Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH

FARMAKOTERAPI II

“ SKIZOFRENIA”

Oleh :

KELOMPOK I

HASNAWATI TALIB G 701 17 008

SITI MARWAH NUR G 701 17 035

TUTY ALAWIAH ALIAS G 701 17 115

AINUN SYARQIAH G 701 17

KELAS E

JURUSAN FARMASI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS TADULAKO

2020

1
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum. Wr.Wb

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
taufik dan hidayahnya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul
“Skizofrenia”

Dalam penyusunan makalah ini, kami menyadari masih banyak terdapat


kekurangan-kekurangan baik dari segi penulisan, penyusunan maupun dari segi isinya, oleh
karena itu tugas saya mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari
pembaca dan dosen pembimbing, sehingga penyusunan selanjutnya dapat lebih sempurna.

Kami berharap semoga makalah ini dapat berguna dan bermanfaat bagi kita semua.

Palu, 10 Februari 2020

Penyusun

2
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ------------------------------------------------------------- ------------ I


Daf tar Isi --------------------------------------------------------------------- ------------ II
Bab I Pendahuluan
A.Latar Belakang ------------------------------------------------------------ ------------- 4
B.Rumusan Masalah ---------------------------------------------------------- ------------- 4
C.Tuj uan ----------------------------------------------------------------------- ------------- 4
Bab II Pembahasan
A. Definisi Ski zofrenia --------------------------------------------------------------- --5
B. Epidemiologi --------------------------------------------------------------------------------------------- 5
C. Etiologi ---------------------------------------------------------------------------------------------------- 6
D. Patofisiologi dan Patogenesis -------------------------------------------------------------------------- 7
E. Faktor Risiko --------------------------------------------------------------------------------------------- 9
F. Klasifikasi ------------------------------------------------------------------------------------------------ 11
G. Tanda/Gejala dan Diagnosa -------------------------------------------------------------------------- 14
H. Prognosis – Monitoring ------------------------------------------------------------------------------- 15
I. Tatalaksana Terapi
1. Terapi Farmakologi ------------------------------------------------------------------------------- 18
2. Terapi Non Farmakologi ------------------------------------------------------------------------ 23
Bab III Penutup
A.Kesimpulan ------------------------------------------------------------------------------------------------ 25
B.Saran -------------------------------------------------------------------------------------------------------- 25
Daftar Pustaka---------------------------------------------------------------------------------------------- 26

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Skizofrenia merupakan penyakit kelainan mental akut yang tidak dapat disembuhkan
(Harsono, 2018). Skizofrenia didefinisikan sebagai kelompok gangguan psikotik yang ditandai
dengan adanya gangguan pikiran, emosi dan tingkah laku, pikiran yang tidak terhubungkan,
persepsi dan perhatian yang keliru, hambatan dalam aktivitas motorik, emosi yang datar dan
tidak sesuai, dan kurangnya toleransi terhadap stres dalam hubungan. Gangguan Skizofrenia
memiliki prevalensi sekitar 1 persen dari jumlah keseluruhan penduduk di muka bumi. Fakta
ini menjadikan Skizofrenia sebagai gangguan psikotik dengan prevalensi tertinggi.

Berdasarkan hasil rekam medis tahun 2016 di RSUD Dr. Soeroto Ngawi, tercatat bahwa
jumlah pasien penderita gangguan jiwa sebanyak 511 pasien. Salah satu di antara penyakit jiwa
adalah skizofrenia, merupakan gangguan jiwa yang menunjukkan gangguan pada fungsi
kognitif, yakni mengenai pembentukan arus dan juga isi pikiran.

B. Rumusan Masalah
1. Apa itu Skizofrenia?
2. Bagaimana epidemiologi Skizofrenia?
3. Apa saja etiologi dari Skizofrenia?
4. Bagaimana patofisiologi dan patogenesis Skizofrenia?
5. Apa saja faktor resiko terjadinya Skizofrenia?
6. Bagaimana gejalah dan diagnosa dari Skizofrenia?
7. Bagaimana klasifikasi Skizofrenia?
8. Bagaimana prognosis – monitoring Skizofrenia?
9. Bagaimana tata laksana terapi Skizofrenia ?

C. Tujuan

Mengetahui obat- obat yang tergolong dalam antipsikotik dan mampu membedakan setiap
golongannya serta mengetahui prinsip pengobatan dengan kemoterapi.

4
BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi
Skizofrenia merupakan gangguan jiwa yang paling mudah dikenali sehingga diharapkan
dapat dilakukan tatalaksana sedini mungkin untuk menghindari risiko tersebut. Skizofrenia
membutuhkan tata laksana jangka panjang karena merupakan gangguan yang bersifat menahun
(kronis) dan bias kambuh. Semakin sering kambuh, makin berat penurunan fungsi yang terjadi
pada Orang Dengan Skizofrenia (ODS). Skizofrenia termasuk dalam gangguan psikotik
(Permenkes RI No. 54/2017: II).
Skizofrenia biasanya menunjukkan sikap ketidakmampuan merawat diri, anti sosial, merasa
diri tidak berharga, serta menunjukkan perilaku tidak wajar atau tumpul, ketidakmampuan
secara sosial dalam kehidupan sehari-hari. Penilaian diri negatif merupakan konflik yang terjadi
pada skizofrenia (Alfionita 2016, 1).
World Health Organization (WHO), menyebutkan bahwa masalah utama gangguan
kejiwaan seluruh dunia adalah skizofrenia, depresi, unipolar, gangguan bipolar, gangguan
obesif kompulsif. Bahkan 90% pasien di Rumah Sakit Jiwa di seluruh Indonesia adalah
skizofrenia. Bahkan WHO juga menyatakan bahwa gangguan jiwa di seluruh dunia menjadi
masalah serius, bahkan paling tidak ada satu dari empat orang di dunia mengalami masalah
mental, diperkirakan antara 450 juta orang di dunia. Dan pada tahun 2007 hingga awal tahun
2008 jumlah pasien disetiap RSJ di Indonesia meningkat (Alfionita 2016, 1-3)

B. Epidemiologi

Rumah sakit jiwa biasanya menangani berbagai macam penyakit jiwa seperti stress,
neurosis, psikosis, syndrome, pyromania, simtoma, psikopat, kleptomania, depresi, dan
skizofrenia. Beberapa rumah sakit jiwa yang terletak di Malang, Jawa Timur adalah RSJ KUC,
Marintik Ilahi dan RSJ Radjiman Wedyodiningrat Lawang. Mengingat banyaknya jumlah
penderita gangguan mental skizofrenia dari tahun ke tahun, tempat untuk melakukan terapi
okupasi sangat diperlukan sebagai sarana terapi jangka panjang. RSJ Radjiman Wedyodiningrat
merupakan satu-satunya rumah sakit yang menyelenggarakan acara pameran lukisan karya
penderita skizofrenia (Indira, dkk, 2017).

5
Penelitian yang dilakukan di Indonesia oleh Endriani et al (2018) pada 139 responden
menujukkan adanya hubungan antara kepatuhan minum obat dengan kualitas hidup pasien
skizofrenia. Penelitian ini menyatakan bahwa efek samping obat tidak memiliki hubungan
dengan kualitas hidup pasien skizofrenia, dimana tidak sesuai dengan penelitian yang telah
dilakukan oleh peneliti lainnya yang menyatakan bahwa efek samping obat merupakan
penghubung antara kepatuhan minum obat dan kualitas hidup. Endriani et al (2018) juga
menyatakan terdapat hubungan langsung antara kepatuhan minum obat dengan kualitas hidup
pasien skizofrenia yang mana juga tidak sesuai dengan penelitian lainnya yang menyatakan
bahwa tidak terdapat hubungan yang langsung antara kepatuhan minum obat dengan kualitas
hidup pasien skizofrenia. Mohandos (2018) menyatakan bahwa penerimaan oleh keluarga dan
juga lingkungan dapat menyebabkan meningkatnya kualitas hidup penderita skizofrenia.
Penerimaan oleh keluarga dapat berupa diikut sertakan dalam pengambilan keputusan dalam
keluarga dapat meningkatkan kualias kerja dan peningkatan aktivitas pada penderita
skizofrenia. Sedangkan tidak diikutsertakan dalam kehidupan bersosial atau dikucilkan dari
masyarakat dapat meningkatkan gejala negatif seperti berkurangnya berbicara dan juga
berkurangnya rasa senang dalam menjalani kehidupan. Penderita skizofrenia yang merasakan
hidup seperti orang normal pada umumnya, memiliki kualitas hidup yang lebih baik.

Studi lainnya yang dilakukan oleh Ogunnubi et al (2017) juga menyatakan hasil yang sama
dimana didapatkan hubungan yang signifikan antara kepatuhan minum obat dengan kualitas
hidup pasien skizofrenia. Ogunubi et al (2017) menyatakan bahwa lebih dari setengah
responden penelitian tidak patuh minum obat. Ketidakpatuhan minum obat ini dihubungkan
dengan tidak adanya tempat tinggal, perilaku yang buruk dan juga intervensi pada kelangsungan
rawat jalan penderita skizofrenia.

C. Etiologi

Penyebab skizofrenia masih belum diketahui secara jelas. Penelitian menunjukkan adanya
kelainan pada struktur dan fungsi otak. Kombinasi faktor genetik dan lingkungan berperan
dalam perkembangan skizofrenia. Faktor genetik dapat menjadi penyebab skizofrenia sekitar
0,6-1,9% pada populasi U.S (Chisholm- Burns et al., 2016). Seseorang dengan riwayat kedua
orang tua mengalami skizofrenia berisiko 40% untuk menderita skizofrenia (Dipiro et al.,
2015). Pada kembar monozigot, jika satu kembar telah didiagnosis menderita skizofrenia maka

6
kemungkinan kembar lainnya menderita skizofrenia a sekitar 50% (Chisholm-Burns et al.,
2016).

D. Patofisiologi dan Patogenesis

Menurut (Dipiro,et al 2015) patofisiologi Skizofrenia yaitu:


a. Peningkatan ukuran ventrikular, penurunan ukuran otak, dan asimetri otak telah
dilaporkan. Penurunan ukuran hipokampus mungkin berhubungan dengan penurunan uji
neuropsikologi dan respon yang lebih buruk terhadap antipsikotik generasi pertama
(FGAs).
b. Hipotesa dopaminergik ; Psikosis dapat berasal dari hiper- atau hipoaktivitas dari proses
dopaminergik pada daerah otak tertentu.
c. Disfungsi glutamatergik ; Saluran glutamatergic berinteraksi dengan saluran
dopaminergik. Kekurangan aktivitas glutamatergic menghasilkan gejala-gejala mirip
dengan hiperaktif dopaminergik dan mungkin yang terlihat pada skizofrenia.
d. Abnormalitas Serotonin (5-HT) ; pasien skizofrenia dengan scan otak yang abnormal
memiliki konsentrasi 5-HT darah yang lebih tinggi.
e. Kelainan primer dapat terjadi dalam satu neurotransmitter dengan perubahan sekunder
dalam neurotransmitter lainnya.
f. Penelitian molekuler yang melibatkan perubahan halus dalam protein-G, metabolism
protein, dan proses subselular lainnya mungkin mengidentifikasi gangguan biologis
dalam skizofrenia.
Beberapa teori dikemukakan tentang patogenesis terjadinya skizofrenia. Teori tersebut
dikenal dengan hipotesis dopamin, hipotesis neurodevelopmental, hipotesis glutamatergik,
hipotesis serotonin, dan genetic (Tyaswuri, A, 2016).
a. Hipotesis dopamin
Hipotesis dopamin merupakan hipotesis yang paling awal dan paling banyak diteliti.
Dopamin merupakan neurotransmitter di otak. Saat ini telah ditemukan lima macam
reseptor dopamine, yaitu reseptor D1, D2, D3, D4, dan D5. Kelima reseptor dopamin ini
dikelompokkan menjadi dua famili, yakni famili D1 yang terdiri dari reseptor D1 dan D5
serta famili D2 yang meliputi reseptor D2, D3, dan D4. Famili D1 pada transduksi
sinyalnya berkaitan dengan protein Gs sedangkan famili D2 bekaitan dengan protein Gi.

7
Reseptor dopamin yang lebih berperan pada penyakit skizofrenia adalah reseptor D2
(Ikawati, 2011 dalam Tyaswuri, A, 2016).
Gejala skizofrenia diduga muncul karena neurotransmitter dopaminergic yang berlebihan di
mesolimbik otak. Pada hipotesis ini diduga bahwa gejala skizofrenia muncul karena
neurotransmiter dopaminergik yang berlebihan di mesolimbic otak. Up-regulation dari
reseptor dopamin D2 di caudatus berkaitan dengan risiko terjadinya skizofrenia. Tingginya
densitas reseptor dopamine D2 di caudatus dihubungkan dengan kemunduran kognitif pada
skizofrenia (Hirvonen dkk., 2005 dalam Tyaswuri, A, 2016). Hal ini didukung dengan
penelitian bahwa ketika seseorang dengan skizofrenia diterapi dengan obat antipsikotik,
terdapat penurunan neurotransmisi dopaminergik di otak dan pasien menunjukkan
fungsionalitas yang lebih baik pada level perseptual dan gejala positif yang lebih sedikit (El
Missiry dkk., 2011 dalam Tyaswuri, A, 2016).
b. Hipotesis neurodevelopmental
Pada hipotesis ini dinyatakan bahwa terdapat kerusakan pada otak di masa-masa dalam
kandungan yang mempengaruhi perkembangan otak dan menyebabkan abnormalitas pada
saat dewasa. Infeksi ibu hamil selama kehamilannya terutama pada trimester dua atau
komplikasi pada perinatal/postnatal juga mempunyai korelasi positif dengan kejadian
skizofrenia. Seorang anak yang mengalami infeksi sistem saraf pusat atau kondisi hipoksia
selama kelahirannya mempunyai resiko lima kali lebih besar terserang gangguan psikosis
termasuk skizofrenia (Dean dkk., 2005 dalam Tyaswuri, A, 2016).
c. Hipotesis Glutamatergik
Sistem glutamatergik merupakan salah satu sistem neurotransmitter yang paling banyak
tersebar di otak. Perubahan pada fungsinya, baik hipoaktivitas maupun hiperaktivitas, dapat
mengakibatkan toksisitas di otak. Defisiensi glutamatergik menghasilkan gejala yang sama
seperti pada hiperaktivitas dopaminergik dan kemungkinan sama seperti skizofrenia (Jones,
2006 dalam Tyaswuri, A, 2016).
d. Hipotesis Serotonin
Pelepasan dopamin berkaitan dengan fungsi serotonin. Penurunan aktivitas serotonin
berkaitan dengan peningkatan aktivitas dopamin. Bukti yang mendukung peran potensial
serotonin dalam memperantarai efek antipsikotik obat datang dari interaksi anatomi dan
fungsional dopamin dan serotonin. Studi anatomi dan elektrofisiologi menunjukkan bahwa
saraf serotonergik dari dorsal dan median raphe nuclei terproyeksikan ke badan sel
dopaminergik dalam Ventral Tegmental Area (VTA) dan Substansia Nigra (SN) dari otak

8
tengah. Saraf serotonergik dilaporkan berujung langsung pada sel-sel dopaminergik dan
memberikan pengaruh penghambatan pada aktivitas dopamin di jalur mesolimbik dan
nigrostriatal melalui reseptor 5-HT2A (Ikawati, 2011 dalam Tyaswuri, A, 2016).
e. Genetik
Faktor genetik diduga berpengaruh pada penyakit ini. Risiko skizofrenia pada populasi
berkisar antara 0,6 - 1,9%, tetapi risiko menjadi lebih tinggi sebesar pada pasien yang
mempunyai riwayat skizofrenia dalam keluarganya. Jika kedua orang tua mempunyai
skizofrenia, risiko anaknya akan terkena skizofrenia adalah sebesar 40% (Nieratschker,
2010 dalam Tyaswuri, A, 2016). Beberapa tahun terakhir telah diteliti tentang polimorfisme
gen-gen yang berkontribusi terhadap timbulnya skizofrenia. Beberapa polimorfisme yang
diduga meningkatkan risiko penyakit ini adalah COMT (cathecol O methyl transferase)
gene, disrupted-in-schizophrenia 1 gene (DISC1), DTNBP1 (dystrobrevin binding protein
1) gene, NRG1 SNP1 &2 (neuregulin-1 single nucleotide polymorphism 1&2) gene
(Tyaswuri, A, 2016). Polimorfisme fungsional umum gen COMT yang secara nyata
mempengaruhi aktivitas enzim diketahui memengaruhi kognisi dan korteks prefrontal pada
manusia. Polimorfisme gen ini diduga sedikit meningkatkan risiko skizofrenia melalui efek
pada proses informasi prefrontal yang termediasi dopamin (Fan dkk., 2005 dalam Tyaswuri,
A, 2016). Adanya SNiPs (single nucleotide polymorphism) pada DISC1 berkaitan dengan
munculnya skizofrenia dan gangguan skizoafective karena adanya gangguan pada fungsi
kognitif (Ishizuka dkk., 2006 dalam Tyaswuri, A, 2016). Polimorfisme gen DTNBP1 pada
p 1635 (terletak pada intron 4), mempengaruhi kejadian skizofrenia. Allel A pada p1635
meningkatkan resiko terjadinya skizofrenia, sementara allel G menurunkan resiko
skizofrenia (Galehdari dkk., 2010 dalam Tyaswuri, A, 2016). Pada polimorfisme gen NRG1
SNP1 mempunyai kecenderungan dengan skizofrenia (Vilella dkk., 2008 dalam Tyaswuri,
A, 2016).

E. Faktor Risiko

Menurut Zahnia & Sumekar (2016) Faktor-faktor yang berperan terhadap timbulnya skizofrenia
adalah sebagai berikut.

a. Umur, Umur 25-35 tahun kemungkinan berisiko 1,8 kali lebih besar menderita skizofrenia
dibandingkan umur 17-24 tahun.

9
b. Jenis kelamin, Proporsi skiofrenia terbanyak adalah lakilaki (72%) dengan kemungkinan
laki-laki berisiko 2,37 kali lebih besar mengalami kejadian skizofrenia dibandingkan
perempuan. Kaum pria lebih mudah terkena gangguan jiwa karena kaum pria yang menjadi
penopang utama rumah tangga sehingga lebih besar mengalami tekanan hidup, sedangkan
perempuan lebih sedikit berisiko menderita gangguan jiwa dibandingkan laki-laki karena
perempuan lebih bisa menerima situasi kehidupan dibandingkan dengan laki-laki.
Meskipun beberapa sumber lainnya mengatakan bahwa wanita lebih mempunyai risiko
untuk menderita stress psikologik dan juga wanita relatif lebih rentan bila dikenai trauma.3
Sementara prevalensi skizofrenia antara laki-laki dan perempuan adalah sama.
c. Pekerjaan , Pada kelompok skizofrenia, jumlah yang tidak bekerja adalah sebesar 85,3%
sehingga orang yang tidak bekerja kemungkinan mempunyai risiko 6,2 kali lebih besar
menderita skizofrenia dibandingkan yang bekerja. Orang yang tidak bekerja akan lebih
mudah menjadi stres yang berhubungan dengan tingginya kadar hormon stres (kadar
katekolamin) dan mengakibatkan ketidakberdayaan, karena orang yang bekerja memiliki
rasa optimis terhadap masa depan dan lebih memiliki semangat hidup yang lebih besar
dibandingkan dengan yang tidak bekerja.
d. Status perkawinan , Seseorang yang belum menikah kemungkinan berisiko untuk
mengalami gangguan jiwa skizofrenia dibandingkan yang menikah karena status marital
perlu untuk pertukaran ego ideal dan identifikasi perilaku antara suami dan istri menuju
tercapainya kedamaian.6 Dan perhatian dan kasih sayang adalah fundamental bagi
pencapaian suatu hidup yang berarti dan memuaskan.
e. Konflik keluarga , Konflik keluarga kemungkinan berisiko 1,13 kali untuk mengalami
gangguan jiwa skizofrenia dibandingkan tidak ada konflik keluarga.
f. Status ekonomi , Status ekonomi rendah mempunyai risiko 6,00 kali untuk mengalami
gangguan jiwa skizofrenia dibandingkan status ekonomi tinggi. Status ekonomi rendah
sangat mempengaruhi kehidupan seseorang. Beberapa ahli tidak mempertimbangkan
kemiskinan (status ekonomi rendah) sebagai faktor risiko, tetapi faktor yang menyertainya
bertanggung jawab atas timbulnya gangguan kesehatan. Himpitan ekonomi memicu orang
menjadi rentan dan terjadi berbagai peristiwa yang menyebabkan gangguan jiwa. Jadi,
penyebab gangguan jiwa bukan sekadar stressor psikososial melainkan juga stressor
ekonomi. Dua stressor ini kaitmengait, makin membuat persoalan yang sudah kompleks
menjadi lebih kompleks.

10
g. Faktor genetik turut menentukan timbulnya skizofrenia. Hal ini telah dibuktikan dengan
penelitian tentang keluarga-keluarga penderita skizofrenia dan terutama anak-anak kembar
monozigot. Angka kesakitan bagi saudara tiri adalah 0,9-1,8%; bagi saudara kandung 7-
15%; bagi anak dengan salah satu orang tua yang menderita skizofrenia 7-16%; bila kedua
orang tua menderita skizofrenia 4068%; bagi heterozigot 2-15%; dan bagi monozigot 61-
86%. Diperkirakan bahwa yang diturunkan adalah potensi untuk mendapatkan skizofrenia
melalui gen yang resesif. Potensi ini mungkin kuat, mungkin juga lemah, tetapi selanjutnya
tergantung pada lingkungan individu itu apakah akan terjadi manifestasi skizofrenia atau
tidak.
h. Faktor psikososial meliputi interaksi pasien dengan keluarga dan masyarakat. Timbulnya
tekanan dalam interaksi pasien dengan keluarga, misalnya pola asuh orang tua yang terlalu
menekan pasien, kurangnya dukungan keluarga terhadap pemecahan masalah yang dihadapi
pasien, pasien kurang diperhatikan oleh keluarga ditambah dengan pasien tidak mampu
berinteraksi dengan baik di masyarakat menjadikan faktor stressor yang menekan
kehidupan pasien. Ketika tekanan tersebut berlangsung dalam waktu yang lama sehingga
mencapai tingkat tertentu, maka akan menimbulkan gangguan keseimbangan mental pasien
dan salah satunya adalah timbulnya gejala skizofrenia.
i. Penyakit autoimun merupakan salah satu faktor risiko skizofrenia. Skizofrenia meningkat
pada satu tahun setelah penyakit autoimun terdiagnosis. Pada penyakit autoimun seperti
lupus eritematous sistemik, ditemukan prevalensi gejala neuropsikiatrik yang tinggi yang
dapat dipengaruhi oleh autoantibodi yang melewati barrier darahotak. Efek ini berkaitan
dengan afinitas antibodi terhadap reseptor N metil-d-aspartat di otak, sebuah reseptor yang
menjadi pusat terhadap teori patofisiologi skizofrenia saat ini. Adanya infeksi berat juga
meningkatkan risiko skizofrenia secara signifikan. Peningkatan inflamasi pada penyakit
autoimun dan infeksi dapat mempengaruhi otak melalui jalur yang berbeda. Satu jalur yang
mungkin adalah peningkatan permeabilitas barier darah-otak membuat otak terpengaruh
oleh komponen autoimun seperti autoantibodi dan sitokin.

F. Klasifikasi

Penggolongan skizofrenia berdasarkan International StatisticalClassification of Diseases and


Related Health Problems Revisi kesepuluh (ICD-10) (WHO, 2016):

a. Skizofrenia Paranoid

11
Skizofrenia paranoid didominasi oleh delusi yang relatif stabil, sering paranoid, biasanya
disertai dengan halusinasi, terutama dari variasi pendengaran, dan gangguan persepsi.
Gangguan pengaruh, kemauan dan bicara, dan gejala katatonik, tidak ada atau relatif tidak
mencolok.
b. Skizofrenia Hebefrenik
Suatu bentuk skizofrenia berupa perubahan afektif menonjol, delusi dan halusinasi cepat
dan terpisah-pisah, perilaku yang tidak bertanggung jawab dan tidak dapat diprediksi, dan
perilaku umum. Moodnya dangkal dan tidak pantas, pikiran tidak teratur, dan ucapan tidak
jelas. Ada kecenderungan isolasi sosial. Biasanya prognosisnya buruk karena
perkembangan cepat dari gejala "negatif", terutama perataan efek dan hilangnya kemauan.
Hebefrenia biasanya didiagnosis hanya pada remaja atau dewasa muda.

c. Skizofrenia Katatonik
Skizofrenia katatonik didominasi oleh gangguan psikomotorik terkemuka yang dapat
bergantian antara ekstrem seperti hiperkinesis dan pingsan, atau kepatuhan otomatis dan
negativisme. Sikap dan postur yang terbatas dapat dipertahankan untuk waktu yang lama.
Episode kegembiraan yang hebat mungkin merupakan fitur yang mencolok dari kondisi
tersebut. Fenomena katatonik dapat dikombinasikan dengan keadaan seperti mimpi
(oneiroid) dengan halusinasi pemandangan indah.

d. Skizofrenia Undiferentiated
Kondisi psikotik memenuhi kriteria diagnostik umum untuk skizofrenia tetapi tidak sesuai
dengan salah satu subtype sebelumnya, atau menunjukkan fitur lebih dari satu dari mereka
tanpa dominasi yang jelas dari serangkaian karakteristik diagnostik tertentu.

e. Depresi pasca-skizofrenia
Episode depresi, yang mungkin berkepanjangan, timbul setelah penyakit skizofrenia.
Beberapa gejala skizofrenia, baik "positif" atau "negatif", harus tetap ada tetapi mereka
tidak lagi mendominasi gambaran klinis. Keadaan depresi ini dikaitkan dengan peningkatan
risiko bunuh diri. Jika pasien tidak lagi memiliki gejala skizofrenik, episode depresi harus
didiagnosis sesuai episode depres. Jika gejala skizofrenik masih kemerahan dan menonjol,
diagnosis harus tetap berupa subtipe skizofrenik yang sesuai seperti tipe sebelumnya.

12
f. Skizofrenia Residual
Tahap kronis dalam pengembangan penyakit skizofrenia telah ada perkembangan yang jelas
dari tahap awal ke tahap selanjutnya yang ditandai dengan gejala "negatif" jangka panjang,
meskipun tidak selalu ireversibel, mis. psikomotor melambat; kurang aktif; menumpulkan
efek; kepasifan dan kurangnya inisiatif; kemiskinan kuantitas atau isi pembicaraan;
komunikasi nonverbal yang buruk dengan ekspresi wajah, kontak mata, modulasi suara dan
postur; perawatan diri dan kinerja sosial yang buruk.
g. Skizofrenia Simpel
Gangguan berupa terdapat perkembangan yang aneh tapi progresif dari keanehan perilaku,
ketidakmampuan untuk memenuhi tuntutan masyarakat, dan penurunan kinerja total. Ciri-
ciri negatif khas dari skizofrenia residual (mis. Menumpulkan efek dan kehilangan
kemauan) berkembang tanpa didahului oleh gejala psikotik yang jelas.

h. Skizofrenia Lainnya (WHO, 2016).


 Skizofrenia cenesthopathic
Huber pada tahun 1957 mengusulkan skizofrenia cenesthopathic sebagai “subtipe dar
skizofrenia, sensasi tubuh abnormal aneh mendominasi, ini sulit untuk dijelaskan,
berbahaya secara kronis dalam perjalanan dan dengan gejala psikotik terbatas”
(Takahash, dkk, 2013 dalam Haider, 2017).
 Skizofreniform
Gangguan skizofreniformis ditandai oleh adanya gejala skizofrenia, tetapi dibedakan
dari kondisi itu dengan durasinya yang lebih pendek, yaitu setidaknya 1 bulan tetapi
kurang dari 6 bulan. Gangguan schizophreniform adalah gangguan mental serius
dengan gejala yang mirip dengan skizofrenia. Diagnosis dini gangguan ini sangat
penting, seperti juga intervensi awal dengan obat-obat, terapi suportif, dan pendidikan
pasien dan keluarga. Menurut Manual Diagnostik dan Statistik American Psychiatric
Association of Mental Disorders, Edisi Kelima (DSM-5), gangguan schizophreniform
ditandai dengan adanya gejala skizofrenia, termasuk delusi, halusinasi, ucapan tidak
teratur, perilaku tidak teratur atau perilaku katatonik, dan gejala negatif. Gangguan,
termasuk fase prodromal, aktif, dan residu, berlangsung lebih lama dari 1 bulan tetapi
kurang dari 6 bulan. Tidak seperti skizofrenia, gejala prodromal dapat berkembang
selama beberapa tahun, gangguan skizofreniform membutuhkan, di antara fitur lain,
periode yang agak cepat dari timbulnya gejala prodromal ke titik semua kriteria untuk

13
skizofrenia (kecuali durasi dan deteriorasi) terpenuhi (≤ 6 bulan) (Bienenfeld, 2018
dalam Medscape.com, 2008).

G. Tanda/Gejalah dan Diagnosa

1. Tanda/Gejala

Menurut Zahnia & Sumekar (2016) Meskipun gejala klinis skizofrenia beraneka ragam,
berikut adalah gejala skizofrenia yang dapat ditemukan.

a. Gangguan pikiran , Biasanya ditemukan sebagai abnormalitas dalam bahasa, digresi


berkelanjutan pada bicara, serta keterbatasan isi bicara dan ekspresi.

b. Delusi , Merupakan keyakinan yang salah berdasarkan pengetahuan yang tidak benar
terhadap kenyataan yang tidak sesuai dengan latar belakang sosial dan kultural pasien.

c. Halusinasi, Persepsi sensoris dengan ketiadaan stimulus eksternal. Halusinasi auditorik


terutama suara dan sensasi fisik bizar merupakan halusinasi yang sering ditemukan.

d. Afek abnormal, Penurunan intensitas dan variasi emosional sebagai respon yang tidak
serasi terhadap komunikasi.

e. Gangguan kepribadian motor, Adopsi posisi bizar dalam waktu yang lama,
pengulangan, posisi yang tidak berubah, intens dan aktivitas yang tidak terorganisis
atau penurunan pergerakan spontan dengan kewaspadaan terhadap lingkungan sekitar.

2. Diagnosis

Menurut Dipiro, et al (2015) Manual Diagnostik dan Statistik Gangguan Mental, edisi ke-5.
(DSM-5), menetapkan kriteria diagnostik berikut:

✓ Gejala berkelanjutan yang bertahan selama setidaknya 6 bulan dengan setidaknya satu

bulan gejala fase aktif (Kriteria A) dan mungkin termasuk gejala prodromal atau residual.

Kriteria A: Untuk setidaknya 1 bulan, harus ada setidaknya dua hadiah berikut untuk
sebagian besar waktu: delusi, halusinasi, ucapan tidak teratur, perilaku tidak teratur atau

14
katatonik, dan gejala negatif. Setidaknya satu gejala harus berupa delusi, halusinasi, atau
ucapan yang tidak teratur.

Kriteria B: Berfungsi secara signifikan

H. Prognosis – Monitor

1. Prognosis

Prognosisnya dijaga. Pemulihan penuh tidak biasa. Awal timbulnya penyakit, riwayat
keluarga skizofrenia, kelainan otak struktural, dan gejala kognitif yang menonjol terkait
dengan prognosis yang buruk. Prognosisnya lebih baik untuk orang yang tinggal di negara
berpenghasilan rendah dan menengah (Zhuo C and Triplett, 2018)

Gejala biasanya mengikuti kursus waxing-and-waning dan sifatnya dapat berubah seiring
waktu. Gejala positif merespon cukup baik terhadap pengobatan antipsikotik, tetapi gejala
lainnya cukup persisten (Zhuo C and Triplett, 2018)

Karena kesulitan kejuruan, banyak pasien dengan skizofrenia juga harus mengatasi beban
kemiskinan. Ini termasuk akses terbatas ke perawatan medis, yang dapat menyebabkan
kontrol yang buruk terhadap penyakit; tunawisma; dan penahanan, biasanya untuk
pelanggaran ringan (Zhuo C and Triplett, 2018)

Orang dengan skizofrenia memiliki risiko bunuh diri 5% seumur hidup. [55] Faktor-faktor
lain yang berkontribusi pada peningkatan kematian termasuk masalah gaya hidup seperti
merokok, gizi buruk, dan kurang olahraga, dan mungkin perawatan medis yang lebih buruk
dan komplikasi obat-obatan. Sebuah studi dari Inggris menunjukkan bahwa "celah
kematian" ini meningkat (Zhuo C and Triplett, 2018)

Wanita dengan skizofrenia mungkin memiliki tingkat kanker payudara yang lebih tinggi
daripada wanita pada populasi umum. Dalam meta-analisis lebih dari 125.000 wanita,
peningkatan risiko ini signifikan dalam studi di mana kanker payudara terjadi sebelum
diagnosis skizofrenia dikeluarkan. Namun, hubungan antara skizofrenia dan kejadian
kanker payudara tidak signifikan dalam penelitian yang tidak menentukan pengecualian
kasus kanker payudara yang terjadi sebelum diagnosis skizofrenia. Para peneliti

15
menyarankan faktor-faktor seperti obesitas, nulliparitas, dan bahkan potensi peningkatan
kadar prolaktin dapat meningkatkan risiko kanker payudara. Penting untuk dicatat bahwa
heterogenitas yang signifikan ada di antara studi yang dimasukkan, dan ada kemungkinan
bahwa penelitian di masa depan akan menunjukkan penurunan risiko kanker payudara
pada wanita dengan skizofrenia dibandingkan dengan populasi umum (Zhuo C and
Triplett, 2018).

2. Monitoring

Menurut Dipiro, et al (2015) Secara sistematis memonitor efek samping (Tabel 69-5).
Pantau berat badan setiap bulan selama 3 bulan, lalu setiap tiga bulan. Pantau indeks massa
tubuh, lingkar pinggang, tekanan darah, glukosa plasma puasa, dan profil lipid puasa pada
akhir 3 bulan, lalu setiap tahun.

16
17
I. Tatalaksana Terapi

1. Terapi Farmakologi

a. Algoritma Terapi

18
b. Pengobatan

 Tujuan Pengobatan: Tujuannya adalah untuk meringankan gejala target,


menghindari efek samping, meningkatkan fungsi dan produktivitas psikososial,
mencapai kepatuhan dengan rejimen yang ditentukan, dan melibatkan pasien
dalam perencanaan perawatan (Dipiro, et al 2015).

 Sebelum perawatan, lakukan pemeriksaan status mental, pemeriksaan fisik dan


neurologis, riwayat keluarga dan sosial lengkap, wawancara diagnostik psikiatrik,
dan pemeriksaan laboratorium (hitung darah lengkap [CBC], elektrolit, fungsi hati,
fungsi ginjal, elektrokardiogram [EKG], puasa glukosa serum, lipid serum, fungsi
tiroid, dan skrining obat urin) (Dipiro, et al 2015).

c. Pendekatan Umum

 Antipsikotik dan rentang dosis ditunjukkan pada Tabel 69-1. Antipsikotik generasi
kedua (SGA) (juga dikenal sebagai antipsikotik atipikal), kecuali clozapine, adalah

19
quetiapine, ziprasidone, dan aripiprazole) mungkin memiliki khasiat yang unggul
untuk gejala dan kognisi negatif, tetapi ini kontroversial (Dipiro, et al 2015).

 SGA dikatakan menyebabkan sedikit atau tidak ada efek samping ekstrapiramidal
yang terjadi secara akut, kecenderungan minimal atau tidak sama sekali untuk
menyebabkan tardive dyskinesia (TD), dan efek yang lebih kecil pada prolaktin
serum dibandingkan antipsikotik generasi pertama (FGA) (antipsikotik khas
generasi pertama). Clozapine adalah satu-satunya SGA yang memenuhi semua
kriteria ini (Dipiro, et al 2015).

 SGA meningkatkan risiko efek samping metabolik, termasuk penambahan berat


badan, hiperlipidemia, dan diabetes mellitus (Dipiro, et al 2015).

 Studi Uji Klinis Antipsikotik Efektivitas Intervensi (CATIE) menunjukkan bahwa


olanzapine, dibandingkan dengan quetiapine, risperidone, ziprasidone, dan
perphenazine, memiliki keunggulan sederhana dalam persistensi terapi
pemeliharaan tetapi lebih banyak efek samping metabolik (Dipiro, et al 2015).

 Mendasarkan pemilihan antipsikotik pada (1) kebutuhan untuk menghindari efek


samping tertentu, (2) gangguan medis atau kejiwaan bersamaan, dan (3) riwayat
respons pasien atau keluarga (Dipiro, et al 2015).

 Prediktor respons antipsikotik yang baik meliputi respons baik sebelumnya


terhadap obat yang dipilih, tidak adanya alkohol atau penyalahgunaan obat, awitan
akut dan durasi penyakit yang singkat, stres akut atau faktor pemicu, onset usia
lanjut, gejala afektif, keluarga riwayat penyakit afektif, kepatuhan pengobatan, dan
penyesuaian premorbid yang baik. Gejala negatif umumnya kurang responsif
terhadap terapi antipsikotik (Dipiro, et al 2015).

 Respons dysphoric awal, yaitu, tidak menyukai obat atau merasa lebih buruk,
dikombinasikan dengan kecemasan atau akathisia, menandakan respons obat yang
buruk, efek samping, dan ketidakpatuhan (Dipiro, et al 2015).

20
d. Antipsikotik
Penggunaan Antipsikotik sebagai farmakoterapi digunakan untuk mengatasi gejala
psikotik dengan berbaagai etiologi, salah satunya skizofrenia. Antipsikotik
diklasifikasikan menjadi antipsikotik generasi pertama dan antipsikotik generasi kedua.
 Antipsikotik Generasi Pertama
Antipsikotik generasi pertama merupakan antipsikotik yang bekerja dengan cara
memblok reseptor dopamin D2. Antipsikotik ini memblokir sekitar 65% hingga
80% reseptor D2 di striatum dan saluran dopamin lain di otak (Chisholm-Burns et
al., 2016). Jika dibandingkan dengan antipsikotik generasi kedua, antipsikotik ini
memiliki tingkat afinitas, risiko efek samping ekstrapiramidal dan
hiperprolaktinemia yang lebih besar. Antipsikotik generasi pertama efektif dalam
menangani gejala positif dan mengurangi kejadian relaps. Antipsikotik generasi
pertama menimbulkan berbagai efek samping, termasuk ekstrapiramidal akut,
hiperprolaktinemia serta tardive dyskinesia. Efek samping tersebut disebabkan
oleh blokade pada jalur nigrostriatal dopamine dalam jangka waktu lama.
Antipsikotik generasi pertama memiliki afinitas yang rendah terhadap reseptor
muskarinik M1 Ach, histaminergik H1 dan norepinefrin a1 yang memicu
timbulnya efek samping berupa penurunan fungsi kognitif dan sedasi secara
bersamaan.

 Antipsikotik Generasi Kedua


Antipsikotik generasi kedua, seperti risperidone, olanzapine, quetiapine, ziprasidon
aripriprazol, paliperidone, iloperidone, asenapine, lurasidone dan klozapin
memiliki afinitas yang lebih besar terhadap reseptor serotonin daripada reseptor
dopamin. Sebagian besar antipsikotik generasi kedua menyebabkan efek samping
berupa kenaikan berat badan dan metabolisme lemak (Chisholm-Burns et al.,
2016). Klozapin merupakan antipsikotik generasi kedua yang efektif dan tidak
menimbulkan efek samping ekstrapiramidal. Oleh karenanya, klozapin digunakan
sebagai agen pengobatan lini pertama pada penderita skizofrenia (Chisholm-Burns
et al., 2016). Antipsikotik generasi kedua, seperti paliperidone, asenapine,
iloperidone dan lurasidone telah mendapatkan persetujuan FDA (Food and Drug
Administration) Amerika Serikat (Miyake et al., 2012). Aripiprazole merupakan

21
jenis antipsikotik generasi kedua yang lain. Aripiprazole merupakan satu-satunya
antipsikotik dengan aktivitas agonis parsial terhadap dopamin D2.

3. Terapi Non-Farmakologi
a. Terapi Kognitif
Terapi kognitif secara signifikan meningkatkan fungsi sosial danmemperbaiki
beberapa gejala, seperti delusi dan halusinasi. Penelitian oleh Morrinson et al. (2014),
pada 37 partisipan yang diberi intervensi berupa terapi kognitif dengan farmakoterapi
skizofrenia dan 37 partisipan yang hanya diberi intervensi berupa farmakoterapi
skizofrenia, menggunakan kuesioner PANSS (Positive and Negative Syndrome
Scales) menunjukkan hasil skor yang lebih rendah pada kelompok partisipan yang
menerima terapi kognitif dibandingkan farmakoterapi. Interpretasi hasil penelitian
menyatakan bahwa terapi kognitif akan lebih aman dan efektif jika diberikan pada
penderita skizofrenia yang memilih untuk tidak menggunakan antipsikotik. Kontra
dengan penelitian Morrison et al., penelitian oleh Meltzer, (2015)., menyatakan
bahwa antipsikotik telah terbukti secara praklinis dalam menurunkan gejala kognitif
walaupun tidak semua memberikan hasil yang efektif. Efek selektif antipsikotik
terhadap hipokampus, kortikal, dopaminergik, serotonergik, glutamanergik dan
neurotransmisi GABAergik serta berbagai macam protein sinaps mengidentifikasikan
target yang mengarah pada pengobatan gejala kognitif.
b. Social Skills Training
SST berpotensi meningkatkan fungsi kognitif karena adanya pengalaman belajar yang
membutuhkan ingatan dan perhatian yang berpengaruh terhadap kehidupan sosial.
SST meningkatkan pengetahuan dan keterampilan penderita skizofrenia.
c. PANSS
PANSS digunakan pada pasien rawat inap skizofrenia untuk mengetahui status
kesehatan berdasarkan gejala-gejala yang ditimbulkan, seperti gejala positif, negatif,
dan psikopatologi umum. PANSS terdiri dari 30 pertanyaan yang dinilai dengan skala
1-7 tergantung pada berat atau ringannya gejala. Jika skor PANSS pasien dari awal
hingga akhir pengobatan terus menurun maka terapi tersebut dapat dikatakan berhasil.
Keterbatasan PANSS terletak pada hasil skor yang mungkin dipengaruhi oleh faktor
lain selain intervensi yang diberikan yang dapat menyebabkan hasil skor menjadi bias
d. LAI (Long-acting Injectable)

22
Farmakoterapi, baik antipsikotik oral maupun LAI merupakan treatment utama dalam
terapi skizofrenia. LAI disarankan untuk pasien yang memiliki tingkat kepatuhan
rendah. Penelitian oleh Schreiner et al. (2017), membuktikan bahwa sebanyak 472
partisipan yang melakukan peralihan dari oral antipsikotik (aripiprazole, olanzapine,
quetiapine, risperidone dan paliperidone extendedrelease) menjadi paliperidone
palmitat 1x selama 1 bulan memberikan respon dan tolerabilitas yang baik. LAI
menawarkan efek terapetik jangka panjang dengan memaksimalkan penghantaran
obat, kontak obat dan jadwal pengobatan. Klozapin dan antipsikotik LAI merupakan
perawatan farmakologis dengan tingkat pencegahan relaps yang tinggi. Risiko
rehospitalisasi sekitar 20% hingga 30% lebih rendah selama dibandingkan dengan
antipsikotik oral yang ekivalen. Penelitian oleh Tilhonen et al. (2017), pada pasien
skizofrenia di Swedia tahun 2006 (29.223 total pasien kohort; 4603 pasien kohort
yang baru didiagnosis) menunjukkan bahwa risiko rehospitalisasi pasien lebih rendah
pada penggunaan antipsikotik LAI paliperidone, zuclopenthixol, clozapine,
perphenazine dan olanzapine (ketika dibandingkan dengan antipsikotik oral
flupentixol, quetiapine dan perphenazine. Penelitian oleh Foster et al. (2017)
menunjukkan bahwa LAI menyebabkan kejadian relaps yang lebih lambat jika
dibandingkan dengan kombinasi antipsikotik dan kejadian relaps yang lebih.

23
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Skizofrenia didefinisikan sebagai kelompok gangguan psikotik yang ditandai dengan
adanya gangguan pikiran, emosi dan tingkah laku, pikiran yang tidak terhubungkan,
persepsi dan perhatian yang keliru, hambatan dalam aktivitas motorik, emosi yang datar dan
tidak sesuai, dan kurangnya toleransi terhadap stres dalam hubungan.
2. Penyebab skizofrenia masih belum diketahui secara jelas. Penelitian menunjukkan adanya
kelainan pada struktur dan fungsi otak. Kombinasi faktor genetik dan lingkungan berperan
dalam perkembangan skizofrenia.
3. Faktor-faktor yang berperan terhadap timbulnya skizofrenia adalah sebagai berikut : Umur,
Jenis kelamin, Pekerjaan, Status perkawinan , Konflik keluarga , Konflik keluarga, Status
ekonomi , Status ekonomi, Faktor genetic, Faktor psikososial, Penyakit autoimun.
i. Penggolongan skizofrenia berdasarkan International StatisticalClassification of Diseases
and Related Health Problems Revisi kesepuluh (ICD-10) (WHO, 2016): Skizofrenia
Paranoid, Skizofrenia Hebefrenik, Skizofrenia Katatonik, Skizofrenia Undiferentiated,
Depresi pasca-skizofrenia, Skizofrenia Residual, Skizofrenia Simpel, Skizofrenia Lainnya
(WHO, 2016).
j. Gejala skizofrenia yang dapat ditemukan. : Delusi , Halusinasi, Afek abnormal, Gangguan
kepribadian motor.
k. Antipsikotik diklasifikasikan menjadi antipsikotik generasi pertama dan antipsikotik
generasi kedua.. Antipsikotik generasi pertama merupakan antipsikotik yang bekerja
dengan cara memblok reseptor dopamin D2. Antipsikotik generasi kedua, seperti
risperidone, olanzapine, quetiapine, ziprasidon aripriprazol, paliperidone, iloperidone,
asenapine, lurasidone dan klozapin memiliki afinitas yang lebih besar terhadap reseptor
serotonin dari pada reseptor dopamin.

24
DAFTAR PUSTAKA

Zahnia1 & Sumekar. (2016). Kajian Epidemiologis Skizofrenia. Lampung : Universitas Lampung

Zhuo C and Triplett. (2018). Association of Schizophrenia With the Risk of Breast Cancer
IncidenceA Meta-analysis. JAMA Psychiatry

Wells, et al. 2015. Pharmacotherapy Handbook 9th Edition. New York: McGraw-Hill

WHO. 2015. http://www.who.int/mental_health/m anagement/schizophrenia/en/ [diakses 20 Juni


2018).

Tilhonen et al., (2017). Real-World Effectiveness of Antipsychotic Treatments in a Nationwide


Cohort of 29 823 Patients With Schizophrenia. JAMA Psychiatry, 74(2) p: 686-693.

Foster et al., 2017. Combination Antipsychotic Therapies An Analysis From a Longitudinal


Pragmatic Trial. Journal of Clinical Psychopharmacology, 37(5) p:595-
599

Chisholm-Burns, M. A. et al., 2016. Pharmacotherapy Principles & Practice Fourth Edition. New
York: McGraw-Hill Education.

Hafifah, dkk. (2018). REVIEW ARTIKEL : FARMAKOTERAPI DAN REHABILITASI


PSIKOSOSIAL PADA SKIZOFRENIA. Bandung : Universitas Padjadjaran

25

Anda mungkin juga menyukai