Anda di halaman 1dari 6

OBOR ?????

1. Apa yang dimaksud dengan OBOR ?


Jawab = OBOR (One Bord One Road) Sabuk Ekonomi Jalur Sutra dan Jalur Sutra Maritim Abad ke-21,
lebih dikenal sebagai Inisiatif Satu Sabuk dan Satu Jalan (OBOR), Sabuk dan Jalan, dan Inisiatif Sabuk dan
Jalan adalah suatu strategi pembangunan yang diusulkan oleh pemimpin tertinggi Tiongkok Xi Jinping yang
berfokus pada konektivitas dan kerja sama antara negara-negara Eurasia, terutama Republik Rakyat
Tiongkok (RRT), Sabuk Ekonomi Jalur Sutra (SREB) berbasis daratan dan Jalur Sutra Maritim (MSR) lintas
samudra. Strategi tersebut menegaskan tekad Tiongkok untuk mengambil peran lebih besar dalam urusan
global dengan sebuah jaringan perdagangan yang berpusat di Tiongkok.[2][3] Inisiatif ini diungkapkan pada
September dan Oktober 2013 masing-masing untuk SREB dan MSR. Ini juga dipromosikan oleh Perdana
Menteri Li Keqiang selama kunjungan kenegaraan ke Asia dan Eropa dan konsep yang paling sering disebut
di People's Daily pada tahun 2016.[4] Dalam bahasa Inggris, inisiatif ini awalnya disebut One Belt and One
Road (Satu Sabuk dan Satu Jalan), namun di pertengahan tahun 2016 nama resminya diganti menjadi Belt
and Road Initiative (Inisiatif Sabuk dan Jalan) (disebabkan oleh kesalahan penafsiran istilah one (satu).[5]
Dalam tiga tahun terakhir, fokusnya adalah terutama pada investasi infrastruktur, material konstruksi, kereta
api dan jalan raya, mobil, real estate, jaringan listrik, dan besi dan baja.[6]
2. Siapa saja yang bergabung dalam OBOR ?

Gambar 1. Sumber, www.republika.co.id.

Bisnis.com, JAKARTA -- Inisiatif Belt and Road alias Jalur Sutra China yang baru penuh dengan skeptisme
dari berbagai negara. Amerika Serikat (AS) pun mewanti-wanti agar pemerintah negara terkait berhati-hati
dengan aksi Negeri Tirai Bambu tersebut. Banyak negara yang curiga kebijakan inisiatif One Belt and One
Road alias OBOR memiliki muatan politis.

Baca juga: Proyek Jalur Sutra China akan Definisikan Isi Program OBOR Beberapa sumber yang
familiar dengan informasi ini mengatakan, penggunaan label atas proyek pemerintah yang tidak diautorisasi
itu telah menciptakan kebingunan. Ruang lingkup dari inisiatif Presiden China Xi Jinping ini telah rusak
reputasinya di luar negeri.
"Komisi reformasi dan pembangunan nasional China (NDRC) sedang mengerjakan daftar proyek Obor yang
resmi diakui pemerintah China. Ini akan mencakup perusahaan milik negara dan swasta, serta membantu
pihak berwenang meningkatkan regulasi proyek," ujarnya seperti dikutip dari Bloomberg pada Rabu
(3/4/2019). Baca juga: Proyek Inisiasi OBOR China di Indonesia Siap Diteken April 2019 Adapun, Xi
Jinping mulai meluncurkan proyek modern ini untuk membangun kembali rute perdagangan kuno melintasi
Eurasia pada 2013. Wakil Presiden Amerika Serikat (AS) Mike Pence sempat memperingatkan negara di
Asia Pasifik pada November 2018, untuk tidak mengambil utang dari China. Negeri Paman Sam pun
mengaku tidak akan menawarkan program serupa seperti Negeri Tirai Bambu. Alhasil, beberapa negara di
Asia memang tengah mengkaji kembali manfaat investasi China. Salah satunya Malaysia yang melakukan
pembicaraan terkait proyek kereta api senilai US$20 miliar yang dibatalkan oleh Perdana Menteri Mahathir
Mohamad. Lalu, Myanmar juga berupaya memangkas nilai kesepakatan pembangunan pelabuhan yang
disepakati oleh rezim sebelumnya. Kemudian, Maladewa baru saja melengserkan pemerintahan pro-China
pada tahun lalu. Untuk itu, China tengah berupaya melawan berbagai kritik terhadap program besutan
presiden Xi tersebut. Xi Jinping sudah bersiap untuk menjadi tua rumah bagi 40 pemimpin dunia pada forum
OBOR pada April 2019. China pun berusaha untuk menekankan partisipasi yang beragam dan menawarkan
miliaran bantuan utang ke negara-negara Afrika dalam upaya melawan kritik. Xi pun mengatakan, OBOR
adalah inisiatif untuk kerja sama ekonomi, alih-alih aliansi geopolitik atau liga militer, dan ini merupakan
proses yang terbuka dan inklusif, bukan sebuah bentuk blok ekslusif atau 'klub China'. Pekan lalu, China
bersama Italia menandatangani kesepakatankerja sama, di mana kesepakatan ini akan menjadikan italia
sebagai negara pertama dari G7 yang tergabung dalam proyek infrastruktur OBOR tersebut.

REPUBLIKA.CO.ID, NEW DELHI -- Inisiasi Jalur Sutera modern yang diusulkan oleh Cina melalui One
Belt One Road (OBOR) memiliki potensi implikasi ekonomi yang merugikan bagi negara-negara Asia
Selatan. Hal ini tercermin dari situasi Srilanka yang mengalami jebakan hutang besar dengan menyambut
proyek-proyek yang didanai oleh Cina. Sementara itu, Kolombo mengadapi kerugian finansial yang besar
karena suku bunga tinggi yang dikenakan oleh Cina untuk proyek infrastruktur yang akan menjadi bagian
dari OBOR. Disisi lain, hitungan investasi sebesar 50 miliar dolar AS untuk koridor ekonomi Cina-Pakistan
telah membuat ekonomi Pakistan goyah.

Dilansir The Economic Times, Selasa (1/8), utang yang berubah menjadi ekuitas dan kepemilikan
perusahaan Cina tidak hanya akan berdampak buruk pada ekonomi Srilanka dan Pakistan. Namun juga
menimbulkan implikasi bagi India karena kehadiran Cina di wilayah-wilayah perbatasan. Keterlibatan
ekonomi Srilanka yang berkembang dengan Cina telah menimbulkan kekhawatiran di kalangan pembuat
kebijakan. Cina telah menyediakan dana sebesar lebih dari 5 miliar dolar AS pada 1971 dan 2012 untuk
Srilanka, yang sebagian besar telah masuk di pembiayaan infrastruktur. Selain itu, Cina juga telah
menginvestasikan 1 miliar dolar AS untuk pembangunan pelabuhan di Hambatonta, kemudian ada investasi
miliaran dolar AS untuk pembangunan Bandara Mattala, jalur kereta api dan pembangunan proyek Colombo
Port City Project. Sebagai negara yang bangkit dari perang sipil, pembangunan infrastruktur sangat penting
untuk memfasilitasi sektor perdagangan dan investasi asing Srilanka. Bank Dunia memperkirakan bahwa
PDB Srilanka kemungkinan akan tumbuh 3,9 persen pada 2016 dan 5 persen pada 2017. Srilanka telah
meminjam miliaran dolar dari Cina untuk membangun infrastruktur. Utang dalam negeri Srilanka
diperkirakan sekitar 64,9 miliar dolar AS, dimana sebesar 8 miliar dolar AS merupakan utang dari Cina.
Untuk proyek pembangunan Pelabuhan Hambantota, Srilanka meminjam 301 juta dolar AS dari Cina
dengan tingkat suku bunga sebesar 6,3 persen. Sedangkan suku bunga pinjaman lunak dari Bank Dunia dari
Bank Pembangunan Asia (ADB) hanya 0,25 persen sampai 3 persen. Srilanka saat ini tidak mampu
melunasi hutangnya ke Cina karena pertumbuhan ekonomi yang melambat. Untuk mengatasi krisis utang,
Pemerintah Srilanka sepakat mengubah hutang menjadi ekuitas. Hal ini menyebabkan kepemilikan Cina
terhadap proyek yang sedang berjalan. Keputusan ini menyebabkan perusahaan-perusahaan Cina memiliki
saham sebesar 80 persen di Srilanka dan kontrak sewa Pelabuhan Hambantota selama 99 tahun, yang
menimbulkan kemarahan publik di Srilanka. Selain itu, perusahaan-perusahaan Cina juga diperikan hak
mengelola kontrol Bandara Mattala yang dibangun dengan pinjaman dari Cina sebesar 300 juta dolar AS-
400 juta dolar AS. Sebab, Pemerintah Srilanka tidak dapat menanggung biaya tahunan sebesar 100 juta dolar
AS-200 juta dolar AS. Kemudahan akses ke Pelabuhan Hambantota dan Bandara Mattala memberikan posisi
militer yang strategis bagi Beijing jika terjadi konflik di Samudera Hindia. Pengaruh Cina yang terus
berkembang juga dapat memaksa Srilanka untuk mendukung posisi Cina dalam perselisihan Laut Cina
Selatan dan kebijakan One China. Di sisi lain, Pakistan sedang menuju krisis serupa dengan Srilanka.
Menurut para ahli, Koridor Ekonomi Cina-Pakistan yang bernilai 46 miliar dolar AS dapat meruntuhkan
kemakuran rakyat Pakistan. Cetak biru Cina untuk transformasi ekonomi Pakistan sangat strategis. Karena
secara tidak langsung Pakistan sedang mengambil pinjaman dari bank-bank Cina dengan suku bunga tinggi
untuk membiayai Koridor Ekonomi Cina-Pakistan. Beberapa ahli mengatakan bahwa Pakista membutuhkan
waktu hampir 40 tahun untuk membayar pinjaman tersebut. Koridor Ekonomi Cina-Pakistan akan menjadi
bagian penting dari OBOR karena melalui Asia Selatan, Timur Tengah, Afrika, dan Eropa dengan
membangun jaringan darat dan laut. Para ahli memperingatkan, koridor ekonomi ini merupakan taktik
kolonial Cina untuk menciptakan pijakan permanen di Pakistan. Dalam hal ini, Pakistan juga bisa jatuh ke
dalam perangkap utang Cina. Strategi Cina untuk menguasai negara-negara kecil dan berkembang cukup
sederhana, yakni dengan memberikan pinjaman dengan bunga tinggi untuk proyek infrastruktur dan
mendapatkan ekuitas dalam proyek. Kemudian, ketika negara tersebut tidak dapat melunasi pinjamannya
maka Cina bisa mendapatkan kepemilikan atas proyek infrastruktur yang sedang dikerjakan itu. Pinjaman
dari Cina untuk membangun Koridor Ekonomi Cina-Pakistan dapat menyebabkan bencana bagi ekonomi
Pakistan yang sudah goyah. Apabila Pakistan tidak bisa melunasi pinjaman maka mereka harus memberikan
kontrol atas asetnya ke Cina. Pelaksanaan proyek OBOR sebagai cita-cita pembangunan global bagi dunia
tidak dapat menyembunyikan pendekatan eksploitatif Cina terhadap bisnis internasional. Selain itu, OBOR
juga dapat menjadi perangkap utang Cina. Sedangkan, sejumlah proyek yang sedang berjalan di beberapa
negara kecil telah menjadi bagian dari proyek OBOR.

Nusantara.news, Jakarta – Satu persatu jebakan utang China mulai memakan korban. Jerat utang dalam
kerangka Jalur Sutera Baru atau lebih dikenal One Belt One Road (OBOR) China makin terungkap,
pinjaman infrastruktur itu telah membuat negara penerimanya kewalahan. Sedikitnya ada 8 negara yang
mulai terperangkap dalam jebakan utang China, umumnya utang China memang untuk mengembangkan
infrastruktur di kedelapan negara tersebut. Ke-8 negara dimaksud adalah: Djibouti, Tajikistan, Kyrgistan,
Laos, Maladewa, Mongolia, Pakistan dan Montenegro.

Di luar itu, ada Sri Lanka, Filipina, dan Indonesia, yang juga sedang memproses utang ke China dalam
kerangka OBOR. Pertanyannya, apakah akan bernasib seperti ke-8 negara yang terperangkap utang China?
Menurut http://qz.com, tahun lalu, dengan utang lebih dari US$1 miliar ke China, Sri Lanka menyerahkan
sebuah pelabuhan kepada perusahaan-perusahaan milik pemerintah China. Sekarang Djibouti, yang
merupakan basis utama militer AS di Afrika, tampaknya akan menyerahkan kendali pelabuhan utama
lainnya kepada sebuah perusahaan yang terkait dengan Beijing, dan AS tidak senang dengan hal itu.
Beijing “mendorong ketergantungan dengan menggunakan kontrak buram, praktik peminjam predator, dan
kesepakatan korup yang membuat negara-negara merosot dan melemahkan kedaulatan mereka, dan
menyangkal pertumbuhan jangka panjang dan mandiri mereka,” kata Menlu AS Rex Tillerson pada Selasa
(6/3). “Investasi China memang memiliki potensi untuk mengatasi kesenjangan infrastruktur di Afrika,
namun pendekatannya telah menyebabkan meningkatnya utang dan sedikit, jika ada, pekerjaan di sebagian
besar negara,” tambahnya.

Ada yang menyebut “diplomasi perangkap utang” ini: Tawarkan madu pinjaman infrastruktur murah,
dengan setting default datang jika ekonomi yang lebih kecil tidak dapat menghasilkan cukup dana tunai
untuk membayar cicilan pokok dan bunga. Di Sri Lanka, kepahitan tetap berada di sekitar Hambatota dan
proyek seperti “bandara terluas di dunia.” China telah menandai inisiatif “Belt and Road”-nya sebagai win-
win untuk sebuah ambisi menjadi pemimpin perdagangan global dan pendekatan ekonomi mendanai
infrastruktur transportasi. Ini tentu telah mengisi kekosongan yang diciptakan oleh kehadiran Amerika yang
menyusut di institusi global. Tapi seperti halnya proyek-proyek internasionalis Barat, China juga
menghadapi tuduhan perilaku imperialis ketika rencana pembebanannya keliru. Pusat Pengembangan
Global, sebuah organisasi riset nirlaba, menganalisis utang ke China yang akan dikeluarkan oleh negara-
negara yang berpartisipasi dalam rencana investasi Belt and Road saat ini. Delapan negara akan merasa
rentan terhadap utang di atas rata-rata: Djibouti, Kyrgyzstan, Laos, Maladewa, Mongolia, Montenegro,
Pakistan, dan Tajikistan.

Para periset mencatat bahwa mereka tidak memperkirakan bagaimana utang ini akan mempengaruhi
pertumbuhan, dan mereka perlu mengumpulkan sebagian besar data mereka dari laporan media. Namun
mereka tetap mengatakan bahwa bukti mereka harus meningkatkan kekhawatiran tentang tekanan ekonomi
yang berasal dari utang yang akan melemahkan usaha pembangunan sama sekali. Di masa lalu, China telah
menanggapi debitur secara tidak konsisten dan tidak mengikuti praktik terbaik yang diadopsi oleh kreditur
internasional yang bekerja dengan negara-negara miskin. Terkadang, utang telah dimaafkan; Di lain waktu,
wilayah yang disengketakan atau kontrol infrastruktur dituntut sebagai pembalasan. Mereka berpendapat
bahwa China harus bekerja untuk membawa negara-negara lain ke dalam program investasi mereka untuk
menyebarkan utang lebih merata, dan menerapkan standar yang lebih ketat dan transparansi yang lebih besar
tentang bagaimana keberlanjutan dukungannya terhadap ekonomi berkembang sebenarnya. Beberapa negara
tidak menunggu di China untuk mengambil tindakan: Pakistan dan Nepal menolak pinjaman infrastruktur
China tahun lalu untuk mendukung sumber pendanaan lainnya.

Jerat diplomasi utang

Diplomasi perangkap utang China juga mulai menjerat Filipina, dengan kemungkinan akan
menerima pinjaman China 1.100% lebih mahal daripada opsi lainnya. Filipina hampir menerima pinjaman
China yang mencapai 1.100% lebih mahal daripada yang berasal dari Jepang, dalam contoh lain dari
diplomasi perangkap utang China, demikian seperti dilaporkan www.businessinsider.sg. Pinjaman dari
China, yang akan digunakan untuk mempercepat proyek infrastruktur termasuk proyek bendungan, kereta
api, dan sistem irigasi, datang dengan tawaran tingkat bunga 2% sampai 3%. Tapi pinjaman yang tersedia
dari Jepang memiliki suku bunga antara 0,25% dan 0,75%, hingga 12 kali lebih murah daripada yang berasal
dari China. “Kami tidak bisa mendapatkan semua pinjaman dari Jepang. Antara 2% dan 3% suku bunga
(dari China) masih jauh lebih baik dari pada komersial [pinjaman],” kata Ernesto M. Pernia, kepala ekonom
Filipina, mengumumkan pada bulan Februari. Menurut kantor berita resmi pemerintah, Pernia mengatakan
bahwa kelambatan Jepang adalah alasan mereka malas meminjam dari Jepang. “Kami tidak ingin
ketinggalan”. Namun CNN dan outlet lokal Rappler melaporkan ekonom yang mempertimbangkan
kebutuhan akan “teman” diplomatik. “Teman-teman lainnya masih lebih baik dari teman yang lebih sedikit,”
katanya. Filipina telah bertempur dengan China selama bertahun-tahun karena perselisihan teritorial di Laut
Cina Selatan. Namun Presiden Rodrigo Duterte telah mengawasi pertumbuhan perdagangan antara kedua
negara, dan China sekarang merupakan mitra dagang terbesar di negara itu. China memiliki pola pendanaan
proyek infrastruktur di negara-negara miskin dengan imbalan hubungan yang lebih baik dan akses regional,
sebuah tren yang disebut diplomasi perangkap utang. Salah satu penyebab terbesar adalah inisiatif China
Belt and Road, sebuah proyek senilai triliunan dolar untuk menghubungkan 70 negara di Asia, Oceania,
Afrika, dan Eropa dengan jalur kereta api dan jalur pelayaran. Untuk mendanai proyek infrastruktur–yang
menarik bagi negara-negara miskin dan terbelakang yang berjuang untuk mendapatkan pembiayaan
tradisional–China menawarkan pinjaman mereka sendiri. Pinjaman tersebut dapat memiliki tingkat bunga
atau sumber daya alam yang sangat tinggi digunakan sebagai jaminan bahwa China dapat mengendalikan
jika sebuah negara gagal membayar pembayarannya. Di Filipina, kontraktor milik China akan diminta untuk
mengerjakan proyek infrastruktur, daripada mendukung perusahaan dan pekerja lokal. Dan dengan
munculnya pola bisnis milik Cina yang disita oleh pemerintah mereka sendiri, garis antara negara dan bisnis
menjadi kabur. Ini adalah masalah yang sepertinya akan meningkat. Selama masa jabatan lima tahun
pertama Presiden Xi Jinping, China melipatgandakan pengeluaran diplomasi. Pekan ini China
mengumumkan akan meningkatkan anggaran 2018 lebih dari 15%, dua kali kenaikan pengeluaran militer,
menjadi US$9,5 miliar. Xi mempertegas niatnya pada bulan Oktober tahun lalu. “Sudah saatnya kita bisa
tampil di pentas dunia,” katanya.

Peringatan dari AS

Rupanya jebakan diplomasi utang China menjadi perhatian serius dari petinggi di Amerika. Negeri
Paman Sam ini mewanti-wanti kepada para kreditor China akan jebakan diplomasi utang yang jahat. Menlu
Tillerson, mengingatkan negara-negara Afrika agar berhati-hati saat menerima uang pinjaman (utang) dari
China. Ia menegaskan, pernyataan itu bukan sebuah upaya dari Washington untuk menjauhkan Benua Hitam
dari investor-investor China. “Kami tidak sedang berusaha mencegah uang China masuk ke Afrika. (Tetapi)
penting bagi negara-negara Afrika untuk berhati-hati mempertimbangkan syarat dari kerjasama dan tidak
kehilangan kedaulatan mereka,” ujar Rex Tillerson di Addis Ababa, Ethiopia, dinukil dari Reuters, Kamis
(8/3). Mantan petinggi perusahaan energi itu tiba di Ehiopia pada Rabu 7 Maret. Tillerson langsung
berkunjung ke Kantor Pusat Uni Afrika yang berada di Ibu Kota Addis Ababa. Kompleks tersebut didanai
penuh dan dibangun oleh China. Kantor Pusat Uni Afrika sering dilihat sebagai simbol dorongan China guna
menancapkan pengaruhnya serta akses ke sumber-sumber daya alam di Benua Hitam. Komentar diplomat
tertinggi AS itu diucapkan berselang sepekan setelah pidatonya yang mengkritik pendekatan Negeri Tirai
Bambu kepada Benua Afrika. Pria berambut putih itu menuduh China mendorong adanya ketergantungan
dari negara-negara Afrika kepada China lewat kontrak-kontrak buram serta praktik utang yang mematikan.
Kunjungan Menlu Rex Tillerson ke Afrika dianggap sebagai salah satu cara untuk menguatkan aliansi serta
menancapkan pengaruh Negeri Paman Sam. Sebab, sejumlah negara di Benua Afrika saat ini sedang
menoleh kepada bantuan serta menjalin kemitraan dagang dengan China. Ia juga diyakini hendak
mengupayakan hubungan yang lebih harmonis setelah Presiden AS Donald Trump melontarkan kata-kata
yang tidak pantas mengenai Benua Afrika pada Januari lalu. Namun, Donald Trump membantah telah
mengeluarkan kata-kata tidak pantas itu kepada negara-negara di Benua Afrika. Pertanyaannya, apakah
jeratan diplomasi utang China juga bakal melanda Indonesia? Dari bahasa dan adagium yang sering
diutarakan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, tampaknya tanda-tanda zamannya semakin dekat.
Sehingga diperlukan peningkatan kewaspadaan.[]
Nama : Heldya Noyulistiani
NPM : 170404030011
Matkul : Ekonomi Pembangunan

Anda mungkin juga menyukai