Anda di halaman 1dari 8

PERTANYAAN DISKUSI DK P1

1. Sistem Gastrointestinal
a. Definisi (hanna, glorie)

b. Anatomi (mella, fadil)


c. Fisiologi (tasya, jo)
d. Histologi (thessa, abi)
2. Dispepsia
a. Definisi (abed, diva)
b. Etiologi (ang, kak yella)
c. Patofisiologi (kak putri, hanna)
d. Epidemiologi (glorie, mella)
Secara global terdapat sekitar 15-40% penderita dispepsia. Setiap tahun keluhan
ini mengenai 25% populasi dunia. Di Asia prevalensi dispepsia berkisar 8-30%. Di
Indonesia diperkirakan hampir 30% pasien dispepsia yang datang ke praktik
umum adalah pasien yang keluhannya berkaitan dengan kasus dispepsia
(Sudoyo, 2009). Berdasarkan data Dinas Kesehatan Provinsi Riau dispepsia
termasuk 10 penyakit terbesar di ruang inap di Rumah Sakit Arifin Ahmad
Provinsi Riau tahun 2009 dengan 11,88% (Profil Kesehatan Provinsi Riau, 2012).
Di Pekanbaru, tahun 2017 dispepsia termasuk 10 penyakit terbesar dari 20
puskesmas di Pekanbaru sebanyak 14292 orang.
Penelitian di Malaysia menemukan prevalensi dispepsia fungsional pada suku
Melayu 14,6%, Cina 19,7%, India 11,2%, dan lebih umum dijumpai pada suku
Cina dibandingkan non-Cina. Penelitian di Indonesia menunjukkan prevalensi
terbesar pada suku Batak 45,5%, menyusul Karo 27,3%, Jawa 18,2%, dan yang
terkecil 4,5% serta mendailing 4,5%.
Prevalensi dispepsia di Asia Pasifik sekitar 10-20% juga merupakan keluhan yang
banyak dijumpai. 3 Prevalensi dispepsia secara global di dunia antara 7-45%.
Prevalensi dispepsia di Amerika Serikat 23-25,8%, India 30,4%, Hongkong 18,4%,
Australia 24,4-38,2%, dan China sebesar 23,3%. Dispepsia di Indonesia
menempati urutan ke-15 dari 50 penyakit dengan pasien rawat inap terbanyak.
Dafpus : Nugroho R, Safri, Nurchayati S. Gambaran Karakteristik Pasien dengan Sindrom Dispepsia di
Puskesmas Rumbai. JOM FKp. 2018;5(2):823-830.

e. Klasifikasi (fadil, tasya)


f. Faktor Resiko (jo, thessa)
g. Manifestasi Klinis (abi, abed)
h. Diagnosis (diva, ang)
i. Pemeriksaan Penunjang (kak yella dan kak putri)
j. Tatalaksana (mella, jo)
k. Edukasi dan Pencegahan (abi, glorie)
1. Pemahaman tentang dispepsia dan bahaya komplikasinya
2.Penggunaan obat
3.Menjaga pola makan dan aktifitas fisik yang sesuai dengan penyakit
dan kondisi pasien
4.Edukasi untuk rajin kontrol ke pelayanan kesehatan terdekat bila k
eluhan timbul kembali
5.Edukasi keikutsertaan program jaminan kesehatan nasional (JKN atau
BPJS) pada pasien dan keluarga dengan manfaat yang di dapat sesu
ai dengan kondisi peyakit pasien yaitu melalui program rujukan balik
. Edukasi dilakukan menggunan media berupa leaflet.
Penatalaksanaan yang baik dalam kasus dispepsia diperlukan dengan
pendekatan berorientasi pasien dan keluarga. Pendekatan dengan inter
vensi dokter keluarga mampu memperbaiki kebiasaan yang berpengaru
h dalam prognosis dispepsia antara lain perubahan pola hidup dan ola
hraga.[1]
Pola makan yang normal dan teratur adalah salah satu cara untuk
mencegah penyakit ini. Makanan yang dimakan juga harus seimbang dan
sesuai dengan kebutuhan. Makanan tersebut sebaiknya tidak mengandung
asam yang tinggi dan cabai yang berlebihan. Alcohol dan kebiasaan
merokok juga harus sangat dihindari agar tidak meningkatkan resiko
terkena penyakit ini. Konsumsi obat-obatan seperti obat pusing dan anti
nyeri lainnya juga harus diperhatikan jenisnya karena sebagian besar bisa
menggaggu fungsi lambung.[2]

Dafpus : [1] Pardiansyah R, Yusran M. Upaya Pengelolaan Dispepsia dengan Pendekatan


Pelayanan Dokter Keluarga. J Medula Unila. 2016;5(2):86-90.

[2] Wibawa, Nyoman ID. Penanganan Dispepsia pada Lanjut Usia. 2006;7(3).

3. Gastritis
a. Definisi (kak putri, fadil)
b. Etiologi (hanna, abed)
c. Patofisiologi (ang, thessa)
d. Epidemiologi (diva, kak yella)
e. Klasifikasi (tasya, kak putri)
f. Faktor Resiko (glorie, mella)
Beberapa faktor resiko yang bisa menyebabkan sindrom dyspepsia, yaitu:
 Jenis Kelamin[1]
Berdasarkan sebuah penelitian yang dilaksanakan di Banda Aceh
didapatkan hasil bahwa perempuan lebih beresiko terkena sindrom
dyspepsia khususnya dyspepsia fungsional dibandingkan laki-laki.
Hal ini dikarenakan perempuan mempunyai waktu aktifitas lebih
lama dibandingkan dengan laki-laki. Selanjutnya, perempuan juga
memiliki tingkat kecemasan yang lebih tinggi sehingga kedua
faktor inilah yang akan menyebabkan dispepsia fungsional. Selain
itu, adapun faktor dari pola diet juga dapat mempengaruhi, dimana
perempuan sering tidak teratur dalam jadwal makan sehingga jeda
makan mereka terlalu lama atau panjang. Hal ini sengaja mereka
lakukan dalam menjaga penampilannya sehingga mereka sering
terkena dispepsia fungsional.
 Pola makan yang tidak teratur[1]
Jeda antara jadwal makan yang lama dan ketidakteraturan makan
berkaitan dengan gejala dyspepsia. Jika proses tersebut
berlangsung dalam waktu yang sangat lama akan menyebabkan
produksi asam lambung yang berlebihan sehingga dapat
mengiritasi dinding mukosa pada lambung yang akhirnya
menyebabkan rasa perih dan mual.
 Tingkat Stres[2]
Dyspepsia juga dapat disebabkan oleh masalah psikis, seperti
kelelahan, kejenuhan, rasa bosan atau masalah di tempat kerja
yang berlarut-larut. Stres dapat mengubah sekresi asam lambung,
motilitas, dan vaskularisasi saluran pencernaan. Pada beberapa
penelitian menunjukkan bahwa pasien-pasien dispepsia fungsional
lebih cemas atau depresi. Stres juga dapat mendorong gesekan
antara makanan dan dinding lambung menjadi bertambah kuat
dalam lambung. Penyakit dyspepsia dapat ditimbulkan oleh
berbagai keadaan yang pelik sehingga mengaktifkan rangsangan/
iritasi mukosa lambung semakin meningkaat pengeluarannya,
terutama pada saat keadaan emosi, ketegangan pikiran dan tidak
teraturnya jam makan. Adanya stres dapat mempengaruhi fungsi
gastrointestinal dan mencetuskan keluhan pada orang sehat salah
satunya dispepsia, adanya penurunan kontraktilitas lambung yang
mendahului keluhan mual setelah stimulus stres sentral.

Dafpus: [1] Arsyad RP, Irmaini, Hidayaturrami. Hubungan Sindroma Dispepsia dengan Prestasi
Belajar Siswa Kelas XI SMAN 4 Banda Aceh. Jurnal Ilmiah Mahasiswa. 2018;4(1):36-42.

[2] Rahmatullah I, Sari YM. Hubungan Pola Makan, Stres Kerja, dan Minuman Tidak Sehat
dengan Penyakit Dispepsia di Wilayah Kerja Puskesmas Loa Ipuh Tenggarong Kabupaten Kutai
Kartanegara Tahun 2016. 2017;3(1):5-8.

g. Manifestasi Klinis (hanna, jo)


h. Diagnosis (thessa, fadil)
i. Pemeriksaan Penunjang (ang, abi)
j. Tatalaksana (abed, diva)
k. Edukasi dan Pencegahan (tasya, kak yella)
4. GERD
a. Definisi (mella, tasya)
b. Etiologi (hanna, glorie)
Etiologi terjadinya penyakit refluks gastroesofageal / gastroesophageal
reflux disease (GERD) adalah paparan refluksat gaster berlebih ke dalam
esofagus yang berlangsung secara kronis. Refluksat gaster tersebut merupakan
campuran dari asam lambung, sekresi asam empedu, dan juga pankreas. Proses
refluks ini terjadi secara multifaktorial, tetapi paling sering disebabkan karena
gangguan katup esofagus bawah. Katup esophagus bawah memiliki otot bernama
spinchter dan otot inilah yang tidak dapat tertutup dengan baik pada pasien
dengan GERD. [1,5]

Dafpus: 1. Katz PO, Gerson LB, Vela MF. Guidelines for the diagnosis and management of
gastroesophageal reflux disease. Am J Gastroenterol. 2013;108:302-328.

5. Lelosutan SA, Manan C, MS BMN. The Role of Gastric Acidity and Lower Esophageal Sphincter
Tone on Esophagitis among Dyspeptic Patients. The Indonesian Journal of Gastroenterology, Hepatology,
and Digestive Endoscopy 2001;2:6-11.

c. Patofisiologi (fadil, jo)


d. Epidemiologi (thessa, abi)
e. Klasifikasi (abed, diva)
f. Faktor Resiko (ang, kak yella)
g. Manifestasi Klinis (kak putri, mella)
h. Diagnosis (tasya, hanna)
i. Pemeriksaan Penunjang (glorie, fadil)
j. Endoskopi saluran cerna bagian atas.
Pemeriksaan endoskopi saluran cerna bagian atas merupaka standar baku untuk diagnosis
GERD dengan ditemukannya mucosal break di esofagus (esofagitis refluks).
Dengan melakukan pemeriksaan endoskopi dapat dinilai perubahan mikroskopik dari
mukosa esofagus, serta dapat menyingkirkan keadaan patologis lain yang dapat
menimbulkan gejala GERD. Jika tidak ditemukan mucosal break pada pemeriksaan
endoskopi saluran cerna bagian atas pada pasien gejala khas GERD, keadaan ini disebut
sebagai non-erosive reflux disease (NERD).

Klasifikasi Los Angeles


Derajat Kerusakan Gambaran Endoskopi
Erosi kecil-kecil pada mukosa esofagus
A
dengan diameter <5mm
Erosi pada mukosa/ lipatan mukosa
B dengan diameter >5mm tanpa saling
berhubungan.
Lesi yang konfluen tetapi tidak
C
mengenai/mengelilingi seluruh lumen.
Lesi mukosa esofagus yang bersifat
D sirkumferensial (mengelilingi seluruh
lumen esofagus)

Ditemukannya kelainan esofagitis pada pemeriksaan endoskopi yang dipastikan dengan


pemeriksaan histopatologi (biopsi), dapat mengkonfirmasikan bahwa gejala heartburn atau
regurgitasi tersebut disebabkan oleh GERD.
Pemeriksaan histopatologi juga dapat memastikan adanya Barrett’s esophagus, displasia
atau keganasan. Tidak ada bukti yang mendukung perlunya pemeriksaan
histopatologi/biopsi pada NERD.

k. Esofagografi dengan barium.


Dibandingkan dengan endoskopi, pemeriksaan ini kurang peka dan seringkali tidak
menunjukkan kelainan, terutama pada kasus esofagitis ringan. Pada keadaan yang lebih
berat, gambar radiologi dapat berupa penebalan dinding dan lipatan mukosa, ulkus atau
penyempitan lumen. Walaupun pemeriksaan ini sangat tidak sensitif pada GERD, namun
pada keadaan tertentu pemeriksaan ini mempunyai nilai lebih dari endoskopi, yaitu pada
stenosis esofagus derajat ringan akibat esofagitis peptik dengan gejala disfagia, dan hiatus
hernia.

l. Pemantauan pH 24 jam.
Episode refluks gastroesofageal menimbulkan asidifikasi bagian distal esofagus. Episode
ini dapat dimonitor dan direkam dengan menempatkan mikroelektroda pH pada bagian
distal esofagus. Pengukuran pH pada esofagus bagian distal dapat memastikan ada tidaknya
refluks gastroesofageal. pH dibawah 4 dan pada jarak 5cm diatas LES dianggap diagnostik
untuk refluks intestinal.

m. Tes Bernstein
Tes ini mengukur sensitivitas mukosa dengan memasang selang transnasal dan
melakukan perfusi bagian distal esofagus dengan HCl 0,1 M dalam waktu kurang dari satu
jam. Tes ini bersifat pelengkap terhadap monitoring pH 24 jam pada pasien-pasien dengan
gejala yang tidak khas. Bila larutan ini menimbulkan rasa nyeri dada seperti yang biasanya
dialami pasien, sedangkan larutan NaCl tidak menimbulkan rasa nyeri, maka test dianggap
positif. Tes Bernstein yang negatif tidak menyingkirkan adanya nyeri yang berasal dari
esofagus.

n. Manometri Esofagus.
Tes manometri akan memberi manfaat yang berarti jika pada pasien-pasien dengan
gejala nyeri epigastrium dan regurgitasi yang nyata didapatkan esofagografi barium dan
endoskopi yang normal.

o. Sintigrafi gastroesofageal.
Pemeriksaan ini menggunakan cairan atau campuran makanan air dan padat yang
dilabel dengan radioisotop yang tidak diabsorpsi, biasanya technetium. Selanjutnya sebuah
penghitung gamma (gamma counter) eksternal akan memonitor transit dari
cairan/makanan yang dilabel tersebut. Sensitivitas dan spesifisitas test ini masih diragukan.

p. Tes penghambat pompa proton.


Pada dasarnya test ini merupakan terapi empirik untuk menilai gejala dari GERD dengan
memberikan PPI dosis tinggi selama 1-2 minggu sambil melihat respon yang terjadi. Tes ini
terutama dilakukan jika tidak tersedia modalitas diagnostik seperti endoskopi, pH metri dan
lain-lain. Test ini dianggap positif jika terdapat perbaikan dari 50%-75% gejala yang terjadi.

Sumber:
Dadang M. Management of gastroesophageal reflux disease. Gastroenterology, Hepatology
and Digestive Endoscopy 2011;2(1):21-27

q. Tatalaksana (jo, thessa)


r. Edukasi dan Pencegahan (abi, ang)
5. Studi kasus
a. Hubungan pola makan tidak teratur dengan pemicu (abed, diva)
b. Hubungan overweight dengan pemicu (kak yella, kak putri)
c. Hubungan suka mengonsumsi minuman bersoda dengan pemicu (ang,
mella)
d. Hubungan riwayat penggunaan obat pusing, mual, dan muntah (glorie,
fadil)
6. Obat pusing, mual, dan muntah
a. Definisi (tasya, thessa)
b. Golongan (jo, ang, hanna)
c. Pengaruh pada sistem gastrointestinal (abed, abi)
7. Mekanisme mual dan muntah (kak yella, tasya)
8. Mekanisme lapar dan kenyang (kak putri, diva)

Anda mungkin juga menyukai