Anda di halaman 1dari 15

Jurnal Akuntansi dan Keuangan Indonesia, Juni 2016, Vol. 13, No.

1, hal 102 - 116 102

Jurnal Akuntansi dan Keuangan Indonesia


Volume 13 Nomor 1, Juni 2016

SIKAP, NORMA SUBJEKTIF, DAN INTENSI PEGAWAI NEGERI SIPIL


UNTUK MENGADUKAN PELANGGARAN (WHISTLE-BLOWING)
(Attitude, Subjective Norms, and Intentions of Civil Servants to Blow the Whistle on Frauds)

Erwan Suryono
Badan Pemeriksa Keuangan
erwan.suryono@ojk.go.id

Anis Chariri
Universitas Diponegoro
anis_chariri@live.undip.ac.id

Abstract

This study aims to investigate factors that influence civil servants to whistle-blow fraud. It also
investigates the effect of government’s bureaucracy reforming program on the civil servants’
intention to whistle-blow fraud. By employing the theory of reasoned action, this study included
variables of subjective norms, attitudes, and whistle-blowing intentions. This study used primary
data gathered from questionnaires of 293 respondents. Respondents were civil servants in the
ministries/agencies that have and have not implemented bureaucratic reforms. The findings of this
study indicated that subjective norms positively affected the attitudes and intentions of civil servants
to report the wrongdoings. However, the attitudes had no significant effect on civil servants’ whistle-
blowing intentions. In addition, there are no significant differences on subjective norms, attitudes,
and whistle-blowing intentions between civil servants in ministries/agencies that have implemented
bureaucratic reforms and civil servants in ministries/agencies that have not implement bureaucratic
reforms.

Keywords: theory of reasoned action, whistle-blowing, civil servants, bureaucratic reform

Abstrak

Penelitian ini dimaksudkan untuk menginvestigasi faktor-faktor yang memengaruhi PNS untuk
melakukan whistle-blowing atas kecurangan. Selain itu, penelitian ini menguji pengaruh program
reformasi birokrasi pemerintah pada niat PNS untuk melakukan whistle-blowing. Dengan
menggunakan teori reasoned action, studi ini memasukkan variabel norma subjektif, sikap, dan
niat whistle-blowing sebagai variabel penelitian. Penelitian ini menggunakan data primer yang
dikumpulkan dari kuesioner yang melibatkan 293 responden. Responden merupakan PNS di
kementerian/lembaga yang telah dan belum menerapkan reformasi birokrasi. Temuan penelitian
ini mengindikasikan bahwa norma subjektif berpengaruh positif pada sikap dan niat PNS untuk
melaporkan kecurangan. Namun, sikap tidak memiliki pengaruh signifikan pada niat PNS untuk
melakukan whistle-blowing. Selain itu, tidak ada perbedaan signifikan pada norma-norma subjektif,
sikap, dan niat whistle-blowing antara PNS di kementerian/lembaga yang telah menerapkan reformasi
birokrasi dan PNS di kementerian/lembaga yang belum menerapkan reformasi birokrasi.

Kata kunci: teori reasoned action, whistle-blowing, pegawai negeri sipil, reformasi birokrasi
103 Jurnal Akuntansi dan Keuangan Indonesia, Juni 2016, Vol. 13, No. 1, hal 102 - 115

PENDAHULUAN seseorang yang melaporkan perbuatan yang


berindikasi tindak pidana korupsi yang terjadi
Indonesia masih dipersepsikan sebagai di dalam organisasi tempatnya bekerja, atau
negara dengan tingkat korupsi tinggi, tidak pihak terkait lainnya yang memiliki akses
hanya oleh masyarakat dalam negeri, tetapi informasi yang memadai atas terjadinya
juga oleh masyarakat luar negeri. Hal ini indikasi tindak pidana korupsi tersebut (Permen
didasarkan pada laporan Corruption Perception PANRB Nomor 20 Tahun 2010). Langkah
Index (CPI) yang diterbitkan setiap tahun oleh pemerintah mengimplementasikan program
Transparency International (TI). Terakhir, whistle-blowing system selaras dengan hasil
nilai CPI Indonesia pada 2013 sebesar 3,2 dari studi dari ACFE (2008; 2014) bahwa upaya
skala 10, dengan peringkat nomor 114 dari mendeteksi awal kecurangan lebih efektif
177 negara sedunia. Praktik penyelenggaraan apabila entitas memanfaatkan whistle-blower.
negara yang koruptif berdampak negatif bagi Menjadi seorang whistle-blower
kesejahteraan masyarakat dan pembangunan memang penuh risiko diantaranya kehilangan
di Indonesia. Achjari dalam publikasi KPK jabatan atau pekerjaannya, menerima
menyebut dampak korupsi diantaranya ancaman keselamatan, atau dijauhi rekan-
memperlambat pertumbuhan ekonomi. rekan sekantor. Beberapa riset telah dilakukan
Menghadapi permasalahan tersebut, untuk menginvestigasi isu whistle-blowing
pemerintah menginisiasi program reformasi dan mengaitkannya dengan karakteristik
birokrasi dan memasukkan agenda reformasi individual (lihat misalnya Curtis dan Taylor
birokrasi dalam rencana pembangunan 2009; Robinson et al. 2011; Mowrey et al.
jangka panjang nasional tahun 2005- 2010; Seifert et al. 2010; Trongmateerut dan
2025 melalui Undang-Undang Nomor 17 Sweeney 2012; Yeoh 2014; Vadera et al.
Tahun 2007. Reformasi birokrasi bertujuan 2009; Maroun dan Solomon 2014; Dyck et
meningkatkan profesionalisme aparatur al. 2010). Ada tiga alasan yang mendorong
negara dan mewujudkan tata pemerintahan seseorang mau melakukan whistle-blowing
yang baik sehingga mendukung keberhasilan (Dasgupta dan Kesharwani 2010) (Dasgupta
pembangunan pemerintah. Proses reformasi and Kesharwani 2010. Pertama, perspektif
birokrasi pemerintah dimulai tahun 2008 altruistik seorang whistle-blower, yaitu
hingga sekarang. Peraturan Presiden Nomor adanya keinginan memperbaiki kesalahan
81 Tahun 2010 menyebutkan salah satu yang merugikan kepentingan organisasi, rekan
sasaran area perubahan yang harus diperbaiki kerja, dan masyarakat luas. Kedua, perspektif
dalam program reformasi birokrasi ialah motivasi dan psikologi, yaitu motivasi whistle-
penyelenggaraan pemerintahan yang bersih blower mendapat manfaat atas tindakannya.
dan bebas kolusi-korupsi-nepotisme (KKN). Ketiga, harapan penghargaan dimana
Sebagai perwujudannya, Kementerian organisasi kadang menawarkan hadiah bila
Pendayagunaan Aparatur Negara dan seseorang mengungkap tindakan pencurian
Reformasi Birokrasi (KemenPANRB) yang dilakukan karyawan.
mengharuskan kementerian atau lembaga Atas dasar argumen di atas, faktor-faktor
untuk mengimplementasikan whistle-blowing yang dapat memengaruhi pegawai negeri
system. sipil (PNS) untuk melakukan whistle-blowing
Whistle-blowing system adalah menjadi hal yang menarik untuk diteliti.
mekanisme penyampaian pengaduan dugaan Vadera et al. (2009) melakukan kajian menarik
tindak pidana korupsi yang telah terjadi atau tentang berbagai studi yang berkaitan dengan
akan terjadi yang melibatkan pegawai dan whistle-blowing. Mereka menemukan berbagai
orang lain yang berkaitan dengan dugaan inkonsistensi dari hasil penelitian yang telah
tindak pidana korupsi yang dilakukan di dalam dilakukan. Sementara itu, Gökçe (2013)
organisasi tempatnya bekerja. Sementara menemukan bahwa kesadaran etis menjadi
itu, pihak pengadu (whistle-blower) adalah faktor penentu seseorang berani melakukan
Jurnal Akuntansi dan Keuangan Indonesia, Juni 2016, Vol. 13, No. 1, hal 102 - 116 104

whistle-blowing. Berdasarkan inkonsistensi berasumsi bahwa hampir seluruh perilaku


hasil studi sebelumnya, penelitian ini dilakukan orang yang terkait dengan tindakan sosial
dengan dua tujuan utama yaitu: menginvestigasi di bawah kontrol kehendak orang tersebut.
faktor yang memengaruhi perilaku PNS untuk Perilaku seseorang ditentukan oleh intensinya.
melakukan whistle-blowing dan memperoleh Sementara itu, intensi merupakan fungsi dari
bukti empiris pengaruh program reformasi dua faktor penentu, yaitu sifat kepribadian
birokrasi pemerintah terhadap intensi perilaku seseorang (yang disebut sikap) dan pengaruh
PNS untuk melakukan whistle-blowing. sosial (yang disebut norma subjektif). Sikap
Penelitian ini setidaknya memberikan berkaitan dengan penilaian seseorang, baik
dua kontribusi utama yang jarang ditemukan positif maupun negatif, dalam melakukan suatu
pada penelitian sejenis yang ada di Indonesia. tindakan perilaku. Norma subjektif diartikan
Pertama, penelitian ini merupakan salah satu sebagai persepsi seseorang atas tekanan sosial
upaya untuk menunjukkan perkembangan yang dirasakannya untuk melakukan (atau
penelitian yang berkaitan dengan whistle- tidak melakukan) perilaku tertentu. Kerangka
blowing di Indonesia. Kedua, penelitian ini juga Teori Reasoned Action dapat dilihat pada
memberikan bukti empiris tentang bagaimana Gambar 1.
karakteristik individu dapat memengaruhi niat
Sikap seseorang ditentukan oleh
seseorang dalam melakukan whistle-blowing.
keyakinan yang kuat atas suatu perilaku untuk
Kedua hal ini rasanya tidak mudah ditemukan
mencapai hasil yang berharga baik positif atau
pada penelitian terdahulu di Indonesia.
negatif (Vallerand et al. 1992). Secara umum,
seseorang akan melakukan suatu perilaku
TELAAH LITERATUR
tertentu yang diyakini dapat memberikan
DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS
hasil positif (sikap yang menguntungkan),
Untuk menganalisis faktor yang dapat dibandingkan melakukan perilaku yang
mendorong seseorang melakukan whistle- diyakini dapat memberikan hasil negatif (sikap
blowing, penelitian ini menggunakan yang tidak menguntungkan). Keyakinan yang
pendekatan Teori Reasoned Action (TRA). mendasari sikap seseorang disebut keyakinan
Menurut Fishbein dan Ajzen (1981), teori ini perilaku. Faktor kedua yang menentukan sikap

Gambar 1
Kerangka Teori Reasoned Action
Sumber: Vallerand et al. (1992)
105 Jurnal Akuntansi dan Keuangan Indonesia, Juni 2016, Vol. 13, No. 1, hal 102 - 115

adalah evaluasi hasil, yaitu pertimbangan moral. Penelitian selanjutnya oleh Park (2000)
pribadi bahwa konsekuensi atas perilaku menemukan adanya hubungan antara sikap
yang diambil itu disukai atau tidak disukai. dengan norma subjektif.
Konsekuensi yang disukai atas tindakan Dalam konteks whistle-blowing, sesuai
perilaku tertentu cenderung meningkatkan penjelasan Teori Reasoned Action (Fishbein
intensi seseorang untuk melakukan perilaku dan Ajzen 1975; Fishbein dan Ajzen 1981)
tersebut (Trongmateerut dan Sweeney 2012). dan pandangan Vallerand et al. (1992), bahwa
Norma subjektif diasumsikan sebagai tindakan whistle-blowing disebabkan adanya
fungsi dari suatu keyakinan, yaitu keyakinan niatan atau intensi yang dirasakan dalam
seseorang atas orang lain atau sekelompok dirinya, yang disebut intensi whistle-blowing.
orang lain yang memandang bahwa dirinya Intensi whistle-blowing dibentuk oleh norma
harus melakukan (atau tidak melakukan) suatu subjektif individu. Orang memiliki keyakinan
tindakan perilaku (Vallerand et al. 1992). normatif atas orang-orang yang menjadi
Keyakinan yang mendasari norma subjektif panutan atau referensi bagi dirinya. Apabila
ini disebut dengan keyakinan normatif. Faktor orang berpersepsi bahwa seseorang atau
kedua yang menentukan norma subjektif kelompok orang yang menjadi panutannya
adalah adanya motivasi mematuhi. Dengan menganggap whistle-blowing itu perbuatan
kata lain, seseorang merasakan tekanan yang baik dan bermanfaat, maka orang tersebut
sosial pada dirinya ketika memutuskan untuk berusaha mematuhinya (Trongmateerut dan
Sweeney 2012) dan sebaliknya. Apabila proses
melakukan suatu perilaku.
tersebut berakhir positif, maka norma subjektif
Pengaruh Norma Subjektif terhadap Intensi dapat menguatkan intensi whistle-blowing
PNS untuk Melakukan Whistle-Blowing dalam dirinya. Dengan demikian, semakin
Fishbein dan Ajzen (1975) dalam Teori kuat faktor sikap dan norma subjektif terhadap
Reasoned Action mengemukakan bahwa proses penilaian positif tentang whistle-
perilaku seseorang dipengaruhi oleh intensi blowing, maka semakin kuat intensinya, dan
untuk melakukan perilaku tersebut, sedangkan semakin kuat realisasinya melakukan whistle-
intensi itu dipengaruhi norma subjektif orang blowing (Curtis dan Taylor 2009; Robinson et
tersebut. Norma subjektif merupakan faktor al. 2011). Trongmateerut dan Sweeney (2012)
sosial seseorang dalam bentuk persepsi subjektif melakukan penelitian di Amerika Serikat dan
atas pendapat orang-orang yang menjadi Thailand. Hasil penelitiannya menunjukkan
teladan atau panutannya. Orang cenderung bahwa intensi melakukan whistle-blowing
akan mematuhi pendapat orang yang menjadi dipengaruhi oleh sikap dan norma subjektif
panutannya. Apabila yang dipersepsikan ialah seseorang terkait perbuatan whistle-blowing.
panutannya akan melakukan perilaku yang Selain itu, diketahui pula bahwa sikap
dipikirkan, maka orang tersebut memiliki melakukan whistle-blowing dapat dipengaruhi
intensi kuat untuk melakukan perilaku yang oleh norma subjektif terhadap upaya whistle-
dipikirkannya. Goldenberg dan Laschinger blowing. Dengan demikian, hipotesis
(1991) telah menguji teori tersebut pada dirumuskan sebagai berikut:
penelitian perilaku orang merawat pasien H1a: Norma subjektif memiliki pengaruh
AIDS dan menemukan hasil yang konsisten positif terhadap sikap pegawai
dengan teori bahwa sikap dan norma subjektif negeri sipil untuk melakukan whistle-
berpengaruh signifikan terhadap intensi untuk blowing.
merawat pasien AIDS. Vallerand et al. (1992) H1b: Norma subjektif memiliki pengaruh
juga menguji teori tersebut pada perilaku positif terhadap intensi pegawai
moral dan menemukan bahwa baik faktor negeri sipil untuk melakukan whistle-
personal (sikap) maupun faktor sosial (norma blowing.
subjektif) berpengaruh terhadap perilaku
Jurnal Akuntansi dan Keuangan Indonesia, Juni 2016, Vol. 13, No. 1, hal 102 - 116 106

Pengaruh Sikap terhadap Intensi PNS Perbedaan Norma Subjektif, Sikap, dan
untuk Melakukan Whistle-Blowing Intensi PNS untuk Melakukan Whistle-
Teori Reasoned Action menyatakan Blowing pada Kementerian/Lembaga yang
bahwa sikap adalah bagian penting dari Sudah dan Belum Reformasi Birokrasi
individu yang dapat memengaruhi intensi Kondalkar (2007) menjelaskan teori
seseorang untuk melakukan sesuatu (Fishbein hierarki kebutuhan Maslow bahwa kebutuhan
dan Ajzen 1975). Sikap ini merupakan manusia ada lima yaitu fisiologis, keselamatan/
faktor personal seseorang yaitu adanya keamanan, hubungan sosial, penghargaan,
keyakinan bahwa perilaku yang dipikirkannya dan aktualisasi diri. Kebutuhan manusia
memiliki dampak yang menguntungkan paling dasar ialah fisiologis dan kebutuhan
atau merugikan dirinya. Kemudian, terjadi manusia yang paling tinggi adalah kebutuhan
proses pertimbangan evaluasi atau penilaian aktualisasi diri. Kebutuhan aktualisasi
konsekuensi yang dihasilkan dari perilaku diri berupa kebutuhan pencapaian terbaik
tersebut. Apabila penilaian tersebut positif, yang ingin diupayakan seseorang. Orang
maka orang akan cenderung memiliki intensi menetapkan tujuan hidup yang lebih tinggi dan
melakukan perilaku yang dipikirkannya. berupaya mencapainya dengan memanfaatkan
Beberapa riset menemukan bahwa sikap potensi diri semaksimal mungkin. Cervone
seseorang berpengaruh terhadap perilaku dan Pervin (2013) serta Boeree (2006)
moral (Goldenberg dan Laschinger 1991; menambahkan bahwa kebutuhan aktualisasi
Vallerand et al. 1992). Perilaku whistle- diri membutuhkan lebih dari sekedar bahagia
blowing merupakan tindakan seseorang untuk dalam kehidupannya, misalnya kebenaran,
melaporkan adanya pelanggaran/kecurangan kebaikan, keadilan, dan ketertiban. Aktualisasi
(fraud) yang diketahuinya kepada pihak diri seorang individu dapat direfleksikan
berwenang. Oleh karena itu, intensi whistle- dalam kehidupan berorganisasi dan dinamika
blowing didorong sikap individu tersebut perubahannya, termasuk dalam reformasi
terhadap whistle-blowing. Curtis dan Taylor birokrasi.
(2009) menemukan bahwa sikap melakukan Lingkungan kementerian/lembaga yang
whistle-blowing terjadi karena kecurangan sudah melaksanakan reformasi birokrasi
diyakini melanggar moralitas. Sebaliknya, memiliki tingkat kesejahteraan dan budaya
individu cenderung mengurungkan intensi kerja lebih baik dibandingkan kementerian/
melakukan whistle-blowing apabila pelaku lembaga yang belum melaksanakan reformasi
kecurangan mewaspadai orang-orang yang birokrasi (Gie 2013). Berdasarkan teori hierarki
berpotensi dapat mengadukan pelanggarannya kebutuhan maslow, PNS pada kementerian/
(Robinson et al. 2011). Riset lain menunjukkan lembaga yang sudah melaksanakan reformasi
bahwa intensi melakukan whistle-blowing birokrasi diyakini memiliki kebutuhan
dipengaruhi oleh sikap seseorang terkait aktualisasi diri yang lebih baik misalnya
perbuatan whistle-blowing (Trongmateerut kebutuhan terciptanya ketertiban administrasi
dan Sweeney 2012). Oleh karena itu, semakin dan bersih dari KKN.
tinggi sikap positif atas whistle-blowing yang Dasgupta dan Kesharwani (2010)
dimiliki sesorang, semakin tinggi intensi untuk menjelaskan bahwa tingkat kesejahteraan
melakukan whistle-blowing. Dengan demikian, organisasi juga berpengaruh terhadap upaya
hipotesis dirumuskan sebagai berikut: melakukan whistle-blowing. Organisasi yang
H1c: Sikap terhadap whistle-blowing secara tingkat kesejahteraannya lebih baik akan
positif memengaruhi intensi pegawai memandang whistle-blowing sebagai hal yang
negeri sipil untuk melakukan whistle- bermanfaat dan memiliki sumber daya untuk
blowing. melaksanakan investigasi atas pelanggaran
yang terjadi. Sebaliknya, organisasi yang
tingkat kesejahteraannya kurang baik,
memandang whistle-blowing sebagai hal yang
107 Jurnal Akuntansi dan Keuangan Indonesia, Juni 2016, Vol. 13, No. 1, hal 102 - 115

mengancam organisasi sehingga cenderung menggunakan instrumen kuesioner tersebut


memusuhi upaya whistle-blowing. Meminjam sehingga sebelum disebar ke responden,
pandangan Goldenberg dan Laschinger kuesioner diujicobakan dulu dan ditemukan
(1991), Vallerand et al. (1992), serta Gie bahwa semua item pertanyaan adalah reliabel
(2003), PNS pada kementerian/lembaga yang dan valid. Oleh karena itu, semua pertanyaan
sudah melakukan reformasi birokrasi diyakini tersebut dapat digunakan dalam penelitian
memiliki tingkat norma subjektif, sikap, dan ini. Jawaban pertanyaan dinilai dengan skala
intensi melakukan whistle-blowing yang lebih interval dengan skala tujuh poin yaitu 1
tinggi dibandingkan PNS yang bekerja di (sangat setuju) hingga 7 (sangat tidak setuju).
kementerian/lembaga yang belum melakukan Pertanyaan yang digunakan yaitu:
reformasi birokrasi. Dengan demikian, 1. Norma Subjektif
hipotesis dirumuskan sebagai berikut: a. Rekan-rekan kerja menyetujui keputusan
H2a: Norma subjektif pegawai negeri sipil mengadukan pelanggaran ke inspektorat.
untuk melakukan whistle-blowing (NS 1)
memiliki pengaruh lebih kuat b. Sebagian besar orang-orang yang saya
terhadap sikap melakukan whistle- pandang penting, akan berpendapat
blowing pada kementerian/lembaga harus mengungkap pelanggaran. (NS 2)
yang sudah reformasi birokrasi. c. Sebagian besar orang-orang yang
H2b: Norma subjektif pegawai negeri sipil pendapatnya saya hargai atau teladani,
untuk melakukan whistle-blowing akan setuju adanya pengaduan
memiliki pengaruh lebih kuat pelanggaran. (NS 3)
terhadap intensi untuk melakukan d. Ketika orang-orang yang saya pandang
whistle-blowing pada kementerian/ penting dalam hidup saya melihat adanya
lembaga yang sudah reformasi pelanggaran, mereka akan mengadukan
birokrasi. pelaku pelanggaran. (NS 4)
H2c: Sikap pegawai negeri sipil untuk e. Orang-orang yang dekat dengan
melakukan whistle-blowing memiliki saya, dan pendapatnya saya hargai,
pengaruh lebih kuat terhadap intensi akan menyetujui adanya pengaduan
untuk melakukan whistle-blowing pelanggaran. (NS 5)
pada kementerian/lembaga yang 2. Sikap
sudah reformasi birokrasi. a. Apakah pengaduan pelanggaran atau
whistle-blowing dirasa penting untuk
METODE PENELITIAN menghentikan perilaku tidak etis dalam
organisasi? (SI 1)
Variabel Penelitian b. Apakah pengaduan pelanggaran
atau whistle-blowing berguna untuk
Penelitian ini menggunakan tiga mencegah pelanggaran? (SI 2)
variabel yaitu: 1) norma subjektif, 2) sikap, 3. Intensi
dan 3) intensi melakukan whistle-blowing. a. Jika saya mengalami dilema konflik
Pengukuran variabel ini mengacu pada kepentingan ketika menemukan
penelitian Trongmateerut dan Sweeney (2012) kecurangan, saya akan mengadukan
yang menggunakan 10 pertanyaan kepada pelanggaran tersebut. (IN 1)
responden. Agar pertanyaan tersebut sesuai b. Jika saya menemukan pelanggaran di
dengan konteks organisasi pemerintahan tempat kerja, saya akan mengadukan
di Indonesia, maka kuesioner tersebut pelanggaran itu ke pihak berwenang
diterjemahkan dan disesuaikan dengan istilah dalam organisasi. (IN 2)
di pemerintahan (misalnya internal auditor c. Jika saya menemukan bukti pelanggaran
diganti dengan istilah inspektorat). Selama yang menyebabkan saya menghadapi
ini, belum ada penelitian di Indonesia yang dilema konflik kepentingan, saya tidak
Jurnal Akuntansi dan Keuangan Indonesia, Juni 2016, Vol. 13, No. 1, hal 102 - 116 108

akan menghindari/mengabaikan bukti konteks penelitian ini, jumlah pegawai pada


pelanggaran tersebut. (IN 3) kementerian/lembaga diyakini lebih dari
1.000.000 sehingga sesuai dengan Tabel
Penentuan Sampel
Krejcie dan Morgan (1970), sampel yang
Populasi dalam penelitian ini adalah
diperlukan adalah sekitar 384.
seluruh pegawai negeri sipil yang bekerja pada
kementerian dan lembaga negara pemerintah Metode Analisis
pusat. Pengambilan sampel dilakukan Analisis data untuk menguji hipotesis
dengan menggunakan pengambilan sampel dilakukan dua tahap. Pada tahap pertama,
kluster, yaitu pemilihan sampel terhadap pengujian hipotesis H1a, H1b, dan H1c dilakukan
kelompok-kelompok anggota populasi yang dengan teknik Partial Least Squares (PLS).
secara ideal memiliki heterogenitas di antara PLS adalah teknik statistika multivariat yang
anggota dalam kelompok tersebut (Sekaran melakukan pembandingan antara variabel
2011). Kluster pertama adalah kementerian/ dependen berganda dan variabel independen
lembaga yang sudah melakukan reformasi berganda. Wold (1985) dalam Ghozali (2008)
birokrasi. Kluster kedua adalah kementerian/ menjelaskan bahwa PLS merupakan metode
lembaga yang belum melakukan reformasi analisis yang powerful karena tidak didasarkan
birokrasi. Penentuan jumlah sampel dihitung banyak asumsi statistik.
berdasarkan tabel perhitungan jumlah sampel Pada tahap kedua, pengujian hipotesis
yang dikembangkan oleh Krejcie dan Morgan H2a, H2b, dan H2c dilakukan dengan analisis
(1970). Menurut Krejcie dan Morgan (1970), multigrup. Hair et al. (2013) menjelaskan
ketika jumlah populasi tidak diketahui bahwa analisis multigrup dilakukan melalui
dengan pasti namun range jumlah populasi perhitungan dengan persamaan two-
dapat diestimasi, maka jumlah sampel yang independent-samples t-test yang dimodifikasi
diperlukan dapat ditentukan berdasarkan oleh Keil et al. (2000). Persamaannya dapat
tabel yang mereka kembangkan. Dalam dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1
Persamaan Two-Independent-Samples t-Test
Kriteria Rumus Persamaan

Jika standar error sama

Jika standar error tidak sama

Sumber: Hair et al (2013).


Keterangan:
t : nilai t-statistik
p1, p2 : nilai koefisien path kelompok 1 dan kelompok 2 yang dibandingkan
n1, n2 : jumlah data observasi kelompok 1 dan kelompok 2
se1, se2 : nilai standard error kelompok 1 dan kelompok 2
df : degree of freedom atau derajat kebebasan
109 Jurnal Akuntansi dan Keuangan Indonesia, Juni 2016, Vol. 13, No. 1, hal 102 - 115

HASIL PENELITIAN birokrasi sejumlah 235 buah, selebihnya 187


DAN PEMBAHASAN didistribusikan kepada PNS di kementerian/
lembaga yang belum reformasi birokrasi.
Deskripsi Sampel Penelitian Kuesioner yang diterima kembali 303 buah,
K u e sioner yang didistribusika n tetapi 10 buah kuesioner tidak lengkap diisi
sebanyak 422 buah, terdiri dari 195 buah sehingga kuesioner yang digunakan dalam
kuesioner online dan 227 buah kuesioner analisis sejumlah 293 buah. Rincian distribusi
cetak. Kuesioner didistribusikan kepada PNS kuesionernya dapat dilihat pada Tabel 2.
di kementerian/lembaga yang sudah reformasi

Tabel 2
Distribusi Kuesioner
Distribusi Diterima Digunakan
No. Uraian
NonRB RB NonRB RB NonRB RB
1 Kuesioner Cetak 127 100 110 91 105 86
2 Kuesioner Online 60 135 3 99 3 99
Jumlah 187 235 113 190 108 185
Keterangan:
NonRB : Kelompok PNS belum Reformasi Birokrasi (PNS NonRB)
RB : Kelompok PNS sudah Reformasi Birokrasi (PNS RB)

Tabel 3
Statistik Deskriptif
Indikator Kode Pertanyaan N Min Max Mean Std. Dev
Intensi 1 IN1 Jika saya mengalami dilema konflik kepentingan 293 1 7 2,67 1,703
ketika menemukan kecurangan, saya akan
mengadukan pelanggaran tersebut.
Intensi 2 IN2 Jika saya menemukan pelanggaran di tempat 293 1 7 2,42 1,473
kerja, saya akan mengadukan pelanggaran itu ke
pihak berwenang dalam organisasi.
Intensi 3 IN3 Jika saya menemukan bukti pelanggaran yang 293 1 7 2,40 1,441
menyebabkan saya menghadapi dilema konflik
kepentingan, saya tidak akan menghindari/
mengabaikan bukti pelanggaran tersebut.
Sikap 1 SI1 Apakah pengaduan pelanggaran atau whistle- 293 1 7 1,78 1,350
blowing dirasa penting untuk menghentikan
perilaku tidak etis dalam organisasi?
Sikap 2 SI2 Apakah pengaduan pelanggaran atau whistle- 293 1 7 1,70 1,160
blowing berguna untuk mencegah pelanggaran?
Nilai Subjektif NS1 Rekan-rekan kerja menyetujui keputusan 293 1 7 2,41 1,547
1 mengadukan pelanggaran ke inspektorat.
Nilai Subjektif NS2 Sebagian besar orang-orang yang saya pandang 293 1 7 2,33 1,455
2 penting, akan berpendapat harus mengungkap
pelanggaran.
Nilai Subjektif NS3 Sebagian besar orang-orang yang pendapatnya 293 1 7 2,12 1,394
3 saya hargai atau teladani, akan setuju adanya
pengaduan pelanggaran.
Nilai Subjektif NS4 Ketika orang-orang yang saya pandang penting 293 1 7 2,39 1,374
4 dalam hidup saya melihat adanya pelanggaran,
mereka akan mengadukan pelaku pelanggaran.
Nilai Subjektif NS5 Orang-orang yang dekat dengan saya, dan 293 1 7 2,28 1,398
5 pendapatnya saya hargai,akan menyetujui
adanya pengaduan pelanggaran.
Jurnal Akuntansi dan Keuangan Indonesia, Juni 2016, Vol. 13, No. 1, hal 102 - 116 110

Gambar 2
Diagram Path Penelitian

Deskripsi Variabel inner model. Evaluasi outer model meliputi


Statistik deskriptif atas 293 data uji validitas dan reliabilitas konstruk. Uji
disajikan pada Tabel 3. Pada tabel tersebut, validitas meliputi uji validitas konvergen dan
responden telah menjawab 10 pertanyaan uji validitas diskriminan. Validitas konvergen
dengan kisaran nilai antara 1 (sangat setuju) dinilai berdasarkan loading factor setiap
dan 7 (sangat tidak setuju). Rata-rata jawaban variabel indikator konstruk.
responden cenderung menjawab sangat setuju Validitas diskriminan dinilai berdasarkan
atas seluruh pertanyaan atau pernyataan dalam cross loading dan akar AVE (average variance
kuesioner (rata-rata jawaban mengarah antara extracted). Sementara itu, uji reliabilitas
nilai 1-3). berupa uji composite reliability. Untuk evaluasi
inner model, meliputi evaluasi nilai R-square
Pengujian Hipotesis
dan nilai t-statistik untuk mengetahui tingkat
Pengujian hipotesis tahap pertama ialah
signifikansi hubungan antarvariabel norma
melakukan analisis dengan teknik PLS. Pada
subjektif, sikap, dan intensi. Berdasarkan
tahap ini, dilakukan evaluasi model penelitian
hasil output SmartPLS 2.0, diagram path atas
yaitu evaluasi outer model dan evaluasi
model penelitian dapat dilihat pada Gambar
Tabel 4
Validitas Konvergen dan Validitas Diskriminan
Validitas Konvergen Validitas Diskriminan
Variabel
Loading Cross Loading
Indikator Keterangan
Factor Norma Subjektif Sikap Intensi
NS1 0,524 Diterima 0,524 0,254 0,626
NS2 0,831 Memenuhi 0,831 0,430 0,559
NS3 0,822 Memenuhi 0,822 0,541 0,469
NS4 0,859 Memenuhi 0,859 0,540 0,588
NS5 0,810 Memenuhi 0,810 0,657 0,507
SI1 0,940 Memenuhi 0,601 0,940 0,455
SI2 0,946 Memenuhi 0,600 0,946 0,510
IN1 0,686 Diterima 0,414 0,249 0,686
IN2 0,830 Memenuhi 0,673 0,486 0,830
IN3 0,623 Diterima 0,352 0,321 0,623
111 Jurnal Akuntansi dan Keuangan Indonesia, Juni 2016, Vol. 13, No. 1, hal 102 - 115

Tabel 5
Validitas Diskriminan: Akar AVE
Latent Variable Correlations
Variabel Akar AVE
Intensi Norma Subjektif Sikap
Intensi 0,718 1,000
Norma Subjektif 0,779 0,704 1,000
Sikap 0,943 0,513 0,637 1,000

Tabel 6
Uji Composite Reliability
Variabel Composite Reliability Keterangan
Intensi 0,759 Memenuhi
Norma Subjektif 0,883 Memenuhi
Sikap 0,941 Memenuhi
2. Berdasarkan nilai loading factor dan cross lebih tinggi dari 0,70 sehingga dinyatakan
loading factor, setiap indikator memiliki memenuhi uji reliabilitas.
nilai di atas 0,50 sehingga sepuluh indikator
Evaluasi Inner Model
variabel telah memenuhi validitas konvergen. Evaluasi inner model didasarkan pada
nilai R-square dan uji signifikansi koefisien
Evaluasi Outer Model path antarkonstruk pada model. Sesuai
Nilai loading factor dan cross loading dengan diagram path di Gambar 2, nilai
untuk uji validitas disajikan di Tabel 4 dan Tabel R-square model penelitian disajikan di Tabel
5. Metode untuk menguji validitas diskriminan 7 dan koefisien path disajikan di Tabel 8.
dapat dilihat dari uji akar AVE. Sesuai kriteria, Berdasarkan Tabel 7, pengaruh norma subjektif
akar AVE nilainya harus lebih tinggi daripada terhadap sikap memiliki nilai R-square sebesar
nilai korelasi konstruknya (Ghozali 2008). 0,4062. Hubungan ini menunjukkan bahwa
Pada Tabel 5 diketahui nilai akar AVE dari variabilitas konstruk sikap whistle-blowing
variabel intensi, norma subjektif, dan sikap dapat dijelaskan oleh variabilitas konstruk
lebih besar dibandingkan korelasinya. Dengan norma subjektif sebesar 40,62%, sedangkan
59,38% dijelaskan oleh variabel lain di luar
metode cross loading dan akar AVE, dapat
yang diteliti. Pengaruh norma subjektif dan
disimpulkan bahwa seluruh variabel indikator
sikap terhadap intensi memiliki nilai R-square
telah memenuhi validitas diskriminan. sebesar 0,5029. Artinya, variabilitas konstruk
Uji reliabilitas dengan metode composite intensi untuk whistle-blowing dapat dijelaskan
reliability mengharuskan kriteria lebih besar oleh variabilitas konstruk norma subjektif dan
dari 0,70. Hasil uji composite reliability dapat sikap sebesar 50,29%. Tabel 8 menunjukkan
dilihat pada Tabel 6. Berdasarkan Tabel 6, bahwa koefisien path untuk pengaruh norma
dapat disimpulkan nilai composite reliability subjektif terhadap intensi dan sikap dinyatakan
variabel intensi, norma subjektif, dan sikap sangat signifikan (tingkat signifikansi p <
Tabel 7
R-Square
Variabel R-Square
Intensi 0,5029
Norma Subjektif -
Sikap 0,4062
Jurnal Akuntansi dan Keuangan Indonesia, Juni 2016, Vol. 13, No. 1, hal 102 - 116 112

0,01). Sementara itu, pengaruh sikap terhadap ikut bersikap melakukan whistle-blowing.
intensi dinyatakan tidak signifikan (tingkat Tekanan sosial tersebut pun terbukti mampu
signifikansi p > 0,10). mendorong intensi atau niatan PNS untuk
melakukan whistle-blowing. Norma subjektif
Pengaruh Norma Subjektif dan Intensi PNS PNS memengaruhi 40,62% sikap PNS untuk
untuk Melakukan Whistle-Blowing melaporkan adanya pelanggaran. Adapun
Pengujian hipotesis ini mengacu pada norma subjektif dan sikap PNS secara
hasil evaluasi inner model. Berdasarkan bersamaan dapat memengaruhi 50,29% intensi
Tabel 8, diketahui bahwa pertama, nilai PNS untuk melakukan whistle-blowing.
korelasi norma subjektif terhadap sikap untuk
melakukan whistle-blowing menunjukkan Pengaruh Sikap terhadap Intensi PNS
nilai 0,637 dengan nilai p = 0,000 (p < 0,05) untuk Melakukan Whistle-Blowing
atau signifikan. Oleh karenanya, hipotesis H1a Tabel 8 menunjukkan bahwa nilai
gagal ditolak dan disimpulkan norma subjektif korelasi sikap terhadap intensi untuk melakukan
PNS berpengaruh positif terhadap sikap whistle-blowing menunjukkan nilai cukup
PNS untuk melaporkan pelanggaran. Hasil kecil 0,107 dengan nilai p = 0,113 (di atas p
pengujian hipotesis H1a konsisten dengan > 0,05) atau tidak signifikan. Oleh karenanya,
penelitian Trongmateerut dan Sweeney (2012) hipotesis H1c ditolak dan disimpulkan bahwa
yang menyatakan bahwa norma subjektif sikap PNS untuk melaporkan pelanggaran
berpengaruh positif terhadap sikap seseorang. tidak memberikan pengaruh positif yang
Kedua, nilai korelasi norma subjektif kuat terhadap intensi PNS untuk melakukan
terhadap intensi untuk melakukan whistle- whistle-blowing. Hasil pengujian hipotesis ini
blowing menunjukkan nilai 0,636 dengan nilai tidak konsisten dengan Teori Reasoned Action
p = 0,000 (p < 0,05) atau signifikan. Hasil dan penelitian sebelumnya oleh Goldenberg
ini menunjukkan bahwa hipotesis H1b gagal dan Laschinger (1991), Park (2000), dan
ditolak dan disimpulkan bahwa norma subjektif Trongmateerut dan Sweeney (2012). Hal ini
PNS berpengaruh positif terhadap intensi tercermin dari jawaban para responden yang
PNS untuk melakukan whistle-blowing. Hasil menyatakan persetujuan untuk nilai sikap PNS
pengujian hipotesis H1b konsisten dengan Teori mengadukan pelanggaran sebesar 1,70-1,78
Reasoned Action yang dikemukakan Fishbein atau “sangat setuju”. Namun, persetujuan untuk
dan Ajzen (1981), dan konsisten juga dengan intensi PNS mengadukan pelanggaran menurun
penelitian sebelumnya seperti Goldenberg menjadi sekitar 2,40-2,67 atau “kurang sangat
dan Laschinger (1991), Park (2000), dan setuju”. Sehubungan 50,28% bagian intensi
Trongmateerut dan Sweeney (2012). PNS melakukan whistle-blowing dijelaskan
Hasil pengujian hipotesis H1a dan H1b oleh norma subjektif dan sikap, maka dengan
dapat diinterpretasikan bahwa tekanan sosial hasil pengujian H1c diketahui bahwa faktor
yang dirasakan PNS (norma subjektif) untuk intensi lebih dominan dipengaruhi oleh faktor
melaporkan pelanggaran yang diketahuinya norma subjektif dibandingkan faktor sikap.
mampu mendorong faktor personal PNS

Tabel 8
Path Coefficients
Original Standard T Statistics
p-Value
Sample (O) Error (STERR) (|O/STERR|)
Norma Subjektif → Intensi 0,637 0,049 12,884 0,000
Norma Subjektif → Sikap 0,636 0,060 10,550 0,000
Sikap → Intensi 0,107 0,068 1,588 0,113
113 Jurnal Akuntansi dan Keuangan Indonesia, Juni 2016, Vol. 13, No. 1, hal 102 - 115

Tabel 9
Perbandingan Path Coefficients antara PNS RB dan NonRB
PNS RB PNS NonRB Selisih Keterangan
Norma Sub → Intensi 0,674 0,604 0,070 lebih besar PNS RB
Norma Sub → Sikap 0,612 0,680 -0,068 lebih besar PNS NonRB
Sikap → Intensi 0,078 0,155 -0,077 lebih besar PNS NonRB

Tabel 10
Two Independent Samples T Test
|p1-p2| t Hitung Nilai df p-Value
Norma Subjektif → Sikap 0,067 0,494 169 0,622
Norma Subjektif → Intensi 0,070 0,664 291 0,507
Sikap → Intensi 0,078 0,505 176 0,614
Keterangan:
p1 : koefisien path kelompok PNS NonRB
p2 : koefisien path kelompok PNS RB
Perbedaan Norma Subjektif, Sikap, dan Oleh karenanya, hipotesis H2b ditolak dan
Intensi PNS untuk Melakukan Whistle- disimpulkan bahwa hubungan norma subjektif
Blowing pada Kementerian/Lembaga yang terhadap intensi untuk melakukan whistle-
Sudah dan Belum Reformasi Birokrasi blowing pada PNS di kementerian/lembaga
Pengujian hipotesis bagian ini sudah reformasi birokrasi tidak berbeda
menggunakan analisis uji beda dua kelompok dengan PNS di kementerian/lembaga belum
melalui perhitungan manual dengan persamaan reformasi birokrasi.
two-independent-samples t-test. Perhitungan Ketiga, nilai t-statistik hitung
menggunakan hasil koefisien path yang sikap terhadap intensi menunjukkan nilai
diperoleh dari report SmartPLS. Pada Tabel 9 signifikansi 0,614 (atau p > 0,05) sehingga
disajikan perbandingan koefisien path antara tidak signifikan. Oleh karenanya, hipotesis
kelompok PNS RB dengan PNS NonRB. H2c ditolak dan disimpulkan bahwa hubungan
Kemudian, nilai selisih perbedaan sikap terhadap intensi untuk melakukan
tersebut dimasukkan ke dalam persamaan two whistle-blowing pada PNS di kementerian/
independent samples t test untuk diperoleh lembaga sudah reformasi birokrasi tidak
nilai t-statistik dan nilai signifikansinya. berbeda dengan PNS di kementerian/lembaga
Ikhtisar perhitungan hasil uji beda ditunjukkan belum reformasi birokrasi. Hasil pengujian
pada Tabel 10. hipotesis ini tidak konsisten dengan penjelasan
Berdasarkan Tabel 10, diketahui bahwa Dasgupta dan Kesharwani (2010) yang
pertama, nilai t-statistik hitung norma subjektif menyatakan bahwa tingkat kesejahteraan
terhadap sikap menunjukkan nilai signifikansi organisasi juga berpengaruh terhadap upaya
0,622 (atau p > 0,05) sehingga tidak signifikan. melakukan whistle-blowing. Organisasi yang
Oleh karenanya, hipotesis H2a ditolak dan tingkat kesejahteraannya lebih baik akan
disimpulkan bahwa hubungan norma subjektif memandang whistle-blowing sebagai hal yang
terhadap sikap untuk melakukan whistle- bermanfaat dan memiliki sumber daya untuk
blowing pada PNS di kementerian/lembaga melaksanakan investigasi atas pelanggaran
sudah reformasi birokrasi tidak berbeda yang terjadi.
dengan PNS di kementerian/lembaga belum
reformasi birokrasi. SIMPULAN
Kedua, nilai t-statistik hitung norma
subjektif terhadap intensi menunjukkan nilai Berdasarkan hasil pengujian, dapat
0,507 (atau p > 0,05) sehingga tidak signifikan. disimpulkan bahwa faktor norma subjektif
Jurnal Akuntansi dan Keuangan Indonesia, Juni 2016, Vol. 13, No. 1, hal 102 - 116 114

PNS berpengaruh positif terhadap sikap PNS atasannya, rekannya, atau bawahannya; dan
untuk melakukan whistle-blowing. Sesuai c) penghasilan yang diterima tidak sebanding
perhitungan, norma subjektif PNS mampu dengan beban kerjanya.
memengaruhi 40,62% sikap PNS untuk Penelitian ini menginvestigasi intensi
melakukan whistle-blowing. Kedua, faktor whistle-blowing dengan menggunakan dua
norma subjektif PNS berpengaruh positif variabel yaitu norma subjektif dan sikap.
terhadap intensi PNS untuk melakukan whistle- Sesuai perhitungan R-square, faktor norma
blowing. Ketiga, faktor sikap PNS untuk subjektif dapat memengaruhi faktor sikap
melakukan whistle-blowing tidak memberikan sebesar 40,62%. Sementara itu, norma
pengaruh positif yang kuat terhadap intensi subjektif dan sikap secara bersamaan hanya
PNS untuk melakukan whistle-blowing. Sesuai memengaruhi faktor intensi whistle-blowing
perhitungan, norma subjektif dan sikap PNS sebesar 50,29%. Keterbatasan penelitian ini
mampu memengaruhi 50,29% intensi PNS ialah ketidakmampuan menjelaskan faktor
untuk melakukan whistle-blowing, walaupun lain yang dapat memengaruhi sikap dan intensi
lebih didominasi oleh faktor norma subjektif. whistle-blowing. Saran untuk pengembangan
Selanjutnya, hubungan dari a) norma penelitian berikutnya adalah dengan
subjektif terhadap sikap, b) norma subjektif menggunakan pendekatan teori lain untuk
terhadap intensi, dan c) sikap terhadap meneliti intensi whistle-blowing, misalnya
intensi untuk melakukan whistle-blowing menggunakan Teori Planned Behavior. Teori
pada PNS di kementerian/lembaga sudah ini merupakan pengembangan Teori Reasoned
reformasi birokrasi tidak berbeda dengan Action yang diantaranya menambah satu
PNS di kementerian/lembaga belum reformasi variabel yang dapat memengaruhi intensi dan
birokrasi. perilaku yaitu perceived behavioral control
Analisis dugaan penyebab tidak kuatnya (persepsi kontrol perilaku).
faktor sikap PNS untuk mendorong intensi
whistle-blowing adalah karena para PNS
tidak siap menerima risiko atau konsekuensi DAFTAR PUSTAKA
dari whistle-blowing sebagaimana yang
dikemukakan oleh Dasgupta dan Kesharwani Association of Certified Fraud Examiners
(2010) diantaranya: tidak yakin mampu (ACFE). 2008. Report to the Nations on
menanggung biaya keuangan dan situasi mental Occupational Fraud and Abuse. Austin,
atas konsekuensi whistle-blowing oleh dirinya; TX: Association of Certified Fraud
tidak yakin memperoleh dukungan mental dan Examiners.
finansial; dan tidak yakin instansinya memberi Association of Certified Fraud Examiners
sanksi kepada pelaku pelanggaran. Bahkan, (ACFE). 2014. Report to the Nations on
ada risiko kontraproduktif, misalnya ada upaya Occupational Fraud and Abuse. Austin,
instansi membungkam whistle-blower. TX: Association of Certified Fraud
Adapun dugaan penyebab ketiadaan Examiners.
perbedaan signifikan antara dua kelompok Boeree, C. G. 2006. Personality Theory:
PNS yaitu adanya demotivasi para PNS untuk Abraham Maslow. Diunduh tanggal 30
mendukung mekanisme whistle-blowing April 2016, http://webspace.ship.edu/
system (Herzberg’s Motivation-Hygiene cgboer/maslow.html.
Theory sebagaimana dikutip Kondalkar Cervone, D. and L. A. Pervin. 2013.
(2007)). Hal ini dapat terjadi karena para PNS Personality: Theory and Research 12th.
merasa: a) kebijakan kementerian/lembaga New Jersey: John Wiley and Sons, Inc.
belum mendukung mekanisme whistle- Curtis, M. B. and E. Z. Taylor. 2009.
blowing system; b) segan atau tidak enak Whistleblowing in Public Accounting:
melaporkan pelanggaran jika pelaku ialah Influence of Identity Disclosure,
Situational Context, and Personal
115 Jurnal Akuntansi dan Keuangan Indonesia, Juni 2016, Vol. 13, No. 1, hal 102 - 115

Characteristics. Accounting and the Keil, M. et al. 2000. Across-Cultural Study


Public Interest, 9 (1), 191-220. on Escalation of Commitment Behavior
Dasgupta, S. and A. Kesharwani. 2010. in Software Projects. Management
Whistleblowing: A Survey of Literature. Information Systems Quarterly, 24 (2),
The IUP Journal of Corporate 299-325.
Governance, 9 (4), 57-70. Kondalkar, V. G. 2007. Organizational
Dyck, A., A. Morse, and L. Zingales. 2010. Behaviour. New Delhi: New Age
Who Blows the Whistle on Corporate International (P) Limited.
Fraud? The Journal of Finance, 65 (6), Krejcie, R. V. and D. W. Morgan. 1970.
2213-2253. Determining Sample Size for
Fishbein, M. and I. Ajzen. 1975. Belief, Attitude, Research Activities. Educational and
Intention, and Behavior: An Introduction Psychological Measurement, 30 (3),
to Theory and Research. Massachusetts: 607-610.
Addison-Wesley Publishing Company. Maroun, W. and J. Solomon. 2014. Whistle-
Fishbein, M. and I. Ajzen. 1981. Attitudes and Blowing by External Auditors: Seeking
Voting Behaviour: An Application of the Legitimacy for the South African Audit
Theory of Reasoned Action. In Progress Profession? Accounting Forum, 38 (2),
in Applied Social Psychology, edited 109-121.
by Geoffrey M. Stephenson and James Mowrey, M. E., L. S. Cash, and T. L. Dickens.
H. Davis, 1, 253-313. Chichester: John 2010. Does Sarbanes-Oxley Protect
Wiley & Sons. Whistleblowers? The Recent Experience
Ghozali, I. 2008. Structural Equation of Companies and Whistleblowing
Modeling: Metode Alternatif dengan Workers Under SOX. William & Mary
Partial Least Square (PLS) Edisi 2. Business Law Review, 1 (2), 431-449.
Semarang: Badan Penerbit Universitas Park, H. S. 2000. Relationships among
Diponegoro. Attitudes and Subjective Norms: Testing
Gie, K. K. 2013. Reformasi Birokrasi dalam the Theory of Reasoned Action across
Mengefektifkan Kinerja Pegawai Cultures. Communication Studies, 51
Pemerintahan. Artikel dipresentasikan (2), 162-175.
pada acara Workshop Gerakan Robinson, S. N., J. C. Robertson, and M. B.
Pemberantasan Korupsi, Jakarta, 5 Curtis. 2011. The Effects of Contextual
Agustus 2003. and Wrongdoing Attributes on
Gökçe, A. T. 2013. Whistle-Blowing Intentions Organizational Employees’ Whistle-
of Prospective Teachers: Education blowing Intentions Following Fraud.
Evidence. International Education Journal of Business Ethics, 106 (2), 213-
Studies, 6 (8), 112-123. 227.
Goldenberg, D. and H. Laschinger. 1991. Seifert, D. L., J. T. Sweeney, J. Joireman, and
Attitudes and Normative Beliefs of J. M. Thornton. 2010. The Influence of
Nursing Students as Predictors of Organizational Justice on Accountant
Intended Care Behaviors with AIDS Whistleblowing. Accounting, Organi-
Patients: A Test of the Ajzen-Fishbein zations and Society, 35 (7), 707-717.
Theory of Reasoned Action. The Journal Sekaran, U. 2011. Metodologi Penelitian
of Nursing Education, 30 (3), 119-126. untuk Bisnis (Terjemahan-Buku 2) Edisi
Hair, J. F., G. T. M. Hult, C. M. Ringle, and 4. Jakarta: Salemba Empat.
M. Sarstedt. 2013. A Primer on Partial Trongmateerut, P. and J. T. Sweeney. 2012.
Least Squares Structural Equaion The Influence of Subjective Norms on
Modeling (PLS-SEM). California: SAGE Whistle-Blowing: A Cross-Cultural
Publications, Inc. Investigation. Journal of Business
Ethics, 112 (3), 437-451.
Jurnal Akuntansi dan Keuangan Indonesia, Juni 2016, Vol. 13, No. 1, hal 102 - 116 116

Vadera, A. K., R. V. Aguilera, and B. B.


Caza. 2009. Making Sense of Whistle-
Blowing’s Antecedents: Learning
from Research on Identity and Ethics
Programs. Business Ethics Quarterly, 19
(4), 553-586.
Vallerand, R. J. et al. 1992. Ajzen and Fishbein’s
Theory of Reasoned Action as Applied
to Moral Behavior: A Confirmatory
Analysis. Journal of Personality and
Social Psychology, 62 (1), 98-109.
Yeoh, P. 2014. Enhancing Effectiveness of
Anti-Money Laundering Laws through
Whistleblowing. Journal of Money
Laundering Control, 17 (3), 327-342.

Anda mungkin juga menyukai