E. Hambatan Komunikasi
Lancarnya keberlangsungan sebuah komunikasi merupakan sesuatu yang harus
diciptakan dalam berinteraksi. Namun seringkali ketidaklancaran sebuah komunikasi terjadi
karena beberapa faktor. Oleh karena itu untuk mempersiapkan suatu interaksi komunikasi
yang terjalin dengan baik perlu pengetahuan tentang faktor – faktor yang menghambat
keefektifan dalam berkomunikasi. Dengan mengetahui faktor – faktor tersebut keterhambatan
dalam komunikasi dapat terhindari dan diminimalisir dengan baik.
Adapun faktor – faktor yang dapat menghambat terciptanya komunikasi yang efektif
yaitu bahasa, lingkungan,fisik, dan psikologi. Bahasa yang beragam dapat disebabkan oleh
kondisi daerah yang prulal. Selain itu keberagaman budaya dan suku dapat menjadikan
bahasa yang dimiliki oleh setiap daerah berbeda, sehingga dapat menjadi penghambat dalam
berkomunikasi. Lingkungan yang kurang mendukung seperti halnya kebisingan, kondisi
lingkungan yang kotor, sehingga ketidaknyamanan akan mengganggu pengiriman pesan yang
ingin disampaikan. Selain itu kondisi udara dalam ruangan ataupun di outdoor juga perlu
diperhatikan untuk terciptanya kenyamanan dalam berkomunukasi.
Keterbatasan fisik yang dimiliki oleh komunikator maupun komunikan juga
berpotensi menjadi penghambatan keefektifan komunikasi. Keterbatasan fisik yang dimaksud
ialah kondisi fisik yang cacat pada komunikan ataupun komunikator. Seperti halnya kebutaan,
ketulian, kebisuan, dan kondisi cacat lainnya. Apabila saat berkomunikasi slaah satu anggota
dalam komunikasi memiliki keterbatasan fisik maka anggota komunikasi lainnya perlu untuk
menyiasati kondisi tersebut. Seperti halnya pada seseorang yang mengalami gangguan
pendengaran , maka perlu kesabaran dan kemampuan berbicara yag jelas dan tidak
menyinggung peraasaannya. Selain itu, keadaan psikologis komunikan sangat berpengaruh
dan mungkin saja menjadi hambatan dalam proses komunikasi. Seperti halnya keadaan
psikologis yang tertekan, marah, sedih, dan kondisi batin lainnya. Keadaan psikologis yang
kurang baik dapat menyebabkan pesan yang ingin disampaikan dalam komunikasi tidak
diterima secara utuh oleh komunikan
Faktor – faktor yang menghambat keefektifaan komunikasi seperti bahasa, kondisi
lingkungan, kondisi fisik, maupun kondisi psikologi perlu untuk di perhatikan demi
tercipatanya komunikasi yang efektif. Seperti halnya keberagaman bahasa akan menghambat
penyampain pesan ataupun tanggapan dalam berkomunikasi. Kondisi lingkungan yang tidak
nyaman dapat membuat komunikan dan komunikataor merasa terganggu saat berkomunikasi.
Kondisi fisik yang mengalami gangguan juga sangat berpengaruh dalam proses komuniaksi
karena salah satu pihak harus mempunyai kesabaran dan kemampuan khusu untuk
berkomunikasi. Selain itu keadaan psikologis yang dialami anggota komunikasi seringkali
mengalami perubahan, hal itu tergantung pada kondisi dan perasasaan yang dialami pasien.
Maka dari itu faktor – faktor diatas merupakan penghambat dalam komunikasi yang efektif.
II. Konsep Komunikasi Terapeutik
A. Definisi dan Ciri-ciri Komunikasi Teurapeutik
Tahap selanjutnya adalah tahap orientasi. Tahap orientasi merupakan tahap dimana
seorang perawat bertemu langsung dengan pasien atau klien untuk pertama kalinya. Pada
tahap ini, tugas perawat meliputi: menyapa pasien, seperti “Assalamualaikum”, “selamat
pagi” dan sebagainya; membina rasa percaya diri, menggali pikiran, mengidentifikasi masalah
pasien, contoh “Bagaimana perasaan Ibu hari ini? Ibu tampak segar hari ini” ; menetapkan
kontrak yang bersifat saling menguntungkan, contoh “Menurut Ibu, berapa lama waktu yang
akan kita butuhkan untuk tujuan ini? Bagaimana kalau 15 menit?”, “Untuk tempat di dalam
ruang ini saja atau di taman belakang?”. Menetapkan kontrak ini mencakup informasi yang
akan perawat sampaikan dan waktu pertemuan (Sanusi, 2015).
Tahap yang ketiga adalah tahap kerja. Tahap kerja merupakan tahap dimana seorang perawat
melakukan tindakan keperawatan kepada pasien atau klien. Tindakan keperawatan yang
dilakukan yaitu, meningkatkan pengenalan pasien akan dirinya sendiri, sikap, perasaan, dan
pikirannya. Hal ini bertujuan untuk mencapai tujuan kognitif. Selain itu juga dapat
mengembangkan, mempertahankan dan meningkatkan kemampuan pasien dalam
menyelesaikan masalah yang dihadapinya untuk mecapai tujuan afektif dan psikomotor. Pada
tahap ini, tugas perawat meliputi, mengeksplorasi stressor yang sesuai atau relevan dan
menangani perilaku yang dipertahankan oleh seorang pasien (Sarfika, Maisa, dan Freska,
2018). Contoh dari tahap kerja adalah “Saya akan memasukkan jarum infus ini ke pembuluh
darah di tangan ibu. Ibu akan merasakan sedikit sakit, jadi tidak perlu khawatir”.
Tahap yang keempat adalah tahap terminasi. Tahap terminasi merupakan tahap
terakhir pada komunikasi terapeutik. Terminasi ini terdiri dari dua bagian, yaitu terminasi
sementara dan terminasi akhir. Terminasi sementara adalah akhir dari pertemuan perawat dan
pasien, namun akan bertemu lagi pada waktu yang telah ditentukan. Sedangkan terminasi
akhir adalah pertemuan jika pasien akan pulang dari rumah sakit. Pada tahap ini tugas utama
perawat yaitu, melihat kembali kemajuan dari terapi dan pencapaian tujuan yang didapatkan,
serta menyediakan realitas perpisahan pasien (Sarfika, dkk, 2018). Contoh dari tahap
terminasi adalah “Bagaimana perasaan Ibu setelah kita diskusi tentang masalah yang Ibu
hadapi?”, “Baik, Ibu, saya cukupkan pertemuan kita hari ini, tidak terasa bahwa waktu kita
sudah berlangsung 15 menit. Rencana selanjutnya setelah ini adalah menemukan alternatif
penyelesaian masalah yang Ibu hadapi dan pengambilan keputusan untuk solusi”.
III. Sikap Psikologis Komunikasi Terapeutik
Sikap perawat dalam berkomunikasi dengan klien mempunyai peran yang penting
untuk membangun dan mempertahankan komunikasi terapeutik. Sikap yang harus
ditunjukkan oleh seorang perawat dalam berkomunikasi terapeutik ada dua, yaitu sikap secara
fisik dan secara psikologis. Menurut Stuart dan Laraia dalam buku Komunikasi dalam
Keperawatan (2016) dalam sikap komunikasi terapeutik secara psikologis, terdapat dua
dimensi, yaitu dimensi respons dan dimensi tindakan. Sikap perawat dalam komunikasi
terapeutik sangat penting. Perawat harus mempertahankan sikapnya saat berkomunikasi untuk
membangun dan mempertahankan komunikasi terapeutik,
A. Sikap atau Tindakan Secara Fisik
Menurut Egan (1998) dalam Kozier et al (2012), terdapat lima cara yang harus
diperhatikan oleh perawat apabila melakukan komunikasi terapeutik, diantaranya yaitu :
1. Sikap berhadapan
Posisi perawat mengahadap kepada pasien menandakan kesiapan perawat untuk
melakukan sesuatu.
2. Sikap tubuh terbuka
Tidak melipat tangan atau kaki menunjukan keterbukaan perawat, kesediaan perawat
menerima pasien untuk berkomunikasi.
3. Sikap membungkuk
Membungkukkan badan atau mendekatkan posisi tubuh dengan pasien. sikap tersebut
menunjukan kesediaan perawat merespon klien.
4. Sikap mempertahankan kontak mata
Mempertahankan kontak mata sejajar dengan klien ialah bentuk menghargai
klien/pasien dan kesediaan mempertahankan komunikasi.
5. Bersikap tenang Sikap ini diperlukan saat berkomunikasi.
Apabila perawat tidak bersikap tenang, maka respon perawat bisa tidak tersampaikan
dengan jelas ke pasien
C. Dimensi tindakan terdiri dari konfrontasi, kesegaran, pengungkapan diri perawat, katarsis
emosional, dan bermain peran (Stuart dan Sundeen, 1998).
a. Konfrontasi, yaitu pengekspresian perawat tentang perbedaan yang dirasakan dalam
perilaku klien dan. bermanfaat untuk memperluas kesadaran diri klien. Carkhoff pada
tahun 1969 (dikutip oleh Stuart dan Sundeen, 2012) mengidentifikasi tiga kategori
konfrontasi, yaitu ketidaksesuaian antara konsep diri klien (ekspresi klien tentang
dirinya) dengan apa yang dia inginkan; ketidaksesuaian antara ekspresi verbal dan
perilaku klien; serta perbedaan antara pengalaman yang diungkapkan klien sendiri
dengan pengalaman perawat tentang klien. Konfrontasi sangat berguna untuk klien yang
telah mempunyai kesadaran diri, tetapi perilakunya belum berubah. Konfrontasi
dilakukan apabila tingkah laku tidak produktif, tingkah lakunya merusak, dan ketika
melanggar hak kita atau hak orang lain .
b. Kesegeraan, berarti perawat peka atau sensitif terhadap perasaan dan permasalahan klien.
Dalam komunikasi terapeutik, dimensi kesegeraan berarti kesediaan untuk membantu
klien dengan segera. Penanganan segera akan mengurangi kecemasan dan
ketidakpercayaan klien terhadap perawat serta mendorong klien menjadi seorang yang
kooperatif.
c. Keterbukaan perawat, merupakan pengungkapan atau pernyataan pribadi tentang diri
yang sengaja diungkapkan kepada orang lain. Tampak ketika perawat memberikan
informasi tentang pengalaman pribadi atau perasaan yang serupa dengan pasien mengenai
keluhan yang dirasakan oleh klien. Hal ini dapat dilakukan untuk mengurangi kecemasan
klien dan mempercepat kesembuhannya.
d. Emosional katartis, terjadi ketika klien didorong untuk menceritakan sesuatu yang sangat
menggagunya (Stuart, 2013). Perawat harus mengkaji kesiapan klien untuk
membicarakan masalahnya agar mendapatkan efek terapeutik. Dalam berkomunikasi
dengan klien, perawat dapat menanyakan pertanyaan terbuka terlebih dahulu. Jika klien
mengalami kesulitan dalam mengungkapkan perasaannya, perawat dapat membantu
dengan mengekspresikan perasaann pribadinya ketika ia berada pada situasi yang sama
dengan klien.
e. Bermain peran, merupakan kegiatan yang bertujuan untuk membangkitkan situasi
tertentu guna meningkatkan penghayatan klien serta memperkenankan klien untuk
mencobakan situasi yang baru dalam lingkungan yang aman (Stuart & Sundeen, 1995
dikutip dari kemenkes 2016). Beberapa tindakan keperawatan perlu dilanjutkan oleh
klien, namun terkadang jika hanya diberitahu secara lisan, daya pemahaman klien masih
kurang jelas. Tujuan dari dimensi ini adalah untuk memperjelas materi sehingga proses
transfer learning berjalan sesuai. Selain itu, dengan memberikan contoh, motivasi klien
akan meningkat.
Teknik komunikasi terapeutik merupakan cara atau umpan balik yang berikan dalam
menanggapi pesan yang disampaikan pasien. Pieter (2017, h. 163) dalam bukunya tertulis
sepuluh teknik komunikasi terapeutik antara lain mendengarkan, informing, dan saran.
Sedangkan, Ariani (2018, h.99) menjabarkan terdapat lima belas teknik yang dapat dilakukan
dalam komunikasi terapeutik. Delapan diantaranya akan dijelaskan dalam LTM (Lembar
Tugas Mandiri) ini yaitu menawarkan, keterbukaan, diam, komentar terbuka, refleksi,
restaring, exploring, dan rekoknisi. Berikut adalah tabel 15 teknik komunikasi terapeutik:
Tabel 1. Teknik Komunikasi Terapeutik
Selain delapan teknik yang dijabarkan masih terdapat tujuh teknik lainya yang dapat
digunakan dalam komunikasi terapeutik. Komunikasi ini berusahan untuk mencari tahu
keadaan pasien tanpa paksaan sehingga perawat dapat menntukan analisa dan tindakan yang
akan diberikan. Menurut Harahap & Putra (2019, h.165) Komunikasi terapeutik dalam setiap
kegiatannya mengusahakan untuk memotivasi dan mendorong kepada pembicaraan yang
lebih lanjut dengan pasien. Berbagai macam teknik komunikasi terapeutik memiliki
penerapan yang berbeda-beda tergantung keadaan dan sifat pasien.
Komunikasi terapeutik memiliki peranan yang penting bagi seorang perawat dalam
menangani pasien atau kliennya. Tenaga keperawatan dapat memakai berbagai teknik yang
ada di dalam komunikasi terapeutik sesuai dengan keadaan pasien itu sendiri dengan harapan
agar terjadi komunikasi dua arah yang berakhir pada kesembuhan pasien.
Penutup
Kesimpulan
Komunikasi merupakan modal utama oleh setiap individu untuk melakukan interaksi
baik kepada individu maupun kelompok. Komunikasi adalah pertukaran informasi yang
dilakukan oleh individu dengan individu lainnya yang bertujuan untuk mempengaruhi dan
memperoleh informasi. Lima elemen konsep dari komunikasi yaitu komunikator, pesan,
komunikan, umpan balik, dan keadaan lingkungan sekitar. Dalam keperawatan penerapan
komunikasi dalam cakupan asuhan keperawatan yang menggunakan bentuk komunikasi
terapeutik.
Pada umumnya bentuk komunikasi dapat dikategorikan menjadi dua. Chitty (1997),
menyatakan dua bentuk komunikasi tersebut adalah komunikasi verbal dan komunikasi
nonverbal. Komunikasi verbal ialah bentuk komunikasi yang menggunakan kata-kata yang
disampaikan melalui ucapan maupun tulisan. Oleh karena itu, memperhatikan faktor yang
mempengaruhi bentuk komunikasi verbal maupun nonverbal merupakan hal yang penting.
komunikasi melalui simbol seperti hal-hal yang berhubungan dengan kesenian dapat
membantu proses pemulihan pasien. Untuk menjadi seorang tenaga kesehatan yang
profesional sangat penting untuk menguasai teknik komunikasi yang baik sesuai dengan
tingkatannya. Komunikasi intrapersonal tidak perlu melibatkan orang lain untuk berinteraksi,
sedangkan komunikasi yang lainnya perlu melibatkan orang lain agar dapat berinteraksi
sesuai dengan kondisi dan gambaran komunikasi itu sendiri.
Model komunikasi Aristoteles merupakan salah satu model komunikasi linear yang
memiliki lima elemen yaitu speaker, speech, audience, dan effect. Pada model komunikasi
Aristoteles, pembicara sebagai pusat perhatian karena dipandang sebagai pihak aktif serta
memiliki peran yang penting dengan mengirimkan pesan kepada umum. Sedangkan penerima
pesan dianggap sebagai pihak yang pasif karena tidak terdapat konsep umpan balik ataupun
kegagalan komunikasi. Model yang kedua yaitu model interaktif yang menggambarkan
komunikasi disertai dengan adanya aksi atau respon baik secara langsung maupun melalui
media dan secara verbal ataupun nonverbal oleh komunikan. Model ketiga yaitu model
transaksional yang menunjukkan bahwa dalam komunikasi antara unsur yang satu dengan
yang lainnya adalah saling berhubungan.
Berman, A. T., Snyder, S., & Frandsen, G. (2015). Kozier & Erb'sFundamentals of Nursing
(10th Edition). New Jersey: Pearson.
Dougherty, L., & Lister, S. (2015). The Royal Marsden Manual of Clinical Nursing
Procedures (9th Edition). Oxford: The Royal Masden NHS Foundation.
Dr. Armawati Arbi, M.Si. (2019). Integrasi Komunikasi Spiritual, Komunikasi Islam, dan
Komunikasi Lingkungan. Jakarta: Kencana. Retrieved Februari 7, 2020, from
https://books.google.co.id/books?id=WhNDwAAQBAJ&printsec=frontcover&vq=ko
munikasis+intrapribadi&hl=id#v=onepage&q=komunikasis%20intrapribadi&f=false
e-PGPathshala. (2016, April). Theories and Models of Communication. Retrieved from e-PG
Pathshala-Inflibnet:
https://epgp.inflibnet.ac.in/epgpdata/uploads/epgp_content/library_and_information_s
cience/knowledge_society/05._theories_and_models_of_communication/et/4305_et_e
t.pdf
Gandana, G. (2017). Komunikasi Terapeutik Dalam Pendidikan Anak Usia Dini: panduan
bagi guru, Calon Guru, dan Orang tua. Bandung: Ksatria Siliwangi.
Kenda, N. (2020). Komunikasi Pelangi Dari Sulawesi Utara. Sulawesi Utara: Qiara Media.
Liliweri, A. (2017). Komunikasi Antar Personal. Bandung: Prenada Media. Retrieved
from https://books.google.co.id/books?id=QvSlDwAAQBAJ&printsec=frontcover&hl
=id&source=gbs_ge_summary_r&cad=0#v=onepage&q&f=false
Muhith, A. (2018). Aplikasi Komunikasi Terapeutik Nursing & Health Care (R. I. Utami,
ed.). Yogyakarta: ANDI.
Reni Agustina Harahap, F. E. (2019). Buku Ajar Komunikasi kesehatan. Jakarta Timur:
Prenada Media.
Sanusi. (2015). Hubungan Tahapan dan Teknik Komunikasi Terapeutik Perawat Terhadap
Kepuasan Keluarga Pasien Stroke di Ruang Saraf Rumah Sakit Umum Daerah TGK.
Chik Ditiro Sigli. Retrieved from
https://etd.unsyiah.ac.id/baca/index.php?id=14783&page=4
Sari, A. A. (2017). Komunikasi antarpribadi (1st ed.). yogyakarta: Deepublish Publisher.
Retrieved Februari 7, 2020, from
https://books.google.co.id/books?id=krbWDgAAQBAJ&printsec=frontcover&hl=id#
v=onepage&q&f=false
Sarfika, R., Maisa, E. A., & Freska, W. (2018). Buku Ajar Keperawatan Dasar 2 Komunikasi
Terapeutik Dalam Keperawatan. Padang: Andalas University Press.
Stuart, G. W. (2013). Principles and practice of psychiatric nursing. (10th Edition). St Louis :
Mosby
Townsend, M. C., & Morgan, K. I. (2017). Psychiatric Mental Health Nursing : Concepts of
Care In Evidence Based Practice 7th Edition. Philadelphia: F.A. Davis Company.