Anda di halaman 1dari 23

BAGIAN ILMU PENYAKIT SYARAF

FAKULTAS KEDOKTERAN REFERAT


UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA Agustus 2017

EPILEPSI

Oleh:

Puji Amanda Ibrahim

111 2016 2138

Pembimbing:

dr. Nikmawati, Sp.S, M. Kes

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK

BAGIAN ILMU PENYAKIT SYARAF

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA

MAKASSAR

2017

1
BAB I
PENDAHULUAN

Kejang merupakan gejala yang timbul dari efek langsung atau tidak

langsung dari penyakit sistem saraf pusat (SSP). Obat – obat yang digunakan untuk

terapi berbagai penyakit vaskuler yang dapat mempengaruhi ambang kejang dan

menyebabkan kejang, selain itu penyakit dapat pula mendasari angka kejadian

kejang pada pasien stress. Kejang didefiniskan sebagai perubahan sementara dalam

keadaan atau tanda – tanda lain atau gejala yang dapat disebabkan oleh disfungsi

otak. disfungsi otak tersebut dapat disertaidengan motorik, sensorik dan gangguan

otonom tergantung paad daerah otak yang terlibat baik organ itu sendiri atau pun

penyebaran ke organ yang lain.1

Kejang dapat disebabkan oleh berbagai keadaan yaitu, epilepsi, kejang

demam, hipoglikemia, hipoksia, hipotensi, tumor otak, meningitis,

ketidakseimbangan elektrolit, dan overdosis obat.Meskipun penyebab dari kejang

beragam namun pada fase awal tidak perlu untuk melabelnya masuk pada kelompok

mana, karena manajemen jalan nafas dan penghentian kejang adalah prioritas awal

pada pasien dengan kejang aktif.1

Epilepsi merupakan salah satu penyakit otak yang sering ditemukan di

dunia. Data World Health Organization (WHO) menunjukkan epilepsi menyerang

70 juta dari penduduk dunia. Epilepsi dapat terjadi pada siapa saja di seluruh dunia

tanpa batasan ras dan sosial ekonomi. Angka kejadian epilepsi masih tinggi

terutama di negara berkembang yang mencapai 114 per 100.000 penduduk per

tahun. Angka tersebut tergolong tinggi dibandingkan dengan negara yang maju

2
dimana angka kejadian epilepsi berkisar antara 24-53 per 100.000 penduduk per

tahun. Angka prevalensi penderita epilepsi aktif berkisar antara 4-10 per 1000

penderita epilepsi. Bila jumlah penduduk Indonesia berkisar 220 juta, maka

diperkirakan jumlah penderita epilepsi baru 250.000 per tahun. Dari berbagai studi

diperkirakan prevalensi epilepsi berkisar antara 0,5-4%. Rata-rata prevalensi

epilepsi 8,2 per 1000 penduduk. Prevalensi epilepsi pada bayi dan anak-anak cukup

tinggi, menurun pada dewasa muda dan pertengahan, kemudian meningkat lagi

pada kelompok usia lanjut.2

Epilepsi merupakan salah satu penyakit syaraf kronik kejang berulang

muncul tanpa provokasi. Penyebabnya adalah kelainan bangkitan listrik jaringan

saraf yang tidak terkontrol baik sebagian maupun seluruh bagian otak. Keadaan ini

bisa di indikasikan sebagai disfungsi otak. Insidensi epilepsi di negara maju

ditemukan sekitar 50/100.000 sementara di negara berkembang mencapai

100/100.000. Pendataan secara global ditemukan 3.5 juta kasus baru per tahun

diantaranya 40% adalah anak-anak dan dewasa sekitar 40% serta 20% lainnya

ditemukan pada usia lanjut.2

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 KEJANG
2.1.1 Definisi
Kejang adalah perubahan aktivitas motorik abnormal yang tanpa atau
disertai dengan perubahan perilaku yang sifatnya sementara yang disebabkan
akibat perubahan aktivitas elektrik di otak. Epilepsi adalah kondisi dimana
terjadi kejang berulang karena ada proses yang mendasari6. Sedangkan
intractable seizure adalah kejang dimana penggunaan obat - obatan tidak cukup
kuat untuk menangani kejang.1

2.1.2 Klasifikasi Kejang3,4,5


Menurut International League against Epilepsy, kejang dapat
diklasifikasikan menjadi :
1. Kejang parsial
Kejang parsial adalah kejang yang berhubungan dengan keterlibatan
satu hemisfer serebri. Kejang parsial dapat berkembang menjadi kejang
umum pada 30% anak yang mengalami kejang. Pada umumnya kejang ini
ditemukan pada anak berusia 3 hingga 13 tahun. Kejang parsial dapat
dikelompokkan menjadi :
1. Kejang parsial simpleks
Kejang parsial simpleks adalah bentuk kejang parsial yang tanpa
disertai dengan perubahan status mental. Kejang ini sering ditandai
dengan perubahan aktivitas motorik yang abnormal, sering terlihat pola
aktivitas motorik yang tetap pada wajah dan ekstremitas atas saat
episode kejang terjadi. Walaupun kejang parsial simpleks sering
ditandai dengan perubahan abnormal dari aktivitas motorik, perubahan
abnormal dari sensorik, autonom, dan psikis.

4
2. Kejang parsial kompleks
Kejang parsial kompleks ditandai dengan perubahan abnormal dari
persepsi dan sensasi, dan disertai dengan perubahan kesadaran. Pada
saat kejang, pandangan mata anak tampak linglung, mulut anak seperti
mengecap – ngecap, jatuhnya air liur keluar dari mulut, dan seringkali
disertai mual dan muntah.
3. Kejang parsial dengan kejang umum sekunder
Kejang parsial dapat melibatkan kedua hemisfer serebri dan
menimbulkan gejala seperti kejang umum. Kejang parsial dengan
kejang umum sekunder biasanya menimbulkan gejala seperti kejang
tonik klonik. Hal ini sulit dibedakan dengan kejang tonik – klonik.

2. Kejang Umum
Kejang umum adalah kejang yang berhubungan dengan keterlibata kedua
hemisfer serebri. Kejang umum disertai dengan perubahan kesadaran.
Kejang umum dapat dikelompokkan menjadi :
1. Kejang tonik klonik (grand mal seizure)
Kejang tonik klonik adalah bentuk kejang umum yang paling sering
terjadi pada anak. Kebanyakan kejang ini memiliki onset yang tiba –
tiba, namun pada beberapa anak kejang ini didahului oleh aura (motorik
atau sensorik). Pada awal fase tonik, anak menjadi pucat, terdapat
dilatasi kedua pupil, dan kontraksi otot – otot yang disertai dengan
rigiditas otot yang progresif. Sering juga disertai dengan inkontinensia
urin atau inkontinensia tinja. Kemudian pada fase klonik, terjadi gerakan
menghentak secara ritmik dan gerakan fleksi yang disertai spasme pada
ekstremitas. Terjadi perubahan kesadaran pada anak selama episode
kejang berlangsung dan bisa berlanjut hingga beberapa saat setelah
kejang berhenti.

5
2. Kejang tonik
Bentuk kejang ini sama seperti kejang tonik klonik pada fase tonik.
Anak tiba – tiba terdiam dengan seluruh tubuh menjadi kaku akibat
rigiditas otot yang progresif.
3. Kejang mioklonik
Kejang mioklonik ditandai dengan gerakan kepala seperti terjatuh
secara tiba – tiba dan disertai dengan fleksi lengan. Kejang tipe ini dapat
terjadi hingga ratusan kali per hari.
4. Kejang atonik
Kejang atonik ditandai dengan kehilangan tonus otot secara tiba –
tiba.
5. Kejang absens
Kejang absens dapat dibagi menjadi kejang absens simpel (tipikal)
atau disebut juga petit mal dan kejang absens kompleks (atipikal).
Kejang absens tipikal ditandai dengan berhentinya aktivitas motorik
anak secara tiba – tiba, kehilangan kesadaran sementara secara singkat,
yang disertai dengan tatapan kosong. Sering tampak kedipan mata
berulang saat episode kejang terjadi. Episode kejang terjadi kurang dari
30 detik. Kejang ini jarang dijumpai pada anak berusia kurang dari 5
tahun. Kejang absens atipikal ditandai dengan gerakan seperti hentakan
berulang yang bisa ditemukan pada wajah dan ekstremitas, dan disertai
dengan perubahan kesadaran.
3. Kejang tak terklasifikasi
Kejang ini digunakan untuk mengklasifikasikan bentuk kejang yang
tidak dapat dimasukkan dalam bentuk kejang umum maupun kejang parsial.
Kejang ini termasuk kejang yang terjadi pada neonatus dan anak hingga usia
1 tahun.

6
2.1.3 Etiologi6,7
Penyebab kejang secara umum dapat dibagi menjadi dua yaitu intrakranial
dan ekstrakranial.
1. Intrakranial
Penyebab intrakranial dapat dibagi lagi menjadi dua yaitu primer
dan sekunder. Penyebab intrakranial primer disebut juga idiopatik.
Sedangkan sekunder dapat disebabkan karena neoplasma intrakranial,
kelainan kongenital seperti hidrosefalus, infeksi seperti meningitis dan
ensefalitis, dan trauma kepala.
2. Ekstrakranial
Penyebab ekstrakranial biasa disebabkan karena gangguan
metabolisme seperti hipoglikemia, hipokalsemia, hepatik ensefalopati,
uremia, hiperproteinemia, hiperlipidemia, hipotiroid, dan hipoksia.
Penyebab ekstrakranial dapat juga disebabkan oleh metastasis keganasan ke
otak.

2.2 EPILEPSI

2.2.1 Definisi8

Epilepsi didefinisikan sebagai kumpulan gejala dan tanda-tanda klinis yang

muncul disebabkan gangguan fungsi otak secara intermiten, yang terjadi akibat

lepas muatan listrik abnormal atau berlebihan dari neuron-neuron secara

paroksismal dengan berbagai macam etiologi.

Sedangkan serangan atau bangkitan epilepsi yang dikenal dengan nama

epileptic seizure adalah manifestasi klinis yang serupa dan berulang secara

paroksismal yang disebabkan oleh hiperaktivitas listrik sekelompok sel saraf di

otak yang spontan dan bukan disebabkan oleh suatu penyakit otak akut

(“unprovoked”).

7
Manifestasi serangan atau bangkitan epilepsi secara klinis dapat dicirikan

sebagai berikut yaitu gejala yang timbulnya mendadak, hilang spontan dan

cenderung untuk berulang. Sedangkan gejala dan tanda-tanda klinis tersebut

sangat bervariasi dapat berupa gangguan tingkat penurunan kesadaran,

gangguan sensorik (subyektif), gangguan motorik atau kejang (obyektif),

gangguan otonom (vegetatif) dan perubahan tingkah laku (psikologis).

Semuanya itu tergantung dari letak fokus epileptogenesis atau sarang

epileptogen dan penjalarannya sehingga dikenallah bermacam jenis epilepsi.

2.2.2 Etiologi2

Epilepsi sebagai gejala klinis bisa bersumber pada banyak penyakit di otak.

Sekitar 70% kasus epilepsi yang tidak diketahui sebabnya dikelompokkan

sebagai epilepsi idiopatik dan 30% yang diketahui sebabnya dikelompokkan

sebagai epilepsi simptomatik, misalnya trauma kepala, infeksi, kongenital, lesi

desak ruang, gangguan peredaran darah otak, toksik dan metabolik. Epilepsi

kriptogenik dianggap sebagai simptomatik tetapi penyebabnya belum diketahui,

misalnya West syndrome dan Lennox Gastaut syndrome.

Bila salah satu orang tua epilepsi (epilepsi idiopatik) maka kemungkinan

4% anaknya epilepsi, sedangkan bila kedua orang tuanya epilepsi maka

kemungkinan anaknya epilepsi menjadi 20%-30%.

Beberapa jenis hormon dapat mempengaruhi serangan epilepsi seperti

hormon estrogen, hormon tiroid (hipotiroid dan hipertiroid) meningkatkan

kepekaan terjadinya serangan epilepsi, sebaliknya hormon progesteron, ACTH,

8
kortikosteroid dan testosteron dapat menurunkan kepekaan terjadinya serangan

epilepsi.

Kita ketahui bahwa setiap wanita di dalam kehidupannya mengalami

perubahan keadaan hormon (estrogen dan progesteron), misalnya dalam masa

haid, kehamilan dan menopause. Perubahan kadar hormon ini dapat

mempengaruhi frekwensi serangan epilepsi.

2.2.3 Klasifikasi3,4,5

Ada dua klasifikasi epilepsi yang direkomendasikan oleh ILAE yaitu pada

tahun 1981 dan tahun 1989.

International League Against Epilepsy (ILAE) pada tahun 1981 menetapkan

klasifikasi epilepsi berdasarkan jenis bangkitan (tipe serangan epilepsi):

1. Serangan parsial

a. Serangan parsial sederhana (kesadaran baik)

- Dengan gejala motorik

- Dengan gejala sensorik

- Dengan gejala otonom

- Dengan gejala psikis

b. Serangan parsial kompleks (kesadaran terganggu)

- Serangan parsial sederhana diikuti dengan gangguan kesadaran

- Gangguan kesadaran saat awal serangan

c. Serangan umum sederhana

- Parsial sederhana menjadi tonik-klonik

- Parsial kompleks menjadi tonik-klonik

9
- Parsial sederhana menjadi parsial kompleks menjadi tonik-klonik

2. Serangan umum

a. Absans (Lena)

b. Mioklonik

c. Klonik

d. Tonik

e. Atonik (Astatik)

f. Tonik-klonik

3. Serangan yang tidak terklasifikasi (sehubungan dengan data yang

kurang lengkap).

Klasifikasi ILAE tahun 1981 di atas ini lebih mudah digunakan untuk para

klinisi karena hanya ada dua kategori utama, yaitu:

- Serangan fokal yaitu bangkitan epileptik yang dimulai dari fokus yang terlokalisir

di otak.

- Serangan umum yaitu bangkitan epileptik terjadi pada daerah yang lebih luas

pada kedua belahan otak.

Klasifikasi menurut sindroma epilepsi yang dikeluarkan ILAE tahun 1989 adalah :

1. Berkaitan dengan letak fokus

a. Idiopatik

- Epilepsi Rolandik benigna (childhood epilepsy with centro temporal spike)

- Epilepsi pada anak dengan paroksismal oksipital

10
b. Simptomatik

- Lobus temporalis

- Lobus frontalis

- Lobus parietalis

- Lobus oksipitalis

2. Umum

a. Idiopatik

- Kejang neonatus familial benigna

- Kejang neonatus benigna

- Kejang epilepsi mioklonik pada bayi

- Epilepsi Absans pada anak

- Epilepsi Absans pada remaja

- Epilepsi mioklonik pada remaja

- Epilepsi dengan serangan tonik-klonik pada saat terjaga

- Epilepsi tonik-klonik dengan serangan acak

b. Simptomatik

- Sindroma Wes

- Sindroma Lennox Gastaut

3. Berkaitan dengan lokasi dan epilepsi umum (campuran 1 dan 2)

- Serangan neonatal

4. Epilepsi yang berkaitan dengan situasi

- Kejang demam

- Berkaitan dengan alkohol

11
- Berkaitan dengan obat-obatan

- Eklampsia

- Serangan yang berkaitan dengan pencetus spesifik (refleks epilepsi)

Diagnosis pasti epilepsi adalah dengan menyaksikan secara langsung

terjadinya serangan, namun serangan epilepsi jarang bisa disaksikan langsung

oleh dokter, sehingga diagnosis epilepsi hampir selalu dibuat berdasarkan

alloanamnesis. Namun alloanamnesis yang baik dan akurat sulit didapatkan,

karena gejala yang diceritakan oleh orang sekitar penderita yang menyaksikan

sering kali tidak khas, sedangkan penderitanya sendiri tidak tahu sama sekali

bahwa ia baru saja mendapat serangan epilepsi. Satu-satunya pemeriksaan

yang dapat membantu menegakkan diagnosis penderita epilepsi adalah

rekaman elektroensefalografi (EEG).

2.2.4 Patofisiologi6

Otak terdiri dari sekian biliun sel neuron yang satu dengan lainnya saling

berhubungan. Hubungan antar neuron tersebut terjalin melalui impuls listrik

dengan bahan perantara kimiawi yang dikenal sebagai neurotransmiter. Dalam

keadaan normal, lalu-lintas impuls antar neuron berlangsung dengan baik dan

lancar. Apabila mekanisme yang mengatur lalu-lintas antar neuron menjadi

kacau dikarenakan breaking system pada otak terganggu maka neuron-neuron

akan bereaksi secara abnormal. Neurotransmiter yang berperan dalam

mekanisme pengaturan ini adalah:

- Glutamat, yang merupakan brain’s excitatory neurotransmitter

12
- GABA (Gamma Aminobutyric Acid), yang bersifat sebagai brain’s inhibitory

neurotransmitter.

Golongan neurotransmiter lain yang bersifat eksitatorik adalah aspartat

dan asetil kolin, sedangkan yang bersifat inhibitorik lainnya adalah

noradrenalin, dopamine, serotonin (5-HT) dan peptida. Neurotransmiter ini

hubungannya dengan epilepsy belum jelas dan masih perlu penelitian lebih

lanjut.

Kejang epilepsi apapun jenisnya selalu disebabkan oleh transmisi impuls di

area otak yang tidak mengikuti pola yang normal, sehingga terjadilah apa yang

disebut sinkronisasi dari impuls. Sinkronisasi ini dapat mengenai pada

sekelompok kecil neuron atau kelompok neuron yang lebih besar atau bahkan

meliputi seluruh neuron di otak secara serentak. Lokasi yang berbeda dari

kelompok neuron yang ikut terkena dalam proses sinkronisasi inilah yang

secara klinik menimbulkan manifestasi yang berbeda dari jenisjenis serangan

epilepsi. Secara teoritis faktor yang menyebabkan hal ini yaitu:

- Keadaan dimana fungsi neuron penghambat (inhibitorik) kerjanya kurang

optimal sehingga terjadi pelepasan impuls epileptik secara berlebihan,

disebabkan konsentrasi GABA yang kurang. Pada penderita epilepsi

ternyata memang mengandung konsentrasi GABA yang rendah di otaknya

(lobus oksipitalis).

Hambatan oleh GABA ini dalam bentuk inhibisi potensial post sinaptik.

- Keadaan dimana fungsi neuron eksitatorik berlebihan sehingga terjadi

pelepasan impuls epileptik yang berlebihan. Disini fungsi neuron

13
penghambat normal tapi sistem pencetus impuls (eksitatorik) yang terlalu

kuat. Keadaan ini ditimbulkan oleh meningkatnya konsentrasi glutamat di

otak. Pada penderita epilepsi didapatkan peningkatan kadar glutamat pada

berbagai tempat di otak.

- Pada dasarnya otak yang normal itu sendiri juga mempunyai potensi untuk

mengadakan pelepasan abnormal impuls epileptik.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa untuk timbulnya kejang sebenarnya ada tiga

kejadian yang saling terkait :

- Perlu adanya “pacemaker cells” yaitu kemampuan intrinsic dari sel untuk

menimbulkan bangkitan.

- Hilangnya “postsynaptic inhibitory controle” sel neuron.

- Perlunya sinkronisasi dari “epileptic discharge” yang timbul.

Area di otak dimana ditemukan sekelompok sel neuron yang abnormal,

bermuatan listrik berlebihan dan hipersinkron dikenal sebagai fokus

epileptogenesis (fokus pembangkit serangan kejang). Fokus epileptogenesis

dari sekelompok neuron akan mempengaruhi neuron sekitarnya untuk bersama

dan serentak dalam waktu sesaat menimbulkan serangan kejang.

Berbagai macam kelainan atau penyakit di otak (lesi serebral, trauma otak,

stroke, kelainan herediter dan lain-lain) sebagai fokus epileptogenesis dapat

terganggu fungsi neuronnya (eksitasi berlebihan dan inhibisi yang kurang) dan

akan menimbulkan kejang bila ada rangsangan pencetus seperti hipertermia,

hipoksia, hipoglikemia, hiponatremia, stimulus sensorik dan lain-lain.

14
Serangan epilepsi dimulai dengan meluasnya depolarisasi impuls dari fokus

epileptogenesis, mula-mula ke neuron sekitarnya lalu ke hemisfer sebelahnya,

subkortek, thalamus, batang otak dan seterusnya. Kemudian untuk bersama-

sama dan serentak dalam waktu sesaat menimbulkan serangan kejang. Setelah

meluasnya eksitasi selesai dimulailah proses inhibisi di korteks serebri,

thalamus dan ganglia basalis yang secara intermiten menghambat discharge

epileptiknya. Pada gambaran EEG dapat terlihat sebagai perubahan dari

polyspike menjadi spike and wave yang makin lama makin lambat dan akhirnya

berhenti. Dulu dianggap berhentinya serangan sebagai akibat terjadinya

exhaustion neuron. (karena kehabisan glukosa dan tertimbunnya asam laktat).

Namun ternyata serangan epilepsi bisa terhenti tanpa terjadinya neuronal

exhaustion.

Pada keadaan tertentu (hipoglikemia otak, hipoksia otak, asidosis

metabolik) depolarisasi impuls dapat berlanjut terus sehingga menimbulkan

aktivitas serangan yang berkepanjangan disebut status epileptikus.

2.2.5 Gejala Klinis4

Menurut manifestasi klinisnya, kejang dibagi menjadi kejang parsial, yang

berasal dari salah satu bagian hemisfer serebri, dan kejang umum, dimana kedua

hemisfer otak terlibat secara bersamaan.

15
Tabel 2.1. Manifestasi klinis bangkitan epilepsi

Tipe kejang Ciri khas


Kejang parsial
Parsial sederhana Adanya gejala motorik, somatosensorik,
sensorik, otonom, atau kejiwaan.
Kesadaran normal.
Parsial kompleks Adanya gejala motorik, somatosensorik,
sensorik, otonom,atau kejiwaan.
Adanya penurunan kesadaran.
Kejang umum
Tonik-klonik Kekakuan tonik yang diikuti oleh sentakan
ekstremitas yang sinkron.
Dapat disertai inkontinensia.
Diikuti dengan kebingungan pasca kejang
Absans Hilangnya kesadaran yang singkat (biasanya
<10 detik) dengan terhentinya aktivitas yang
sedang berlangsung.
Dapat disertai gerakan otomatis, seperti
mengedip. Pola EEG menunjukkan gambaran
paku-ombak (spike-and-wave).
Mioklonik Adanya satu atau banyak sentakan otot.
Kesadaran normal.
Biasanya bilateral dan simetris.
Atonik Hilangnya tonus otot yang singkat.
Tonik Kontraksi otot yang berkepanjangan.
Klonik Pergantian sentakan dan relaksasi ekstremitas
secara berulang-ulang.

16
2.2.6 Penegakan Diagnosa7

Epilepsi dapat ditegakkan setelah pasien mengalami dua atau lebih

kejang yang tidak dipicu. Diagnosis pasti dapat ditegakkan hanya jika kejang

terjadi selama perekaman EEG atau jika muatan listrik dapat dihubungkan

dengan tanda dan gejala pasien. Oleh karena itu, diagnosis kejang tetap yang

paling utama.

Diagnosis epilepsi merupakan masalah tersendiri karena membuat

diagnosis epilepsi secara rutin memerlukan pengetahuan klinis dan

keterampilan yang khusus. Pada kebanyakan pasien epilepsi, diagnosis dapat

dibuat dengan mengetahui secara lengkap riwayat penyakit, pemeriksaan fisik

dan neurologi, pemeriksaan elektroensefalografi, dan pencitraan otak.

1. Anamnesis

Anamnesis harus dilakukan secara cermat, rinci, dan menyeluruh karena

pemeriksa hampir tidak pernah menyaksikan serangan yang dialami

penderita. Anamnesis dapat berupa autoanamnesis maupun aloanamnesis,

meliputi:

a. Pola atau bentuk serangan

b. Lama serangan

c. Gejala sebelum, selama, dan sesudah serangan

d. Frekuensi serangan

e. Faktor pencetus

f. Ada tidaknya penyakit lain yang diderita sekarang

g. Usia saat serangan pertama

17
h. Riwayat kehamilan, persalinan, dan perkembangan

i. Riwayat penyakit, penyebab, dan terapi sebelumnya

j. Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga

2. Pemeriksaan fisik dan neurologi

Melihat adanya tanda - tanda infeksi, seperti demam, infeksi telinga, tanda

meningeal, atau bukti adanya trauma kepala. Pemeriksaan fisikk harus

menepis sebab - sebab terjadinya serangan dengan menggunakan umur dan

riwayat penyakit sebagai pegangan. Pada anak - anak, pemeriksa harus

memperhatikan adanya keterlambatan perkembangan, organomegali,

perbedaan ukuran antara anggota tubuh yang dapat menunjukkan awal

gangguan pertumubuhan otak unilateral. Pemeriksaan neurologis lengkap

dan rinci adalah penting, khususnya untuk mencari tanda - tanda fokal atau

lateral.

3. Pemeriksaan penunjang

a. Elektroensefalografi (EEG)

Pemeriksaan EEG harus dilakukan pada semua pasien epilepsi dan

merupakan pemeriksaan penunjang yang paling sering dilakukan untuk

menegakkan diagnosis epilepsi dan tipe kejang lainnya yang tepat dan

bahkan sindrom epilepsi. EEG juga dapat membantu pemilihan obat anti

epilepsi dan prediksi prognosis pasien. Adanya kelainan fokal pada EEG

menunjukkan kemungkinan adanya lesi struktural di otak, sedangkan

adanya kelainan umum pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya

kelainan genetik atau metabolik. Pemeriksaan EEG rutin sebaiknya

18
dilakukan perekaman pada waktu sadar dalam keadaan istirahat dan pada

waktu tidur. Gambaran EEG pasien epilepsi menunjukkan gambaran

epileptiform, misalnya gelombang tajam (spike), paku -ombak, paku

majemuk, dan gelombang lambat yang timbul secara paroksismal.

b. Pemeriksaan radiologis

Pemeriksaan yang dikenal dengan istilah pencitraan otak (neuroimaging)

bertujuan untuk melihat struktur otak dengan melengkapi data EEG. Pada

pencitraan struktural, MRI merupakan pilihan utama, lebih unggul

dibandingkan CT scan, karena MRI dapat mendeteksi dan

menggambarkan lesi epileptogenik. Pencitraan fungsional seperti Single

Photon Emission Computerised Tomography (SPECT), Positron

Emission Tomography (PET), dan MRI fungsional digunakan lebih

lanjut untuk menentukan lokasi lesi epileptogenik sebelum pembedahan

jika pencitraan struktural meragukan. MRI fungsional juga dapat

membantu menentukan lokasi area fungsional spesifik sebelum

pembedahan.

2.2.7 Penatalaksanaan2,3,9,10

Tujuan utama pengobatan epilepsi adalah membuat orang dengan epilepsi

(ODE) terbebas dari serangan epilepsinya, terutama terbebas dari serangan

kejang sedini mungkin. Setiap kali terjadi serangan kejang yang berlangsung

sampai beberapa menit maka akan menimbulkan kerusakan sampai kematian

sejumlah sel - sel otak. Apabila hal ini terus - menerus terjadi, maka dapat

mengakibatkan menurunnya kemampuan intelegensi penderita. Pengobatan

19
epilepsi dinilai berhasil dan ODE dikatakan sembuh apabila serangan epilepsi

dapat dicegah atau penyakit ini menjadi terkontrol dengan obat - obatan.

Penatalaksanaan untuk semua jenis epilepsi dapat dibagi menjadi 4 bagian:

penggunaan obat antiepilepsi (OAE), pembedahan fokus epilepsi,

penghilangan faktor penyebab dan faktor pencetus, serta pengaturan aktivitas

fisik dan mental.

Tapi secara umum, penatalaksanaan epilepsi dibagi menjadi dua, yaitu:

1. Terapi medikamentosa

Terapi medikamentosa adalah terapi lini pertama yang dipilih dalam

menangani penderita epilepsi yang baru terdiagnosa. Ketika memulai

pengobatan, pendekatan yang “mulai dengan rendah, lanjutkan dengan

lambat (start low, go slow) akan mengurangi risiko intoleransi obat.

Penatalaksanaan epilepsi sering membutuhkan pengobatan jangka panjang.

Monoterapi lebih dipilih ketika mengobati pasien epilepsi, memberikan

keberhasilan yang sama dan tolerabilitas yang unggul dibandingkan

politerapi. Pemilihan obat anti epilepsy (OAE) sangat tergantung pada

bentuk bangkitan dan sindroma epilepsy, selain itu juga perlu dipikirkan

kemudahan pemakaiannya. Penggunaan terapi tunggal dan dosis tunggal

menjadi pilihan utama. Kepatuhan pasien juga ditentukan oleh harga dan

efek samping OAE yang timbul.

Antikonvulsan utama:

1. Fenobarbital: 2 – 4 mg/kgBB/hari

2. Phenytoin: 5 – 8 mg/kgBB/hari

20
3. Karbamazepin: 20 mg/kgBB/hari

4. Valproate: 30 – 80 mg/kgBB/hari

Pemilihan OAE yang dapat diberikan dapat dilihat pada tabel 2.2.

Tabel 2.2. Daftar OAE yang umum digunakan dan indikasinya

Tipe Kejang Lini Pertama Lini Kedua


Kejang parsial
Parsial sederhana, Carbamazepine Acetazolamide
Parsial kompleks, Lamotrigine Clonazepam
Umum sekunder Levetiracetam Gabapentin
Oxcarbazepine Phenobarbitone
Topiramate Phenytoin
Valproate
Kejang umum
Tonik-klonik, Carbamazepine Acetazolamide
Klonik Lamotrigine Levetiracetam
Topiramate Phenobarbitone
Valproate Phenytoin
Absans Ethosuximide Acetazolamide
Lamotrigine Clonazepam
Valproate
Absans atipikal, Valproate Acetazolamide
Atonik, Clonazepam
Tonik Lamotrigine
Phenytoin
Topiramate
Mioklonik Valproate Acetazolamide
Clonazepam
Lamotrigine

21
Levetiracetam
Phenobarbitone
Piracetam

2. Terapi bedah epilepsi

Tujuan terapi bedah epilepsi adalah mengendalikan kejang dan

meningkatkan kualitas hidup pasien epilepsi yang refrakter. Pasien epilepsi

dikatakan refrakter apabila kejang menetap meskipun telah diterapi selama

2 tahun dengan sedikitnya 2 OAE yang paling sesuai untuk jenis kejangnya

atau jika terapi medikamentosa menghasilkan efek samping yang tidak

dapat diterima. Terapi bedah epilepsi dilakukan dengan membuang atau

memisahkan seluruh daerah epileptogenik tanpa mengakibatkan risiko

kerusakan jaringan otak normal didekatnya.

22
DAFTAR PUSTAKA

1. Guidelines for seizure Management. 2010.

2. Ardilla, Yunita. Deteksi Penyakit Epilepsi dengan Menggunakan Entropi

Permutasi, K-means Clustering, dan Multilayer Perceptron. 2014.

3. Pedoman Tata Laksana Epilepsi. Kelompok studi epilepsi Perhimpunan

Dokter Spesialis Saraf Indonesia (Perdossi) 2003.

4. Goldenberg, M.M. Overview of Drugs Used for epilepsy and Seizures. P & T.

2010, 36:7.

5. Rudzinski, L.A. Shih, J.J. The Classfication of Seizures and Epilepsy

Syndromes.Novel Aspect On Epilepsy.2011

6. Type of Seizures. USA : Epilepsy Foundation of America. 2009

7. Vaughan, C. J. Delanty, N. Pathophysiology of acute Symptomatic Seizures.

Seizures : Medical Causesand Management. 2002.

8. Care of the patient with seizures 2nd. USA : AANN Clinical Practice Guidelines

Series. 2009.

9. Shorvon S. Handbook of Epilepsy Treatment. Blackwell Science, 2000: 25-

36.

10. Standar Pelayanan Medis & Standar Prosedur Operasional. Perhimpunan

Dokter Spesialis Saraf Indonesia. 2006

23

Anda mungkin juga menyukai