Anda di halaman 1dari 7

BAB V

PENUTUP

5.1. Kesimpulan

Inggris merupakan salah satu negara anggota yang penting dan

berpengaruh di Uni Eropa. Pengaruh ekonomi dan politik Inggris sudah dikenal

sejak abad ke-16. Kekuatan Inggris yang terkenal dengan nama British Empire

atau Imperium Britania yang tersebar di kawasan Eropa, Asia, Amerika, Afrika,

dan Pasifik. Kejayaan Inggris dalam sejarah yang memiliki daerah koloni di

seperempat luas total bumi merupakan motivasi bagi rakyat Inggris untuk masa

depan Inggris. Jika pada masa Perang Dunia I dan Perang Dunia II Inggris

bergantung pada Imperiumnya, maka pasca-perang dunia Inggris tetap menjadi

poros pemerintahan negara-negara persemakmuran yang dulunya adalah negara

bekas jajahan atau wilayah dominion Inggris.

Bangkitnya negara-negara jajahan Inggris dan Jerman pada masa Perang

Dunia II dan dekolonisasi yang terjadi pasca-perang dunia menurunkan pengaruh

Inggris yang sebelumnya menguasai dunia. Dalam upaya memperjuangkan

eksistensinya di kancah internasional serta untuk mencapai kepentingan

nasionalnya, maka Inggris berupaya untuk menjalin kerjasama dengan negara-

negara tetangganya yang tergabung dalam Uni Eropa. Uni Eropa sejak didirikan

telah memberikan perdamaian, stabilitas dan kemakmuran, membantu me-

ningkatkan standar hidup masyarakat Uni Eropa, serta menyatukan nilai tukar

Euro untuk kawasan Uni Eropa.

91
Dalam mencapai tujuannya, Uni Eropa menciptakan kebijakan-kebijakan

yang disepakati dalam perjanjian-perjanjian, misalnya Perjanjian Paris, Perjanjian

Roma, Perjanjian Lisbon, dan lain-lain. Pada dasarnya, Uni Eropa menyamakan

aturan di negara-negara anggota terkait masalah-masalah yang dapat dijangkau

oleh hukum Uni Eropa untuk menyederhanakan urusan-urusan terkait imigrasi,

perdagangan, industri, perekonomian, dan lain-lain.

Ide berdirinya sebuah badan yang mengatur keamanan, sosial, dan

ekonomi di kawasan Eropa tidak semata-mata mendapatkan dukungan begitu saja

dari masyarakat Eropa. 28 negara yang tergabung dalam Uni Eropa memiliki

sejarah yang berbeda. Inggris, dalam kasus ini baru bergabung setelah 22 tahun

ide Uni Eropa digagas dengan berdirinya ECSC pada tahun 1951. Proses

penggabungan tersebut pun melewati dua kali veto Presiden Prancis Charles De

Gaulle. Pro kontra yang terjadi dalam badan Uni Eropa ini adalah salah satu

penyebab munculnya Euroskeptis dalam masyarakat Eropa.

Isu-isu yang terjadi di Eropa seperti krisis ekonomi dan krisis migran

diangkat menjadi sebuah kegagalan Uni Eropa oleh kaum Euroskeptis. Kaum

Euroskeptis secara aktif membongkar sistem birokrasi Uni Eropa dan

menginginkan kontrol imigrasi yang lebih ketat di negaranya. Pertumbuhan

Euroskeptis pun sangat pesat. Brexit adalah salah satu bukti nyata mayoritas

jumlah Euroskeptis di Inggris.

Dinamika hubungan Inggris dan Uni Eropa berakar dari citra Inggris yang

merupakan negara yang kuat dalam sejarah namun harus menghadapi kebijakan-

92
kebijakan Uni Eropa yang menggerogoti kedaulatan Inggris dalam mewujudkan

kepentingan nasionalnya. Mundurnya Inggris dari Uni Eropa merupakan reaksi

masyarakat Inggris atas kebijakan yang disepakati negara anggota Uni Eropa.

Kedaulatan nasional merupakan indikator penting perlawanan Inggris terhadap

tantangan eksternal yang ditimbulkan oleh keanggotaan pada Uni Eropa. Di antara

berbagai alasan mundurnya Britania Raya, alasan utama tetaplah pada keinginan

rakyatnya untuk mempertahankan kedaulatan. Meskipun Britania Raya telah

menunjukkan upaya dalam mengembangkan berbagai metode dan mekanisme

kontrol untuk menegakkan kedaulatannya sambil melanjutkan kerja sama dengan

Uni Eropa, sulit untuk menyangkal bahwa ada kesenjangan yang terus tumbuh

antara kedaulatan de jure Parlemen dan supremasi de facto hukum Uni Eropa

dalam hukum Inggris.

Salah satu penyebab terjadinya Brexit adalah masalah imigran, termasuk

pengungsi, yang masuk ke Eropa. Berdasarkan peraturan Uni Eropa,

permasalahan yang menimpa salah satu negara anggota Uni Eropa akan

ditanggulangi oleh negara-negara anggota lainnya, termasuk Inggris. Salah satu

permasalahan adalah masalah imigran. Inggris yang sejak awal keberatan

akhirnya memutuskan untuk menanggulangi sendiri dengan caranya sendiri

meskipun harus keluar dari keanggotaanya di Uni Eropa melalui referendum di

Kerajaan Inggris sebagai legitimasinya. Brexit didasarkan pada pertimbangan

kepentingan nasional yang mengutamakan keamanan negara dan bangsanya

sendiri, disusul kemudian dengan implementasinya di dalam negeri dengan

mengeluarkan kebijakan pemerintah pemerintah terkait imigran. Salah satu

93
wacana terkait kebijakan baru Inggris mengenai imigran ini adalah mengenai

pembatasan jumlah dan seleksi imigran. Sudah tentu kebijakan ini akan

berdampak bagi imigran maupun bagi masyarakat Inggris itu sendiri.

Perdana Menteri David Cameron menginisiasi Referendum Brexit, yang

mengguncang ekonomi dan perpolitikan Inggris baik sebelum maupun setelah

dilakukannya pemungutan suara antara “bertahan” atau “keluar” dari keanggotaan

Uni Eropa. Meningkatnya jumlah kaum Euroskeptis dan populis mengalahkan

kaum nasionalis yang banyak mendominasi kawasan Skotlandia dan Irlandia

Utara, dimana hasil pemungutan suara disana mayoritas memilih untuk tetap

bergabung dengan Uni Eropa.

Dalam Pasal 50 Perjanjian Lisbon menyatakan bahwa negara anggota Uni

Eropa dapat menarik status keanggotaanya dari Uni Eropa secara sukarela tanpa

tekanan dari negara lain. Perjanjian ini yang kemudian dimanfaatkan Britania

Raya pada era Perdana Menteri Theresa May. Referendum Brexit melewati tiga

era Perdana Menteri yang berbeda yaitu era David Cameron (2010 – 2016), era

Theresa May (2016 – 2019), dan kini diwarisikan kepada Perdana Menteri Boris

Johnson. Cameron mengundurkan diri karena gagal dengan keyakinan dan

kampanyenya agar Inggris “remain” dalam Uni Eropa. Brexit kemudian

diwariskan kepada Theresa May, yang juga mundur dari posisinya karena gagal

meyakinkan parlemen untuk menyetujui kesepakatan penarikan dengan Uni Eropa

serta gagal memenuhi tenggat waktu yang diberikan Uni Eropa. Kini dilanjutkan

oleh Perdana Menteri Boris Johnson, seorang “Brexiteers” garis keras

94
meyakinkan masyarakat Inggris di awal pemerintahannya akan membawa Inggris

mundur dari Uni Eropa baik dengan “deal” maupun “no deal” sebelum tenggat

waktu yang ditentukan Uni Eropa saat ini yaitu tanggal 31 Januari 2020.

Sambutan Uni Eropa terhadap pernyataan tersebut sama kerasnya dengan

memberikan tiga pilihan yang tegas terhadap PM Johnson yaitu:

1. Britania Raya melalui PM Boris Johnson mencabut pemicu Pasal 50

Perjanjian Lisbon untuk membatalkan Brexit;

2. Menyetujui Brexit dengan Kesepakatan Perjanjian Brexit yang telah dibuat

dengan PM sebelumnya- Theresa May.

3. Menyetujui Brexit tanpa Kesepakatan Penarikan / “No Deal”

Parlemen yang terpecah ke dalam faksi-faksi yang berbeda menambah

kesulitan “deal” dan “no deal” Brexit. Pilihan yang telah ditawarkan Uni Eropa

tegas menyatakan bahwa kesepakatan penarikan yang telah disetujui tidak dapat

diubah. Hal ini menjadi ujian akan kedaulatan Britania Raya serta akan memicu

aksi liberalisme di Skotlandia yang sudah beberapa kali ingin merdeka, dan

Irlandia Utara yang dalam kesepakatan tersebut tetap dalam kawasan pasar

tunggal Uni Eropa. Sementara jika Britania Raya memilih mundur tanpa

kesepakatan penarikan atau “no deal”, goncangan ekonomi tidak akan terelakkan.

Hal ini akan menjadi masalah besar terhadap investor Inggris yang berada di

kawasan Uni Eropa dan sebaliknya. Biaya-biaya akan bertambah besar, kebijakan

akan berubah, pasar akan bingung. Dan keputusan untuk mundur tanpa

kesepakatan perjanjian ini bukan pilihan yang bijak bagi PM Johnson mengingat

95
pemilihan umum yang telah dijadwalkan pada saat itu. Kekacauan ekonomi akan

merusak citra yang dibutuhkannya untuk memenangkan pemilu.

PM Johnson menunjukkan perilaku politik luar negeri Britania Raya

dengan melakukan negosiasi ulang dengan Uni Eropa terkait kesepakatan

penarikan Brexit. Dan kini kesepakatan penarikan antara Pemerintah Inggris dan

Uni Eropa sudah dibuat. Kesepakatan tersebut meliputi:

1. Masa Transisi.

Pada masa ini tidak ada kebijakan atau aturan yang berubah kecuali status

keanggotaan negara Inggris di Uni Eropa sudah dicabut. Masa transisi ini

berakhir hingga 31 Desember 2020.

2. Hak Warga Negara Uni Eropa.

Dalam kesepakatan penarikan itu membahas hak-hak waga Uni Eropa

yang tinggal di Inggris selama masa transisi dan sesudah masa transisi.

3. Penyelesaian finansial.

Kewajiban-kewajiban Inggris berupa investasi dan dana pensiun staf akan

tetap dibayarkan pada saat jatuh tempo.

4. Perbatasan Irlandia Utara.

Kesepakatan tentang ini menetapkan bahwa Irlandia tetap dalam wilayah

kepabeanan Inggris, tapi dalam praktiknya aka nada semacam perbatasan

dengan Uni Eropa.

Setelah melewati pemungutan suara dan disetujui oleh mayoritas parmelen

Inggris, kesepakatan penarikan kini sedang disidangkan di “House of Lords”,

96
majelis tinggi Inggris. Jika majelis tinggi setuju dengan kesepakatan tersebut,

maka dalam waktu dekat Parlemen Eropa juga akan melakukan pemungutan suara

terkait kesepakatan tersebut.

Hanya setelah Brexit maka Uni Eropa dan Inggris dapat mulai

menegosiasikan rincian hubungan masa depan keduanya. Ini akan mencakup

persetujuan kondisi apa yang akan berlaku untuk perusahaan yang berbasis di Uni

Eropa yang ingin melakukan bisnis di dan dengan Inggris setelah periode transisi.

Negosiasi juga akan terjadi pada hak-hak warga negara dan kerja sama keamanan.

Akan ada lebih banyak kejelasan tentang hubungan baru antara Uni Eropa dan

Inggris hanya setelah fase negosiasi ini selesai.

Perjanjian baru akan mulai berlaku setelah periode transisi, yang akan

berakhir pada 31 Desember 2020. Perjanjian baru ini juga harus disetujui oleh

masing-masing negara anggota, parlemen Inggris dan Parlemen Eropa. Jika tidak

ada kesepakatan yang dicapai tentang hubungan masa depan antara Inggris dan

Uni Eropa, akan ada 'tidak ada kesepakatan' Brexit setelah masa transisi.

97

Anda mungkin juga menyukai