Anda di halaman 1dari 12

AKULTURASI HINDU-BUDHA DAN ISLAM PADA ARSITEKTUR MASJID

GEDHE KAUMAN YOGYAKARTA

Disusun untuk memenuhi tugas


Mata Kuliah: SKI Hindu Budha
Dosen Pengampu: Ibu Ririn Darini, SS.,M.Hum.

Oleh:
Dwinda Sekar Indah Mawarni
19407144022

KELAS B
JURUSAN ILMU SEJARAH
FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2019
ABSTRAK

Masjid Gedhe Yogjakarta adalah masjid tertua yang dibangun oleh Kerajaan
Islam Ngayogyokarto Hadiningrat atau Kasultanan Jogjakarta. Masjid Gedhe
dibangun setelah Sri Sultan Hamengku Buwana I selesai membangun kraton baru.
Bangunan Masjid Gedhe memiliki karakteristik budaya yang berdampingan satu
dengan yang lain, membentuk karakteristik bangunan yang unik dan sangat
menarik. Masalah dalam penelitian adalah mencari bentuk akulturasi budaya yang
ada. Dengan mengetahui akulturasi budayanya maka akan diketahui dengan jelas
pelestarian bangunan dengan dasar filosofi budaya yang mewarnai bangunan
Masjid Gedhe. Akulturasi bukan membentuk budaya baru tetapi memberikan
karakteristik keunikan. Karakteristik pada masjid Gedhe Mataram merupakan
salah satu kekayaan arsitektur Nusantara.
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-
Nya sehingga saya dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul Akulturasi
Hindu-Budha Dan Islam Pada Arsitektur Masjid Gedhe Kauman Yogyakarta ini
tepat pada waktunya. Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk
memenuhi tugas Ibu Ririn Darini, SS.,M.Hum. pada mata kuliah SKI Hindu
Budha. Saya mengucapkan terima kasih kepada Ibu Ibu Ririn Darini, SS.,M.Hum.
, selaku dosen pengampu mata kuliah SKI Hindu Budha yang telah memberikan
tugas ini sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan
bidang studi yang saya tekuni. Saya juga mengucapkan terima kasih kepada
semua pihak yang telah membagi sebagian pengetahuannya sehingga saya dapat
menyelesaikan makalah ini. Saya menyadari, makalah yang saya tulis ini masih
jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun akan
saya nantikan demi kesempurnaan makalah ini.

Sleman, 23 Oktober 2019

Dwinda Sekar Indah Mawarni

19407144022
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sebelum menjadi seorang raja, Sultan Hameng Kubuwono I adalah


seroang muslim yang taat ibadah. Ia juga berani dalam membasmi
kemungkaran dan membersihkan kemaksiatan. Oleh karena itu saat
menjadi raja, Sultan Hameng Kubuwono I membangun sebuah masjid
sebagai sarana ibadah raja bersama rakyatnya. Maka pada tahun 1773 M,
Sri Sultan Hamengku Buwana I berhasil membangun masjid yang diberi
nama awal dengan Masjid Gedhe, kemudian masjid itu dikenal pula
dengan nama Masjid Agung, dan Masjid Besar, pada akhir ini ditetapkan
sebagai Masjid Raya Daerah Istimewa Yogyakarta. Letak Masjid Gedhe di
sebelah barat laut Kraton Jogjakarta, juga di barat Alun-alun Jogjakarta.
Masjid Gedhe Kauman dibangun oleh Sri Sultan Hamengku Buwono
I bersama Kyai Faqih Ibrahim Diponingrat (penghulu kraton pertama) dan
Kyai Wiryokusumo sebagai arsiteknya. Masjid ini dibangun pada
hari Ahad Wage, 29 Mei 1773 M atau 6 Rabi'ulakhir 1187 H.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana arsitektur Masjid Gede Kauman ?

2. Bagaimana akulturasi hindu-budha dan islam pada arsitektur Masjid


Gedhe Kauman ?
BAB II

PEMBAHASAN

A. Arsitektur Masjid Gedhe Kauman

Arsitektur Masjid Agung Yogyakarta selain mempunyai keunikan-


keunikan tersendiri, secara keseluruhan identik dengan masjid-masjid
Agung Banten, Demak, Surakarta dan banyak masjid-masjid tidak terlalu
besar di Jawa, terdiri dari dua unit utama. Yang pertama melintang segi
empat panjang di depan sebelum masuk ke unit utama berdempet langsung
dengan ruang sembanyang utama. Tritisan kedua atap, satu dengan lain
dihubungkan dengan talang. Dalam susunan tersebut kembali terlihat
adanya konsep rumah joglo, unit melintang identik dengan pendopo,
namun di sini tidak ada pringgitannya, menempel langsung pada unit
sembayang yang utama. Tipe konstruksi identik dengan pendopo ini,
dinamakan limasan sinom lambang gantung, mempunyai delapan tiang
utama di tengah membentuk segi empat panjang dikelilingi enambelas
tiang lainnya sedikit lebih kecil dan pendek. Tiang-tiang tersebut terdiri di
atas umpak dari batu gunung seperti lazimnya konstruksi Jawa, semua
dihias dengan ukiran 19 berupa alur-alur dan lengkung-lengkung kaligrafi
Arab. Di bagian atas tiang-tiang diikat dengan balok- balok kayu
membentuk susunan bujur sangkar, bertumpuk-tumpuk semakin ke atas
semakin kecil bagian dari piramida, dalam konstruksi jawa disebut uleng.
Uleng yang susunannya juga disebut tumpang-sari, dihias dengan ukiran
indah berpola Floral dari prada, dengan latar warna kuning lambang warna
emas. Keunikan lain dari Masjid Agung Yogyakarta (Masjid Gedhe
Kauman) yang tidak terdapat di Masjid sejamannya adalah pada tembok
keliling ganda, selain yang tinggi, dalam kompleks terdiri dari unit-unit
tersebut diatas, masjid juga dikelilingi lagi oleh dinding, namun tidak
tinggi kira-kira setinggi orang dan tidak rapat. Selain pagar, pintu
gerbangnya juga ganda. Sebelum masuk ke dalam terdapat unit penerima
berupa gang beratap memanjang pada sumbu tengah timurbarat masjid,
pada ujung sumbu tengah inilah terdapat pintu gerbang kedua, berbentuk
setengah lingkaran di atas, dihias dengan gambar Mahkota Kerajaan, jam
dinding yang diapit oleh sayap kembar. Pada sisi setengah lingkaran
mempunyai hiasan berpola floral, mirip dengan kuncup melati. Hiasan
bunga ini juga menghiasi kepala pilaster-pilaster dari pagar keliling. Pada
puncak dari pintu gerbang dalam ini, terdapat bulan sabit, sebelum masuk
ke dalam serambi, dahulu terdapat parit tetapi tidak dalam, agar sebelum
masuk ke dalam masjid kaki jamaah tercuci. Kompleks Mesjid Gedhe
Kauman dikelilingi oleh suatu dinding yang tinggi. Pintu utama kompleks
terdapat di sisi timur dengan konstruksi Semar Tinandu. Melalui gapura ini
para ulama meng-Islamkan masyarakat yang hendak melihat dan
mendengarkan bunyi gamelan di plateran masjid. Arsitektur bangunan
induk berbentuk tajug persegi tertutup dengan atap bertumpang tiga. Arti
makna atap tumpang tiga ialah tahapan kehidupan manusia dari Hakekat,
Syari’at, dan Ma’rifat, kemudian makna daun kluwih adalah Linuwih yaitu
punya kelebihan yang sempurna, dan Gadha berarti tunggal yaitu
menyembah Tuhan Yang Maha Esa, makna keseluruhan ialah bila manusia
sudah sampai Ma’rifat, hanya menyembah kepada Allah Swt. yang
Tunggal, maka manusia itu punya kelebihan kesampurnaan hidup. Dengan
demikian siapa saja yang ikhlas ke masjid untuk ibadah kepada Allah Swt.,
maka akan selamat dunia akhiratnya. Untuk masuk ke dalam terdapat
pintu utama di sisi timur dan utara. Di sisi dalam bagian barat
terdapat mimbar bertingkat tiga yang terbuat dari kayu, mihrab (tempat
imam memimpin ibadah), dan sebuah bangunan mirip sangkar yang
disebut maksura. Pada zamannya untuk alasan keamanan di tempat ini
sultan melakukan ibadah. Serambi masjid berbentuk limas persegi panjang
terbuka. Lantai ruang utama dibuat lebih tinggi dari serambi masjid dan
lantai serambi sendiri lebih tinggi dibandingkan dengan halaman masjid.
Di sisi utara-timur-selatan serambi terdapat kolam kecil. Pada zaman
dahulu kolam ini untuk mencuci kaki orang yang hendak masuk masjid. Di
depan masjid terdapat sebuah halaman yang ditanami pohon tertentu. Di
sebelah utara dan selatan halaman terdapat sebuah bangunan yang agak
tinggi yang dinamakan Pagongan. Pagongan di timur laut masjid disebut
dengan Pagongan Ler (Pagongan Utara) dan yang berada di tenggara
disebut dengan Pagongan Kidul (Pagongan Selatan). Saat upacara Sekaten,
Pagongan Ler digunakan untuk menempatkan gamelan sekati Kangjeng
Kyai Naga Wilaga dan Pagongan Kidul untuk gamelan sekati Kangjeng
Kyai Guntur Madu. Di barat daya Pagongan Kidul terdapat pintu untuk
masuk kompleks masjid gedhe yang digunakan dalam upacara Jejak Bata
pada rangkaian acara Sekaten setiap tahun. Selain itu terdapat Pengulon,
tempat tinggal resmi kangjeng kyai pengulu di sebelah utara masjid dan
pemakaman tua di sebelah barat masjid. Masjid Gedhe Kauman Yogjakarta
berbagunan itu tradisional Jawa, yaitu beratap tumpang tiga, dengan
mustaka menggambarkan daun kluwih dan gadha.

B. Akulturasi Hindu-Budha Dan Islam Pada Arsitektur Masjid Gedhe


Kauman

Bangunan Masjid sangat erat kaitannya dengan sejarah perkembangan


Islam. Di Indonesia, budaya Islam hidup, tumbuh dan berkembang
bersama budaya Pra Islam. Budaya Pra Islam adalah budaya Hindu-Budha
dan paham Animisme-Dinamisme. Budaya Islam dan Pra Islam ini ikut
mewarnai karakter arsitektur di Indonesia. Diantaranya karakter arsitektur
masjid. Selain budaya Islam dan pra Islam, keragaman arsitektur masjid di
Indonesia juga dipengaruhi oleh kondisi iklim, topografi, geografi dan
budaya. Masjid Gedhe Mataram Yogyakarta memiliki gaya arsitektur yang
menarik. Secara kasat mata arsitektur bangunannya memiliki dua karakter,
Hindu dan Islam Jawa. Masjid Gedhe Mataram adalah salah satu
peninggalan sejarah kerajaan Mataram Islam. Beberapa budaya yang
terlihat pada arsitektur bangunan masjid Gedhe Mataram merupakan salah
satu bentuk akulturasi budaya. Akulturasi adalah perpaduan antara dua
budaya atau lebih yang kemudian menghasilkan budaya baru tanpa
merubah unsur-unsur asli di dalamnya. Menurut Koentjaraningrat,
akulturasi adalah proses sosial yang terjadi pada suatu kelompok
masyarakat dari latar belakang budaya yang berbeda. Akultrasi dapat
menimbulkan persatuan tetapi juga dapat menimbulkan permusuhan.
Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap bentuk akulturasi budaya pada
arsitektur bangunan masjid Gedhe Mataram Yogyakarta. Untuk tujuan
tersebut, bangunana akan ditelusuri melalui tata ruang, tata bangunan dan
perilaku. Dengan mengetahui akulturasi yang ada maka makna arsitektur
masjid Gedhe Mataram akan diketahui dan mudah bagi generasi
berikutnya menjaganya sampai akhir jaman. Walaupun kehidupan
masyarakat terus berkembang, makna arsitektur masjid dan nilai-nilai
fisiknya akan tetap dipahami dari generasi ke generasi. Tata ruang masjid
terdiri dari ruang luar dan tata ruang dalam. Tata ruang luar terdiri dari
pagar pembatas. Pagar pembatas adalah dinding yang mirip dengan
dinding bangunan Candi-Hindu. Di bagian dalam dinding terdapat Jagang
(kolam keliling). Jagang mengelilingi kompleks masjid dan juga ada di
sekeliling emper bangunan masjid. Makna Jagang di sekeliling dinding
pagar sebagai benteng keamanan setelah pagar pembatas atau benteng.
Sedangkan Jagang di sekeliling bangunan masjid digunakan sebagai
sarana untuk membersihkan kaki sebelum masuk ke masjid. Di balik
Seketeng adalah halaman masjid. Dari halaman masjid ke arah lurus dan
kanan menuju ke bangunan masjid. Kearah kiri menuju ke kompleks
makam dan komplek sendang atau kolam. Pada halaman masjid ini berdiri
dua buah bangunan Bangsal Pacaosan 3, yang ada di sebelah kanan dan
kiri halaman. Bangunan Pacaosan berdenah segi empat. Tinggi lantai 20
cm dari level tanah halaman. Merupakan bangunan terbuka tanpa dinding
dengan atap berbentuk limasan. Atap disangga oleh kolom kayu berjumlah
6 buah. Pada puncak tugu dihiasi dengan hiasan berbentuk Kupluk peci
raja. Hal ini menunjukkan bahwa bangunan masjid adalah bangunan milik
kerajaan. Semua material kayu didatangkan dari Bojonegro atas perintah
Wali, melalui jalan darat. Paduraksa adalah salah satu bentuk gapura yang
sering dipakai pada bangunan candi dan pura 2 Dinding Seketeng adalah
dinding yang didirikan di tengah-tengah lobang Gapura 3 Pacaosan artinya
tempat untuk menghadap raja pada bangunan kraton. Rakyat dan abdi
dalem yang akan menghadap raja perlu menunggu sampai waktunya raja
bersedia menemui mereka. Mataram membawa kayu dari Bojonegoro ke
Kota Gedhe Yogyakarta, para pekerja candi di daerah Prambanan ikut serta
ke kota Gedhe. Masyarakat Islam memiliki sifat terbuka terhadap budaya
lain. Maka keinginan para pekerja candi dapat diterima. Selanjutnya para
pekerja Candi diperbolehkan ikut membangun Masjid di bagian luar
(pagar, makam dan sendang). Karena dasar ilmu bangunannya adalah
bangunan candi, maka bagian-bagian bangunan ini mirip dengan
bangunan-bangunan candi. Penggunaan bentuk Tumpangsari pada gapura
dan hiasan dinding pagar banyak digunakan pada bangunan Joglo di Jawa.
Belum diketahui kaitan antara Tumpangsar bangunan Hindu dengan
Tumpangsari bangunan Joglo di Jawa. Bangunan masjid dikerjakan oleh
para santri muslim. Teknologi bangunan pada bangunan Masjid di Jawa
berasal dari teknologi pertukangan Cina. Banyak orang Cina Muslim yang
datang ke Indonesia melalui perdagangan, terutama di daerah pesisir dan
mendirikan bangunan masjid. Karena kerajaan pesisir dalam sejarahnya
dikalahkan oleh kerajaan pedalaman atau kerajaan Mataram, maka
dimungkinkan teknologi membangun masjid juga diterapkan dalam
pembangunan masjid Gedhe Mataram. Hal ini terlihat pada teknik pondasi
yang menggunakan batu alam atau umpak, penggunaan dinding bata dan
atap Tajug bersusun tiga. Atap Tajug bersusun, menyerupai atap Pagoda
Cina. Masjid-masjid di Jawa yang dibangun pada abad 15-16 memiliki
bentuk yang spesifik. Pada abad 1516 terjadi transisi dari arsitektur Jawa-
Hindu ke Jawa Islam. Masuknya Islam sangat mempengaruhi arsitektur
masjid. Bangunan Serambi masjid menggunakan atap limasan. Dengan
atap limasan pada serambi menggunakan talang dari plat besi berbentuk
cekung setengah bola. Teknik talang dengan material besi dimungkinkan
merupakan teknologi dari pertukangan Cina. Hal ini mirip dengan
bangunan Kuil Sam Go Kong di Semarang. Makam pada lingkungan
masjid merupakan karakteristik bangunan masjid Jawa Kuno. Makam
yang ada pada lingkungan masjid adalah makam para pendiri masjid dan
keluarganya. Makam di Masjid Gedhe Mataram terletak di sisi utara
barat/barat laut masjid. Bentuk bangunan di sekitar makam menyerupai
bangunan Candi Hindu. Pada bagian pintu masuk terdapat gapura
berbentuk bangunan pintu gerbang Candi. Terdapat sesaji berupa bunga,
kemenyan, tungku perapian/ anglo dan sebagainya di gerbang makam.
Dalam kesehariannya, makam dikultuskan oleh masyarakat yang datang
berkunjung. Tujuan para pengunjung sebagian besar adalah untuk minta
“Berkah” dari makam raja. Ini merupakan pandangan secara kosmologis
adanya kekuatan Roh dari Raja atau Wali yang telah meninggal dunia yang
dapat mendatangkan keuntungan dan kebahagiaan dalam hidup mereka.
Paham ini banyak dilakukan pada masa pra Islam. Dari analisa di atas,
menunjukkan bahwa tata bangunan Masjid Gedhe Mataram menunjukkan
adanya faktor-faktor budaya Islam, Jawa, Hindu dan Cina. Budaya itu
hidup berkembang bersama secara selaras, saling melengkapi satu dengan
yang lain, menjadi satu kesatuan bangunan yang indah dan bermakna.
Budaya Hindu sangat melekat pada penampilan bagian luar komplek
Masjid Gedhe Mataram. Dimulai dari pintu gerbang berbentuk Gapura ,
yang dilengkapi dengan dinding pagar keliling kawasan berbentuk pagar
dengan hiasan relief-relief candi. Di sebelah utara masjid terdapat
pemandian dilengkapi dengan Gapura serta dinding makam dengan hiasan
pada bangunan candi. Bangunan-bangunan itu mendominasi penampilan
bangunan lokasi Masjid. Sedangkan budaya Jawa melekat pada tata ruang,
yang dimulai dari ruang luar yang menyerupai alun-alun dengan pohon
beringinnya, bangunan Pacaosan sebagai bangunan perantara atau tempat
menunggu untuk berkegiatan di Msjid, yang dalam tata ruang Jawa
bangunan Pacaosan digunakan untuk menunggu untuk masuk ke ruang
raja. Budaya Islam, terlihat langsung pada bangunan utama Masjid, yang
terdiri dari Liwan, Mihrab ditambah Maksura . Juga adanya serambi
masjid, yang digunakan untuk kegiatan keagamaan.Sebagai bangunan
dalam Arsitektur Islam, akulturasi budaya pada Masjid Gedhe Mataram ini
dapat diterima oleh masyarakat Jawa Islam, karena masyarakat Islam dan
masyarakat Jawa yang selanjutnya menjadi masyarakat Jawa Islam.
Masyrakat Jawa dan masyarakat Islam sangat terbuka terhadap budaya lain
yang mewarnai budaya yang telah ada. Akulturasi ini tidak membentuk
budaya baru tetapi hidup saling berdampingan tanpa merusak budaya
aslinya. Akulturasi ini menghasilkan karakteristik dan keunikan yang
indah pada bangunan Masjid Gedhe Mataram Jogjakarta. Keunikan ini
perlu dipertahankan dan dilestarikan.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Masjid Gedhe Kauman Yogyakarta dibangun pada masa Kasultanan


Mataram Islam pertama di Yogyakarta oleh Sri Sultan Hamengku Buwono
I bersama Kyai Faqih Ibrahim Diponingrat (Penghulu Kraton I) dan Kyai
Wiryokusumo. Masjid ini dibangun pada Ahad Wage, 29 Mei 1773 M atau
6 Robi'ul Akhir 1187 H, sebagai sarana beribadah bagi keluarga raja serta
sebagai kelengkapan sebuah kerajaan islam. Masjid Gedhe Kauman
memiliki bentukan dasar berupa ‘Pendopo’, mengacu pada suatu bagian di
kuil Hindu yang berbentuk persegi dan dibangun langsung diatas tanah.
Bentukan atap tumpang dengan tiga lapis mengisyaratkan bahwa hidup
harusnya melalui tiga tahapan: hakekat, syari’at, dan ma’rifat untuk
menuju Allah Sang Robbul ‘Alamin. Dengan adanya kolam penyucian
diri, maka sesorang sebelum menghadap Allah harus suci badan dan
raganya. Telah dibahas di depan bahwa masjid kuno di jawa masih
membaurkan diri dengan budaya dan agama setempat yaitu Hinda-Budha
(akulturasi) dengan membentuk suatu budaya baru yaitu ajaran yang kita
sebagian orang jawa anut hingga sekarang, karena agama islam merupakan
agama yang mengayomi semua makhluk di alam semesta. Jadi tidak serta
merta agama dipaksakan dalam kehidupan sehari-hari, akan tetapi tetap
dalam koridor Islam.
DAFTAR PUSTAKA

Bagus Syafi’ul Huda, 2016, Arsitektur Nusantara Masjid Gedhe Kauman


Yogyakarta, Yogyakarta, UIN SURABAYA. (paper)

Endang Setyowati1, Gagoek Hardiman, Titien Woro Murtini, 2017, Akulturasi


Budaya pada Bangunan Masjid Gedhe Mataram Yogyakarta, IPLBI. (jurnal)

Indri Rahmawati, 2015, Arsitektur Masjid Pathok Negoro, UGM (jurnal)

Nur Rokhman, 2014, Perpaduan Budaya Lokal, Hindu Buddha, Dan Islam Di
Indonesia, UNY

Anda mungkin juga menyukai