Erwan Suryono
Badan Pemeriksa Keuangan
erwan.suryono@ojk.go.id
Anis Chariri
Universitas Diponegoro
anis_chariri@live.undip.ac.id
Abstract
This study aims to investigate factors that influence civil servants to whistle-blow fraud. It also
investigates the effect of government’s bureaucracy reforming program on the civil servants’
intention to whistle-blow fraud. By employing the theory of reasoned action, this study included
variables of subjective norms, attitudes, and whistle-blowing intentions. This study used primary
data gathered from questionnaires of 293 respondents. Respondents were civil servants in the
ministries/agencies that have and have not implemented bureaucratic reforms. The findings of this
study indicated that subjective norms positively affected the attitudes and intentions of civil servants
to report the wrongdoings. However, the attitudes had no significant effect on civil servants’ whistle-
blowing intentions. In addition, there are no significant differences on subjective norms, attitudes,
and whistle-blowing intentions between civil servants in ministries/agencies that have implemented
bureaucratic reforms and civil servants in ministries/agencies that have not implement bureaucratic
reforms.
Abstrak
Penelitian ini dimaksudkan untuk menginvestigasi faktor-faktor yang memengaruhi PNS untuk
melakukan whistle-blowing atas kecurangan. Selain itu, penelitian ini menguji pengaruh program
reformasi birokrasi pemerintah pada niat PNS untuk melakukan whistle-blowing. Dengan
menggunakan teori reasoned action, studi ini memasukkan variabel norma subjektif, sikap, dan
niat whistle-blowing sebagai variabel penelitian. Penelitian ini menggunakan data primer yang
dikumpulkan dari kuesioner yang melibatkan 293 responden. Responden merupakan PNS di
kementerian/lembaga yang telah dan belum menerapkan reformasi birokrasi. Temuan penelitian
ini mengindikasikan bahwa norma subjektif berpengaruh positif pada sikap dan niat PNS untuk
melaporkan kecurangan. Namun, sikap tidak memiliki pengaruh signifikan pada niat PNS untuk
melakukan whistle-blowing. Selain itu, tidak ada perbedaan signifikan pada norma-norma subjektif,
sikap, dan niat whistle-blowing antara PNS di kementerian/lembaga yang telah menerapkan reformasi
birokrasi dan PNS di kementerian/lembaga yang belum menerapkan reformasi birokrasi.
Kata kunci: teori reasoned action, whistle-blowing, pegawai negeri sipil, reformasi birokrasi
103 Jurnal Akuntansi dan Keuangan Indonesia, Juni 2016, Vol. 13, No. 1, hal 102 - 115
Gambar 1
Kerangka Teori Reasoned Action
Sumber: Vallerand et al. (1992)
105 Jurnal Akuntansi dan Keuangan Indonesia, Juni 2016, Vol. 13, No. 1, hal 102 - 115
adalah evaluasi hasil, yaitu pertimbangan moral. Penelitian selanjutnya oleh Park (2000)
pribadi bahwa konsekuensi atas perilaku menemukan adanya hubungan antara sikap
yang diambil itu disukai atau tidak disukai. dengan norma subjektif.
Konsekuensi yang disukai atas tindakan Dalam konteks whistle-blowing, sesuai
perilaku tertentu cenderung meningkatkan penjelasan Teori Reasoned Action (Fishbein
intensi seseorang untuk melakukan perilaku dan Ajzen 1975; Fishbein dan Ajzen 1981)
tersebut (Trongmateerut dan Sweeney 2012). dan pandangan Vallerand et al. (1992), bahwa
Norma subjektif diasumsikan sebagai tindakan whistle-blowing disebabkan adanya
fungsi dari suatu keyakinan, yaitu keyakinan niatan atau intensi yang dirasakan dalam
seseorang atas orang lain atau sekelompok dirinya, yang disebut intensi whistle-blowing.
orang lain yang memandang bahwa dirinya Intensi whistle-blowing dibentuk oleh norma
harus melakukan (atau tidak melakukan) suatu subjektif individu. Orang memiliki keyakinan
tindakan perilaku (Vallerand et al. 1992). normatif atas orang-orang yang menjadi
Keyakinan yang mendasari norma subjektif panutan atau referensi bagi dirinya. Apabila
ini disebut dengan keyakinan normatif. Faktor orang berpersepsi bahwa seseorang atau
kedua yang menentukan norma subjektif kelompok orang yang menjadi panutannya
adalah adanya motivasi mematuhi. Dengan menganggap whistle-blowing itu perbuatan
kata lain, seseorang merasakan tekanan yang baik dan bermanfaat, maka orang tersebut
sosial pada dirinya ketika memutuskan untuk berusaha mematuhinya (Trongmateerut dan
Sweeney 2012) dan sebaliknya. Apabila proses
melakukan suatu perilaku.
tersebut berakhir positif, maka norma subjektif
Pengaruh Norma Subjektif terhadap Intensi dapat menguatkan intensi whistle-blowing
PNS untuk Melakukan Whistle-Blowing dalam dirinya. Dengan demikian, semakin
Fishbein dan Ajzen (1975) dalam Teori kuat faktor sikap dan norma subjektif terhadap
Reasoned Action mengemukakan bahwa proses penilaian positif tentang whistle-
perilaku seseorang dipengaruhi oleh intensi blowing, maka semakin kuat intensinya, dan
untuk melakukan perilaku tersebut, sedangkan semakin kuat realisasinya melakukan whistle-
intensi itu dipengaruhi norma subjektif orang blowing (Curtis dan Taylor 2009; Robinson et
tersebut. Norma subjektif merupakan faktor al. 2011). Trongmateerut dan Sweeney (2012)
sosial seseorang dalam bentuk persepsi subjektif melakukan penelitian di Amerika Serikat dan
atas pendapat orang-orang yang menjadi Thailand. Hasil penelitiannya menunjukkan
teladan atau panutannya. Orang cenderung bahwa intensi melakukan whistle-blowing
akan mematuhi pendapat orang yang menjadi dipengaruhi oleh sikap dan norma subjektif
panutannya. Apabila yang dipersepsikan ialah seseorang terkait perbuatan whistle-blowing.
panutannya akan melakukan perilaku yang Selain itu, diketahui pula bahwa sikap
dipikirkan, maka orang tersebut memiliki melakukan whistle-blowing dapat dipengaruhi
intensi kuat untuk melakukan perilaku yang oleh norma subjektif terhadap upaya whistle-
dipikirkannya. Goldenberg dan Laschinger blowing. Dengan demikian, hipotesis
(1991) telah menguji teori tersebut pada dirumuskan sebagai berikut:
penelitian perilaku orang merawat pasien H1a: Norma subjektif memiliki pengaruh
AIDS dan menemukan hasil yang konsisten positif terhadap sikap pegawai
dengan teori bahwa sikap dan norma subjektif negeri sipil untuk melakukan whistle-
berpengaruh signifikan terhadap intensi untuk blowing.
merawat pasien AIDS. Vallerand et al. (1992) H1b: Norma subjektif memiliki pengaruh
juga menguji teori tersebut pada perilaku positif terhadap intensi pegawai
moral dan menemukan bahwa baik faktor negeri sipil untuk melakukan whistle-
personal (sikap) maupun faktor sosial (norma blowing.
subjektif) berpengaruh terhadap perilaku
Jurnal Akuntansi dan Keuangan Indonesia, Juni 2016, Vol. 13, No. 1, hal 102 - 116 106
Pengaruh Sikap terhadap Intensi PNS Perbedaan Norma Subjektif, Sikap, dan
untuk Melakukan Whistle-Blowing Intensi PNS untuk Melakukan Whistle-
Teori Reasoned Action menyatakan Blowing pada Kementerian/Lembaga yang
bahwa sikap adalah bagian penting dari Sudah dan Belum Reformasi Birokrasi
individu yang dapat memengaruhi intensi Kondalkar (2007) menjelaskan teori
seseorang untuk melakukan sesuatu (Fishbein hierarki kebutuhan Maslow bahwa kebutuhan
dan Ajzen 1975). Sikap ini merupakan manusia ada lima yaitu fisiologis, keselamatan/
faktor personal seseorang yaitu adanya keamanan, hubungan sosial, penghargaan,
keyakinan bahwa perilaku yang dipikirkannya dan aktualisasi diri. Kebutuhan manusia
memiliki dampak yang menguntungkan paling dasar ialah fisiologis dan kebutuhan
atau merugikan dirinya. Kemudian, terjadi manusia yang paling tinggi adalah kebutuhan
proses pertimbangan evaluasi atau penilaian aktualisasi diri. Kebutuhan aktualisasi
konsekuensi yang dihasilkan dari perilaku diri berupa kebutuhan pencapaian terbaik
tersebut. Apabila penilaian tersebut positif, yang ingin diupayakan seseorang. Orang
maka orang akan cenderung memiliki intensi menetapkan tujuan hidup yang lebih tinggi dan
melakukan perilaku yang dipikirkannya. berupaya mencapainya dengan memanfaatkan
Beberapa riset menemukan bahwa sikap potensi diri semaksimal mungkin. Cervone
seseorang berpengaruh terhadap perilaku dan Pervin (2013) serta Boeree (2006)
moral (Goldenberg dan Laschinger 1991; menambahkan bahwa kebutuhan aktualisasi
Vallerand et al. 1992). Perilaku whistle- diri membutuhkan lebih dari sekedar bahagia
blowing merupakan tindakan seseorang untuk dalam kehidupannya, misalnya kebenaran,
melaporkan adanya pelanggaran/kecurangan kebaikan, keadilan, dan ketertiban. Aktualisasi
(fraud) yang diketahuinya kepada pihak diri seorang individu dapat direfleksikan
berwenang. Oleh karena itu, intensi whistle- dalam kehidupan berorganisasi dan dinamika
blowing didorong sikap individu tersebut perubahannya, termasuk dalam reformasi
terhadap whistle-blowing. Curtis dan Taylor birokrasi.
(2009) menemukan bahwa sikap melakukan Lingkungan kementerian/lembaga yang
whistle-blowing terjadi karena kecurangan sudah melaksanakan reformasi birokrasi
diyakini melanggar moralitas. Sebaliknya, memiliki tingkat kesejahteraan dan budaya
individu cenderung mengurungkan intensi kerja lebih baik dibandingkan kementerian/
melakukan whistle-blowing apabila pelaku lembaga yang belum melaksanakan reformasi
kecurangan mewaspadai orang-orang yang birokrasi (Gie 2013). Berdasarkan teori hierarki
berpotensi dapat mengadukan pelanggarannya kebutuhan maslow, PNS pada kementerian/
(Robinson et al. 2011). Riset lain menunjukkan lembaga yang sudah melaksanakan reformasi
bahwa intensi melakukan whistle-blowing birokrasi diyakini memiliki kebutuhan
dipengaruhi oleh sikap seseorang terkait aktualisasi diri yang lebih baik misalnya
perbuatan whistle-blowing (Trongmateerut kebutuhan terciptanya ketertiban administrasi
dan Sweeney 2012). Oleh karena itu, semakin dan bersih dari KKN.
tinggi sikap positif atas whistle-blowing yang Dasgupta dan Kesharwani (2010)
dimiliki sesorang, semakin tinggi intensi untuk menjelaskan bahwa tingkat kesejahteraan
melakukan whistle-blowing. Dengan demikian, organisasi juga berpengaruh terhadap upaya
hipotesis dirumuskan sebagai berikut: melakukan whistle-blowing. Organisasi yang
H1c: Sikap terhadap whistle-blowing secara tingkat kesejahteraannya lebih baik akan
positif memengaruhi intensi pegawai memandang whistle-blowing sebagai hal yang
negeri sipil untuk melakukan whistle- bermanfaat dan memiliki sumber daya untuk
blowing. melaksanakan investigasi atas pelanggaran
yang terjadi. Sebaliknya, organisasi yang
tingkat kesejahteraannya kurang baik,
memandang whistle-blowing sebagai hal yang
107 Jurnal Akuntansi dan Keuangan Indonesia, Juni 2016, Vol. 13, No. 1, hal 102 - 115
Tabel 2
Distribusi Kuesioner
Distribusi Diterima Digunakan
No. Uraian
NonRB RB NonRB RB NonRB RB
1 Kuesioner Cetak 127 100 110 91 105 86
2 Kuesioner Online 60 135 3 99 3 99
Jumlah 187 235 113 190 108 185
Keterangan:
NonRB : Kelompok PNS belum Reformasi Birokrasi (PNS NonRB)
RB : Kelompok PNS sudah Reformasi Birokrasi (PNS RB)
Tabel 3
Statistik Deskriptif
Indikator Kode Pertanyaan N Min Max Mean Std. Dev
Intensi 1 IN1 Jika saya mengalami dilema konflik kepentingan 293 1 7 2,67 1,703
ketika menemukan kecurangan, saya akan
mengadukan pelanggaran tersebut.
Intensi 2 IN2 Jika saya menemukan pelanggaran di tempat 293 1 7 2,42 1,473
kerja, saya akan mengadukan pelanggaran itu ke
pihak berwenang dalam organisasi.
Intensi 3 IN3 Jika saya menemukan bukti pelanggaran yang 293 1 7 2,40 1,441
menyebabkan saya menghadapi dilema konflik
kepentingan, saya tidak akan menghindari/
mengabaikan bukti pelanggaran tersebut.
Sikap 1 SI1 Apakah pengaduan pelanggaran atau whistle- 293 1 7 1,78 1,350
blowing dirasa penting untuk menghentikan
perilaku tidak etis dalam organisasi?
Sikap 2 SI2 Apakah pengaduan pelanggaran atau whistle- 293 1 7 1,70 1,160
blowing berguna untuk mencegah pelanggaran?
Nilai Subjektif NS1 Rekan-rekan kerja menyetujui keputusan 293 1 7 2,41 1,547
1 mengadukan pelanggaran ke inspektorat.
Nilai Subjektif NS2 Sebagian besar orang-orang yang saya pandang 293 1 7 2,33 1,455
2 penting, akan berpendapat harus mengungkap
pelanggaran.
Nilai Subjektif NS3 Sebagian besar orang-orang yang pendapatnya 293 1 7 2,12 1,394
3 saya hargai atau teladani, akan setuju adanya
pengaduan pelanggaran.
Nilai Subjektif NS4 Ketika orang-orang yang saya pandang penting 293 1 7 2,39 1,374
4 dalam hidup saya melihat adanya pelanggaran,
mereka akan mengadukan pelaku pelanggaran.
Nilai Subjektif NS5 Orang-orang yang dekat dengan saya, dan 293 1 7 2,28 1,398
5 pendapatnya saya hargai,akan menyetujui
adanya pengaduan pelanggaran.
Jurnal Akuntansi dan Keuangan Indonesia, Juni 2016, Vol. 13, No. 1, hal 102 - 116 110
Gambar 2
Diagram Path Penelitian
Tabel 5
Validitas Diskriminan: Akar AVE
Latent Variable Correlations
Variabel Akar AVE
Intensi Norma Subjektif Sikap
Intensi 0,718 1,000
Norma Subjektif 0,779 0,704 1,000
Sikap 0,943 0,513 0,637 1,000
Tabel 6
Uji Composite Reliability
Variabel Composite Reliability Keterangan
Intensi 0,759 Memenuhi
Norma Subjektif 0,883 Memenuhi
Sikap 0,941 Memenuhi
2. Berdasarkan nilai loading factor dan cross lebih tinggi dari 0,70 sehingga dinyatakan
loading factor, setiap indikator memiliki memenuhi uji reliabilitas.
nilai di atas 0,50 sehingga sepuluh indikator
Evaluasi Inner Model
variabel telah memenuhi validitas konvergen. Evaluasi inner model didasarkan pada
nilai R-square dan uji signifikansi koefisien
Evaluasi Outer Model path antarkonstruk pada model. Sesuai
Nilai loading factor dan cross loading dengan diagram path di Gambar 2, nilai
untuk uji validitas disajikan di Tabel 4 dan Tabel R-square model penelitian disajikan di Tabel
5. Metode untuk menguji validitas diskriminan 7 dan koefisien path disajikan di Tabel 8.
dapat dilihat dari uji akar AVE. Sesuai kriteria, Berdasarkan Tabel 7, pengaruh norma subjektif
akar AVE nilainya harus lebih tinggi daripada terhadap sikap memiliki nilai R-square sebesar
nilai korelasi konstruknya (Ghozali 2008). 0,4062. Hubungan ini menunjukkan bahwa
Pada Tabel 5 diketahui nilai akar AVE dari variabilitas konstruk sikap whistle-blowing
variabel intensi, norma subjektif, dan sikap dapat dijelaskan oleh variabilitas konstruk
lebih besar dibandingkan korelasinya. Dengan norma subjektif sebesar 40,62%, sedangkan
59,38% dijelaskan oleh variabel lain di luar
metode cross loading dan akar AVE, dapat
yang diteliti. Pengaruh norma subjektif dan
disimpulkan bahwa seluruh variabel indikator
sikap terhadap intensi memiliki nilai R-square
telah memenuhi validitas diskriminan. sebesar 0,5029. Artinya, variabilitas konstruk
Uji reliabilitas dengan metode composite intensi untuk whistle-blowing dapat dijelaskan
reliability mengharuskan kriteria lebih besar oleh variabilitas konstruk norma subjektif dan
dari 0,70. Hasil uji composite reliability dapat sikap sebesar 50,29%. Tabel 8 menunjukkan
dilihat pada Tabel 6. Berdasarkan Tabel 6, bahwa koefisien path untuk pengaruh norma
dapat disimpulkan nilai composite reliability subjektif terhadap intensi dan sikap dinyatakan
variabel intensi, norma subjektif, dan sikap sangat signifikan (tingkat signifikansi p <
Tabel 7
R-Square
Variabel R-Square
Intensi 0,5029
Norma Subjektif -
Sikap 0,4062
Jurnal Akuntansi dan Keuangan Indonesia, Juni 2016, Vol. 13, No. 1, hal 102 - 116 112
0,01). Sementara itu, pengaruh sikap terhadap ikut bersikap melakukan whistle-blowing.
intensi dinyatakan tidak signifikan (tingkat Tekanan sosial tersebut pun terbukti mampu
signifikansi p > 0,10). mendorong intensi atau niatan PNS untuk
melakukan whistle-blowing. Norma subjektif
Pengaruh Norma Subjektif dan Intensi PNS PNS memengaruhi 40,62% sikap PNS untuk
untuk Melakukan Whistle-Blowing melaporkan adanya pelanggaran. Adapun
Pengujian hipotesis ini mengacu pada norma subjektif dan sikap PNS secara
hasil evaluasi inner model. Berdasarkan bersamaan dapat memengaruhi 50,29% intensi
Tabel 8, diketahui bahwa pertama, nilai PNS untuk melakukan whistle-blowing.
korelasi norma subjektif terhadap sikap untuk
melakukan whistle-blowing menunjukkan Pengaruh Sikap terhadap Intensi PNS
nilai 0,637 dengan nilai p = 0,000 (p < 0,05) untuk Melakukan Whistle-Blowing
atau signifikan. Oleh karenanya, hipotesis H1a Tabel 8 menunjukkan bahwa nilai
gagal ditolak dan disimpulkan norma subjektif korelasi sikap terhadap intensi untuk melakukan
PNS berpengaruh positif terhadap sikap whistle-blowing menunjukkan nilai cukup
PNS untuk melaporkan pelanggaran. Hasil kecil 0,107 dengan nilai p = 0,113 (di atas p
pengujian hipotesis H1a konsisten dengan > 0,05) atau tidak signifikan. Oleh karenanya,
penelitian Trongmateerut dan Sweeney (2012) hipotesis H1c ditolak dan disimpulkan bahwa
yang menyatakan bahwa norma subjektif sikap PNS untuk melaporkan pelanggaran
berpengaruh positif terhadap sikap seseorang. tidak memberikan pengaruh positif yang
Kedua, nilai korelasi norma subjektif kuat terhadap intensi PNS untuk melakukan
terhadap intensi untuk melakukan whistle- whistle-blowing. Hasil pengujian hipotesis ini
blowing menunjukkan nilai 0,636 dengan nilai tidak konsisten dengan Teori Reasoned Action
p = 0,000 (p < 0,05) atau signifikan. Hasil dan penelitian sebelumnya oleh Goldenberg
ini menunjukkan bahwa hipotesis H1b gagal dan Laschinger (1991), Park (2000), dan
ditolak dan disimpulkan bahwa norma subjektif Trongmateerut dan Sweeney (2012). Hal ini
PNS berpengaruh positif terhadap intensi tercermin dari jawaban para responden yang
PNS untuk melakukan whistle-blowing. Hasil menyatakan persetujuan untuk nilai sikap PNS
pengujian hipotesis H1b konsisten dengan Teori mengadukan pelanggaran sebesar 1,70-1,78
Reasoned Action yang dikemukakan Fishbein atau “sangat setuju”. Namun, persetujuan untuk
dan Ajzen (1981), dan konsisten juga dengan intensi PNS mengadukan pelanggaran menurun
penelitian sebelumnya seperti Goldenberg menjadi sekitar 2,40-2,67 atau “kurang sangat
dan Laschinger (1991), Park (2000), dan setuju”. Sehubungan 50,28% bagian intensi
Trongmateerut dan Sweeney (2012). PNS melakukan whistle-blowing dijelaskan
Hasil pengujian hipotesis H1a dan H1b oleh norma subjektif dan sikap, maka dengan
dapat diinterpretasikan bahwa tekanan sosial hasil pengujian H1c diketahui bahwa faktor
yang dirasakan PNS (norma subjektif) untuk intensi lebih dominan dipengaruhi oleh faktor
melaporkan pelanggaran yang diketahuinya norma subjektif dibandingkan faktor sikap.
mampu mendorong faktor personal PNS
Tabel 8
Path Coefficients
Original Standard T Statistics
p-Value
Sample (O) Error (STERR) (|O/STERR|)
Norma Subjektif → Intensi 0,637 0,049 12,884 0,000
Norma Subjektif → Sikap 0,636 0,060 10,550 0,000
Sikap → Intensi 0,107 0,068 1,588 0,113
113 Jurnal Akuntansi dan Keuangan Indonesia, Juni 2016, Vol. 13, No. 1, hal 102 - 115
Tabel 9
Perbandingan Path Coefficients antara PNS RB dan NonRB
PNS RB PNS NonRB Selisih Keterangan
Norma Sub → Intensi 0,674 0,604 0,070 lebih besar PNS RB
Norma Sub → Sikap 0,612 0,680 -0,068 lebih besar PNS NonRB
Sikap → Intensi 0,078 0,155 -0,077 lebih besar PNS NonRB
Tabel 10
Two Independent Samples T Test
|p1-p2| t Hitung Nilai df p-Value
Norma Subjektif → Sikap 0,067 0,494 169 0,622
Norma Subjektif → Intensi 0,070 0,664 291 0,507
Sikap → Intensi 0,078 0,505 176 0,614
Keterangan:
p1 : koefisien path kelompok PNS NonRB
p2 : koefisien path kelompok PNS RB
Perbedaan Norma Subjektif, Sikap, dan Oleh karenanya, hipotesis H2b ditolak dan
Intensi PNS untuk Melakukan Whistle- disimpulkan bahwa hubungan norma subjektif
Blowing pada Kementerian/Lembaga yang terhadap intensi untuk melakukan whistle-
Sudah dan Belum Reformasi Birokrasi blowing pada PNS di kementerian/lembaga
Pengujian hipotesis bagian ini sudah reformasi birokrasi tidak berbeda
menggunakan analisis uji beda dua kelompok dengan PNS di kementerian/lembaga belum
melalui perhitungan manual dengan persamaan reformasi birokrasi.
two-independent-samples t-test. Perhitungan Ketiga, nilai t-statistik hitung
menggunakan hasil koefisien path yang sikap terhadap intensi menunjukkan nilai
diperoleh dari report SmartPLS. Pada Tabel 9 signifikansi 0,614 (atau p > 0,05) sehingga
disajikan perbandingan koefisien path antara tidak signifikan. Oleh karenanya, hipotesis
kelompok PNS RB dengan PNS NonRB. H2c ditolak dan disimpulkan bahwa hubungan
Kemudian, nilai selisih perbedaan sikap terhadap intensi untuk melakukan
tersebut dimasukkan ke dalam persamaan two whistle-blowing pada PNS di kementerian/
independent samples t test untuk diperoleh lembaga sudah reformasi birokrasi tidak
nilai t-statistik dan nilai signifikansinya. berbeda dengan PNS di kementerian/lembaga
Ikhtisar perhitungan hasil uji beda ditunjukkan belum reformasi birokrasi. Hasil pengujian
pada Tabel 10. hipotesis ini tidak konsisten dengan penjelasan
Berdasarkan Tabel 10, diketahui bahwa Dasgupta dan Kesharwani (2010) yang
pertama, nilai t-statistik hitung norma subjektif menyatakan bahwa tingkat kesejahteraan
terhadap sikap menunjukkan nilai signifikansi organisasi juga berpengaruh terhadap upaya
0,622 (atau p > 0,05) sehingga tidak signifikan. melakukan whistle-blowing. Organisasi yang
Oleh karenanya, hipotesis H2a ditolak dan tingkat kesejahteraannya lebih baik akan
disimpulkan bahwa hubungan norma subjektif memandang whistle-blowing sebagai hal yang
terhadap sikap untuk melakukan whistle- bermanfaat dan memiliki sumber daya untuk
blowing pada PNS di kementerian/lembaga melaksanakan investigasi atas pelanggaran
sudah reformasi birokrasi tidak berbeda yang terjadi.
dengan PNS di kementerian/lembaga belum
reformasi birokrasi. SIMPULAN
Kedua, nilai t-statistik hitung norma
subjektif terhadap intensi menunjukkan nilai Berdasarkan hasil pengujian, dapat
0,507 (atau p > 0,05) sehingga tidak signifikan. disimpulkan bahwa faktor norma subjektif
Jurnal Akuntansi dan Keuangan Indonesia, Juni 2016, Vol. 13, No. 1, hal 102 - 116 114
PNS berpengaruh positif terhadap sikap PNS atasannya, rekannya, atau bawahannya; dan
untuk melakukan whistle-blowing. Sesuai c) penghasilan yang diterima tidak sebanding
perhitungan, norma subjektif PNS mampu dengan beban kerjanya.
memengaruhi 40,62% sikap PNS untuk Penelitian ini menginvestigasi intensi
melakukan whistle-blowing. Kedua, faktor whistle-blowing dengan menggunakan dua
norma subjektif PNS berpengaruh positif variabel yaitu norma subjektif dan sikap.
terhadap intensi PNS untuk melakukan whistle- Sesuai perhitungan R-square, faktor norma
blowing. Ketiga, faktor sikap PNS untuk subjektif dapat memengaruhi faktor sikap
melakukan whistle-blowing tidak memberikan sebesar 40,62%. Sementara itu, norma
pengaruh positif yang kuat terhadap intensi subjektif dan sikap secara bersamaan hanya
PNS untuk melakukan whistle-blowing. Sesuai memengaruhi faktor intensi whistle-blowing
perhitungan, norma subjektif dan sikap PNS sebesar 50,29%. Keterbatasan penelitian ini
mampu memengaruhi 50,29% intensi PNS ialah ketidakmampuan menjelaskan faktor
untuk melakukan whistle-blowing, walaupun lain yang dapat memengaruhi sikap dan intensi
lebih didominasi oleh faktor norma subjektif. whistle-blowing. Saran untuk pengembangan
Selanjutnya, hubungan dari a) norma penelitian berikutnya adalah dengan
subjektif terhadap sikap, b) norma subjektif menggunakan pendekatan teori lain untuk
terhadap intensi, dan c) sikap terhadap meneliti intensi whistle-blowing, misalnya
intensi untuk melakukan whistle-blowing menggunakan Teori Planned Behavior. Teori
pada PNS di kementerian/lembaga sudah ini merupakan pengembangan Teori Reasoned
reformasi birokrasi tidak berbeda dengan Action yang diantaranya menambah satu
PNS di kementerian/lembaga belum reformasi variabel yang dapat memengaruhi intensi dan
birokrasi. perilaku yaitu perceived behavioral control
Analisis dugaan penyebab tidak kuatnya (persepsi kontrol perilaku).
faktor sikap PNS untuk mendorong intensi
whistle-blowing adalah karena para PNS
tidak siap menerima risiko atau konsekuensi DAFTAR PUSTAKA
dari whistle-blowing sebagaimana yang
dikemukakan oleh Dasgupta dan Kesharwani Association of Certified Fraud Examiners
(2010) diantaranya: tidak yakin mampu (ACFE). 2008. Report to the Nations on
menanggung biaya keuangan dan situasi mental Occupational Fraud and Abuse. Austin,
atas konsekuensi whistle-blowing oleh dirinya; TX: Association of Certified Fraud
tidak yakin memperoleh dukungan mental dan Examiners.
finansial; dan tidak yakin instansinya memberi Association of Certified Fraud Examiners
sanksi kepada pelaku pelanggaran. Bahkan, (ACFE). 2014. Report to the Nations on
ada risiko kontraproduktif, misalnya ada upaya Occupational Fraud and Abuse. Austin,
instansi membungkam whistle-blower. TX: Association of Certified Fraud
Adapun dugaan penyebab ketiadaan Examiners.
perbedaan signifikan antara dua kelompok Boeree, C. G. 2006. Personality Theory:
PNS yaitu adanya demotivasi para PNS untuk Abraham Maslow. Diunduh tanggal 30
mendukung mekanisme whistle-blowing April 2016, http://webspace.ship.edu/
system (Herzberg’s Motivation-Hygiene cgboer/maslow.html.
Theory sebagaimana dikutip Kondalkar Cervone, D. and L. A. Pervin. 2013.
(2007)). Hal ini dapat terjadi karena para PNS Personality: Theory and Research 12th.
merasa: a) kebijakan kementerian/lembaga New Jersey: John Wiley and Sons, Inc.
belum mendukung mekanisme whistle- Curtis, M. B. and E. Z. Taylor. 2009.
blowing system; b) segan atau tidak enak Whistleblowing in Public Accounting:
melaporkan pelanggaran jika pelaku ialah Influence of Identity Disclosure,
Situational Context, and Personal
115 Jurnal Akuntansi dan Keuangan Indonesia, Juni 2016, Vol. 13, No. 1, hal 102 - 115