Anda di halaman 1dari 6

Fenomena Urban Sprawl dan Solusinya

Studi kasus: Kota Bandung, Jawa Barat

Oleh: Muhammad Iqbal (D1091181025)

Urban Sprawl dapat diartikan sebagai proses perluasan/perembetan kawasan


terbangun kota ke arah luar sebagai dampak dari meningkatnya jumlah penduduk dan
kegiatan perkotaan (dalam Pontoh, 2013). Urban sparwl merupakan suburbanisasi,
yaitu proses perpindahan dari kawasan pusat kota ke daerah pinggiran, yang terjadi
secara acak, tidak berpola, dan tidak terkontrol. Urban sparwl juga dapat diamati dari
perubahan gaya hidup masyarakat perkotaan dari segi transportrasi yakni meningkatnya
angka ketergantungan pada penggunaan kendaraan bermotor bahkan menjadi satu-
satunya pilihan untuk melakukan perjalanan, sehingga menimbulkan efek
ketergantungan yang akut (Ramelia dan Setyono, 2015). Karena sifatnya ini, fenomena
urban sprawl akan mengancam keberadaan lahan pertanian dan ruang terbuka hijau,
meningkatkan biaya layanan publik, mendorong masyarakat dan pemilik modal untuk
meninggalkan pusat kota, serta rentan terjadinya degradasi lingkungan. Fenomena
urban sparwl terjadi hampir di seluruh kota di dunia, tak terkecuali di Indonesia sebagai
negara dengan penduduk terbanyak nomor 4 di dunia.
Fenomena urban sprawl umumnya terjadi pada kota-kota besar yang memiliki
laju konversi lahan yang tinggi (Mujiandari, 2014). Salah satu wilayah perkotaan yang
memiliki laju alih fungsi lahan tertinggi di Indonesia adalah Kota Bandung. Setiap
tahunnya rata-rata laju konversi lahan tidak terbangun menjadi lahan terbangun
mencapai 137 ha (Pusat Data dan Informasi Kementerian Pertanian, 2015). Kawasan
Bandung dan sekitarnya disebut sebagai Bandung Metropolitan Area (MBA), atau
Cekungan Bandung, yang meliputi wilayah Kota Bandung, Kota Cimahi, Kabupaten
Bandung, Kabupaten Bandung Barat, dan sebagian Kabupaten Sumedang.
Populasi BMA meningkat dari 5.079.348 pada tahun 1991 untuk 9.341.995 pada
tahun 2012. Rata-rata pertumbuhan penduduk di atas 3% per tahun. Demikian pula,
daerah fisik juga meningkat dari 3.428.249 hektar pada tahun 1991 menjadi 6.581.286
hektar pada tahun 2012. pertumbuhan fisik BMA dari tahun 1991, 1997, 2001, 2005,
2008, dan 2012.
Gambar 1. Pertumbuhan Kota Bandung Tahun 1991-2012
Sumber: BPNRI, 2008

Gambar 2. (a) Populasi vs Area Urban (b) Pertumbuhan Populasi vs Pertumbuhan Fisik
Kekotaan
Sumber: Vevin S. Ardiwijya dkk, 2014

Dapat kita lihat bahwa hingga tahun 2012 populasi memiliki jumlah yang lebih
tinggi daripada area urbannya, namun jika ditinjau dari pertumbuhan populasi dan fisik
kekotaannya justru pertumbuhan fisik kekotaan jauh lebih tinggi bahkan mulai
menunjukkan pertumbuhan yang signifikan mulai tahun 2001-2005. Hal ini
memandakan banyaknya lahan-lahan baru yang dibuka atau wilayah berubah menjadi
sifat perkotaan, hal ini terjadi karena permintaan lahan di area pinggiran kota semakin
tinggi, masyarakat mulai menninggalkan pusat kota dan memilih bermukim di area
suburban yang justru menjadikan ini sebagai fenomena urban sprawl di Kota Bandung.

Gambar 3. Analisis Tipologi Urban Sprawl di Kota Bandung


Sumber: Widiawaty dkk, 2014

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Widiawaty, dkk (2014)


diketahui bahwa pada tahun 2018, urban sprawl level tertinggi (tipologi 3) berkembang
secara pesat dengan pola memusat menuju bagian timur Kota Bandung yang secara
geografis memiliki topografi yang relatif datar, rendah risiko terhadap pergerakan tanah,
dan lahan yang cukup tersedia, sehingga berpotensi menjadi lahan fisik perkotaan dapat
berkembang dengan baik. Kondisi jauh berbeda dengan keadaan urban sprawl pada
tahun 2005 yang memiliki pola acak. Selain itu, daya tarik masyarakat untuk
menciptakan lahan terbangun juga didukung oleh lokasi wilayah tersebut yang relatif
dekat dengan CBD Jatinangor.
Solusi yang dapat ditawarkan untuk mengatasi atau setidaknya meminimalisir
dampak negatif urban sprawl ini terdiri atas alternatif keruangan dan alternatif
nonkeruangan. Alternatif keruangan umumnya mengenai pengaturan penggunaan lahan.
Pertama adalah pengaturan batasan yang jelas terhadap pembangunan, maksudnya
pembangunan yang dilakukan berpedoman pada dokumen perencanaan yang ada, dalam
hal ini RTRW. Namun sebelum itu produk luasan RTH yang ada saat ini, belum sesuai
dengan target yang ditetapkan dalam RTRW Kota Bandung, yaitu sebesar 10% dari luas
wilayah Kota Bandung dan juga belum dapat memenuhi ketentuan Undang-Undang
Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang yang menetapkan bahwa luas ideal
Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan (RTHKP) minimal 30% yang terdiri dari
20% ruang terbuka hijau publik dan 10% terdiri dari ruang terbuka privat.

Gambar 4. Rencana Pola Ruang Kota Bandung


Sumber: RTRW Kota Bandung Tahun 2011-2031

Kawasan hijau/konservasi dapat dijadikan sebagai pembatas fenomena urban


sparwl. RTRW yang hanya mengakomodir luas RTH sebesar 10% dari luas wilayah
agaknya perlu penambahan RTH terutama di kawasan utara Bandung, wilayah tersebut
memiliki kenampakan alam yang curam. Perlunya kawasan ini menjadi kawasan
konservasi dikarenakan terdapat sesar lembang yang membentang sejauh 29 km,
membentang mulai dari Padalarang hingga Maglayang, merupakan salah satu sesar aktif
yang sewaktu-waktu berpotensi menyebabkan gempa bumi.
Pembatasan lain yaitu pembatasan kawasan pengembangan berkepadatan tinggi,
maksudnya direncanakan suatu kawasan untuk menjadi kawasan dengan kepadatan
tinggi, berada di sekitar CBD (pusat kota), yang memiliki batas tertentu dan
pembangunan yang dilakukan tidak boleh melewati batas tersebut. Mengapa harus
demikian, karena menurut Staley (1999) salah satu karakteristik dari urban sprawl yaitu
adanya perkembangan perumahan berkepdatan rendah yang justru mengakibatkan
pemborosan lahan.
Adapun alternatif lain yakni alternatif nonkeruangan. Pertama yang perlu
dilakukan yakni mengurangi ketergantungan terhadap kendaraan pribadi dan beralih
kepada transportasi umum. Salah satu karakteristik urban sparwl adalah ketergantungan
terhadap kendaraan bermotor dalam melakukan semua kegiatan perjalanan, Anthony
Downs (dalam Staley, 1999). Peralihan ke transportasi umum dimaksudkan untuk tetap
menjaga kelancaran lalu lintas di Kota Bandung, terutama di kawasan CBD (pusat kota)
agar kawasan ini tetap nyaman untuk ditinggali sehingga mencegah atau meminimalisir
terjadinya perpindahan penduduk ke kawasan pinggiran yang tentu akan menyebabkan
terjadinya fenomena urban sprawl.
Selanjutnya yakni menciptakan Kota Bandung yang nyaman untuk berjalan kaki.
Bukan tidak mungkin, Kota Bandung yang berada di kawasan dataran tinggi tentunya
memiliki suhu yang lumayan dingin, suhu rata-rata di Kota bandung berkisar 20,2C
hingga 29,5C dengan kelembapan udara 56-93%, tentu kondisi ini masih nyaman
untuk berjalan kaki. Hanya saja perlu adanya trotoar (pedestrian way) yang juga nyaman
tentunya di setiap jalan di Kota Bandung. Dengan berjalan kaki tentunya akan
mengurangi volume kendaraan yang digunakan dan dapat memperlancar arus lalu lintas,
ditambah perencanaan permukiman berkepadatan tinggi di sekitar CBD tentunya
membuat masyarakat dekat dengan tempat kerjanya.
Fenomena urban sprawl memang menjadi masalah besar di setiap kota di dunia,
arus urbanisasi menjadi pemicu utama hal ini dikarenakan kesepatan kerja yang lebih
besar di kota-kota. Beragam upaya yang dilakukan hanya sebagai tindakan untuk
meminimalisir dampak buruk yang terjadi, karena sifat ruang yang terbatas ditengah
pertumbuhan penduduk yang semakin meningkat membuat pengelolaan dan penataan
ruang yang efisien dan efektif menjadi kunci utama untuk meredam dampak buruk dari
fenomena urban sprawl ini.
Daftar Pustaka
Alazka, Juli. (2019). Gempa kuat Sesar Lembang mengintai Bandung: Mengapa
kesadaran warga masih minim?. (https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-
49042392, diakses 1 Oktober 2019).
Ardiwijya, Vevin S., dkk. 2014. Bandung Urban Sprawl and Idle Land: Spatial
Environmental Perspectives. Makalah dalam ICESD 2014. Singapura, 19-21
Februari: Elsevier.
Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 18 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang
Wilayah Kota Bandung Tahun 2011-2031.
Pontoh, Nia K. dan Iwan Kustiwan. 2013. Pengantar Perencanaan Perkotaan.
Bandung: Penerbit ITB.
Prihatin, Rohani Budi. (2015). Alih Fungsi Lahan di Perkotaan (Studi Kasus di Kota
Bandung dan Yogyakarta). Aspirasi, 6, 105-118.
Widiawaty, Millary Agung, dkk. 2018. Analisis Tipologi Urban Sprawl di Kota
Bandung. Seminar Nasional Geomatika 2018: Penggunaan dan Pengembangan
Produk Informasi Geospasial Mendukung Daya Saing Nasional: 547-554. Bogor,
5 September 2018: Badan Informasi Geospasial RI.

Anda mungkin juga menyukai