Anda di halaman 1dari 8

BAB I

LANDASAN TEORI

A. Anatomi dan Fisiologi Apendiks


Apendiks merupakan organ berbentuk tabung, panjangnya kira-kira 10 cm (kisaran 3-15), dan
berpangkal di sekum. Lumennya sempit di bagian proksimal dan melebar di bagian distal.
Namun demikian, pada bayi, apendiks berbentuk kerucut, lebar pada pangkalnya dan
menyempit kearah ujungnya. Keadaan ini mungkin menjadi sebab rendahnya insidens
apendisitis pada usia itu (Departemen Bedah UGM, 2010).

Secara histologi, struktur apendiks sama dengan usus besar. Kelenjar submukosa dan mukosa
dipisahkan dari lamina muskularis. Diantaranya berjalan pembuluh darah dan kelenjar limfe.
Bagian paling luar apendiks ditutupi oleh lamina serosa yang berjalan pembuluh darah besar
yang berlanjut ke dalam mesoapendiks. Bila letak apendiks retrosekal, maka tidak tertutup oleh
peritoneum viserale (Departemen Bedah UGM, 2010).

Persarafan parasimpatis berasal dari cabang n.vagus yang mengikuti a.mesenterika superior dan
apendikularis, sedangkan persarafan simpatis berasal dari n.torakalis X. Oleh karena itu, nyeri
viseral pada apendisitis bermula di sekitar umbilikus (Sjamsuhidajat, 2004).
Pendarahan apendiks berasal dari a.apendikularis yang merupakan arteri tanpa kolateral. Jika
arteri ini tersumbat, misalnya karena thrombosis pada infeksi, apendiks akan mengalami
gangrene (Sjamsuhidajat, 2004).

Apendiks menghasilkan lendir 1-2 ml per hari. Lendir itu normalnya dicurahkan ke dalam lumen
dan selanjutnya mengalir ke sekum. Hambatan aliran lendir di muara apendiks tampaknya
berperan pada pathogenesis apendisitis. Imunoglobulin sekreator yang dihasilkan oleh GALT
(gut associated lymphoid tissue) yang terdapat di sepanjang saluran cerna termasuk apendiks,
ialah IgA. Imunoglobulin ini sangat efektif sebagai pelindung terhadap infeksi. Namun demikian,

1
pengangkatan apendiks tidak mempengaruhi sistem imun tubuh karena jumlah jaringan limfe di
sini kecil sekali jika dibandingkan dengan jumlahnya di saluran cerna dan di seluruh tubuh
(Sjamsuhidajat, 2004).

B. Definisi
Apendisitis adalah peradangan pada apendiks vermiformis. Penyakit ini mengenai semua umur
baik laki-laki maupun perempuan, tetapi lebih sering menyerang laki-laki berusia 10 sampai 30
tahun (mansjoer, 2000). Apendisitis adalah infeksi pada apendiks karena tersumbatnya lumen
oleh fekalith (batu feces), hiperplasia jaringan limfoid dan cacing usus. Obstruksi lumen
merupakan penyebab utama apendisitis. Erosi mukosa appendiks dapat terjadi karena parasit
seperti E. Coli. Apendisitis merupakan penyebab yang paling umum dari inflamasi akut kuadran
kanan bawah rongga abdomen dan penyebab yang paling umum dari pembedahan abdomen
darurat. Pria lebih banyak terkena daripada wanita, remaja lebih banyak dari orang dewasa.
Insiden tertinggi adalah mereka yang berusia 10 sampai 30 tahun (Baughman, 2000).

C. Klasifikasi Apendisitis
Klasifikasi apendisitis terbagi menjadi dua yaitu, apendisitis akut dan apendisitis kronik
(Sjamsuhidayat, 2005).
1. Apendisitis akut
Apendisitis akut sering tampil dengan gejala khas yang didasari oleh radang mendadak
umbai cacing yang memberikan tanda setempat, disertai maupun tidak disertai rangsang
peritonieum lokal. Gajala apendisitis akut ialah nyeri samar-samar dan tumpul yang
merupakan nyeri viseral didaerah epigastrium disekitar umbilikus. Keluhan ini sering
disertai mual dan kadang muntah. Umumnya nafsu makan menurun. Dalam beberapa jam
nyeri akan berpindah ketitik mc Burney. Disini nyeri dirasakan lebih tajam dan lebih jelas
letaknya sehingga merupakan nyeri somatik setempat.

2. Apendisitis kronik
Diagnosis apendisitis kronis baru dapat ditegakkan jika ditemukan adanya : riwayat nyeri
perut kanan bawah lebih dari 2 minggu, radang kronik apendiks secara makroskopik dan
mikroskopik. Kriteria mikroskopik apendisitis kronik adalah fibrosis menyeluruh dinding
apendiks, sumbatan parsial atau total lumen apendiks, adanya jaringan parut dan ulkus
lama dimukosa , dan adanya sel inflamasi kronik. Insiden apendisitis kronik antara 1-5%.

D. Epidemiologi
Hasil survey pada tahun 2008 Angka kejadian appendiksitis di sebagian besar wilayah
indonesia hingga saat ini masih tinggi. Di Indonesia, jumlah pasien yang menderita penya
kit apendiksitis berjumlah sekitar 7% dari jumlah penduduk di Indonesia atau
sekitar 179.000 orang. Dari hasil Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) di indonesia,
apendisitis akut merupakan salah satu penyebab dari ikut abdomen dan beberapa
indikasi untuk dilakukan operasi kegawatdaruratan abdomen. Insidens apendiksitis di
Indonesia menempati urutan tertinggi di antara kasus kegawatan abdomen lainnya (Depkes
2009).

Data epidemiologi apendisitis jarang terjadi pada balita, insidennya hanya 1%. Apendisitis
mengalami peningkatan pada masa pubertas, dan mencapai puncaknya pada saat
remaja dan awal 20-an, sedangkan penderita apendisitis mengalami penurunan menjelang

2
dewasa (Pieter,2005). Hal ini berkaitan dengan bentuk anatomis dari apendiks pada laki-laki
lebih lurus daripada apendiks perempuan, sehingga resiko untuk masuknya makanan dan
terjadi sumbatan lebih tinggi.

E. Etiologi dan faktor resiko Apendisitis


Apendisitis akut merupakan infeksi bakteria. Berbagai hal berperan sebagai faktor pencetusnya.
Sumbatan lumen apendiks merupakan faktor yang diajukan sebagai faktor pencetus disamping
hiperplasia jaringan limfe, fekalit, tumor apendiks, dan cacing askaris dapat pula menyebabkan
sumbatan. Penyebab lain yang diduga dapat menimbulkan apendisitis adalah E.
coli (Sjamsuhidajat, 2004).

Penelitian epidemiologi menunjukkan peran kebiasaan makan makanan rendah serat dan
pengaruh konstipasi terhadap timbulnya apendisitis. Konstipasi akan menaikkan tekanan
intrasekal, yang berakibat timbulnya sumbatan fungsional apendiks dan meningkatnya
pertumbuhan kuman flora kolon biasa. Semuanya ini akan mempermudah timbulnya apendisitis
akut(Sjamsuhidajat,2004).

F. Patofisiologi
Terlampir

G. Manifestasi klinis
Menurut Pieter, 2005 manifestasi klinis apendisitis akut antara lain:
1. Tanda awal
Nyeri mulai di epigastrium atau regio umbilikus disertai mual dan anoreksia
2. Nyeri pindah ke kanan bawah dan menunjukkan tanda rangsangan peritoneum lokal di
titik Mc Burney
a) nyeri tekan
b) nyeri lepas

3
c) defans muskuler
3. nyeri rangsangan peritoneum tidak langsung
a) nyeri tekan bawah pada tekanan kiri (Rovsing)
b) nyeri kanan bawah bila tekanan di sebelah kiri dilepaskan (Blumberg)
c) nyeri kanan bawah bila peritoneum bergerak seperti nafas dalam, berjalan, batuk,
mengedan
H. Pemeriksaan Diagnostik Apendisitis
1. Pemeriksaan Fisik
a) Inspeksi pada appendicitis akut tidak ditemukan gambaran yang spesifik dan terlihat
distensi perut.
b) Palpasi pada daerah perut kanan bawah, apabila ditekan akan terasa nyeri dan bila
tekanan dilepas juga akan terasa nyeri. Nyeri tekan perut kanan bawah merupakan
kunci diagnosa appendicitis. Pada penekanan perut kiri bawah akan dirasakan nyeri
pada perut kanan bawah yang disebut tanda Rovsing (Rovsing Sign). Apabila tekanan di
perut kiri bawah dilepaskan juga akan terasa nyeri pada perut kanan bawah yang
disebut tanda Blumberg (Blumberg Sign).
c) Pemeriksaan rektum, pemeriksaan ini dilakukan pada appendicitis untuk menentukan
letak appendiks apabila letaknya sulit diketahui. Jika saat dilakukan pemeriksaan ini
terasa nyeri, maka kemungkinan appendiks yang meradang terletak di daerah pelvic.
d) Pemeriksaan uji psoas dan uji obturator, pemeriksaan ini dilakukan untuk mengetahui
letak appendiks yang meradang. Uji psoas dilakukan dengan rangsangan otot psoas
lewat hiperektensi sendi panggul kanan atau fleksi aktif sendi panggul kanan, kemudian
paha kanan ditahan. Bila appendiks yang meradang menempel di m. psoas mayor, maka
tindakan tersebut akan menimbulkan nyeri. Pada uji obturator dilakukan gerakan fleksi
dan endorotasi sendi panggul pada posisi terlentang. Bila appendiks yang meradang
kontak dengan obturator internus yang merupakan dinding panggul kecil, maka
tindakan ini akan menimbulkan nyeri.
2. Tes laboratorium
Jumlah leukosit berkisar antara 10.000 dan 16.000/mm³ dengan pergeseran ke kiri (lebih
dari 75 persen neutrofil) pada 75 persen kasus yang ada. 96 persen diantaranya leukositosis
atau hitung jenis sel darah putih yang abnormal. Tetapi beberapa pasien dengan apendisitis
memiliki jumlah leukosit yang normal. Pada urinalisis tampak sejumlah kecil eritrosit atau
leukosit.
3. Foto sinar-X
Tak tampak kelainan spesifik pada foto polos abdomen. Barium enema mungkin dapat
untuk diagnosis tetapi tundakan ini dicadangkan untuk kasus yang meragukan
4. Appendikogram
Apendikogram dilakukan dengan cara pemberian kontras BaSO4 serbuk halus yang
diencerkan dengan perbandingan 1:3 secara peroral dan diminum sebelum pemeriksaan
kurang lebih 8-10 jam untuk anak-anak atau 10-12 jam untuk dewasa, hasil apendikogram
diexpertise oleh dokter spesialis radiologi.
5. Radiologi, terdiri dari pemeriksaan ultrasonografi (USG) dan Computed Tomography
Scanning (CT-scan)
Pada pemeriksaan USG ditemukan bagian memanjang pada tempat yang terjadi inflamasi
pada appendiks, sedangkan pada pemeriksaan CT-scan ditemukan bagian yang menyilang

4
dengan fekalith dan perluasan dari appendiks yang mengalami inflamasi serta adanya
pelebaran sekum. Tingkat akurasi USG 90-94% dengan angka sensitivitas dan spesifisitas
yaitu 85% dan 92%, sedangkan CT-Scan mempunyai tingkat akurasi 94-100% dengan
sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi yaitu 90-100% dan 9697%.
6. Analisa urin bertujuan untuk mendiagnosa batu ureter dan kemungkinan infeksi saluran
kemih sebagai akibat dari nyeri perut bawah.
7. Pengukuran enzim hati dan tingkatan amilase membantu mendiagnosa peradangan hati,
kandung empedu, dan pankreas.
8. Serum Beta Human Chorionic Gonadotrophin (B-HCG) untuk memeriksa adanya
kemungkinan kehamilan.
9. Pemeriksaan barium enema untuk menentukan lokasi sekum
Pemeriksaan Barium enema dan Colonoscopy merupakan pemeriksaan awal untuk
kemungkinan karsinoma colon.
10. Pemeriksaan foto polos abdomen
Pemeriksaan foto polos abdomen tidak menunjukkan tanda pasti appendicitis, tetapi
mempunyai arti penting dalam membedakan appendicitis dengan obstruksi usus halus atau
batu ureter kanan.

I. Penatalaksanaan
Bila diagnosis klinis sudah jelas, tindakan paling tepat dan merupakan satu -satunya
pilihan yang baik adalah apendektomi. Pada apendisitis tanpa komplikasi biasanya tidak
diperlukan pemberian antibiotik, kecuali pada apendisitis gangrenosa atau apendisitis perf
orate. Penundaan tindak bedah sambil memberikan antibiotik dapat mengakibatkan abses atau
perforasi (Sjamsuhidajat, 2004).

Apendektomi bisa dilakukan secara terbuka ataupun dengan cara laparskopi. Bila
apendektomi terbuka, insisi McBurney paling banyak dipilih oleh ahli bedah. Pada
penderita yang diagnosisnya tidak jelas sebaiknya dilakukan observasi terlebih dahulu.
Pemeriksaan laboratorium dan ultrasonografi bisa dilakukan bila dalam observasi masih
terdapat keraguan. Bila tersedia laparoskop, tindakan laparoskopi diagnostic pada kasus
meragukan dapat segera menentukan akan dilakukan operasi atau tidak (Sjamsuhidajat, 2004).
Penanggulangan konservatif terutama diberikan pada penderita yang tidak mempunyai
akses ke pelayanan bedah berupa pemberian antibiotik. Pemberian antibiotik berguna untuk
mencegah infeksi. Pada penderita appendicitis perforasi, sebelum operasi dilakukan
penggantian cairan dan elektrolit, serta pemberian antibiotik sistemik

Operasi
Bila diagnosa sudah tepat dan jelas ditemukan appendicitis maka tindakan yang
dilakukan adalah operasi membuang appendiks (appendektomi). Penundaan
appendektomi dengan pemberian antibiotik dapat mengakibatkan abses dan perforasi.
Pada abses appendiks dilakukan drainage (mengeluarkan nanah). Alternatif lain operasi
pengangkatan usus buntu yaitu dengan cara bedah laparoskopi. Operasi ini dilakukan dengan
bantuan video camera yang dimasukkan ke dalam rongga
perut sehingga jelas dapat melihat dan melakukan appendektomi dan juga dapat
memeriksa organ-organ di dalam perut lebih lengkap selain apendiks. Keuntungan bedah

5
laparoskopi ini selain yang disebut diatas, yaitu luka operasi lebih kecil, biasanya antara satu
dan setengah sentimeter sehingga secara kosmetik lebih baik (Sanyoto, 2007).

Adapun pendapat lain, adalah sebagai berikut :


Penatalaksanaan apendisitis tergantung dari nyeri apendisitisnya akut atau
kronis.Penatalaksanaan bedah ada dua cara yaitu non bedah (non surgical) dan
pembedahan (surgical).
1. Non bedah (non surgical)
Penatalaksanaan ini dapat berupa :
a. Batasi diet dengan makan sedikit dan sering (4-6 kali perhari)
b. Minum cairan adekuat pada saat makan untuk membantu proses pasase makanan
c. Makan perlahan dan mengunyah sempurna untuk menambah saliva pada makanan
d. Hindari makan bersuhu ekstrim, pedas, berlemak, alkohol, kopi, coklat, dan jus jeruk
e. Hindari makan dan minum 3 jam sebelum istirahat untuk mencegah masalah refluks
nonturnal
f. Tinggikan kepala tidur 6-8 inchi untuk mencegah refluks nonturnal
g. Turunkan berat badan bila kegemukan untuk menurunkan gradient tekanan gastro
esophagus
h. Hindari tembakan, salisilat, dan fenibutazon yang dapat memperberat esofagistis.
2. Pembedahan
Yaitu dengan apendiktomi. Operasi apendisitis dapat dipersiapkan hal -hal sebagai
berikut:
Insisi tranversal 5 cm atau oblik dibuat di atas titik maksimal nyeri tekan atau massa
yang dipalpasi pada fosa iliaka kanan. Otot dipisahkan ke lateral rektus abdominalis.
Mesenterium apendikular dan dasar apendiks diikat dan apendiks diangkat. Tonjolan
ditanamkan ke dinding sekum dengan menggunakan jahitan purse string untuk
meminimalkan kebocoran intra abdomen dan sepsis. Kavum peritoneum dibilas dengan
larutan tetrasiklin dan luka ditutup. Diberikan antibiotic profilaksis untuk mengurangi luka
sepsis pasca operasi yaitu metronidazol supositoria (Syamsuhidayat, 2004).

J. KOMPLIKASI
Komplikasi utama apendisitis adalah perforasi apendiks yang dapat berkembang menjadi
peritonitis atau abses. Insidens perforasi adalah 10% sampai 32%. Insidens lebih
tinggi pada anak kecil dan lansia. Perforasi secara umum terjadi 24 jam setelah awitan
nyeri. Gejala mencakup demam dengan suhu 37,70C atau lebih tinggi, penampilan toksik, dan
nyeri atau nyeri tekan abdomen yang kontinyu (Smeltzer C.Suzanne, 2002).
Komplikasi yang paling sering adalah perforasi apendisitis. Perforasi usus buntu
dapat mengakibatkan periappendiceal abses (pengumpulan nanah yang terinfeksi) atau
peritonitis difus (infeksi selaput perut dan panggul). Alasan utama untuk perforasi
appendiceal adalah keterlambatan dalam diagnosis dan perawatan. Secara umum,
semakin lama waktu tunda antara diagnosis dan operasi, semakin besar kemungkinan
perforasi. Risiko perforasi 36 jam setelah onset gejala setidaknya 15%. O leh karena itu, setelah
didiagnosa radang usus buntu, operasi harus dilakukan tanpa menunda - nunda.

Komplikasi jarang terjadi pada apendisitis adalah penyumbatan usus. Penyumbatan terjadi
ketika peradangan usus buntu sekitarnya menyebabkan otot usus untuk berhenti

6
bekerja, dan ini mencegah isi usus yang lewat. Jika penyumbatan usus di atas mulai
mengisi dengan cairan dan gas, distensi perut, mual dan muntah dapat terjadi. Kemudian
mungkin perlu untuk mengeluarkan isi usus melalui pipa melewati hidung dan
kerongkongan dan ke dalam perut dan usus. Sebuah komplikasi apendisitis ditakuti adalah
sepsis, suatu kondisi dimana bakteri
menginfeksi masuk ke darah dan perjalanan ke bagian tubuh lainnya.

Kebanyakan komplikasi setelah apendektomi adalah (Hugh A.F. Dudle y, 1992):


1. Infeksi luka dan perforasi.
Perforasi adalah pecahnya appendiks yang berisi pus sehingga bakteri menyebar ke rongga
perut. Perforasi jarang terjadi dalam 12 jam pertama sejak awal sakit, tetapi
meningkat tajam sesudah 24 jam. Perforasi dapat diketahui praoperatif pada 70%
kasus dengan gambaran klinis yang timbul lebih dari 36 jam sejak sakit, panas lebih
dari 38,50C, tampak toksik, nyeri tekan seluruh perut, dan leukositosis terutama
polymorphonuclear (PMN). Perforasi, baik berupa perforasi bebas maupun
mikroperforasi dapat menyebabkan peritonitis
2. Abses residual
Abses merupakan peradangan appendiks yang berisi pus. Teraba massa lunak di
kuadran kanan bawah atau daerah pelvis. Massa ini mula -mula berupa flegmon dan
berkembang menjadi rongga yang mengandung pus. Hal ini terjadi bila appendicitis
gangren atau mikroperforasi ditutupi oleh omentum
3. Sumbatan usus akut,
4. Ileus paralitik
5. Fistula tinja eksternal
6. Peritonitis
Peritonitis adalah peradangan peritoneum, merupakan komplikasi be rbahaya yang
dapat terjadi dalam bentuk akut maupun kronis. Bila infeksi tersebar luas pada
permukaan peritoneum menyebabkan timbulnya peritonitis umum. Aktivitas peristaltik
berkurang sampai timbul ileus paralitik, usus meregang, dan hilangnya cairan elek
trolit mengakibatkan dehidrasi, syok, gangguan sirkulasi, dan oligouria.
K. Pencegahan
Pencegahan Primer
Pencegahan primer bertujuan untuk menghilangkan faktor risiko terhadap kejadian
appendicitis.
Upaya pencegahan primer dilakukan secara menyeluruh kepada masyarakat. Upaya yang
dilakukan antara lain:
1. Diet tinggi serat
Berbagai penelitian telah melaporkan hubungan antara konsumsi serat dan insidens
timbulnya berbagai macam penyakit. Hasil penelitian membuktikan bahwa diet tinggi serat
mempunyai efek proteksi untuk kejadian penyakit saluran pencernaan. Serat dalam
makanan mempunyai kemampuan mengikat air,
selulosa, dan pektin yang membantu mempercepat sisi -sisa makanan untuk
diekskresikan keluar sehingga tidak terjadi konstipasi yang mengakibatkan penekanan
pada dinding kolon.
2. Defekasi yang teratur

7
Makanan adalah faktor utama yang mempengaruhi pengeluaran feces. Makanan yang
mengandung serat penting untuk memperbesar volume feces dan makan yang teratur
mempengaruhi defekasi. Individu yang makan pada waktu yang sama setiap hari
mempunyai suatu keteraturan waktu, respon fisiologi pada pemasukan makanan
dan keteraturan pola aktivitas peristaltik di kolon. Frekuensi defekasi yang jarang
akan mempengaruhi konsistensi feces yang lebih padat sehingga terjadi konstipasi.
Konstipasi menaikkan tekanan intracaecal sehingga terjadi sumbatan fungsional
appendiks dan meningkatnya pertumbuhan flora normal kolon. Pengerasan feces
memungkinkan adanya bagian yang terselip masuk ke saluran appendiks dan menjadi
media kuman/bakteri berkembang biak sebagai infeksi yang menimbulkan peradangan
pada appendiks

Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder meliputi diagnosa dini dan pengobatan yang tepat untuk mencegah
timbulnya komplikasi

Anda mungkin juga menyukai