Jawaban dkp1 GI Glo
Jawaban dkp1 GI Glo
1. Sistem Gastrointestinal
a. Definisi (hanna, glorie)
[2] Wibawa, Nyoman ID. Penanganan Dispepsia pada Lanjut Usia. 2006;7(3).
3. Gastritis
a. Definisi (kak putri, fadil)
b. Etiologi (hanna, abed)
c. Patofisiologi (ang, thessa)
d. Epidemiologi (diva, kak yella)
e. Klasifikasi (tasya, kak putri)
f. Faktor Resiko (glorie, mella)
Beberapa faktor resiko yang bisa menyebabkan sindrom dyspepsia, yaitu:
Jenis Kelamin[1]
Berdasarkan sebuah penelitian yang dilaksanakan di Banda Aceh
didapatkan hasil bahwa perempuan lebih beresiko terkena sindrom
dyspepsia khususnya dyspepsia fungsional dibandingkan laki-laki.
Hal ini dikarenakan perempuan mempunyai waktu aktifitas lebih
lama dibandingkan dengan laki-laki. Selanjutnya, perempuan juga
memiliki tingkat kecemasan yang lebih tinggi sehingga kedua
faktor inilah yang akan menyebabkan dispepsia fungsional. Selain
itu, adapun faktor dari pola diet juga dapat mempengaruhi, dimana
perempuan sering tidak teratur dalam jadwal makan sehingga jeda
makan mereka terlalu lama atau panjang. Hal ini sengaja mereka
lakukan dalam menjaga penampilannya sehingga mereka sering
terkena dispepsia fungsional.
Pola makan yang tidak teratur[1]
Jeda antara jadwal makan yang lama dan ketidakteraturan makan
berkaitan dengan gejala dyspepsia. Jika proses tersebut
berlangsung dalam waktu yang sangat lama akan menyebabkan
produksi asam lambung yang berlebihan sehingga dapat
mengiritasi dinding mukosa pada lambung yang akhirnya
menyebabkan rasa perih dan mual.
Tingkat Stres[2]
Dyspepsia juga dapat disebabkan oleh masalah psikis, seperti
kelelahan, kejenuhan, rasa bosan atau masalah di tempat kerja
yang berlarut-larut. Stres dapat mengubah sekresi asam lambung,
motilitas, dan vaskularisasi saluran pencernaan. Pada beberapa
penelitian menunjukkan bahwa pasien-pasien dispepsia fungsional
lebih cemas atau depresi. Stres juga dapat mendorong gesekan
antara makanan dan dinding lambung menjadi bertambah kuat
dalam lambung. Penyakit dyspepsia dapat ditimbulkan oleh
berbagai keadaan yang pelik sehingga mengaktifkan rangsangan/
iritasi mukosa lambung semakin meningkaat pengeluarannya,
terutama pada saat keadaan emosi, ketegangan pikiran dan tidak
teraturnya jam makan. Adanya stres dapat mempengaruhi fungsi
gastrointestinal dan mencetuskan keluhan pada orang sehat salah
satunya dispepsia, adanya penurunan kontraktilitas lambung yang
mendahului keluhan mual setelah stimulus stres sentral.
Dafpus: [1] Arsyad RP, Irmaini, Hidayaturrami. Hubungan Sindroma Dispepsia dengan Prestasi
Belajar Siswa Kelas XI SMAN 4 Banda Aceh. Jurnal Ilmiah Mahasiswa. 2018;4(1):36-42.
[2] Rahmatullah I, Sari YM. Hubungan Pola Makan, Stres Kerja, dan Minuman Tidak Sehat
dengan Penyakit Dispepsia di Wilayah Kerja Puskesmas Loa Ipuh Tenggarong Kabupaten Kutai
Kartanegara Tahun 2016. 2017;3(1):5-8.
Dafpus: 1. Katz PO, Gerson LB, Vela MF. Guidelines for the diagnosis and management of
gastroesophageal reflux disease. Am J Gastroenterol. 2013;108:302-328.
5. Lelosutan SA, Manan C, MS BMN. The Role of Gastric Acidity and Lower Esophageal Sphincter
Tone on Esophagitis among Dyspeptic Patients. The Indonesian Journal of Gastroenterology, Hepatology,
and Digestive Endoscopy 2001;2:6-11.
l. Pemantauan pH 24 jam.
Episode refluks gastroesofageal menimbulkan asidifikasi bagian distal esofagus. Episode
ini dapat dimonitor dan direkam dengan menempatkan mikroelektroda pH pada bagian
distal esofagus. Pengukuran pH pada esofagus bagian distal dapat memastikan ada tidaknya
refluks gastroesofageal. pH dibawah 4 dan pada jarak 5cm diatas LES dianggap diagnostik
untuk refluks intestinal.
m. Tes Bernstein
Tes ini mengukur sensitivitas mukosa dengan memasang selang transnasal dan
melakukan perfusi bagian distal esofagus dengan HCl 0,1 M dalam waktu kurang dari satu
jam. Tes ini bersifat pelengkap terhadap monitoring pH 24 jam pada pasien-pasien dengan
gejala yang tidak khas. Bila larutan ini menimbulkan rasa nyeri dada seperti yang biasanya
dialami pasien, sedangkan larutan NaCl tidak menimbulkan rasa nyeri, maka test dianggap
positif. Tes Bernstein yang negatif tidak menyingkirkan adanya nyeri yang berasal dari
esofagus.
n. Manometri Esofagus.
Tes manometri akan memberi manfaat yang berarti jika pada pasien-pasien dengan
gejala nyeri epigastrium dan regurgitasi yang nyata didapatkan esofagografi barium dan
endoskopi yang normal.
o. Sintigrafi gastroesofageal.
Pemeriksaan ini menggunakan cairan atau campuran makanan air dan padat yang
dilabel dengan radioisotop yang tidak diabsorpsi, biasanya technetium. Selanjutnya sebuah
penghitung gamma (gamma counter) eksternal akan memonitor transit dari
cairan/makanan yang dilabel tersebut. Sensitivitas dan spesifisitas test ini masih diragukan.
Sumber:
Dadang M. Management of gastroesophageal reflux disease. Gastroenterology, Hepatology
and Digestive Endoscopy 2011;2(1):21-27