Anda di halaman 1dari 10

ASUHAN KEPERAWATAN TRANSKULTURAL PADA BAYI BARU

LAHIR

PSIKOSOSIAL DAN BUDAYA DALAM KEPERAWATAN

Disusun Oleh :
1. Ainur Rizqi (18.1414.S)
2. Allin Illina (18.1418.S)
3. Cici Febriyanti (18.1424.S)
4. Destiana Mahardini (18.1428.S)
5. Dwi Indri Rahmawati (18.1431.S)
6. Heru Bagus Cristanto (18.1450.S)
7. Muhammad Efendi (18.1475.S)
8. Nur Laili Fabyla (18.1487.S)
Dosen Pengampu :
Wiwiek Natalya, M.Kep.,Sp.Kom.

FAKULTAS ILMU KESEHATAN


PROGAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PEKAJANGAN PEKALONGAN
TAHUN AKADEMIK 2019/2020
Kata Pengantar

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang, Kami
panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah,
dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah “Asuhan
Keperawatan Transkultural Pada Bayi Baru Lahir”. Makalah ini telah kami susun dengan
maksimal dan mendapatkan bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar
pembuatan makalah ini. Untuk itu kami menyampaikan banyak terima kasih kepada semua
pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.
Terlepas dari semua itu, Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan
baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan
terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki
makalah ini.
Akhir kata kami berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat maupun
inpirasi terhadap pembaca.
Daftar Isi
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Transkultural adalah lintas budaya yang mempunyai efek bahwa budaya yang
satu mempengaruhi budaya yang lain. Atau pertemuan kedua nilai nilai budaya yang
berbeda melalui proses interaksi sosial. Leininger (1985) mengartikan paradigma
keperawatan transcultural sebagai cara pandang, keyakinan, nilai-nilai, konsep-konsep
dalam terlaksananya asuhan keperawatan yang sesuai dengan latar belakang budaya
terhadap empat konsep sentral keperawatan Model konseptual yang dikembangkan oleh
Leininger dalam menjelaskan asuhan keperawatan dalam konteks budaya digambarkan
dalam bentuk matahari terbit (Sunrise Model). Geisser (1991) menyatakan bahwa proses
keperawatan ini digunakan oleh perawat sebagai landasan berfikir dan memberikan
solusi terhadap masalah klien (Andrew and Boyle, 1995). Pengelolaan asuhan
keperawatan dilaksanakan dari mulai tahap pengkajian, diagnosa keperawatan,
perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi.
Di dalam keluarga terjadi interaksi antar budaya, adaptasi serta mempertahankan
budaya dimana budaya merupakan keyakinan atau perilaku yang diturunkan atau
diajarkan manusia kepada generasi berikutnya. Karakteristik budaya dapat digambarkan
sebagai berikut : (1) budaya adalah pengalaman yang bersifat universal sehingga tidak
ada budaya yang sama persis, (2) budaya bersifat stabil, tetapi juga dinamis karena
budaya tersebut diturunkan kepada generasi berikutnya sehingga mengalami perubahan
dan (3) budaya diisi dan ditentukan oleh kehidupan manusianya sendiri (Leininger,
1978).
Dari hasil SKRT 2001, kematian neonatal (bayi baru lahir) adalah 180 kasus.
Kasus lahir mati berjumlah 115 kasus. Jumlah seluruh kematian bayi adalah 466 kasus.
Distribusi kematian neonatal sebagian besar di wilayah Jawa Bali (66,7%) dan di daerah
pedesaan (58,6%). Menurut umur kematian, 79,4% dari kematian neonatal terjadi sampai
dengan usia 7 hari, dan 20,6% terjadi pada usia 8-28 hari. Selain masalah medis salah
satu penyebabnya adalah faktor budaya.
Aspek sosial dan budaya sangat mempengaruhi pola kehidupan manusia. Di era
globalisasi sekarang ini dengan berbagai perubahan yang begitu ekstrem menuntut semua
manusia harus memperhatikan aspek sosial budaya. Salah satu masalah yang kini banyak
merebak di kalangan masyarakat adalah berbagai perlakuan perawatan yang diberikan
pada bayi/balita yang sesungguhnya tidak terlepas dari faktor-faktor sosial budaya dan
lingkungan di dalam masyarakat dimana mereka berada.
Disadari atau tidak, faktor-faktor kepercayaan dan pengetahuan budaya seperti
berbagai pantangan, hubungan sebab- akibat antara makanan dan kondisi sehat-sakit,
kebiasaan dan ketidaktahuan, seringkali membawa dampak baik positif maupun negatif
terhadap kesehatan bayi/balita.
Dari fenomena diatas dapat dilihat bahwa asuhan keperawatan keluarga terutama
pada bayi/balita tidak lepas dari budaya atau transkultural yang selalu dapat
mempengaruhi hasil dari pengkajian asuhan keperawatan bayi/balita sehingga perlu
menelaah kembali asuhan keperawatan keluarga mulai dari pengkajian, penentuan
diagnosa keperawatan, intervensi, implementasi sampai dengan evaluasi dengan
pendekatan transkultural sehingga dapat meningkatkan kemampuan keterampilan
profesional yang meliputi kemampuan intelektual, teknikal dan interpersonal dalam
melaksanakan asuhan keperawatan khususnya dalam bayi/balita. Dalam makalah ini
akan membahas asuhan keperawatan keluarga dengan pendekatan transkultural secara
teori, aplikasi di lapangan sampai dengan kesenjangan antara teori dan lapangan.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana ragam transkultural pada bayi di Indonesia?
2. Apa saja peran perawat menghadapi ragam transkultural pada bayi di Indonesia?
3. Bagaimana asuhan keperawatan transkultural pada bayi?
C. Tujuan
1. Mengetahui ragam transkultural pada bayi di Indonesia.
2. Mengetahui peran perawat menghadapi ragam transkultural pada bayi di Indonesia.
3. Mengetahui asuhan keperawatan transkultural pada bayi.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Asuhan Keperawatan Transkultural Pada Bayi Baru Lahir


Andrew dan Boyle (1995), budaya adalah sesuatu yang kompleks yang
mengandung pengetahuan, keyakinan, seni, moral, hukum, kebiasaan dan kecakapan lain
yang merupakan kebiasaan manusia sebagai anggota komunikasi setempat. Kebudayaan
adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia untuk memenuhi
kehidupannya dengan cara belajar, yang semuanya tersusun dalam kehidupan
masyarakat. Kebudayaan adalah segala sesuatu yang dilakukan dan dihasilkan manusia
yang meliputi kebudayaan material dan kebudayaan non material, kebudayaan itu
diperoleh manusia sebagaia nggota masyarakat, kebudayaan itua dalah kebudayaan
manusia dan hampir semua tindakan manusia adalah kebudayaan. Telah dijelaskan
bahwa adanya akal dan budidaya pada manusia, telah menyebabkan adanya perbedaan
cara dan pola hidup diantara keduanya.
Kebiasaan-kebiasaan adat istiadat dan perilaku masyarakat sering kali
merupakan penghalang atau penghambat terciptanya pola hidup sehat di masyarakat.
Sebagian besar kematian anak di Indonesia saat ini terjadi pada masa baru lahir
(neonatal), bulan pertama kehidupan. Seperti di negara-negara berkembang lainnya yang
mencapai status pendapatan menengah, kematian anak di Indonesia telah mengalami
penurunan, seiring dengan peningkatan pendidikan ibu, kebersihan rumah tangga dan
lingkungan, serta peran tenaga kesehatan. Perilaku masyarakat sebagai akibat adanya
perubahan sosial budaya ada 2 yaitu :
1. Akibat Positif
Perubahan dapat terjadi jika masyarakat dengan kebudayaan mampu
menyesuaikan diri dengan perubahan. Keadaan masyarakat yang memiliki
kemampuan dalam menyesuaikan disebut adjusment, sedangkan bentuk penyesuaian
dengan gerak perubahan disebut integrasi. Apabila perubahan sosial budaya tersebut
tidak berpengaruh pada keberadaan atau pelaksanaan nilai dan norma maka perilaku
masyarakat akan positif.
2. Akibat Negatif
Akibat negatif terjadi apabila masyarakat dengan kebudayaannya tidak
mampu menyesuaikan diri dengan gerak perubahan. Keadaan masyarakat yang tidak
memiliki kemampuan dalam menyesuaikan disebut maladjustment. Jika perubahan
sosial budaya tersebut menyimpang atau berpengaruh pada nilai dan norma maka
perilaku masyarakat akan negatif.
Dibawah ini adalah beberapa contoh kebudayaan yang berkaitan dengan bayi
baru lahir :
1. Bayi Baru Lahir Harus di Bedong
Hal dipercaya dapat membuat tulang kaki bayi lurus dan kuat untuk berjalan.
Hampir setiap bayi memiliki kaki yang tampak bengkok, begitulah fisiologis kaki
bayi. Ini disebabkan karena ia masih terbiasa dengan posisi meringkuk ketika masih
berada didalam rahim. Seiring berjalannnya waktu, kakinya akan lurus dengan
sendirinya. Pada kenyataannya, dibedong dapat mengganggu peredaran darah bayi.
Jantungnya akan terpaksa bekerja lebih berat untuk memompa darah karena tubuhnya
dibebat terlalu berat. Bahkan, ini beresiko membahayakan tulang panggul, dapat
menyebabkan dislokasi panggul dan paha. Beberapa ibu membedong bayi untuk
melindungi dari dingin, baik karena faktor cuaca atau setelah mandi. Sebenarnya baju
lengan panjang dan celana panjang pun sudah cukup untuk menghangatkan tubuh si
kecil.
2. Bayi Baru Lahir Harus di Pakaikan Gurita
Biasa nya bayi di pakaikan gurita hingga umur tiga bulan atau sampai bayi
dapat tengkurap. Dipercaya dapat menjaga perut bayi menjadi tidak melar, dapat
menahan talipusat sehingga talipusat tidak tertarik, juga untuk menjaga agar tulang
belakang tidak bengkok. Bayi bernapas dengan otot-otot pada perutnya. Jadi,
memasangkan gurita justru manghambat pernapasannya. Perutnya yang kembung
sudah bentuk alamiah. Jika memang harus memakaikan gurita jangan mengikat terlalu
kencang terutama di bagian dada agar jantung dan paru-parunya bisa berkembang
dengan baik. Dan jika tujuannya supaya pusar tidak bodong sebaiknya di pakaikan
hanya di pusar dan ikatannya pun tidak kencang.
3. Menggunting bulu mata agar lentik
Bulu mata berfungsi melindungi mata dari gangguan benda-benda asing. Jika
dipotong, fungsinya tidak lagi dapat bekerja secara optimal. Panjang pendeknya bulu
mata sudah menjadi bawaan dari bayi itu sendiri.
4. Beri setetes kopi agar bayi tidak step (kejang)
Belum ada penelitian ilmiah yang membuktikan hal ini. Bahkan pemberian
kopi pada bayi jelas berbahaya karena mengandung kafein yang akan memacu denyut
jantungnya bekerja lebih cepat.
5. Jangan Menyusui Bayi Jika Ibu Sedang Sakit
Penyakit yang diderita ibu menyususi tidak dapat ditularkan melalui ASI.
Sebaliknya, saat ibu sedang sakit tubuh si ibu akan menghasilkan sistem kekebalan
tubuh yang lebih banyak dan akan ikut ke dalam ASI yang jika diminum si bayi, akan
meningkatkan sistem kekebalan tubuhnya. Yang tidak boleh adalah menyusui bayi
saat sakit tanpa ada pelindung untuk ibu, contohnya pakai masker penutup mulut dan
hidung saat flu karena akan memularkan penyakit, jadi bukan karena ASI.
6. Bayi di Pakaikan Bedak Setelah Mandi dan Ganti Popok
Penggunaan bedak di daerah lipatan seperti tangan, kaki atau selangkangan
dapat menggumpal. Jika gumpalan ini bercampur dengan keringat akan menjadi
sarang berkembangnya kuman dan bisa menyebabkan iritasi. Partikel bedak yang
terhirup bisa mengganggu pernapasannya. Lebih baik di oleskan baby cream.
7. Ketika bayi demam harus dikompres air dingin.
Setelah dikompres, tubuh yang awalnya panas mungkin akan terasa dingin
begitu diraba. Akan tetapi, ini bukan pertanda bahwa si kecil membaik. Sebaliknya,
suhu dingin dari kompresan tersebut akan mengirim sinyal yang salah kepada tubuh
anak. Tubuh mungilnya akan menganggap bahwa cuaca sedang dingin dan akhirnya
merasa perlu memproduksi panas lagi. Jadi, lebih baik kompres dengan air hangat
agar tubuhnya berhenti memproduksi panas.
B. Keterkaitan Dengan Nilai – Nilai Keislaman

C. Peran Perawat Menghadapi Ragam Transkultural Pada Bayi Di Indonesia


Dalam hal ini perawat menjembatangi antara system perawatan yang
dilakukan masyarakat awam dengan system perawatan professional melalui asuhan
keperawatan. Eksistensi peran perawat tersebut digambarkan oleh Leininger. Oleh
karena itu perawat harus mampu membuat keputusan dengan rencana tindakan
keperawatan yang harus diberikan kepada masyarakat. Jika disesuaikan dengan proses
keperawatan, hal tersebut merupakan tahap perencanaan tindakan keperawatan.
Tindakan keperawatan yang diberikan kepada klien harus tetap memerhatikan
tiga prinsip asuhan keperawatan yaitu :
1. Culture care preservation/maintenance, yaitu prinsip membantu, memfasilitasi atau
memerhatikan fenomena budaya guna membantu individu menentukan tingkat
kesehatan dan gaya hidup yang diinginkan. Mempertahankan budaya dilakukan bila
budaya pasien tidak bertentangan dengan kesehatan. Perencanaan dan implementasi
keperawatan diberikan sesuai dengan nilai-nilai yang relevan yang telah dimiliki klien
sehingga klien dapat meningkatkan atau mempertahankan status kesehatannya.
a. Identifikasi perbedaan konsep antara klien dan perawat tentang proses melahirkan
dan perawatan bayi.
b. Bersikap tenang dan tidak terburu-buru saat berinterkasi dengan klien.
c. Mendiskusikan kesenjangan budaya yang dimiliki klien dan perawat.
2. Culture care accommodation/negotiation, yaitu prinsip membantu, memfasilitasi, atau
memerhatikan fenomena budaya yang ada, yang merefleksikan cara-cara untuk
beradaptasi, bernegosiasi, atau mempertimbangkan kondisi kesehatan dan gaya hidup
individu atau klien. Intervensi dan implementasi keperawatan pada tahap ini
dilakukan untuk membantu klien beradaptasi terhadap budaya tertentu yang lebih
menguntungkan kesehatan. Perawat membantu klien agar dapat memilih dan
menentukan budaya lain yang lebih mendukung peningkatan kesehatan.
a. Gunakan bahasa yang mudah dipahami oleh klien.
b. Libatkan keluarga dalam perencanaan perawatan.
c. Apabila konflik tidak terselesaikan, lakukan negosiasi dimana kesepakatan
berdasarkan pengetahuan biomedis, pandangan klien dan standar etik.
3. Culture care repatterning/restructuring, yaitu prinsip merekonstruksi atau mengubah
desain untuk membatu memperbaiki kondisi kesehatan dan pola hidup klien kearah
yang lebih baik dan menguntungkan. budaya klien dilakukan bila budaya yang
dimiliki merugikan status kesehatan. Pola rencana hidup yang dipilih biasanya yang
lebih menguntungkan dan sesuai dengan keyakinan yang dianut.
a. Beri kesempatan pada klien untuk memahami informasi yang diberikan dan
melaksanakannya.
b. Tentukan tingkat perbedaan pasien melihat dirinya dari budaya kelompok.
c. Gunakan pihak ketiga bila perlu.
Para perawat membantu individu dan kelompok untuk meningkatkan atau
mempertahankan kondisi manusia dengan menerapkan pengetahuan tentang intervensi
cara merawat yang terkait budaya.
Pemahaman yang benar pada diri perawat mengenai budaya klien, baik
individu, keluarga, kelompok, maupun masyarakat, dapat mencegah terjadinya culture
shock maupun culture imposition. Culture shock terjadi saat pihak luar (perawat)
mencoba mempelajari atau beradaptasi secara efektif dengan kelompok budaya tertentu
(klien). Klien akan marasakan perasaan tidak nyaman, gelisah dan diseriontasi karena
perbedaan nilai budaya, kayakinan dan kebiasaan. Sedangkan culture imposition adalah
kecenderungan tenaga kesehatan (perawat), baik secara diam-diam maupun terang-
terangan, memaksakan nilai-nilai budaya, kayakinan, dan kebiasaan/ perilaku yang
dimilikinya kepada individu, keluarga atau kelompok dari budaya lain karena mereka
meyakini bahwa budayanya lebih daripada budaya lain.
Peran perawatan dalam memperbaiki kesehatan masyarakat yang beragam
pada umumnya mengacu pada berbagai prinsip seperti melakukan pengkajian
kulturologis (ilmu budaya), melakukan self assessment secara kebudayaan, mencari
pengetahuan mengenai budaya local, mengenai aspek politik dari kelompok yang
beragam beserta kebudayaan, meningkatkan kepekaan dan menyediakan pelayanan yang
kompoten secara kultural, serta mengenali masalah kesehatan yang berdasarkan budaya.

Anda mungkin juga menyukai