Anda di halaman 1dari 8

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Pustaka


A. Pengertian Yodium
Yodium adalah mineral yang terdapat di alam, baik di tanah maupun di
air yang merupakan zat gizi mikro yang diperlukan oleh tubuh manusia untuk
membentuk hormon Tiroksin yang berfungsi untuk mengatur pertumbuhan
dan perkembangan fisik serta kecerdasan (Tim Penanggulangan GAKY
Pusat, 2004).
Menurut Pudjiati (2003), yodium adalah merupakan salah satu mineral
yang esensial sehingga keadaan kekurangan akan mengganggu kesehatan dan
pertumbuhan. Keadaan kekurangan pada ibu yang sedang mengandung dapat
berakibat abortus, lahir mati, kelainanan bawaan pada bayi, meningkatnya
angka kematian perinatal, melahirkan bayi kretin, dan sebagainya.
Kekurangan yodium yang diderita oleh anak-anak menyebabkan pembesaran
kelenjar gondok, gangguan fungsi mental dan perkembangan fisik,
sedangkan pada orang dewasa berakibat pembesaran kelenjar gondok,
hipotiroidi dan gangguan mental. Karena kekurangan yodium tidak saja
menyebabkan pembesaran kelenjar gondok melainkan berbagai macam
gangguan lain, maka penyakit tersebut dinamakan GAKY.
Menurut Almatsier (2003), yodium ada di dalam tubuh dalam jumlah
sangat sedikit, yaitu sebanyak kurang lebih 0,00004 % dari berat badan atau
15-23 µg. Sekitar 75 % dari yodium ini ada dalam kelenjar tiroid, yang
digunakan untuk mensintesis hormon tiroksin, tetraiodotironin (T4) dan
triiodotironin (T3). Hormon-hormon ini diperlukan untuk pertumbuhan
normal, perkembangan fisik dan mental hewan dan manusia. Sisa yodium
ada dalam jaringan lain, terutama di dalam kelenjar-kelenjar ludah, payudara
dan lambung serta di dalam ginjal. Di dalam darah yodium terdapat dalam

6
bentuk yodium bebas atau terikat dengan protein (Protein Bound
Iodine/PBI).
B. Fungsi Yodium
Yodium merupakan bagian integral kedua macam hormone tiroksin,
triiodotironin (T3) dan tetraiodotironin (T4). Fungsi utama hormon-hormon
ini adalah mengatur pertumbuhan dan perkembangan. Hormon tiroid
mengontrol kecepatan tiap sel menggunakan oksigen. Dengan demikian,
hormon tiroid mengontrol kecepatan pelepasan energi zat gizi yang
menghasilkan energi. Tiroksin dapat merangsang metabolisme sampai 30 %.
Disamping itu kedua hormon ini mengatur suhu tubuh, reproduksi,
pembentukan sel darah merah serta fungsi otot dan saraf. Yodium berperan
pula dalam perubahan karoten menjadi bentuk aktif vitamin A, sintesis
protein dan absorpsi karbohidart dari saluran cerna. Yodium berperan pula
dalam sintesis kolesterol darah (Almatsier, 2003).
C. Absorbsi dan Ekskresi Yodium
Yodium dengan mudah diabsorpsi dalam bentuk iodida. Penggunaan
normal sehari adalah sebanyak 100-150 µg sehari. Ekskresi dilakukan
melalui ginjal, jumlahnya berkaitan dengan penggunaan. Dalam bentuk
ikatan organik di dalam makanan hewani hanya separuh dari yodium yang
dapat diabsorpsi. Di dalam darah, yodium terdapat dalam bentuk bebas dan
terikat protein. Manusia dewasa sehat mengandung 15-20 µg yodium, 70-80
% diantaranya berada dalam kelenjar tiroid. Di dalam kelenjar ini yodium
digunakan untuk mensintesis hormon-hormon triiodotironin (T3) dan tiroksin
atau tetraiodotironin (T4) bila diperlukan. Kelenjar tiroid harus menangkap
60 µg yodium sehari untuk memelihara persediaan tiroksin yang cukup.
Penangkapan iodida oleh kelenjar tiroid dilakukan melalui transpor aktif
yang dinamakan pompa yodium. Mekanisme ini diatur oleh hormon yang
merangsang tiroid (Thyroid Stimulating Hormone/TSH) dan Hormon
Tirotrofin/TRH yang dikeluarkan hipotalamus yang dikeluarkan oleh
kelenjar pituitari untuk mengatur sekresi tiroid. Hormon tiroksin kemudian
dibawa darah ke sel-sel sasaran dan hati, tiroksin dipecah dan bila diperlukan
yodium kembali digunakan (Almatsier, 2003).
Konsentrasi hormon tiroid di dalam darah diatur oleh hipotalamus
melalui pengontrolan pengeluaran hormon TSH yang dikeluarkan kelenjar
pituitari. Sekresi TSH juga dikontrol oleh hormon yang mengeluarkan
tirotrofin (Tyrotrophin Releasing Hormone/TRH) yang juga dikeluarkan oleh
hipotalamus. Kelebihan yodium terutama dikelurkan melalui urin, dan sedikit
melalui feses yang berasal dari cairan empedu (Almatsier, 2003).
D. Fortifikasi / Yodisasi Garam
Menurut Dachroni (2007), garam beryodium adalah garam yang
mengandung atau yang dicampuri yodium. Garam beryodium berasal dari
garam biasa yang dicampur dengan zat yodium. Istilahnya difortifikasi atau
diyodisasi. Garam beryodium yang dianjurkan untuk digunakan manusia
adalah yang memenuhi Standar Nasional Indonesia, yaitu kandungan
yodiumnya lebih dari 30 ppm.
Garam beryodium merupakan istilah yang biasa digunakan untuk garam
yang telah difortifikasi (ditambah) dengan yodium. Di Indonesia, yodium
ditambahkan dalam garam sebagai zat aditif atau suplemen dalam bentuk
kalium yodat (KIO3). Penggunaan garam beryodium dianjurkan oleh WHO
untuk digunakan di seluruh dunia dalam menanggulangi GAKY.
Cara ini dinilai lebih alami, lebih murah, lebih praktis dan diharapkan dapat
lestari di kalangan masyarakat (Palupi, 2008).
Program yodisasi garam telah dirintis sejak tahun 1977 dan pada tahun
1985 untuk meningkatkan pelaksanaan program ini dikeluarkan Surat
Keputusan Bersama Menteri Kesehatan, Menteri Perindustrian, Menteri
Perdagangan dan Menteri Dalam Negeri untuk memberlakukan program
yodisasi garam secara nasional. Kemudian dipertegas dengan Keputusan
Presiden nomor 69 tahun 1994 tentang Pengadaan Garam Beryodium, yang
antara lain menyatakan : Garam yang dapat diperdagangkan untuk keperluan
konsumsi manusia atau ternak, pengasinan ikan atau bahan penolong industri
pangan adalah garam beryodium yang telah memenuhi Standar Nasional
Indonesia (SNI), (Tim Penanggulangan GAKY Pusat, 2004).
Berdasarkan SNI No. 01-3556 tahun 1994 dan Keputusan Menteri
Perindustrian dan Perdagangan No. 77/1995 tentang proses, pengepakan dan
pelabelan garam beryodium, yodium yang ditambahkan dalam garam adalah
sebanyak 30-80 mg KIO3/kg garam (30-80 ppm).
E. Penyimpanan Garam Beryodium.
Penyimpanan adalah suatu kegiatan pengamanan terhadap bahan yang
diterima agar aman (tidak hilang), terhindar dari kerusakan fisik maupun
kimia dan mutunya tetap terjamin. Penyimpanan bertujuan agar bahan yang
tersedia terjamin mutu dan kemasannya (Dinkes Prov. Jateng, 2010). Garam
beryodium sebaiknya disimpan di tempat kering dan terhindar dari panas dan
sinar matahari (Dep. Kes. RI, 2005).
Menurut Palupi (2008), Garam yodium perlu disimpan : 1) Di bejana atau
wadah tertutup; 2) Tidak kena cahaya; 3) Tidak dekat dengan tempat lembab
air, hal ini untuk menghindari penurunan kadar yodium dan meningkatkan
kadar air, karena kadar yodium menurun bila terkena panas dan kadar air
yang tinggal akan melekatkan yodium.
Berkurangnya kandungan yodium pada garam dapat disebabkan oleh
beberapa faktor seperti tempat penyimpanan, cara penyimpanan dan lokasi
penyimpanan garam. Garam beryodium akan lebih baik bila disimpan di
dalam wadah yang terbuat dari kaca/keramik/plastik, disimpan secara
tertutup dengan lokasi penyimpanannya jauh dari sumber panas/api. Hal ini
dimaksudkan agar kandungan yodiumnya tidak berkurang. Hasil survei
konsumsi garam yodium (SGY) tahun 2003 menunjukkan bahwa sebagian
besar (76,22 %) rumah tangga yang mengkonsumsi garam, menyimpan
garamnya secara tertutup. Penyimpanan garam beryodium secara tertutup
dimaksudkan agar kandungan yodium yang ada dalam garam tidak
berkurang/menguap. Garam yang disimpan secara tertutup mempunyai
persentase yang tinggi kandungan yodium cukupnya, sedangkan garam yang
disimpan secara terbuka cenderung kadar yodiumnya kurang bahkan tidak
ada (BPS, 2003).
F. Bentuk-bentuk Garam
Bentuk garam yang beredar di pasaran ada 3 jenis yaitu garam halus,
bata/briket dan curia/krosok. Garam halus adalah garam yang kristalnya
sangat halus menyerupai gula pasir, dan biasa disebut dengan garam meja.
Garam halus mempunyai kualitas terbaik daripada garam briket/bata maupun
garam curia/krosok. Garam briket adalah garam yang berbentuk bata.
Garam ini lebih baik kualitasnya daripada garam curai/krosok. Sedangkan
garam curai/krosok adalah garam yang kristalnya kasar-kasar. Di Jawa
disebut dengan garam krosok. Garam ini mempunyai kualitas paling rendah
(Depkes RI, 2001).
Ada anggapan bahwa garam curai biasanya tidak mengandung yodium
cukup atau bahkan tidak mengandung yodium sama sekali, sedangkan garam
halus/meja mengandung yodium cukup. Anggapan ini berdasarkan anggapan
lainnya bahwa garam curai adalah garam yang dibuat petani garam atau lebih
dikenal dengan garam rakyat, sedangkan garam halus/meja adalah garam
buatan pabrik, yang pasti menggunakan yodium dalam proses pembuatannya
(BPS, 2003).
G. Cara Menilai Mutu Garam Beryodium
Ada beberapa cara untuk mengetahui ada tidaknya yodium pada garam,
antara lain :
1. Tes Kit Yodina yang tersedia di Puskesmas dan Apotek. Cara untuk
mengetes yaitu ambil garam, kemudian tetesi dengan cairan yodina.
Warna yang timbul dibandingkan dengan petunjuk warna yang ada pada
Kit. Garam yang bermutu baik akan menunjukkan warna biru keunguan.
Semaikin berwarna tua, semakin baik mutu garam.
2. Menggunakan singkong parut. Caranya sebagai berikut : singkong (ubi
kayu) segar dikupas, diparut dan diperas tanpa diberi air. Tuang 1 sendok
perasan singkong parut kedalam gelas bersih. Tambahkan 4-6 sendok teh
munjung garam yang akan diperiksa. Tambahkan 2 sendok teh cuka biang
berkadar 25 %. Aduk sampai rata, dan tunggu beberapa menit. Apabila
timbul warna biru keunguan, berarti garam tersebut mengandung yodium.
Semakin berwarna pekat, semakin baik mutu garam. Garam yang tidak
beryodium tidak akan mengalami perubahan warna setelah diperiksa
dengan cairan yodina maupun cairan singkong parut (Departemen
Kesehatan RI, 2005).
3. Selain kedua cara diatas, pengujian kadar yodium pada garam dapat
dilakukan dengan cara Titrasi. Caranya adalah : timbang 25 gr garam,
larutkan dalam 125 ml air suling atau air matang dengan gelas
Erlenmeyer. Tambahkan reagen A dan reagen B masing-masing 5 tetes.
Bila timbul warna biru nyata, garam mengandung KIO3. Hilangkan warna
biru dengan memberikan larutan standar sedikit demi sedikit memakai
buret sambil dikocok. Cara mengambil dan memasukkan larutan standar
ke dalam buret, memakai alat suntik. Untuk menentukan kadar KIO3
(ppm) dengan cara : banyaknya larutan standar yang dipakai untuk
menghilangkan warna biru kali faktor larutan standar.
H. Permasalahan Garam Beryodium
Masalah penggunaan garam beryodium di masyarakat antara lain karena
belum optimalnya penggerakan masyarakat dan kampanye dalam
mengkonsumsi garam beryodium, serta dukungan regulasi yang belum
memadai. Disamping itu masalah lain adalah belum rutinnya pelaksanaan
pemantauan garam beryodium di masyarakat secara terus menerus
(Kementerian Kes. RI, 2010).
Pemerintah sebenarnya telah mengambil kebijaksanaan tentang Program
Penanggulanagan GAKY di Indonesia sejak tahun 1977 yaitu dengan
memberlakukan program yodisasi garam secara nasional yang diperkuat
dengan Keputusan Presiden Nomor 69 tahun 1994 tentang Pengadaan Garam
Beryodium, tetapi hasilnya juga masih memprihatinkan. Kondisi ini muncul
akibat serangkaian sebab yang saling berkaitan. Beberapa diantaranya adalah
a) Adanya sejumlah produsen yang memproduksi garam konsumsi tidak
beryodium atau garam beryodium dengan kadar yodium kurang dari 30 ppm;
b) Adanya sejumlah distributor yang mendistribusikan garam konsumsi tidak
beryodium atau garam beryodium dengan kadar yodium kurang dari 30 ppm;
c) Mayoritas konsumen yang kurang kritis dan kurang peduli terhadap
produk garam konsumsi. Sementara itu lembaga regulator yang mengatur
persoalan garam konsumsi ini cenderung belum berfungsi. Salah satu
sebabnya adalah karena sampai saat ini perangkat hukum yang operasional
belum tersedia (Tim Penanggulangan GAKY Pusat, 2004).
Program iodisasi garam di Indonesia dalam upaya menanggulangi GAKY
sampai saat ini masih menghadapi suatu kendala/hambatan, meskipun
pemerintah telah mengeluarkan berbagai peraturan untuk menunjang
program iodisasi garam tersebut. Beberapa faktor yang mungkin menjadi
penghambat diantaranya adalah harga garam yodium yang jauh lebih mahal
dibandingkan dengan garam non yodium, minat masyarakat yang rendah
akan garam beryodium, kurangnya kesadaran produsen dalam memproduksi
garam beryodium, lemahnya pengawasan mutu yang dilakukan pemerintah,
kesadaran masyarakat tentang garam beryodium yang memenuhi persyaratan
belum memadai (Cahyadi, 2005).
Dilihat dari sisi produksi dan distribusi, hasil Survei Nasional Garam
Beryodium yang dilakukan setiap tahun oleh Badan Pusat Statistik
terintegrasi dengan SUSENAS menunjukkan bahwa garam yang beredar di
masyarakat masih banyak yang tidak/kurang memenuhi syarat kandungan
yodium. Hal ini diduga disebabkan karena banyak produsen garam yang
menggunakan yodium kurang dari jumlah yang dipersyaratkan (30-80 ppm
yodium sebagai KIO3) atau kandungan yodium hilang / berkurang selama
masa penyimpanan atau transportasi (Palupi, 2008).
2.2 Kerangka Teori

Konsumsi garam
1. Bentuk garam beryodium oleh
2. Cara penyimpanan masyarakat
3. Lama penyimpanan
3. Kadar Iodium garam

Gambar 2.1 Kerangka Teori Bentuk Garam, Cara Penyimpan da Lama


Penyimpanan Garam Dengan Kadar Yodium Dalam Garam
Sumber : BPS, 2003; Dep.Kes. RI, 2005; Kemenkes RI, 2010.
2.3 Kerangka Konsep
Variabel bebas Variabel terikat

1. Bentuk garam Kadar Iodium (KIO3)


2. Cara penyimpanan dalam garam

3. Lama penyimpanan

Gambar 3.1 Kerangka Konsep Perbedaan Bentuk garam, Cara Penyimpanan


dan Lama Penyimpanan Garam Dengan Kadar Iodium Dalam Garam
2.4 Hipotesis Penelitian
Hipotesis penelitian ini adalah :
1. Ada perbedaan antara bentuk garam yang dikonsumsi masyarakat dataran
tinggi dan dataran rendah diwilayah kerja Puskesmas Dawe Kabupaten
Kudus.
2. Ada perbedaan antara cara penyimpanan garam yang dikonsumsi masyarakat
dataran tinggi dan dataran rendah diwilayah kerja Puskesmas Dawe
Kabupaten Kudus.
3. Ada perbedaan antara lama penyimpanan yang dikonsumsi masyarakat
dataran tinggi dan dataran rendah diwilayah kerja Puskesmas Dawe
Kabupaten Kudus.
4. Ada perbedaan kadar yodium dalam garam yang dikonsumsi masyarakat
dataran tinggi dan dataran rendah diwilayah kerja Puskesmas Dawe
Kabupaten Kudus.

Anda mungkin juga menyukai