Anda di halaman 1dari 20

I.

Konsep Komunikasi Umum


A. Definisi Komunikasi Umum
Secara istilah komunikasi berasal dari bahasa latin yaitu communicare-communicatio
dan communicatus suatu sistem penyampaian dan penerimaan berita seperti alat komunikasi
verbal, nonverbal, dan berbagai macam media komunikasi yang saling berhubungan.
Komunikasi ialah penggabungan dari apa yang dilakukan oleh individu ketika ia ingin
memberi pemahaman kepada individu lain. Dapat berupa proses berbicara, mendengarkan,
dan memahami secara sistematis dan continue (Louis A Allen).
Defenisi komunikasi menurut beberapa ahli yaitu: 1) Ross (1974), komunikasi adalah
proses pertukaran informasi yang mengikutsertakan pemilahan, pemilihan, dan pengiriman
informasi berupa interaksi untuk membantu pendengar untuk memprosesnya lalu memberi
makna atau respons yang mirip dengan yang dimaksud oleh pemberi informasi; 2) Chitty
(1997), komunikasi merupakan interaksi yang mengikutsertakan tukar-menukar ide, pikiran,
informasi, dan perasaan; 3) Yuwono (1985), komunikasi merupakan kegiatan yang
menimbulkan respon tingkah laku dari komunikan yang diberikan oleh komunikator.
Komunikasi bertujuan untuk memperoleh respon dari komunikanterhadap pesan yang
disampaikan oleh komunikator. Menurut Taylor, Lillis, LeMone (1989), dan DeVito (1997)
ada lima elemen utama yaitu dalam komunikasi yang efektif : 1) Komunikator (sender),
Komunikator merupakan individu atau kelompok yang menjadi pemberi
informasi/berita/ide/pesan dari sebuah proses komunikasi; 2) Informasi/berita/ide/pesan,
adalah makna yang disampaikan oleh komunikator baik secara langsung ataupun tidak
langsung; 3) Komunikan (receiver), komunikan merupakan individu atau kelompok yang
menerima informasi/berita/ide/pesan yang diberikan oleh komunikator; 4) Umpan balik
(respon), adalah respon atau tanggapan atas informasi yang diperoleh komunikan dan
disampaikan kepada sumbernya (Clement dan Frandsen, 1976, dalam DeVito, 1997); 5)
Atmosfer/konteks, adalah kondisi lingkungan yang terjadi ketika komunikasi sedang
berlangsung, meliputi fisik, sosial-psikologis, dan temporal dan akan mempegaruhi pesan
yang disampaikan.
Dalam lingkup keperawatan komunikasi efektif dan baik merupakan hal yang perlu
dikuasai dalam profesi. Komunikasi ini diterapkan kepada pasien, keluarga pasien, tenaga
medis, maupun masyarakat sekitar. Dalam konsep keperawatan yang digunakan adalah
komunikasi terapeutik. Komunikasi terapeutik merupakan proses tukar menukar perilaku,
perasaan, dan pengalaman saat adanya hubungan terapeutik antara perawat dan pasien yang
dilakukan dengan kerja sama (Stuart and Sunden, 1987).
Memperoleh informasi sebanyak-banyaknya dari pasien mengenai kondisinya
merupakan hal yang berharga bagi seorang perawat. Selain itu, Tujuan lain dari komunikasi
terapeutik adalah : 1) menolong pasien untuk mengatasi masalah dan mengurangi beban
perasaan dan pikiran; 2) melayani dengan tindakan yang efektif untuk kebaikan pasien; 3)
menjaga dan mengimprovisasi emosional pasien; 4) pasien dapat mencapai tingkat pemulihan
yang diharapkan.
Komunikasi merupakan modal utama oleh setiap individu untuk melakukan interaksi
baik kepada individu maupun kelompok. Komunikasi adalah pertukaran informasi yang
dilakukan oleh individu dengan individu lainnya yang bertujuan untuk mempengaruhi dan
memperoleh informasi. Lima elemen konsep dari komunikasi yaitu komunikator, pesan,
komunikan, umpan balik, dan keadaan lingkungan sekitar. Dalam keperawatan penerapan
komunikasi dalam cakupan asuhan keperawatan yang menggunakan bentuk komunikasi
terapeutik.
B. Jenis Komunikasi
Pada umumnya bentuk komunikasi dapat dikategorikan menjadi dua. Chitty (1997),
menyatakan dua bentuk komunikasi tersebut adalah komunikasi verbal dan komunikasi
nonverbal. Komunikasi verbal ialah bentuk komunikasi yang menggunakan kata-kata yang
disampaikan melalui ucapan maupun tulisan. Terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan,
yang pertama adalah pemilihan kata yang memiliki makna yang jelas, tidak ambigu, dan
maknanya dapat dipahami dengan mudah. Oleh karena itu, sangat disarankan untuk tidak
bertele-tele, sebaiknya pesan disampaikan dengan lugas agar tidak terjadi kesalahan makna
oleh penerima.
Aspek kedua yang perlu diperhatikan adalah ritme dan intonasi dalam berbicara.
Mengatur ritme dan intonasi suara dalam berbicara juga dapat menyesuaikan tempo serta
menekankan sesuatu yang dianggap penting. Bagian terakhir yang harus diperhatikan adalah
kesesuaian isi yang disampaikan. Penyampaian hal yang tidak berhubungan dengan konteks
yang dibicarakan dapat menghambat lancarnya komunikasi.
Sedangkan, komunikasi nonverbal menggunakan kelima panca indera yang dimiliki
manusia. Kekurangan dari bentuk komunikasi ini akan menyebabkan adanya perbedaan
dalam menginterpretasikan pesan yang diterima. Salah satu faktor yang dapat menyalahi
interpretasi adalah latar belakang sosial budaya yang berbeda. Adapun beberapa hal yang
perlu diperhatikan oleh komunikator untuk meminimalisir kesalahan interpretasi oleh
komunikan. Diantaranya adalah penampilan (cara berpakaian), gestur, mimik wajah, kontak
mata, suara (desahan,membuang nafas, menguap dll.), dan jarak antara komunikator dengan
komunikan. Menurut Stuart (2009) dalam Potter dan Perry (2017), penting untuk memastikan
pesan yang ditangkap melalui komunikasi nonverbal untuk meminimalisir kesalahan dalam
menginterpretasi pesan yang disampaikan.
Selain komunikasi verbal dan nonverbal Crowe (2017) menyebutkan dua bentuk
komunikasi lainnya. Kedua bentuk tersebut yaitu komunikasi yang menggunakan simbol dan
metakomunikasi. Komunikasi yang menggunakan simbol dapat dilakukan melalui seni seperti
lukisan dan musik. Dalam praktiknya hal-hal yang berhubungan dengan kesenian dapat
dibuktikan mampu memberi perasaan senang sehingga dapat mengurangi rasa sakit yang
dialami pasien (Lane,2006 dalam Potter dan Perry 2017). Sedangakan, metakomunikasi
mempunyai makna yang lebih luas. Metakomunikasi berhubungan dengan semua faktor yang
mempengaruhi proses komunikasi, baik secara verbal maupun nonverbal. Komunikator yang
mengetahui dan memperhatikan faktor-faktor yang berpengaruh dalam proses berkomunikasi,
akan dapat menjalankan komunikasi secara efektif (Arnold dan Bogs,2011 dalam
Potter&Perry 2017).
Dalam komunikasi penting untuk memahami faktor-faktor yang berpengaruh
didalamnya. Menentukan bentuk komunikasi yang tepat dapat membantu komunikator beserta
komunikan memperoleh tujuan komunikasi. Oleh karena itu, memperhatikan faktor yang
mempengaruhi bentuk komunikasi verbal maupun nonverbal merupakan hal yang penting.
komunikasi melalui simbol seperti hal-hal yang berhubungan dengan kesenian dapat
membantu proses pemulihan pasien.
C. Tingkatan Komunikasi
Pentingnya komunikasi dalam dunia kesehatan merupakan hal yang lumrah dan
seharusnya dikuasai oleh para tenaga kesehatan. Tanpa adanya komunikasi hubungan antara
pasien dengan tenaga kesehatan tidak dapat terjalin dengan baik. Seperti halnya dalam dunia
keperawatan, kemampuan komunikasi yang baik merupakan cerminan dari seorang perawat
yang professional. Banyaknya keberagaman menyebabkan hambatan dalam komunikasi
kesehatan. Oleh sebab itu untuk untuk memahami komunikasi yang baik seorang perawat
juga perlu mengetahui tingkatan komunikasi dalam dunia kesehatan agar komunikasi dapat
berjalan dengan efektif.
Tingkatan komunikasi kesehatan dapat dikategorikan menjadi 5 tingkatan.
Komunikasi intrapribadi (intrapersonal communication) ialah komunikasi yang melibatkan
diri sendiri untuk mengolah informasi dengan menggunakan panca indra dan sistem saraf
manusia. Komunikasi antarpribadi (interpersonal communication) merupakan komunikasi dua
arah yang dilakukan bersama orang lain dan bersifat pribadi. Komunikasi kelompok (group
communication) merupakan komunikasi yang mengikutsertakan beberapa anggota yang
dalam kelompok tersebut. Komunikasi organisasi (organization communication) dapat
dipahami sebagai komunikasi yang bersifat formal atau informal dengan proses pertukaran
informasi dalam sebuah organisasi. Komunikasi massa (mass communication) yaitu
komunikasi yang dikhususkan kepada publik dengan menggunakan media massa baik cetak
mapun elektronik serta dapat serentak diterima (Harahap, 2019) .
Komunikasi intrapribadi ialah kemampuan seseorang berinteraksi juga berperan
sebagai saya atau aku untuk menyusun sebuah perencanaan IQ, memfasilitasi kenyataan
kecerdasan SQ/spiritual quotient/SQ, menerapkan kecerdasannya melalui Nafs Quotient serta
mengevaluasi perencanaan dengan kecerdasan EQ. Dalam sebuah interaksi jika diibaratkan
sebagai rumah, komunikasi merupakan pondasinya. Selain itu komunikasi intrapribadi dapat
menutup aib sendiri dan menutup orang lain karena komunikasi ini erat kaitannya dengan
spiritual. Maka dari itu komunikasi ini dapat mejadikan diri seseorang mempunyai gambaran
yang lebih positif terhadap orang lain dalam berperan sebagai saya ( Arbi, 2019).
Komunikasi Interpersonal (interpersonal communication) dalam dunia kesehatan
melibatkan kontak interaksi langsung antara dua orang dalam melakukan konsultasi ataupun
konseling kesehatan (Noorbaya, 2018). Efektivitas Komunikasi interpersonal (komunikasi
antarpribadi) mencakup dua hal yaitu humanis dan pragmatis. Humanis yang dimaksud yaitu
bersikap baik untuk memanusiakan manusia dengan bersikap terbuka berperilaku suportif,
berperilaku positif, empati, dan mempunyai pengalaman yang sama. Sedangkan pragmatis
mencakup sikap yakin, dan manajemen interaksi (Sari, 2017). Komunikasi interpersonal dapat
menggunakan jenis komunikasi yang bersifat verbal dan nonverbal dengan jumlah orang
minimal dua orang (Liliweri, 2017). Komunikasi kelompok, komunikasi organisasi, dan
komunikasi massa merupakan komunikasi yang memerlukan suatu perencanaan. Komunikasi
kelompok berfungsi untuk menumbuhkan semangat, kebersamaan, dan solidaritas (Kenda,
2020) . .
Pentingnya komunikasi dalam dunia kesehatan tidak dapat dihilangkan. Setiap
tingkatan komunikasi memiliki fungsi dan gambaran yang berbeda-beda. Untuk menjadi
seorang tenaga kesehatan yang profesional sangat penting untuk menguasai teknik
komunikasi yang baik sesuai dengan tingkatannya. Komunikasi intrapersonal tidak perlu
melibatkan orang lain untuk berinteraksi, sedangkan komunikasi yang lainnya perlu
melibatkan orang lain agar dapat berinteraksi sesuai dengan kondisi dan gambaran
komunikasi itu sendiri. Hambatan dalam komunikasi dapat terjadi dalam beberapa faktor,
diantaranya ialah faktor bahasa yang beragam, faktor lingkungan yang kurang nyaman, faktor
fisik dan dan faktor psikologis. Untuk itu kefektifan dalam komunikasi akan tercapai apabila
hambatan yang dapat diminimalisir.
D. Model Struktur Komunikasi
Secara istilah ‘model’ diartikan sebagai suatu rencana, deskripsi, pola, ataupun
representasi yang dirancang sebagai struktur atau sistem sebuah konsep (odyssey dmc, 2018).
Model komunikasi didefinisikan sebagai suatu instrumen dalam menjelaskan proses
komunikasi yang kompleks menjadi lebih sederhana. Pada model komunikasi juga digunakan
berbagai simbol untuk memperlihatkan proses komunikasi secara konseptual dengan tidak
menghilangkan komponen yang ada di dalamnya. Para pakar telah membuat berbagai macam
model komunikasi yang tercirikan khusus dan dipengaruhi oleh paradigma, latar belakang
keilmuan, teknologi, serta perkembangan zaman (Sarfika, Maisa, & Windy, 2018).
Adapun tiga model komunikasi yang utama yaitu model komunikasi linear, model
interaktif, dan model transaksional. Pada model komunikasi linear komunikasi diartikan
sebagai proses interaksi satu arah. Pengirim (komunikan) akan mengkodekan pesan dan
menyalurkannya ke penerima dengan tanpa kemungkinan adanya umpan balik dari si
penerima baik secara verbal maupun nonverbal, contohnya pada media komunikasi televisi,
radio, dan surat kabar. Model Laswell dan Shannon Weaver’s masuk kedalam model
komunikasi linear (Sarfika, Maisa, & Windy, 2018).Model Laswell dikembangkan dengan
acuan komunikator atau pengirim, isi pesan, media, penerima, dan umpan balik. Acuan
tersebut memiliki analisis kontrol untuk membantu pengirim untuk menganalisis isi dikaitkan
dengan stereotipe dan representasi. Analisis media untuk mengkaji pemilihan media, analisis
khalayak mengkaji siapa yang menjadi target, dan analisis efek memprediksi efek pesan yang
diberikan. Model Laswell umumnya digunakan sebagai media persuasi (Sarfika, Maisa, &
Windy, 2018).
Shannon dan Weaver’s manyambungkan sinyal transmisi untuk komunikasi dan
memiliki enam komponen yaitu pengirim, enconder, media, decoder, penerima, dan gangguan
(odyssey dmc, 2018). Berdasarkanmodel tersebut, permasalahan komunikasi yaitu maslah
teknis, semantic, dan efektivitas. Model komunikasi ini hanya dapat diterapkan dengan baik
bila dilakukan di komunikasi interpersonal dibandingkan dengan komunikasi kelompok.
Perkembangan dari model Shannon dan Weaver’s adalah model komunikasi Berlo atau
disebut juga dengan model komunikasi SMCR (Sender-Message-Channel-Receiver). Model
komunikasi Berlo memiliki karakteristik yang fokus pada proses encoding dan decoding,
tidak ada konsep gangguan, dan efek komunikasi tidak diketahui (Sarfika, Maisa, & Windy,
2018).
Sedangkan model Aristoteles merupakan salah satu model komunikasi linear yang
memiliki lima elemen yaitu speaker, speech, audience, dan effect. Pada model komunikasi
Aristoteles, pembicara sebagai pusat perhatian karena dipandang sebagai pihak aktif serta
memiliki peran yang penting dengan mengirimkan pesan kepada umum. Sedangkan penerima
pesan dianggap sebagai pihak yang pasif karena tidak terdapat konsep umpan balik ataupun
kegagalan komunikasi. Model komunikasi ini menuntut komunikan agar dapat mempengaruhi
penerima pesan dengan komunikasi yang kita lakukan. Model Aristoteles tidak terfokus pada
komunikasi interpersonal maupun intrapersonal dan biasanya digunakan ketika komunikasi
pada public speaking (Sarfika, Maisa, & Windy, 2018).
Model yang kedua yaitu model interaktif yang menggambarkan komunikasi disertai
dengan adanya aksi atau respon baik secara langsung maupun melalui media dan secara
verbal ataupun nonverbal oleh komunikan. Pada model interaktif umpan balik akan sangat
terasa antara komunikator dan komunikan sehingga keduanya saling berpartisipasi aktif dalam
komunikasi yang dilakukan (e-PGPathshala, 2016). Model komunikasi Osgood dan Schramm
merupakan model komunikasi interaktif. Pesan dikirim setelah proses encoding dan pengirim
pesannya disebut encoder, sedangkan penerima disebut decoder karena pesan yang sampai
telah di encode sehingga mengalami proses decoding. Model Osgood dan Schramm biasa
disebut Encode-Decode. Model tersebut mengganti model komunikasi linear menjadi
komunikasi sirkular (Sarfika, Maisa, & Windy, 2018).
Model ketiga yaitu model transaksional yang menunjukkan bahwa dalam komunikasi
antara unsur yang satu dengan yang lainnya adalah saling berhubungan. Dalam tindakan
komunikasi setiap orang dapat menjadi pembicara maupun pendengar, serta dapat secara
bersamaan mengirim ataupun menerima pesan. Baik pembicara maupun pendengar secara
bersamaan saling memahami, mendengarkan, dan menghasilkan makna suatu hubungan
tersebut (Townsend & Morgan, 2017). Model tersebut menyatakan bahwa orang terhubung
melalui komunikasi, dan komunikasi juga mempengaruhi semua pihak yang terlibat satu sama
lainnya yaitu pengirim dan juga penerima. Model komunikasi transaksional didefinisikan
sebagai komunikasi yang berkelanjutan dan mengalami perubahan pada prosesnya. Setiap
reaksi yang diberikan bergantung pada faktor latar belakang, pengalaman sikap, kepercayaan
budaya, serta harga diri (odyssey dmc, 2018).
Model-model komunikasi ini digunakan untuk mempermudah memahami konsep
komunikasi yang kompleks. Jumlah model komunikasi lainnya yang mempunyai
keberagaman, sehingga ketepatan penggunaan model komunikasi perlu diperhatikan. Setiap
model komunikasi mempunyai kelebihan dan kekurangan sehingga perlu kita perhatikan
penggunaan dan kesesuaian model komunikasi dengan maksimal pada keadaan-keadaan
tertentu. Oleh karena itu keefektifan penggunaan model komunikasi yang sesuai keadaan.

E. Hambatan Komunikasi
Lancarnya keberlangsungan sebuah komunikasi merupakan sesuatu yang harus
diciptakan dalam berinteraksi. Namun seringkali ketidaklancaran sebuah komunikasi terjadi
karena beberapa faktor. Oleh karena itu untuk mempersiapkan suatu interaksi komunikasi
yang terjalin dengan baik perlu pengetahuan tentang faktor – faktor yang menghambat
keefektifan dalam berkomunikasi. Dengan mengetahui faktor – faktor tersebut keterhambatan
dalam komunikasi dapat terhindari dan diminimalisir dengan baik.
Adapun faktor – faktor yang dapat menghambat terciptanya komunikasi yang efektif
yaitu bahasa, lingkungan,fisik, dan psikologi. Bahasa yang beragam dapat disebabkan oleh
kondisi daerah yang prulal. Selain itu keberagaman budaya dan suku dapat menjadikan
bahasa yang dimiliki oleh setiap daerah berbeda, sehingga dapat menjadi penghambat dalam
berkomunikasi. Lingkungan yang kurang mendukung seperti halnya kebisingan, kondisi
lingkungan yang kotor, sehingga ketidaknyamanan akan mengganggu pengiriman pesan yang
ingin disampaikan. Selain itu kondisi udara dalam ruangan ataupun di outdoor juga perlu
diperhatikan untuk terciptanya kenyamanan dalam berkomunukasi.
Keterbatasan fisik yang dimiliki oleh komunikator maupun komunikan juga
berpotensi menjadi penghambatan keefektifan komunikasi. Keterbatasan fisik yang dimaksud
ialah kondisi fisik yang cacat pada komunikan ataupun komunikator. Seperti halnya kebutaan,
ketulian, kebisuan, dan kondisi cacat lainnya. Apabila saat berkomunikasi slaah satu anggota
dalam komunikasi memiliki keterbatasan fisik maka anggota komunikasi lainnya perlu untuk
menyiasati kondisi tersebut. Seperti halnya pada seseorang yang mengalami gangguan
pendengaran , maka perlu kesabaran dan kemampuan berbicara yag jelas dan tidak
menyinggung peraasaannya. Selain itu, keadaan psikologis komunikan sangat berpengaruh
dan mungkin saja menjadi hambatan dalam proses komunikasi. Seperti halnya keadaan
psikologis yang tertekan, marah, sedih, dan kondisi batin lainnya. Keadaan psikologis yang
kurang baik dapat menyebabkan pesan yang ingin disampaikan dalam komunikasi tidak
diterima secara utuh oleh komunikan
Faktor – faktor yang menghambat keefektifaan komunikasi seperti bahasa, kondisi
lingkungan, kondisi fisik, maupun kondisi psikologi perlu untuk di perhatikan demi
tercipatanya komunikasi yang efektif. Seperti halnya keberagaman bahasa akan menghambat
penyampain pesan ataupun tanggapan dalam berkomunikasi. Kondisi lingkungan yang tidak
nyaman dapat membuat komunikan dan komunikataor merasa terganggu saat berkomunikasi.
Kondisi fisik yang mengalami gangguan juga sangat berpengaruh dalam proses komuniaksi
karena salah satu pihak harus mempunyai kesabaran dan kemampuan khusu untuk
berkomunikasi. Selain itu keadaan psikologis yang dialami anggota komunikasi seringkali
mengalami perubahan, hal itu tergantung pada kondisi dan perasasaan yang dialami pasien.
Maka dari itu faktor – faktor diatas merupakan penghambat dalam komunikasi yang efektif.
II. Konsep Komunikasi Terapeutik
A. Definisi dan Ciri-ciri Komunikasi Teurapeutik

Komunikasi terapeutik merupakan suatu bentuk komunikasi antara perawat dengan


pasien atau klien yang dilakukan agar pasien atau klien dapat merasakan manfaat
yang sebesar- besarnya (Ariani,2018). Dalam pelaksanaannya, komunikasi terapeutik
terlaksana ketika perawat mengetahui keluhan pasien atau klien sehingga dapat menentukan
asuhan keperawatan apa yang tepat untuk digunakan (Muhith dan Siyoto, 2018).
Komunikasi terapeutik juga memiliki tujuan dan beberapa prinsip yang dijadikan sebagai
pedoman. Prinsip dan tujuan yang ada merupakan tolak ukur bagi kualitas komunikasi
terapeutik yang dilakukan oleh perawat terhadap pasien atau kliennya.
Menurut Stuart (1998) komunikasi terapeutik merupakan hubungan interpersonal antara
perawat dan pasien. Dalam hal ini perawat dan pasien memperoleh pengalaman belajar
bersama dalam rangka memperbaiki pengalaman emosional pasien. Sedangkan menurut Perry
Potter (2005), komunikasi terapeutik merupakan proses dimana perawat melaksanakan
pendekatan terencana dalam mempelajari pAsien.
Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa komunikasi terapeutik adalah
cara atau upaya yang dilakukan perawat untuk lebih mengenal dan mempelajari pasien.
Selain itu, komunikasi terapeutik juga dapat menumbuhkan hubungan saling percaya antara
pasien dengan perawat dengan memberikan informasi akurat kepada pasien dengan
pendekatan terencana.
Adapun ciri-ciri komunikasi terapeutik menurut Samsuri (2002) adalah:
1. Ikhlas
Ikhlas merupakan aspek penting dalam proses komunikasi terapeutik dimana
perawat harus mampu menunjukkan keikhlasan yang dapat dirasakan juga oleh pasien.
Keikhlasan sendiri juga dapat mencegah timbulnya hambatan-hambatan komunikasi
tertentu. Keikhlasan dapat ditunjukkan dengan berkerja tanpa pamrih untuk pasien.
2. Empati
Empati bermakasud bahwa seorang perawat harus mampu merasakan apa yang
dirasakan klien, seakan-akan dirinya yang berada dalam posisi pasien itu. Empati juga
merupakan sikap jujur dalam menerima kondisi pasien, serta objektif dalam menangani
kondisi pasien dan tidak berlebihan. Tindakkan empati yang dapat dilakukan adalah
berhati-hati dalam menyuntik dan menginfus pasien. Bayangkan jika kita berada diposisi
yang akan disuntik.
3. Hangat
Setiap manusia pasti membutuhkan kepedulian orang lain untuk menyenangkan
hatinya, baik berupa kehadiran fisik, tindakan, ataupun ucapan. Kehangatan ditunjukan
agar pasien menganggap dirinya masih penting dan semangat untuk menjalani hidup.
Kehangatan dan sikap permisif diberikan dengan harapan pasien dapat memberikan dan
menyampaikan wujud idenya tanpa rasa takut dan membuat pasien lebih ekspresif dalam
mengutarakan perasaannya. Kondisi ini mnjadikan perawat mempunyai kesempatan lebih
luas untuk mengetahui kebutuhan pasien. Kehangatan juga dapat ditunjukkan dengan non
verbal, contohnya; penampilan yang tenang, suara yang meyakinkan, serta pegangan
tangan yang halus yang menunjukkan rasa belas kasih pada pasien, dan lain-lain.

B. Prinsip dan Tujuan Komunikasi Terapeutik


Komunikasi terapeutik merupakan suatu bentuk komunikasi antara perawat dengan
pasien atau klien yang dilakukan agar pasien atau klien dapat merasakan manfaat
yang sebesar- besarnya (Ariani,2018. Dalam buku). Dalam pelaksanaannya, komunikasi
terapeutik terlaksana ketika perawat mengetahui keluhan pasien atau klien sehingga dapat
menentukan asuhan keperawatan apa yang tepat untuk digunakan (Muhith dan Siyoto,
2018). Komunikasi terapeutik juga memiliki tujuan dan beberapa prinsip yang dijadikan
sebagai pedoman. Prinsip dan tujuan yang ada merupakan tolak ukur bagi kualitas
komunikasi terapeutik yang dilakukan oleh perawat terhadap pasien atau kliennya.

Komunikasi terapeutik memiliki beberapa tujuan. Menurut Muhith


dan Siyoto (2018) mengemukakan bahwa tujuan dari komunikasi terapeutik adalah kesadaran
diri, penerimaan diri, meningkatkan kehormatan diri, dan meningkatkan kemampuan agar
tujuan pribadi yang realistis dapat tercapai. Kesadaran diri merupakan sikap perawat yang
dapat menyadari bahwa dalam berkomunikasi dengan pasien atau klien, perawat harus bisa
menumbuhkan sikap empati, hangat, ikhlas, dan memiliki sikap caring. Perawat juga harus
menerima bahwa keperawatan adalah sebuah profesi, yang mana perawat harus bertanggung
jawab atas profesi yang ia emban, karena perawat adalah profesi yang sangat dbutuhkan.
Jika perawat telah menerima diri dan bisa melaksanakan keprofesiannya dengan baik, citra
perawat dimata pasien atau klien tentunya akan terbangun dengan baik sehingga pasien atau
klien dapat mempercayai perawat. Terakhir, dengan kepercayaan itu perawat dapat
mengusahakan kesembuhan pasien atau klien secara maksimal dengan kemampuan yang
dimilikinya..
Menurut Ariani (2018), tujuan lain dari komunikasi terapeutik meliputi pemberian
asuhan keperawatan, baik kepada individu, keluarga, kelompok, ataupun masyarakat. Serta
melakukan komunikasi efektif pada anggota tim kesehatan lain. Asuhan keperawatan yang
diberikan haruslah sesuai dengan masalah yang dihadapi oleh pasien. Serta dapat
meningkatkan komunikasi dan kinerja perawat dengan tenaga kesehatan lainnya dengan
komunikasi efektif. Selain itu terdapat hal lain yang menjadi tujuan dari komunikasi
terapeutik. Selain kesehatan fisik, perawat harus memerhatikan kesehatan mental atau
pengalaman emosional pasien (Anjaswarni,2016). Memperbaiki pengalaman emosional
berarti perawat tidak hanya memperlakukan pasien dengan baik, tetapi juga membimbingnya
agar dapat mengontrol perasaan dan merasa nyaman sehingga proses pemulihannya dapat
lebih maksimal.
Selain berdampak kepada pasien atau klien, Indrawati mengemukakan bahwa tujuan
lain komunikasi teurapetik adalah membantu mempengaruhi lingkungan disekeliling pasien
atau klien (Pangestika, 2016). Lingkungan tersebut dapat berupa keluarga serta kerabat pasien
atau klien. Karena jika halnya psien sakit, pasti keluarga ataupun kerabat pasien juga akan
mengalami gangguan emosional seperti cemas, gelisah, dan sebagainya .
Dengan adanya komunikasi terapeutik diharapkan keluarga dan kerabat dapat
pulih secara perlahan karena pasien atau klien yang juga semakin membaik keadaannya.
Dalam melakukan komunikasi terapeutik, Carl Rogers memaparkan ada 14 prinsip yang harus
dilakukan (Sarfika, Maisa, dan Freska , 2018). Konsep pertama, yaitu perawat memahami
sikap seorang perawat yang baik serta menerapkannya. Kedua, komunikasi yang terjalin harus
diterima oleh kedua belah pihak. Ketiga, perawat menyadari pentingnya kesehatan fisik dan
mental pasien atau klien. Keempat, perawat harus bisa membuat pasien atau klien merasa
aman. Kelima, perawat dapat menumbuhkan motivasi pada pasien atau klien untuk sembuh.
Keenam, perawat bisa mengendalikan diri. Ketujuh, perawat tahu batas waktu agar kinerjanya
tetap konsisten. Kedelapan, perawat berempati kepada pasien atau klien. Kesembilan, perawat
jujur dan terbuka dalam melakukan komunikasi terapeutik. Kesepuluh, perawat merupakan
teladan bagi pasien atau klien untuk hidup sehat. Kesebelas, perawat memiliki sikap yang
jelas. Keduabelas, perawat dapat menolong tanpa pamrih. Ketigabelas, perawat dapat
mempertimbangkan kesejahteraan manusia dalam mengambil keputusan. Terakhir, perawat
bertanggung jawab atas apa yang dilakukan. Prinsip-prinsip tersebut merupakan pedoman
agar komunikasi terapeutik dapat berjalan dengan lancar.

C. Fungsi, Kegunaan, Faktor Komunikasi Terapeutik


Komunikasi terapeutik dirancang agar hubungan komunikasi antara perawat dan pasien
menjadi efektif sehingga dapat mencapai kesembuhan yang diinginkan. Berikut ini
merupakan fungsi dari komunikasi terapeutik (Anjaswarni, 2016; Ariani, 2018) :
a. Memperbaiki pengalaman emosional klien/pasien
b. Mencapai tingkat kesembuhan yang diharapkan
c. Membantu mengatasi masalah klien untuk mengurangi beban perasaan dan pikiran
klien
d. Membantu mengambil tindakan yang efektif untuk klien/pasien.
e. Melakukan komunikasi secara terapeutik selama memberikan asuhan keperawatan
kepada individu, keluarga, dan kelompok
f. Melakukan komunikasi secara terapeutik kepada masyarakat
g. Melakukan komunikasi efektif pada anggota tim kesehatan yang lain

Kegunaan komunikasi terapeutik (Anjaswarni, 2016)


a. Sebagai tolok ukur kepuasan pasien.
b. Sebagai tolok ukur komplain tindakan dan rehabilitasi.
c. Merupakan sarana untuk menciptakan hubungan yang baik antara pasien dan
tenaga kesehatan.
d. Mengetahui perubahan perilaku yang terjadi pada individu atau pasien.
e. Mengetahui keberhasilan tindakan kesehatan yang telah dilakukan.

Faktor yang mempengaruhi komunikasi terapeutik (Sanusi, 2015):


A. Faktor perkembangan.
Lingkungan yang diciptakan oleh orangtua dan keluarga mempengaruhi
kemampuan anak untuk berkomunikasi. Perawat harus menggunakan teknik tertentu
saat berkomunikasi dengan anak sesuai dengan berbagai tahap perkembangannya.
B. Persepsi.
Menurut KBBI, persepsi merupakan penerimaan atau tanggapan langsung dari
sesuatu.Perbedaan persepsi dapat menghambat proses komunikasi.
C. Sistem nilai.
Menurut KBBI, nilai adalah sesuatu yang menyempurnakan manusia sesuai dengan
hakikatnya sehingga penting bagi perawat untuk menyadari nilai seseorang.
Berusaha mengetahui nilai sangat penting dalam membuat keputusan dan interaksi.
D. Sosial budaya.
Didunia ini memiliki banyak budaya yang menyebabkan keanekaragaman soasial,
bahasa, dan adat. Asuhan keperawatan yang diberikan harus disesuaikan dari
budaya pasien. Seringkali kita memberi asuhan keperawatan kepada pasien, perawat
menggunakan bahasa dan gaya yang berbeda. Contohnya, tentu komunikasi
terapeutik yang diberikan oleh orang jawa berbeda dengan orang Medan. Karena
rang jawa terkenal halus dan medan terkenal keras. Gaya komunikasi sangat
dipengaruhi oleh faktor budaya. Budaya juga membatasi cara bertindak dan
berkomunikasi.
E. Emosi.
Menurut KBBI, emosi adalah luapan perasaan yang berkembang dan surut dalam
waktu singkat. Cara seseorang berkomunikasi dengan orang lain dipengaruhi oleh
keadaan emosi. Emosi dapat menyebabkan salah tafsir atau tidak mendapatkan
pesan yang disampaikan. Perawat dapat mengkaji emosi pasien dengan
mengobservasi pasien ketika berinteraksi dengan keluarga, dokter, atau perawat
lain.
F. Pengetahuan.
Komunikasi sulit dilakukan jika orang yang berkomunikasi memiliki tingkat
pengetahuan yang berbeda. Perawat mengkaji tingkat pengetahuan pasien dengan
memperhatikan respon pasien terhadap pernyataan yang diajukan. Setelah
melakukan proses pengkajian, perawat dapat mempergunakan istilah dan kalimat
yang umum atau dimengerti oleh pasien tersebut, jangan sekali-kali menggunakan
istilah medis yang sulit dimengerti. Sehingga perawat dapat menarik perhatian dan
minat pasien terhadap topik yang akan disampaikan.
G. Peran.
Cara berkomunikasi sesuai dengan peran dan hubungan orang yang berkomunikasi.
Gaya perawat berkomunikasi dengan pasien akan berbeda dengan gaya berbicara
antartenaga kesehatan. Perawat perlu menyadari perannya saat berhubungan dengan
pasien saat memberikan asuhan keperawatan. Hendaknya perawat menyebut nama
pasien untuk menunjukkan rasa hormatnya dan tidak menggunakan humor jika baru
mengenal pasien.
H. Tatanan interaksi.
Komunikasi interpersonal dapat dilakukan secara lebih efektif saat berada dalam
suatu lingkungan yang menunjang. Kondisi bising, kurang keleluasaan pribadi, dan
ruang yang sempit dapat menimbulkan kerancuan, ketegangan, dan
ketidaknyamanan. Perawat perlu memilih tatanan yang memadai saat berkomunikasi
dengan pasien.
D. Tahap Komunikasi Terapeutik
Komunikasi terapeutik memiliki empat tahapan yang harus diselesaikan oleh seorang
perawat, yaitu tahap pra-interaksi, tahap orientasi, tahap kerja, dan tahap terminasi. Tahap
pra-interaksi adalah tahap persiapan sebelum berkontak langsung dengan pasien atau klien
baik dari segi penampilan ataupun topic yang akan dibahas. Sehingga saat bertemu dengan
seorang pasien atau klien, kondisi seorang perawat sudah siap untuk berinteraksi dengan
pasien. Dengan demikian, tugas perawat pada tahap ini adalah mencari tahu latar belakang,
riwayat penyakit, materi lainnya yang dibutuhkan, dan penampilan yang nyaman dilihat oleh
mata. Pada tahap ini keadaan emosi perawat juga harus diperhatikan agar pasien merasa lebih
nyaman (Muhith & Sriyoto, 2018)

Tahap selanjutnya adalah tahap orientasi. Tahap orientasi merupakan tahap dimana
seorang perawat bertemu langsung dengan pasien atau klien untuk pertama kalinya. Pada
tahap ini, tugas perawat meliputi: menyapa pasien, seperti “Assalamualaikum”, “selamat
pagi” dan sebagainya; membina rasa percaya diri, menggali pikiran, mengidentifikasi masalah
pasien, contoh “Bagaimana perasaan Ibu hari ini? Ibu tampak segar hari ini” ; menetapkan
kontrak yang bersifat saling menguntungkan, contoh “Menurut Ibu, berapa lama waktu yang
akan kita butuhkan untuk tujuan ini? Bagaimana kalau 15 menit?”, “Untuk tempat di dalam
ruang ini saja atau di taman belakang?”. Menetapkan kontrak ini mencakup informasi yang
akan perawat sampaikan dan waktu pertemuan (Sanusi, 2015).

Tahap yang ketiga adalah tahap kerja. Tahap kerja merupakan tahap dimana seorang perawat
melakukan tindakan keperawatan kepada pasien atau klien. Tindakan keperawatan yang
dilakukan yaitu, meningkatkan pengenalan pasien akan dirinya sendiri, sikap, perasaan, dan
pikirannya. Hal ini bertujuan untuk mencapai tujuan kognitif. Selain itu juga dapat
mengembangkan, mempertahankan dan meningkatkan kemampuan pasien dalam
menyelesaikan masalah yang dihadapinya untuk mecapai tujuan afektif dan psikomotor. Pada
tahap ini, tugas perawat meliputi, mengeksplorasi stressor yang sesuai atau relevan dan
menangani perilaku yang dipertahankan oleh seorang pasien (Sarfika, Maisa, dan Freska,
2018). Contoh dari tahap kerja adalah “Saya akan memasukkan jarum infus ini ke pembuluh
darah di tangan ibu. Ibu akan merasakan sedikit sakit, jadi tidak perlu khawatir”.

Tahap yang keempat adalah tahap terminasi. Tahap terminasi merupakan tahap
terakhir pada komunikasi terapeutik. Terminasi ini terdiri dari dua bagian, yaitu terminasi
sementara dan terminasi akhir. Terminasi sementara adalah akhir dari pertemuan perawat dan
pasien, namun akan bertemu lagi pada waktu yang telah ditentukan. Sedangkan terminasi
akhir adalah pertemuan jika pasien akan pulang dari rumah sakit. Pada tahap ini tugas utama
perawat yaitu, melihat kembali kemajuan dari terapi dan pencapaian tujuan yang didapatkan,
serta menyediakan realitas perpisahan pasien (Sarfika, dkk, 2018). Contoh dari tahap
terminasi adalah “Bagaimana perasaan Ibu setelah kita diskusi tentang masalah yang Ibu
hadapi?”, “Baik, Ibu, saya cukupkan pertemuan kita hari ini, tidak terasa bahwa waktu kita
sudah berlangsung 15 menit. Rencana selanjutnya setelah ini adalah menemukan alternatif
penyelesaian masalah yang Ibu hadapi dan pengambilan keputusan untuk solusi”.
III. Sikap Psikologis Komunikasi Terapeutik
Sikap perawat dalam berkomunikasi dengan klien mempunyai peran yang penting
untuk membangun dan mempertahankan komunikasi terapeutik. Sikap yang harus
ditunjukkan oleh seorang perawat dalam berkomunikasi terapeutik ada dua, yaitu sikap secara
fisik dan secara psikologis. Menurut Stuart dan Laraia dalam buku Komunikasi dalam
Keperawatan (2016) dalam sikap komunikasi terapeutik secara psikologis, terdapat dua
dimensi, yaitu dimensi respons dan dimensi tindakan. Sikap perawat dalam komunikasi
terapeutik sangat penting. Perawat harus mempertahankan sikapnya saat berkomunikasi untuk
membangun dan mempertahankan komunikasi terapeutik,
A. Sikap atau Tindakan Secara Fisik
Menurut Egan (1998) dalam Kozier et al (2012), terdapat lima cara yang harus
diperhatikan oleh perawat apabila melakukan komunikasi terapeutik, diantaranya yaitu :
1. Sikap berhadapan
Posisi perawat mengahadap kepada pasien menandakan kesiapan perawat untuk
melakukan sesuatu.
2. Sikap tubuh terbuka
Tidak melipat tangan atau kaki menunjukan keterbukaan perawat, kesediaan perawat
menerima pasien untuk berkomunikasi.
3. Sikap membungkuk
Membungkukkan badan atau mendekatkan posisi tubuh dengan pasien. sikap tersebut
menunjukan kesediaan perawat merespon klien.
4. Sikap mempertahankan kontak mata
Mempertahankan kontak mata sejajar dengan klien ialah bentuk menghargai
klien/pasien dan kesediaan mempertahankan komunikasi.
5. Bersikap tenang Sikap ini diperlukan saat berkomunikasi.
Apabila perawat tidak bersikap tenang, maka respon perawat bisa tidak tersampaikan
dengan jelas ke pasien

B. Sikap dalam Dimensi Respon


Sikap dalam dimensi renspos ini meliputi genuineness, respect, empathic understanding, and
concreteness (Stuart, 2010).
a. Ikhlas (Genuineness), merupakan sikap perawat yang menunjukkan sikap keterbukaan,
jujur, tulus, dan terlibat aktif dalam hubungan dengan klien. Apapun yang ditunjukan
oleh perawat harus nyata dan bukan hanya respons "profesional" yang telah dipelajari dan
diulang.
b. Menghargai (Respect), mencerminkan sikap perawat yang mengangap pasien sebagai
orang yang berharga serta menerima klien apa adanya. Perawat harus menunjukkan sikap
tidak menghakimi, tidak mengejek, tidak mengkritik, ataupun tidak menghina klien.
Sikap ini dapat dikomunikasikan dengan berbagai cara, misalnya duduk diam dan
menemani klien ketika klien menangis; Bersedia menerima permintaan klien untuk
berdiskusi atau bercerita tentang pengalaman; Bersikap tulus dan mendengarkan pasien;
serta bersedia meminta maaf atas ucapan dan perilaku perawat yang menyinggung klien.
c. Empati (empathy), merupakan kemampuan untuk memasuki kehidupan orang lain
sehingga dapat merasakan apa yang sedang dirasakan dan dipikirkan seseorang. Perawat
memandang melalui pandangan klien dan merasakan melalui perasaan klien. Empati
merupakan bagian penting dari proses terapeutik antara perawat dan pasien. Melalui rasa
empati, perawat dapat mengidentifikasi masalah klien, kebutuhan klien, dan memberi
alternatif pemecahan pada klien sesuai dengan ilmu pengetahuan dan pengalaman
perawat. Perawat harus peka terhadap perasaan klien saat ini.
d. Konkret (concreteness), mencerminkan perawat menggunakan terminology yang
spesifik, bukan yang abstrak. Ditunjukkan melalui sikap perawat menggunakan kata-kata
yang spesifik, jelas, dan nyata untuk menghindari ambigu dan ketidakjelasan
penyampaian. Sikap konkret berguna untuk mempertahankan respon perawat terhadap
perasaan klien, memberi penjelasan yang akurat oleh perawat, dan mendorong klien
memikirkan masalah yang spresifik (stuart, 2013).

C. Dimensi tindakan terdiri dari konfrontasi, kesegaran, pengungkapan diri perawat, katarsis
emosional, dan bermain peran (Stuart dan Sundeen, 1998).
a. Konfrontasi, yaitu pengekspresian perawat tentang perbedaan yang dirasakan dalam
perilaku klien dan. bermanfaat untuk memperluas kesadaran diri klien. Carkhoff pada
tahun 1969 (dikutip oleh Stuart dan Sundeen, 2012) mengidentifikasi tiga kategori
konfrontasi, yaitu ketidaksesuaian antara konsep diri klien (ekspresi klien tentang
dirinya) dengan apa yang dia inginkan; ketidaksesuaian antara ekspresi verbal dan
perilaku klien; serta perbedaan antara pengalaman yang diungkapkan klien sendiri
dengan pengalaman perawat tentang klien. Konfrontasi sangat berguna untuk klien yang
telah mempunyai kesadaran diri, tetapi perilakunya belum berubah. Konfrontasi
dilakukan apabila tingkah laku tidak produktif, tingkah lakunya merusak, dan ketika
melanggar hak kita atau hak orang lain .
b. Kesegeraan, berarti perawat peka atau sensitif terhadap perasaan dan permasalahan klien.
Dalam komunikasi terapeutik, dimensi kesegeraan berarti kesediaan untuk membantu
klien dengan segera. Penanganan segera akan mengurangi kecemasan dan
ketidakpercayaan klien terhadap perawat serta mendorong klien menjadi seorang yang
kooperatif.
c. Keterbukaan perawat, merupakan pengungkapan atau pernyataan pribadi tentang diri
yang sengaja diungkapkan kepada orang lain. Tampak ketika perawat memberikan
informasi tentang pengalaman pribadi atau perasaan yang serupa dengan pasien mengenai
keluhan yang dirasakan oleh klien. Hal ini dapat dilakukan untuk mengurangi kecemasan
klien dan mempercepat kesembuhannya.
d. Emosional katartis, terjadi ketika klien didorong untuk menceritakan sesuatu yang sangat
menggagunya (Stuart, 2013). Perawat harus mengkaji kesiapan klien untuk
membicarakan masalahnya agar mendapatkan efek terapeutik. Dalam berkomunikasi
dengan klien, perawat dapat menanyakan pertanyaan terbuka terlebih dahulu. Jika klien
mengalami kesulitan dalam mengungkapkan perasaannya, perawat dapat membantu
dengan mengekspresikan perasaann pribadinya ketika ia berada pada situasi yang sama
dengan klien.
e. Bermain peran, merupakan kegiatan yang bertujuan untuk membangkitkan situasi
tertentu guna meningkatkan penghayatan klien serta memperkenankan klien untuk
mencobakan situasi yang baru dalam lingkungan yang aman (Stuart & Sundeen, 1995
dikutip dari kemenkes 2016). Beberapa tindakan keperawatan perlu dilanjutkan oleh
klien, namun terkadang jika hanya diberitahu secara lisan, daya pemahaman klien masih
kurang jelas. Tujuan dari dimensi ini adalah untuk memperjelas materi sehingga proses
transfer learning berjalan sesuai. Selain itu, dengan memberikan contoh, motivasi klien
akan meningkat.

C. Teknik Komunikasi Terapeutik


Komunikasi secara umum merupakan interaksi dua arah guna mengirim atau
menerima sebuah informasi. Muhith & Siyoto (2018, h.221) menjelaskan bahwa asuhan
keperawatan membutuhkan sebuah komunikasi untuk mendapatkan gambaran tentang kondisi
yang dialami pasien, komunikasi tersebut ialah komunikasi terapeutik. Terapeutik berarti seni
dari penyembuhan sehingga memiliki teknik khusus yang menyesuaikan berbagai macam
karakter pasien.
Komunikasi berasal dari bahasa latin communis yang berarti membuat kebersamaan
antara dua orang atau lebih (Noorbaya, 2018). Komunikasi mempunyai arti penyampaian
suatu informasi yang berisi ide, makna, perasaan, pikiran, dan perhatian, yang disampaikan
oleh pengirim kepada penerima pesan dengan harapan pesan tersebut dapat digunakan untuk
tujuan tertentu (Muhith dan Sandu, 2018). Komunikasi terapeutik adalah komunikasi yang
dilakukan secara interpersonal antara perawat dan klien secara sadar ketika perawat dan klien
saling memengaruhi dengan tujuan untuk membantu permasalahan klien serta memperbaiki
pengalaman emosional klien dengan tujuan akhir mencapai kesembuhan klien (Anjaswarni,
2016).
Komunikasi terapeutik bertujuan untuk mengenal dan memahami pasien, mengubah
opini dan cara berpikir pasien, mengubah sikap umum pasien, mengubah perilaku pasien, dan
mengubah sikap sosial pasien, sedangkan fungsi komunikasi terapeutik adalah sebagai
kebutuhan sosial manusiawi antara perawat dan pasien dan sebagai instrument interaksi sosial
antara perawat dan pasien (Pieter, 2017).
Menurut DeLaune dan Ladner dalam Ariani (2018), terdapat beberapa teknik yang
digunakan dalam melakukan komunikasi terapeutik, yaitu 1) teknik yang berfokus pada
pasien dengan merespon isyarat verbal, paraverbal, dan nonverbal, 2) teknik yang mendorong
ekspresi perasaan pasien, dan 3) teknik yang mendorong pasien untuk melakukan beberapa
perubahan.

Teknik komunikasi terapeutik merupakan cara atau umpan balik yang berikan dalam
menanggapi pesan yang disampaikan pasien. Pieter (2017, h. 163) dalam bukunya tertulis
sepuluh teknik komunikasi terapeutik antara lain mendengarkan, informing, dan saran.
Sedangkan, Ariani (2018, h.99) menjabarkan terdapat lima belas teknik yang dapat dilakukan
dalam komunikasi terapeutik. Delapan diantaranya akan dijelaskan dalam LTM (Lembar
Tugas Mandiri) ini yaitu menawarkan, keterbukaan, diam, komentar terbuka, refleksi,
restaring, exploring, dan rekoknisi. Berikut adalah tabel 15 teknik komunikasi terapeutik:
Tabel 1. Teknik Komunikasi Terapeutik

No. Teknik Deskripsi Contoh


1. Offering Seorang perawat memiliki kesediaan “Ibu perlu apa? Mari saya
(Menawarkan) secara fisik dan emosional sehingga bantu.”
meyakinkan pasien bahwa kita akan
memberikan bantuan untuk mereka
2. Broad opening Keterbukaan perawat dengan pasien “Bagaimana keadaan saat
(Keterbukaan) untuk mendorong terjadinya ini? Coba ceritakan apa
komunikasi seperti menjelaskan yang kamu rasakan.”
pentingnya kebutuhan pasien
3. Listening Mengikuti apa yang dibicarakan oleh Perawat memperhatikan
(Mendengarkan) klien dengan penuh pengertian, apa yang dibicarakan pasien
memberikan tanggapan dengan tepat dengan penuh antusias.
dan tidak memotong pembicaraan
klien
4. Silence perawat harus memberi jeda agar Duduk tenang
(Diam) pasien mengekspresikan keadaannya mendengarkan dan
serta menunjukan ketertarikan mengamati perilaku pasien.
dengan apa yang diceritakan pasien
5. Reflection perawat berusaha mencoba Pasien: “Saya merasa
(Refleksi) mengulangi kata-kata terakhir yang gelisah.”
diucapkan pasien sehingga pasien Perawat: “Ibu sekarang
merasa dihargai dan keluhannya merasa gelisah. Apa yang
didengarkan menyebabkan Ibu gelisah?”
7. Restating mendorong pasien untuk bercerita Pasien: “Saya begitu
(Pengulangan) lebih lanjut dengan memberi khawatir dengan keadaan
kesempatan pasien menguraikan anak saya karena saya
lebih dalam pesan mereka dirawat di sini.”
Perawat: “Sepertinya Ibu
sangat gelisah.”
mengulang kembali ucapan pasien
dengan bahasa perawat.
8. Exploring mengembangkan topik yang menjadi “Bisakah Adik ceritakan
(Menyelidiki) perhatian pasien dan mulai apa yang Adik lakukan
mengidentifikasi pola atau tema ketika sedang marah.”
9. Recognition perawat berusaha memberikan umpan “Saya lihat Ibu akhir-akhir
(Rekoknisi) balik mengamati keadaan pasien ini terlihat sangat gembira.”
sehingga pasien lebih merasa
diperhatikan
10. Focusing mengajukan pernyataan atau “… jadi Ibu merasakan
(Memfokuskan) pertanyaan yang dapat mendukung sakit di bagian perut?”
pasien dalam hal mengembangkan
pikiran.
pengarahan dalam suatu percakapan
menuju topik utama yang sedang
dibahas
11. Directing pernyataan atau gagasan yang Pasien: “Saya diberi saran
(Mengarahkan) digunakan untuk mendapatkan untuk menemui spesialis.”
informasi dari pasien, digunakan Perawat: “Apa yang
dengan tujuan untuk mengumpulkan membuat mereka
data penilai dan bukan hanya sekadar mengatakan hal itu?”
rasa keingintahuan dari seorang
perawat
12. Verbalizing the upaya untuk mendeteksi makna Pasien: “Berapa biaya
impied sebenarnya dari pesan verbal untuk operasi katarak.”
(Verbalisasi Perawat: “Seperti Anda
Tersirat) khawatir dengan masalah
biaya.”
13. Making membuat perhatian pada perilaku “Anda tampak murung hari
observation dengan menggunakan emosi atau ini.”
(Pengamatan) perasaan
14. Clarifying mengedepankan kejelasan dan arti Pasien: “Saya sangat sebal
(Klarifikasi) pesan yang disampaikan oleh pasien dengan Dokter Doni.”
serta mencegah perawat membuat Perawat: “Maksud Ibu sebal
asumsi dari pesan yang dikatakan seperti apa?”
oleh pasien
15. Confronting teknik komunikasi yang menanggapi Pasien: “Saya sangat sebal
(Mengonfrontasi) pasien secara verbal terhadap dengan dia.” (sambil
ketidaksesuaian antara ucapan dan tersenyum)
tindakan pasien Perawat: “Anda sebal tetapi
mengapa tersenyum.”
16. Limit setting menyatakan harapan pada perilaku “Mari Bu kita kembali ke
(Membatasi yang tepat dan bertujuan untuk topic untuk membahas
pengaturan) menetapkan parameter perilaku kesehatan Ibu.”

Selain delapan teknik yang dijabarkan masih terdapat tujuh teknik lainya yang dapat
digunakan dalam komunikasi terapeutik. Komunikasi ini berusahan untuk mencari tahu
keadaan pasien tanpa paksaan sehingga perawat dapat menntukan analisa dan tindakan yang
akan diberikan. Menurut Harahap & Putra (2019, h.165) Komunikasi terapeutik dalam setiap
kegiatannya mengusahakan untuk memotivasi dan mendorong kepada pembicaraan yang
lebih lanjut dengan pasien. Berbagai macam teknik komunikasi terapeutik memiliki
penerapan yang berbeda-beda tergantung keadaan dan sifat pasien.
Komunikasi terapeutik memiliki peranan yang penting bagi seorang perawat dalam
menangani pasien atau kliennya. Tenaga keperawatan dapat memakai berbagai teknik yang
ada di dalam komunikasi terapeutik sesuai dengan keadaan pasien itu sendiri dengan harapan
agar terjadi komunikasi dua arah yang berakhir pada kesembuhan pasien.
Penutup

Kesimpulan

Komunikasi merupakan modal utama oleh setiap individu untuk melakukan interaksi
baik kepada individu maupun kelompok. Komunikasi adalah pertukaran informasi yang
dilakukan oleh individu dengan individu lainnya yang bertujuan untuk mempengaruhi dan
memperoleh informasi. Lima elemen konsep dari komunikasi yaitu komunikator, pesan,
komunikan, umpan balik, dan keadaan lingkungan sekitar. Dalam keperawatan penerapan
komunikasi dalam cakupan asuhan keperawatan yang menggunakan bentuk komunikasi
terapeutik.

Pada umumnya bentuk komunikasi dapat dikategorikan menjadi dua. Chitty (1997),
menyatakan dua bentuk komunikasi tersebut adalah komunikasi verbal dan komunikasi
nonverbal. Komunikasi verbal ialah bentuk komunikasi yang menggunakan kata-kata yang
disampaikan melalui ucapan maupun tulisan. Oleh karena itu, memperhatikan faktor yang
mempengaruhi bentuk komunikasi verbal maupun nonverbal merupakan hal yang penting.
komunikasi melalui simbol seperti hal-hal yang berhubungan dengan kesenian dapat
membantu proses pemulihan pasien. Untuk menjadi seorang tenaga kesehatan yang
profesional sangat penting untuk menguasai teknik komunikasi yang baik sesuai dengan
tingkatannya. Komunikasi intrapersonal tidak perlu melibatkan orang lain untuk berinteraksi,
sedangkan komunikasi yang lainnya perlu melibatkan orang lain agar dapat berinteraksi
sesuai dengan kondisi dan gambaran komunikasi itu sendiri.

Model komunikasi Aristoteles merupakan salah satu model komunikasi linear yang
memiliki lima elemen yaitu speaker, speech, audience, dan effect. Pada model komunikasi
Aristoteles, pembicara sebagai pusat perhatian karena dipandang sebagai pihak aktif serta
memiliki peran yang penting dengan mengirimkan pesan kepada umum. Sedangkan penerima
pesan dianggap sebagai pihak yang pasif karena tidak terdapat konsep umpan balik ataupun
kegagalan komunikasi. Model yang kedua yaitu model interaktif yang menggambarkan
komunikasi disertai dengan adanya aksi atau respon baik secara langsung maupun melalui
media dan secara verbal ataupun nonverbal oleh komunikan. Model ketiga yaitu model
transaksional yang menunjukkan bahwa dalam komunikasi antara unsur yang satu dengan
yang lainnya adalah saling berhubungan.

Faktor – faktor yang menghambat keefektifaan komunikasi seperti bahasa, kondisi


lingkungan, kondisi fisik, maupun kondisi psikologi perlu untuk di perhatikan demi
tercipatanya komunikasi yang efektif. Seperti halnya keberagaman bahasa akan menghambat
penyampain pesan ataupun tanggapan dalam berkomunikasi. Kondisi lingkungan yang tidak
nyaman dapat membuat komunikan dan komunikataor merasa terganggu saat berkomunikasi.
Kondisi fisik yang mengalami gangguan juga sangat berpengaruh dalam proses komuniaksi
karena salah satu pihak harus mempunyai kesabaran dan kemampuan khusu untuk
berkomunikasi. Selain itu keadaan psikologis yang dialami anggota komunikasi seringkali
mengalami perubahan, hal itu tergantung pada kondisi dan perasasaan yang dialami pasien.
Maka dari itu faktor – faktor diatas merupakan penghambat dalam komunikasi yang efektif.

Komunikasi terapeutik merupakan suatu bentuk komunikasi antara perawat dengan


pasien atau klien yang dilakukan agar pasien atau klien dapat merasakan manfaat
yang sebesar- besarnya (Ariani,2018). Dalam pelaksanaannya, komunikasi terapeutik
terlaksana ketika perawat mengetahui keluhan pasien atau klien sehingga dapat menentukan
asuhan keperawatan apa yang tepat untuk digunakan (Muhith dan Siyoto, 2018).
Komunikasi terapeutik juga memiliki tujuan dan beberapa prinsip yang dijadikan sebagai
pedoman. Prinsip dan tujuan yang ada merupakan tolak ukur bagi kualitas komunikasi
terapeutik yang dilakukan oleh perawat terhadap pasien atau kliennya.

Dalam melakukan komunikasi terapeutik, Carl Rogers memaparkan ada 14 prinsip


yang harus dilakukan (Sarfika, Maisa, dan Freska , 2018). Konsep pertama, yaitu perawat
memahami sikap seorang perawat yang baik serta menerapkannya. Kedua, komunikasi yang
terjalin harus diterima oleh kedua belah pihak. Ketiga, perawat menyadari pentingnya
kesehatan fisik dan mental pasien atau klien. Keempat, perawat harus bisa membuat pasien
atau klien merasa aman. Kelima, perawat dapat menumbuhkan motivasi pada pasien atau
klien untuk sembuh. Keenam, perawat bisa mengendalikan diri. Ketujuh, perawat tahu batas
waktu agar kinerjanya tetap konsisten. Kedelapan, perawat berempati kepada pasien atau
klien. Kesembilan, perawat jujur dan terbuka dalam melakukan komunikasi terapeutik.
Kesepuluh, perawat merupakan teladan bagi pasien atau klien untuk hidup sehat. Kesebelas,
perawat memiliki sikap yang jelas. Keduabelas, perawat dapat menolong tanpa pamrih.
Ketigabelas, perawat dapat mempertimbangkan kesejahteraan manusia dalam mengambil
keputusan. Terakhir, perawat bertanggung jawab atas apa yang dilakukan. Prinsip-prinsip
tersebut merupakan pedoman agar komunikasi terapeutik dapat berjalan dengan lancar.
Komunikasi terapeutik memiliki empat tahapan yang harus diselesaikan oleh
seorang perawat, yaitu tahap pra-interaksi, tahap orientasi, tahap kerja, dan tahap terminasi.
Komunikasi terapeutik memiliki peranan yang penting bagi seorang perawat dalam
menangani pasien atau kliennya. Tenaga keperawatan dapat memakai berbagai teknik yang
ada di dalam komunikasi terapeutik sesuai dengan keadaan pasien itu sendiri dengan harapan
agar terjadi komunikasi dua arah yang berakhir pada kesembuhan pasien.
Daftar Pustaka

Anjaswarni, T. (2016). Modul Bahan Ajar Cetak Keperawatan Komunikasi Dalam


Keperawatan. Jakarta Selatan: Pusdik SDM Kesehatan Badan Pengembangan dan
Pemberdayaan Sumber Daya Manusia Kesehatan.

Apriani, T. A. (2018). Komunikasi Kesehatan. Malang: Universitas Muhammadiyah Malang.

Ariani, T. (2018). Komunikasi Keperawatan. Malang: Universitas Muhammadiyah Malang.

Berman, A. T., Snyder, S., & Frandsen, G. (2015). Kozier & Erb'sFundamentals of Nursing
(10th Edition). New Jersey: Pearson.
Dougherty, L., & Lister, S. (2015). The Royal Marsden Manual of Clinical Nursing
Procedures (9th Edition). Oxford: The Royal Masden NHS Foundation.
Dr. Armawati Arbi, M.Si. (2019). Integrasi Komunikasi Spiritual, Komunikasi Islam, dan
Komunikasi Lingkungan. Jakarta: Kencana. Retrieved Februari 7, 2020, from
https://books.google.co.id/books?id=WhNDwAAQBAJ&printsec=frontcover&vq=ko
munikasis+intrapribadi&hl=id#v=onepage&q=komunikasis%20intrapribadi&f=false
e-PGPathshala. (2016, April). Theories and Models of Communication. Retrieved from e-PG
Pathshala-Inflibnet:
https://epgp.inflibnet.ac.in/epgpdata/uploads/epgp_content/library_and_information_s
cience/knowledge_society/05._theories_and_models_of_communication/et/4305_et_e
t.pdf

Gandana, G. (2017). Komunikasi Terapeutik Dalam Pendidikan Anak Usia Dini: panduan
bagi guru, Calon Guru, dan Orang tua. Bandung: Ksatria Siliwangi.

Kenda, N. (2020). Komunikasi Pelangi Dari Sulawesi Utara. Sulawesi Utara: Qiara Media.
Liliweri, A. (2017). Komunikasi Antar Personal. Bandung: Prenada Media. Retrieved
from https://books.google.co.id/books?id=QvSlDwAAQBAJ&printsec=frontcover&hl
=id&source=gbs_ge_summary_r&cad=0#v=onepage&q&f=false
Muhith, A. (2018). Aplikasi Komunikasi Terapeutik Nursing & Health Care (R. I. Utami,
ed.). Yogyakarta: ANDI.

Noorbaya, Siti. (2018). Komunikasi Kesehatan. Yogyakarta: Gosyen Publishing.


Pieter, Herri Zan. (2017). Dasar-dasar Komunikasi bagi Perawat. Jakarta: Kencana.
Boyd, C & Dare, J. (2014). Communication Skills for Nurses. Wiley Blackwell : West Sussex
Kementerian Kesehatan RI. 2016. Komunikasi dalam Keperawatan. Jakarta: Kementerian
Kesehatan RI
Odyssey dmc. (2018, September 13). Unit 1 Models and Processes of Communication.
Retrieved from :dmcodyssey:http://dmcodyssey.org/wp-
content/uploads/2013/09/MODELS-AND-PROCESSES-OFCOMMUNICATION.pdf
Pangestika, M. (2016). Komunikasi Terapeutik. Diakses pada 06 Februari
2020,darihttp://repository.ump.ac.id/1299/3/METRI%20WIDYA%20PANGESTIKA
%20BAB%20II.pdf.
Potter, P.A., Perry, A.G. (2017). Fundamentals of Nursing 9th edition (pp. 313-314).
Canada: Elsevier.
Pery, A. G., & Potter, P. A. (2015). Mosby's Pocket Guide to Nursing SKils & Procedures
(8th Edition). Missouri: Elsevier Mosby.

Rahman, Ali. (2016). Bentuk-bentuk komunikasi dalam Pembelajaran. Diakses pada 6


Februari 2020 melalui: https://jurnal.iainpalu.ac.id > …PDF BENTUK-BENTUK
KOMUNIKASI DALAM … - Rumah Jurnal IAIN Palu

Reni Agustina Harahap, F. E. (2019). Buku Ajar Komunikasi kesehatan. Jakarta Timur:
Prenada Media.

Sanusi. (2015). Hubungan Tahapan dan Teknik Komunikasi Terapeutik Perawat Terhadap
Kepuasan Keluarga Pasien Stroke di Ruang Saraf Rumah Sakit Umum Daerah TGK.
Chik Ditiro Sigli. Retrieved from
https://etd.unsyiah.ac.id/baca/index.php?id=14783&page=4
Sari, A. A. (2017). Komunikasi antarpribadi (1st ed.). yogyakarta: Deepublish Publisher.
Retrieved Februari 7, 2020, from
https://books.google.co.id/books?id=krbWDgAAQBAJ&printsec=frontcover&hl=id#
v=onepage&q&f=false

Sarfika, R., Maisa, E. A., & Freska, W. (2018). Buku Ajar Keperawatan Dasar 2 Komunikasi
Terapeutik Dalam Keperawatan. Padang: Andalas University Press.

Stuart, G. W. (2013). Principles and practice of psychiatric nursing. (10th Edition). St Louis :
Mosby
Townsend, M. C., & Morgan, K. I. (2017). Psychiatric Mental Health Nursing : Concepts of
Care In Evidence Based Practice 7th Edition. Philadelphia: F.A. Davis Company.

Videbeck, Sheila .L. (2017).Foundations of Psychiatric Mental-Health Nursing 7th edition.


Philadelphia: LWW.

Anda mungkin juga menyukai