Anda di halaman 1dari 9

5

TINJAUAN PUSTAKA
Karakteristik Yodium
Yodium terdapat di tanah dan di laut dalam bentuk iodida. Tahun 1811
yodium ditemukan dalam ganggang laut oleh Bernard Courtois. Iodida berasal
dari kata iode yang dalam bahasa Yunani artinya berwarna ungu. Wilayah yang
paling memungkinkan untuk melepaskan yodium di permukaan bumi adalah
wilayah pegunungan. Oleh karena itu, defisiensi yodium lebih banyak terjadi
pada daerah pegunungan yang mempunyai curah kemasan hujan yang lebih
tinggi, sehingga yodium akan terbawa bersama aliran air menuju ke muara
terakhir yaitu laut (Picauly 2004).
Yodium di udara dikembalikan lagi ke tanah oleh air hujan dengan proses
yang sangat lambat dan konsentrasinya terbatas. Dengan demikian semua
tanaman hasil panen yang tumbuh di lahan ini akan mempunyai kandungan
yodium yang rendah (Hetzel et al 1996).
Fungsi Yodium
Yodium merupakan mineral yang termasuk unsur gizi esensial meskipun
jumlahnya sangat sedikit di dalam tubuh yaitu sekitar 20-30 µg. Oleh sebab itu
yodium sering disebut sebagai mineral mikro atau trace element. Walaupun
demikian, yodium sangat berfungsi dalam proses pertumbuhan, perkembangan,
dan kecerdasan otak manusia maupun hewan (Linder 1992 & Astawan 2003).
Yodium merupakan bagian integral dari kedua hormon tiroksin
triiodotironin (T3) dan tetraiodotironin (T4). Fungsi utama hormon-hormon ini
adalah mengatur pertumbuhan dan perkembangan. Hormon tiroid mengontrol
kecepatan tiap sel menggunakan oksigen. Dengan demikian hormon tiroid
mengontrol kecepatan pelepasan energi dari zat gizi yang menghasilkan energi.
Tiroksin dapat merangsang metabolisme sampai 30%. Disamping itu kedua
hormon ini mengatur suhu tubuh, reproduksi, pembentukan sel darah merah
serta fungsi otot dan saraf. Yodium berperan pula dalam perubahan karoten
menjadi bentuk aktif vitamin A; sintesis protein dan absorpsi karbohidrat dari
saluran cerna. Yodium berperan pula dalam sintesis kolesterol darah (Almatsier
2006).
Proses Metabolisme Yodium
Yodium yang masuk ke dalam tubuh akan melewati tahap pencernaan
sampai tahap ekskresi. Ganong (1989) menjelaskan bahwa yodium dalam bahan
makanan setelah dicerna akan diubah menjadi iodida, selanjutnya proses
6

penyerapan akan terjadi dengan cepat dalam waktu 3 sampai 6 menit. Sebagian
besar yodium yang telah diubah menjadi iodid diserap melalui usus kecil,
kemudian langsung dibawa menuju kelenjar tiroid, tetapi beberapa diantaranya
langsung masuk ke dalam saluran darah melalui dinding lambung.
Yodium bergabung dengan molekul tirosin dan membentuk tiroksin (T4)
dan triiodotironin (T3) di kelenjar tiroid. Hormon tersebut dikeluarkan ke dalam
saluran darah sesuai dengan kebutuhan dan permintaan tubuh. Komposisi T 4
sekitar 95% dari hormon tiroid dalam darah atau lebih besar dari T3. Dalam
kelenjar gondok, T4 dan T3 bergabung dengan sebuah molekul protein menjadi
tiroglobulin dan merupakan bentuk yodium yang siap untuk disimpan (Sauberlich
1999 & Linder 1992).
Selanjutnya T4 dan T3 mengalami metabolisme dalam hati dan dalam
kelenjar lainnya, sehingga dari sini dikeluarkan sekitar 60 µg ke dalam cairan
ekstra sel. Beberapa derivat hormon tiroid diekskresikan ke dalam empedu,
kemudian dikeluarkan ke dalam lumen usus. Dari sini sebagian mengalami
sirkulasi enterohepatik, yang lepas dari reabsorpsi akan diekskresikan bersama
feses hampir mencapai 20% µg/hr. Pembuangan yodium sebagian besar
dilakukan melalui ginjal, sedangkan dalam jumlah yang lebih kecil dikeluarkan
juga melalui usus dan keringat. Yodium yang tidak dapat diserap atau yang
berasal dari empedu akan dikeluarkan bersama feses (Winarno 1997 & Brody
1999).
Kecukupan Yodium
Konsumsi yodium sangat bervariasi di semua belahan dunia. Adapun
kecukupan yodium yang dianjurkan untuk orang Indonesia antara lain:
Tabel 1 Angka Kecukupan Gizi untuk Indonesia dan RDA
RDA (µg)
No. Kelompok Usia Kecukupan Indonesia (AKG)
(UNICEF/WHO/ICCIDD)
1 0-9 tahun 50-120 90-120
2 10-59 tahun 150 120-150
3 Wanita hamil 150 (+50) 220
4 Ibu menyusui 150 (+50) 290
Sumber: Risalah WNPG 2000 dan Food and Nutrition (FNB) Institute of Medicine
2001
Defisiensi yodium dapat terjadi pada saat penerimaan yodium kurang dari
50 µg/hr. Asupan yodium pada manusia berasal dari makanan dan minuman
yang berasal dari alam sekitarnya. Di Indonesia, sejak tahun 1780 telah
ditemukan prevalensi gondok yang cukup tinggi terutama didataran pulau Jawa
dan Sumatra (92.5%) serta daerah pegunungan lainnya. Hal ini disebabkan
7

karena makanan yang dikonsumsi masyarakat tersebut sangat tergantung dari


produksi makanan setempat yang tumbuh atau hidup pada kondisi tanah dengan
kadar yodium yang rendah (Brody 1999).
Gangguan Akibat Kurang Yodium
Kekurangan yodium yang mengakibatkan gondok telah diketahui sejak
lama (Djokomoeljanto 1974). Masalah berkurangnya yodium pada tanah
menimbulkan berkurangnya semua bentuk yodium dalam tanaman yang tumbuh.
Jadi kerusakan lingkungan akan membuat lingkungan yang kaya yodium menjadi
berkurang (Picauly 2004). Masalah GAKY timbul disebabkan penduduk yang
tinggal di wilayah dengan lapisan tanah berkadar yodium rendah yang
disebabkan banjir, hujan dan proses glasiasi. Gangguan akibat kurang yodium
(GAKY) disebabkan karena kurangnya yodium pada saat tumbuh kembang
manusia. Gangguan akibat kurang yodium terdiri dari gondok dalam berbagai
stadium, kretin endemik yang ditandai terutama oleh gangguan mental,
gangguan pendengaran, gangguan pertumbuhan pada anak dan orang dewasa.
Ibu hamil dengan kadar tiroksin rendah mempunyai risiko abortus dan kematian
bayi (Supariasa dkk 2002).
Sumber Yodium
Yodium dapat diperoleh dari berbagai jenis pangan dan kandungannya
berbeda-beda tergantung asal jenis pangan tersebut dihasilkan. Kandungan
yodium pada buah dan sayur tergantung pada jenis tanah; jaringan hewan serta
produk susu tergantung pada kandungan yodium dari pakan ternaknya;
sedangkan pangan asal laut diperoleh dari air laut (Djokomoeljanto 1993).
Seafood merupakan pangan sumber yodium alamiah yang cukup tinggi.
Hal ini disebabkan karena yodium dalam tanah dapat terbawa pada saat banjir
menuju sungai dan pada akhirnya ke laut, sehingga bahan pangan seperti
rumput laut; berbagai jenis ikan laut; kepiting; udang dan sampai pada tanaman
lain yang tumbuh dan hidup pada daerah sekitar pantai termasuk sumber air
minum yang dimiliki mempunyai kandungan yodium yang tinggi (Djokomoeljanto
1993 & Astawan 2003).
Sumber yodium lain adalah garam dan air yang difortifikasi. Garam
termasuk dalam sembilan bahan pangan pokok yang diperlukan masyarakat dan
oleh karenanya merupakan bahan makanan yang penting. Jenis garam yang di
produksi berbeda tiap daerah dalam kandungan yodium dan bentuknya, hal ini
tentunya berhubungan dengan kesukaan masyarakat sekitar. Konsumsi garam
8

beryodium per hari per orang mendekati 10-12 g dimana garam tersebut
mengandung 76 µg yodium per g (Picauly 2004). Adapun kandungan yodium dari
pangan sumber yodium disajikan dalam tabel 2 berikut ini.
Tabel 2 Kandungan yodium pangan sumber yodium per URT
Bahan Pangan g/takaran saji Kandungan yodium/takaran saji (µg)
Hati sapi 50 6
Ikan asin 25 23.3
Ikan pindang 50 41.9
Ikan laut 82 61.0
Kerang 90 16
Udang 30 24
Telur 60 5.4
Susu 200 14
Bayam 100 13
Agar-agar 95 4.8
Sumber: Nutrisurvey 2007
Defisiensi yodium merupakan sebab pokok terjadinya masalah GAKY dan
merupakan kasus yang umum di dunia dimana sebagian besar adalah penderita
gondok dan kekerdilan pada anak. Hal ini disebabkan karena kelenjar tiroid
melakukan proses adaptasi fisiologis terhadap kekurangan unsur yodium dalam
makanan dan minuman yang dikonsumsinya (Djokomoeldjanto 1994). Faktor
kelebihan yodium terjadi apabila yodium yang dikonsumsi cukup besar secara
terus-menerus. Kelebihan yodium dalam tubuh dikenal sebagai hipertiroid,
dimana kelenjar tiroid terlalu aktif memproduksi hormon tiroid. Tanda-tanda yang
dapat dikenal adalah merasa gugup, lemah, sensitif terhadap panas, sering
berkeringat, hiperaktif, berat badan menurun, nafsu makan bertambah, jari-jari
tangan bergetar, jantung berdebar-debar, bola mata menonjol dan denyut nadi
bertambah cepat dan tidak beraturan (Soekirman 2000).
Garam Beryodium
Gangguan akibat kekurangan yodium (GAKY) dapat berlanjut menjadi
masalah nasional, karena berhubungan dengan kualitas sumber daya manusia
yang akhirnya akan menghambat tujuan pembangunan nasional. Upaya yang
dilakukan untuk menangani masalah tersebut adalah dengan upaya jangka
pendek dan upaya jangka panjang. Upaya jangka pendek dilakukan melalui
penyuntikan larutan lipiodol (1974-1991), dan pemberian kapsul minyak
beryodium (1992-sekarang). Suplemen kapsul minyak beryodium diberikan
kepada kelompok resiko tinggi atau sasaran stategis yaitu wanita usia subur
(WUS), ibu hamil, ibu menyusui dan anak sekolah pada daerah yang masuk
kategori endemik berat dan sedang. Upaya ini sangat mahal sehingga tidak
dapat dilakukan secara berkesinambungan, untuk itu upaya yang paling efektif
9

dan memungkinkan untuk dilakukan secara berkesinambungan adalah dengan


upaya jangka panjang (Suherman 2008).
Adapun upaya jangka panjang yang dilakukan adalah dengan fortifikasi
garam konsumsi atau yodisasi garam. Garam yang sudah difortifikasi dengan
yodium disebut garam beryodium. Program ini pertama dilakukan pada tahun
1976 dengan bantuan UNICEF. Tujuan program yodisasi garam adalah
mentargetkan konsumsi garam beryodium sesuai persyaratan yaitu sebesar 30 –
80 ppm (part per million) di tatanan rumah tangga minimum 90% (Suherman
2008). Kegiatan yang dilakukan dalam rangka memasyarakatkan garam
beryodium adalah pemantauan status yodium di masyarakat, peningkatan
konsumsi garam beryodium, peningkatan pasokan garam beryodium, penegakan
norma sosial dan hukum, dan pemantauan koordinasi lintas sektor, swasta dan
penguatan kelembagaan penanggulangan GAKY (Suherman 2008).
Garam beryodium adalah garam yang diperkaya dengan KIO3 (kalium
iodat) dalam bentuk larutan pada lapisan tipis garam, sehingga diperoleh
campuran yang merata sesuai dengan standar nasional indonesia (SNI) dan
mengandung yodium antara 30-80 ppm untuk konsumsi manusia atau ternak,
pengasinan ikan dan bahan penolong industri kecuali pemboran minyak, chlor
alkali plan (CAP) dan industri kertas pulp. SNI garam konsumsi diterapkan
secara wajib terhadap produsen dan distributor sesuai dengan Kepres no 69
tahun 1994 tentang pengadaan garam beryodium untuk melindungi kesehatan
masyarakat. Hal ini dikaitkan dengan jumlah garam yang dikonsumsi tiap orang
per hari sekitar 6 g atau satu sendok teh setiap hari (Depkes 1997).
Setiap orang dianjurkan mengonsumsi garam beryodium sekitar 6 g atau
satu sendok teh setiap hari. Dalam kondisi tertentu, dimana keringat keluar
berlebihan, dianjurkan untuk mengonsumsi garam beryodium dua sendok teh
sehari. Bagi orang yang menderita hipertensi atau yang harus mengurangi
konsumsi garam, tetap mengonsumsi garam beryodium tetapi dalam jumlah
yang sedikit dan dianjurkan mengonsumsi makanan dari laut yang kaya akan
yodium seperti ikan, udang, ganggang laut (Depkes 1997).
Distribusi dan Penyimpanan Garam Beryodium
Mengingat keterbatasan yang dialami dalam program pemberian kapsul
minyak beryodium, pencegahan gondok endemik lebih diarahkan dalam jangka
panjang yaitu dengan distribusi garam beryodium dimaksudkan untuk
meningkatkan konsumsi zat yodium melalui makanan. Karena produksi garam
10

beryodium berpusat di suatu tempat, maka untuk menjadi kesinambungan


persediaan di daerah perlu dikembangkan jaringan distribusi garam beryodium
lintas daerah baik provinsi maupun kabupaten atau kota (Suherman 2008).
Berbagai upaya pencegahan defisiensi yodium pemerintah menganjurkan
kepada masyarakat luas agar mampu dan mau menggunakan garam beryodium
secara benar. Selain cara penggunaan garam beryodium masyarakat juga
diharapkan mengerti cara menyimpan garam beryodium secara baik dan benar
yaitu ditempatkan pada tempat yang kering dan ditaruh pada tempat tertutup
agar kandungan yodium tidak hilang. Dalam pengolahan garam beryodium
dimasukkan setelah diangkat dari perapian dan tertutup (Depkes 1997).
Pengetahuan Gizi
Pengetahuan merupakan hasil pengindraan seseorang terhadap suatu
objek tertentu. Pengindraan terjadi melalui panca indra manusia, yakni indra
penglihatan, pendengaran, penciuman, perasa dan peraba. Sebagian besar
pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga (Notoatmodjo 2007).
Pengetahuan gizi adalah pemahaman seseorang tentang ilmu gizi, zat gizi, serta
interaksi antara zat gizi terhadap status gizi dan kesehatan. Pengetahuan gizi
yang baik dapat menghindarkan seseorang dari konsumsi pangan yang salah
atau buruk. Pengetahuan gizi dapat diperoleh dari pendidikan formal maupun
informal. Selain itu juga dapat diperoleh dengan melihat, mendengar sendiri atau
melalui alat-alat komunikasi seperti membaca surat kabar dan majalah,
mendengar siaran radio dan menyaksikan siaran televisi ataupun melalui
penyuluhan kesehatan atau gizi (Suhardjo 1989)
Pengetahuan gizi menjadi landasan penting yang menentukan konsumsi
pangan rumah tangga. Individu yang berpengetahuan gizi baik akan mempunyai
kemampuan untuk menerapkan pengetahuan gizinya didalam pemilihan maupun
pengolahan pangan sehingga konsumsi pangan yang mencukupi bisa lebih
terjamin (Khomsan 2000). Salah satu hal yang turut mempengaruhi ketersediaan
pangan adalah pengetahuan gizi dalam memilih makanan yang bergizi tinggi.
Orang yang tingkat pengetahuannya tinggi cenderung akan memilih dan
menyediakan makanan yang lebih murah dengan nilai gizi yang lebih tinggi. Oleh
karena itu, upaya meningkatkan jumlah dan mutu konsumsi makanan
memerlukan peningkatan pengetahuan masyarakat tentang makanan yang
bergizi, perubahan sikap serta perubahan praktik sehari-hari dalam menentukan,
memilih dan mengonsumsi makanannya (Muniarti 2011).
11

Suhardjo (1989) menyatakan bahwa kurangnya pengetahuan dan salah


konsepsi tentang kebutuhan pangan dan nilai pangan, kemiskinan dan
kekurangan faktor persediaan pangan yang bergizi merupakan faktor penting
dalam masalah kurang gizi. Penyebab lain gangguan gizi adalah kurangnya
pengetahuan tentang gizi atau kemampuan menerapkan informasi tersebut
dalam kehidupan sehari-hari. Pengetahuan gizi merupakan landasan penting
untuk terjadi perubahan sikap dan praktik gizi. Praktik yang didasari pengetahuan
akan bertahan lebih lama, oleh sebab itu penting bagi seseorang untuk
memperoleh pengetahuan gizi dari berbagai sumber seperti sekolah, media
cetak maupun media elektronik. Tingkat pengetahuan gizi seseorang
berpengaruh terhadap sikap dan praktik dalam pemilihan makanan yang pada
akhirnya akan berpengaruh pada keadaan gizi individu yang bersangkutan
(Maria 2012).
Pengetahuan ibu, termasuk pengetahuan tentang gizi diperoleh melalui
pendidikan formal dan non formal. Pendidikan formal adalah jenis pendidikan
yang diselenggarakan oleh sekolah sesuai dengan kurikulum yang ditetapkan
dan tempat kronologis yang ketat untuk tingkatan umur populasi sasarannya.
Pendidikan informal adalah jenis pendidikan yang berlangsung seumur hidup
yang mempelajari seluruh aspek kehidupan (Pranadji 1988, diacu dalam Pratiwi
2006). Tingkat pengetahuan gizi ini, dibagi kedalam 3 kategori, yaitu baik,
sedang, dan kurang. Cara pengkategorian dilakukan dengan menetapkan cut-off
point dari skor yang telah dijadikan persen. Adapun pengkategorian pengetahuan
gizi tersebut adalah kategori baik memiliki skor ≥80%, kategori sedang memiliki
skor 60-79.9%, kategori kurang memiliki skor <60% (Khomsan 2000).
Sikap Gizi
Sikap belum merupakan suatu perbuatan (action), tetapi dari sikap
seseorang dapat diramalkan perbuatannya. Sikap akan sangat berguna bagi
seseorang sebab sikap akan mengarahkan praktik secara langsung. Sikap
negatif akan menumbuhkan praktik yang negatif, seperti menolak, menjauhi,
meninggalkan, bahkan sampai hal-hal yang merusak. Sikap seseorang terhadap
obyek menentukan praktik yang akan timbul dari orang tersebut terhadap obyek.
Sikap merupakan fungsi dari pengetahuan, pendapat, keyakinan, penilaian
seseorang terhadap obyek tertentu (Pratiwi 2006). Sikap merupakan reaksi atau
respon seseorang yang masih tertutup terhadap suatu stimulus atau objek.
Faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan sikap antara lain pengalaman
12

pribadi, kebudayaan, orang lain yang dianggap penting, media masa, institusi
atau lembaga pendidikan dan agama, serta faktor emosional (Maria 2012).
Menurut Notoatmodjo (2005) sikap mempunyai tingkat-tingkat
berdasarkan intensitasnya, yaitu: (1) menerima (receiving) diartikan bahwa
seseorang atau subjek mau menerima stimulus yang diberikan (objek) (2)
menanggapi (responding) diartikan memberikan jawaban atau tanggapan
terhadap pertanyaan atau objek yang dihadapi (3) menghargai (valuing) diartikan
subjek atau seseorang memberikan nilai yang positif terhadap objek atau
stimulus dalam arti membahasnya dengan orang lain dan bahkan mengajak atau
mempengaruhi atau menganjurkan orang lain merespon (4) bertanggungjawab
(responsible) adalah sikap yang paling tinggi tingkatannya adalah bertanggung
jawab terhadap apa yang telah diyakininya.
Pengukuran sikap ini dapat dilakukan dengan menggunakan skala
hedonic likert type yaitu kepada contoh ditanyakan apakah setuju, ragu-ragu atau
tidak setuju terhadap pernyataan yang diberikan (Sanjur 1982).
Praktik Gizi
Berdasarkan Notoatmodjo (2005) suatu sikap belum otomatis terwujud
dalam suatu tindakan (cover behavior). Untuk terwujudnya sikap menjadi suatu
perbedaan nyata diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi yang
memungkinkan, antara lain adalah fasilitas. Disamping faktor fasilitas juga
diperlukan faktor dukungan (support) dari pihak lain. Praktik dibedakan menjadi 3
tingkatan menurut kualitasnya, yaitu:
1. Praktik terpimpin yaitu apabila subjek atau seseorang telah melakukan
sesuatu tetapi masih tergantung pada tuntutan atau menggunakan panduan.
2. Praktik secara mekanis yaitu apabila subjek atau seseorang telah melakukan
atau mempraktikan sesuatu hal secara otomatis
3. Adopsi yaitu suatu tindakan atau praktik yang sudah berkembang,
perilakunya sudah berkualitas.
Menurut teori Lawrence Green dalam Notoatmodjo (2005) praktik ditentukan oleh
3 faktor utama yaitu sebagai berikut:
Faktor-faktor predisposisi (disposing faktors), yaitu faktor-faktor yang
mempermudah terjadinya praktik seseorang, antara lain pengetahuan, sikap,
keyakinan, kepercayaan, nilai-nilai, tradisi, dan sebagainya.
Faktor-faktor pemungkin (enabling faktors) adalah faktor-faktor yang
memungkinkan atau yang memfasilitasi praktik atau tindakan, yang dimaksud
13

faktor pemungkin adalah sarana dan prasarana atau fasilitas untuk terjadinya
suatu praktik.
Faktor-faktor penguat (reinforcing faktors) adalah faktor-faktor yang
mendorong atau memperkuat terjadinya praktik.

Anda mungkin juga menyukai