Laporan DKP2
Laporan DKP2
MODUL GASTROINTESTINAL
DISUSUN OLEH:
KELOMPOK 2
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
2020
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Pemicu
Seorang laki-laki berusia 28 tahun datang ke Unit Gawat Darurat RS
pada malam hari dengan keluhan buang air besar cair. Keluhan dirasakan
sejak pagi hari dan terus sampai malam hari. Buang air besar cair sudah 7
kali dalam satu hari, dengan awalnya lembek, kemudian cair dan 2 kali
terakhir hanya air saja yang keluar. Buang air besar tidak disertai lendir,
tidak disertai darah. Saat buang air besar terkadang seperti menyemprot.
Pasien mengeluhkan mual tetapi tidak sampai muntah, serta sakit di bagian
perut daerah pusar sampai perut bagian bawah. Pasien merasa lemas dan
sedikit pusing. Pasien mengatakan beberapa kali mengalami buang air besar
cair tetapi tidak sebanyak dan selama ini. Pasien sudah mengkonsumsi obat
anti diare sebanyak 2 tablet dari pagi hari tetapi belum ada perbaikan.
Pasien merupakan pekerja swasta dengan kesibukan yang cukup padat
sehingga pola makan tidak teratur. Jenis makanan yang dikonsumsi pun
tidak banyak variasinya seperti mie instan, gorengan dan minuman-
minuman dingin. Pasien tidak memiliki alergi terhadap makanan tertentu,
dan malam sebelumnya mengaku makan makanan kaleng.
Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan: BB 57 Kg, TB 165 cm, TD
110/60mmHg, Nadi 108 x/menit, respirasi 22x/menit, suhu 36,1° C.
kesadaran compos mentis, keadaan umum tampak pucat dan sakit berat,
thorax dalam batas normal, terdapat nyeri tekan di regio abdomen inferior
dextra et sinistra, peristaltik meningkat 20x/menit, turgor kulit menurun,
akral manus dan pedis dingin. Dari pemeriksaan feses didapatkan hasil
berupa konsistensi cair, warna kekuningan, pH 9, tanpa darah dan lender,
serta tidak terdapat bakteri dalam feses.
DD:
Gastroenteritis
Botulisme
Diare Akut
Pemeriksaan Penunjang
Diagnosis Utama
Tatalaksana
1.6. Hipotesis
Pria 28 tahun mengalami gastroenteritis yang disertai dehidrasi.
2. Komplikasi Botulisme
a) Definisi
b) Etiologi
c) Epidemiologi
d) Klasifikasi
e) Faktor Resiko
f) Prognosis
g) Patofisiologi
h) Manifestasi Klinis
i) Diagnosis dan Pemeriksaan Penunjang
j) Tatalaksana
k) Edukasi dan Pencegahan
l) Komplikasi
3. Diare Akut
a) Definisi
b) Etiologi
c) Epidemiologi
d) Klasifikasi
e) Faktor Resiko
f) Prognosis
g) Patofisiologi
h) Manifestasi Klinis
i) Diagnosis dan Pemeriksaan Penunjang
j) Tatalaksana
k) Edukasi dan Pencegahan
l) Komplikasi
4. Dehidrasi
a) Definisi
b) Klasifikasi
c) Etiologi
d) Epidemiologi
e) Manifestasi Klinis
f) Diagnosis
g) Tatalaksana
h) Komplikasi
i) Edukasi dan Pencegahan
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Gastroenteritis
A. Definisi
Gastroentritis berasal dari kata Yunani gastron, yang berarti lambung
dan enteron yang berarti usus kecil. Sehingga gastroenteritis adalaha
infeksi lambung dan usus kecil. Secara medis, gastroenteritis
didefinisikan sebagai penyakit diare, dengan kata lain, peningkatan
frekuensi buang air besar dengan atau tanpa muntah, demam, dan sakit
perut.[1]
B. Etiologi[2]
Gastroenteritis akut dapat disebabkan oleh berbagai macam faktor,
World Gastroenterology Organisation mengatakan terdapat beberapa
agen yang bisa mengakibatkan terjadinya gastroenteritis akut yaitu agen
infeksi dan non-infeksi. Faktor infeksi dapat berupa sebagai berikut:
1. Virus
Virus merupakan penyebab tersering terjadinya gastroenteritis di
negara berkembang dan industrial. Beberapa virus penyebabnya
yaitu Rotavirus, Human Caliciviruses (HuCVs), Adenovirus.
2. Bakteri
Infeksi bakteri juga menjadi salah satu penyebab terjadinya
gastroenteritis akut yang sering disebabkan oleh Diarrheagenic,
Escherichia coli, Shigella species, Vibrio cholera dan Salmonella.
1. Imunodefisiensi
2. Terapi obat
Orang yang mengonsumsi antibiotic, antasida dan masin dalam masa
kemoterapi juga dapat menyebabkan gastroenteritis akut. Tindakan
gastrektomi, terapi radiasi dengan dosis tinggi, neuropati diabetes
juga dapat mengakibatkan gastroenteritis akut.
C. Epidemiologi
1. Distribusi
1) Distribusi Berdasarkan Orang[3]
Gastroenteritis merupakan salah satu penyakit infeksi yang
terjadi diseluruh dunia. Gastroenteritis sering terjadi pada bayi
yang berumur 0-12 bulan atau dibawah satu tahun, Kejadian
gastroenteritis pada laki-laki hampir sama dengan perempuan.
Gastroenteritis lebih sering terjadi pada anak-anak dan lansia
disebabkan daya tahan tubuh yang lemah dan mudah mengalami
dehidrasi. Gastroenteritis biasanya terjadi pada masyarakat yang
berpendidikan rendah dan berpendapatan rendah, hal ini
dikaitkan dengan tingkat kesehatan yang kurang.
2) Distribusi Berdasarkan Tempat[3]
Gastroenteritis merupakan salah satu penyebab kematian bayi
di daerah tropis. Di negara yang sedang berkembang, kejadian
gastroenteritis lebih tinggi pada penduduk perkotaan yang padat
dan kumuh. Sedangkan di negara maju dengan tingkat
pendidikan dan kesehatan tinggi, kejadian gastroenteritis jauh
lebih rendah. Hal ini erat kaitannya dengan kurangnya
pencemaran minuman pada anak dan sebagian lagi dikarenakan
faktor pencegahan imunologik dari ASI.
3) Distribusi Berdasarkan Waktu[4]
Di negara-negara yang beriklim empat musim, gastroenteritis
yang disebabkan oleh bakteri sering terjadi pada musim panas,
sedangkan yang disebabkan oleh virus terjadi pada musim
dingin. Di Indonesia, gastroenteritis yang disebabkan oleh
rotavirus dapat terjadi sepanjang tahun, dengan puncak kejadian
pada pertengahan musim kemarau (Juli-Agustus), sedangkan
yang disebabkan oleh bakteri puncaknya pada pertengahan
musim hujan (Januari-Februari).
2. Frekuensi[5]
Gastroenteritis merupakan penyebab utama kesakitan dan
kematian pada bayi dan anak-anak di negara berkembang. Menurut
Centers of Disease and Prevention (CDC) terdapat 1,3 miliar kasus
gastroenteritis dan 3,2 juta kematian setiap tahunnya pada bayi dan
balita. Secara keseluruhan anak mengalami ratarata 3,3 kasus
gastroenteritis pertahun dan terdapat lebih dari 9 episode
pertahunnya. Sekitar 80% bayi dan balita disebabkan oleh dehidrasi
sebagai akibat kehilangan cairan elektrolit melalui tinjanya. Menurut
laporan Departemen Kesehatan Indonesia setiap anak mengalami
gastroenteritis (diare) 1,6-2 kali setahun. Hasil Riset Kesehatan
Dasar (Riskesdas) yang dilaksanakan dibeberapa Propinsi di
Indonesia pada tahun 2011, melaporkan bahwa angka nasional
prevalensi klinis gastroenteritis sebesar 9,0%, dengan rentang 4,2%-
18,9%. Beberapa provinsi mempunyai prevalensi gastroenteritis
diatas angka nasional (9%) di 14 provinsi, prevalensi tertinggi di
NAD sebesar 18,9% dan terendah di DI Yogyakarta sebesar 4,2%.13
Pada tahun 2010 terdapat 318 penderita gastroenteritis yang dirawat
inap di RSUD Puri Husada Tembilahan dengan dehidrasi ringan
sebanyak 98 orang, dehidrasi sedang sebanyak 148 orang dan
dehidrasi berat sebanyak 72 orang.
D. Klasifikasi
Klasifikasi gastroenteritis menurut depkes RI 2007 , diare
diklasifikasikan menjadi diare akut dan kronis.[6]
2.2. Botulisme
A. Definisi
Botulisme adalah kondisi keracunan serius yang disebabkan oleh
toksin dari bakteri Clostridium botulinum. Toksin yang dihasilkan
bakteri ini menyerang sistem saraf otak, tulang belakang, dan saraf
lainnya, serta dapat menyebabkan paralisis atau kelumpuhan otot.[15]
B. Etiologi
Botulisme merupakan penyakit yang bersifat neuroparalitik
(melumpuhkan syaraf), dan biasanya berakibat fatal. Penyakit ini dapat
menyerang manusia, unggas, hewan mamalia, dan ikan yang disebabkan
karena paparan toksin dari berbagai biotipe Clostridium botulinum (C.
botulinum). Pada manusia, telah dikenal food borne botulism
(botulismus akibat tertelannya C. botulinum dan neurotoksinnya
bersama makanan), infant botulism (botulismus akibat tertelannya spora
C. botulinum toksigenik), infectious botulism (botulismus akibat
berkembangnya C. botulinum dalam usus setelah proses pembedahan
atau luka di daerah perut) dan inhalation botulism atau botulismus akibat
terhirupnya neurotoksin botulinum melalui saluran pernafasan.[16]
C. Epidemiologi[17]
Sejak 1973, Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC)
telah mempertahankan Sistem Surveilans Botulisme Nasional untuk
memantau kasus-kasus botulisme di Amerika Serikat. Dalam 5 tahun
dari 2011 hingga 2015, rata-rata 162 kasus botulisme tahunan
dilaporkan. Proporsi masing-masing dari setiap jenis botulisme berkisar
dari 71% hingga 88% untuk infant botulism, 1% hingga 20% untuk
botulisme bawaan makanan, 5% -10% untuk botulisme luka, dan 1%
hingga 4% untuk botulisme asal lain atau tidak diketahui. Dengan
pengecualian jarang, wabah besar (yaitu, wabah botulisme bawaan
makanan di Ohio pada April 2015 menyumbang 27 kasus saja), jumlah
total kasus botulisme dan proporsi relatif dari masing-masing subtipe
tetap relatif stabil selama 10 tahun terakhir. Tidak ada kasus botulisme
yang dilaporkan karena bioterorisme di Amerika Serikat, dan hanya satu
kasus botulisme iatrogenik yang dilaporkan, yang dihasilkan dari
penggunaan BoNT konsentrasi tinggi dan tidak berlisensi.
Mortalitas akibat botulisme rendah. Sebelum 1950-an, angka
kematian untuk botulisme bawaan makanan adalah 60-70%. Untuk
periode 1975-2009, kematian secara keseluruhan adalah 3,0% dengan
109 kematian terkait botulisme di antara 3.618 kasus botulisme. Ada 18
[kurang dari 1%] kematian dari 2352 kasus botulisme bayi, 61 [7,1%]
kematian dari 854 kasus botulisme bawaan makanan, 18 [5,0%]
kematian dari 359 kasus botulisme luka, dan 12 [22,6%] kematian dari
53 kasus botulisme dari asal lain atau tidak diketahui.
D. Klasifikasi[18]
Botulismus pada manusia terdapat 3 jenis yaitu:
G. Manifestasi Klinis
Botulismus dapat terjadi pada manusia dan hewan dengan cara yang
sama, yaitu melalui makanan, intestinal toxico infection, dan infeksi
luka. Botulismus yang tidak mendapatkan pertolongan medis biasanya
berakibat fatal. Kecepatan timbulnya gejala, keparahan dan lamanya
penyakit tergantung pada jumlah toksin dan tipe toksin yang masuk ke
dalam tubuh. Pada botulismus yang disebabkan oleh makanan, gejala
mulai tampak beberapa jam sampai beberapa hari (2 – 8 hari) setelah
tertelannya makanan yang terkontaminasi. Umumnya terjadi dalam 12 –
72 jam setelah makan.[21] Gejala dari foodborne botulism yang
disebabkan toksin C. botulinum serotipe A biasanya lebih parah
dibandingkan dengan serotipe B dan menyatakan bahwa tipe toksin C.
botulinum yang ditemukan pada manusia dan sapi berbeda. Toksin tipe
A secara dominan ditemukan pada feses sapi sedangkan tipe E
ditemukan sebagai penyebab botulism pada manusia yang terserang dan
pakan hewan yang terkontaminasi.[22]
Sebagai penyakit yang berakibat neuroparalysis, botulismus
merupakan penyakit akut, simetrik, descending, flaccid paralysis pada
manusia atau hewan. Yang terserang foodborne botulismus, mulamula
memperlihatkan gejala gastrointestinal seperti mual, muntah, kram perut,
mulut kering dan diare. Gejala syaraf awal biasanya, menyerang syaraf
bagian kepala seperti pandangan kabur, kelopak mata jatuh, fotofobia,
dan disfungsi syaraf seperti kekakuan sendi, gangguan bicara dan tidak
dapat menelan makanan. Kelemahan otot dimulai dari otot yang
menggerakkan kepala, otot lengan atas, otot pernafasan dan yang
terakhir otot tungkai bagian bawah. Kelemahan ini biasanya berlangsung
secara simetrik. Kematian biasanya akibat dari kegagalan sistem
pernafasan. Gejala klinis yang timbul akibat terhirupnya toksin melalui
saluran nafas (biasanya terjadi di laboratorium) menimbulkan gejala
klinis yang serupa dengan foodborne botulism.[23]
H. Diagnosis dan Pemeriksaan Penunjang
Manifestasi klinis bervariasi dan mungkin terkait dengan jenis
toksin. Toksin tipe A menyebabkan sindrom paling parah, dan memiliki
proporsi tertinggi pasien yang membutuhkan ventilasi mekanis. Toksin
tipe B tampaknya menyebabkan penyakit yang lebih ringan, dan
umumnya gejala otonom mendahului kelemahan otot. Sebagian besar
kasus botulisme dikaitkan dengan daging, ikan, dan sayuran yang
diawetkan di rumah. Di Eropa, botulisme bawaan makanan sering terkait
dengan daging yang diawetkan di rumah, seperti sosis dan ham. Spora
Clostridium botulinum tahan panas, mudah bertahan pemanasan hingga
100 ° C pada 1 atm selama 5 jam atau lebih. Namun, spora dapat
dihancurkan dengan memanaskan hingga 120 ° C selama 5 menit, tetapi
tidak semua makanan cocok untuk perlakuan panas tersebut. Pemrosesan
dan penyimpanan yang memadai harus menjadi perhatian pertama.[24]
Diagnosis biasanya didasarkan pada riwayat klinis dan pemeriksaan
klinis diikuti oleh konfirmasi laboratorium termasuk menunjukkan
adanya toksin botulinum dalam serum, tinja atau makanan, atau kultur C.
botulinum dari tinja, luka atau makanan. Kesalahan diagnosis botulisme
kadang-kadang terjadi karena sering dikelirukan dengan stroke, sindrom
Guillain-Barré, atau myasthenia gravis.[25]
Antitoksin harus diberikan sesegera mungkin setelah diagnosis
klinis. Deteksi dini efektif dalam mengurangi angka kematian. Kasus
botulisme yang parah memerlukan perawatan suportif, terutama ventilasi
mekanik, yang mungkin diperlukan selama berminggu-minggu atau
bahkan berbulan-bulan. Antibiotik tidak diperlukan (kecuali dalam
botulisme luka). Vaksin terhadap botulisme ada tetapi jarang digunakan
karena efektivitasnya belum sepenuhnya dievaluasi dan telah
menunjukkan efek samping negatif.[25]
I. Tatalaksana[17]
Pengobatan botulisme terdiri dari pemberian antitoksin, perawatan di
rumah sakit, pemantauan ketat, dukungan pernapasan sesuai kebutuhan,
dan debridemen ditambah antibiotik dalam kasus botulisme luka. Setiap
pasien dengan presentasi klinis mengenai botulisme harus segera dirawat
di rumah sakit untuk observasi ketat. Terapi antitoksin yang tersedia
untuk penyedia layanan kesehatan saat ini ada dalam dua bentuk:
heptavalent equine serum antitoxin, diindikasikan untuk pasien yang
lebih tua dari 1 tahun, dan human-derived immunoglobulin,
diindikasikan untuk bayi di bawah usia 1. heptavalent equine serum
antitoxin mengandung antibodi untuk BoNT / A -BoNT / G.
Jika kecurigaan tinggi dan gejalanya berkembang, segera diperoleh
dan pemberian antitoksin. Dosis untuk orang dewasa adalah satu botol.
Dosis untuk bayi, anak-anak, dan remaja harus ditetapkan bersama
dengan Kontrol Racun.
Pemantauan ketat harus mencakup evaluasi klinis ventilasi, perfusi,
dan integritas jalan napas bagian atas, oksimetri nadi terus menerus,
spirometri, dan pengukuran gas darah arteri. Intubasi harus
dipertimbangkan untuk pasien dengan gangguan jalan nafas atas atau
kapasitas vital yang kurang dari 30% dari yang diperkirakan.
Untuk botulisme luka, debridemen dan terapi antibiotik
diindikasikan setelah pemberian antitoksin. Regimen yang sesuai
termasuk tiga juta unit Penicillin G intravena (IV) setiap 4 jam, atau
metronidazole 500 mg setiap 8 jam untuk pasien alergi penisilin.
Aminoglikosida relatif kontraindikasi karena telah terbukti
mempotensiasi blokade neuromuskuler yang disebabkan oleh botulisme.
Antibiotik tidak boleh digunakan pada botulisme bayi karena
kemungkinan pelepasan BoNT setelah lisis sel. Terapi tambahan
termasuk nutrisi parenteral total dalam kasus ileus parah dan irigasi usus
besar dalam kasus botulisme bawaan makanan tanpa ileus berat.
Tindakan lain
Etiologi diare akut pada 25 tahun yang lalu sebagian besar belum
diketahui, akan tetapi sekarang lebih dari 80% penyebabnya telah
diketahui. Terdapat 25 jenis mikroorganisme yang dapat menyebabkan
diare. Penyebab utama oleh virus adalah rotavirus (40-60%) sedangkan
virus lainnya ialah virus norwalk, astrovirus, calcivirus, coronavirs,
minirotavirus, dan virus bulat kecil.[29]
C. Epidemiologi
Diare sampai saat ini masih merupakan masalah kesehatan tidak saja
di negara sedang berkembang tetapi juga di negara-negara maju.
Walaupun di negara maju sudah mendapatkan pelayanan kesehatan yang
tinggi dan sosial ekonomi yang baik tetapi penyakit diare tetap sesuatu
penyakit yang mempunyai angka kesakitan yang tinggi yang biasanya
disebabkan oleh foodborne infection dan waterborn infection yang
disebabkan karena bakteri Shigella sp, Campylobacter jejuni,
Staphylococcus aureus, Basillus cereus, Clostridium prefingens,
Enterohemorrhagic Eschersia colli (EHEC). Di negara maju insidensi
penyakit diare terdapat 0,5-2 pertahun dan di negara berkembang lebih
dari dari negara maju.[30]
Selama tahun 2000, dari 26 propinsi cakupan penemuan dan
pengobatan penderita sebanyak 3.370.668 orang dan jumlah KLB selama
tahun tersebut ada 65 kejadian tersebar di 13 provinsi dengan jumlah
penderita 4.127 orang dan kematian 59 orang. Penderita diare tertinggi di
Kalimantan Selatan (1744 orang), Bali 9677 orang), Sulawesi Utara (476
orang), Jambi (328 orang), Sumatra Utara (310 orang), Sulawesi Selatan
(160 orang), Sulawesi Tengah (115 orang) dan Jawa Tengah (88 orang)
yakni urutan ke delapan, sedangkan urutan jumlah dengan kematian
tertinggi berturut-turut adalah Sulawesi utara, Maluku, dan jawa
Tengah.[31]
D. Faktor Resiko
Beberapa kelompok yang mempunyai faktor risiko tinggi untuk
terkena diare yaitu orang yang baru saja berpergian ke negara
berkembang, daerah tropis, kelompok perdamaian dan pekerja sukarela,
orang yang sering berkemah (dasar berair), makanan dalam keadaan
yang tidak biasa: makanan laut dan shell fish, terutama yang mentah,
restoran dan rumah makan cepat saji, homoseksual, dan pada
penggunaan anti mikroba jangka lama di rumah sakit Institusi kejiwaan
atau mental.[32]
Keadaan risiko dan kelompok risiko tinggi yang mungkin mengalami
diare infeksi:[33]
Probiotik saat ini tealh banyak digunakan sebagai salah satu terapi
suportif diare akut. Hal ini berdasarkan peranannya dalam menjaga
keseimbangan flora usus normal yang mendasari terjadinya diare.[41]
2.4. Dehidrasi
A. Definisi
Dehidrasi adalah kehilangan cairan yang tidak diimbangi dengan
kehilangan elektrolit dalam jumlah proposional, terutama natrium dapat
mengakibatkan dehidrasi. Dehidrasi diartikan sebagai kurangnya cairan
di dalam tubuh karena jumlah yang keluar lebih besar dari pada jumlah
yang masuk. Jika tubuh kehilangan banyak cairan, maka tubuh akan
mengalami dehidrasi.[44]
B. Klasifikasi[40]
Klasifikasi Dehidrasi berdasarkan defisiensi cairan
Kehilangan Berat Badan (%)
Bayi Anak
1. Dehidrasi ringan
American Academy of Pediatrics merekomendasikan rehidrasi
oral untuk pasien dengan dehidrasi ringan. Bayi yang disusui harus
terus menyusui. Cairan dengan kadar gula tinggi dapat memperburuk
diare dan harus dihindari. Anak-anak dapat sering diberi makanan
yang sesuai dengan usia tetapi dalam jumlah kecil.
2. Dehidrasi sedang
Laporan Morbiditas dan Mortalitas Mingguan merekomendasikan
pemberian 50 mL hingga 100 mL larutan rehidrasi oral per kilogram
per berat badan selama dua hingga empat jam untuk menggantikan
perkiraan defisit cairan, dengan solusi rehidrasi oral tambahan, yang
diberikan untuk menggantikan kehilangan yang berkelanjutan.
3. Dehidrasi parah
Untuk pasien yang mengalami dehidrasi berat, restorasi cairan yang
cepat diperlukan. Pasien yang mengalami dehidrasi berat dapat
mengalami perubahan status mental, kelesuan, takikardia, hipotensi,
tanda-tanda perfusi yang buruk, denyut nadi benang lemah, dan
pengisian ulang kapiler yang tertunda.
C. Etiologi[44]
Dehidrasi diartikan sebagai kurangnya cairan di dalam tubuh karena
jumlah yang keluar lebih besar dari pada jumlah yang masuk. Jika tubuh
kehilangan banyak cairan, maka tubuh akan mengalami dehidrasi, Salah
satu faktor terjadinya dehidrasi adalah kelebihan berat badan
(overweight). Terjadinya penumpukan lemak tubuh pada orang obesitas
dapat meningkatkan berat badan tanpa menambah kandungan air dalam
tubuh.
Air dalam tubuh mengikuti keseimbangan dinamis berdasarkan
tekanan osmotik dan tonisitas. Normalnya terjadi keseimbangan cairan
antara yang masuk dan dikeluarkan tubuh. Asupan air yang tinggi akan
menurunkan osmolitas plasma dan peningkatan volume arteri efektif
sehingga menyebabkan regulasi osmotik dan regulasi vilume
teraktivitasi. Kekurangan cairan atau air minum dapat meningkatkan
konsentrasi ionik pada kompertemen ekstrakuler dan terjadi pengerutan
sel sehingga menyebabkan sensor otak untuk mengontrol minum dan
mengontrol ekskresi urin. Pada stadium permulaan water depletion, ion
natrium dan chlor ikut menghilang dengan cairan tubuh, tetapi kemudian
terjadi reabsorpsi ion melalui tubulus ginjal yang berlebihan, sehingga
ekstraseluler mengandung natrium dan chlor berlebihan dan terjadi
hipertoni. Hal ini menyebabkan air akan keluar dari sel sehingga terjadi
dehidrasi intraseluler dan inilah yang menimbulkan rasa haus. Selain itu
timbul perangsangan terhadap hipofisis yang kemudian melepaskan
hormon antidiuretik sehingga terjadinya oligura. Hal ini menimbulkan
rasa haus , air liur kering, badan terasa lemas dan berhalusinasi
D. Epidemiologi[2]
Diare merupakan salah satu keluhan yang sering dijumpai pada
orang dewasa. Diperkirakan orang dewasa tiap tahunnya mengalami
diare akut sebanyak 99.000.000 kasus. Amerika Serikat sekitar
8.000.000 pasien berobat ke dokter dan lebih dari 250.000 pasien
dirawat di rumah sakit setiap tahunnya (1.5% merupakan pasien
dewasa). Kebanyakan kasus kematian terjadi berhubungan dengan
kejadian diare pada anak atau lanjut usia yang dimana pada usia tersebut
pasien rentan terhadap dehidrasi berat. Kejadian diare di negara-negara
berkembang salah satunya Indonesia lebih banyak sekitar 2-3 kali jika
dibandingkan dengan negara maju.
E. Manifestasi Klinis[2][40]
1. Dehidrasi ringan (hilang cairan 2-5% BB): gambaran klinisnya
turgor kurang, suara serak( vox cholerica) , pasien belum jatuh dalam
presyok.
2. Dehidrasi sedang(hilang cairan 5-8% BB): turgor buruk, suara serak,
pasien jatuh dalam presyok atau syok, nadi cepat, napas cepat dan
dalam.
3. Dehidrasi berat(hilang cairan 8-10% BB): tanda dehidrasi sedang
ditambah kesadaran menurun (apatis sampai koma), otot-otot kaki
dan sianosis.
Manifestasi klinis berdasarkan derajat dehidrasi adalah sebagai berikut :
Penilaian A B C
Lihat : Baik, sadar Gelisah, rewel Lemah, lesu,
Keadaan umum tidak sadar
Mata Normal Cekung Sangat
cekung dan
kering
Air mata Ada Tidak ada Sangat kering
Mulut dan Basah Kering *malas
lidah Minum biasa *haus, ingin minum atau
Rasa haus tidak haus minum banyak tidak bisa
minum
Periksa : turgor Kembali *kembali *kembali
kulit cepat lambat sangat lambat
Hasil Tanpa Dehidrasi Dehidrasi
pemeriksaan : dehidrasi ringan/sedang berat
Bila ada 1 Bila ada 1
tanda * tanda *
ditambah 1 atau ditambah 1
lebih tanda lain atau lebih
tanda lain
Terapi Rencana Rencana Terapi Rencana
Terapi A B Terapi C
F. Diagnosis[45]
Standar emas untuk mendiagnosis dehidrasi adalah dengan
mengukur kehilangan berat badan akut tetapi oleh karena berat badan
sebelum sakit pada umumnya tidak diketahui, maka perkiraan
kehilangan cairan dilakukan berdasarkan penilaian klinis. Penilaian
klinis dehidrasi berbeda-beda. Penilaian menurut World Gastrointestinal
Organization (WGO) meliputi kesadaran, mata cekung, rasa haus, serta
turgor kulit. Menurut Guandalini, penilaian dehidrasi yang paling baik
adalah menilai pemanjangan pengisian kapiler perifer, turgor kulit, dan
pola pernafasan. Kegagalan menegakkan diagnosis dehidrasi
mengakibatkan peningkatan morbiditas dan mortalitas, sedangkan
overdiagnosis menimbulkan penggunaan sumber kesehatan yang
berlebihan.
G. Tatalaksana
Pasien harus diminta untuk minum jus buah encer, Pedialyte atau
Gatorade. Pada kasus diare yang lebih parah, rehidrasi cairan IV
mungkin diperlukan. Mengonsumsi makanan yang rendah serat bisa
membantu membuat feses lebih kencang. Diet 'BRAT' yang lunak
termasuk pisang, roti panggang, oatmeal, nasi putih, saus apel dan sup /
kaldu dapat ditoleransi dengan baik dan dapat meningkatkan gejala.[42]
1. Larutan rehidrasi intravena (IV):[46]
a. 5% Dextrose dalam 0,9% Sodium Chloride (Saline Normal) +/-
aditif kalium
b. 5% Dextrose dalam 0,45% Sodium Chloride (Half Normal
Saline) +/- aditif kalium
c. Ringer Laktat
2. Media penyalur larutan:[46]
a. Tabung nasogastrik Tabung Orogastrik
b. Tabung lambung
c. Tabung Nasoduodenal
d. Tabung gastrojejunal
3. Larutan rehidrasi oral:[46]
a. Larutan rehidrasi komersial
b. Larutan rehidrasi WHO
c. Pemberian makanan bayi (ASI atau susu formula)
d. Minuman olahraga yang tersedia secara komersial
H. Komplikasi
Jika dehidrasi segera diobati, perkembangannya dapat ditahan dan
komplikasinya dihindari. Tetapi jika dehidrasi berlanjut, mekanisme
kompensasi mulai gagal, sehingga terjadi penurunan perfusi jaringan.14
Komplikasi dehidrasi termasuk syok, trombosis vena, kejang yang tidak
terobati, dan gagal ginjal.[47]
I. Edukasi dan Pencegahan[44]
Untuk pencegahan dan edukasi nya dapat dilakukan seperti ditempat
yang panas harus minum sesering mungkin 150–200 cc air setiap 15–20
menit sekali perlu adanya penyuluhan dan edukasi tentang pentingnya
air minum dan bahaya dehidrasi.
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Pria 28 tahun mengalami gastroenteritis yang disertai dehidrasi.
DAFTAR PUSTAKA
1. Sattar SBA, Singh S. Bacterial Gastroenteritis. [Updated 2019 Mar 8]. In:
StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2020
Jan-. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK513295/
2. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam Jilid II edisi V. Jakarta: Interna Publishing; 2009.
3. Jellife. Kesehatan Anak di Daerah Tropis. Jakarta : Bumi Aksara; 2009.
4. Waspodo, D. Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan
Neonatal. Jakarta : EGC; 2012.
5. Sunoto. Gastroenteritis Masalah dan Penatalaksanaannya. Jakarta : Ikatan
Dokter Indonesia; 2012.
6. Depkes RI. Profil Kesehatan Indonesia 2007. Jakarta. Depkes RI. 2007.
7. Monroe SS. Control and Prevention of Viral Gastroenteritis. Emerging
Infectious Diseases. 2011;17(8):1347-1348.
8. Amin L. Tatalaksana Diare Akut. Continuing Medical Education.
2015;42(7):504-8.
9. Wedayanti DPK. PBL Gastroenteritis Akut. Bali: FK Udayana. 2017.
10. Wedayanti DPK. Kepaniteraan Klinik Madya Bagian/AMF Ilmu Penyakit
Dalam. Bali: FK Udayana. 2017.
11. WGO. Acute Diarrhea in Adults and Children : A Global Perspective.
World Gastroenterology Organizat ion. 2012.
12. Diskin A. What is included in patient education about gastroenteritis?.
Medscape. Updated: Feb 10, 2017. Cited : Feb 11, 2020. from:
https://www.medscape.com/answers/775277-176879/what-is-included-in-
patient-education-about-gastroenteritis
13. Elliott EJ. Acute gastroenteritis in children. BMJ. 2007; 334(7583): 35–40.
14. Keshav A, Bailey A. The Gastrointestinal System at a Glance. Second
Edition. UK: Wiley-Blackwell. 2013.
15. Sobel, J. Botulism. Clinical Infectious Diseases. 2005;41(8):1167-1173.
16. Natalia L, Priadi A. Botulismus : Patogenesis, Diagnosis, dan Pencegahan.
Bogor: Balai Besar Penelitian Veteriner. 2012.
17. Jeffery LA, Karim S. Botulism. [Updated 2019 Nov 30]. In: StatPearls
[Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2020 Jan-.
Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK459273/
18. Lindstrom MH, Korkeala. Laboratory diagnostic of botulism. Clin.
Microbiol. Rev. 2006;19(2):298 – 314.
19. CDC. Botulism. Updated: August 19, 2019. Cited: Feb 11, 2020.
https://www.cdc.gov/botulism/definition.html
20. Arnon SS, Schechter R, Thomas V, Ingelsby MD. Henderson DA, Bartlett
JG, dkk. Botulinum toxin as biological weapon. JAMA. 2001;285(8):
1059 – 1070
21. Dembek ZF, Smith LA, Rusnak JM. Botulinum Toxin. Medical Aspects of
Biological Warfare. Chap. 16. US Army Medical Department. Borden
Institute. 2001:337 – 353.
22. Kruger M, Hereenthey AG, Schrold W, Gerlach A, Rodloff A. Visceral
botulism at dairy farms in Schleswig Holstein, Germany- Prevalence of
Clostridium botulinum in feces of cows, in animal feeds, in feces of the
farmers and in house dust. Anaerobe. 2012;30:1 – 3.
23. Varma JK, Katsitadze G, Moiscrafishvili. Signs and symptoms predictive
of death in patients with foodborne botulism- Republic of Georgia, 1980 –
2002. Clin. Infect. Dis. 2004;39: 357 – 362.
24. Palma NZ, da Cruz M, Fagundes V, Pires L. Foodborne Botulism:
Neglected Diagnosis. Eur J Case Rep Intern Med. 2019;6(5):001122.
Published 2019 May 17. doi:10.12890/2019_001122
25. World Health Organization. Botulism. Fact Sheets Publishing; 10 January
2018. Available from: https://www.who.int/en/news-room/fact-
sheets/detail/botulism
26. Suardana WI. Botulismus pada manusia. Laboratorium Kesehatab
Masyarakat Veteriner Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana.
Jurnal Veteriner;2001.
27. Vila J, Vargas M, Ruiz J, Corachan M, De Anta MTJ, Gascon J: Quinolon
Resisten in Enterotoxigenic E.colli causing Diarrhea in Travelers to India
in Comparison with other Geographycal Areas. Antimicrobial Agents and
Chemotherapy. June 2000.
28. Suzanna I. Park and Ralph A. Giannela Approach to the adult patient with
acute diarrhoea In: Gastroenerology Clinics of North America. XXII (3).
Philadelphia. WB Saunders. 1993.
29. Depkes RI, Direktorat Jendral PPM & PL th 2005, Keputusan Menkes RI
no 1216/MENKES/SK/XI/2001 tentang Pedoman Pemberantasan Penyakit
Diare, edisi 4.
30. Cook GC. Manson’s Tropical Diseases twentieth eition. Saunders. 1996.
31. Setiawan B, Diare akut karena infeksi, Dalam: Sudoyo A, Setyohadi B.
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid 3. Edisi IV. Jakarta. Departemen
IPD FK UI Juni 2006.
32. Adyanastri F. Etiologi dan Gambaran Klinis Diare Akut di RSUP Kariadi
Semarang. Semarang: FK Undip. 2012.
33. Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, Stiyohadi B, Syam AF. Buku ajar ilmu
penyakit dalam jilid II. VI. Jakarta: InternaPublishing; 2014.
34. Depertemen Kesehatan RI. 2011. Pedoman Pemberantasan Penyakit Diare.
Jakarta: Ditjen PPM dan PL.
35. Sudoyo AQ, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, dan Setiati S.Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam. Jidil I Edisi IV.Jakarta: Perhimpunan Dokter
Spesialis Penyakit Dalam.
36. Kolopaking MS. Penatalaksanaan muntah dan diare, akut. Dalam : Alwi 1,
Bawazier LA, Kolopaking MS, Syam AF, et al (ed). Penatalaksanaan
kedaruratan di Bidang Ilmu Penyakit Dalam II Jakarta. Bagian Ilmu
Penyakit Dalam FKUI. 2002.
37. WHO. The treatment of diarrhea, a manual for physicians and other senior
health workers. 4th rev. Geneva, Switzerland :WHO Document Production
Services; 2006.
38. Departemen Kesehatan RI. Profil Kesehatan Indonesia 2003. Jakarta :
Departemen Kesehatan RI; 2005.
39. Guidelines for management of acute diarrhea after a disaster. CDC; 2009.
40. Juffrie, M., et al. Diare persisten. In : Modul Pelatihan Diare. 1st ed. UKK
Gastro-Hepatologi IDAI. 2009;29-45.
41. Michael, Marteau PR. Probiotics and prebiotics: effects on diarrhea. J
Nutr. 2007;137:8035-8011S.
42. Nemeth V, Zulfiqar H, Pfleghaar N. Diarrhea. [Updated 2019 Jun 22]. In:
StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2020
Jan-. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK448082/
43. Kementerian Kesehatan RI. Situasi Diare di Indonesia. Jakarta. 2011.
44. Sari NA, Nindya TS. HUBUNGAN ASUPAN CAIRAN, STATUS GIZI
DENGAN STATUS HIDRASI PADA PEKERJA DI BENGKEL DIVISI
GENERAL ENGINEERING PT PAL INDONESIA. Media Gizi
Indonesia. 2017;12(1):47-53.
45. Vafaee A, Moradi A, Khabazkhoob M. Case-control study of acute
diarrhea in children. J Res Health Sci. 2008;8:25-32.
46. Castera MR, Borhade MB. Fluid Management. [Updated 2019 Jun 3]. In:
StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2020
Jan-. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK532305/
47. Collins Magdalena, Claros Edith. Recognizing the face of dehydration.
Nursing.2011;8(41):26-31. doi:10.1097/01.NURSE.0000399725.01678.b7