Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Bantuan Hidup Dasar (BHD) merupakan tindakan diri yang dilakukan pada
seseorang dengan keadaan gawat darurat, apabila tidak dilakukan BHD dengan
segera dapat menyebabkan kematian biologis (Bachtiar, 2016). Indikasi BHD
menurut American Heart Association (AHA) 2015 adalah henti jantung dan
sumbatan jalan nafas. Henti jantung adalah saat dimana jantung kehilangan
aktivitas mekanik dan kelistrikannya dan ditandai dengan hilangnya tanda
sirkulasi. (Brady, Charlton,Lawner, Sutherland danMattu, 2012). Menurut
AHA 2015, dalam kejadian henti jantung diluar rumah sakit keberhasilan
resusitasi membutuhkan koordinasi yang tepatatau Chain Of Survival yang
berupa pengaktifan system layanan darurat medis, RJP dini, Defibrilasi
secepatnya, bantuan pendukung kehidupan dan perawatan paska henti jantung
(Bachtiar, 2016).
Setiap tahunnya lebih dari 36 juta orang meninggal karena penyakit tidak
menular (63% dari seluruh kematian) .salah satu penyebab kematian nomor satu
pada penyakit tidak menular setiap tahunnya adalah penyakit kardiovaskuler
(Kemenkes RI 2014). Penyakit kardiovaskuler adalah penyakit yang
disebabkan oleh gangguan fungsi jantung dan pembuluh darah (Kemenkes RI
2014).Salah satu gangguan kardiovaskulera dalah yang paling sering terjadi
adalah henti jantung.Henti jantung merupakan salah satu keadaan berhentinya
fungsi mekanis jantung secara mendadak, yang dapat reversible dengan
penanganan yang sesuai tetapi akan menyebabkan kematian apabila tidak
ditangani dengan segera.
Bantuan Hidup Dasar (BHD) adalah dasar untuk menyelamatkan nyawa ketika
terjadi henti jantung. aspek dasar dari BHD meliputi pengenalan langsung
terhadap henti jantung mendadak dan aktivasi system tanggap darurat, cardio
pulmonary resuscitation (CPR) atau resusitasi jantung paru (RJP) dini, dan
defibrilasi cepat dengan defibrillator (AED). Pengenalan dini dan respon
terhadap serangan jantung dan stroke juga dianggap sebagai bagian dari BHD.
Resusitasi jantung paru (RJP) sendiri adalah suatu tindakan darurat, sebagai
usaha untuk mengembalikan keadaan henti jantung (yang dikenal dengan
kematian klinis) kefungsi optimal, guna mencegah kematian biologis.Adapun
tujuan utama dari BHD adalah suatu tindakan oksigenasi darurat untuk
mempertahankan ventilasi paru dan mendestribusikan darah-oksigenasi
kejaringan tubuh.Selain itu, ini merupakan usaha pemberian bantuan sirkulasi
sistemik, beserta ventilasi dan oksigenasi tubuh secara efektif dan optimal
sampai didapatkan kembali sirkulasi sistemik spontan atau telah tiba bantuan
dengan peralatan yang lebih lengkap untuk melaksanakan tindakan bantuan
hidup jantung lanjutan. (Winarni, 2017)
1.2 Rumusan Masalah
Dari uraian di atas,maka kami dapat mengambil rumusan masalah yaitu sebagai
berikut :

1. Apa pengertian Bantuan Hidup Dasar?

2. Kapan harus dilakukan tindakan Bantuan Hidup dasar?

3. Dan korban seperti apa yang di berikan tindakan Bantuan Hidup Dasar?

1.3 Tujuan
Adapun tujuan dari makalah ini adalah untuk mengetahui bagaimana cara
memberikan pertolongan agar bisa mempertahankan kehidupan korban,saat
seseorang atau mengalami keadaan yang mengancam nyawa, dengan Bantuan
Hidup Dasar.
BAB 11
PEMBAHASAN

1. Definisi BHD
Bantuan hidup dasar merupakan dasar dalam menyelamatkan
penderita dalam kondisi yang mengancam nyawa. Pengertian bantuan hidup
dasar itu sendiri yaitu sebuah tindakan yang dilakukan oleh seorang
penolong yang jika pada suatu keadaan ditemukan korban dengan penilaian
dini terdapat gangguan tersumbatnya jalan nafas, tidak ditemukan adanya
nafas dan atau tidak ada nadi. Tindakan yang kita lakukan yaitu dengan
segera mengaktifkan system respon kegawatdaruratan dan segera
melakukan Resusitasi Jantung Paru (RJP). (Sufia,2015)
Bantuan hidup dasar atau Basic Life Support merupakan
sekumpulan intervensi yang bertujuan untuk mengembalikan dan
mempertahankan fungsi vital organ pada korban henti jantung dan henti
nafas. Intervensi ini terdiri dari pemberian kompresi dada dan bantuan nafas
(Hardisman, 2014).
Basic Life Support adalah dasar untuk menyelamatkan nyawa ketika
terjadi henti jantung. Aspek dasar BLS meliputi penanganan langsung
terhadap sudden cardiac arrest (SCA) dan sistem tanggap darurat,
cardiopulmonary resuscitation (CPR) atau resusitasi jantung paru (RJP)
dini, dan defibrilasi cepat dengan (AED) automated external defibrillator
(Berg, et al 2010)
Menurut Krisanty (2009) bantuan hidup dasar adalah memberikan
bantuan eksternal terhadap sirkulasi dan ventilasi pada pasien henti jantung
atau henti nafas melalui RJP/ CPR.
Bantuan Hidup Dasar (BHD) adalah dasar untuk menyelamatkan
nyawa ketika terjadi henti jantung. Aspek dasar dari BHD meliputi
pengenalan langsung terhadap henti jantung mendadak dan aktivasi system
tanggap darurat, cardiopulmonary resuscitation (CPR) atau resusitasi
jantung paru (RJP) dini, dan defibrilasi cepat dengan defibrillator eksternal
otomatis/ automated external defibrillator (AED). Pengenalan dini dan
respon terhadap serangan jantung dan stroke juga dianggap sebagai bagian
dari BHD. Resusitasi jantung paru (RJP) sendiri adalah suatu tindakan
darurat, sebagai usaha untuk mengembalikan keadaan henti napas dan atau
henti jantung (yang dikenal dengan kematian klinis) ke fungsi optimal, guna
mencegah kematian biologis.
2. Tujuan Basic Life Support
Menurut (AHA, 2015), tujuan BLS antara lain:
a) Mengurangi tingkat morbiditas dan kematian dengan mengurangi
penderitaan.
b) Mencegah penyakit lebih lanjut atau cedera
c) Mendorong pemulihan
Tujuan bantuan hidup dasar ialah untuk oksigenasi darurat secara efektif
pada organ vital seperti otak dan jantung melalui ventilasi buatan dan
sirkulasi buatan sampai paru dan jantung dapat menyediakan oksigen
dengan kekuatan sendiri secara normal (Latief & Kartini 2009).
Sedangkan menurut Alkatri (2007), tujuan utama dari bantuan hidup
dasar adalah suatu tindakan oksigenasi darurat untuk mempertahankan
ventilasi paru dan mendistribusikan darah-oksigenasi ke jaringan tubuh
3. Indikasi BHD
Tindakan Resusitasi Jantung Paru (RJP) yang terkandung didalam bantuan
hidup dasar sangat penting terutama pada pasien dengan cardiac arrest
karena fibrilasi ventrikel yang terjadi di luar rumah sakit, pasien di rumah
sakit dengan fibrilasi ventrikel primer dan penyakit jantung iskemi, pasien
dengan hipotermi, overdosis, obstruksi jalan napas atau primary respiratory
arrest (Alkatri, 2007).
a) Henti Jantung (Cardiac Arrest)
Henti jantung adalah berhentinya sirkulasi peredaran darah karena
kegagalan jantung untuk melakukan kontraksi secara efektif, keadaan
tersebut bias disebabkan oleh penyakit primer dari jantung atau
penyakit sekunder non jantung. Henti jantung adalah bila terjadi henti
jantung primer, oksigen tidak beredar dan oksigen tersisa dalam organ
vital akan habis dalam beberapa detik (Mansjoer & Sudoyo 2010).
Henti jantung dapat disebabkan oleh faktor intrinsik atau ekstrinsik.
Faktor intrinsik berupa penyakit kardiovaskular seperti asistol,
fibrilasi ventrikel dan disosiasi elektromekanik. Faktor ekstrinsik
adalah kekurangan oksigen akut (henti nafas sentral/perifer, sumbatan
jalan nafas dan inhalasi asap); kelebihan dosis obat (digitas, kuinidin,
antidepresan trisiklik, propoksifen, adrenalin dan isoprenalin);
gangguan asam basa/elektrolit (hipo/hiperkalemia,
hipo/hipermagnesia, hiperkalsemia dan asidosis); kecelakaan (syok
listrik, tenggelam dan cedera kilat petir); refleks vagal; anestesi dan
pembedahan (Mansjoer & Sudoyo 2010).
Henti jantung ditandai oleh denyut nadi besar tidak teraba (a. karotis,
a. femoralis, a. radialas), disertai kebiruan (sianosis) atau pucat sekali,
pernapasan berhenti atau satu-satu (gasping, apnu), dilatasi pupil
tidak bereaksi dengan rangsang cahaya dan pasien dalam keadaan
tidak sadar (Latief & Kartini 2009).
b) Henti Napas (Respiratory Arrest)
Henti napas adalah berhentinya pernafasaan spontan disebabkan
karena gangguan jalan nafas persial maupun total atau karena
gangguan dipusat pernafasaan. Tanda dan gejala henti napas berupa
hiperkarbia yaitu penurunan kesadaran, hipoksemia yaitu takikardia,
gelisah, berkeringat atau sianosis (Mansjoer & Sudoyo 2010).
Henti nafas primer (respiratory arrest) dapat disebabkan oleh banyak
hal, misalnya serangan stroke, keracunan obat, tenggelam, inhalasi
asap/uap/gas, obstruksi jalan napas oleh benda asing, tersengat listrik,
tersambar petir, serangan infark jantung, radang epiglottis, tercekik
(suffocation), trauma dan lain-lain (Latief & Kartini 2009).
Pada awal henti nafas, jantung masih berdenyut, masih teraba nadi,
pemberian O2 ke otak dan organ vital lainnya masih cukup sampai
beberapa menit. Jika henti napas mendapat pertolongan dengan segera
maka pasien akan terselamatkan hidupnya dan sebaliknya jika
terlambat akan berakibat henti jantung yang mungkin menjadi fatal
(Latief & Kartini 2009)
c) Tidak sadarkan diri

Sebelum melakukan bantuan hidup dasar kita harus mengetahui indikasi


untuk dilakukannya BHD, yaitu adanya henti nafas dan henti jantung.
1). Henti Nafas.
Henti nafas ditandai dengan tidak adanya gerakan dada dan aliran
udara pernafasan dari korban/pasien.
2). Henti Jantung.
Henti jantung bisa diketahui dengan pulsasi nadi yang tidak teraba.
Sering kali akibat dari tidak adekuatnya sirkulasi otak, pasien dapat
mengalami penurunan kesadaran dan dapat mengalami henti nafas.
Bila korban mengalami henti nafas belum tentu henti jantung, akan
tetapi bila korban henti jantung secara otomatis henti nafas.

4. Langkah-langkah BHD
Apabila kita menemukan korban dengan indikasi dilakukannya tindakan
BHD, maka langkah-langkah yang harus segera kita lakukan yaitu:
1) Sebelum mendekati korban, pastikan bahwa lingkungan sekitar
penolong dan korban aman.
2) Cek dan nilai respon korban dengan cara tepuk bahu korban dan
katakan “Apakah anda baik-baik saja?”. Jika korban berespon maka
korban akan menjawab, bergerak atau mengerang. Jika korban tidak
berespon segera aktifkan system respon kegawatdaruratan.
3) Sebelum kita mengaktifkan system kegawatdaruratan, pastikan
kemungkinan adanya trauma leher. Jangan pindahkan/ mobilisasi
korban bila tidak perlu. Tempatkan korban pada tempat yang keras
dan datar, dan perbaiki posisi korban dengan posisi supine ( pasien
berbaring terlentang dengan kedua tangan dan kaki lurus dalam
posisi horizontal ).
4) Cek ada/tidaknya sumbatan jalan nafas, apabila ada sumbatan jalan
nafas maka harus segera dikeluarkan penyebab sumbatan jalan nafas
tersebut.
5) Setelah mengaktifkan system kegawatdaruratan maka cek nadi
karotis selama < 10 detik. Bila nadi teraba, berikan nafas tiap 5-6
detik dengan tidal volume sampai terlihat pengembangan dada dan
cek nadi kembali setiap 2 menit.
6) Jika nadi tidak teraba, segera mulai RJP dengan diawali kompresi
dada. Kompresi dada yaitu penekanan terhadap bagian bawah
sternum yang teratur. Penekanan ini menciptakan aliran darah
karena adanya peningkatan tekanan intrathorax dan penekanan
secara langsung pada jantung. Kompresi dada menghasilkan aliran
darah dan penghantaran oksigen ke otot miokardium dan otak.
Kompresi dada yang efektif sangat penting untuk menciptakan aliran
darah selama RJP.
Untuk menghasilkan kompresi dada yang efektif, lakukan
penekanan yang keras dan cepat. Kecepatan yang digunakan paling
sedikit 100x/menit dengan kedalaman 2 inci atau 5cm. sedangkan
pada saat memberikan ventilasi, tiap bantuan nafas diberikan selam
1 detik dengan memberikan tidal volume yang cukup untuk
menghasilkan pengembangan dada. Hindari pemberian ventilasi
yang berlebihan. Rasio kompresi dan ventilasi yang direkomendikan
adalah 30:2, artinya memberikan 30 kompresi dada terlebih dahulu
kemudian memberikan 2 ventilasi. Lakukan RJP sebanyak 5 siklus
( selama 2 menit ), kemudian cek kembali nadi / irama. Lakukan hal
ini terus sampai bantuan datang atau penderita sudah bergerak atau
sudah terdapat tanda-tanda sirkulasi spontan.

5. Sistematika BHD disusun berdasarkan pedoman menurut American


Heart Association (AHA) 2015:
1) C-A-B sebagai pengganti A-B-C untuk RJP dewasa, anak dan bayi.
Pengecualian hanya untuk RJP neonatus
2) Tidak ditekankan lagi looking, listening, feeling. Kunci untuk menolong
korban henti jantung adalah aksi (action) tidak lagi penilaian
(assesment)
3) Tekan lebih dalam. Dulu antara 3-5 cm. Saat ini AHA menganjurkan
penekanan dada sampai 5-6 cm
4) Tekan lebih cepat. Untuk frekuensi penekanan, dulu AHA
menggunakan kata-kata sekitar 100x/m. Saat ini AHA menganjurkan
frekuensi 100-120x/m.
5) Untuk awam, AHA tetap menganjurkan: Hands only CPR untuk yang
tak terlatih
6) Kenali tanda-tanda henti jantung akut
7) Jangan berhenti memompa/ menekan dada semampunya, sampai AED
dipasang dan menganalisis ritme jantung. Bila perlu memberikan
ventilasi mulut ke mulut, dilakukan dengan cepat dan segera kembali
menekan jantung

REKOMENDASI AHA 2015

Dewasa Anak Bayi

Deteksi .................Tidak ada respons (semua usia).........................

Tidak bernafas

Bernafas tidak normal (nafas satu-satu)

Palpasi 10 detik, tidak ada pulsasi (hanya pada RJP oleh tenaga
kesehatan)

Urutan RJP C-A-B C-A-B C-A-B

Frekuensi 100-120 x/menit


Kedalaman 5-6 cm 5 cm 4 cm
kompresi

Recoil dinding Recoil sempurna setelah setiap kompresi dada


dada

RJP oleh tenaga kesehatan: rotasi setiap 2 menit

Dewasa Anak Bayi

Gangguan pada Perkecil gangguan pada kompresi dada


kompresi
Gangguan pada kompresi dibatasi kurang dari 10 detik

Jalan nafas Head tilt – chin lift

bila tenaga kesehatan mencurigai trauma cervical lakukan jaw thrust

Ratio K-V sampai 30 – 2 30 – 2 30 – 2


jalan nafas
seorang seorang penolong
advance terpasang
penolong
15 – 2
15 – 2
lebih dari seorang penolong
lebih dari
seorang
penolong

Ventilasi Bila penolong tidak terlatih: hanya kompresi tanpa ventilasi


Ventilasi dengan 1 nafas setiap 6 – 8 detik ( 8 – 10 pernafasan/ menit )
jalan nafas
Tidak perlu sinkron dengan kompresi
advance (hanya
oleh tenaga Sekitar 1 detik setiap nafas
kesehatan)
Dinding dada terangkat

Defibrilasi Gunakan AED bila tersedia

Kurangi gangguan pada kompresi sebelun dan setelah defibrilasi

Lanjutkan RJP segera setelah setiap defibrilasi

6. Penatalaksanaan RJP (Resusitasi Jantung Paru) Sesuai Algoritma


AHA 2010
Sebelum melakukan resusitasi maka harus dilakukan beberapa prosedur
berikut pada pasien (AHA, 2010):
1) Memastikan kondisi lingkungan sekitar aman bagi penolong
2) Memastikan kondisi kesadaran pasien
Penolong harus segera mengkaji dan menentukan apakah korban sadar/
tidak. Penolong harus menepuk atau menggoyang bahu korban sambil
bertanya dengan jelas: „Hallo, Pak/ Bu! Apakah anda baik-baik saja?‟.
Jangan menggoyang korban dengan kasar karena dapat mengakibatkan
cedera. Juga hindari gerakan leher yang tidak perlu pada kejadian
cedera kepala dan leher.
3) Mengaktifkan panggilan gawat darurat (Emergency Medical Services)
Jika korban tidak berespon, segera panggil bantuan dan segera
menghubungi 118 untuk memanggil ambulans. Jika ada orang lain
disekitar korban, minta orang tersebut untuk menelpon ambulans dan
ketika menelpon memberitahukan hal-hal berikut:
a. Lokasi korban
b. Nomor telpon yang anda pakai
c. Apa yang terjadi pada korban
d. Jumlah korban
e. Minta ambulans segera datang
f. Tutup telepon hanya jika diminta oleh petugas
4) Memastikan posisi pasien tepat
Agar resusitasi yang diberikan efektif maka korban harus berbaring
pada permukaan yang datar, keras, dan stabil. Jika korban dalam posisi
tengkurap atau menyamping, maka balikkan tubuhnya agar terlentang.
Pastikan leher dan kepala tersangga dengan baik dan bergerak
bersamaan selam membalik pasien. (Nurma,2010)

7. Fase-fase RJP (Resusitasi Jantung Paru) Sesuai Algoritma AHA 2010


1) Fase I: Tunjangan Hidup Dasar (Basic Life Support)
a. C (Circulation)
 Mengkaji nadi/ tanda sirkulasi: Ada tidaknya denyut jantung
korban/pasien dapat ditentukan dengan meraba arteri karotis di
daerah leher korban/ pasien, dengan dua atau tiga jari tangan (jari
telunjuk dan tengah) penolong dapat meraba pertengahan leher
sehingga teraba trakhea, kemudian kedua jari digeser ke bagian
sisi kanan atau kiri kira-kira 1–2 cm raba dengan lembut selama
5–10 detik. Jika teraba denyutan nadi, penolong harus kembali
memeriksa pernapasan korban dengan melakukan manuver
tengadah kepala topang dagu untuk menilai pernapasan korban/
pasien. Jika tidak bernapas lakukan bantuan pernapasan, dan jika
bernapas pertahankan jalan napas.
 Melakukan kompresi dada: Jika telah dipastikan tidak ada denyut
jantung, selanjutnya dapat diberikan bantuan sirkulasi atau
kompresi jantung luar, dilakukan dengan teknik sebagai berikut :
1) Menentukan titik kompresi (center of chest): Cari possesus
xypoideus pada sternum dengan tangan kanan, letakkan
telapak tangan kiri tepat 2 jari diatas posseus xypoideus.
Gambar 7: Menentukan titik kompresi (center of chest)
2) Melakukan kompresi dada: Kaitkan kedua jari tangan pada
lokasi kompresi dada, luruskan kedua siku dan pastikan
mereka terkunci pada posisinya, posisikan bahu tegak lurus
diatas dada korban dan gunakan berat badan anda untuk
menekan dada korban sedalam minimal 2 inchi (5 cm),
lakukan kompresi 30x dengan kecepatan minimal
100x/menit atau sekitar 18 detik. (1 siklus terdiri dari 30
kompresi: 2 ventilasi). Lanjutkan sampai 5 siklus CPR,
kemudian periksa nadi carotis, bila nadi belum ada lanjutkan
CPR 5 siklus lagi. Bila nadi teraba, lihat pernafasan (bila
belum ada upaya nafas) lakukan rescue breathing dan check
nadi tiap 2 menit.
b. A (Airway)
Tindakan ini bertujuan mengetahui ada tidaknya sumbatan jalan
napas oleh benda asing. Buka jalan nafas dengan head tilt-chin lift/
jaw thrust. Jika terdapat sumbatan harus dibersihkan dahulu, kalau
sumbatan berupa cairan dapat dibersihkan dengan jari telunjuk atau
jari tengah yang dilapisi dengan sepotong kain (fingers sweep),
sedangkan sumbatan oleh benda keras dapat dikorek dengan
menggunakan jari telunjuk yang dibengkokkan. Mulut dapat
dibuka dengan teknik Cross Finger, dimana ibu jari diletakkan
berlawanan dengan jari telunjuk pada mulut korban.

c. B (Breathing)
Bantuan napas dapat dilakukkan melalui mulut ke mulut, mulut ke
hidung atau mulut ke stoma (lubang yang dibuat pada tenggorokan)
dengan cara memberikan hembusan napas sebanyak 2 kali
hembusan, waktu yang dibutuhkan untuk tiap kali hembusan adalah
1,5–2 detik dan volume udara yang dihembuskan adalah 7000–
1000ml (10ml/kg) atau sampai dada korban/pasien terlihat
mengembang. Penolong harus menarik napas dalam pada saat akan
menghembuskan napas agar tercapai volume udara yang cukup.
Konsentrasi oksigen yang dapat diberikan hanya 16 – 17%.
Penolong juga harus memperhatikan respon dari korban/pasien
setelah diberikan bantuan napas.
Cara memberikan bantuan pernapasan:
 Mulut ke mulut: penolong harus mengambil napas dalam
terlebih dahulu dan mulut penolong harus dapat menutup
seluruhnya mulut korban dengan baik agar tidak terjadi
kebocoran saat mengghembuskan napas dan juga penolong
harus menutup lubang hidung korban/pasien dengan ibu jari
dan jari telunjuk untuk mencegah udara keluar kembali dari
hidung. Volume udara yang diberikan pada kebanyakkan orang
dewasa adalah 700– 1000ml (10ml/kg). Volume udara yang
berlebihan dan laju inpirasi yang terlalu cepat dapat
menyebabkan udara memasuki lambung, sehingga terjadi
distensi lambung.
 Mulut ke hidung: Teknik ini direkomendasikan jika usaha
ventilasi dari mulut korban tidak memungkinkan, misalnya
pada Trismus atau dimana mulut korban mengalami luka yang
berat, dan sebaliknya jika melalui mulut ke hidung, penolong
harus menutup mulut korban/pasien.
 Mulut ke stoma: Pasien yang mengalami laringotomi
mempunyai lubang (stoma) yang menghubungkan trakhea
langsung ke kulit. Bila pasien mengalami kesulitan pernapasan
maka harus dilakukan ventilasi dari mulut ke stoma.

Setelah nafas dan nadi korban ada, bila tidak ada kontraindikasi
untuk mencegah kemungkinan jalan nafas tersumbat oleh lidah,
lender, atau muntah berikan posisi recovery pada korban dengan
langkah sebagai berikut (Suharsono, T., & Ningsih, D. K., 2008):
a) Letakkan tangan korban yang dekat dengan anda dalam posisi
lengan lurus dan telapak tangan menghadap keatas kearah paha
korban
b) Letakkan lengan yang jauh dari anda menyilang diatas dada
korban dan letakkan punggung tangannya menyentuh pipinya
c) Dengan menggunakan tangan anda yang lain, tekuk lutut
korban yang jauh dari anda sampai membentuk sudut 90˚
d) Gulingkan korban kearah penolong.
e) Lanjutkan untuk memonitor denyut nadi korban, „tanda
sirkulasi‟, dan pernafasan tiap 2 menit hingga bantuan datang.

2) Fase II: Tunjangan Hidup Lanjutan (Advance Life Support)


Fase kedua merupakan fase yang dilakukan setelah tunjangan hidup
dasar (basic life support) berhasil diberikan (Liza, 2008). Fase ini
terdiri dari:
a. D (Drug): pemberian obat-obatan termasuk cairan untuk
memperbaiki kondisi korban/ pasien.
b. E (ECG): melakukan pemeriksaan diagnosis elektrokardiografis
secepat mungkin untuk mengetahui fibrilasi ventrikel.
3) Fase III: Tunjangan Hidup Terus-Menerus (Prolonged Life
Support)
a. G (Gauge): pengukuran dan pemeriksaan untuk monitoring
penderita secara terus menerus, dinilai, dicari penyebabnya dan
kemudian mengobatinya.
b. H (Head): tindakan resusitasi untuk menyelamatkan otak dan
sistem saraf dari kerusakan lebih lanjut akibat terjadinya henti
jantung, sehingga dapat dicegah terjadinya gangguan neurologic
yang permanen.
c. I (Intensive Care): perawatan intensif di ICU, meliputi: tunjangan
ventilasi (trakheostomi), pernafasan dikontrol terus menerus, sonde
lambung, pengukuran pH, pCO2 bila diperlukan dan tunjangan
sirkulasi mengedalikan jika terjadinya kejang.
8. Perubahan Pada BLS AHA Guidelines 2010
Terdapat beberapa perubahan pada BLS AHA Guidelines 2010
dibandingkan dengan AHA Guidelines 2005. Beberapa perubahan yang
telah dilakukan adalah seperti berikut (AHA, 2010):
1) Urutan ABC diubah menjadi CAB
Chest compression dilakukan sebelum breathing. Sebelumnya dalam
AHA Guidelines 2005, kita mengenal ABC: airway, breathing dan
chest compressions, yaitu buka jalan nafas, bantuan pernafasan, dan
kompresi dada. Saat ini kompresi dada dilakukan terlebih dahulu, baru
setelah itu kita bisa fokus pada airway dan breathing. Pengecualian
satu-satunya adalah hanya untuk bayi baru lahir.
2) “Look, listen and feel” tidak digunakan dalam algortima BLS.
Kunci utama menyelamatkan seseorang dengan henti jantung adalah
dengan bertindak, bukan menilai. Telepon ambulans segera saat kita
melihat korban tidak sadar dan tidak bernafas dengan baik. Tindakan
“Look, listen and feel” dianggap dapat menghabiskan waktu.
3) Kompresi dada dilakukan lebih dalam
Sebelumnya dalam AHA Guidelines 2005 kedalaman kompresi dada
adalah 1½ sampai 2 inchi (4-5cm), namun sekarang AHA Guidelines
2010 merekomendasikan untuk melakukan kompresi dada setidaknya
2 inchi (5cm) pada dada.
4) Kompresi dada dilakukan lebih cepat
AHA Guidelines 2010 merekomendasikan untuk melakukan kompresi
dada dengan kecepatan minimal 100x/menit, dimana dengan kecepatan
ini 30 kompresi memerlukan waktu sekitar 18 detik. Pada panduan
AHA 2005 sebelumnya disebutkan bahwa kecepatan kompresi sekitar
100x/menit.
5) Hands only CPR
AHA merekomendasikan agar penolong yang tidak terlatih melakukan
Hands only CPR pada korban dewasa yang pingsan di depan mereka.
Akan tetapi muncul pertanyaan besar: apa yang harus dilakukan
penolong tidak terlatih pada korban yang bukan dewasa? AHA
memang tidak memberikan jawaban tentang hal ini namun ada saran
sederhana disini: berikan hands only CPR karena berbuat sesuatu lebih
baik daripda tidak berbuat sama sekali.
6) Mengenali sudden cardiac arrest (SCA) dari menganalisa respon dan
pernafasan
7) Jangan behenti melakukan kompresi dada
Penghentian kompresi dada berarti menghentikan aliran darah ke otak
yang dapat mengakibatkan kematian jaringan otak jika aliran darah
berhenti terlalu lama. AHA 2010 merekomendasikan untuk terus
melakukan kompresi dada selama kita bisa. Terus lakukan kompresi
dada hingga alat defibrilator otomatis datang dan siap untuk menilai
keadaan jantung. (Nurma,2010)
9. Perbedaan AHA 2010 dan AHA 2015
1) Pengenalan dan Pengaktifan Cepat Sistem Tanggapan Darurat
- AHA 2010 : HCP (Health Care Provider) harus memastikan
reaksi pasien sewaktu memeriksanya untuk menentukan apakah
napas terhenti atau tidak.
- AHA 2015 : HCP harus meminta bantuan terdekat bila
mengetahui korban tidak menunjukkan reaksi, namun akan lebih
praktis bagi HCP untuk melanjutkan dengan menilai pernapasan
dan denyut secara bersamaan sebelum benar-benar mengaktifkan
system tanggapan darurat (atau meminta HCP pendukung).
- Alasan : Perubahan rekomendasi bertujuan untuk meminimalkan
penundaan dan mendukung penilaian serta tanggapan yang cepat
dan efisien secara bersamaan, bukan melakukan pendekatan
langkah demi langkah yang berjalan lambat berdasarkan metode.
2) Penekanan pada Kompresi Dada
- AHA 2010 : Melakukan kompresi dada dan napas buatan untuk
korban serangan jantung adalah tindakan yang perlu dilakukan
oleh EMS dan penolong profesional di lingkungan rumah sakit.
- AHA 2015 : Melakukan kompresi dada dan menyediakan
ventilasi untuk semua pasien dewasa yang mengalami serangan
jantung adalah tindakan yang harus dilakukan oleh HCP, baik
yang disebabkan maupun tidak disebabkan oleh jantung. Lebih
lanjut, penting bagi HCP untuk menyesuaikan urutan tindakan
penyelamatan berdasarkan penyebab utama serangan.
- Alasan : CPR hanya kompresi direkomendasikan untuk penolong
yang tidak terlatih karena relative mudah bagi operator untuk
memandu dengan instruksi melalui telepon. HCP diharapkan
menerima pelatihan tentang CPR dan secara efektif dapat
menjalankan kompresi dan ventilasi. Namun, prioritas untuk
penyedia layanan medis, terutama jika bertindak sendiri, harus
tetap mengaktifkan sistem tanggapan darurat dan menjalankan
kompresi dada. Mungkin terdapat kondisi yang harus terjadi
perubahan urutan, misalnya ketersediaan AED yang dapat dengan
cepat diambil dan digunakan oleh penyedia layanan medis.
3) Kejut atau CPR terlebih dahulu
- AHA 2010: Bila penolong menyaksikan terjadinya serangan
jantung di luar rumah sakit dan AED tidak tersedia di lokasi,
penolong tersebut harus memulai CPR dengan kompresi dada dan
menggunakan AED sesegera mungkin. HCP yang menanggani
pasien serangan jantung di rumah sakit dan fasilitas lainnya
dengan AED atau defibrillator yang tersedia di lokasi harus segera
memberikan CPR dan menggunakan AED segera setelah tersedia.
Rekomendasi ini dirancang untuk mendukung CPR dan defibrilasi
awal, terutama bila AED tersedia beberapa saat setelah terjadinya
serangan jantung mendadak.
- AHA 2015 : Untuk pasien dewasa yang mengalami serangan
jantung dan terlihat jatuh saat AED dapat segera tersedia, penting
bahwa defibrillator digunakan secepat mungkin. Untuk orang
dewasa yang mengalami serangan jantung tidak terpantau atau
saat AED tidak segera tersedia, penting bila CPR dijalankan
sewaktu peralatan defibrillator sedang diambil dan diterapkan, dan
bila defibrilasi, jika diindikasikan, diterapkan segera setelah
perangkat siap digunakan.
- Alasan : Meskipun banyak penelitian telah menjawab pertanyaan
apakah terdapat manfaat dengan menggunakan kompresi dada
sesuai durasi yang ditentukan (biasanya 1,5 hingga 3 menit)
sebelum menerapkan kejut, seperti dibandingkan dengan
penerapan kejut segera setelah AED dapat disiapkan, namun tidak
terdapat perbedaan antara kedua hasil yang ditampilkan. CPR
harus diberikan saat bantalan AED diterapkan dan hingga AED
siap menganalisis ritme.
4) Kecepatan Kompresi dada : 100 hingga 120/min
- AHA 2010: Penolong tidak terlatih dan HCP perlu melakukan
kompresi dada pada kecepatan minimum 100/min.
- AHA 2015: Pada orang dewasa yang menjadi korban serangan
jantung, penolong perlu melakukan kompresi dada pada kecepatan
100 hingga 120/min.
- Alasan: Nilai kecepatan kompresi minimum yang direkomdasi
tetap 100/min. kecepatan batas atas 120/min telah ditambahkan
karena 1 rangkaian register besar menunjukkan bahwa saat
kecepatan kompresi meningkat menjadi lebih dari 120/min,
kedalaman kompresi akan berkurang tergantung pada dosis.
Misalnya, proporsi kedalaman kompresi tidak memadai adalah
sekitar 35% untuk kecepatan kompresi 100 hingga 119/min,
namun bertambah menjadi kedalaman kompresi tidak memadai
sebesar 50% saat kecepatan kompresi berada pada 120 hingga
139/min dan menjadi kedalaman kompresi tidak memadai sebesar
70% saat kecepatan kompresi lebih dari 140/menit.
5) Kedalaman Kompresi Dada
- AHA 2010 : Tulang dada orang dewasa harus ditekan minimum
sedalam 2 inci (5 cm).
- AHA 2015 : Sewaktu melakukan CPR secara manual, penolong
harus melakukan kompresi dada hingga kedalaman minimum 2
inci (5 cm) untuk dewasa rata-rata, dengan tetap menghindari
kedalam kompresi dada yang berlebihan (lebih dari 2,4 inci [6
cm]).
- Alasan: Kedalaman kompresi sekita 5 cm terkait dengan
kemungkinan hasil yang diharapkan lebih besar bila dibandingkan
dengan kedalaman kompresi lebih dangkal. Meskipun terdapat
sedikit bukti tentang adanya ambang atas yang jika dilampaui,
maka kompresi akan menjadi terlalu dalam, namun satu penelitian
sangat kecil baru-baru ini menunjukkan potensi cedera (yang tidak
mengancam jiwa) akibat kedalaman kompresi dada yang
berlebihan (lebih dari 2,4 inci). Kedalaman kompresi mungkin
sulit diperkirakan tanpa menggunakan perankat umpan balik, dan
identifikasi batas atas kedalaman kompresi mungkin akan sulit
dilakukan. Penting bagi penolong untuk mengetahui bahwa
kedalaman kompresi dada lebih sering terlalu dangkal daripada
terlalu dalam.
6) Rekoil Dada
- AHA 2010: Penolong harus membolehkan rekoil penuh dinding
dada setelah setiap kompresi agar jantung terisi sepenuhnya
sebelum kompresi berikutnya dilakukan.
- AHA 2015 : Penting bagi penolong untuk tidak bertumpu di atas
dada di antara kompresi untuk mendukung rekoil penuh dinding
dada pada pasien dewasa saat mengalami serangan jantung.
- Alasan : Rekoil penuh dinding dada terjadi bila tulang dada
kembali ke posisi alami atau netralnya saat fase dekompresi CPR
berlangsung. Recoil dinding dada memberikan tekanan intratoraks
negatif yang mendorong pengembalian vena dan aliran darah
kardiopulmonari. Bertumpu di atas dinding dada di antara
kompresi akan menghalangi recoil penuh dinding dada. Recoil
tidak penuh akan meningkatkan tekanan intrathoraks dan
mengurangi pengembalian vena, tekanan perfusi coroner, dan
aliran darah miokardium, serta dapat mempengaruhi hasil
resusitasi.
7) Meminimalkan Gangguan dalam Kompresi Dada
- AHA 2010 : Penolong harus berupaya meminimalkan frekuensi
dan durasi gangguan dalam kompresi untuk mengoptimalkan
jumlah kompresi yang dilakukan permenit.
- AHA 2015 : Untuk orang dewasa yang mengalami serangan
jantung dan menerima CPR tanpa saluran udara lanjutan, mungkin
perlu untuk melakukan CPR dengan sasaran fraksi kompresi dada
setinggi mungkin, dengan target minimum 60%.
- Alasan : Gangguan dalam kompresi dada dapat ditunjukkan
sebagai bagian dari perawatan yang diperlukan (misalnya, analisis
ritme dan ventilasi) atauyang tidak disengaja (misalnya, gangguan
terhadap penolong). Fraksi kompresi dada adalah pengukuran
proporsi waktu resusitasi total yang dilakukan kompresi.
Peningkatan fraksi kompresi dada dapat diperoleh dengan
meminimalkan jeda dalam kompresi dada. Sasaran optimal untuk
fraksi kompresi dada belum didefinisikan. Penambahan fraksi
kompresi target ditujukan untuk membatasi gangguan dalam
kompresi dan mengoptimalkan perfusi coroner dan aliran darah
saat CPR berlangsung.
8) Ventilasi tertunda
- AHA 2010 : -
- AHA 2015 : Untuk pasien OHCA yang terpantau dengan ritme
dapat dikejut, mungkin penting bagi sistem EMS dengan umpan
balik beberapa tingkat berbasis prioritas untuk menunda ventilasi
bertekanan positif (PPV/Positive Pressure Ventilation) dengan
menggunakan strategi hingga 3 siklus dari 200 kompresi
berkelanjutan dengan insuflasi oksigen pasif dan tambahan
saluran udara.
- Alasan : Beberapa system EMS telah menguji strategi penerapan
kompresi dada awal secara berkelanjutan dengan PPV tertunda
untuk korban OHCA dewasa. Dalam semua sistem EMS ini,
penyedia layanan menerima pelatihan tambahan dengan
penekanan pada penerapan kompresi dada berkualitas tinggi. Tiga
penelitian dalam sistem yang menggunakan umpan balik beberapa
tingkat berbasis prioritas dalam komunitas perkotaan dan
pedesaan, serta memberikan paket perawatan mencakup hingga 3
siklus insuflasi oksigen pasif, penyisipan tambahan saluran udara,
dan 200 kompresi dada berkelanjutan dengan penerapan kejut,
menunjukan peningkatan kelangsungan hidup pasien dengan
status neurologis yang dapat diterima pada korban serangan
jantung yang terlihat jatuh dan dengan dengan ritme dapat dikejut.

Anda mungkin juga menyukai