirawat di rumah sakit. Berikut
ini adalah gejala darurat (red flag):[1]
1. Selaput lendir kering (mulut kering)
2. Turgor kulit berkurang
3. Status mental yang berubah
4. Takikardia
5. Hipotensi, ortostasis
6. Kotoran berdarah
7. Rawat inap atau antibiotik baru-baru ini
8. Usia lebih dari 65 tahun
9. Komorbiditas seperti HIV dan diabetes
I. Diagnosis dan Pemeriksaan Penunjang[2]
Diagnosis Gastroenteritis dapat ditegakkan dengan berdasarkan
anamnesis, pemeriksaan fisik, dan penunjang. Pemeriksaan penunjang
yang dilakukan dapat berupa darah meliputi darah perifer lengkap, serum
elektrolit, Analisa gas darah apabila didapatkan tanda-tanda gangguan
keseimbangan asam-basa, dan immunoassay.
Selain itu dapat juga dilakukan dengan menggunakan feses meliputi
feses lengkap (mikroskopis: peningkatan jumlah leukosit di feses pada
inflammatory diarrhea; parasite: amoeba bentuk tropozoit, hypa pada
jamur) dan biakan dari resistensi feses (colok dubur).
1. Anamnesa
Pasien dengan diare akut infektif datang dengan keluhan khas yaitu
mual, muntah, nyeri abdomen, demam dan tinja yang sering, bisa air,
malabsorbtif, atau berdarah tergantung bakteri yang menyebabkan.
Curiga terjadinya gastroenteritis apabila terjadi perubahan tiba-tiba
konsistensi tinja menjadi lebih berair, dan/atau muntah yang terjadi
tiba-tiba. Pada anak biasanya diare berlangsung selama 5-7 hari dan
kebanyakan berhenti dalam 2 minggu. Muntah biasanya berlangsung
selama 1-2 hari, dan kebanyakan berhenti dalam 3 hari.
Tanyakan :
a. Kontak terakhir dengan seseorang yang mengalami diare akut
dan/atau muntah
b. Pajanan terhadap sumber infeksi enterik yang diketahui
(mungkin dari makanan atau air yang terkontaminasi)
c. Perjalanan atau bepergian
2. Pemeriksaan Fisik
Kelainan-kelainan yang ditemukan pada pemeriksaan fisik sangat
berguna dalam menentukan keparahan penyakit. Status volume
dinilai dengan menilai perubahan pada tekanan darah dan nadi,
temperatur tubuh dan tanda toksisitas. Pemeriksaan abdomen yang
seksama juga merupakan hal yang penting dilakukan.
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan tinja
Pemeriksaan tinja yang dilakukan adalah pemeriksaan
makroskopik dan mikroskopik, biakan kuman, tes resistensi
terhadap berbagai antibiotika, pH dan kadar gula, jika diduga ada
intoleransi laktosa.
b. Pemeriksaan darah
Pemeriksaan darah yang dilakukan mencakup pemeriksaan darah
lengkap, pemeriksaan elektrolit, pH dan cadangan alkali,
pemeriksaan kadar ureum.
J. Tatalaksana
Penatalaksanaan yang kita lakukan pada pasien dewasa berdasarkan
WGO Guideline (2012), yaitu:[11]
1. Melakukan penilaian awal
2. Tangani dehidrasi
3. Cegah dehidrasi pada pasien yang tidak terdapat gejala dehidrasi
menggunakan cairan rehidrasi oral, menggunakan cairan yang dibuat
sendiri atau larutan oralit.
4. Rehidrasi pasien dengan dehidrasi sedang menggunakan larutan
oralit, dan pasien dengan dehidrasi berat dengan terapi cairan
intravena yang sesuai
5. Pertahankan hidrasi dengan larutan rehidrasi oral
6. Atasi gejala-gejala lain
7. Lakukan pemeriksaan spesimen tinja untuk analisis
8. Pertimbangkan terapi antimikroba untuk patogen spesifik
K. Edukasi dan Pencegahan
Pasien harus dididik tentang pentingnya dan metode yang tepat untuk
rehidrasi oral dan pemberian makan dini yang tepat. Semua pasien,
terutama orang tua dari bayi dan anak kecil, harus dididik secara luas
tentang tanda dan gejala dehidrasi. Pasien dengan pajanan yang
ditularkan melalui makanan harus dididik tentang pencegahan. Pasien
dengan kekebalan tubuh rendah dan individu dengan penyakit hati harus
dididik untuk tidak mengkonsumsi kerang mentah, terutama tiram. Para
pelancong ke daerah-daerah terbelakang harus diberitahu tentang
langkah-langkah penghindaran yang tepat, perawatan yang tepat, dan
penyakit endemik saat ini.[12]
L. Komplikasi
Komplikasi gastroenteritis terdiri dari:[13][14]
1. Dehidrasi
Dehidrasi yang berlebihan dapat menyebabkan hipertensi dan gagal
ginjal.
2. Gangguan elektrolit (hipernatremia, hiponatremia, hipokalemia)
Hipoantremia adalah kondisi dimana kadar natrium total dalam
tubuh yang rendah,Pasien cenderung kehilangan air melalui ginjal
atau gastrointestinal terjadi lebih dominan dari kehilangan natrium.
Hipernatremia adalah kondisi dimana kadar natrium total dalam
tubuh yang meningkat, Pasien cenderung memiliki kadar
peningkatan volume air (natrium bersifat higroskopik). Hiperkalemia
adalah kondisi dimana kadar natrium total dalam tubuh yang rendah.
3. Asidosis metabolik
Asidosis metabolik ditandai dengan, penurunan primer dalam
konsentrasi serum bikarbonat (HCO (3) (-)), penurunan sekunder
tekanan parsial arteri karbon dioksida (PaCO (2)) sekitar 1 mmHg
untuk setiap 1 mmol / l penurunan dalam serum HCO (3) (-)
konsentrasi, dan penurunan pH darah.
4. Intoleransi karbohidrat (laktosa, glukosa) dan intoleransi makanan
(susu sapi, protein kedelai)
Diare kronis yang menyebabkan intoleransi laktos karena
pertumbuhan berlebihan bakteri usus halus.
5. Rentanan terhadap infeksi berulang
6. Sindrom uremik hemolitik (Haemolytic-uremic syndrome)
Merupakan salah satu kelainan mematikan yang disebabkan oleh
Enterohaemoragic E.coli (EHEC) serotype O157:H7 yang mana
merupakan endemic di daerah peternakan. Wabah ini dihubungkan
dengan tidak dimasak dengan matangnya daging giling. Sindrom ini
memiliki gejala muntah dan diare yang diikuti dengan demam tinggi
dan dapat menyebabkan kerusakan pembuluh darah dan ginjal oleh
EHEC sitotoksik.
7. Komplikasi iatrogenik (karena komposisi yang tidak tepat atau
jumlah cairan intravena)
8. Penyakit radang usus
9. Septikemia
10. Demam enterik
11. Sindrom Guillain-Barre
Sindrom Guillain-Barre disebebkan oleh imun yang dimediasi oleh
(demyelination dari saraf tepi) kemudian diikuti oleh infeksi
Campylobacter.
12. Relter’ syndrome
Relter’ syndrome dan Artritis reaktif lainnya dapat terjadi, terutama
setelah infeksi Shigella, Salmonella, Campylobacter, atau Yersinia.
Relter’s Syndrome dapat berkombinasi dengan arthrithis, urearthris,
conjungtivis.
13. Kematian
Dehidrasi dan berkurangnya kadar elektrolit terutama pada otak
dapat menyebakan kematian.

2.2. Botulisme
A. Definisi
Botulisme adalah kondisi keracunan serius yang disebabkan oleh
toksin dari bakteri Clostridium botulinum. Toksin yang dihasilkan
bakteri ini menyerang sistem saraf otak, tulang belakang, dan saraf
lainnya, serta dapat menyebabkan paralisis atau kelumpuhan otot.[15]
B. Etiologi
Botulisme merupakan penyakit yang bersifat neuroparalitik
(melumpuhkan syaraf), dan biasanya berakibat fatal. Penyakit ini dapat
menyerang manusia, unggas, hewan mamalia, dan ikan yang disebabkan
karena paparan toksin dari berbagai biotipe Clostridium botulinum (C.
botulinum). Pada manusia, telah dikenal food borne botulism
(botulismus akibat tertelannya C. botulinum dan neurotoksinnya
bersama makanan), infant botulism (botulismus akibat tertelannya spora
C. botulinum toksigenik), infectious botulism (botulismus akibat
berkembangnya C. botulinum dalam usus setelah proses pembedahan
atau luka di daerah perut) dan inhalation botulism atau botulismus akibat
terhirupnya neurotoksin botulinum melalui saluran pernafasan.[16]
C. Epidemiologi[17]
Sejak 1973, Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC)
telah mempertahankan Sistem Surveilans Botulisme Nasional untuk
memantau kasus-kasus botulisme di Amerika Serikat. Dalam 5 tahun
dari 2011 hingga 2015, rata-rata 162 kasus botulisme tahunan
dilaporkan. Proporsi masing-masing dari setiap jenis botulisme berkisar
dari 71% hingga 88% untuk infant botulism, 1% hingga 20% untuk
botulisme bawaan makanan, 5% -10% untuk botulisme luka, dan 1%
hingga 4% untuk botulisme asal lain atau tidak diketahui. Dengan
pengecualian jarang, wabah besar (yaitu, wabah botulisme bawaan
makanan di Ohio pada April 2015 menyumbang 27 kasus saja), jumlah
total kasus botulisme dan proporsi relatif dari masing-masing subtipe
tetap relatif stabil selama 10 tahun terakhir. Tidak ada kasus botulisme
yang dilaporkan karena bioterorisme di Amerika Serikat, dan hanya satu
kasus botulisme iatrogenik yang dilaporkan, yang dihasilkan dari
penggunaan BoNT konsentrasi tinggi dan tidak berlisensi.
Mortalitas akibat botulisme rendah. Sebelum 1950-an, angka
kematian untuk botulisme bawaan makanan adalah 60-70%. Untuk
periode 1975-2009, kematian secara keseluruhan adalah 3,0% dengan
109 kematian terkait botulisme di antara 3.618 kasus botulisme. Ada 18
[kurang dari 1%] kematian dari 2352 kasus botulisme bayi, 61 [7,1%]
kematian dari 854 kasus botulisme bawaan makanan, 18 [5,0%]
kematian dari 359 kasus botulisme luka, dan 12 [22,6%] kematian dari
53 kasus botulisme dari asal lain atau tidak diketahui.
D. Klasifikasi[18]
Botulismus pada manusia terdapat 3 jenis yaitu:

1. Food borne botulism


Merupakan botulismus yang terjadi akibat tertelannya C. botulinum
dan neurotoksinnya bersama makanan. Gejala yang terjadi berupa
mual, muntah, kram perut, mulut kering dan diare.
2. Infant botulism
Merupakan botulismus yang terjadi akibat tertelannya spora C.
botulinum toksigenik.
3. Infection botulism
Merupakan botulismus yang terjadi akibat berkembangnya C.
botulinum di dalam usus setelah dilakukan proses pembedahan atau
luka di bagian perut.
4. Inhalation botulism
Merupakan botulismus yang terjadi akibat terhirupnya neurotoksik
dari botulinum melalui saluran pernafasan.
E. Prognosis
Botulisme dapat menyebabkan kematian karena gagal napas. Namun,
karena perkembangan antitoksin dan perawatan medis modern, orang
dengan botulisme saat ini memiliki kemungkinan kematian yang jauh
lebih rendah daripada orang-orang di masa lalu. Lima puluh tahun yang
lalu, untuk setiap 100 orang dengan botulisme, 50 akan mati. Sekarang,
dengan antitoksin dan perawatan medis yang tepat, kurang dari 5 dari
setiap 100 orang yang menderita botulisme meninggal.[19]
F. Patofisiologi
Penyebab botulismus adalah neurotoksin dari Clostridium botulinum
yang merupakan bakteria berspora, berbentuk batang, Gram positif dan
bersifat anaerobik. Spora dari C. botulinum tersebar dalam tanah,
tumbuh-tumbuhan, isi usus hewan mamalia, unggas dan ikan. Dalam
kondisi tertentu, spora dapat bergerminasi menjadi sel vegetatif yang
dapat menghasilkan toksin. Hal ini yang menyebabkan C. botulinum
dapat tumbuh dan menghasilkan neurotoksin dalam kondisi anaerobik
seperti pada bangkai hewan ataupun dalam makanan kalengan.
Botulismus merupakan gejala intoksikasi yang terjadi karena aktivitas
neurotoksin botulinum. Ada 8 tipe C. botulinum yaitu A, B, C1, C2, D,
E, F dan G yang menghasilkan toksin berbeda secara imunologis.
Botulismus pada manusia disebabkan terutama oleh neurotoksin dari tipe
A, B dan E dan terkadang tipe F. Sedangkan tipe C dan D menyebabkan
botulismus pada hewan (unggas, sapi dan kuda). Tetapi, ada beberapa
reaksi silang serum diantara serotipe tersebut, karena adanya kesamaan
beberapa sekuens yang homolog seperti yang terjadi juga pada toksin
tetanus KTORIES dan BARTH. 2004). Neurotoksin botulinum
merupakan protein dengan berat molekul 150 kDa yang mempunyai
aktivitas zincendopeptidase (protease/endopeptidase spesifik yang
tergantung pada keberadaan ion Zn) Toksin ini dapat diaktivasi oleh
pemecahan proteolitik. Molekul toksin disekresikan sebagai toksin awal
yang mengandung neurotoksin dan komponen nontoksik lainnya.
Komponen nontoksik akan melindungi neurotoksin terhadap stres
lingkungan dan membantu proses absorbsi neurotoksin ke dalam
tubuh.[16]

Mekanisme masuknya C. botulinum toksigenik ke dalam tubuh dapat


melalui kontaminasi luka, mulut/makanan dan inhalasi. C. botulinum
yang sudah masuk dalam tubuh dapat memproduksi toksin dalam saluran
pencernaan atau jaringan tubuh yang luka karena lingkungannya
mendukung untuk pertumbuhannya. Toksin tidak diabsorbsi melalui
kulit yang utuh.[20]

Sesudah toksin diabsorbsi, maka toksin masuk dalam aliran darah


dan ditransportasikan menuju synaps cholinergik perifer terutama
neuromuscular junction. Pada tempat ini, heavy chain toksin berikatan
dengan membran neuronal pada bagian presynaptic synaps perifer.
Toksin kemudian memasuki sel neuronal melalui receptor-mediated
endocytosis. Light chain dari toksin menyeberangi membran vesikel
endocytic dan memasuki sitoplasma. Di dalam sitoplasma, light chain
toksin (yaitu senyawa zinc-yang mengandung endopeptidase) memecah
beberapa protein yang membentuk synaptic fusion complex. Protein
synaptic ini disebut sebagai protein soluble N- ethylmaleimide-sensitive
factor attachment protein receptors (SNARE), termasuk synaptobrevin
(terpecah oleh toksin tipe B, D, F dan G), syntaxin (terpecah oleh toksin
tipe C), dan synaptosomal- associatedprotein (SNAP-25; terpecah oleh
toksin tipe A, C, E).[20]

G. Manifestasi Klinis
Botulismus dapat terjadi pada manusia dan hewan dengan cara yang
sama, yaitu melalui makanan, intestinal toxico infection, dan infeksi
luka. Botulismus yang tidak mendapatkan pertolongan medis biasanya
berakibat fatal. Kecepatan timbulnya gejala, keparahan dan lamanya
penyakit tergantung pada jumlah toksin dan tipe toksin yang masuk ke
dalam tubuh. Pada botulismus yang disebabkan oleh makanan, gejala
mulai tampak beberapa jam sampai beberapa hari (2 – 8 hari) setelah
tertelannya makanan yang terkontaminasi. Umumnya terjadi dalam 12 –
72 jam setelah makan.[21] Gejala dari foodborne botulism yang
disebabkan toksin C. botulinum serotipe A biasanya lebih parah
dibandingkan dengan serotipe B dan menyatakan bahwa tipe toksin C.
botulinum yang ditemukan pada manusia dan sapi berbeda. Toksin tipe
A secara dominan ditemukan pada feses sapi sedangkan tipe E
ditemukan sebagai penyebab botulism pada manusia yang terserang dan
pakan hewan yang terkontaminasi.[22]
Sebagai penyakit yang berakibat neuroparalysis, botulismus
merupakan penyakit akut, simetrik, descending, flaccid paralysis pada
manusia atau hewan. Yang terserang foodborne botulismus, mulamula
memperlihatkan gejala gastrointestinal seperti mual, muntah, kram perut,
mulut kering dan diare. Gejala syaraf awal biasanya, menyerang syaraf
bagian kepala seperti pandangan kabur, kelopak mata jatuh, fotofobia,
dan disfungsi syaraf seperti kekakuan sendi, gangguan bicara dan tidak
dapat menelan makanan. Kelemahan otot dimulai dari otot yang
menggerakkan kepala, otot lengan atas, otot pernafasan dan yang
terakhir otot tungkai bagian bawah. Kelemahan ini biasanya berlangsung
secara simetrik. Kematian biasanya akibat dari kegagalan sistem
pernafasan. Gejala klinis yang timbul akibat terhirupnya toksin melalui
saluran nafas (biasanya terjadi di laboratorium) menimbulkan gejala
klinis yang serupa dengan foodborne botulism.[23]
H. Diagnosis dan Pemeriksaan Penunjang
Manifestasi klinis bervariasi dan mungkin terkait dengan jenis
toksin. Toksin tipe A menyebabkan sindrom paling parah, dan memiliki
proporsi tertinggi pasien yang membutuhkan ventilasi mekanis. Toksin
tipe B tampaknya menyebabkan penyakit yang lebih ringan, dan
umumnya gejala otonom mendahului kelemahan otot. Sebagian besar
kasus botulisme dikaitkan dengan daging, ikan, dan sayuran yang
diawetkan di rumah. Di Eropa, botulisme bawaan makanan sering terkait
dengan daging yang diawetkan di rumah, seperti sosis dan ham. Spora
Clostridium botulinum tahan panas, mudah bertahan pemanasan hingga
100 ° C pada 1 atm selama 5 jam atau lebih. Namun, spora dapat
dihancurkan dengan memanaskan hingga 120 ° C selama 5 menit, tetapi
tidak semua makanan cocok untuk perlakuan panas tersebut. Pemrosesan
dan penyimpanan yang memadai harus menjadi perhatian pertama.[24]
Diagnosis biasanya didasarkan pada riwayat klinis dan pemeriksaan
klinis diikuti oleh konfirmasi laboratorium termasuk menunjukkan
adanya toksin botulinum dalam serum, tinja atau makanan, atau kultur C.
botulinum dari tinja, luka atau makanan. Kesalahan diagnosis botulisme
kadang-kadang terjadi karena sering dikelirukan dengan stroke, sindrom
Guillain-Barré, atau myasthenia gravis.[25]
Antitoksin harus diberikan sesegera mungkin setelah diagnosis
klinis. Deteksi dini efektif dalam mengurangi angka kematian. Kasus
botulisme yang parah memerlukan perawatan suportif, terutama ventilasi
mekanik, yang mungkin diperlukan selama berminggu-minggu atau
bahkan berbulan-bulan. Antibiotik tidak diperlukan (kecuali dalam
botulisme luka). Vaksin terhadap botulisme ada tetapi jarang digunakan
karena efektivitasnya belum sepenuhnya dievaluasi dan telah
menunjukkan efek samping negatif.[25]
I. Tatalaksana[17]
Pengobatan botulisme terdiri dari pemberian antitoksin, perawatan di
rumah sakit, pemantauan ketat, dukungan pernapasan sesuai kebutuhan,
dan debridemen ditambah antibiotik dalam kasus botulisme luka. Setiap
pasien dengan presentasi klinis mengenai botulisme harus segera dirawat
di rumah sakit untuk observasi ketat. Terapi antitoksin yang tersedia
untuk penyedia layanan kesehatan saat ini ada dalam dua bentuk:
heptavalent equine serum antitoxin, diindikasikan untuk pasien yang
lebih tua dari 1 tahun, dan human-derived immunoglobulin,
diindikasikan untuk bayi di bawah usia 1. heptavalent equine serum
antitoxin mengandung antibodi untuk BoNT / A -BoNT / G.
Jika kecurigaan tinggi dan gejalanya berkembang, segera diperoleh
dan pemberian antitoksin. Dosis untuk orang dewasa adalah satu botol.
Dosis untuk bayi, anak-anak, dan remaja harus ditetapkan bersama
dengan Kontrol Racun.
Pemantauan ketat harus mencakup evaluasi klinis ventilasi, perfusi,
dan integritas jalan napas bagian atas, oksimetri nadi terus menerus,
spirometri, dan pengukuran gas darah arteri. Intubasi harus
dipertimbangkan untuk pasien dengan gangguan jalan nafas atas atau
kapasitas vital yang kurang dari 30% dari yang diperkirakan.
Untuk botulisme luka, debridemen dan terapi antibiotik
diindikasikan setelah pemberian antitoksin. Regimen yang sesuai
termasuk tiga juta unit Penicillin G intravena (IV) setiap 4 jam, atau
metronidazole 500 mg setiap 8 jam untuk pasien alergi penisilin.
Aminoglikosida relatif kontraindikasi karena telah terbukti
mempotensiasi blokade neuromuskuler yang disebabkan oleh botulisme.
Antibiotik tidak boleh digunakan pada botulisme bayi karena
kemungkinan pelepasan BoNT setelah lisis sel. Terapi tambahan
termasuk nutrisi parenteral total dalam kasus ileus parah dan irigasi usus
besar dalam kasus botulisme bawaan makanan tanpa ileus berat.

Tindakan lain

 Perawatan suportif yang agresif dalam pengaturan ICU


 Pantau jalan napas karena sering terjadi gagal napas
 Pantau tanda vital, oksigenasi, dan gas darah arteri
 Intubasi jika ada sedikit tanda gangguan pernapasan
 Beberapa pasien memerlukan trakeostomi untuk menangani sekresi
 Jangan berikan garam magnesium karena dapat mempotensiasi
blok neuromuskuler
 Masukkan Foley dan berikan profilaksis tukak lambung
J. Edukasi dan Pencegahan
Pencegahan botulism dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut:[26]
1. Pemanasan yang memadai untuk membunuh spora bakteri
2. Segera mendinginkan makanan yang tidak dimasak (dibawah
3,3derajat celcius)
3. Segera mengkonsumsi makanan yang siap santap untuk mencegah
pertumbuhan optimal dari bakteri.
K. Komplikasi
Bahkan dengan antitoksin dan perawatan medis dan perawatan
intensif, beberapa pasien meninggal karena infeksi atau masalah lain
yang disebabkan oleh lumpuh selama berminggu-minggu atau berbulan-
bulan. Pasien yang selamat dari botulisme mungkin mengalami
kelelahan dan sesak napas selama bertahun-tahun sesudahnya, dan
mungkin membutuhkan terapi jangka panjang untuk membantu mereka
pulih.[19]

2.3. Diare Akut


A. Definisi
Diare akut yaitu diare yang berlangsung kurang dari 15 hari.
Sedangkan menurut World Gastroenterolody Organisation global
guidelines 2005, diare akut didefinisikan sebagai pasase tinja yang cair
/lembek dengan jumlah lebih banyak dari normal, berlangsung kurang
dari 14 hari.[2]
B. Etiologi
Diare akut karena infeksi disebabkan oleh masuknya
mikroorganisme atau toksin melalui mulut. Kuman tersebut dapat
melalui air, makanan atau minuman yang terkontaminasi kotoran
manusia atau hewan, kontaminasi tersebut dapat melalui jari/tangan
penderita yang telah terkontaminasi.[27] Mikroorganisme penyebab diare
akut karena infeksi seperti dibawah ini :
1. Bakteri : shigella, salmonella, campylobacter, eschericia, yersenina,
clostridium difficile, staphylococcus aureus, bacillus cereus, vibrio
cholera
2. Virus : Rotavirus, norwalk virus, Enteric adenovirus, Calicivirus,
Astrovirus, Small round viruses, Coronavirus, cytomegalovirus
3. Protozoa : giardia lamblia, entamoeba, histolyca, cryptosporidium

Penyebab diare juga dapat bermacam macam tidak selalu karena


infeksi dapat dikarenakan faktor malabsorbsi seperti malabsorbsi
karbohidrat, disakarida (inteloransi laktosa, maltosa, dan sukrosa)
monosakarida (inteloransi glukosa, fruktosa, dan galaktosa), Karena
faktor makanan basi, beracun, alergi karena makanan, dan diare karena
faktor psikologis, rasa takut dan cemas.[28]

Etiologi diare akut pada 25 tahun yang lalu sebagian besar belum
diketahui, akan tetapi sekarang lebih dari 80% penyebabnya telah
diketahui. Terdapat 25 jenis mikroorganisme yang dapat menyebabkan
diare. Penyebab utama oleh virus adalah rotavirus (40-60%) sedangkan
virus lainnya ialah virus norwalk, astrovirus, calcivirus, coronavirs,
minirotavirus, dan virus bulat kecil.[29]

C. Epidemiologi
Diare sampai saat ini masih merupakan masalah kesehatan tidak saja
di negara sedang berkembang tetapi juga di negara-negara maju.
Walaupun di negara maju sudah mendapatkan pelayanan kesehatan yang
tinggi dan sosial ekonomi yang baik tetapi penyakit diare tetap sesuatu
penyakit yang mempunyai angka kesakitan yang tinggi yang biasanya
disebabkan oleh foodborne infection dan waterborn infection yang
disebabkan karena bakteri Shigella sp, Campylobacter jejuni,
Staphylococcus aureus, Basillus cereus, Clostridium prefingens,
Enterohemorrhagic Eschersia colli (EHEC). Di negara maju insidensi
penyakit diare terdapat 0,5-2 pertahun dan di negara berkembang lebih
dari dari negara maju.[30]
Selama tahun 2000, dari 26 propinsi cakupan penemuan dan
pengobatan penderita sebanyak 3.370.668 orang dan jumlah KLB selama
tahun tersebut ada 65 kejadian tersebar di 13 provinsi dengan jumlah
penderita 4.127 orang dan kematian 59 orang. Penderita diare tertinggi di
Kalimantan Selatan (1744 orang), Bali 9677 orang), Sulawesi Utara (476
orang), Jambi (328 orang), Sumatra Utara (310 orang), Sulawesi Selatan
(160 orang), Sulawesi Tengah (115 orang) dan Jawa Tengah (88 orang)
yakni urutan ke delapan, sedangkan urutan jumlah dengan kematian
tertinggi berturut-turut adalah Sulawesi utara, Maluku, dan jawa
Tengah.[31]

D. Faktor Resiko
Beberapa kelompok yang mempunyai faktor risiko tinggi untuk
terkena diare yaitu orang yang baru saja berpergian ke negara
berkembang, daerah tropis, kelompok perdamaian dan pekerja sukarela,
orang yang sering berkemah (dasar berair), makanan dalam keadaan
yang tidak biasa: makanan laut dan shell fish, terutama yang mentah,
restoran dan rumah makan cepat saji, homoseksual, dan pada
penggunaan anti mikroba jangka lama di rumah sakit Institusi kejiwaan
atau mental.[32]
Keadaan risiko dan kelompok risiko tinggi yang mungkin mengalami
diare infeksi:[33]

1. Baru saja berpergian/melancong ke Negara berkembang, daerah


tropis, kelompok perdamaian dan pekerja sukarela, orang yang sering
berkemah (dasar berair)
2. Makanan atau keadaan makan yang tidak biasa: makanan laut dan
shelf fish, terutama yang mentah, restoran dan rumah makan cepat
saji (fast food), banket dan piknik.
3. Homoseksual, pekerja seks, pengguna obat intravena, risiko infeksi
HIV, sindrom usus homoseks (Gay Bowel syndrome) sindrom
defisiensi kekebalan didapat (acquired immune deficiency syndrome)
4. Baru saja menggunakan obat antimikroba pada institusi: institusi
kejiwaan/mental, rumah rumah perawatan, rumah sakit.
E. Prognosis[34]
1. Diare
Diare Dengan penggantian cairan yang adekuat, perawatan yang
mendukung, dan terapiantimikrobial jika diindikasikan, prognosis
diare infeksius hasilnya sangat baik denganmorbiditas dan mortalitas
yang minimal. Seperti kebanyakan penyakit, morbiditas dan
mortalitasditujukan pada anak-anak dan pada lanjut usia. Di Amerika
Serikat, mortalits berhubungandengan diare infeksius < 1,0 %.
Pengecualiannya pada infeksi EHEC dengan mortalitas 1,2 %yang
berhubungan dengan sindrom uremik hemolitik.
2. Malabsorbsi
Hal ini tergantung pada pasien yang datang, ada atau tidaknya
komplikasi, dan pengobatannya. Pada umumnya, prognosis tidak
mengancam jiwa.
3. Faktor psikoligis
Faktor psikologis yang dapat mempengaruhi terjadinya
peristaltik usus sehingga mempengaruhi proses penyerapan
makanan. Penyebab diare yang paling sering ditemukan di lapangan
atau secara klinis karena infeksi dan keracunan
F. Patofisiologi[35]
Diare dapat disebebkan oleh satu atau lebih patofisiologi, sebagai
berikut:
1. Osmolaritas intraluminal yang meninggi, disebut diare osmotic;
Diare osmotic: diare tipe ini disebabkan meningkatnya tekanan
osmotic intralumen dari usus halus yang disebabkan oleh obat-
obatan/zat kimia yang hipersmotik antara lain MgSO4, Mg(OH)2,
malabsorbsi unun dan defek dalam absorbs mukosa usus missal pada
defisiensi disakaridase, malabsorbsi glukosa/galaktosa.
2. Sekresi cairan dan elektrolit meninggi, disebut diare sekretorik;
Diare sekretorik: diare tipe ini disebabkan oleh meningkatnya sekresi
air dan elektrolit dari usus halus yang disebabkan oleh obat-
obatan/zat kimia yang ditemukan diare dengan volume tinja yang
banyak sekali. Diare tipe ini akan tetap berlangsung walaupun
dilakukan puasa makan/minum. Penyebab dari diare tipe ini antara
lain karena efek enterotoksin pada infeksi Vibrio cholera atau
Escherichia coli, penyakit yang menghasilkan hormone (VIPoma),
reseksi ileum (gangguan absorbs garam empedu), dan efek obat
laksatif (dioctyl sodium sulfoksuksinat dll).
3. Malabsorbsi asam empedu, malabsorbsi lemak;
Malabsorbsi asam empedu, malabsorbsi lemak: diare tipe ini
didapatkan pada gangguan pembentukkan micelle empedu dan
penyakit-penyakit saluran bilier dan hati.
4. Defek sistem pertukaran anion/transport elektrolit aktif di enterosit;
Defek sistem pertukaran anion/transport elektrolit aktif di enterosit:
diare tipe ini disebabkan adanya hambatan mekanisme transport aktif
Na+k+ATPase di enterosit dan absorbs Na+ dan air yang normal.
5. Motilitas dan waktu transit usus abnormal;
Motilitas dan waktu transit usus abnormal: diare tipe ini disebabkan
hipermotilitas dan iregularitas motilitas usus sehingga menyebabkan
absorbsi yang abnormal dari usus halus. Penyebab gangguan
motilitas antara lain: diabetes mellitus, pasca vagatomi, hipertiroid.
6. Gangguan peremeabilitas usus;
Gangguan peremeabilitas usus : diare tipe ini disebabkan
permeabilitas usus yang abnormal disebabkan adanya kelainan
morfologi membrane epitel spesifik pada usus halus.
7. Inflamasi dinding usus, disebut diare inflamatorik;
Inflamasi dinding usus (diare inflamatorik) : diare tipe ini
disebabkanadanya kerusakan mukosa usus karena proses inflamasi,
sehinga terjadi produksi mucus yang berlebihan dan eksudasi air dan
elektrolit ke dalam lumen , gangguan absorbs air-elektrolit. Inflamasi
mukosa usus halus dapat disebabkan infeksi ( disentri Shigella) atau
non infeksi (colitis ulserasi dan penyakit Crohn),
8. Infeksi dinding usus, disebut diare infeksi.
Diare Infeksi : Infeksi oleh bakteri merupakan penyebab tersering
dari diare. Dari sudut pandang kelainan usus, diare oleh bakteri
dibagi atas non-invasif (tidak merusak mukosa) dan infasif (merusak
mukosa). Bakteri non-invasif menyebabkan diare karena toksin yang
disekresikan oleh bakteri tersebut, yang disebut toksinogenik.
Contoh diare toksinogenik antara lain kolera(Eltor). Enterotoksin
yang dihasilkan kuman Vibrio cholare/eltor merupakan protein yang
dapat menempel pada epitel usus, yang lalu membentuk edenosin
monofosfat siklik (AMF siklik) di dinding usus halus dan
menyebabkan sekresi aktif anion klorida yang diikuti air, ion
bikarbonat dan kation natrium dan kalium. Mekanisme absorbsi ion
natrium melalui mekanisme pompa natrium tidak terganggu karena
itu keluarnya ion klorida (diikuti ion bikarbonat, air, natrium, ion
kalium ) dapat dikompesasi oleh meningginya absorbs ion natrium
(diiringi oleh air, ion kalium dan ion bikarbonat, klorida).
Kompensasi ini dapat dicapai dengan pemberian larutan glukosa
yang diabsorbsi secara aktif oleh dinding sel usus.
G. Manifestasi Klinis
Pasien dengan diare akut infektif datang dengan keluhan yang khas
yaitu nausea, muntah,nyeri abdomen, demam, dan tinja yang sering, bisa
air, malabsorptive atau berdarah tergantung bakteri pathogen yang
spesifik. Beberapa infeksi dapat menyebabkan demam, terutama infeksi
karena Shigella dan Campylobacter yang masuk ke lapisan usus dan
menyebabkan peradangan akut. Ketika ada kerusakan langsung pada
usus, darah mungkin berhubungan dengan diare, yang dikenal sebagai
disentri.[33]
Manifestasi klinis yang timbul jika dibagi dalam fase-fase diare akut
terdiri dari:[36]
1. Fase prodromal (sindroma pra-diare) : pasien mengeluh penuh di
abdomen, nausea, vomitus, berkeringat dan sakit kepala
2. Fase diare : pasien mengeluh diare dengan komplikasi (dehidrasi,
asidosis, syok, dan lain-lain), kolik abdomen, kejang dengan atau
tanpa demam, sakit kepala
3. Fase pemulihan : gejala diare dan kolik abdomen berkurang, disertai
fatigue.
H. Diagnosis dan Pemeriksaan Penunjang[33]
Pemeriksaan laboratorium pada penyakit diare ialah antara lain
meliputi: pemeriksaan tinja, makroskopis dan mikroskopis, pH dan
kadar gula dalam tinja dengan kertas laksmus dan tablet clinlinitest bila
diduga intoleransi gula, bila perlu dilakukan pemeriksaan biakan dan uji
resistensi, pemeriksaan gangguan keseimbangan asam-basa dalam darah
dengan menentukan pH dan cadangan alkali atau lebih tepat dengan
pemeriksaan analisa gas darah, pemeriksaan kadar ureum dan kreatinin
untuk mengetahui faal ginjal, pemeriksaan elektrolit terutama kadar
natrium, kalium, kalsium, dan fosfor dalam serum (terutama pada
penderita diare yang disertai kejang. Evaluasi laboratorium pasien diare
infeksi dimulai dari pemeriksaan feses adanya leukosit. Kotoran/tinja
biasanya tidak mengandung leukosit, jika ada, dianggap sebagai
inflamasi kolon baik infeksi maupun non infeksi . Sampel harus
diperiksa sesegera mungkin karena neutrofil cepat berubah. Sensitivitas
leukosit feses (Salmonella, Shigella, dan Campylocbacter) yang
dideteksi dengan kultur feses bervariasi dari 45%-95% tergantung jenis
patogenya. Pasien dengan diare berdarah harus dilakukan kultur feses
untuk EHEC 0157:H7. Pasien dengan diare berat, deman, nyeri
abdomen, atau kehilangan cairan harus diperiksa kimia darah, natrium
kalium, klorida ureum, kreatin, analisa gas darah, dan pemeriksaan darah
lengkap.
Pada pasien yang mengalami dehidrasi atau toksisitas berat atau
diare berlangsung lebih dari beberapa hari, diperlukan beberapa
pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan tersebut : pemeriksaan darah tepi
lengkap (hemoglobin, hematokrit, leukosit, hitung jenis leukosit), kadar
elektrolit serum, Ureum dan kreatinin, pemeriksaan tinja dan
pemeriksaan En-ym-linked immunosorbent assay(ELISA) mendeteksi
giardiasis dan test serologic amebiasis, dan foto x-ray abdomen. Pasien
dengan diare karena virus, biasanya memiliki jumlah dan hitung jenis
leukosit yang normal atau limfosiosis. Pasien dengan infeksi baktrer
terutama pada infeksi bakteri yang invasif ke mukosa, memiliki
leukositosis dengan kelebihan darah putih muda. Neutropenia dapat
timbul pada salmonellosis. Ureum dan kreatinin diperiksa untk
memeriksa adanya kekurangan volume cairan dan mineral tubuh
Pemeriksaan tin ja dilakukan untuk melihat adanya leukosit dalam tinja
yang menunjukkan adanya infeksi bakteri, adanya tclur cacing dan
parasit dewasa. Pasien yang telah mendapatkan pengobatan antibiotik
dalam 3 bulan sebelumnya atau yang mengalami diare di rumah sakit
sebaiknya diperiksa tinja untuk pengukuran toksin Clostridium difficile.
Rektoskopi atau sigmoidoskopi perlu dipertimbangkan pada pasien-
pasien yang toksik. pasien dengan diare berdarah, atau pasien dengan
diare akut persisten. Pada sebagian besar pasicn, sigmoidoskopi
mungkin adckuat sebagai pemeriksaan awal. Pada pasien dengan AIDS
yang mengalami diare, kolonoskopi dipertimbangkan karena
kemungkinan penyebab infcksi atau limfoma didaerah kolon kanan.
Biopsi mukosa sebaiknya dilakukan jika mukosa terlihat inflamasi berat.
I. Tatalaksana
Pengelolaan diare akut cair menurut Departemen Kesehatan adalah
penggantian cairan dan elektrolit tanpa melihat eiologi, tetap
memberikan makanan untuk menghindarkan efek buruk terhadap gizi
serta pemberian antibiotika dan antiparasit secara tidak rutin untuk
kasus-kasus tertentu. Hal ini sesuai dengan rekomendasi WHO.
Penambahan suplementasi seng. Pemberian rehidrasi per oral menjadi
pilihan uatama dalam terapi menggantikan cairan dan elektrolit yang
hilang pada diare. Rekomendasi terbaru dari WHO adalah penggunaan
cairan rehidrasi oral dengan osmolaritas lebih rendah. Sebelumnya
digunakan cairan rehidrasi oral dengan osmolaritas lebih rendah.
Sebelumnya digunakan cairan rehidrasi oral konsentrasi 31mOsm/1
dengan kandungan Natrium 90 mEq/1. Saat ini telah direkomendasikan
penggunaan cairan rehidrasi peroral yang mengandung natrium
75mEq/1, glukosa 75mmol/1 dengan osmolaritas total 245mOsm/1.
Pemberian cairan rehidrasi oral dengan osmolaritas rendah ini, telah
terbukti memperpendek durasi diare dan mengurangi penggunaan cairan
intravena untuk rehidrasi.[37][38]
Pemberian diet pada penderita diare dilakukan dengan tujuan
memberikan nutrisi dengan jumlah dan komposisi adekuat, sehingga
dapat mencukupi metabolism rumatan, serta mampu menyelamatkan
pertumbuhan dan mengganti kerusakan yang terjadi. Pemberian diet
diberikan segera setelah dehidrasi teratasi.[39]

Antibiotik tidak digunakan secara rutin dan penggunaannya terbatas.


Antibiotik tidak dibrikan pada kasus diare cair akut kecuali dengan
indikasi, yaitu pada diare berdarah dan kolera.
Trimetropim/sulfametoksazole paling sering digunakan dalam
pengobatandiare akut, antara lain untuk kasus dengan etiologi shigella,
Enterotoxigenic E. coli dan sebagian salmonella pada penderita
immunocompromised (bayi < 3-6 bulan, bakteriemia). Pada kasus kolera
dapat digunakan tetrasiklin atau trimetroprim/sulfametoksazol. Etiologi
Campylobacter digunakan eritromisin[40]

Pengunaan obat antimetik maupun antipristaltik tidak dianjurkan


pada anak. Rekomendasi UKK gastroente-hepatologi IDAI
menganjurkan pemberikan tablet seng selama 10-14 hari dengan dosis
10 mg pada usia <6 bulan dan 20mg bila >6 bulan. Pemberian seng
efektik dalam mengurangi durasi diare.[40]

Probiotik saat ini tealh banyak digunakan sebagai salah satu terapi
suportif diare akut. Hal ini berdasarkan peranannya dalam menjaga
keseimbangan flora usus normal yang mendasari terjadinya diare.[41]

J. Edukasi dan Pencegahan[42]


Cuci tangan yang benar dapat mencegah penyebaran diare menular.
Pasien dengan diare menular tidak boleh kembali bekerja, sekolah, atau
tempat penitipan anak sampai gejalanya hilang. Profesional harus
mendorong orang tua untuk memvaksinasi anak-anak mereka terhadap
rotavirus, etiologi umum dari diare virus.
Untuk mengurangi kemungkinan diare bagi wisatawan, anjurkan
pasien untuk minum air kemasan steril, menghindari buah-buahan dan
sayuran mentah, dan hanya makan makanan panas yang dimasak dengan
baik ketika mereka bepergian ke negara-negara berkembang. Air botolan
harus digunakan bahkan ketika menyikat gigi. Antibiotik profilaksis
untuk diare pada pelancong biasanya tidak dianjurkan. Antibiotik dapat
dipertimbangkan pada individu dengan penyakit medis yang
mendasarinya yang mungkin lebih terpengaruh oleh diare.
K. Komplikasi[43]
1. Dehidrasi
Dehidrasi meliputi dehidrasi ringan, sedang dan berat. Dehidrasi
ringan terdapat tanda atau lebih dari keadaan umumnya baik, mata
terlihat normal, rasa hausnya normal, minum biasa dan turgor kulit
kembali cepat. Dehidrasi sedang keadaan umumnya terlihat gelisah
dan rewel, mata terlihat cekung, haus dan merasa ingin minum
banyak dan turgor kulitnya kembali lambat. Sedangkan dehidrasi
berat keadaan umumnya terlihat lesu, lunglai atau tidak sadar, mata
terlihat cekung, dan turgor kulitnya kembali sangat lambat > 2 detik.
2. Hipernatremia
Hipernatremia biasanya terjadi pada diare yang disertai muntah,
10,3% anak yang menderita diare akut dengan dehidrasi berat
mengalami hipernatremia.
3. Hiponatremia
Hiponatremia terjadi pada anak yang hanya minum air putih saja atau
hanya mengandung sedikit garam, ini sering terjadi pada anak yang
mengalami infeksishigelladan malnutrisi berat dengan edema.
4. Hipokalemia
Hipokalemia terjadi karena kurangnyakalium (K) selama rehidrasi
yang menyebakan terjadinya hipokalemia ditandai dengan
kelemahan otot, peristaltik usus berkurang, gangguan fungsi ginjal,
dan aritmia.
5. Demam
Demam sering ditemui pada kasus diare. Biasanya demam timbul
jika penyebab diare berinvansi ke dalam sel epitel. Bakteri yang
masuk ke dalam tubuh dianggap sebagai antigen oleh tubuh. Bakteri
tersebut mengeluarkan toksin lipopolisakarida dan membran sel. Sel
yang bertugas menghancurkan zat-zat toksik atau infeksi tersebut
adalah neutrofil dan makrofag dengan cara fagosistosis. Sekresi
fagosik menginduksi timbulnya demam.

2.4. Dehidrasi
A. Definisi
Dehidrasi adalah kehilangan cairan yang tidak diimbangi dengan
kehilangan elektrolit dalam jumlah proposional, terutama natrium dapat
mengakibatkan dehidrasi. Dehidrasi diartikan sebagai kurangnya cairan
di dalam tubuh karena jumlah yang keluar lebih besar dari pada jumlah
yang masuk. Jika tubuh kehilangan banyak cairan, maka tubuh akan
mengalami dehidrasi.[44]
B. Klasifikasi[40]
Klasifikasi Dehidrasi berdasarkan defisiensi cairan
Kehilangan Berat Badan (%)

Bayi Anak

Dehidrasi Ringan 5% (50 ml/kg) 3% ( 30 ml/kg)

Dehidrasi Sedang 5-10% (50 – 100 6% ( 60 ml/kg)


ml/kg)
Dehidrasi Berat 10-15% (100- 9% ( 90 ml/kg)
150ml/kg)

1. Dehidrasi ringan
American Academy of Pediatrics merekomendasikan rehidrasi
oral untuk pasien dengan dehidrasi ringan. Bayi yang disusui harus
terus menyusui. Cairan dengan kadar gula tinggi dapat memperburuk
diare dan harus dihindari. Anak-anak dapat sering diberi makanan
yang sesuai dengan usia tetapi dalam jumlah kecil.
2. Dehidrasi sedang
Laporan Morbiditas dan Mortalitas Mingguan merekomendasikan
pemberian 50 mL hingga 100 mL larutan rehidrasi oral per kilogram
per berat badan selama dua hingga empat jam untuk menggantikan
perkiraan defisit cairan, dengan solusi rehidrasi oral tambahan, yang
diberikan untuk menggantikan kehilangan yang berkelanjutan.
3. Dehidrasi parah
Untuk pasien yang mengalami dehidrasi berat, restorasi cairan yang
cepat diperlukan. Pasien yang mengalami dehidrasi berat dapat
mengalami perubahan status mental, kelesuan, takikardia, hipotensi,
tanda-tanda perfusi yang buruk, denyut nadi benang lemah, dan
pengisian ulang kapiler yang tertunda.
C. Etiologi[44]
Dehidrasi diartikan sebagai kurangnya cairan di dalam tubuh karena
jumlah yang keluar lebih besar dari pada jumlah yang masuk. Jika tubuh
kehilangan banyak cairan, maka tubuh akan mengalami dehidrasi, Salah
satu faktor terjadinya dehidrasi adalah kelebihan berat badan
(overweight). Terjadinya penumpukan lemak tubuh pada orang obesitas
dapat meningkatkan berat badan tanpa menambah kandungan air dalam
tubuh.
Air dalam tubuh mengikuti keseimbangan dinamis berdasarkan
tekanan osmotik dan tonisitas. Normalnya terjadi keseimbangan cairan
antara yang masuk dan dikeluarkan tubuh. Asupan air yang tinggi akan
menurunkan osmolitas plasma dan peningkatan volume arteri efektif
sehingga menyebabkan regulasi osmotik dan regulasi vilume
teraktivitasi. Kekurangan cairan atau air minum dapat meningkatkan
konsentrasi ionik pada kompertemen ekstrakuler dan terjadi pengerutan
sel sehingga menyebabkan sensor otak untuk mengontrol minum dan
mengontrol ekskresi urin. Pada stadium permulaan water depletion, ion
natrium dan chlor ikut menghilang dengan cairan tubuh, tetapi kemudian
terjadi reabsorpsi ion melalui tubulus ginjal yang berlebihan, sehingga
ekstraseluler mengandung natrium dan chlor berlebihan dan terjadi
hipertoni. Hal ini menyebabkan air akan keluar dari sel sehingga terjadi
dehidrasi intraseluler dan inilah yang menimbulkan rasa haus. Selain itu
timbul perangsangan terhadap hipofisis yang kemudian melepaskan
hormon antidiuretik sehingga terjadinya oligura. Hal ini menimbulkan
rasa haus , air liur kering, badan terasa lemas dan berhalusinasi
D. Epidemiologi[2]
Diare merupakan salah satu keluhan yang sering dijumpai pada
orang dewasa. Diperkirakan orang dewasa tiap tahunnya mengalami
diare akut sebanyak 99.000.000 kasus. Amerika Serikat sekitar
8.000.000 pasien berobat ke dokter dan lebih dari 250.000 pasien
dirawat di rumah sakit setiap tahunnya (1.5% merupakan pasien
dewasa). Kebanyakan kasus kematian terjadi berhubungan dengan
kejadian diare pada anak atau lanjut usia yang dimana pada usia tersebut
pasien rentan terhadap dehidrasi berat. Kejadian diare di negara-negara
berkembang salah satunya Indonesia lebih banyak sekitar 2-3 kali jika
dibandingkan dengan negara maju.

E. Manifestasi Klinis[2][40]
1. Dehidrasi ringan (hilang cairan 2-5% BB): gambaran klinisnya
turgor kurang, suara serak( vox cholerica) , pasien belum jatuh dalam
presyok.
2. Dehidrasi sedang(hilang cairan 5-8% BB): turgor buruk, suara serak,
pasien jatuh dalam presyok atau syok, nadi cepat, napas cepat dan
dalam.
3. Dehidrasi berat(hilang cairan 8-10% BB): tanda dehidrasi sedang
ditambah kesadaran menurun (apatis sampai koma), otot-otot kaki
dan sianosis.
Manifestasi klinis berdasarkan derajat dehidrasi adalah sebagai berikut :
Penilaian A B C
Lihat : Baik, sadar Gelisah, rewel Lemah, lesu,
Keadaan umum tidak sadar
Mata Normal Cekung Sangat
cekung dan
kering
Air mata Ada Tidak ada Sangat kering
Mulut dan Basah Kering *malas
lidah Minum biasa *haus, ingin minum atau
Rasa haus tidak haus minum banyak tidak bisa
minum
Periksa : turgor Kembali *kembali *kembali
kulit cepat lambat sangat lambat
Hasil Tanpa Dehidrasi Dehidrasi
pemeriksaan : dehidrasi ringan/sedang berat
Bila ada 1 Bila ada 1
tanda * tanda *
ditambah 1 atau ditambah 1
lebih tanda lain atau lebih
tanda lain
Terapi Rencana Rencana Terapi Rencana
Terapi A B Terapi C
F. Diagnosis[45]
Standar emas untuk mendiagnosis dehidrasi adalah dengan
mengukur kehilangan berat badan akut tetapi oleh karena berat badan
sebelum sakit pada umumnya tidak diketahui, maka perkiraan
kehilangan cairan dilakukan berdasarkan penilaian klinis. Penilaian
klinis dehidrasi berbeda-beda. Penilaian menurut World Gastrointestinal
Organization (WGO) meliputi kesadaran, mata cekung, rasa haus, serta
turgor kulit. Menurut Guandalini, penilaian dehidrasi yang paling baik
adalah menilai pemanjangan pengisian kapiler perifer, turgor kulit, dan
pola pernafasan. Kegagalan menegakkan diagnosis dehidrasi
mengakibatkan peningkatan morbiditas dan mortalitas, sedangkan
overdiagnosis menimbulkan penggunaan sumber kesehatan yang
berlebihan.
G. Tatalaksana
Pasien harus diminta untuk minum jus buah encer, Pedialyte atau
Gatorade. Pada kasus diare yang lebih parah, rehidrasi cairan IV
mungkin diperlukan. Mengonsumsi makanan yang rendah serat bisa
membantu membuat feses lebih kencang. Diet 'BRAT' yang lunak
termasuk pisang, roti panggang, oatmeal, nasi putih, saus apel dan sup /
kaldu dapat ditoleransi dengan baik dan dapat meningkatkan gejala.[42]
1. Larutan rehidrasi intravena (IV):[46]
a. 5% Dextrose dalam 0,9% Sodium Chloride (Saline Normal) +/-
aditif kalium
b. 5% Dextrose dalam 0,45% Sodium Chloride (Half Normal
Saline) +/- aditif kalium
c. Ringer Laktat
2. Media penyalur larutan:[46]
a. Tabung nasogastrik Tabung Orogastrik
b. Tabung lambung
c. Tabung Nasoduodenal
d. Tabung gastrojejunal
3. Larutan rehidrasi oral:[46]
a. Larutan rehidrasi komersial
b. Larutan rehidrasi WHO
c. Pemberian makanan bayi (ASI atau susu formula)
d. Minuman olahraga yang tersedia secara komersial
H. Komplikasi
Jika dehidrasi segera diobati, perkembangannya dapat ditahan dan
komplikasinya dihindari. Tetapi jika dehidrasi berlanjut, mekanisme
kompensasi mulai gagal, sehingga terjadi penurunan perfusi jaringan.14
Komplikasi dehidrasi termasuk syok, trombosis vena, kejang yang tidak
terobati, dan gagal ginjal.[47]
I. Edukasi dan Pencegahan[44]
Untuk pencegahan dan edukasi nya dapat dilakukan seperti ditempat
yang panas harus minum sesering mungkin 150–200 cc air setiap 15–20
menit sekali perlu adanya penyuluhan dan edukasi tentang pentingnya
air minum dan bahaya dehidrasi.
BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Pria 28 tahun mengalami gastroenteritis yang disertai dehidrasi.
DAFTAR PUSTAKA

1. Sattar SBA, Singh S. Bacterial Gastroenteritis. [Updated 2019 Mar 8]. In:
StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2020
Jan-. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK513295/
2. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam Jilid II edisi V. Jakarta: Interna Publishing; 2009.
3. Jellife. Kesehatan Anak di Daerah Tropis. Jakarta : Bumi Aksara; 2009.
4. Waspodo, D. Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan
Neonatal. Jakarta : EGC; 2012.
5. Sunoto. Gastroenteritis Masalah dan Penatalaksanaannya. Jakarta : Ikatan
Dokter Indonesia; 2012.
6. Depkes RI. Profil Kesehatan Indonesia 2007. Jakarta. Depkes RI. 2007.
7. Monroe SS. Control and Prevention of Viral Gastroenteritis. Emerging
Infectious Diseases. 2011;17(8):1347-1348.
8. Amin L. Tatalaksana Diare Akut. Continuing Medical Education.
2015;42(7):504-8.
9. Wedayanti DPK. PBL Gastroenteritis Akut. Bali: FK Udayana. 2017.
10. Wedayanti DPK. Kepaniteraan Klinik Madya Bagian/AMF Ilmu Penyakit
Dalam. Bali: FK Udayana. 2017.
11. WGO. Acute Diarrhea in Adults and Children : A Global Perspective.
World Gastroenterology Organizat ion. 2012.
12. Diskin A. What is included in patient education about gastroenteritis?.
Medscape. Updated: Feb 10, 2017. Cited : Feb 11, 2020. from:
https://www.medscape.com/answers/775277-176879/what-is-included-in-
patient-education-about-gastroenteritis
13. Elliott EJ. Acute gastroenteritis in children. BMJ. 2007; 334(7583): 35–40.
14. Keshav A, Bailey A. The Gastrointestinal System at a Glance. Second
Edition. UK: Wiley-Blackwell. 2013.
15. Sobel, J. Botulism. Clinical Infectious Diseases. 2005;41(8):1167-1173.
16. Natalia L, Priadi A. Botulismus : Patogenesis, Diagnosis, dan Pencegahan.
Bogor: Balai Besar Penelitian Veteriner. 2012.
17. Jeffery LA, Karim S. Botulism. [Updated 2019 Nov 30]. In: StatPearls
[Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2020 Jan-.
Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK459273/
18. Lindstrom MH, Korkeala. Laboratory diagnostic of botulism. Clin.
Microbiol. Rev. 2006;19(2):298 – 314.
19. CDC. Botulism. Updated: August 19, 2019. Cited: Feb 11, 2020.
https://www.cdc.gov/botulism/definition.html
20. Arnon SS, Schechter R, Thomas V, Ingelsby MD. Henderson DA, Bartlett
JG, dkk. Botulinum toxin as biological weapon. JAMA. 2001;285(8):
1059 – 1070
21. Dembek ZF, Smith LA, Rusnak JM. Botulinum Toxin. Medical Aspects of
Biological Warfare. Chap. 16. US Army Medical Department. Borden
Institute. 2001:337 – 353.
22. Kruger M, Hereenthey AG, Schrold W, Gerlach A, Rodloff A. Visceral
botulism at dairy farms in Schleswig Holstein, Germany- Prevalence of
Clostridium botulinum in feces of cows, in animal feeds, in feces of the
farmers and in house dust. Anaerobe. 2012;30:1 – 3.
23. Varma JK, Katsitadze G, Moiscrafishvili. Signs and symptoms predictive
of death in patients with foodborne botulism- Republic of Georgia, 1980 –
2002. Clin. Infect. Dis. 2004;39: 357 – 362.
24. Palma NZ, da Cruz M, Fagundes V, Pires L. Foodborne Botulism:
Neglected Diagnosis. Eur J Case Rep Intern Med. 2019;6(5):001122.
Published 2019 May 17. doi:10.12890/2019_001122
25. World Health Organization. Botulism. Fact Sheets Publishing; 10 January
2018. Available from: https://www.who.int/en/news-room/fact-
sheets/detail/botulism
26. Suardana WI. Botulismus pada manusia. Laboratorium Kesehatab
Masyarakat Veteriner Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana.
Jurnal Veteriner;2001.
27. Vila J, Vargas M, Ruiz J, Corachan M, De Anta MTJ, Gascon J: Quinolon
Resisten in Enterotoxigenic E.colli causing Diarrhea in Travelers to India
in Comparison with other Geographycal Areas. Antimicrobial Agents and
Chemotherapy. June 2000.
28. Suzanna I. Park and Ralph A. Giannela Approach to the adult patient with
acute diarrhoea In: Gastroenerology Clinics of North America. XXII (3).
Philadelphia. WB Saunders. 1993.
29. Depkes RI, Direktorat Jendral PPM & PL th 2005, Keputusan Menkes RI
no 1216/MENKES/SK/XI/2001 tentang Pedoman Pemberantasan Penyakit
Diare, edisi 4.
30. Cook GC. Manson’s Tropical Diseases twentieth eition. Saunders. 1996.
31. Setiawan B, Diare akut karena infeksi, Dalam: Sudoyo A, Setyohadi B.
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid 3. Edisi IV. Jakarta. Departemen
IPD FK UI Juni 2006.
32. Adyanastri F. Etiologi dan Gambaran Klinis Diare Akut di RSUP Kariadi
Semarang. Semarang: FK Undip. 2012.
33. Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, Stiyohadi B, Syam AF. Buku ajar ilmu
penyakit dalam jilid II. VI. Jakarta: InternaPublishing; 2014.
34. Depertemen Kesehatan RI. 2011. Pedoman Pemberantasan Penyakit Diare.
Jakarta: Ditjen PPM dan PL.
35. Sudoyo AQ, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, dan Setiati S.Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam. Jidil I Edisi IV.Jakarta: Perhimpunan Dokter
Spesialis Penyakit Dalam.
36. Kolopaking MS. Penatalaksanaan muntah dan diare, akut. Dalam : Alwi 1,
Bawazier LA, Kolopaking MS, Syam AF, et al (ed). Penatalaksanaan
kedaruratan di Bidang Ilmu Penyakit Dalam II Jakarta. Bagian Ilmu
Penyakit Dalam FKUI. 2002.
37. WHO. The treatment of diarrhea, a manual for physicians and other senior
health workers. 4th rev. Geneva, Switzerland :WHO Document Production
Services; 2006.
38. Departemen Kesehatan RI. Profil Kesehatan Indonesia 2003. Jakarta :
Departemen Kesehatan RI; 2005.
39. Guidelines for management of acute diarrhea after a disaster. CDC; 2009.
40. Juffrie, M., et al. Diare persisten. In : Modul Pelatihan Diare. 1st ed. UKK
Gastro-Hepatologi IDAI. 2009;29-45.
41. Michael, Marteau PR. Probiotics and prebiotics: effects on diarrhea. J
Nutr. 2007;137:8035-8011S.
42. Nemeth V, Zulfiqar H, Pfleghaar N. Diarrhea. [Updated 2019 Jun 22]. In:
StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2020
Jan-. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK448082/
43. Kementerian Kesehatan RI. Situasi Diare di Indonesia. Jakarta. 2011.
44. Sari NA, Nindya TS. HUBUNGAN ASUPAN CAIRAN, STATUS GIZI
DENGAN STATUS HIDRASI PADA PEKERJA DI BENGKEL DIVISI
GENERAL ENGINEERING PT PAL INDONESIA. Media Gizi
Indonesia. 2017;12(1):47-53.
45. Vafaee A, Moradi A, Khabazkhoob M. Case-control study of acute
diarrhea in children. J Res Health Sci. 2008;8:25-32.
46. Castera MR, Borhade MB. Fluid Management. [Updated 2019 Jun 3]. In:
StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2020
Jan-. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK532305/
47. Collins Magdalena, Claros Edith. Recognizing the face of dehydration.
Nursing.2011;8(41):26-31. doi:10.1097/01.NURSE.0000399725.01678.b7

Anda mungkin juga menyukai